Вы находитесь на странице: 1из 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Kasus

2.1.1 Definisi Cedera Kepala


Trauma kepala adalah perubahan bentuk yang dipengaruhi oleh

perubahan percepatan baik peningkatan ataupun penurunan kecepatan, dan

terjadinya notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak

sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Musliha, 2010). Cedera

kepala juga diartikan sebagai suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang

disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa

diikuti terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala merupakan adanya

pukulan atau benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan

kesadaran (Febriyanti dkk, 2017).

Gambar 2.1: Gambar cedera kepala. dr Ahmad Muhlisin


Trauma kepala adalah trauma yang kompleks yang menyebabkan

perubahan fungsi otak dan patologi otak. Trauma kepala terjadi dari tingkat

sedang sampai berat akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Adapun penyebab


lainnya seperti jatuh dan cedera saat olahraga (Cameron, 2014). Sedangkan

menurut Wahyudi (2015), cedera kepala adalah jejas atau trauma yang terjadi

pada kepala yang dikarenakan suatu sebab secara mekanik maupun non

mekanik yang meliputi kulit kepala, otak ataupun tengkorak saja dan

merupakan penyakit neurologis yang paling sering terjadi, biasanya

dikarenakan oleh kecelakaan.

2.1.2 Anatomi Dan Fisiologi Kepala


Menurut Syahifuddin (2011), kranial ( tulang tengkorak) dibentuk oleh

potongan tulang yang saling bertautan yang membentuk kerangka kepala.

Gambar 2.2: Tulang tengkorak.Nopen Aponamega

Tulang – tulang yang membentuk kranial meliputi :


a. Neurokranium (kerangka otak) terdiri atas sejumlah tulang – tulang yang

menyatu pada sendi tidak bergerk yang dimaksud sutura. Tulang – tulang
tengkorak dapat dibedakan menjadi tulang kranium dan wajah yang terdiri

dari lamina eksterna dan lamina interna yang dipisahkan oleh lapisan

spongiosa. Neurokranium terdiri dari kubah tengkorak (klavilaria) dan

Dasar tengkorak (basis kranii).


1) Kubah tengkorak (klavilaria) :
 Os frontalis 1 buah
 Os parientalis 2 buah
 Os oksipitalis 1 buah
 Os temporalis 2 buah
2) Dasar tengkorak (basis kranii) :
 Os spenoidalis 1 buah
 Os etmoidalis 1 buah
b. Tengkorak wajah (spanko) terdiri dari bagian hidung dan bagian rahang.
1) Bagian hidung :
 Os lakrimalis 2 buah
 Os nasalis 2 buah
 Os konka nasalis 2 buah
 Os septum nasalis 2 buah
2) Bagian rahang :
 Os maksilaris 2 buah
 Os zigomatikum 2 buah
 Os palatum 2 buah
 Os mandibularis 1 buah
 Os hioid 1 buah
2.1.3 Etiologi Cedera Kepala
Etiologi atau mekanisme terjadinya cedera kepala menurut Nurarif dan

Kusuma (2015), meliputi:


a. Cedera akselerasi
Terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak

(misalnya alat pemukul menghantam kepala).


b. Cedera deselerasi
Terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek diam, seperti pada

kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca depan

mobil.
c. Cedera akselerasi – deselerasi
Sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan pada kasus

kekerasan fisik.

d. Cedera coup – conture coup


Terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan otak bergerak dalam ruang

kranial dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan

serta area kepala yang pertama kali terbentur.Sebagai contoh seseorang

yang dipukul pada bagian belakang kepala.


e. Cedera rotasional
Terjadi jika pukulan atau benturan menyebabkan otak berputar dalam

rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron

dalam substansia alba serta robeknya pembuluh darah yang memfiksasi

otak dengan bagian dalam rongga tengkorak.


Gambar 2.3: Etiologi cedera kepala.

2.1.4 Tanda Dan Gejala Cedera Kepala


Secara umum, tanda gejala yang terjadi pada pasien dengan cedera

kepala menurut ENA (2013), yaitu :


a. Sakit kepala
b. Mual muntah
c. Tingkat kesadaran berubah
d. Fraktur fosa anterior
e. Korimetri periordital atau “ mata rakun” eksimosis periorbital bilateral

terjadi akibat darah yang merembes akibat tulang yang fraktur dan

menyentuh jaringan lunak disekitar mata akan muncul beberapa jam

setelah cedera.
f. Rhinorrhea : bocornya CSF ke saluran hidung

2.1.5 Klasifikasi Cedera Kepala


Menurut Nurarif dan Kusuma (2015), klasifikasi cedera kepala dibagi

berdasarkan patologi dan berdasarkan jenis cedera kepalanya. Berdasarkan

patologi cedera kepala dibagi atas cedera kepala primer dan cedera kepala

sekunder, yaitu :
a. Cedera kepala primer, merupakan akibat cedera awal. Cedera awal

menyebabkan gangguan integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel diare

tersebut, yang menyebabkan kematian sel.


b. Cedera kepala sekunder, cedera ini merupakan cedera yang menyebabkan

kerusakan otak lebih lanjut yang terjadi setelah trauma sehingga

meningkatkan TIK yang tak terkendali, meliputi respon fisiologis cedera

otak, termasuk edema serebral, perubahan biokimia, dan perubahan

hemodinamik serebral, iskemia serebral, hipotensi sistemik, dan infeksi

local atau sitemik.


Sedangkan berdasarkan jenis cedera kepala dibagi atas cedera kepala terbuka

dan cedera kepala tertutup.

a. Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan

laserasi diameter. Trauma yang menembus tengkorak dan jaringan otak.


b. Cedera kepala tertutup dapat disamakan pada pasien dengan gegar otak

ringan dengan cedera serebral yang luas.


Berdasarkan beratnya, cedera kepala dibagi atas ringan, sedang dan

berat. Pembagian ringan, sedang dan berat ini dinilai melalui Glasgow Coma

Scale (GCS). GCS merupakan instrument standar yang dapat digunakan untuk

mengukur tingkat kesadaran pasien trauma kepala. Computerized tomography

scanning merupakan modalitas diagnostik penting dalam praktek neuradiologi

dan merupakan langkah utama untuk menunjukkan adanya lesi intrakranial,

perluasan serta lokasinya. Yang dinilai dari pemeriksaan ini adalah tingkat

penurunan terbukanya mata, respon verbal, dan respon motorik dari penderita

cedera kepala.
a. Cedera kepala dikatakan ringan bila derajat GCS total adalah 14-15, dapat

terjadi kehilangan kesadaran, amnesia, tetapi kurang dari 30 menit, tidak

ada fraktur tengkorank, tidak ada kontusio serebral, hematoma.


b. Cedera kepala sedang bila derajat GCS total adalah 9-13, kehilangan

kesadaran, amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam, dapat

mengalami fraktur tengkorak, diikuti contusion serebral, laserasi dan

hematoma serebral.
c. Cedera kepala berat bila derajat GCS total 3-8, kehilangan kesadaran dan

atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam, juga meliputi kontusia serebral,

laserasi atau hematoma intracranial.

1. Komplikasi Cedera Kepala


Komplikasi yang bisa terjadi pada pasien dengan cedera kepala adalah

sebagai berikut :
a. Fraktur tengkorak
Menunjukkan tingkat keparahan cedera. Tidak diperlukan terapi khusus

kecuali terjadi trauma campuran, tekanan, atau berhubungan dengan

kehilangan LCS kronis (misalnya fraktur fosa kranialis anterior dasar

tengkorak).

b. Perdarahan intrakranial
 Perdarahan eksternal: robekan pada arteri meningea media. Hematoma

diantara tengkorak dan dura. Seringkali terdapat “interval lucid”

sebelum terbukti tanda -tanda peningkatan tekanan intracranial (TIK)

(penurunan nadi, peningkatan tekanan darah, dilatasi pupil ipsilateral,

paresis atau paralisis kontralateral). Terapi dengan evakuasi hematoma

melalui lubang Burr.


 Perdarahan subdural akut: robekan pada vena-vena diantara araknoid

dan duramater. Biasanya terjadi pada orang lanjut usia.terdapat

perburukan neurologis yang progresif. Terapi dengan evakuasi namun

penyembuhan biasanya tidak sempurna.


 Hematoma subdural kronis: robekan pada vena yang menyebabkan

hematoma subdural yang akan membesar secara perlahan akibat

penyerapan ICS. Seringkali yang menjadi penyebab adalah cedera

ringan. Mengantuk dan kebingungan, sakit kepala, hemiplegia. Terapi

oksigen evakuasi bekuan darah.


 Perdarahan intraserebral: perdarahan ke dalam substansi otak yang

menyebabkan kerusakan ireversibel. Usaha dilakukan untuk mencegah

cedera sekunder dengan memastikan oksigenasi dan nutrisi yang

adekuat

2. Patofisiologi Cedera Kepala


Menurut Musliha (2010), otak dapat berfungsi dengan baik bila

kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Pada saat otak mengalami

hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses

metabolic anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada

kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam

laktat akibat metabolisme anaerob.


Cedera kepala terjadi karena cedera akselerasi, cedera deselerasi,

cedera akselerasi-deselerasi, cedera coup-countre coup, dan cedera rotasional

(Nurarif dan Kusuma, 2015). Bila trauma mengenai ekstra kranial akan

menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan kulit, otot, dan vesikuler

sehingga dapat menyebabkan hematoma. Hematoma tersebut dapat


menyebabkan perubahan GCS sehingga meningkatkan tekanan intracranial.

Salah satu peningkatan TIK yaitu adanya penurunan kesadaran, kemudian

dapat menurunkan reflek batuk sehingga terjadi penumpukan secret yang

dapat menyebabkan ketidakefektifan bersihan jalan nafas. Apabila terjadi

perdarahan dapat menyebabkan terganggunya suplai darah sehingga

menyebabkan iskemi, hipoksia dan dapat menyebabkan ketidakefektifan

perfusi jaringan serebral.


Apabila trauma terjadi pada tulang kepala atau tulang kranial maka

menyebabkan terputusnya jaringan tulang atau fraktur tulang sehingga dapat

menyebabkan nyeri akut (Nurarif dan Kusuma, 2015).

inget ngeprint pathwaynya

9. Pemeriksaan Penunjang Pada Cedera Kepala


Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada klien dengan cedera

kepala menurut Musliha (2010), adalah sebagai berikut :


a. Pemeriksaan laboratorium, meliputi: darah lengkap, urine, kimia darah,

analisa gas darah


b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras: mengidentifikasi luasnya lesi,

perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.


c. Magnetic Resonance Imaging(MRI): digunakan sama seperti CT-Scan

dengan atau tanpa kontras radioaktif.


d. Cerebral Angiography: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti

perubahan jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.


e. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur

garis (perdarahan, edema), fragmen tulang. Ronsent Tengkorak maupun

thorak.
f. Cerebrospinal Fluid (CSF), lumbal fungsi: dapat dilakukan jika diduga

terjadi perdarahan subarachnoid


g. Kadar Elektrolit: untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat

peningkatan tekanan intrakranial

10. Penatalaksanaan Pada Cedera Kepala


Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah

terjadinya cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor

sistemik seperti hipotensi atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan

otak. Penatalaksanaan umum yang harus dilakukan adalah:


a. Menilai jalan nafas (Airway)
Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu,

pertahankan tulang servikal segaris dengan badan, pasang gudel bila dapat

ditoleransi. Jika cedera mengganggu jalan nafas, maka pasien harus

diintubasi.
b. Menilai pernapasan (Breathing)
Tentukan apakah pasien bernapas dengan spontan atau tidak. Jika tidak

spontan, beri O2 melalui masker oksigen. Jika bernafas spontan selidiki

cedera dada berat seperti pneumotoraks atau hemopneumotoraks.


c. Menilai sirkulasi (Circulation)
Otak yang rusak tidak mentoleransi hipotensi. Hentikan semua perdarahan

dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intra

abdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan

darah. Ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum,

kreatinin, elektrolit, glukosa, AGD. Berikan larutan koloid, sedangkan

larutan kristaloid (dektrose atau dektrose dalam saline) menimbulkan

eksaserbasi edema serebri pasca cedera kepala.


d. Obati kejang
Kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati dan

ditangani.
e. Menilai tingkat keparahan cedera kepala berdasarkan nilai GCS.
Menurut Kinoshita (2016), beberapa hal yang juga perlu diperhatikan

dalam perawatan pasien cedera kepala yaitu :


a. Perawatan pernafasan
Aspek klinis yang penting untuk merawat pasien dengan cedera kepala

adalah kurangi kerusakan serebral sekunder. Sehingga stabilisasi

pernapasan sangat penting untuk mencegah terjadinya cedera otak

sekunder pada pasien cedera kepala.


b. Perawatan hemodinamik
Pada pasien dengan cedera kepala berat dan hipotensi, pembengkakan otak

akut sering terjadi setelah pemberian cairan yang berlebihan. Salah satu

dampaknya yaitu edema otak yang terjadi setelah cedera kepala dan berasal
dari sitotoksik atau vasogenik atau mungkin disebabkan oleh kebocoran

kapiler.

c. Pemantauan keseimbangan metabolisme

Saturasi oksigen dipantau untuk memberikan informasi tentang pengiriman

oksigen dan metabolisme serebral global, yang digunakan untuk

mendeteksi hipoperfusi serebral, hyperperfusion, atau cedera otak iskemik

sekunder.

A. Konsep Dasar Askep


1. Pengkajian
A. Pengkajian Primer
a. Airway
Kaji adanya sumbatan jalan napas yaitu snoring, gurgling, stridor.
b. Breathing
Kaji pola nafas, kedalaman pernafasan, irama nafas, frekuensi nafas,

tarikan dinding dada, penggunaan otot bantu nafas dan pernafasan cuping

hidung
c. Circulation
Kaji tekanan darah, nadi, CRT, adanya perdarahan dan saluran O2 pada

pasien
d. Disability
Kaji adanya perubahan tingkat kesadaran, respon GCS, dan kaji reaksi

pupil terhadap rangsangan cahaya


e. Exposure
Kaji adanya deformitas, countosio, abrasi, penetrasi, laserasi, swelling,

racoon eyes, bettel sign

B. Pengkajian Sekunder
a. Symptom
Kaji peyebab cedera kepala
b. Alergi
Kaji adanya aslergi pada pasien, alergi terhadap obat, makanan, minuman,

lingkungan, binatang
c. Medication
Kaji adanya riwayat pengobatan sebelumnya
d. Past medical history
Kaji riwayat kesehatan sebelumnya apakah pasien memiliki penyakit

keturunan
e. Last oral intake
Kaji makan dan minum terakhir pasien sebelum mengalami cedera

C. Pemeriksaan Fisik Terfokus


Inspeksi : Kaji adanya memar di sekitar kepala, dilatasi pupil, hilangnya

reflek pupil terhadap reflek cahaya


Palpasi : Kaji adanya benjolan pada kepala, adanya perdarahan pada

daerah kepala

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan cedera

kepala adalah sebagai berikut :


a. Ketidak efektifan pola nafas b/d gangguan neuromuskular d/d

penggunaan otot bantu pernafasan, pola nafas abnormal, pernafasan cuping

hidung, dispnea
b. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d benda asing dalam jalan nafas d/d

batuk tidak efektif, dispnea, sputum dalam jumlah yang berlebihan,

perubahan frekuensi nafas, muntahan yang tertahan


c. Nyeri akut b/d agen cedera fisik (cedera kepala)d/d meringis, gelisah,

frekuensi nadi meningkat, TD meningkat, pola nafas berubah, diaphoresis


d. Resiko perfusi serebral tidak efektif b/d cedera kepala

3. Perencanaan
a. Ketidak efektifan pola nafas b/d gangguan neuromuskular d/d

penggunaan otot bantu pernafasan, pola nafas abnormal, pernafasan cuping

hidung, dispnea
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan gawat darurat selama 4x15menit

diharapkan pola nafas pasien efektif, dengan kriteria hasil:


1) Tidak ada penggunaan otot bantu nafas
2) Pola nafas normal
3) Tidak ada nafas cuping hidung
4) Dispnea berkurang

Intervensi:

1) Pertahankan ABC pasien


R/ pernafasan pasien tetap adekuat
2) Observasi TTV pasien
R/ tanda vital dalam batas normal (N:80-100x/mnt, TD: 110-120/80-90

mmHg, S: 36,5-37,50C, RR: 16-20x/mnt)


3) Berikan terapi oksigen ( nasal,masker)
R/memenuhi suplai oksigen dalam tubuh pasien

b. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d benda asing dalam jalan nafas d/d

batuk tidak efektif, dispnea, sputum dalam jumlah yang berlebihan,

perubahan frekuensi nafas, muntahan yang tertahan


Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan gawat darurat selama 4x15 menit

diharapkan bersihan jalan nafas efektif, dengan kriteria hasil:


1) Batuk efektif
2) Dispnea berkurang
3) Sputum berkurang/ tidak ada
4) Frekuensi dan pola nafas tidak berubah
5) Pasien dapat mengeluarkan muntah yang tertahan

Intervensi:
1) Pertahankan ABC pasien
R/ pernafasan pasien tetap adekuat
2) Observasi TTV pasien
R/ tanda vital dalam batas normal (N:80-100x/mnt, TD: 110-120/80-90

mmHg, S: 36,5-37,50C, RR: 16-20x/mnt)


3) Lakukan penghisapan lendir/ muntahan pada jalan nafas
R/ bersihan jalan nafas efektif
4) Buka jalan nafas pasien
R/mempertahankan jalan nafas pasien tetap bersih
5) Berikan terapi oksigen ( nasal,masker)
R/memenuhi suplai oksigen dalam tubuh pasien

c. Nyeri akut b/d agen cedera fisik (cedera kepala) d/d meringis, gelisah,

frekuensi nadi meningkat, TD meningkat, pola nafas berubah, diaphoresis


Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan gawat darurat selama 4x15 menit

diharapkan nyeri berkurang/ hilang, dengan kriteria hasil:


1) Pasien tidak meringis
2) Tidak gelisah
3) Nadi dalam batas normal (80-100x/mnt)
4) TD dalam batas normal (110-120/80-90 mmHg)
5) Pola nafas teratur
6) Tidak mengalami diaforesis

Intervensi:

1) Pertahankan ABC pasien


R/ pernafasan pasien tetap adekuat
2) Observasi TTV pasien
R/ tanda vital dalam batas normal (N:80-100x/mnt, TD: 110-120/80-90

mmHg, S: 36,5-37,50C, RR: 16-20x/mnt)


3) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,

karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi


R/ mengetahui nyeri yang dirasakan dan mengetahui terapi yang tepat

diberikan pada pasien


4) Ajarkan pasien teknik relaksasi
R/ teknik relaksasi (nafas dalam) dapat mengurangi rasa nyeri yang

dirasakan pasien
5) Kolaborasi dalam pemebrian analgetik
R/ mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien

d. Resiko perfusi serebral tidak efektif b/d cedera kepala


Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan gawat darurat selama 4x15 menit

diharapkan resiko perfusi serebral tidak efektif


Intervensi:
1) Pertahankan ABC pasien
R/ pernafasan pasien tetap adekuat
2) Observasi TTV pasien
R/ tanda vital dalam batas normal (N:80-100x/mnt, TD: 110-120/80-90

mmHg, S: 36,5-37,50C, RR: 16-20x/mnt)


3) Monitor tekanan intracranial
R/ Memantau terjadinya kenaikan tekanan intrakranial

4. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang

spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan

ditunjukan pada nursing order untuk membantu pasien mencapai tujuan yang

diharapkan. Tahap pelaksanaan adalah membantu pasien dalam mencapai

tujuan yang telah ditetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan,

pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi koping.

Perencanaan tindakan keperawatan akan dapat dilaksanakan dengan baik, jika

pasien mempunyai keinginan untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan tindakan

keperawatan.

5. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan. Evaluasi

merupakan tindakantelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang

menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan

pelaksanaannya sudah berhasil dicapai.

Вам также может понравиться