Вы находитесь на странице: 1из 49

PRESENTASI KASUS

ANEMIA MIKROSITIK HIPOKROMIK

Diajukan kepada Yth. :


dr. Rachmad Aji Saksana, M.Sc., Sp.PD

Disusun oleh :
Yuni Purwati G4A014085
Dasep Padilah G4A014086

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

2015
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

ANEMIA MIKROSITIK HIPOKROMIK

Disusun Oleh :

Yuni Purwati G4A014085


Dasep Padilah G4A014086

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di


bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Telah disetujui dan dipresentasikan

Pada tanggal : 2015

Dokter Pembimbing :

dr. Rachmad Aji Saksana, M.Sc., Sp. PD


BAB I

PENDAHULUAN

Anemia adalah masalah kesehatan masyarakat dan merupakan masalah


medik yang sering dijumpai di klinik di seluruh dunia terutama di Negara-negara
berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitass kronik yang berdampak
besar pada kesejahteraan sosial, ekonomi serta kesehatan fisik penderita. Anemia
sering tidak mendapatkan perhatian oleh karena frekuensinya yang demikian
sering.

Anemia adalah keadaan berkurangnya jumlah eritrosit atau hemoglobin


(protein pembawa O2 ) dari nilai normal dalam darah sehingga tidak dapat
memenuhi fungsinya untuk membawa O2 dalam jumlah yang cukup ke jaringan
perifer sehingga pengiriman O2 ke jaringan menurun (penurunan oxygen carrying
capacity). Anemia merupakan kondisi kurang darah yang umum terjadi ketika
jumlah eritrosit kurang dari normal atau akibat konsentrasi Hemoglobin yang
rendah dalam darah (Depkes 2008). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh
penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count).
Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia, jenis
kelamin, ketinggian tempat tinggal, serta keadaan fisiologis tertentu misalnya
kehamilan. Nilai batas ambang untuk anemia menurut WHO (2001) untuk umur
10-11 tahun <11.5 g/dl, 12-14 tahun <12 g/dl, wanita >15 tahun <12 g/dl, dan
laki-laki >15 tahun <13 g/dl. Penyebab anemia dapat karena kurangnya zat gizi
untuk pembentukan sel darah merah, misalnya zat besi, asam folat dan vitamin
B12. Tetapi yang sering terjadi adalah anemia karena kekurangan zat besi
(Rahmad, 2008).

Prevalensi anemia di dunia sangat tinggi, terutama di negara-negara


sedang berkembang termasuk Indonesia. Menurut WHO (2008), prevalensi
kejadian anemia di dunia antara tahun 1993 sampai 2005 sebanyak 24.8 persen
dari total penduduk dunia (hampir 2 milyar penduduk dunia). Di Indonesia
prevalensi anemia di kalangan pekerja memang masih tinggi. Studi mengenai
anemia pada pekerja wanita yang dilakukan di Jakarta, Bandung, Jambi, Kudus-
Jawa Tengah membuktikan bahwa anemia menurunkan produktivitas 5-10% dan
kapasitas kerjanya 6,5 jam per minggu. Anemia yang menyebabkan turunnya daya
tahan juga membuat penderita rentan terhadap penyakit (Rahmad, 2008).
BAB II
STATUS PENDERITA

A. Identitas Penderita
Nama : Nn. K.K
Umur :17 tahun
Jenis kelamin :Perempuan
Alamat :Karangmangu RT 04/03 Purwojati
Agama :Islam
Status :Belum menikah
Pekerjaan :Pelajar
Tanggal masuk RSMS : 16 Juni 2015
Tanggal periksa : 17 Juni 2015
No.CM : 00949877

B. Anamnesis
Keluhan utama :Lemas
Keluhan tambahan :Pusing nggliyeng, mudah lelah ketika beraktivitas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli penyakit dalam RSMS Purwokerto dengan keluhan
badan terasa lemas sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan
disertai rasa pusing dirasakan terus menerus dan makin memberat dengan
aktivitas fisik. Keluhan seperti muntah dan buang air besar warna hitam
berulang kali disangkal. Semakin hari pasien merasa semakin lemas dan lebih
memilih banyak beristirahat. Pasien juga mengeluhkan perut sebelah kiri
terasa keras. Pasien tidak ada riwayat transfusi darah rutin dan tidak ada
riwayat mondok dirumah sakit sebelumnya.
Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
2. Riwayat hipertensi : disangkal
3. Riwayat DM : disangkal
4. Riwayat penyakit kuning : disangkal
5. Riwayat batu ginjal : disangkal
6. Riwayat alergi : disangkal
7. Riwayat mondok : disangkal
8. Riwayat Pengobatan : disangkal
9. Riwayat operasi : disangkal

Riwayat penyakit keluarga


1. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
2. Riwayat hipertensi : disangkal
3. Riwayat DM : disangkal
4. Riwayat penyakit jantung : disangkal
5. Riwayat penyakit ginjal : disangkal

Riwayat sosial ekonomi

1. Home
Pasien tinggal serumah bersama dengan kedua orangtuanya. Rumah
pasien berada di dalam pedesaan yang jarak rumah satu dengan lainnya
cukup jauh. Sumber air menggunakan air tanah yang berasal dari sumur.
Sumber air minum menggunakan air rebusan.

2. Occupational
Pasien merupakan pelajar yang masih duduk dibangku SMA. Pembiayaan
rumah sakit menggunakan jenis pembiayaan umum.

3. Diet
Pasien makan dengan teratur. Kebutuhan karbohidrat, lemak, protein dan
vitamin cukup. Pasien mengkonsumsi buah, sayur dan air putih yang
cukup setiap harinya.

4. Drug
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol. Pasien
biasa minum obat warung atau konsumsi rebusan jamu ketika merasa
kurang enak badan.

C. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan di bangsal Mawar kamar 8.5 RSMS, 17 Juni 2015.
1. Keadaan umum : Sedang
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Vital sign
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 74 x/menit
Respiration Rate : 20 x/menit
Suhu : 36,20C
4. Berat badan : 43 kg
5. Tinggi badan : 151 cm
6. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
1) Bentuk kepala
Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-)
2) Rambut
Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut dan terdistribusi merata
3) Mata
Simetris, konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
4) Telinga
Discharge (-), deformitas (-)
5) Hidung
Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-)
6) Mulut
Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-) tepi hiperemis (+)

b. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Palpasi :JVP 5+2 cm H2O

c. Pemeriksaan thoraks
Paru
Inspeksi :Dinding dada tampak simetris, tidak tampak
ketertinggalan gerak antara hemithoraks kanan dan
kiri, kelainan bentuk dada (-), retraksi
suprasternal(-) retraksi intercostals (-)
Palpasi : Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri
Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri
Perkusi : Perkusi orientasi selurus lapang paru sonor
Batas paru-hepar SIC V LMCD
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+
Ronki basah halus-/-
Ronki basah kasar -/-
Wheezing-/-
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tampak di SIC V 2 jari medial LMCS,
pulsasi parasternal (-), pulsasi epigastrium (-)
Palpasi : Ictus Cordis teraba pada SIC V 2 jari medial LMCS
dan kuat angkat (-)
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC V 2 jari medial LMCS
Auskultasi : A1>A2, P1>P2, M1>M2, T1>T2 reguler
Gallop (-), Murmur (-)
d. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : Datar, supel
Auskultasi : Bising usus (+)
Perkusi : Timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
Palpasi : Nyeri tekan (+), undulasi (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : schuffner 3
e. Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas inferior
superior

Dextra Sinistra Dextra Sinistra

Edema - - - -

Sianosis - - - -

Akral dingin - - - -

Reflek fisiologis + + + +

Reflek patologis - - - -

D. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium tanggal 17 Juni 2015 pukul 19:17 dan 19 Juni 2015 pukul
16:02
Hematologi
Darah Lengkap
Hemoglobin : 5,6 g/dl ↓ (12 – 16 g/dl)
Hematokrit : 17 % ↓ (37 – 47%)
Leukosit : 3200 ↓ (4800-10.800)
Eritrosit : 2,4 ↓ (4,7-6,1 10^6/uL)
Trombosit : 86000 ↓ (150.000-450.000)

MCV : 71,4 ↓ 79.0 – 99.0

MCH : 22,3 ↓ 27.0 – 31.0

MCHC : 31,2 ↓ 33.0 – 37.0

RDW : 19,9 ↑ 11.5 – 14.5

MPV : 12,4 ↑ 7,2 - 11,1

Hitung Jenis Leukosit :

Basofil : 0,0 0.0 – 1.0


Eosinofil : 0,6 ↓ 2.0 – 4.0

Batang : 0,9 ↓ 2.0 – 5.0

Segmen : 74,4 ↑ 40.0- 70.0

Limfosit : 16,9 ↓ 25.0 – 40.0

Monosit : 7,2 2.0 – 8.0

Kimia klinik

LDH : 236 ↑

Serum Iron : 185 ↑

TIBC : 442

Gambaran darah tepi


Eritrosit : anisositosis, poikilositosis (ovalosit, pear sel, tear drop
Sel, sel target).
Lekosit : kesan jumlah normal, bentuk normal, blast negative
Trombosit : kesan jumlah normal, bentuk normal, clumping negative
Kesan : anemia hipokromik mikrositik curiga fe defisiensi

Hematologi (19/6/2015)
Analisis HB
HbA2 : 8,0 1,5 - 3,7
HbF : <1,0 <1

E. Diagnosis
Anemia Mikrositik Hipokromik

F. Usulan Pemeriksaan Penunjang


- Pemeriksaan Darah Lengkap
- Evaluasi pemeriksaan elektrofoesis 3 bulan lagi

G. Penatalaksanaan
Non Farmakologi
1. Bed rest
2. Makan sayur-sayuran hijau dan kacang-kacangan
3. Kurangi konsumsi makanan pedas, kecut, santan, kopi, dan makanan
manis
4. Olahraga 3-4 kali/minggu @30 menit
Farmakologi :
1. IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
2. P.o vitamin C 2x1 tab
3. P.o Asam folat 3x1 tab

Planning

Transfusi PRC sampai dengan HB ≥ 10

Monitoring

1. Keadaan umum, tekanan darah dan tanda vital lain


2. Keseimbangan cairan
3. Deteksi dini terhadap timbulnya komplikasi
4. Efek samping obat
5. Hemoglobin

H. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Anemia merupakan kondisi kurang darah yang terjadi bila kadar


hemoglobin darah kurang dari normal (Depkes 2008). Nilai tersebut
berbeda-beda untuk kelompok umur dan jenis kelamin sebagaimana
ditetapkan oleh WHO seperti tercantum pada tabel 1.

Tabel 1. Batas normal kadar hemoglobin (WHO, 2008)


Penggolongan jenis anemia menjadi ringan, sedang, dan berat
belum ada keseragaman mengenai batasannya, hal ini disebabkan oleh
perbedaan kelompok umur, kondisi penderita, komplikasi dengan
penyakit lain, keadaan umum gizi penderita, lamanya menderita anemia,
dan lain-lain yang sulit dikelompokkan. Akan tetapi, menurut Husaini
(1989) bahwa semakin rendah kadar Hb, makin berat anemia yang
diderita. Menurut Depkes (2001), anemia dibagi menjadi 2 derajat yaitu
anemia sedang dan anemia berat. Anemia sedang bila kadar Hb 8-11 g%
dan dikatakan anemia berat bila Hb < 8 g%
Anemia mikrositik hipokromik adalah suatu kondisi dimana
ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan mengandung konsentrasi
hemoglobin yang juga kurang dari normal (indeks eritrosit: MCV < 73fl,
MCH <23 pg, MCHC 26-35%). Penyebab anemia mikrositik hipokromik
antara lain: anemia defisiensi besi, thalassemia major, anemia akibat
penyakit kronik dan anemia sideroblastik.

1. ANEMIA DEFISIENSI BESI


A. Definisi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat
kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga
penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya
pembentukan hemoglobin berkurang.
Dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh, maka defisiensi
dapat dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu (Purnami, 2007) :
a. Iron depleted state, yaitu cadanagn besi menururn, tetapi
penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu.
b. Iron deficient erythropoiesis, yaitu cadangan besi kosong
penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu, tetapi belum timbul
anemia secara laboratorik.
c. Iron deficiency anemia, yaitu cadangan besi kosong disertai anemia
defisiensi besi.
Defisiensi besi merupakan penyebab anemia di dunia dan
sering dijumpai pada perempuan usia subur, disebabkan oleh
kehilangan darah sewaktu menstruasi dan kebutuhan besi selama
kehamilan. Penyebab lain anemia defisiensi besi adalah asupan besi
yang tidak cukup misalnya pada bayi-bayi yang hanya diberi diet susu
saja selama 12-24 bulan dan pada individu-individu tertentu yang
vegetarian ketat. Gangguan absorbsi setelah gastrektomi dan
kehilangan darah menetap, seperti pada perdarahan saluran cerna
lambat akibat polip, neoplasma, gastritis, varises esophagus, ingesti
aspirin, dan hemoroid.

B. Etiologi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh :
a. Kebutuhan besi yang meningkat secara fisiologis, seperti pada
prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan,dan kehamilan.
b. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, yang dapat
berasal dari :
 Saluran cerna : tukak peptik, kanker lambung, kanker kolon,
infeksi cacing tambang
 Saluran genitalia wanita : menorrhagia
 Saluran kemih : hematuria
 Saluran napas : hemoptoe
c. Kurangnya besi yang diserap
 Masukan besi dari makanan yang tidak adekuat akibat
kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi
(boavalaibilitas) besi yang tidak baik.
 Malabsorpsi besi : gastrektomi, tropical sprue atau kolitis
kronik.
d. Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis ke dalam sirkulasi ibu akan
menyebabkan anemia defisiensi besi pada masa fetus dan pada
awal masa neonatus.
e. Latihan yang berlebihan
Pada atlit yang berolahraga berat seperti olah raga lintas alam
memiliki kadar feritin serum < 10 µg/dl
C. Patofisiologi
Patogenesis anemia defisiensi besi dimulai ketika cadangan besi
dalam tubuh habis yang ditandai dengan menurunnya kadar feritin yang
diikuti juga oleh saturasi transferin dan besi serum. Penurunan saturasi
transferin disebabkan tidak adanya besi di dalam tubuh sehingga
apotransferin yang dibentuk hati menurun dan tidak terjadi pengikatan
dengan besi sehingga transferin yang terbentuk juga sedikit. Sedangkan
total iron binding protein (TIBC) atau kapasitas mengikat besi total yang
dilakukan oleh transferin mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan
karena tidak adanya besi di dalam tubuh sehingga transferin berusaha
mengikat besi dari manapun dengan meningkatkan kapasitasnya.
Dalam tubuh manusia, sintesis eritrosit atau eritropoesis terus
berlangsung dengan memerlukan besi yang akan berikatan dengan
protoporfirin untuk membentuk heme. Pada anemia defisiensi besi, besi
yang dibutuhkan tidak tersedia sehingga heme yang terbentuk hanya
sedikit dan pada akhirnya jumlah hemoglobin yang dibentuk juga
berkurang. Dengan berkurangnya Hb yang terbentuk, eritrosit pun
mengalami hipokromia (pucat). Hal ini ditandai dengan menurunnya
MCHC (mean corpuscular Hemoglobin Concentration) < 32%. Sedangkan
protoporfirin terus dibentuk eritrosit sehingga pada anemia defisiensi besi,
protoporfirin eritrosit bebas (FEP) meningkat. Hal ini dapat menjadi
indikator dini sensitif adanya defisiensi besi.
Di sisi lain, enzim penentu kecepatan yaitu enzim ferokelatase
memerlukan besi untuk menghentikan sintesis heme. Padahal besi pada
anemia defisiensi besi tidak tersedia sehingga pembelahan sel tetap
berlanjut selama beberapa siklus tambahan namun menghasilkan sel yang
lebih kecil (mikrositik). Hal ini ditandai dengan menurunnya MCV (mean
corpuscular volume) < 80 fl.

D. Manifestasi Klinis

Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan


besar, yaitu :
a. Gejala umum anemia
Kadar Hb < 7-8 g/dl dengan gejala badan lemah, lesu, cepat lelah,
pucat, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging.
b. Gejala khas akibat defisiensi besi
Gejala khas pada anemia defisiensi besi yang tidak dijumpai pada
anemia jenis lain :
1. Koilonychia yaitu kuku mudah rapuh, bergaris-garis vertikal dan
menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok (spoon nail).
2. Atrofi papil lidah yaitu permukaan lidah menjadi licin dan
mengkilap karena papil lidah menghilang.
3. Stomatitis angularis yaitu adanya keradangan pada sudut mulut
sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
4. Disfagia yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
5. Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia.
c. Gejala penyakit dasar
Pada anemi defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang
menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut, misalnya pada
anemia akibat penyakit cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis
membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami.

E. Penegakan Diagnosis
Diagnosis anemia defisiensi besi ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium yang dapat mendukung
sehubungan dengan gejala klinik yang sering tidak khas.
a. Anamnesis
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul
karena iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh
terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap
kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu(Hb
<7 g/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah,
telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa
dingin, sesak nafas, dan dispepsia (Bakta, 2009).
Anamnesis ditujukan untuk mengeksplorasi :
 Riwayat penyakit sekarang.
 Riwayat penyakit terdahulu.
 Riwayat gizi.
 Anamnesis mengenai lingkungan, pemaparan bahan kimia fisik
serta riwayat pemakaian obat.
b. Pemeriksaan fisik
Tujuan utamanya adalah untuk menilai beratnya kondisi penderita
(Oehardian, 2012). Pemeriksaan fisik terhadap pasien pada
konjungtiva mata, warna kulit, kuku, mulut, dan papil lidah apakah
terdapat gejala umum anemia/ sindrom anemia. Pada pasien biasanya
ditemukan disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku
sendok.

c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium meliputi :
 pemeriksaan index eritrosit, retikulosit, morfologi darah tepi.
 pemeriksaan darah rutin seperti Hb, PCV, leukosit, trombosit.
 pemeriksaan status besi (Fe serum, TIBC, saturasi transferin, FEP,
feritin)
 apus sumsum tulang.
Menurut Guillermo dan Arguelles (Riswan, 2003) pemeriksaan yang
dapat dilakukan antara lain:
a) Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu
ukuran kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah
anemia berkembang. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat
dilakukan dengan menggunakan alat sederhana seperti Hb sachli,
yang dilakukan minimal 2 kali selama kehamilan, yaitu trimester I
dan III.
b) Penentuan Indeks Eritrosit
Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan
flowcytometri atau menggunakan rumus:
1) Mean Corpusculer Volume (MCV)
MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun
apabila kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat
anemia mulai berkembang. MCV merupakan indikator
kekurangan zat besi yang spesiflk setelah thalasemia dan anemia
penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan membagi
hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai normal 70-100
fl, mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl.
2) Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)
MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah
merah. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan angka
sel darah merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom <
27 pg dan makrositik > 31 pg.
3) Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)
MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata.
Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai
normal 30-35% dan hipokrom < 30%.
c) Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer
Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual.
Pemeriksaan menggunakan pembesaran 100 kali dengan
memperhatikan ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel darah merah.
Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah dapat dilihat
pada kolom morfology flag.
d) Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW)
Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah
yang masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter
lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi
dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang
tidak kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi
hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka
dari besi serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV
rendah bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan
dari kekurangan zat besi, dan apabila disertai dengan eritrosit
protoporphirin dianggap menjadi diagnostik. Nilai normal 15 %.
e) Eritrosit Protoporfirin (EP)
EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya
membutuhkan beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak
terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut kekurangan besi
eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan kekurangan besi
terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu,
sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi
individu yang luas. EP secara luas dipakai dalam survei populasi
walaupun dalam praktik klinis masih jarang.

f) Besi Serum (Serum Iron = SI)


Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun
setelah cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh.
Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal yang luas dan
spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan
setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi
kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi serum
dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak
status besi yang spesifik.
g) Serum Transferin (Tf)
Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama
dengan besi serum. Serum transferin dapat meningkat pada
kekurangan besi dan dapat menurun secara keliru pada peradangan
akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan.
h) Transferrin Saturation (Jenuh Transferin)
Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan
mengikat besi, merupakan indikator yang paling akurat dari suplai
besi ke sumsum tulang.Penurunan jenuh transferin dibawah 10%
merupakan indeks kekurangan suplai besi yang meyakinkan terhadap
perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat menurun pada
penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi
populasi yang disertai dengan indikator status besi lainnya. Tingkat
jenuh transferin yang menurun dan seru feritin sering dipakai untuk
mengartikan kekurangan zat besi.Jenuh transferin dapat diukur
dengan perhitungan rasio besi serum dengan kemampuan mengikat
besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara khusus
oleh plasma.
i) Serum Feritin
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan
sensitif untuk menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin
secara luas dipakai dalam praktek klinik dan pengamatan populasi.
Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi,
yang berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat
dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan zat besi. Rendahnya
serum feritin menunjukan serangan awal kekurangan zat besi, tetapi
tidak menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena
variabilitasnya sangat tinggi.
Penafsiran yang benar dari serum feritin terletak pada
pemakaian range referensi yang tepat dan spesifik untuk usia dan
jenis kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah
pada wanita dari pria, yang menunjukan cadangan besi lebih rendah
pada wanita. Serum feritin pria meningkat pada dekade kedua, dan
tetap stabil atau naik secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada
wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai meningkat
sampai sama seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini
mencerminkan penghentian mensturasi dan melahirkan anak.
Pada wanita hamil serum feritin jatuh secara dramatis dibawah
20 ug/l selama trimester II dan III bahkan pada wanita yang
mendapatkan suplemen zat besi. Serum feritin adalah reaktan fase
akut, dapat juga meningkat pada inflamasi kronis, infeksi,
keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum feritin diukur dengan
mudah memakai Essay immunoradiometris (IRMA),
Radioimmunoassay (RIA), atau Essay immunoabsorben (Elisa).

Diagnosis diferensial
Normal ADB Anemia Thalasemia
penyakit
kronik
MCV 80 – 90 fl Menurun Menurun/N Menurun
<70 fl
MCH 27 – 31 pg Menurun Menurun/N Menurun
Besi serum 50 – 150 Menurun Menurun Normal
μg/dL <50 μg/dL
TIBC 240 – 360 Meningkat Menurun Normal/
μg/dL >360 μg/dL Meningkat
Saturasi 30 – 35% Menurun Menurun/N Meningkat
transferin < 15% 10-20% >20%
Besi Positif Negatif Positif Positif kuat
sumsum
tulang
FEP 15 – 18 Meningkat Meningkat Normal
μg/dL >100 μg/dL
Feritin 20 – 250 Menurun Normal Meningkat
serum μg/dL <20 μg/dL >50 μg/dL
Elektrofoesis Normal Normal Hb A2
Hb meningkat

F. Penatalaksanaan
a. Preventif
 Pendidikan kesehatan, yaitu kesehatan lingkungan dan penyuluhan
gizi.
 Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan
kronik paling sering di daerah tropik.
 Suplementasi besi.
 Fortifikasi bahan makanan dengan besi.
b. Kuratif
 Terapi kausal yaitu dengan mengatasi terlebih dahulu penyebab
utamanya
 Pemberian preparat Fe
- Ferrous sulphat 3 x 325 mg per oral dalam keadaa perut kosong
- Ferrous gluconate 3 x 200 mg per oral setelah makan
- Iron dextran (mengandung Fe 50 mg/ml) IM, mula-mula 50 mg
kemudian 100-200 mg setiap 1-2 hari. Bisa juga secara IV, mula-
mula 0,5 ml sebgai dosis percobaan, dan bila 3-5 menit tidak ada
reaksi diberikan 250-500 mg
 Transfusi PRC
Pemberian transfusi darah harus melalui indikasi
pemberian, diantaranya yaitu:

1. Anemia pada perdarahan akut setelah didahului penggantian


volume dengan cairan

2. Anemia kronis jika Hb tidak dapat ditingkatkan dengan cara lain


3. Gangguan pembekuan darah karena defisiensi komponen
4. Plasma loss atau hipoalbuminemia jika tidak dapat lagi diberikan
plasma subtitute atau larutan albumin
Pada pasien dengan anemia, transfusi baru diberikan jika
terdapat tanda “oxygen need”
1. Rasa sesak
2. Mata berkunang
3. Berdebar (palpitasi)
4. Pusing
5. Gelisah
6. Hb<6 gr/dl
 Vitamin C 3 x 100 mg per hari untuk meningkatkan absorpsi besi
Diet makanan bergizi dengan tinggi protein
Terapi sebaiknya ditunjukan kepada penyakit yang mendasari. Jika
penyakitnya tidak responsif terhadap terapi, berikan terapi suportif dengan
transfusi darah, yang diulangi beberapa kali untuk meminimalkan gejala
(Davey, 2005).
G. Prognosis
Prognosis baik apabila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi
saja dan diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan
yang adekuat.
Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa
kemungkinan sebagai berikut :
- Diagnosis salah
- Dosis obat tidak adekuat
- Preparat Fe tidak tepat atau kadaluarsa
- Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak
berlangsung menetap
- Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi
(infeksi, keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal,penyakit
tiroid,penyakit defisiensi vitamin B12, asam folat ).
- Gangguan absorpsi saluran cerna

H. Komplikasi (Davey, 2005)


Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan anemia (Davey, 2005):
1) Reaksi transfusi, segera (anafilaksis) atau lambat. Reaksi minor (sering
pada mereka yang menjalani banyak transfusi menyebabkan demam
(pasca) transfusi dan mempersingkat masa hidup eritrosit yang
ditransfusikan.
2) Transfusi dalam jumlah banyak bisa memicu gagal jantung atau gagal
hemostatik (zat pengawet darah mengkelasi kalsium, sehingga
menghambat proses pembekuan).
3) Transfusi virus, khususnya HIV dan hepatitis B atau C. Di banyak
negara dilakukan skrining semua darah untuk mencari adanya patogen
ini.
4) Kelebihan Fe pada mereka yang banyak mendapat transfusi (misalnya
pada anemia herediter)
5) Supresi immun
6) Penyakit organ cangkok versus pejamu (graft versus host disease)

2. THALASEMIA

A. Definisi

Thalasemia adalah sekelompok heterogen gangguan genetik pada


sintesis hemoglobin yang ditandai dengan tidak ada atau berkurangnya
sintesis rantai globin. Thalassemia merupakan sekelompok anemia
hipokromik herediter dengan berbagai derajat keparahan. Defek genetik
yang mendasari meliputi delesi total atau parsial gen globin dan substitusi,
delesi, atau insersi nukleotida. Akibat dari berbagai perubahan ini adalah
penurunan atau tidak adanya mRNA bagi satu atau lebih rantai globin atau
pembentukan mRNA yang cacat secara fungsional sehingga mengakibatkan
penurunan dan supresi total sintesis rantai polipeptida Hb (Sudoyo, 2009).
B. Epidemiologi
Penyebaran thalasemia mulai dari Mediterania, Timur Tengah, Anak
Benua (sub-continent) India dan Burma, serta di daerah sepanjang garis
antara Cina bagian selatan, Thailand, semenanjung Malaysia, kepulauan
Pasifik dan Indonesia. Daerah-daerah tersebut lazim disebut daerah sabuk
thalassemia, dengan kisaran prevalens thalassemia sebesar 2,515%. World
Health Organization (WHO) pada tahun 1994 menyatakan bahwa tidak
kurang dari 250 juta penduduk dunia, yang meliputi 4,5% dari total
penduduk dunia adalah pembawa sifat (bentuk heterozigot). Dari jumlah
tersebut sebanyak 80-90 juta adalah pembawa sifat thalassemia β dan
sisanya adalah pembawa sifat thalassemia α, jenis lain pembawa sifat
hemoglobin varian seperti HbE, HbS, HbO, dan lain-lain. Saat ini sekitar 7%
dari total penduduk dunia adalah pembawa sifat kelainan ini. Di Indonesia,
thalassemia merupakan kelainan genetik yang paling banyak ditemukan.
Angka pembawa sifat thalassemia β adalah 3-5%, bahkan di beberapa
daerah mencapai 10%, sedangkan angka pembawa sifat HbE berkisar antara
1,5-36%. Berdasarkan hasil penelitian di atas dan dengan memperhitungkan
angka kelahiran dan jumlah penduduk Indonesia, diperkirakan jumlah pasien
thalassemia baru yang lahir setiap tahun di Indonesia cukup tinggi, yakni
sekitar 2.500 anak (HTA Indonesia, 2010).
C. Klasifikasi
Saat ini dikenal sejumlah besar sindrom thalasemia; masing-masing
melibatkan penurunan produksi satu atau lebih rantai globin, yang
membentuk bermacam-macam jenis Hb yang ditemukan pada sel darah
merah. Jenis yang paling penting dalam praktek klinis adalah sindrom yang
mempengaruhi baik sintesis rantai α maupun β (Yaish, 2013)
1. Thalassemia-α
Delesi gen globin-α menyebabkan sebagian besar kelainan ini.
Terdapat empat gen globin-α pada individu normal, dan empat bentuk
thalassemia-α yang berbeda telah diketahui sesuai dengan delesi satu,
dua, tiga, dan semua empat gen ini (Yaish, 2013).
Tabel 1. Thalassemia-α

Jumlah Presentasi Hemoglobin Elektroforesis


Genotip
gen α Klinis Saat Lahir > 6 bulan
αα/αα 4 Normal N N
-α/αα 3 Silent carrier 0-3 % Hb Barts N
--/αα atau 2 Trait thal-α 2-10% Hb Barts N
–α/-α
--/-α 1 Penyakit Hb H 15-30% Hb Bart Hb H
--/-- 0 Hydrops fetalis >75% Hb Bart -
Keterangan :
N = hasil normal, Hb = hemoglobin, Hb Bart’s = γ4, HbH = β4
a. Silent Carrier Thalassemia-α
Pada tipe silent carrier, salah satu gen α pada kromosom 16
menghilang, menyisakan hanya 3 dari 4 gen tersebut. Penderita sehat
secara hematologis, hanya ditemukan adanya jumlah eritrosit yang
rendah dalam beberapa pemeriksaan. Pada tipe ini, diagnosis tidak
dapat dipastikan dengan pemeriksaan elektroforesis Hb, sehingga
harus dilakukan tes lain yang lebih canggih. Bisa juga dicari akan
adanya kelainan hematologi pada anggota keluarga (misalnya
orangtua) untuk mendukung diagnosis. Pemeriksaan darah lengkap
pada salah satu orangtua yang menunjukkan adanya hipokromia dan
mikrositosis tanpa penyebab yang jelas merupakan bukti yang cukup
kuat menuju diagnosis thalassemia (Yaish, 2013).
b. Trait Thalassemia-α
Trait ini dikarakterisasi dengan anemia ringan dan jumlah sel darah
merah yang rendah. Kondisi ini disebabkan oleh hilangnya 2 gen α
pada satu kromosom 16 atau satu gen α pada masing-masing
kromosom. Kelainan ini sering ditemukan di Asia Tenggara, India dan
Timur Tengah. Pada bayi baru lahir yang terkena, sejumlah kecil Hb
Barts (γ4) dapat ditemukan pada elektroforesis Hb. Setelah umur satu
bulan, Hb Barts tidak terlihat lagi, dan kadar Hb A2 dan HbF secara
khas normal (Yaish, 2013).
c. Penyakit Hb H
Kelainan disebabkan oleh hilangnya 3 gen globin α, merepresentasikan
thalassemia-α intermedia, dengan anemia sedang sampai berat,
splenomegali, ikterus dan jumlah sel darah merah yang abnormal. Pada
sediaan apus darah tepi yang diwarnai dengan pewarnaan supravital
akan tampak sel-sel darah merah yang diinklusi oleh rantai tetramer β
(Hb H) yang tidak stabil dan terpresipitasi di dalam eritrosit, sehingga
menampilkan gambaran golf ball. Badan inklusi ini dinamakan sebagai
Heinz bodies (Yaish, 2013)

Gambar 2. Pewarnaan supravital pada sapuan apus darah tepi


Penyakit Hb H yang menunjukkan Heinz-Bodies.

d. Thalassemia-α Mayor
Bentuk thalassemia yang paling berat, disebabkan oleh delesi
semua gen globin-α, disertai dengan tidak ada sintesis rantai α sama
sekali. Karena Hb F, Hb A, dan Hb A2 semuanya mengandung rantai
α, maka tidak satupun dari Hb ini terbentuk. Hb Barts (γ4)
mendominasi pada bayi yang menderita dan karena γ4 memiliki
afinitas oksigen yang tinggi, maka bayi itu mengalami hipoksia berat.
Eritrositnya juga mengandung sejumlah kecil Hb embrional normal
(Hb Portland = ζ2γ2) yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen
(Yaish, 2013).
Kebanyakan dari bayi-bayi ini lahir mati, dan kebanyakan dari
bayi yang lahir hidup meninggal dalam waktu beberapa jam. Bayi ini
sangat hidropik, dengan gagal jantung kongestif dan edema anasarka
berat. Yang dapat hidup dengan manajemen neonatus agresif juga
nantinya akan sangat bergantung dengan transfusi.

2. Thalassemia-β
Sama dengan thalassemia-α, dikenal beberapa bentuk klinis dari
thalassemia-β, antara lain :

a. Silent Carrier Thalassemia-β


Penderita tipe ini biasanya asimtomatik, hanya ditemukan nilai
eritrosit yang rendah. Mutasi yang terjadi sangat ringan, dan
merepresentasikan suatu thalassemia-β+. Bentuk silent carrier
thalassemia-β tidak menimbulkan kelainan yang dapat diidentifikasi
pada individu heterozigot, tetapi gen untuk keadaan ini, jika
diwariskan bersama-sama dengan gen untuk thalassemia-β°,
menghasilkan sindrom thalassemia intermedia.
Gambar 3. Thalassemia β menurut Hukum Mendel

b. Trait Thalassemia-β
Penderita mengalami anemia ringan, nilai eritrosit abnormal,
dan elektroforesis Hb abnormal dimana didapatkan peningkatan
jumlah Hb A2, Hb F atau keduanya. Individu dengan ciri (trait)
thalassemia sering didiagnosis salah sebagai anemia defisiensi besi dan
mungkin diberi terapi yang tidak tepat dengan preparat besi selama
waktu yang panjang. Lebih dari 90% individu dengan trait
thalassemia-β mempunyai peningkatan Hb-A2 yang berarti (3,4%-7%)
(Yaish, 2013).
Kira-kira 50% individu ini juga mempunyai sedikit kenaikan
HbF, sekitar 2-6%. Pada sekelompok kecil kasus, yang benar-benar
khas, dijumpai Hb A2 normal dengan kadar HbF berkisar dari 5%
sampai 15%, yang mewakili thalassemia tipe δβ (Yaish, 2013).

c. Thalassemia-β Yang Terkait Dengan Variasi Struktural Rantai β


Presentasi klinisnya bervariasi dari seringan thalassemia media
hingga seberat thalassemia-β mayor. Ekspresi gen homozigot
thalassemia (β+) menghasilkan sindrom mirip anemia Cooley yang
tidak terlalu berat (thalassemia intermedia). Deformitas skelet dan
hepatosplenomegali timbul pada penderita ini, tetapi kadar Hb mereka
biasanya bertahan pada 6-8 gr/dL tanpa transfuse (Yaish, 2013).
Kebanyakan bentuk thalassemia-β heterozigot terkait dengan
anemia ringan. Kadar Hb khas sekitar 2-3 gr/dL lebih rendah dari nilai
normal menurut umur. Eritrosit adalah mikrositik hipokromik dengan
poikilositosis, ovalositosis, dan seringkali bintik-bintik basofil. Sel
target mungkin juga ditemukan tapi biasanya tidak mencolok dan tidak
spesifik untuk thalassemia. MCV rendah, kira-kira 65 fL, dan MCH
juga rendah (<26 pg). Penurunan ringan pada ketahanan hidup eritrosit
juga dapat diperlihatkan, tetapi tanda hemolisis biasanya tidak ada.
Kadar besi serum normal atau meningkat (Yaish, 2013).

d. Thalassemia-β° Homozigot (Anemia Cooley, Thalassemia Mayor)


Ditandai dengan anemia hemolitik kronis yang progresif
selama 6 bulan kedua kehidupan. Transfusi darah yang reguler
diperlukan pada penderita ini untuk mencegah kelemahan yang amat
sangat dan gagal jantung yang disebabkan oleh anemia. Tanpa
transfusi, 80% penderita meninggal pada 5 tahun pertama kehidupan.
Pada kasus yang tidak diterapi atau pada penderita yang jarang
menerima transfusi pada waktu anemia berat, terjadi hipertrofi jaringan
eritropoetik disumsum tulang maupun di luar sumsum tulang. Tulang-
tulang menjadi tipis dan fraktur patologis mungkin terjadi. Ekspansi
masif sumsum tulang di wajah dan tengkorak menghasilkan bentuk
wajah yang khas.

Gambar 4. Deformitas tulang pada thalassemia beta mayor (Facies


Cooley)
Pucat, hemosiderosis, dan ikterus sama-sama memberi kesan
coklat kekuningan. Limpa dan hati membesar karena hematopoesis
ekstrameduler dan hemosiderosis. Pada penderita yang lebih tua, limpa
mungkin sedemikian besarnya sehingga menimbulkan
ketidaknyamanan mekanis dan hipersplenisme sekunder. Pertumbuhan
terganggu pada anak yang lebih tua; pubertas terlambat atau tidak
terjadi karena kelainan endokrin sekunder. Diabetes mellitus yang
disebabkan oleh siderosis pankreas mungkin terjadi. Komplikasi
jantung, termasuk aritmia dan gagal jantung kongestif kronis yang
disebabkan oleh siderosis miokardium sering merupakan kejadian
terminal.

Kelainan morfologi eritrosit pada penderita thalassemia-β°


homozigot yang tidak ditransfusi adalah ekstrem. Disamping
hipokromia dan mikrositosis berat, banyak ditemukan poikilosit yang
terfragmentasi aneh (sel bizarre) dan sel target. Sejumlah besar eritrosit
yang berinti ada di darah tepi, terutama setelah splenektomi. Inklusi
intraeritrositik yang merupakan presipitasi kelebihan rantai α, juga
terlihat pasca splenektomi. Kadar Hb turun secara cepat menjadi < 5
gr/dL kecuali mendapat transfusi. Kadar serum besi tinggi dengan
saturasi kapasitas pengikat besi (iron binding capacity). Gambaran
biokimiawi yang nyata adalah adanya kadar HbF yang sangat tinggi
dalam eritrosit.

D. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
a. Pemberian iron chelating agent (desferoxamine) : diberikan setelah
kadar feritin serum sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi
transferin lebih 50%, atau sekitar 10-20 kali transfusi darah.
Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg berat badan/hari subkutan
melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal selama
5 hari berturut setiap selesai transfusi darah.
b. Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk
meningkatkan efek kelasi besi.
c. Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
d. Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat
memperpanjang umur sel darah merah
3. Bedah
a. Splenektomi, dengan indikasi :
i. limpa yang terlalu besar, sehingga
membatasi gerak penderita, menimbulkan peningkatan tekanan
intraabdominal dan bahaya terjadinya ruptur
ii. hipersplenisme ditandai dengan
peningkatan kebutuhan transfusi darah atau kebutuhan suspensi
eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu tahun.
b. Transplantasi sumsum tulang telah memberi harapan baru bagi
penderita thalasemia dengan lebih dari seribu penderita thalasemia
mayor berhasil tersembuhkan dengan tanpa ditemukannya akumulasi
besi dan hepatosplenomegali. Keberhasilannya lebih berarti pada
anak usia dibawah 15 tahun. Seluruh anak anak yang memiliki HLA-
spesifik dan cocok dengan saudara kandungnya di anjurkan untuk
melakukan transplantasi ini.
4. Suportif
a. Tranfusi Darah
Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl.
Dengan kedaan ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang
adekuat, menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat
mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita.
Pemberian darah dalam bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB
untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl.
b. Diet
Pasien dianjurkan menjalani diet normal, dengan suplemen
sebagai berikut : asam folat, asam askorbat (vitamin C) dosis rendah,
dan alfa-tokoferol (vitamin E). Sebaiknya zat besi tidak diberikan,
dan makanan yang kaya akan zat besi juga dihindari. Kopi dan teh
diketahui dapat membantu mengurangi penyerapan zat besi di usus.
Pemeriksaan penunjang yang dapat mendukung untuk mencari
tempat asal perdarahan yaitu:
a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan tersebut dilakukan dalam berbagai posisi terutama
pada daerah 1/3 distal esophagus, kardia, dan fundus lambung
untuk mencari adanya varises.
b. Pemeriksaan Endoskopi
Pemeriksaan ini menjadi dangat penting untuk menentukan dengan
tepat letak asal atau sumber perdarahan.
E. Pencegahan
Pencegahan thalassemia terutama ditujukan untuk menurunkan
jumlah bayi lahir dengan thalassemia mayor. Ada 2 pendekatan target dalam
pencegahan thalassemia yaitu secara retrospektif dan prospektif. Pendekatan
retrospektif dilakukan dengan cara melakukan penelusuran terhadap anggota
keluarga dengan riwayat keluarga menderita thalassemia mayor. Sementara
pendekatan prospektif dilakukan dengan melakukan skrining untuk
mengidentifikasi karier thalassemia pada populasi tertentu. Secara garis
besar bentuk pencegahan thalassemia dapat berupa edukasi tentang penyakit
thalassemia pada masyarakat, skrining (carrier testing), konseling genetika
pranikah, dan diagnosis prenatal (HTA Indonesia, 2010).
 Edukasi
Edukasi masyarakat tentang penyakit thalassemia memegang
peranan yang sangat penting dalam program pencegahan. Masyarakat
harus diberi pengetahuan tentang penyakit yang bersifat genetik dan
diturunkan, terutama tentang thalassemia dengan frekuensi kariernya yang
cukup tinggi di masyarakat. Pendidikan genetika harus diajarkan di
sekolah, demikian pula pengetahuan tentang gejala awal thalassemia.
Media massa harus dapat berperan lebih aktif dalam menyebarluaskan
informasi tentang thalassemia, meliputi gejala awal, cara penyakit
diturunkan dan cara pencegahannya.

 Skrining Karier
Skrining massal dan konseling genetika telah berhasil di Italia,
Yunani dan tempat yang memiliki fekuensi gen thalassemia tinggi.
Skrining pada populasi (skrining prospektif) dikombinasikan dengan
diagnostik pranatal telah menurunkan insidens thalassemia secara
dramatis.
Skrining thalassemia ditujukan untuk menjaring individu karier
thalassemia pada suatu populasi, idealnya dilakukan sebelum memiliki
anak. Skrining ini bertujuan untuk mengidentifikasi individu dan pasangan
karier, dan menginformasikan kemungkinan mendapat anak dengan
thalassemia dan pilihan yang dapat dilakukan untuk menghindarinya.
Target utama skrining adalah penemuan β- dan α o thalassemia, serta Hb S,
C, D, E.
Skrining dapat dilakukan di sekolah, klinik dokter keluarga, klinik
keluarga berencana, klinik antenatal, saat pranikah, atau pada saat bayi
baru lahir. Pada daerah dengan risiko tinggi dapat dilakukan program
skrining khusus pranikah atau sebelum memiliki anak.
Pendekatan genetik klasik dalam mendeteksi karier berdasarkan
penelusuran silsilah keluarga dianggap kurang efektif dibanding dengan
skrining populasi. Bila ada individu yang teridentifikasi sebagai karier,
maka skrining pada anggota keluarga yang lain dapat dilakukan. Skrining
silsilah genetik khususnya efektif pada daerah yang sering terjadi
perkawinan antar kerabat dekat. Algoritma skrining identifikasi karier
rekomendasi the Thalassemia International Federation (2003) mengikuti
alur pada gambar sebagai berikut :

Gambar 5. Algoritma skrining thalassemia


Metode pemeriksaan thalassemia yang definitif dan akurat meliputi
pemeriksaan kualitatif HbA2, HbF, rasio sintesis rantai globin dan analisis
DNA untuk mengetahui mutasi spesifik. Namun, semua pemeriksaan ini
mahal. Pasien thalassemia selalu mengalami anemia hipokrom (MCH < 26
pg) dan mikrositik (MCV < 75 fl), karenanya kedua kelainan ini tepat
digunakan untuk pemeriksaan awal karier thalassemia. Kemungkinan
anemia mikrositik akibat defisiensi besi harus disingkirkan melalui
pemeriksaan porfirin bebas eritrosit, feritin serum atau kadar besi serum,
dengan total iron-binding capacity.
 Konseling genetika
Informasi dan konseling genetika harus tersedia ditempat skrining
karier dilakukan. Tenaga kesehatan tidak boleh memaksa orang untuk
menjalani skrining dan harus mampu menginformasikan pada peserta
skirining bila mereka teridentifikasi karier dan implikasinya. Prinsip dasar
dalam konseling adalah bahwa masing-masing individu atau pasangan
memiliki hak otonomi untuk menentukan pilihan, hak untuk mendapat
informasi akurat secara utuh, dan kerahasiaan mereka terjamin penuh. Hal
yang harus diinformasikan berhubungan dengan kelainan genetik secara
detil, prosedur obstetri yang mungkin dijalani dan kemungkinan kesalahan
diagnosis pranatal. Informasi tertulis harus tersedia, dan catatan medis
untuk pilihan konseling harus tersimpan. Pemberian informasi pada
pasangan ini sangat penting karena memiliki implikasi moral dan
psikologi ketika pasangan karier dihadapkan pada pilihan setelah
dilakukan diagnosis pranatal. Pilihan yang tersedia tidak mudah, dan
mungkin tiap pasangan memiliki pilihan yang berbeda-beda. Tanggung
jawab utama seorang konselor adalah memberikan informasi yang akurat
dan komprehensif yang memungkinkan pasangan karier menentukan
pilihan yang paling mungkin mereka jalani sesuai kondisi masing-masing.
 Diagnosis Pranatal
Diagnosis pranatal meliputi skrining karier thalassemia saat
kunjungan pranatal pada wanita hamil, yang dilanjutkan dengan skrining
karier pada suaminya bila wanita hamil tersebut teridentifikasi karier. Bila
keduanya adalah karier, maka ditawarkan diagnosis pranatal pada janin
serta pengakhiran kehamilan bila ada risiko gen thalassemia homozigot.
Saat ini, program ini hanya ditujukan pada thalassemia β+ dan βO yang
tergantung transfusi dan sindroma Hb Bart’s hydrops.
Diagnosis pranatal dapat dilakukan antara usia 8-18 minggu
kehamilan. Metode yang digunakan adalah identifkasi gen abnormal pada
analisis DNA janin. Pengambilan sampel janin dilakukan melalui
amniosentesis atau biopsi vili korialis (VCS/ villi chorealis sampling).
Biopsi vili korialis lebih disukai, karena bila dilakukan oleh tenaga
ahli, pengambilan sampel dapat dilakukan pada usia kehamilan yang lebih
dini,3 yaitu pada usia gestasi 9 minggu. Namun WHO menganjurkan
biopsi vili korialis pada usia gestasi 10- 12 minggu, karena pada usia
kurang dari 10 minggu ditemukan risiko malformasi janin. Seluruh
prosedur pengambilan sampel janin harus dilakukan oleh ahli fetomaternal
dengan panduan USG kualitas tinggi. Risiko terjadinya abortus pada
biopsi villi korialis sekitar 1-2% bila dilakukan oleh tenaga ahli.
Sedangkan tindakan amniosentesis, yaitu mengambil cairan amnion,
umumnya efektif dilakukan pada usia kehamilan > 14 minggu. Hal ini
dikarenakan untuk menjaring sel-sel janin yang baru lepas dalam jumlah
cukup ke dalam cairan amnion. Teknik ini relatif lebih mudah, namun
mempunyai kelemahan pada usia kehamilan yang lebih besar.
Teknik lain yang juga sudah dikembangkan adalah isolasi darah
janin (fetal nucleated red blood cell) sebagai sumber DNA janin dari darah
perifer ibu.3 DNA janin dianalisis dengan metode polymerase chain
reaction (PCR). Untuk mutasi thalassemia, analisis dilakukan dengan
Southern blot analysis, pemetaan gen (gene mapping), dan restriction
fragmen length polymorphism (RFLP) analysis. Seiring dengan
munculnya trauma akibat terminasi kehamilan pada ibu hamil dengan
janin yang dicurigai mengidap thalassemia mayor, saat ini sedang
dikembangkan diagnosis pranatal untuk thalassemia β sebelum terjadinya
implantasi janin dengan polar body analysis.
Metode pengakhiran kehamilan yang digunakan tergantung dari
usia gestasi. Pada umumnya dibedakan menjadi 2 metode: operatif dan
medisinalis. Dengan standar prosedur yang sesuai, kedua metode ini, baik
operatif maupun medisinalis, mempunyai efektivitas yang baik dalam
pengakhiran kehamilan. Namun demikian beberapa praktisi kebidanan
seringkali mendasarkan pilihan metode pada usia kehamilan. Pada usia
gestasi kurang dari 13 minggu, metode standar pengakhiran kehamilan
adalah ―suction method ―. Setelah 14 minggu, aborsi dilakukan dengan
induksi prostaglandin. Metode aborsi lainnya yang bisa dilakukan adalah
kombinasi antara medisinalis dan cara operatif.

E. KOMPLIKASI
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung.
Tranfusi darah yang berulang ulang dan proses hemolisis menyebabkan
kadar besi dalam darah sangat tinggi, sehingga di timbun dalam berbagai
jarigan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan lain lain. Hal ini
menyebabkan gangguan fungsi alat tersebut (hemokromatosis). Limpa
yang besar mudah ruptur akibat trauma ringan. Kadang kadang thalasemia
disertai tanda hiperspleenisme seperti leukopenia dan trompositopenia.
Kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung. Hepatitis
pasca transfusi biasa dijumpai, apalagi bila darah transfusi telah diperiksa
terlebih dahulu terhadap HBsAg. Hemosiderosis mengakibatkan sirosis
hepatis, diabetes melitus dan jantung. Pigmentasi kulit meningkat apabila
ada hemosiderosis, karena peningkatan deposisi melanin (Hassan, 2002).

Dampak Kelebihan Beban Besi Akibat Transfusi


Besi merupakan logam yang penting untuk sintesis hemoglobin,
reaksi oksidasi reduksi dan proliferasi sel, sedangkan kelebihan besi akan
menyebabkan disfungsi organ lewat produksi spesies oksigen reaktif.
Jumlah kadar besi di dalam tubuh berkisar antara 3-4 g, dua pertiga berada
di dalam sel darah merah dan didaur ulang dengan penghancuran eritrosit;
sisanya disimpan dalam bentuk ferritin/hemosiderin, sementara hanya 1-2
mg besi yang diserap lewat traktus gastrointestinal dan beredar di dalam
darah. Metabolisme besi tubuh merupakan suatu sistem setengah tertutup,
dan secara kritikal diregulasi oleh beberapa faktor termasuk hepcidin yang
baru saja ditemukan. Dalam peredaran darah, besi biasanya terikat pada
transferrin dan kebanyakan besi terikat transferrin digunakan oleh sumsum
tulang untuk eritropoiesis. Oleh karena tidak adanya mekanisme aktif di
dalam tubuh untuk mengekskresikan besi, suatu akumulasi progresif besi
tubuh akan mudah terjadi sebagai akibat dari transfusi berkepanjangan
pada pasien dengan thalassemia. Setiap unit eritrosit yang ditransfusi
mengandung 200-250 mg besi sebagai bagian dari pigmen heme (Kohgo,
2008).
Pada saat eritrosit dipecah oleh sistem makrofag, besi dilepaskan
dari heme dan disimpan di dalam tubuh. Oleh karena pengeluaran besi
harian oleh tubuh dalam keringat dan pelepasan sel epitel hanya berkisar
1mg, maka pemberian satu unit PRC berhubungan dengan sekitar 200 hari
siklus besi harian tubuh. Oleh karena kelebihan besi tidak dapat
dieliminasi dari tubuh, maka transfusi kronik akan menyebabkan
keseimbangan besi tubuh sangat jauh dari ekulibrium. Toksisitas besi
dalam dosis tinggi disebabkan oleh karena kemampuannya bereaksi
dengan molekul oksigen, memindahkan elektron ke dalamnya dan
menghasilkan spesies oksigen antara, yang kemudian dengan adanya besi
akan menyebabkan terbentuknya radikal-radikal yang lebih reaktif lagi.
Radikal reaktif ini akan menyerang lipid, protein dan DNA, menyebabkan
terjadinya kerusakan sel yang pada akhirnya akan timbul sebagai disfungsi
organ (Jabar, 2007).
Hati merupakan organ terpenting untuk penyimpanan besi dengan
kapasitas terbesar untuk mensekuestrasi kelebihan besi. Perubahan
periodik disfungsi organ telah dipelajari pada pasien dengan thalassemia
beta homozigot. Biasanya dalam waktu 2 tahun transfusi, abnormalitas
fungsi hati seperti peningkatan enzim transaminase tidak terlalu nyata dan
biasanya berada dalam batas normal atau hanya sedikit meningkat. Selama
periode ini, pemeriksaan biopsi hati akan menunjukkan fibrosis ringan
dengan inflamasi ringan dan deposisi besi. Secara klinis, hati menjadi
besar dan dapat dipalpasi dan pemeriksaan fungsi hati lainnya dalam
rentang normal atau sedikit meningkat. Oleh karenanya penting untuk
pasien-pasien tergantung transfusi dinilai secara menyeluruh untuk
memastikan adanya kelainan hati fibrotik atau sirosis dengan pemeriksaan
CT-Scan, MRI dan analisis biokimia termasuk pemeriksaan transaminase
serum (Kohgo, 2007).
Penyebab paling penting dari transfusi jangka panjang adalah
kematian mendadak oleh karena gagal jantung. Dilaporkan kurang lebih
70% kematian pada pasien thalassemia beta disebabkan oleh sebab
kardiogenik. Tanda-tanda disfungsi kardiak termasuk hipertrofi jantung,
aritmia dan endokarditis yang pada akhirnya akan menyebabkan gagal
jantung. Gangguan ventrikel kiri sangat menonjol dan digambarkan oleh
penurunan fraksi ejeksi ventrikel lewat pemeriksaan echocardiogram. Oleh
karena penurunan fraksi ejeksi ventrikel ini timbul sebelum tanda-tanda
klinis gagal jantung dan juga sebelum pembesaran bayangan jantung pada
rontgen dada, echocardiogram merupakan pemeriksaan paling berguna
untuk pemantauan kerusakan miokardial oleh kelebihan beban besi.
Echocardiogram yang disarankan untuk deteksi kegagalan jantung yang
disebabkan oleh deposisi besi di miokardial adalah dengan Doppler
jaringan. Pemindaian dilakukan lewat jendela akustik empat-bilik apikal.
Laju miokardial kemudian diperiksa secara terus menerus dari basal ke
apeks di dalam dinding bebas ventrikel kiri dan kanan juga di septum
interventrikular. Penelitian oleh Vogel menemukan bahwa sensitivitas
echocardiogram Doppler untuk menemukan deposisi besi abnormal
sebesar 88% dengan spesifisitas 65% (menggunakan T2* MRI sebagai
baku emas) (Jabar, 2007).
MRI juga merupakan pemeriksaan yang berguna untuk menilai
fungsi ventrikular dan deposisi besi pada otot jantung dapat dideteksi
dengan peningkatan intensitas sinyal. Lebih jauh lagi, perhitungan T2 dan
R2 dengan MRI memungkinkan penilaian konsentrasi semi-kuantitatif
pada otot jantung, bahkan pada kadar yang relatif rendah. Penelitian oleh
Vogel juga menemukan nilai T2* yang normal berkisar antara 20 dan 83
ms, nilai T2* di bawah 20 ms menandakan adanya deposisi besi miokard
abnormal. Anderson dan kawan-kawan juga menunjukkan bahwa MRI
T2* dapat mendeteksi adanya deposisi besi miokardial bahkan sebelum
tanda dan gejala gagal jantung timbul serta sebelum terapi kelasi secara
umum dipertimbangkan (Kohgo, 2008).
Berdasarkan suatu studi kohort pasien dengan thalassemia beta,
disfungsi organ oleh karena kelebihan beban besi timbul pertama kali di
hati pada saat kadar ferritin melebihi 1.000 ng/dL dan keterlibatan organ
lainnya termasuk jantung mengikuti seiring dengan peningkatan kadar besi
lebih lanjut. Deposisi jantung signifikan biasanya dapat diamati pada saat
kadar ferritin serum lebih dari 1.800-2.500 ng/dL. Secara klinis, untuk
mendeteksi adanya disfungsi organ, pemeriksaan kadar ferritin harus
dilakukan setiap 1-3 bulan sekali. Pada saat kadar ferritin serum lebih dari
1.500 ng/dL, maka pasien harus diperiksa untuk tanda dan gejala gagal
jantung, aritmia serta pemeriksaan echocardiogram periodik dapat
dipertimbangkan. Selain deposisi besi di jantung dan hati, sel beta
pankreas merupakan salah satu target penting untuk toksisitas besi, yang
dapat menyebabkan intoleransi glukosa dan diabetes mellitus. Faktor
tambahan yang menyebabkan intoleransi glukosa adalah gangguan
utilisasi insulin oleh hati, yang mengakselerasi kerusakan sel beta oleh
karena hiperinsulinemia. Ditinjau dari perspektif pemeriksaan serial gula
darah, urin dan glikoalbumin berguna untuk memantau terjadinya diabetes
mellitus, sedangkan pemeriksaan glikohemoglobin tidak berguna oleh
karena dampak transfusi berulang. Endokrinopati oleh karena transfusi
jangka panjang dapat diamati termasuk gangguan pertumbuhan, pubertas
inkomplit dan disfungsi tiroid. Pada pasien dengan thalassemia dan anemia
sel sabit, perhatian khusus harus diberikan kepada tanda dan gejala awal
seperti gangguan pertumbuhan dan imaturitas seksual (Jabar, 2007).

F. PROGNOSIS
Prognosis bergantung pada tipe dan tingkat keparahan dari
thalassemia. Kondisi klinis penderita thalassemia sangat bervariasi dari
ringan bahkan asimtomatik hingga berat dan mengancam jiwa (Yaish,
2013).

3. ANEMIA SIDEROBLASTIK
A. Definisi
Anemia sideroblastik adalah anemia mikrositik-hipokromik yang
disebabkan oleh abnormalitas metabolisme heme. Penderita anemia ini
pada sumsum tulangnya ditemukan sideroblas cincin, yang merupakan sel
darah merah berinti (eritrosit imatur) dengan lingkaran perinuklear
mengandung granula besi (agregat besi dalam mitokondria). Eritrosit
imatur ini gagal menjadi matur dan banyak hancur dalam sumsum tulang
sebelm mencapai sirkulasi (Caudill, et al., 2008).
B. Etiologi
Penyebab anemia sideroblastik dapat dikategorikan menjadi 2
kelompok, yaitu congenital anemia sideroblastik dan anemia sideroblastik
yang didapat. Anemia ini melibatkan sintesis heme yang abnormal
sehingga terjadi deposisi granular besi di mitokondria yang membentuk
cincin di sekitar inti eritrosit imatur. Penyebab kongenital sering
ditemukan anemia normositik atau mikrositik, sedangkan yang didapat
sering ditemukan normositik atau makrositik (Saini, et al., 2012).
1. Kongenital anemia sideroblastik (primer)
a. X-linked sideroblastic anemia
X-linked sideroblastic anemia merupakan penyebab paling umum
congenital anemia sideroblastik yang melibatkan defek ALAS2
(langkah awal sintesis heme) dan mutasi ABC7.
b. Autosomal recessive sideroblastic anemia
Autosomal recessive sideroblastic anemia melibatkan mutasi pada
gen SLC25A38. Fungsi protein ini terlibat dalam transportasi
mitokondria glisin. Glisin adalah substrat untuk ALAS2 dan
diperlukan untuk sintesis heme.

c. Pearson syndrome yaitu defek protein mitokondria


d. DIDMOAD syndrome
e. Defek Glutaredoxin 5
f. Defek gen SCL19A2 (thiamine transporter)
2. Anemia sideroblastik yang didapat
a. Myelodysplastic syndrome
b. Penggunaan alkohol berlebih,
c. Defisiensi piridoksin,
d. Keracunan timbal,
e. Penggunaan obat-obatan seperti isoniazid, chloramphenicol,
cycloserine, dan linezolid

C. Patofisiologi
Perubahan pada anemia sideroblastik pada dasarnya terjadi kegagalan
inkorporasi besi ke dalam senyawa hem pada mitokondria yang
mengakibatkan besi mengendap pada mitokondria sehingga jika yang dicat
dengan cat besi akan terlihat bintik-bintik yang mengelilingi inti yang
disebut sebagai sideroblas cincin. Hal yang menyebabkan kegagalan
pemnbentukan hemoglobin yang disertai eritropoesis inefektif dan
menimbulkan anemia hipokromik mikrositik.

Gambar 1. Ring Sideroblas (Mir, 2013)

Gambar 2.
Sintesis
Heme
(Mir, 2013)
1. Kongenital anemia sideroblastik
X-linked sideroblastic anemia dibagi menjadi pyridoxine-
responsive (> 50%) dan subtipe pyridoxine-resistant. Pada subtipe
pyridoxine-responsive menunjukkan bentuk defek δ-amino levulinic
acid synthase (ALAS-2) sehingga mengganggu pembentukan levulinic
δ-amino dan pada akhirnya tidak terbentuk protoporphiryn, tetapi di
sisi lain terdapat besi yang masuk ke mitokondria, dengan demikian
terbentuk ring sideroblas dan mengakibatkan anemia. Pada subtipe
pyridoxine-resistant terjadi mutasi mutasi gen ABC7. ABC-7 adalah
adenosin trifosfat (ATP)- dependent transporter protein yang terlibat
dalam transfer sitosol kompleks besi-sulfur.
Pearson (sumsum tulang-pankreas) sindrom,] adalah gangguan
multisistem remaja disebabkan oleh penghapusan dalam DNA
mitokondria (mtDNA) dan menyebabkan anemia sideroblastik,
neutropenia, sel vakuolisasi terutama di prekursor sumsum tulang,
eksokrin pankreas insufisiensi, malabsorpsi, dan kegagalan
pertumbuhan.
Sindrom DIDMOAD (diabetes insipidus, diabetes mellitus, atrofi
optik, dan tuli) dikaitkan dengan anemia sideroblastik yang responsif
terhadap vitamin B-1 (tiamin). Etiologi sindrom DIDMOAD adalah
defek metabolisme tiamin.
2. Anemia sideroblastik yang didapat
a. Myelodysplastic syndrome
b. Defisiensi nutrisi (tembaga dan vitamin B-12)
c. Penggunaan alkohol berlebih
Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan
kekurangan besi atau folat, hemolisis, toksisitas sumsum tulang
langsung ke erythroid prekursor, penghambatan pyridoxine, dan
penghambatan enzim ferrochelatase selama pembentukan heme.
d. Keracunan timbal,
e. Penggunaan obat-obatan
Gangguan inkorporasi besi ke dalam protoporfirin
// (pembentukan heme)

/Besi menumpuk gangguan pembentukan hemoglobin


/dalam mitokondria

//ring sideroblastik hipokromik mikrositer

eritropeisis inefektif

D. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala utama adalah sesak napas saat beraktivitas, sesak pada saat
istirahat, fatigue, gejala dan tanda keadaan hiperdinamik (denyut nadi
kuat, jantung berdebar, dan roaring in the ears), kelelahan, dan pusing.
Pada anemia yang lebih berat, dapat timbulletargi, konfusi, dan
komplikasi yang mengancam jiwa (gagal jantung, angina, aritmia
dan/atau infark miokard). Penyakit jantung, kerusakan hati, dan gagal
ginjal dapat terjadi akibat penumpukan zat besi dalam organ-organ
ini(Papadakis, et al., 2005).
2. Pemeriksaan fisik
Pada anemia sideroblastik kulit terlihat pucat, anemia sedang sampai
berat terdapat anisocytosis dan poikilocytosis. Pada pemeriksaan
abdomen dapat ditemukan pembesaran lien dan hepar (Papadakis, et
al., 2005).
3. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan Lab didapatkan (Papadakis, et al., 2005):
a. Peningkatan serum iron
b. Peningkatan kadar ferritin
c. Total iron-binding capacity normal
d. Saturasi transferin tinggi
e. Hematokrit sekitar 20-30%
f. Volume corpuscular rata-rata atau MCV biasanya normal atau
rendah untuk penyebab kongenital anemia sideroblastik
g. Pada keracunan timbal, melihat coarse basophilic stippling pada
sel darah merah pada apus darah tepi
h. Tes khusus: Prussian blue stain pada sel darah merah di sumsum
tulang yang mennjukan ring sideroblas. Pewarnaan biru Prusia
melibatkan reaksi non-enzimatik ferrous iron dengan ferrocyanide
membentuk ferric-ferrocyanide, yang berwarna biru.
E. Tatalaksana
Terapi yang digunakan untuk penderita anemia sideroblastik berupa
(Papadakis, et al., 2005):
Terapi untuk anemia sideroblastik berupa terapi simptomatik yaitu dengan
transfusi darah. Pemberian vitamin B6 dapat dicoba karena pada sebagian
kecil penderita bersifat responsif terhadap piridoksin. Untuk anak-anak
diberikan dalam dosis 200-500 mg/24 jam. Vitamin B6 merupakan
kofaktor enzim ALA-sintase.

4. ANEMIA KARENA PENYAKIT KRONIS


A. Definisi
Anemia penyakit kronik dikenal juga dengan nama anemia gangguan
kronik, anemia sekunder, atau anemia sideropenik dengan siderosis
retikuloendotelial. Anemia penyakit kronis berhubungan dengan proses
infeksi/inflamasi kronis, kerusakan jaringan, atau keganasan yang
berlangsung lebih dari 1 atau 2 bulan. Anemia penyakit kronis cadangan
zat besi di dalam tulang tidak dapat digunakan oleh sel darah merah yang
baru, maka anemia ini sering disebut anemia penggunaan ulang zat besi
(Harmening, 2009).
B. Etiologi
Penyakit-penyakit yang menyebabkan anemia penyakit kronik meliputi
(Zarychanski, et al., 2008):
1. Infeksi kronik
Endokarditis bakterialis subakut , Osteomielitis, dan infeksi paru-paru
seperti abses, emfisema, dan TB.
2. Inflamasi kronik
a. Artritis rematoid
b. Demam rematik
c. SLE
3. Keganasan
a. Limfoma
b. Multipel mieloma
c. Leukimia
4. Gagal ginjal
C. Patofisiologi
Faktor penyebab

(infeksi ginjal, paru, inflamasi kronis)

1. Usia eritrosit memendek


2. Respon sumsum tulang terhadap anemia menurun
3. Perpindahan besi dari Sel RES ke Sumsum tulang
menurun
4. Peran sitokin terhadap RES dan SSTL

Beberapa mekanisme anemia akibat penyakit kronik adalah sebagai


berikut (Zarychanski, et al., 2008).

1. Peningkatan penghancuran eritrosit diduga karena:


a. Peningkatan aktivitas fagositosis makrofag
b. Demam yang merusak kestabilan membran eritrosit
c. Produksi hemolisin oleh tumor
d. Toksin bakteri yang menimbulkan hemolisis
e. Kerusakan vaskuler menyebabkan leakage dan penghancuran
eritrosit pada jaringan yang rusak.
2. Penyebab respon sumsum tulang terhadap anemia menurun adalah:
a. Hb menurun menyebabkan kadar eritropoetin berkurang pada
anemia defisiensi besi
b. Respon eritropoetin menurun
c. Prekursor eritroid tidak sensitif
d. Sitokin inflamasi : Il-1α, Il-1ß, TNFα, TGF-ßà menghambat
produksi eritropoetin.
3. Kegagalan perpindahan besi dari RES ke SSTL (reticuloendothelial
Iron Bloc)
a. Besi di RES meningkat
b. Besi di SSTL dan darah tepi menurun
Pada keadaan normal apotransferin mengikat makrofag dalam RES
sehingga besi dari eritrosit hancur. Besi akan diikat apotransferin
menghasilkan transferin. Transferin akan ke SSTL untuk sintesis
Hb. Pada infeksi kronik, IL-1 meningkat, merangsang
apolaktoferin yang berkompetisi dengan apotransferin pada
makrofag. Apolaktoferin berikatan dengan besi dalam RES
menghasilkan laktoferin. Laktoferin ini tidak dapat membawa besi
ke SSTL
4. Pengaruh Sitokin terhadap RES dan SSTl
a. TNF-α : diperantarai INF-ß (mediator), menekan sistesis
eritropoetinàprekursor eritrosit menurun sehingga Hb menurun
b. IL-1 : merangsang IFN-γà menekan eritropoesis
c. IL-6 dan TGF-ß menekan eritropoesis

D. Penegekan diagnosis
1. Anamnesis
Gejalanya sama seperti anemia pada umumnya yaitu lelah, lemah,
jantung berdebar, pusing, sesak nafas, mual, dan muntah. Gejala
tersebut timbul ringan sampai sedang kadang asimtomatik
(Harmening, 2009).
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan muka pucat, konjungtiva pucat,
takikardi, cepat lelah, lemah, takikardi, kuku pucat, cafilary refil
3. Namun, pada pasien–pasien dengan gangguan paru yang berat,
demam, atau fisik dalam keadaan lemah akan menimbulkan
berkurangnya kapasitas daya angkut oksigen dalam jumlah sedang,
yang mana ini nantinya akan mencetuskan gejala. Pada pasien–pasien
lansia, oleh karena adanya penyakit vaskular degeneratif kemungkinan
akan ditemukan gejala–gejala kelelahan, lemah, klaudikasio
intermiten, muka pucat dan pada jantung keluhannya dapat berupa
palpitasi dan angina pektoris serta dapat terjadi gangguan serebral
(Harmening, 2009).
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia ringan sampi
sedang. Pada pemeriksaan status besi didapatkan penurunan besi
serum, tranferin saturasi transferin, dan total protein pengikat besi,
sedangkan kadar feritin dapat normal atau meningkat. Kadar
reseptor transferin di anemia penyakit kronis adalah normal
(Zarychanski, et al., 2008).
Hemoglobin Biasanya 7-11 g/dl

MCV dan MCH Normal atau rendah

Besi Serum Rendah

KIBT Normal atau rendah

Feritin >25 atau sering >50

Besi sumsum tulang Normal atau tinggi

Sideroblas Kurang

Respon besi Tidak ada

Reseptor Trasnferin meningkat

Table 2.1 Hasil Pemeriksaan Lab Anemia Akibat Penyakit Kronik


b. Pemeriksaan darah tepi
Gambaran morfologi darah tepi: biasanya normositik-
normokromik atau mikrositik ringan. Gambaran mikrositik ringan
dapat dijumpai pada sepertiga pasien anemia penyakit kronik
(Harmening, 2009).

E. Tatalaksana
1. Rekombinan eritropoetin (Epo)
Pada pasien–pasien anemia penyakit kronik yang penyakit dasarnya
anemia karena kanker, gagal ginjal, HIV dan artritis
rematoid. Dosisnya dapat dimulai dari 50–100 Unit/Kg, 3x seminggu,
pemberiannya secara intra venous (IV) atau subcutan (SC). Bila dalam
2–3 minggu konsentrasi hemoglobin meningkat dan/atau feritin serum
menurun, maka kita boleh menduga bahwa eritroit respons. Bila
dengan dosis rendah responsnya belum adekuat, maka dosisnya dapat
ditingkatkan sampai 150 Unit/Kg, 3x seminggu (Zager, 2006).

2. Transfusi darah berupa packed red cell (PRC)


3. Prednisolon
Diberikan pada pasien anemia penyakit kronik dengan penyakit
dasarnya artritis temporal, reumatik dan polimialgia. Hemoglobin akan
segera kembali normal demikian juga dengan gejala–gejala polimialgia
akan segera hilang dengan cepat (Zager, 2006).
4. Kobalt klorida
Juga bermanfaat untuk memperbaiki anemia pada penyakit kronik
dengan cara kerjanya yaitu menstimulasi pelepasan eritropoetin, tetapi
oleh karena efek toksiknya obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan
(Zager, 2006).
5. Suplementasi zat besi
Tidak diindikasikan kecuali untuk mengatasi anemia artritis reumatid
(Zager, 2006).
BAB IV
KESIMPULAN

1. Anemia mikrositik hipokromik adalah suatu kondisi dimana ukuran eritrosit


yang lebih kecil dari normal dan mengandung konsentrasi hemoglobin yang
juga kurang dari normal (indeks eritrosit: MCV < 73fl, MCH <23 pg, MCHC
26-35%).
2. Penyebab anemia mikrositik hipokromik antara lain: anemia defisiensi besi,
thalassemia major, anemia akibat penyakit kronik dan anemia sideroblastik.
3. Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis anemia yaitu Hb, penambahan
indeks eritrosit, pemeriksaan hapusan darah perifer, luas distribusi sel darah
merah, eritrosit protoporfirin, besi serum, serum transferi, serum feritin.
4. Tatalaksana pasien anemia adalah dengan mengatasi dasar penyebab anemia
dan jika Hb<6gr% merupakan indikasi dilakukannya transfusi darah.
DAFTAR PUSTAKA

[Depkes] Departemen Kesehatan. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar


Indonesia. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI.

Bakta, I Made, dkk. Anemia Defisiensi Besi dalam Sudoyo, Aru W, et.al.
2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Caudill JS, Imran H, Porcher JC, Steensma DP. 2008. Congenital sideroblastic
anemia associated with germline polymorphisms reducing expression of
FECH. Haematologica 9,3 (10): 1582–4.

Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.

Harmening, Denise. (2009). Clinical Hematology and Fundamentals of


Hemostasis. F.A. Davis

Husaini MA et al. 1989. Anemia Gizi : Suatu Studi Kompilasi Informasi dalam
Menunjang Kebijaksanaan Nasional dan Pengembangan
Program.Jakarta :Direktorat Bina Gizi Masyarakat dan Puslitbang Gizi.

Husaini MA. 1999. Iron deficiency in Indonesia. Presented at the Micronutrient


Symposium. Dies Natalis Sebelas Maret University. Surakarta, 2-3 march

Jabbar, DA, Davison, G and AJ, Muslin. Getting the iron out: Preventing and
treating heart faliure in transfussion dependent thalassemia. 11, 2007,
Cleveland Clinic Journal of Medicine, Vol. 7, pp. 807-816.
Kohgo,Y.et al. Body iron metabolism and pathophysiology of iron overload. 2008,
International Journal of Hematology, Vol. 88, pp. 7-15.11.
Mir, Muhammad. 2013. Anemia Sideroblastik. Pennsylvania State University
College of Medicine

Murray, R. K., Daryl, K. G., Peter, A. M. , Victor, W. R., 2003. Biokimia


Harper--- Ed 25 ---Jakarta : EGC

Oehadian, Amaylia. 2012. Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia. Continuing


medical education. Vol 39(6): 407-412.
Papadakis, Maxine A.; Tierney, Lawrence M.; McPhee, Stephen J. (2005).
"Sideroblastic Anemia".Current Medical Diagnosis & Treatment, 2006.
McGraw-Hill Medical.

Riswan, M., 2003. Anemia Defisiensi Besi Pada Wanita Hamil Di Beberapa
Praktek Bidan Swasta Dalam Kota Madya Medan, Universitas Sumatera
Utara. Diunduh dari:
http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalammuhammad%20riswan.pdf.
[Diakses April 2014]

Saini, N; Jacobson, JO; Jha, S; Saini, V; Weinger, R. 2012. The perils of not
digging deep enough--uncovering a rare cause of acquired
anemia. American journal of hematology 87 (4): 413–6.

Soebroto, I. 2010. Cara Mudah Mengatasi Problem Anemia. Yogyakarta: Bangkit

Sudoyo, A., 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi 4 Jilid II. Pustaka IPD
FKUI

UNICEF. 1998. Preventing Iron Deficiency in Woman and Children : backgrond


and consensus on key technical issues and resources for advocacy,
Planning, and Implementing National Programs. Canada : International
Nutritional Foundation (INF)

WHO. 2001. Iron Deficiency Anemia Assessment, Prevention, and Control. A


guide for Programme Manager

WHO. 2008. Worldwide Prevalence Of Anemia 1993–2005. WHO Global


Database on Anemia.

Zager RA. 2006. Parenteral iron compounds: potent oxidants but mainstays of
anemia management in chronic renal disease. Clin J Am Soc Nephrol. 1
Suppl 1: S24–31.

Zarychanski R, Houston DS. 2008. Anemia of chronic disease -- a harmful


disorder, or a beneficial, adaptive response?. Can. Med. Assoc. J. 179 (4):
333–7.

Zulaicha, T. M., 2009. Pengaruh Suplementasi Besi Sekali Seminggu Dan Sekali
Sehari Terhadap Status Gizi Pada Anak Sekolah Dasar, Universitas
Sumatera Utara. Diunduh dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6261/1/09E00122.pdf.
[Diakses Juni 2014].

Вам также может понравиться