Вы находитесь на странице: 1из 4

PRODUKTIFITAS ESTUARIA

Estuaria merupakan ekosistem produktif yang setara dengan hutan hujan tropik dan terumbu
karang, karena perannya adalah sebagai sumber zat hara, memiliki komposisi tumbuhan yang
beragam sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung sepanjang tahun, serta sebagai
tempat terjadinya fluktuasi permukaan air akibat aksi pasang surut. Kondisi ekosistem yang
produktif inilah maka estuaria menjadi salah satu wilayah yang memiliki tingkat produktifitas
tinggi. Produktifitas merupakan suatu proses produksi yang menghasilkan bahan organik
yang meliputi produktifitas primer ataupun sekunder. Produktifitas primer pada wilayah
estuaria dapat diartikan sebagai banyaknya energi yang diikat atau tersimpan dalam aktifltas
fotosintesis dari organisme produser, terutama tanaman yang berklorofil dalam bentuk-bentuk
substansi organik yang dapat digunakan sebagai bahan makanan. Produktifitas ini dilakukan
oleh organisme “outotroph” seperti juga semua tumbuhan hijau mengkonversi energi cahaya
ke dalam energi biologi dengan fiksasi karbondioksida, memisahkan molekuler air dan
memproduksi karbohidrat dan oksigen. Kegiatan fotosintesis yang dilakukan oleh organisme
dalam mengkonversi energi cahaya menjadi karbohidrat dan oksigen pada letak lintang
rendah (tropik) sampai tinggi (kutub) ternyata sangat berbeda-beda (Gambar 3). Pada daerah
dekat kutub, puncak ketinggian fitoplankton dan zooplankton mengikuti musim dengan
adanya penyinaran matahari, sedangkan daerah yang memiliki empat musim juga
memperlihatkan turun naiknya kelimpahan fitoplankton dan zooplankton tidak
memperlihatkan variasi yang besar Flores Verdago et. al. (dalam DAY dkk. 1989).
Selanjutnya disebutkan bahwa pada wilayah estuaria tropik, masa air permukaan maupun di
dasar cukup menerima cahaya matahari sepanjang tahun karena ketinggian matahari tidak
banyak berubah sepanjang tahun dengan demikian diperoleh kondisi cahaya optimal bagi
produksi fitoplankton. Faktor penting lainnya yang mempengaruhi produktifitas fitoplankton,
yaitu curah hujan yang membawa unsur-unsur hara dari darat ke laut melalui aliran sungai,
adanya pengadukan oleh angin, arus pasang surut dan gelombang, kemudian unsur hara akan
terangkat dari dasar ke permukaan. Proses pengadukan tersebut menjadikan pertumbuhan
fitoplankton di muara sungai lebih baik (Sutomo, 1999). Vegetasi di wilayah perairan estuaria
tropik yang mendukung produktifitas primer antara lain adalah lamun, beberapa jenis algae
hijau, diatom bentik di dataran lumpur dan komunitas mangrove yang memagari wilayah
estuaria. Keberadaan vegetasi di wilayah ini menjadikan estuaria lebih produktif dari pada
perairan laut dalam, sehingga tingkat produktifitasnya bisa mencapai sekitar 15 sampai 20
kali lipat dari produktifitas samudera (Odum, 1962). Adanya komposisi tumbuhan yang
beragam tersebut, menyebabkan produksi primer mampu mensuplai dalam bentuk bahan
organik dan oksigen bagi keperluan organisme. Sumbangan bahan organik selain diperoleh
dari hasil produksi primer (fatosintesis) juga dihasilkan dari serasah daun mangrove yang
mengalami proses dekomposisi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan sumbangan serasah
daun mangrove di wilayah perairan estuaria tropik menunjukkan jumlah cukup tinggi. Hasil
produktifitas primer selanjutnya akan mendukung proses produktifitas sekunder. Sejumlah
organisme melayang di kolom air memanfaatkan unsur hara dalam bentuk terlarut, dan
organisme dasar memanfaatkan detritus. Tingginya bahan organik terlarut di wilayah estuaria
selanjutnya akan dimanfaatkan oleh zooplankton dan nekton, sehingga menjadikan wilayah
ini sangat potensial bagi sektor perikanan misalnya untuk budidaya dan perikanan tangkap.
Tingginya produktifitas di wilayah estuaria di dukung juga oleh tersedianya kandungan
nutrien yang cukup bagi organisme di perairan tersebut. Ketersediaan nutrien pada perairan
ini dapat dipengaruhi oleh fluktuasi relatif pasang surut dan aliran permukaan (run-off) dari
daratan atau buangan limbah melalui sungai. Menurut Raymond (1963), unsur hara atau
nutrien terlarut yang terdapat di wilayah pesisir pantai berasal dari daratan dan sungai.
Pasokan unsur hara tersebut terjadi pada saat air surut melalui pembilasan oleh pasang surut
dan pembilasan di bagian hulu sungai. Pada saat air surut, masa air sungai akan lebih
dominan sehingga menambah larutan unsur-unsur hara menjadi lebih tinggi dibandingkan
pada saat air pasang. Pada perairan yang dangkal pergerakan masa air lebih di dominasi oleh
arus pasang surut, oleh karena itu proses percampuran masa air secara vertikal dapat terjadi
lebih efektif dan masa air dari bawah bisa naik ke permukaan perairan dan membawa unsur-
unsur hara ke permukaan. Hasil penelitian di Sumatera Selatan menunjukkan bahwa
tingginya kadar Fosfat, Nitrat, Nitrit, Oksigen terlarut, pH dan salinitas di muara sungai
Sembilang disebabkan karena proses pengadukkan dasar perairan, sedangkan rendahnya
unsur hara disebabkan karena proses pengenceran air hujan pada musim penghujan
(Simanjuntak, 1999). Hasil penelitian sifat-sifat tanah mangrove di sekitar muara sungai
Sembilang juga menunjukkan bahwa kandungan Karbon organik, Magnesium dan Natrium
tergolong tinggi sampai sangat tinggi dengan susunan kation dalam tanah mengikuti model
Na>Mg>Ca (Soeroyo & Suyarso, 1999). Jadi peran wilayah estuaria, sebagai daerah
perangkap nutrien dimana proses ini terjadi akibat bahan-bahan nutrien yang terbawa oleh
sungai mengandung mineral liat dalam prosentase cukup tinggi. Mineral liat ini mempunyai
kapilaritas yang tinggi atau kapasitas absorbsi yang besar sehingga mampu menyerap nutrien,
elemen-elemen renik dan bahan lain dalam jumlah besar. Adanya proses biodekomposisi
dimana hewan 'filter feeder' merubah sejumlah besar bahan tersuspensi menjadi 'faces' atau
'pseudofaces' yang bersatu dalam sedimen. Melalui suatu kombinasi antara pasang surut
secara horizontal dan aliran masa air dengan salinitas berbeda, sehingga kecenderungan
nutrien terperangkap dalam estuaria.

UPAYA PENGELOLAAN WILAYAH ESTUARIA

Fungsi wilayah estuaria sangat strategis untuk dimanfaatkan sebagai tempat pemukiman,
penangkapan ikan dan budidaya, jalur transportasi, pelabuhan dan kawasan industri. Wilayah
estuaria juga merupakan ekosistem produktif karena dapat berperan sebagai sumber zat hara.
Dengan memperhatikan fungsi dan manfaat tersebut, maka potensi wilayah estuaria menjadi
sangat tinggi, sehingga diperlukan adanya suatu tindakan pengelolaan di wilayah tersebut.
Adapun hal-hal yang perlu dilakukan di antaranya adalah:

1. Memperbaiki Daerah Lahan Atas (up-land).


Upaya yang dapat dilakukan dalam mengurangi dampak kerusakan pada ekosistem
perairan wilayah estuaria yaitu dengan menata kembali sistem pengelolaan daerah
atas. Khususnya penggunaan lahan pada wilayah daratan yang memiliki sungai.
Jeleknya pengelolaan lahan atas sudah dapat dipastikan akan merusak ekosistem yang
ada di perairan pantai. Oleh karena itu, pembangunan lahan atas harus
memperhitungkan dan mempertimbangkan penggunaan lahan yang ada di wilayah
pesisir. Jika penggunaan lahan wilayah pesisir sebagai lahan perikanan tangkap,
budidaya atau konservasi maka penggunaan lahan atas harus bersifat konservatif.
Perairan pesisir yang penggunaan lahannya sebagai lahanbudidaya yang memerlukan
kualitas perairan yang baik maka penggunaan lahan atas tidak diperkenankan adanya
industri yang memproduksi bahan yang dapat menimbulkan pencemaran atau limbah.
Limbah sebelum dibuang ke sungai harus melalui pengolahan terlebih dahulu sesuai
dengan baku mutu yang telah ditetapkan.
2. Pemanfaatan Sumberdaya Perairan Secara Optimal.
Wilayah estuaria yang berfungsi sebagai penyedia habitat sejumlah spesies untuk
berlindung dan mencari makan serta tempat reproduksi dan tumbuh, oleh karenanya
di dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan khususnya di wilayah estuaria
diperlukan tindakan-tindakan yang bijaksana yang berorientasi pemanfaatan secara
optimal dan lestari. Pola pemanfatan sebaiknya memperhatikan daya dukung
lingkungan (carrying capacity).
3. Konsenvasi Hutan Mangrove.
Perlindungan hutan mangrove pada wilayah estuaria sangat penting, karena selain
mempunyai fungsi ekologis juga ekonomis. Secara ekologis hutan mangrove adalah
sebagai penghasil sejumlah besar detritus dari serasah, daerah asuhan (nursery
ground), mencari makan (feeding ground) dan sebagai tempat pemijahan (spawning
ground). Secara fisik, hutan mangrove dapat berperan sebagai filter sedimen yang
berasal dari daratan melalui sistem perakarannya dan mampu meredam terpaan angin
badai. Secara ekonomis, dalam konservasi hutan mangrove juga akan diperoleh nilai
ekonomis sangat tinggi. Nilai ekonomi total rata-rata sekitar Rp 37,4 juta/ha/tahun
yang meliputi manfaat langsung (kayu mangrove), manfaat tidak langsung (serasah
daun, kepiting bakau, nener bandeng ikan tangkap dan ikan umpan), option value dan
existence value (Supriyadi & Wouthuyzen, in Press). Upaya konservasi tersebut juga
mempunyai nilai dampak positip terhadap sosial-ekonomi bagi masyarakat yang
tinggal di sekitar wilayah estuaria, yaitu mampu memberikan beberapa alternatif jenis
mata pencaharian dan pendapatan.

Вам также может понравиться