Вы находитесь на странице: 1из 9

Buletin Psikologi ISSN 0854-7106 (Print)

2017, Vol. 25, No. 1, 36 – 44 ISSN 2528-5858 (Online)


DOI: 10.22146/buletinpsikologi.22759 https://jurnal.ugm.ac.id/buletinpsikologi

Perilaku Pengguna Media Sosial beserta Implikasinya


Ditinjau dari Perspektif Psikologi Sosial Terapan
Mulawarman1, Aldila Dyas Nurfitri2
1 Jurusan Bimbingan dan Konseling, FIP, Universitas Negeri Semarang,
2Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata

Abstract
This paper presents an analysis based on numerous literature reviews. The purpose is to
examine social media users' behaviors, as well as the implication of their actions, through an
applied social psychological perspective. Social media becomes a new tool for many areas to
perform functions and works, such as political campaign media, advertising, and teaching.
However, the use of social media nowadays also raises excessive effects which could be
serious problems if it was not overcame as soon as possible. There are some social media
usage behaviors that should be observed, such as selfie, cyber bullying, online shopping,
user-personalization, and shared-culture. Through the study of social psychology, it is
expected that readers have more comprehensive perspective in looking at the phenomenon
of social media hegemony as part of contemporary social reality.
Keywords: cyber bullying, online shopping, shared-culture, social media, selfie, user-
personalization

Pengantar Berbagai macam aspek kehidupan manusia,


seperti komunikasi maupun interaksi, juga
Dewasa ini, 1hampir bisa dipastikan bahwa mengalami perubahan yang sebelumnya
setiap orang yang memiliki telepon pintar, tidak pernah diduga. Dunia seolah-olah
juga mempunyai akun media sosial, seperti tidak memiliki batasan (borderless) – tidak
Facebook, Twitter, Path, Instagram, dan ada kerahasiaan yang bisa ditutupi. Kita
sebagainya. Kondisi ini seperti sebuah bisa mengetahui aktivitas orang lain melalui
kelaziman yang mengubah bagaimana cara media sosial, sementara kita tidak kenal dan
berkomunikasi pada era serba digital seperti tidak pernah bertemu tatap muka atau
sekarang. Jika dahulu, perkenalan dilaku- berada di luar jaringan (luring) dengan
kan dengan cara konvensional, yakni orang tersebut.
(biasanya) diiringi dengan saling tukar
Media sosial bahkan menjadi “senjata
kartu nama, sekarang setiap kita bertemu
baru” bagi banyak bidang. Kampanye
orang baru cenderung untuk bertukar
politik pada Pemilu 2014 lalu banyak
alamat akun atau membuat pertemanan di
melibatkan peran media sosial. Perusahaan-
media sosial.
perusahaan saat ini memberikan perhatian
Evolusi yang terjadi di bidang teknologi khusus untuk mengelola media sosial dan
maupun inovasi internet menyebabkan menjalin hubungan yang baik dengan
tidak hanya memunculkan media baru saja. pelanggan mereka secara daring (dalam
jaringan). Iklan menjadi berubah dari cara
1 Korespondensi mengenai artikel ini dapat
tradisional yang diproduksi oleh perusa-
dilakukan melalui: mulawarman@mail.unnes.ac.id;
aldila26@live.com haan dan tentu dengan biaya yang tidak

36 Buletin Psikologi
PERILAKU PENGGUNA MEDIA SOSIAL, PERSPEKTIF PSIKOLOGI SOSIAL TERAPAN

sedikit. Hal tersebut merupakan sebuah dewasa ini, dimana relasi pertemanan serba
tantangan sekaligus kenyataan yang tidak dilakukan melalui medium digital –
bisa dipungkiri. Kehadiran media sosial dan menggunakan media baru (internet) yang
semakin berkembangnya jumlah pengguna dioperasikan melalui situs-situs jejaring
dari hari ke hari memberikan fakta menarik sosial. Realitas menjadi bersifat augmented
betapa kekuatan internet bagi kehidupan dan maya yang harus diadaptasi dan diinte-
(Nasrullah, 2015). grasikan dalam kacamata kajian psikologi
Riset yang dipublikasikan oleh sosial kontemporer yang ubiquitous (ada
Crowdtap, Ipsos MediaCT, dan The Wall Street dimana-mana) serta pervasive (dapat
Journal pada tahun 2014 melibatkan 839 menembus berbagai bidang ilmu dan
responden dari usia 16 hingga 36 tahun kajian) (Soeparno & Sandra, 2011).
menunjukkan bahwa jumlah waktu yang
dihabiskan khalayak untuk mengakses Definisi Media Sosial
internet dan media sosial mencapai 6 jam 46 Istilah media sosial tersusun dari dua kata,
menit per hari, melebihi aktivitas untuk yakni “media” dan “sosial”. “Media” diarti-
mengakses media tradisional (Nasrullah, kan sebagai alat komunikasi (Laughey,
2015). Meski hanya bisa digunakan terbatas 2007; McQuail, 2003). Sedangkan kata
dan tanpa bermaksud membuat pernyataan “sosial” diartikan sebagai kenyataan sosial
bahwa inilah perilaku semua khalayak di bahwa setiap individu melakukan aksi yang
dunia, hasil riset tersebut menunjukkan memberikan kontribusi kepada masyarakat.
bahwa media tradisional tidak lagi menjadi Pernyataan ini menegaskan bahwa pada
media yang dominan diakses oleh khalayak. kenyataannya, media dan semua perangkat
Kebutuhan akan menjalin hubungan sosial lunak merupakan “sosial” atau dalam mak-
di internet merupakan alasan utama yang na bahwa keduanya merupakan produk
dilakukan oleh khalayak dalam mengakses dari proses sosial (Durkheim dalam Fuchs,
media. Kondisi ini tidak bisa didapatkan 2014).
ketika khalayak mengakses media
Dari pengertian masing-masing kata
tradisional.
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
Tidak mengherankan, kehadiran media media sosial adalah alat komunikasi yang
sosial menjadi fenomenal. Facebook, Twitter, digunakan oleh pengguna dalam proses
YouTube, Instagram hingga Path adalah sosial. Namun, menurut Nasrullah (2015),
beberapa ragam media sosial yang diminati untuk menyusun definisi media sosial, kita
oleh banyak khalayak. Oleh karena itu, perlu melihat perkembangan hubungan
melalui tulisan ini, penulis ingin membahas individu dengan perangkat media. Karak-
hegemoni media sosial dari perspektif teristik kerja komputer dalam Web 1.0
psikologi sosial terapan dengan harapan berdasarkan pengenalan individu terhadap
dapat memberi kontribusi terhadap upaya individu lain (human cognition) yang berada
pengendalian perilaku penggunaan media dalam sebuah sistem jaringan, sedangkan
sosial agar semakin tepat-guna, baik oleh Web 2.0 berdasarkan sebagaimana individu
diri sendiri, komunitas, institusi, maupun berkomunikasi (human communication)
pihak-pihak lain yang membutuhkan. dalam jaringan antarindividu. Terakhir,
Menurut Soeparno dan Sandra (2011), dalam Web 3.0 karakteristik teknologi dan
dunia maya seperti laiknya media sosial relasi yang terjadi terlihat dari bagaimana
merupakan sebuah revolusi besar yang manusia (users) bekerja sama (human co-
mampu mengubah perilaku manusia operation) (Fuchs, 2008).

37 Buletin Psikologi
MULAWARMAN & NURFITRI

Dengan demikian, bisa dijelaskan ditransformasikan melalui internet sebagai


bahwa keberadaan media sosial pada bentuk komunikasi visual instan tentang di
dasarnya merupakan bentuk yang tidak mana kita berada, apa yang kita lakukan,
jauh berbeda dengan keberadaan dan cara apa yang kita lakukan, apa yang kita
kerja komputer. Tiga bentuk bersosial, pikirkan, dan siapa yang kita pikir melihat
seperti pengenalan, komunikasi, dan kerja kita.
sama bisa dianalogikan dengan cara kerja Secara historis, foto diri muncul dan
komputer yang juga membentuk sebuah bisa dilihat berbarengan dengan adanya
sistem sebagaimana adanya sistem di antara perangkat fotografi di telepon genggam.
individu dan masyarakat (Nasrullah, 2015). Berbeda dengan foto digital menggunakan
Tulisan ini akan membahas berbagai DSLR atau prosumer lainnya, dengan
perilaku pengguna media sosial beserta menggunakan telepon genggam, foto yang
implikasinya melalui perspektif psikologi diambil bisa langsung diunggah di media
sosial terapan. sosial saat itu juga. Realitas ini membawa
Pembahasan pada sebuah kenyataan bahwa pada
awalnya, pengguna ingin berbagi momen
Media Sosial dan Isu-isu Terkini atau kegiatan mereka bersama teman-teman
lainnya di jejaring media sosial. Kenyataan
Dewasa ini, aktivitas daring yang dilakukan berikutnya, foto diri yang ditampilkan di
oleh khalayak di seluruh penjuru dunia media sosial dalam rangka eksistensi diri
terbilang masif dan intensif. Ada banyak dan upaya mempertontonkan apa yang
motif dan tujuan yang mendasari khalayak telah dicapai pengguna di luar jaringan
dalam mengakses layanan daring, khusus- (offline). Karena itu, sebuah foto diri tidak
nya media sosial. Berikut ini, penulis akan bisa sekedar dilihat dari aspek wajah,
memaparkan analisis beberapa isu-isi ekspresi dan gaya. Analisis terhadap foto
terkini terkait penggunaan media sosial diri juga harus melibatkan suasana, momen,
yang relatif menyita perhatian para bangunan, tempat atau lingkungan yang
akademisi dan peneliti, yaitu swafoto menjadi latar dari sebuah foto diri
(selfie), cyberwar, belanja daring, personali- (Nasrullah, 2015).
sasi diri pengguna, dan budaya share.
Sebuah riset yang dilakukan oleh
Lembaga Opinium di Inggris terhadap 2005
Swafoto (Selfie)
responden yang berusia antara 18 sampai 24
Salah satu fenomena dalam kemajuan tahun pada tahun 2013 menunjukkan
teknologi internet, gawai seperti telepon bahwa dalam sehari, ada lebih dari satu juta
genggam, dan budaya siber adalah selfie foto diri yang dibuat. Realitas sosial siber ini
atau swafoto. Kata ini pun telah resmi menunjukkan bahwa kekuatan foto diri
menjadi kata baru yang dicantumkan dalam adalah artefak kebudayaan yang bisa
kamus Oxford English Dictionary pada tahun ditafsirkan dari berbagai sudut pandang.
2013 dan secara sederhana berarti ‘foto diri Media sosial merupakan arena untuk
yang disebarluaskan melalui media sosial’ menampilkan foto diri tersebut dan peng-
(Rosalina dalam Nasrullah, 2015). Menurut guna mendapatkan timbal balik dari
Jerry Saltz (dalam Nasrullah, 2015), selfie publikasi tersebut (Nasrullah, 2015).
didefinisikan sebagai potret-diri instan,
Ada beberapa ulasan yang bisa
yang dibuat dengan kamera ponsel cerdas
dipaparkan dalam kajian ini terkait dengan
dan dengan segera disebarluaskan atau
fenomena swafoto menggunakan perspektif

38 Buletin Psikologi
PERILAKU PENGGUNA MEDIA SOSIAL, PERSPEKTIF PSIKOLOGI SOSIAL TERAPAN

psikologi sosial. Pertama, kegiatan tersebut untuk menunjukkan ia berada dalam


sebagai wujud dari eksistensi diri. perjalanan, menggunakan pesawat tersebut,
Berswafoto dan menyebarkannya di media dan sebagainya. Pengunggahan swafoto
sosial tidak sekadar terfokus pada penam- menjadi simbol bahwa pengguna sedang
pilan diri si pengguna. Swafoto merupakan mewujudkan eksistensi dirinya yang tidak
upaya representasi diri di media sosial, sekadar sebagai objek foto, tetapi ada
sebuah upaya agar dianggap ‘ada’ atau maksud tertentu didalamnya.
eksis dalam jaringan. Seseorang yang Ketiga, swafoto juga dapat menandakan
melakukan swafoto juga tengah berusaha bahwa pengguna melakukan keterbukaan
mengkonstruksikan identitas sosialnya diri (self-disclosure) di media sosial. Dalam
dengan cara memaksimalkan atau memini- postulasi Lewin (Sarwono, 2013), lapangan
malkan karakter positif atau negatif dalam hidup organisme diibaratkan sebagai jaring
dirinya supaya self-esteem tetap terpelihara laba-laba yang terdiri dari beberapa region
(Shaw & Costanzo, 1982). atau wilayah. Wilayah-wilayah tersebut
Swafoto yang sukses ditandai dengan semakin lama dapat semakin bertambah
banyaknya pujian, pemberian tanda atau justru statis, baik jumlah maupun
‘jempol’ atau ‘like’ (fitur dalam Facebook) luasnya, tergantung dengan sifat organisme
atau tanda ‘hati’ (fitur dalam Path). Bila tersebut, apakah cenderung terbuka
sudah demikian, maka individu merasa (disclose) atau tertutup (close). Swafoto
puas dan semakin terdorong untuk kembali menjembatani pertumbuhan wilayah hidup
melakukan swafoto dan mengunggahnya di seseorang karena menuntun mereka
media sosial. Namun, bila kondisinya menjadi terbuka untuk membagikan foto
terbalik, individu dapat merasa diacuhkan diri kehadapan khalayak melalui akun
dan tidak dihargai oleh lingkungan sosial- media sosial yang dimiliki. Efek selanjutnya
nya. Keadaan tersebut bisa memicu keingin- dari keterbukaan diri itu adalah interaksi
an untuk tidak kembali mengunggah dan komunikasi yang terjadi dengan
swafoto atau tetap melakukan swafoto, pengguna lain akan semakin erat. Bahkan
namun dengan evaluasi tertentu. dalam beberapa kasus, pengunggahan
Kedua, swafoto merupakan salah satu swafoto menyebabkan bertambahnya
bentuk narsisme digital (Nasrullah, 2015). jalinan pertemanan yang baru, sehingga
Sebuah swafoto yang diambil menunjukkan jaringan sosial yang dimiliki semakin luas,
bahwa penggunanya tengah merancang atau dengan kata lain, wilayah hidup
dirinya dan hasil rancangan itu, selain seseorang akan semakin lapang.
untuk eksistensi diri, juga sebagai bentuk
pertunjukkan di depan panggung untuk Cyberwar
menarik kesan pengakses atau pengguna Masih ingatkah Anda dengan fenomena
lain dalam jaringan pertemanan di media fanatisme relawan pendukung Jokowi dan
sosial (Shaw & Costanzo, 1982). Sebuah Prabowo dalam kontestasi Pemilu 2014
swafoto juga, misalnya, harus dilihat dari lalu? Kedua kelompok saling berlomba
latar belakang objek foto tersebut. Banyak mengusung masing-masing calon, baik
foto diri dengan latar belakang sebuah sebelum Pemilu diadakan maupun bebe-
lokasi tertentu dan ini menunjukkan bahwa rapa bulan setelahnya. Atmosfer semangat
si pengguna sedang berada di tempat hingga gaduh yang disebabkan oleh opini
tersebut. Di lain kesempatan, swafoto di maupun pemberitaan terkait figur Jokowi
dalam kendaraan, seperti pesawat terbang, atau Prabowo, menjadi warna yang tidak

39 Buletin Psikologi
MULAWARMAN & NURFITRI

bisa dielakkan. Ada banyak stereotipe terjadinya berbagai bentuk ketegangan.


Jokowi yang dijadikan ‘senjata’ oleh kubu Semakin besar ketegangan struktural, maka
pendukung Prabowo, diantaranya proko- semakin besar pula peluang terjadinya
munis, pro-Syiah, dan ketidakjelasan nasab perilaku kolektif; general belief, yaitu desas-
(silsilah dalam keluarga). Begitu pula desus yang dengan sangat mudah
sebaliknya, stereotipe Prabowo yang acap dipercaya kebenarannya dan kemudian
kali dijadikan ‘senjata’ oleh kubu Jokowi disebarluaskan; precipitating factor, yaitu
adalah sejumlah kasus pelanggaran HAM. faktor penunjang kecurigaan dan kecemas-
Stereotipe menjadi materi dasar belief an yang dikandung masyarakat; mobilisasi
dalam diri individu maupun kelompok para peserta, yakni perwujudan perilaku
(kolektif), dan dalam situasi tertentu, belief kolektif yang digiring oleh pimpinan, baik
tersebut menjadi prasangka yang selanjut- untuk bergerak menjauhi situasi berbahaya
nya dapat menyulut perilaku diskriminasi atau untuk mendekati orang yang dianggap
maupun tindakan nonkooperatif lainnya, sasaran tindakan.
seperti fitnah dan permusuhan antar- Keanggotaan di kelompok dianggap
kelompok. Menurut beberapa pakar, meningkatkan efektivitas aksi individual, di
perilaku kolektif diartikan sebagai aksi yang dalam kelompok individu yang menjadi
dilakukan secara bersama-sama atau bagian kelompok akan mengubah cara
serentak dengan cara yang mirip oleh berperilakunya sesuai norma yang berlaku
sejumlah besar orang dalam kelompok dalam kelompok (Krahe, 2005). Menurut
dalam suatu situasi atau kejadian tertentu, LeBon (2002), individu-individu di dalam
yang terkadang dapat berupa aksi yang suatu barisan massa, tidak peduli pekerjaan,
tidak biasa (Krahe, 2005; Hewstone & karakteristik, inteligensi, atau atribut
Stroebe, dalam Krahe, 2005; Forsyth, 2010; lainnya, akan bereaksi yang diarahkan oleh
McPhail, dalam Forsyth, 2010). collective mind atau group mind. Mereka akan
Perwujudan perilaku kelompok pendu- bereaksi mengikuti pemikiran kelompok
kung Jokowi dan Prabowo uniknya terjadi dan menghasilkan perilaku yang berbeda
secara masif di lingkungan daring atau dengan perilaku saat mereka terpisah dari
berkutat dalam konstelasi media sosial yang kelompok. Efek contagion akan menyebar-
terhimpun dalam komunitas-komunitas kan emosi dan perilaku dari satu kepala ke
tertentu. Ajang debat kusir dan adu berita lainnya, sehingga menyebabkan individu-
hoax seolah menjadi paket menu yang biasa individu dalam massa bereaksi dengan cara
dijumpai dalam arus notifikasi media sosial yang sama.
kita, seperti Facebook dan Twitter, selain Jika dikaitkan dengan perilaku pendu-
berita atau status dukungan untuk mereka. kung Jokowi dan Prabowo, kumpulan
Menurut Smelser (dalam Krahe, 2005), pengguna media sosial tertentu pada awal-
ada beberapa faktor penentu perilaku nya memperlihatkan gejolak dan reaksinya
kolektif, antara lain structural conduciveness, dengan proses yang disebut milling, yaitu
yakni faktor struktur situasi sosial yang proses di mana individu-individu menjadi
memudahkan terjadinya perilaku kolektif, semakin tegang, gelisah, dan bergairah.
seperti keberagaman agama, suku, ideologi, Dengan meningkatnya emosi, kegairahan
dan ras dalam sebuah wilayah; structural dan stimulasi timbal balik, maka orang-
strain, yakni kesenjangan, ketidakserasian orang lebih memungkinkan untuk bertin-
antar kelompok sosial, etnik, agama, dan dak impulsif di bawah pengaruh impuls
lain-lain yang membuka peluang bagi

40 Buletin Psikologi
PERILAKU PENGGUNA MEDIA SOSIAL, PERSPEKTIF PSIKOLOGI SOSIAL TERAPAN

bersama yang disebut dengan collective mind wadah untuk melakukan kegiatan e-
atau group mind. commerce di dunia maya.
Jika intensitas proses ini meningkat, Bagi konsumen, belanja daring akan
maka penularan sosial (social contagion) akan sangat tinggi jika mereka merasa puas akan
timbul yang melibatkan diseminasi impuls kualitas jasa dari sistem penjualan online di
atau kata hati yang cepat dan irasional. situs tersebut. Kepuasan pelanggan saat
Peristiwa penularan sosial ini sering berbelanja daring serta kepuasan pelanggan
menyebabkan pengguna media sosial setelah melakukan pembelian menjadi indi-
menjadi aktif dalam berperilaku secara kator dimana suatu situs toko daring dapat
bersama-sama, meski dalam situasi daring. mempertahankan pelanggannya dengan
Selanjutnya, kegairahan bersama dalam cara meningkatkan minat berbelanja kem-
kumpulan pengguna dapat melibatkan bali kepada situs tersebut (Irmawati, 2011).
proses reaksi sirkular (circular reaction). Salah satu tujuan utama strategi pema-
Dengan demikian, bila seseorang menjadi saran adalah untuk melakukan pengubahan
gelisah, resah atau bergairah, maka emosi sikap konsumen terhadap suatu produk
dan perilaku tersebut akan menjadi suatu melalui proses persuasi. Dalam banyak teori
model yang memengaruhi orang lain. psikologi sosial tentang sikap, dijelaskan
Proses saling menstimulasi ini menghasil- bahwa terdapat hubungan yang sangat erat
kan suatu spiral perasaan dan tindakan antara sikap dan perilaku. Berlandaskan
yang sirkular. pada teori psikologi sosial yang mendu-
kung hubungan erat antara sikap dan
Belanja Daring perilaku, maka apabila diterapkan pada
Gaya hidup berbelanja di Indonesia selalu perilaku konsumen kemudian dapat
berubah seiring zaman, terlebih tren disimpulkan bahwa apabila sikap seseorang
berbelanja elektronis yang diadaptasikan ke positif terhadap suatu produk, maka orang
berbagai sosial media, mulai dari daya tarik tersebut kemudian akan membeli produk
banner iklan, video tutorial, diskon, pemba- tersebut. Pengubahan sikap konsumen agar
yaran melalui rekening bersama hingga mereka membeli atau mengkonsumsi suatu
sistem pembayaran sesudah barang diteri- produk dapat dilakukan melalui proses
ma (Cash On Delivery). Kesuksesan perusa- persuasi. Persuasi adalah pengubahan
haan untuk memanfaatkan e-commerce keyakinan dan sikap seseorang terhadap
dalam memasarkan produknya diikuti sesuatu objek ke arah tertentu yang
dengan ironi pengaburan realitas di dikehendaki oleh pemberi persuasi (Myers,
kalangan masyarakat – belanja untuk 2002).
kebutuhan atau bentuk sebuah impulsivitas. Menurut Hanurawan (2011), model
Situs jejaring sosial seperti Facebook pemrosesan informasi adalah pendekatan
yang pada awalnya hanya berfungsi sebagai yang menjelaskan bahwa proses belajar
situs pertemanan dan pertukaran informasi memengaruhi sikap seseorang melalui
sesama teman atau kerabat dekat, saat ini proses persuasi. Menurut pendekatan ini,
telah beralih fungsi sebagai lahan pema- agar konsumen membeli sebuah produk,
saran suatu perusahaan maupun toko online maka terdapat sebuah proses belajar yang
dalam skala industri rumahan. Tidak hanya dilalui oleh mereka. Proses belajar itu
situs jejaring sosial seperti Facebook. Media adalah sebagai berikut: tertarik, memahami,
daring lainnya seperti forum, blog dan dan meyakini klaim-klaim yang termuat
mikroblog seperti Twitter dapat menjadi dalam sebuah iklan. Proses belajar ini akan

41 Buletin Psikologi
MULAWARMAN & NURFITRI

memudahkan mereka untuk mengalami terhadap sifat, menunjukkan hasil yang


perubahan sikap yang berujung pada konsisten dengan pengukuran kepribadian
perilaku membeli sebuah produk yang peserta yang dilaporkan sendiri.
diiklankan. Hal itu terjadi karena hasil dari Frase tertentu dapat memprediksi ciri
proses tersebut tersimpan dalam memori kepribadian tertentu (Schwartz, et al., 2013).
(ingatan) seseorang tentang suatu pesan Misalnya, orang yang mendapat skor tinggi
tertentu yang kemudian dapat digunakan di dalam neurotisme pada penilaian
sebagai basis untuk memproses persepsi, kepribadian yang dilaporkan sendiri lebih
sikap, dan perilaku terkait dengan cenderung menggunakan kata-kata, seperti
keberadaan sebuah produk. kesedihan, kesepian, ketakutan dan rasa
Untuk mempromosikan produk usaha sakit. Menganalisis data ini dapat mem-
secara daring, banyak perusahaan berikan koneksi baru yang kemungkinan
berlomba-lomba membuat iklan semenarik tidak terlihat di dalam kuesioner tertulis
mungkin. Tidak hanya iklan produk saja dan survei tradisional. Selain itu, para
yang diupayakan agar dapat menarik minat peneliti juga menemukan bahwa ada
khalayak, ekspansi promosi melalui berba- banyak kesamaan di seluruh negara, berupa
gai macam media sosial juga dilakukan, penggunaan emotikon yang berhubungan
seperti Facebook, Instagram, Twitter, Snapchat, dengan emosi positif dan kata-kata
dan lain-lain. Tak berhenti sampai disitu, umpatan, serta agresi yang berhubungan
sebagai strategi pemasaran jitu pula, dengan emosi negatif (Schwartz, et al.,
perusahaan ikut menggaet sejumlah nama 2013).
figur ternama untuk me-review produk yang Fenomena media sosial yang juga
mereka tawarkan. Atau dengan kata lain, menarik perhatian penulis adalah maraknya
semakin menarik, unik, dan luasnya akun-akun pengguna yang dengan sengaja
pemasaran produk yang dilakukan, maka memasang foto profil bukan dirinya, tanpa
semakin mudah pula khalayak mengingat, foto profil, dan tanpa identitas jelas
mengenali, bahkan membeli. (Nasrullah, 2015). Selain akun pengguna
tanpa identitas jelas, ironi perilaku
Personalisasi Diri Pengguna pengguna media sosial juga tercermin dari
Penggunaan Twitter dan Facebook yang upaya-upaya mereka untuk merekonstruksi
meluas telah memberikan pendekatan baru identitas melalui tulisan status atau
dalam penelitian ilmu sosial. Hal ini distribusi tautan laman tertentu yang
membutuhkan teknik-teknik tertentu untuk sesungguhnya hanya untuk ‘menjelaskan’
menganalisis dan menginterpretasikan data kepada khalayak tentang siapa dan
menggunakan metode ilmu komputer. bagaimana atau malah justru sebaliknya:
Teknik ini memungkinkan peneliti untuk tidak mewakili identitas pengguna sama sekali.
mampu menghasilkan wawasan dari Media sosial hadir layaknya sekum-
kumpulan data skala besar. Schwartz et al., pulan negara atau masyarakat, di mana di
(2013) menemukan bahwa kata-kata yang dalamnya juga terdapat ragam etika dan
digunakan di Facebook merupakan indikator aturan yang mengikat para penggunanya.
kepribadian yang secara mengejutkan dapat Aturan ini ada karena perangkat teknologi
diandalkan. Para peneliti menggunakan itu merupakan sebuah mesin yang
algoritma prediksi bahasa untuk membuat terhubung secara daring atau bisa muncul
penilaian kepribadian skala besar yang karena interaksi diantara sesama pengguna.
efisien. Model otomatis berbasis bahasa Realitas ini senada dengan gagasan yang

42 Buletin Psikologi
PERILAKU PENGGUNA MEDIA SOSIAL, PERSPEKTIF PSIKOLOGI SOSIAL TERAPAN

diungkapkan oleh Baudrillard (1994), Realita masyarakat Indonesia, bahkan


dimana ia menggunakan istilah simulacra dunia saat ini tampaknya menarik untuk
yang diartikan sebagai “bukan cerminan dilihat dari perspektif kognisi sosial.
dari realitas”. Kesadaran akan sesuatu yang Menurut Baron & Byrne (2003) kognisi
nyata di benak para pengguna media sosial sosial didefinisikan sebagai cara kerja
semakin terdegradasi dan tergantikan pikiran manusia untuk memahami
realitas semu. Menurut Nasrullah (2015), lingkungan sekitar agar manusia dapat
kondisi ini disebabkan oleh imaji yang berfungsi di dalamnya secara adaptif. Cara
ditampilkan media secara terus-menerus kerja pikiran ini meliputi aktivitas meng-
hingga pada akhirnya khalayak seolah interpretasi, menganalisis, mengingat, dan
berada diantara realitas dan ilusi karena menggunakan informasi tentang dunia
tanda yang ada di media seakan-akan telah sosial.
terputus dari realitas. Dengan kata lain, Skema adalah komponen dasar dalam
media sosial telah menjadi realitas itu kognisi sosial yang diartikan sebagai
sendiri, bahkan apa yang di dalamnya kerangka atau struktur mental yang
justru lebih real dan actual. membantu manusia mengorganisasikan
informasi sosial dan menuntun pemrosesan-
Budaya Share nya. Skema berkisar pada sebuah subjek
Belakangan ini muncul laman dan blog atau tema tertentu dan skema dibentuk oleh
yang tidak jelas. Mereka tidak segan budaya di mana kita tinggal.
menggunakan atribut provokatif, seperti Skema menimbulkan efek yang kuat
kata “Sebarkanlah” atau kata-kata bom- pada tiga proses dasar: perhatian (attention),
bastis sejenisnya. Pesan yang sering dipakai pengodean (encoding), dan mengingat
adalah “share ke yang lain, bagikan, atau kembali (retrieval). Dalam hubungannya
simpan”. Terkadang disertai ancaman dengan perhatian, skema berperan sebagai
seperti surat berantai di masa lampau. Jika penyaring: informasi yang konsisten
berita tidak di-sharing-kan, maka khalayak dengan skema lebih diperhatikan untuk
‘disumpahi’ akan mendapat petaka, diolah dalam kesadaran manusia, sedang-
bencana dan duka lara. kan informasi yang tidak cocok sering kali
Fenomena budaya share makin meng- diabaikan, kecuali informasi tersebut sangat
gila saat Pilpres 2014 lalu. Beberapa figur ekstrem, sehingga mau tidak mau kita
ternama pendukung capres tertentu dengan memperhatikannya, misalnya seperti
atau tanpa sengaja memelintir berita, strategi yang digunakan dalam berita-berita
mengomentari lalu menjatuhan lawan hoax dengan menggunakan headline
politiknya. Hal ini juga dilakukan oleh bombastis. Sadar atau tidak, informasi-
media partisan. Pola-pola pemberitaan hoax informasi yang diterima oleh para peng-
pun relatif selalu sama: membuat judul guna media sosial saat mencerna berita hoax
bombastis untuk menarik minat baca. mendorong untuk resharing berita senada
Terkadang antara judul dan isi berita tidak karena skema mental mereka kongruen
sinkron. Celakanya, banyak pengguna media tema atau preferensi tertentu.
sosial di negeri ini yang malas membaca.
Mereka cenderung mudah terprovokasi Penutup
oleh judul yang tampak menarik dan lang-
sung membagikan tautan laman tertentu Hegemoni media sosial dapat dilihat
tanpa menelaah lebih dulu. melalui kacamata psikologi sosial (terapan),

43 Buletin Psikologi
MULAWARMAN & NURFITRI

meliputi konsep, teori dan hasil penelitian Irmawati, D. (2011). Pemanfaatan e-


psikologi sosial dalam perilaku individu commerce dalam dunia bisnis. Jurnal
yang berhubungan dengan topik-topik Ilmiah Orasi Bisnis, 2, 12-15.
terkait aktivitas penggunaan media sosial, Koentjoro Soeparno, & Sandra, L. (2011).
seperti swafoto, cyberwar, belanja daring, Social psychology: The passion of
personalisasi diri pengguna, dan budaya psychology. Buletin Psikologi, 19(1), 16-
share. Perilaku manusia yang semakin hari 28.
semakin tidak terpisahkan dari (realitas)
Krahe, B. (2005). The social psychology of
dunia maya patut menjadi perhatian yang
aggression. Philadelphia: Psychology
serius, sehingga pada tiap-tiap sub-tema
Press Ltd.
perilaku media sosial sebagaimana yang
telah disebutkan di atas dapat ditindak- Laughey, D. (2007). Themes in media theory.
lanjuti menjadi ide penelitian bagi peminat New York: Open University Press.
kajian psikologi sosial khususnya, maupun LeBon, G. (2002). The crowd: A study of the
disiplin ilmu lain yang terkait dan diharap- popular mind. New York: Dover
kan dari hasil penelitian tiap sub-tema Publications, Inc.
didapatkan hasil dan bahasan spesifik yang McQuail, D. (2003). Teori komunikasi massa.
memperkaya kajian tentang perilaku Jakarta: Penerbit Erlangga.
penggunaan media sosial.
Myers, D. G. (2002). Social psychology.
Boston: McGraw Hill Company.
Daftar Pustaka
Nasrullah, R. (2015). Media sosial (perspektif
Baron, R. A., & Byrne, D. (2003). Social komunikasi, budaya, dan sosioteknologi).
psychology. USA: Pearson Education Inc. Jakarta: Simbiosa Rekatama Media.

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and Sarwono, S. W. (2013). Teori-teori psikologi


simulation. Ann Arbor: University of sosial. Jakarta: Rajawali Press.
Michigan Press. Schwartz, H. A., Eichstaedt, J. C., Kern, M.
Forsyth, D. R. (2010). Group dynamic. L., Dziurzynski, L., Ramones, S. M.,
Belmont: Cencage Learning. Agrawal, M., et al. (2013, September 25).
Personality, Gender, and age in the
Fuchs, C. (2008). Internet and society, social
language of social media: The open-
theory in the information age. Madison
vocabulary approach. Journal of
Ave, NY: Roudledge.
Personality and Social Psychology, 3, 10-
Fuchs, C. (2014). Social media a critical 20.
introduction. Los Angeles: SAGE
Shaw, M. E., & Costanzo, P. R. (1982).
Publication, Ltd.
Theories of social psychology. Tokyo:
Hanurawan, F. (2011). Psikologi sosial terapan Kosaido Printing.
dan masalah-masalah perilaku sosial.
Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Malang.

44 Buletin Psikologi

Вам также может понравиться