Вы находитесь на странице: 1из 17

HIV/AIDS

DEFINISI
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat
limfotropik khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh,
menghancurkan atau merusak sel darah putih spesifik yang disebut limfosit T-helper
atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4). Virus ini diklasifikasikan dalam famili
Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus Lentivirus. Selama infeksi berlangsung,
sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan orang menjadi lebih rentan terhadap
infeksi. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan
indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS (Acquired
Imunnodeficiency Syndrome) (Rosella, 2013).
AIDS merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh
menurunnya kekebalan tubuh akibat virus HIV. Sebagian besar orang yang terkena
HIV, bila tidak mendapat pengobatan, akan menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam
waktu 8-10 tahun. AIDS diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu yang
dikelompokkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization)
menjadi 4 tahapan stadium klinis, dimana pada stadium penyakit HIV yang paling
terakhir (stadium IV) digunakan sebagai indikator AIDS. Sebagian besar keadaan ini
merupakan infeksi oportunistik yang apabila diderita oleh orang yang sehat, infeksi
tersebut dapat diobati (Rosella, 2013)

KLASIFIKASI

Dengan menurunnya status imun terutama bila CD4 <200 sel/mm3, maka
berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus lain, protozoa cenderung tumbuh dan
berkembang biak menimbulkan infeksi sekunder. Bila CD4 semakin turun hingga
<200 sel/mm3, maka selain ketiga jenis mikroorganisme tersebut juga muncul infeksi
jamur. Meskipun demikian infeksi jamur juga bisa terjadi bersamaan dengan infeksi
akibat bakteri, virus dan protozoa.

EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia, HIV AIDS pertama kali ditemukan di Bali pada tahun 1987.
Hingga saat ini HIV AIDS sudah menyebar di 386 kabupaten/kota di seluruh provinsi
di Indonesia. Berbagai penanggulangan sudah dilakukan oleh Pemerintah
bekerjasama dengan berbagai lembaga di dalam negeri dan luar negeri. Di seluruh
dunia pada tahun 2013 ada 35 juta orang hidup dengan HIV yang meliputi 16 juta
perempuan dan 3,2 juta anak berusia <15 tahun. Jumlah infeksi baru HIV pada
tahun 2013 sebesar 2,1 juta yang terdiri dari 1,9 juta dewasa dan 240.000 anak
berusia <15 tahun. Jumlah kematian akibat AIDS sebanyak 1,5 juta yang terdiri dari
1,3 juta dewasa dan 190.000 anak berusia <15 tahun (Infodatin, 2014)

MANIFESTASI KLINIS
Menurut Rosella (2013), tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada
penderita AIDS umumnya sulit dibedakan karena bermula dari gejala klinis umum
yang didapati pada penderita penyakit lainnya. Secara umum dapat dikemukakan
sebagai berikut:
 Rasa lelah dan lesu
 Berat badan menurun secara drastis
 Demam yang sering dan berkeringat waktu malam
 Mencret dan kurang nafsu makan
 Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
 Pembengkakan leher dan lipatan paha
 Radang paru
 Kanker kulit
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS umumnya meliputi 3 hal yaitu:
Manifestasi tumor
1. Sarkoma Kaposi
Kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Penyakit ini sangat jarang
menjadi sebab kematian primer.
2. Limfoma ganas
Timbul setelah terjadi Sarkoma Kaposi dan menyerang saraf serta dapat
bertahan kurang lebih 1 tahun.
Manifestasi oportunistik
1. Manifestasi pada Paru
a. Pneumoni pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi
paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam
dan demam.
b. Cytomegalovirus (CMV)
Pada manusia 50% virus ini hidup sebagai komensal pada paru- paru
tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan 30%
penyebab kematian pada AIDS.
c. Mycobacterium avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit
disembuhkan.
d. Mycobacterium tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi milier dan cepat
menyebar ke organ lain di luar paru.
2. Manifestasi gastrointestinal
Tidak ada nafsu makan, diare kronis, penurunan berat badan >10% per
bulan.
a. Manifestasi neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS menunjukkan manifestasi neurologis yang
biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan saraf yang umum
adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati, neuropati perifer.
Diagnosis infeksi HIV & AIDS dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi
klinis WHO atau CDC. Di Indonesia diagnosis AIDS untuk keperluan
surveilans epidemiologi dibuat apabila menunjukkan tes HIV positif dan
sekurang-kurangnya didapatkan dua gejala mayor dan satu gejala minor.
FAKTOR RESIKO
Menurut Fajar (2013), faktor risiko epidemiologis infeksi HIV adalah sebagai berikut :
1. Perilaku berisiko tinggi :
 Hubungan seksual dengan pasangan berisiko tinggi tanpa menggunakan
kondom
 Pengguna narkotika intravena, terutama bila pemakaian jarum secara
bersama tanpa sterilisasi yang memadai.
 Hubungan seksual yang tidak aman : multi partner, pasangan seks
individu yang diketahui terinfeksi HIV, kontaks seks per anal.
2. Mempunyai riwayat infeksi menular seksual.
3. Riwayat menerima transfusi darah berulang tanpa penapisan.
4. Riwayat perlukaan kulit, tato, tindik, atau sirkumsisi dengan alat yang tidak
disterilisasi.
Virus HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial
mengandung virus HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu.
Sedangkan cairan yang tidak berpotensi untuk menularkan virus HIV adalah cairan
keringat, air liur, air mata dan lain-lain

PATOFISIOLOGI (terlampir)

STADIUM KLINIS
Menurut Fajar (2013), perkembangan HIV menurut WHO (2002), manifestasi klinis
penderita HIV/AIDS dewasa dibagi dalam 4 stadium , yaitu :
1. Stadium I : Dengan penampilan stadium klinis I : asimtomatis dan aktivitas
normal
 Asimtomatis
 Limfadenopati generalisata persisten
2. Stadium II : Dengan penampilan simtomatis dan aktivitas normal
 Penurunan berat badan < 10%
 Manifestasi mukokutaneus minor (dermatitis seborreic, prurigo, infeksi
jamur pada kuku, ulserasi pada mulut berulang, cheilitis angularis).
 Herpes Zoster, dalam 5 tahun terakhir
 Infeksi saluran napas atas berulang (misalnya : sinusitis bakterial).
3. Stadium III : dengan penampilan berbaring di tempat tidur <50% dalam 1
bulan
 Penurunan berat badan >10%
 Diare kronis dengan penyebab yang tidak jelas > 1 bulan.
 Demam tanpa penyebab yang jelas (intermittent atau menetap) > 1 bulan
 Kandidiasis oral
 Tuberkulosis paru dalam 1 tahun terakhir
 Terinfeksi bakteri berat ( pneumonia, piomiositis)
4. Stadium IV
 HIV wasting syndrome
 Pneumonia pneumokistik karinii
 Infeksi toksoplasmosis di otak
 Diare karena crytosporidiosis > 1 bulan
 Mengalami infeksi sitomegalovirus
 Infeksi herpes simpleks, maupun mukukutaneus > 1 bulan
 Infeksi mikosis (histoplasmosis, coccidiodimycosis)
 Kandidiasis esofagus, trakhea, bronkus, maupun paru
 Infeksi mikobakteriosis atypical
 Sepsis
 Tuberkulosis ekstrapulmoner
 Limfoma maligna
 Sarkoma kaposi

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Sejak tanggal 5 Juni 1981, banyak definisi yang muncul untuk pengawasan
epidemiologi AIDS, seperti definisi Bangui dan definisi World Health Organization
(WHO) tentang AIDS tahun 1994. Namun demikian, kedua sistem tersebut
sebenarnya ditujukan untuk pemantauan epidemi dan bukan untuk penentuan
tahapan klinis pasien, karena definisi yang digunakan tidak sensitif ataupun spesifik.
Di negara-negara berkembang, sistem WHO untuk infeksi HIV digunakan dengan
memakai data klinis dan laboratorium, sementara di negara-negara maju digunakan
sistem klasifikasi Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat.
1. ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assayTes skrining yang digunakan
untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent
assay). Untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes ELISA sangat
sensitif, tapi tidak selalu spesifik, karena penyakit lain juga bisa menunjukkan
hasil positif sehingga menyebabkan false positif, diantaranya penyakit
autoimun ataupun karena infeksi.16 Sensivitas ELISA antara 98,1%-100%
dan dapat mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dalam darah.
2. Western Blot memiliki spesifisitas (kemampuan test untuk menemukan orang
yang tidak mengidap HIV) antara 99,6% - 100%. Namun pemeriksaannya
cukup sulit, mahal dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.30 Tes Western
Blot mungkin juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita HIV atau
tidak. Oleh karena itu, tes harus diulangi setelah dua minggu dengan sampel
yang sama. Jika test Western Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka test
Western Blot harus diulangi lagi setelah 6 bulan.16
3. PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik untuk infeksi
HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas.16 b.
Western Blot c. PCR (Polymerase chain reaction)

PENATALAKSANAAN

Tatalakasana Klinis Infeksi HIV dan Terapi ARV.


Tujuan terapi ARV adalah :
 Menurunkan angka kesakitan akibat HIV, dan menurunkan angka kematian
AIDS
 Memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup penderita seoptimal mungkin
 Mempertahankan dan mengembalikan status imun ke fungsi normal.
 Menekan replikasi virus serendah dan selama mungkin sehingga kadar HIV
dalam plasma <50 kopi/ml.
A. Paduan ARV Lini – Pertama yang dianjurkan

Prinsip Pemilihan obat ARV


1. Pilih lamivudin (3TC), ditambah
2. Pilih salah satu obat dari golongan nucleoside revere transcriptase inhibitor
(NRTI), zidovudine (AZT) atau stavudin (d4T)
B. Pilihan Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI)
Tabel 13. Pilihan Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI)

C. Memulai dan menghentikan non-nucleoside reverse transcriptase


inhibitor (NNRTI)
NVP dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama 14 hari
pertama dalam paduan ARV lini - pertama bersama AZT atau d4T + 3 TC . Bila
tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi 200 mg setiap 12
jam. Mengawali terapi dengan dosis rendah tersebut diperlukan karena selama 2
minggu pertama terapi, NVP menginduksi metabolismenya sendiri. Dosis awal
tersebut juga mengurangi risiko terjadinya ruam dan hepatitis oleh karena NVP
yang muncul dini.
Bila NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan selama lebih dari
14 hari maka diperlukan kembali pemberian dosis awal yang rendah tersebut.

Menghentikan NVP atau EFV


Hentikan NVP atau EFV
Teruskan NRTI (2 obat ARV saja) selama 7 hari, kemudian hentikan
semua obat
Hal tersebut guna mengisi waktu paruh NNRTI yang panjang dan
menurunkan risiko resistensi NNRTI.

E. Penggunaan PI untuk mengawali terapi ARV


PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa PI
pada awal terapi akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di Indoneesia
di mana sumber dayanya masih sangat terbata. PI hanya dapat digunakan
sebagai paduan lini pertama (bersama kombinasi standar 2 NRTI) pada terapi
infeksi HIV-2, pada perempuan dengan CD4>250/ mm3 yang mendapat ART dan
tidak bisa menerima EFV, atau pasien dengan intoleransi NNRTI.
ARV yang Disetujui di AS
Setiap tipe atau ‘golongan’ ARV menyerang HIV dengan cara berbeda. Saat ini ada
lima golongan obat disetujui di AS.
Golongan obat anti-HIV pertama adalah nucleoside reverse transcriptase
inhibitor atau NRTI, juga disebut analog nukleosida. Obat golongan ini
menghambat langkah keempat di atas, yaitu perubahan bahan genetik HIV dari
bentuk RNA menjadi bentuk DNA yang dibutuhkan dalam langkah berikut. Obat
dalam golongan ini yang disetujui di AS dan masih dibuat adalah:
 3TC (lamivudin)
 Abacavir (ABC)
 AZT (ZDV, zidovudin)
 d4T (stavudin)
 ddI (didanosin)
 Emtrisitabin (FTC)
 Tenofovir (TDF; analog nukleotida)

Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor atau NNRTI menghambat


langkah yang sama dalam siklus hidup HIV, tetapi dengan cara lain. Lima NNRTI
disetujui di AS:

 Delavirdin (DLV)
 Efavirenz (EFV)
 Etravirin (ETV)
 Nevirapin (NVP)
 Rilpivirin (RPV)
Protease inhibitor (PI) menghambat langkah kesepuluh, dengan bahan virus baru
dipotong sesuai untuk membuat virus baru. Sembilan PI disetujui dan masih dibuat
di AS:

 Atazanavir (ATV)
 Darunavir (DRV)
 Fosamprenavir (FPV)
 Indinavir (IDV)
 Lopinavir (LPV)
 Nelfinavir (NFV)
 Ritonavir (RTV)
 Saquinavir (SQV)
 Tipranavir (TPV)

Entry inhibitor mencegah pengikatan dan pemasukan HIV pada sel dengan
menghambat langkah kedua dari siklus hidupnya. Dua obat golongan ini sudah
disetujui di AS:

 Enfuvirtid (T-20)
 Maraviroc (MVC)
Integrase inhibitor (INI). Obat golongan ini mencegah pemaduan kode genetik HIV
dengan kode genetik sel dengan menghambat langkah kelima dari siklus hidupnya.
Sudah tersedia tiga obat INI:

 Dolutegravir (DTG)
 Elvitegravir (EGV)
 Raltegravir (RGV)

Namun elvitegravir hanya disetujui sebagai kandungan dalam Stribild, pil kombinasi
dengan cobicistat, emtricitabine dan tenofovir.

Tahap Replikasi Virus HIV


1. Virus bebas
2. Pelekatan dan peleburan (virus menempel pada sel melalui dua buah
reseptor CD4 dan CCR5)
3. Infeksi (virus menembus dan memasukkan isinya ke dalam sel yang
diinfeksi)
4. Reverse transcription (RNA virus tunggal dirubah menjadi DNA helai ganda
oleh enzim reverse transcriptase)
5. Penyatuan (penggabungan DNA virus dengan DNA sel oleh enzim
integrase)
6. Transkripsi (ketika sel yang terinfeksi membelah DNA virus dibaca dan
terbentuklah protein-protein rantai panjang)
7. Perakitan (kelompok-kelompok rantai virus bergabung menjadi satu
kesatuan)
8. Pemisahan (virus yang belum matang memisahkan diri dari sel yang
diinfeksi)
9. Penonjolan (virus yang belum matang menonjol keluar sel bersama selaput
sel)
10. Pematangan (protein rantai panjang dalam partikel virus yang baru
dipotong-potong menggunakan enzim protease protein-protein virus dan
bergabung membentuk virus baru yang siap menginfeksi sel-sel lainnya)
Hubungan seksual dengan pasangan yang terinfeksi HIV

Sperma terinfeksi masuk ke dalam tubuh pasangan lewat membrane mukosa vagina

Virus masuk dalam peredaran darah & infasi sel target hospes

T helper , limfosit B, makrofag

Terjadi perubahan pada structural sel akibat transkripsi RNA


virus & DNA sel sehingga terbentuknya provirus

T helper , limfosit B, makrofag mengalami kelumpuhan

Menurunnya sistem kekebalan tubuh

Infeksi oportunistik

Sistem GIT Integumen Reproduksi Respirasi Neurologi

Menginfeksi Dermatitis Ulkus genital Peradangan Kriptococus


saluran cerna serebroika pada jaringan
paru
Meningitis
Peristaltik Ruam, difus, kriptococus
meningkat bersisik, kulit Demam, batuk
mengering kering, nafas
pendek Perubahan
Diare, mual, status mental,
kehilangan Psoriasis Kerusakan kejang,
nafsu makan integritas kulit  Hipertermi kelemahan
 Bersihan
jalan nafas
inefektiv
Kekurangan Ketidakseimbangan  Ketidakefe  Resiko
volume cairan nutrisi kurang dari ktifan pola cidera
& elektrolit kebutuhan tubuh  hambatan
napas
mobilitas
fisik
DAFTAR PUSTAKA

INFODATIN Situasi dan Analisis HIV AIDS. 2014. Kementrian Kesehatan RI.
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Infodatin%20A
IDS.pdf. Diakses pada 4 Januari 2018.
M Rossella. 2013. BAB II Tinjauan Pustaka.
http://eprints.undip.ac.id/44074/3/3_BAB_II_.pdf. Diakses pada 4 Januari
2018.
PP Fajar - 2013. BAB II Tinjauan Pustaka.
http://eprints.undip.ac.id/43845/3/ELIZABETH_FAJAR_P.P_G2A009163_bab_
2_KTI.pdf. Diakses pada 4 Januari 2018.

Вам также может понравиться