Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Disusun oleh :
Yuni Purwati G4A014085
Dasep Padilah G4A014086
2015
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
Disusun Oleh :
Dokter Pembimbing :
PENDAHULUAN
A. Identitas Penderita
Nama : Nn. K.K
Umur :17 tahun
Jenis kelamin :Perempuan
Alamat :Karangmangu RT 04/03 Purwojati
Agama :Islam
Status :Belum menikah
Pekerjaan :Pelajar
Tanggal masuk RSMS : 16 Juni 2015
Tanggal periksa : 17 Juni 2015
No.CM : 00949877
B. Anamnesis
Keluhan utama :Lemas
Keluhan tambahan :Pusing nggliyeng, mudah lelah ketika beraktivitas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli penyakit dalam RSMS Purwokerto dengan keluhan
badan terasa lemas sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan
disertai rasa pusing dirasakan terus menerus dan makin memberat dengan
aktivitas fisik. Keluhan seperti muntah dan buang air besar warna hitam
berulang kali disangkal. Semakin hari pasien merasa semakin lemas dan lebih
memilih banyak beristirahat. Pasien juga mengeluhkan perut sebelah kiri
terasa keras. Pasien tidak ada riwayat transfusi darah rutin dan tidak ada
riwayat mondok dirumah sakit sebelumnya.
Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
2. Riwayat hipertensi : disangkal
3. Riwayat DM : disangkal
4. Riwayat penyakit kuning : disangkal
5. Riwayat batu ginjal : disangkal
6. Riwayat alergi : disangkal
7. Riwayat mondok : disangkal
8. Riwayat Pengobatan : disangkal
9. Riwayat operasi : disangkal
1. Home
Pasien tinggal serumah bersama dengan kedua orangtuanya. Rumah
pasien berada di dalam pedesaan yang jarak rumah satu dengan lainnya
cukup jauh. Sumber air menggunakan air tanah yang berasal dari sumur.
Sumber air minum menggunakan air rebusan.
2. Occupational
Pasien merupakan pelajar yang masih duduk dibangku SMA. Pembiayaan
rumah sakit menggunakan jenis pembiayaan umum.
3. Diet
Pasien makan dengan teratur. Kebutuhan karbohidrat, lemak, protein dan
vitamin cukup. Pasien mengkonsumsi buah, sayur dan air putih yang
cukup setiap harinya.
4. Drug
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol. Pasien
biasa minum obat warung atau konsumsi rebusan jamu ketika merasa
kurang enak badan.
C. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan di bangsal Mawar kamar 8.5 RSMS, 17 Juni 2015.
1. Keadaan umum : Sedang
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Vital sign
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 74 x/menit
Respiration Rate : 20 x/menit
Suhu : 36,20C
4. Berat badan : 43 kg
5. Tinggi badan : 151 cm
6. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
1) Bentuk kepala
Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-)
2) Rambut
Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut dan terdistribusi merata
3) Mata
Simetris, konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
4) Telinga
Discharge (-), deformitas (-)
5) Hidung
Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-)
6) Mulut
Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-) tepi hiperemis (+)
b. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Palpasi :JVP 5+2 cm H2O
c. Pemeriksaan thoraks
Paru
Inspeksi :Dinding dada tampak simetris, tidak tampak
ketertinggalan gerak antara hemithoraks kanan dan
kiri, kelainan bentuk dada (-), retraksi
suprasternal(-) retraksi intercostals (-)
Palpasi : Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri
Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri
Perkusi : Perkusi orientasi selurus lapang paru sonor
Batas paru-hepar SIC V LMCD
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+
Ronki basah halus-/-
Ronki basah kasar -/-
Wheezing-/-
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tampak di SIC V 2 jari medial LMCS,
pulsasi parasternal (-), pulsasi epigastrium (-)
Palpasi : Ictus Cordis teraba pada SIC V 2 jari medial LMCS
dan kuat angkat (-)
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC V 2 jari medial LMCS
Auskultasi : A1>A2, P1>P2, M1>M2, T1>T2 reguler
Gallop (-), Murmur (-)
d. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : Datar, supel
Auskultasi : Bising usus (+)
Perkusi : Timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
Palpasi : Nyeri tekan (+), undulasi (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : schuffner 3
e. Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas inferior
superior
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akral dingin - - - -
Reflek fisiologis + + + +
Reflek patologis - - - -
D. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium tanggal 17 Juni 2015 pukul 19:17 dan 19 Juni 2015 pukul
16:02
Hematologi
Darah Lengkap
Hemoglobin : 5,6 g/dl ↓ (12 – 16 g/dl)
Hematokrit : 17 % ↓ (37 – 47%)
Leukosit : 3200 ↓ (4800-10.800)
Eritrosit : 2,4 ↓ (4,7-6,1 10^6/uL)
Trombosit : 86000 ↓ (150.000-450.000)
Kimia klinik
LDH : 236 ↑
TIBC : 442
Hematologi (19/6/2015)
Analisis HB
HbA2 : 8,0 1,5 - 3,7
HbF : <1,0 <1
E. Diagnosis
Anemia Mikrositik Hipokromik
G. Penatalaksanaan
Non Farmakologi
1. Bed rest
2. Makan sayur-sayuran hijau dan kacang-kacangan
3. Kurangi konsumsi makanan pedas, kecut, santan, kopi, dan makanan
manis
4. Olahraga 3-4 kali/minggu @30 menit
Farmakologi :
1. IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
2. P.o vitamin C 2x1 tab
3. P.o Asam folat 3x1 tab
Planning
Monitoring
H. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
B. Etiologi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh :
a. Kebutuhan besi yang meningkat secara fisiologis, seperti pada
prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan,dan kehamilan.
b. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, yang dapat
berasal dari :
Saluran cerna : tukak peptik, kanker lambung, kanker kolon,
infeksi cacing tambang
Saluran genitalia wanita : menorrhagia
Saluran kemih : hematuria
Saluran napas : hemoptoe
c. Kurangnya besi yang diserap
Masukan besi dari makanan yang tidak adekuat akibat
kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi
(boavalaibilitas) besi yang tidak baik.
Malabsorpsi besi : gastrektomi, tropical sprue atau kolitis
kronik.
d. Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis ke dalam sirkulasi ibu akan
menyebabkan anemia defisiensi besi pada masa fetus dan pada
awal masa neonatus.
e. Latihan yang berlebihan
Pada atlit yang berolahraga berat seperti olah raga lintas alam
memiliki kadar feritin serum < 10 µg/dl
C. Patofisiologi
Patogenesis anemia defisiensi besi dimulai ketika cadangan besi
dalam tubuh habis yang ditandai dengan menurunnya kadar feritin yang
diikuti juga oleh saturasi transferin dan besi serum. Penurunan saturasi
transferin disebabkan tidak adanya besi di dalam tubuh sehingga
apotransferin yang dibentuk hati menurun dan tidak terjadi pengikatan
dengan besi sehingga transferin yang terbentuk juga sedikit. Sedangkan
total iron binding protein (TIBC) atau kapasitas mengikat besi total yang
dilakukan oleh transferin mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan
karena tidak adanya besi di dalam tubuh sehingga transferin berusaha
mengikat besi dari manapun dengan meningkatkan kapasitasnya.
Dalam tubuh manusia, sintesis eritrosit atau eritropoesis terus
berlangsung dengan memerlukan besi yang akan berikatan dengan
protoporfirin untuk membentuk heme. Pada anemia defisiensi besi, besi
yang dibutuhkan tidak tersedia sehingga heme yang terbentuk hanya
sedikit dan pada akhirnya jumlah hemoglobin yang dibentuk juga
berkurang. Dengan berkurangnya Hb yang terbentuk, eritrosit pun
mengalami hipokromia (pucat). Hal ini ditandai dengan menurunnya
MCHC (mean corpuscular Hemoglobin Concentration) < 32%. Sedangkan
protoporfirin terus dibentuk eritrosit sehingga pada anemia defisiensi besi,
protoporfirin eritrosit bebas (FEP) meningkat. Hal ini dapat menjadi
indikator dini sensitif adanya defisiensi besi.
Di sisi lain, enzim penentu kecepatan yaitu enzim ferokelatase
memerlukan besi untuk menghentikan sintesis heme. Padahal besi pada
anemia defisiensi besi tidak tersedia sehingga pembelahan sel tetap
berlanjut selama beberapa siklus tambahan namun menghasilkan sel yang
lebih kecil (mikrositik). Hal ini ditandai dengan menurunnya MCV (mean
corpuscular volume) < 80 fl.
D. Manifestasi Klinis
E. Penegakan Diagnosis
Diagnosis anemia defisiensi besi ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium yang dapat mendukung
sehubungan dengan gejala klinik yang sering tidak khas.
a. Anamnesis
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul
karena iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh
terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap
kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu(Hb
<7 g/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah,
telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa
dingin, sesak nafas, dan dispepsia (Bakta, 2009).
Anamnesis ditujukan untuk mengeksplorasi :
Riwayat penyakit sekarang.
Riwayat penyakit terdahulu.
Riwayat gizi.
Anamnesis mengenai lingkungan, pemaparan bahan kimia fisik
serta riwayat pemakaian obat.
b. Pemeriksaan fisik
Tujuan utamanya adalah untuk menilai beratnya kondisi penderita
(Oehardian, 2012). Pemeriksaan fisik terhadap pasien pada
konjungtiva mata, warna kulit, kuku, mulut, dan papil lidah apakah
terdapat gejala umum anemia/ sindrom anemia. Pada pasien biasanya
ditemukan disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku
sendok.
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium meliputi :
pemeriksaan index eritrosit, retikulosit, morfologi darah tepi.
pemeriksaan darah rutin seperti Hb, PCV, leukosit, trombosit.
pemeriksaan status besi (Fe serum, TIBC, saturasi transferin, FEP,
feritin)
apus sumsum tulang.
Menurut Guillermo dan Arguelles (Riswan, 2003) pemeriksaan yang
dapat dilakukan antara lain:
a) Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu
ukuran kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah
anemia berkembang. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat
dilakukan dengan menggunakan alat sederhana seperti Hb sachli,
yang dilakukan minimal 2 kali selama kehamilan, yaitu trimester I
dan III.
b) Penentuan Indeks Eritrosit
Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan
flowcytometri atau menggunakan rumus:
1) Mean Corpusculer Volume (MCV)
MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun
apabila kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat
anemia mulai berkembang. MCV merupakan indikator
kekurangan zat besi yang spesiflk setelah thalasemia dan anemia
penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan membagi
hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai normal 70-100
fl, mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl.
2) Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)
MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah
merah. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan angka
sel darah merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom <
27 pg dan makrositik > 31 pg.
3) Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)
MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata.
Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai
normal 30-35% dan hipokrom < 30%.
c) Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer
Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual.
Pemeriksaan menggunakan pembesaran 100 kali dengan
memperhatikan ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel darah merah.
Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah dapat dilihat
pada kolom morfology flag.
d) Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW)
Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah
yang masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter
lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi
dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang
tidak kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi
hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka
dari besi serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV
rendah bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan
dari kekurangan zat besi, dan apabila disertai dengan eritrosit
protoporphirin dianggap menjadi diagnostik. Nilai normal 15 %.
e) Eritrosit Protoporfirin (EP)
EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya
membutuhkan beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak
terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut kekurangan besi
eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan kekurangan besi
terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu,
sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi
individu yang luas. EP secara luas dipakai dalam survei populasi
walaupun dalam praktik klinis masih jarang.
Diagnosis diferensial
Normal ADB Anemia Thalasemia
penyakit
kronik
MCV 80 – 90 fl Menurun Menurun/N Menurun
<70 fl
MCH 27 – 31 pg Menurun Menurun/N Menurun
Besi serum 50 – 150 Menurun Menurun Normal
μg/dL <50 μg/dL
TIBC 240 – 360 Meningkat Menurun Normal/
μg/dL >360 μg/dL Meningkat
Saturasi 30 – 35% Menurun Menurun/N Meningkat
transferin < 15% 10-20% >20%
Besi Positif Negatif Positif Positif kuat
sumsum
tulang
FEP 15 – 18 Meningkat Meningkat Normal
μg/dL >100 μg/dL
Feritin 20 – 250 Menurun Normal Meningkat
serum μg/dL <20 μg/dL >50 μg/dL
Elektrofoesis Normal Normal Hb A2
Hb meningkat
F. Penatalaksanaan
a. Preventif
Pendidikan kesehatan, yaitu kesehatan lingkungan dan penyuluhan
gizi.
Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan
kronik paling sering di daerah tropik.
Suplementasi besi.
Fortifikasi bahan makanan dengan besi.
b. Kuratif
Terapi kausal yaitu dengan mengatasi terlebih dahulu penyebab
utamanya
Pemberian preparat Fe
- Ferrous sulphat 3 x 325 mg per oral dalam keadaa perut kosong
- Ferrous gluconate 3 x 200 mg per oral setelah makan
- Iron dextran (mengandung Fe 50 mg/ml) IM, mula-mula 50 mg
kemudian 100-200 mg setiap 1-2 hari. Bisa juga secara IV, mula-
mula 0,5 ml sebgai dosis percobaan, dan bila 3-5 menit tidak ada
reaksi diberikan 250-500 mg
Transfusi PRC
Pemberian transfusi darah harus melalui indikasi
pemberian, diantaranya yaitu:
2. THALASEMIA
A. Definisi
d. Thalassemia-α Mayor
Bentuk thalassemia yang paling berat, disebabkan oleh delesi
semua gen globin-α, disertai dengan tidak ada sintesis rantai α sama
sekali. Karena Hb F, Hb A, dan Hb A2 semuanya mengandung rantai
α, maka tidak satupun dari Hb ini terbentuk. Hb Barts (γ4)
mendominasi pada bayi yang menderita dan karena γ4 memiliki
afinitas oksigen yang tinggi, maka bayi itu mengalami hipoksia berat.
Eritrositnya juga mengandung sejumlah kecil Hb embrional normal
(Hb Portland = ζ2γ2) yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen
(Yaish, 2013).
Kebanyakan dari bayi-bayi ini lahir mati, dan kebanyakan dari
bayi yang lahir hidup meninggal dalam waktu beberapa jam. Bayi ini
sangat hidropik, dengan gagal jantung kongestif dan edema anasarka
berat. Yang dapat hidup dengan manajemen neonatus agresif juga
nantinya akan sangat bergantung dengan transfusi.
2. Thalassemia-β
Sama dengan thalassemia-α, dikenal beberapa bentuk klinis dari
thalassemia-β, antara lain :
b. Trait Thalassemia-β
Penderita mengalami anemia ringan, nilai eritrosit abnormal,
dan elektroforesis Hb abnormal dimana didapatkan peningkatan
jumlah Hb A2, Hb F atau keduanya. Individu dengan ciri (trait)
thalassemia sering didiagnosis salah sebagai anemia defisiensi besi dan
mungkin diberi terapi yang tidak tepat dengan preparat besi selama
waktu yang panjang. Lebih dari 90% individu dengan trait
thalassemia-β mempunyai peningkatan Hb-A2 yang berarti (3,4%-7%)
(Yaish, 2013).
Kira-kira 50% individu ini juga mempunyai sedikit kenaikan
HbF, sekitar 2-6%. Pada sekelompok kecil kasus, yang benar-benar
khas, dijumpai Hb A2 normal dengan kadar HbF berkisar dari 5%
sampai 15%, yang mewakili thalassemia tipe δβ (Yaish, 2013).
D. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
a. Pemberian iron chelating agent (desferoxamine) : diberikan setelah
kadar feritin serum sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi
transferin lebih 50%, atau sekitar 10-20 kali transfusi darah.
Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg berat badan/hari subkutan
melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal selama
5 hari berturut setiap selesai transfusi darah.
b. Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk
meningkatkan efek kelasi besi.
c. Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
d. Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat
memperpanjang umur sel darah merah
3. Bedah
a. Splenektomi, dengan indikasi :
i. limpa yang terlalu besar, sehingga
membatasi gerak penderita, menimbulkan peningkatan tekanan
intraabdominal dan bahaya terjadinya ruptur
ii. hipersplenisme ditandai dengan
peningkatan kebutuhan transfusi darah atau kebutuhan suspensi
eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu tahun.
b. Transplantasi sumsum tulang telah memberi harapan baru bagi
penderita thalasemia dengan lebih dari seribu penderita thalasemia
mayor berhasil tersembuhkan dengan tanpa ditemukannya akumulasi
besi dan hepatosplenomegali. Keberhasilannya lebih berarti pada
anak usia dibawah 15 tahun. Seluruh anak anak yang memiliki HLA-
spesifik dan cocok dengan saudara kandungnya di anjurkan untuk
melakukan transplantasi ini.
4. Suportif
a. Tranfusi Darah
Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl.
Dengan kedaan ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang
adekuat, menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat
mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita.
Pemberian darah dalam bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB
untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl.
b. Diet
Pasien dianjurkan menjalani diet normal, dengan suplemen
sebagai berikut : asam folat, asam askorbat (vitamin C) dosis rendah,
dan alfa-tokoferol (vitamin E). Sebaiknya zat besi tidak diberikan,
dan makanan yang kaya akan zat besi juga dihindari. Kopi dan teh
diketahui dapat membantu mengurangi penyerapan zat besi di usus.
Pemeriksaan penunjang yang dapat mendukung untuk mencari
tempat asal perdarahan yaitu:
a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan tersebut dilakukan dalam berbagai posisi terutama
pada daerah 1/3 distal esophagus, kardia, dan fundus lambung
untuk mencari adanya varises.
b. Pemeriksaan Endoskopi
Pemeriksaan ini menjadi dangat penting untuk menentukan dengan
tepat letak asal atau sumber perdarahan.
E. Pencegahan
Pencegahan thalassemia terutama ditujukan untuk menurunkan
jumlah bayi lahir dengan thalassemia mayor. Ada 2 pendekatan target dalam
pencegahan thalassemia yaitu secara retrospektif dan prospektif. Pendekatan
retrospektif dilakukan dengan cara melakukan penelusuran terhadap anggota
keluarga dengan riwayat keluarga menderita thalassemia mayor. Sementara
pendekatan prospektif dilakukan dengan melakukan skrining untuk
mengidentifikasi karier thalassemia pada populasi tertentu. Secara garis
besar bentuk pencegahan thalassemia dapat berupa edukasi tentang penyakit
thalassemia pada masyarakat, skrining (carrier testing), konseling genetika
pranikah, dan diagnosis prenatal (HTA Indonesia, 2010).
Edukasi
Edukasi masyarakat tentang penyakit thalassemia memegang
peranan yang sangat penting dalam program pencegahan. Masyarakat
harus diberi pengetahuan tentang penyakit yang bersifat genetik dan
diturunkan, terutama tentang thalassemia dengan frekuensi kariernya yang
cukup tinggi di masyarakat. Pendidikan genetika harus diajarkan di
sekolah, demikian pula pengetahuan tentang gejala awal thalassemia.
Media massa harus dapat berperan lebih aktif dalam menyebarluaskan
informasi tentang thalassemia, meliputi gejala awal, cara penyakit
diturunkan dan cara pencegahannya.
Skrining Karier
Skrining massal dan konseling genetika telah berhasil di Italia,
Yunani dan tempat yang memiliki fekuensi gen thalassemia tinggi.
Skrining pada populasi (skrining prospektif) dikombinasikan dengan
diagnostik pranatal telah menurunkan insidens thalassemia secara
dramatis.
Skrining thalassemia ditujukan untuk menjaring individu karier
thalassemia pada suatu populasi, idealnya dilakukan sebelum memiliki
anak. Skrining ini bertujuan untuk mengidentifikasi individu dan pasangan
karier, dan menginformasikan kemungkinan mendapat anak dengan
thalassemia dan pilihan yang dapat dilakukan untuk menghindarinya.
Target utama skrining adalah penemuan β- dan α o thalassemia, serta Hb S,
C, D, E.
Skrining dapat dilakukan di sekolah, klinik dokter keluarga, klinik
keluarga berencana, klinik antenatal, saat pranikah, atau pada saat bayi
baru lahir. Pada daerah dengan risiko tinggi dapat dilakukan program
skrining khusus pranikah atau sebelum memiliki anak.
Pendekatan genetik klasik dalam mendeteksi karier berdasarkan
penelusuran silsilah keluarga dianggap kurang efektif dibanding dengan
skrining populasi. Bila ada individu yang teridentifikasi sebagai karier,
maka skrining pada anggota keluarga yang lain dapat dilakukan. Skrining
silsilah genetik khususnya efektif pada daerah yang sering terjadi
perkawinan antar kerabat dekat. Algoritma skrining identifikasi karier
rekomendasi the Thalassemia International Federation (2003) mengikuti
alur pada gambar sebagai berikut :
E. KOMPLIKASI
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung.
Tranfusi darah yang berulang ulang dan proses hemolisis menyebabkan
kadar besi dalam darah sangat tinggi, sehingga di timbun dalam berbagai
jarigan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan lain lain. Hal ini
menyebabkan gangguan fungsi alat tersebut (hemokromatosis). Limpa
yang besar mudah ruptur akibat trauma ringan. Kadang kadang thalasemia
disertai tanda hiperspleenisme seperti leukopenia dan trompositopenia.
Kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung. Hepatitis
pasca transfusi biasa dijumpai, apalagi bila darah transfusi telah diperiksa
terlebih dahulu terhadap HBsAg. Hemosiderosis mengakibatkan sirosis
hepatis, diabetes melitus dan jantung. Pigmentasi kulit meningkat apabila
ada hemosiderosis, karena peningkatan deposisi melanin (Hassan, 2002).
F. PROGNOSIS
Prognosis bergantung pada tipe dan tingkat keparahan dari
thalassemia. Kondisi klinis penderita thalassemia sangat bervariasi dari
ringan bahkan asimtomatik hingga berat dan mengancam jiwa (Yaish,
2013).
3. ANEMIA SIDEROBLASTIK
A. Definisi
Anemia sideroblastik adalah anemia mikrositik-hipokromik yang
disebabkan oleh abnormalitas metabolisme heme. Penderita anemia ini
pada sumsum tulangnya ditemukan sideroblas cincin, yang merupakan sel
darah merah berinti (eritrosit imatur) dengan lingkaran perinuklear
mengandung granula besi (agregat besi dalam mitokondria). Eritrosit
imatur ini gagal menjadi matur dan banyak hancur dalam sumsum tulang
sebelm mencapai sirkulasi (Caudill, et al., 2008).
B. Etiologi
Penyebab anemia sideroblastik dapat dikategorikan menjadi 2
kelompok, yaitu congenital anemia sideroblastik dan anemia sideroblastik
yang didapat. Anemia ini melibatkan sintesis heme yang abnormal
sehingga terjadi deposisi granular besi di mitokondria yang membentuk
cincin di sekitar inti eritrosit imatur. Penyebab kongenital sering
ditemukan anemia normositik atau mikrositik, sedangkan yang didapat
sering ditemukan normositik atau makrositik (Saini, et al., 2012).
1. Kongenital anemia sideroblastik (primer)
a. X-linked sideroblastic anemia
X-linked sideroblastic anemia merupakan penyebab paling umum
congenital anemia sideroblastik yang melibatkan defek ALAS2
(langkah awal sintesis heme) dan mutasi ABC7.
b. Autosomal recessive sideroblastic anemia
Autosomal recessive sideroblastic anemia melibatkan mutasi pada
gen SLC25A38. Fungsi protein ini terlibat dalam transportasi
mitokondria glisin. Glisin adalah substrat untuk ALAS2 dan
diperlukan untuk sintesis heme.
C. Patofisiologi
Perubahan pada anemia sideroblastik pada dasarnya terjadi kegagalan
inkorporasi besi ke dalam senyawa hem pada mitokondria yang
mengakibatkan besi mengendap pada mitokondria sehingga jika yang dicat
dengan cat besi akan terlihat bintik-bintik yang mengelilingi inti yang
disebut sebagai sideroblas cincin. Hal yang menyebabkan kegagalan
pemnbentukan hemoglobin yang disertai eritropoesis inefektif dan
menimbulkan anemia hipokromik mikrositik.
Gambar 2.
Sintesis
Heme
(Mir, 2013)
1. Kongenital anemia sideroblastik
X-linked sideroblastic anemia dibagi menjadi pyridoxine-
responsive (> 50%) dan subtipe pyridoxine-resistant. Pada subtipe
pyridoxine-responsive menunjukkan bentuk defek δ-amino levulinic
acid synthase (ALAS-2) sehingga mengganggu pembentukan levulinic
δ-amino dan pada akhirnya tidak terbentuk protoporphiryn, tetapi di
sisi lain terdapat besi yang masuk ke mitokondria, dengan demikian
terbentuk ring sideroblas dan mengakibatkan anemia. Pada subtipe
pyridoxine-resistant terjadi mutasi mutasi gen ABC7. ABC-7 adalah
adenosin trifosfat (ATP)- dependent transporter protein yang terlibat
dalam transfer sitosol kompleks besi-sulfur.
Pearson (sumsum tulang-pankreas) sindrom,] adalah gangguan
multisistem remaja disebabkan oleh penghapusan dalam DNA
mitokondria (mtDNA) dan menyebabkan anemia sideroblastik,
neutropenia, sel vakuolisasi terutama di prekursor sumsum tulang,
eksokrin pankreas insufisiensi, malabsorpsi, dan kegagalan
pertumbuhan.
Sindrom DIDMOAD (diabetes insipidus, diabetes mellitus, atrofi
optik, dan tuli) dikaitkan dengan anemia sideroblastik yang responsif
terhadap vitamin B-1 (tiamin). Etiologi sindrom DIDMOAD adalah
defek metabolisme tiamin.
2. Anemia sideroblastik yang didapat
a. Myelodysplastic syndrome
b. Defisiensi nutrisi (tembaga dan vitamin B-12)
c. Penggunaan alkohol berlebih
Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan
kekurangan besi atau folat, hemolisis, toksisitas sumsum tulang
langsung ke erythroid prekursor, penghambatan pyridoxine, dan
penghambatan enzim ferrochelatase selama pembentukan heme.
d. Keracunan timbal,
e. Penggunaan obat-obatan
Gangguan inkorporasi besi ke dalam protoporfirin
// (pembentukan heme)
eritropeisis inefektif
D. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala utama adalah sesak napas saat beraktivitas, sesak pada saat
istirahat, fatigue, gejala dan tanda keadaan hiperdinamik (denyut nadi
kuat, jantung berdebar, dan roaring in the ears), kelelahan, dan pusing.
Pada anemia yang lebih berat, dapat timbulletargi, konfusi, dan
komplikasi yang mengancam jiwa (gagal jantung, angina, aritmia
dan/atau infark miokard). Penyakit jantung, kerusakan hati, dan gagal
ginjal dapat terjadi akibat penumpukan zat besi dalam organ-organ
ini(Papadakis, et al., 2005).
2. Pemeriksaan fisik
Pada anemia sideroblastik kulit terlihat pucat, anemia sedang sampai
berat terdapat anisocytosis dan poikilocytosis. Pada pemeriksaan
abdomen dapat ditemukan pembesaran lien dan hepar (Papadakis, et
al., 2005).
3. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan Lab didapatkan (Papadakis, et al., 2005):
a. Peningkatan serum iron
b. Peningkatan kadar ferritin
c. Total iron-binding capacity normal
d. Saturasi transferin tinggi
e. Hematokrit sekitar 20-30%
f. Volume corpuscular rata-rata atau MCV biasanya normal atau
rendah untuk penyebab kongenital anemia sideroblastik
g. Pada keracunan timbal, melihat coarse basophilic stippling pada
sel darah merah pada apus darah tepi
h. Tes khusus: Prussian blue stain pada sel darah merah di sumsum
tulang yang mennjukan ring sideroblas. Pewarnaan biru Prusia
melibatkan reaksi non-enzimatik ferrous iron dengan ferrocyanide
membentuk ferric-ferrocyanide, yang berwarna biru.
E. Tatalaksana
Terapi yang digunakan untuk penderita anemia sideroblastik berupa
(Papadakis, et al., 2005):
Terapi untuk anemia sideroblastik berupa terapi simptomatik yaitu dengan
transfusi darah. Pemberian vitamin B6 dapat dicoba karena pada sebagian
kecil penderita bersifat responsif terhadap piridoksin. Untuk anak-anak
diberikan dalam dosis 200-500 mg/24 jam. Vitamin B6 merupakan
kofaktor enzim ALA-sintase.
D. Penegekan diagnosis
1. Anamnesis
Gejalanya sama seperti anemia pada umumnya yaitu lelah, lemah,
jantung berdebar, pusing, sesak nafas, mual, dan muntah. Gejala
tersebut timbul ringan sampai sedang kadang asimtomatik
(Harmening, 2009).
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan muka pucat, konjungtiva pucat,
takikardi, cepat lelah, lemah, takikardi, kuku pucat, cafilary refil
3. Namun, pada pasien–pasien dengan gangguan paru yang berat,
demam, atau fisik dalam keadaan lemah akan menimbulkan
berkurangnya kapasitas daya angkut oksigen dalam jumlah sedang,
yang mana ini nantinya akan mencetuskan gejala. Pada pasien–pasien
lansia, oleh karena adanya penyakit vaskular degeneratif kemungkinan
akan ditemukan gejala–gejala kelelahan, lemah, klaudikasio
intermiten, muka pucat dan pada jantung keluhannya dapat berupa
palpitasi dan angina pektoris serta dapat terjadi gangguan serebral
(Harmening, 2009).
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia ringan sampi
sedang. Pada pemeriksaan status besi didapatkan penurunan besi
serum, tranferin saturasi transferin, dan total protein pengikat besi,
sedangkan kadar feritin dapat normal atau meningkat. Kadar
reseptor transferin di anemia penyakit kronis adalah normal
(Zarychanski, et al., 2008).
Hemoglobin Biasanya 7-11 g/dl
Sideroblas Kurang
E. Tatalaksana
1. Rekombinan eritropoetin (Epo)
Pada pasien–pasien anemia penyakit kronik yang penyakit dasarnya
anemia karena kanker, gagal ginjal, HIV dan artritis
rematoid. Dosisnya dapat dimulai dari 50–100 Unit/Kg, 3x seminggu,
pemberiannya secara intra venous (IV) atau subcutan (SC). Bila dalam
2–3 minggu konsentrasi hemoglobin meningkat dan/atau feritin serum
menurun, maka kita boleh menduga bahwa eritroit respons. Bila
dengan dosis rendah responsnya belum adekuat, maka dosisnya dapat
ditingkatkan sampai 150 Unit/Kg, 3x seminggu (Zager, 2006).
Bakta, I Made, dkk. Anemia Defisiensi Besi dalam Sudoyo, Aru W, et.al.
2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Caudill JS, Imran H, Porcher JC, Steensma DP. 2008. Congenital sideroblastic
anemia associated with germline polymorphisms reducing expression of
FECH. Haematologica 9,3 (10): 1582–4.
Husaini MA et al. 1989. Anemia Gizi : Suatu Studi Kompilasi Informasi dalam
Menunjang Kebijaksanaan Nasional dan Pengembangan
Program.Jakarta :Direktorat Bina Gizi Masyarakat dan Puslitbang Gizi.
Jabbar, DA, Davison, G and AJ, Muslin. Getting the iron out: Preventing and
treating heart faliure in transfussion dependent thalassemia. 11, 2007,
Cleveland Clinic Journal of Medicine, Vol. 7, pp. 807-816.
Kohgo,Y.et al. Body iron metabolism and pathophysiology of iron overload. 2008,
International Journal of Hematology, Vol. 88, pp. 7-15.11.
Mir, Muhammad. 2013. Anemia Sideroblastik. Pennsylvania State University
College of Medicine
Riswan, M., 2003. Anemia Defisiensi Besi Pada Wanita Hamil Di Beberapa
Praktek Bidan Swasta Dalam Kota Madya Medan, Universitas Sumatera
Utara. Diunduh dari:
http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalammuhammad%20riswan.pdf.
[Diakses April 2014]
Saini, N; Jacobson, JO; Jha, S; Saini, V; Weinger, R. 2012. The perils of not
digging deep enough--uncovering a rare cause of acquired
anemia. American journal of hematology 87 (4): 413–6.
Sudoyo, A., 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi 4 Jilid II. Pustaka IPD
FKUI
Zager RA. 2006. Parenteral iron compounds: potent oxidants but mainstays of
anemia management in chronic renal disease. Clin J Am Soc Nephrol. 1
Suppl 1: S24–31.
Zulaicha, T. M., 2009. Pengaruh Suplementasi Besi Sekali Seminggu Dan Sekali
Sehari Terhadap Status Gizi Pada Anak Sekolah Dasar, Universitas
Sumatera Utara. Diunduh dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6261/1/09E00122.pdf.
[Diakses Juni 2014].