Вы находитесь на странице: 1из 3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lansia merupakan penetapan usia 65 tahun keatas sebagai awal masa
lanjut usia (Potter dan Perry, 2010). Jumlah proporsi lansia di Indonesia juga
bertambah setiap tahunnya. Data WHO pada tahun 2009 menunjukan lansia
berjumlah 7,49% dari total populasi, tahun 2011 menjadi 7,69% dan pada
tahun 2013 didapatkan proporsi lansia sebesar 8,1% dari total populasi (World
Health Organization, 2015). Dengan bertambahnya usia, kemampuan sistem imun
untuk menghancurkan bakteri, virus, dan jamur akan semakin melemah, bahkan
sistem ini tidak memulai serangannya sehingga sel mutasi berbentuk beberapa
kali. Disfungsi sistem imun diperkirakan menjadi faktor dalam perkembangan
penyakit kronis seperti kanker, diabetes, dan oeyakit kardiovaskuler. Dari
penyakit yang disebutkan salah satunya adalah penyakir kardiovaskuler seperti
hipertensi (Potter dan Perry, 2010).
Hipertensi atau lebih banyak dikenal dengan penyakit darah tinggi dapat
diartikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140
mmHg dan tekanan diastoliknya diatas 90 mmHg. Penyakit ini dapat disebabkan
oleh faktor keturunan, umur, jenis kelamin, ras dan pola hidup (Padila, 2013).
Jumlah penyakit kardiovaskular secara global menyebabkan sekitar 17 juta
kematian per tahun. Komplikasi dari hipertensi sebesar 9,4 juta kematian di
seluruh dunia setiap tahunnya. Hipertensi menyebabkan kematian 45% akibat
penyakit jantung, dan 51% kematian akibat stroke. Negara berpenghasilan tinggi
memiliki prevalensi hipertensi lebih rendah 35% dibandingkan kelompok lain
yaitu sebesar 40%. Karena sistem kesehatan yang lemah, jumlah penderita
hipertensi yang tidak terdiagnosis, tidak diobati, dan tidak terkendali juga lebih
tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah dibandingkan
dengan negara-negara berpenghasilan tinggi (WHO, 2013).
Menurut American Heart Association (AHA), penduduk Amerika yang
berusia diatas 20 tahun menderita hipertensi telah mencapai angka hingga 74,5
juta jiwa namun sekitar 90-95% kasus tidak diketahui penyebabnya. Hipertensi
merupakan silent killer dimana gejala dapat bervariasi pada masing-masing
individu dan hampir sama dengan gejala penyakit lainnya Gejala-gejalanya itu
adalah sakit kepala atau rasa berat di tengkuk, mumet (vertigo), jantung berdebar-
debar, mudah lelah, penglihatan kabur, telinga berdenging (tinnitus), dan mimisan
(Kemenkes, 2014). Di Indonesia sendiri, hipertensi merupakan penyebab
kematian nomor 3 setelah penyakit stroke dan tuberkulosis, yaitu mencapai 6,7%
dari populasi kematian pada semua umur. Hipertensi termasuk gangguan sistem
peredaran darah yang dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah menjadi di atas
normal, yaitu 140/90 mmHg (WHO, 2015).
Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui pengukuran pada
umur ≥18 tahun sebanyak 25,8 persen. Angka prevalensi hipertensi di Bangka
Belitung (30,9%), diikuti Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur
(29,6%) dan Jawa Barat (29,4%). Provinsi Lampung memiliki prevalensi
sebanyak 24%. Berdasarkan hasil pengukuran, prevalensi hipertensi pada
penduduk umur 18 tahun ke atas pada tahun 2007 di Indonesia adalah sebesar
31,7%. Menurut provinsi, prevalensi hipertensi tertinggi di Kalimantan
Selatan (39,6%) dan terendah di Papua Barat (20,1%). Sedangkan jika
dibandingkan dengan tahun 2013 terjadi penurunan sebesar 5,9% (dari 31,7%
menjadi 25,8%). Penurunan ini dapat terjadi karena berbagai macam
penatalaksanaan contohnya seperti penurunan berat badan, olahraga/latihan,
relaksasi, konsumsi obat antihipertensi, dan lain sebagainya (Muttaqin, 2009).
Prevalensi tertinggi pada tahun 2013 yaitu di Provinsi Bangka Belitung dengan
persentase (30,9%), dan Papua yang terendah (16,8%). Melihat dari data provinsi,
Jawa Barat termasuk kedalam empat provinsi yang memiliki prevalensi tertinggi
dengan presentase sebesar 29,4% atau sama dengan 13.612.359 jiwa yang
menderita penyakit hipertensi dari jumlah penduduk 46.300.543 jiwa (Kemenkes
RI, 2014).
Hipertensi sangat berbahaya bagi kesehatan karena jika tidak ditangani
dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh diantaranya seperti otak, ginjal, mata
dan jantung serta kelumpuhan anggota gerak. Namun yang paling sering terjadi
adalah stroke, gagal jantung dan gagal ginjal. Maka dari itu untuk mencegah
komplikasi tersebut, hipertensi memerlukan berbagai upaya untuk monitoring
tekanan darah secara teratur seperti dengan menganjurkan untuk diet yang sehat,
menyarankan penderita hipertensi untuk minum obat secara teratur, serta perlu
adanya peningkatan fisik (Putri Gilang Ardiana, Mulyani Sri, Agung Andi, 2015).
Salah satu cara untuk meningkatkan aktivitas fisik pada penderita
hipertensi adalah terapi senam. Senam merupakan jenis olahraga yang paling
sering dilakukan salah satunya senam jantung sehat. Senam jantung sehat adalah
olahraga yang disusun dengan mengutamakan kemampuan jantung, gerakan otot
besar, dan kelenturan sendi. Serta upaya untuk memasukkan oksigen sebanyak
mungkin. Selain meningkatnya perasaan sehat dan kemampuan untuk mengatasi
stress, keuntungan latihan aerobik yang teratur adalah berkurangnya frekuensi
denyut jantung saat istirahat (Fakhruddin, 2013 dalam jurnal Syahfitri Mayani,
Safri, Jumaini, 2015). Senam jantung sehat tersebut termasuk ke dalam olahraga
aerobik dengan intensitas sedang yang terdiri dari 5 seri dengan tingkatan beban
yang berbeda-beda tiap serinya. Diantara 5 seri tersebut senam jantung sehat yang
tepat untuk lansia adalah seri 1 karena menggunakan musik yang pelan dan tidak
rumit (Priadi, 2016).

Вам также может понравиться