Вы находитесь на странице: 1из 26

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Otitis media serosa biasanya dikenal dengan nama lain otitis media musinosa,
otitis media efusi, otitis media sekrotoria atau otitis media mucoid (glue ear). Otitis
media serosa merupakan keadaan terdapatnya sekret yang nonpurulen ditelinga
tengah, sedangkan membran timpani utuh. Sedangkan menurut The American
Academy of Pediatrics (AAP) dan The American Academy of family Physician
(AAFP) mendefinisikan otitis media akut sebagai suatu infeksi dari telinga tengah
dengan onset akut dan terdapatnya efusi telinga tengah serta terdapat tanda-tanda
peradangan dari telinga tengah.1,2
Otitis media efusi sering terjadi pada anak-anak, tetapi dapat juga mengenai
orang dewasa. Rata-rata insiden OME sebesar 14% - 62%, namun beberapa
penelitian lain melaporkan angka rata-rata prevalensi OME sebesar 2% - 52%. Di
negara yang mempunyai 4 musim, penyakit ini ditemukan dengan insiden yang cukup
tinggi. Di negara maju, otitis media efusi adalah salah satu penyebab hilangnya
pendengaran paling umum. Di Indonesia, data mengenai otitis media efusi masih
jarang ditemukan karena kurangnya pelaporan angka kejadian penyakit ini. Penelitian
khusus mengenai otitis media efusi juga kurang karena minimalnya keluhan pada
pasien yang menderita penyakit ini. Padahal komplikasi yang dapat ditimbulkan otitis
media efusi yang berulang dan persisten yaitu gangguan pendengaran harus menjadi
perhatian.2
Tanda dan gejala dari Otitis Media Akut (OMA) muncul ketika cairan yang
terperangkap didalam telinga tengah terinfeksi oleh bakteri patogen. Bulging dari
membrana timpani mamiliki nilai prediktif yang paling tinggi saat mengevaluasi ada
tidaknya otitis media serosa. Selain itu dapat pula ditemukan beberapa hal lain yang
dapat mengindikasi terjadinya otitis media serosa, misalnya terdapat gerakan
membran timpani yang terbatas pada saat diperiksa dengan pneumatic otoscopy dan

25
terlihat cairan dibelakang membran timpani ketika cairan yang ada didalam telinga
tengah telah terinfeksi. Otitis media serosa, lebih dikenal sebagai cairan dalam telinga
tengah (Middie Ear Effusion), adalah kondisi yang paling sering menyebabkan
hilangnya pendengaran pada anak. Normalnya, ruang dibelakang gendang telinga
yang terdiri dari tulang-tulang pendengaran diisi oleh udara. Hal inilah yang
memungkinkan terjadinya transmisi suara normal. Ruangan ini dapat terisi oleh
cairan selama periode flu atau pada kondisi infeksi saluran nafas bagian atas. Ketika
flu sembuh, cairan ini secara keseluruhan akan dialirkan keluar dari telinga melalui
sebuah saluran yang menghubungkan telinga luar dengan hidung yaitu tuba eustasius.
Tuba eustasius tidak dapat kering dengan baik pada anak-anak. Cairan yang telah
terakumulasi didalam ruang ditelinga tengah seringkali terblokir untuk keluar. 3,4

25
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.I. ANATOMI TELINGA


1. TELINGA LUAR
Telinga luar terdiri atas auricula dan meatus akustikus eksternus. Auricula
mempunyai bentuk yang khas dan berfungsi mengumpulkan getaran udara,
auricula terdiri atas lempeng tulang rawan elastis tipis yang ditutupi kulit.
Auricula juga mempunyai otot intrinsik dan ekstrinsik, yang keduanya dipersarafi
oleh N.facialis.5,6

Gambar 2.1. Anatoni telinga luar (6)

Auricula atau lebih dikenal dengan daun telinga membentuk suatu


bentuk unik yang terdiri dari antiheliks yang membentuk huruf Y, dengan
bagian cruks superior disebelah kiri dari fossa triangularis, cruks inferior pada
sebelah kanan dari fossa triangularis, antitragus yang berada dibawah tragus,
sulcus auricularis yang merupakan sebuah struktur depresif dibelakang telinga
didekat kepala, concha berada didekat saluran pendengaran, angulus conchalis
yang merupakan sudut dibelakang concha dengan sisi kepala, crusheliks yang
berada diatas tragus, cymba concha merupkan ujung terdekat dari concha,
meatus akustikus eksternus yang merupakn pintu masuk dari saluran
pendengaran, fossa triangularis yang merupakan struktur depresif didekat

25
antheliks, heliks yang merupakan bagian terluar dari daun telinga, incisura
anterior yang berada diantara tragus dan antitragus, serta lobus yang berada
dibagian paling bawah dari daun telinga, dan tragus yang berada didepan
meatus akustikus eksternus.5 , 6
Yang kedua adalah meatus akustikus eksternus atau dikenal juga dengan
liang telinga luar. Meatus akustikus eksternus merupakan sebuah tabung
berkelok yang menghubungkan auricular dengan membran timpani. Pada orang
dewasa panjangnya lebih kurang 1 inchi atau kurang lebih 2,5 cm dan dapat
diluruskan untuk memasukkan otoskop dengan cara menarik auricula ke atas
dan belakang. Pada anak kecil auricula ditarik lurus ke belakang, atau ke bawah
dan belakang. Bagian meatus yang paling sempit adalah kira-kira 5 mm dari
membran timpani. 5,6

gambar 2.2. anatomi liang telinga (6)

Rangka sepertiga bagian luar meatus adalah kartilago elastis, dan dua
pertiga bagian dalam adalah tulang yang dibentuk oleh lempeng timpani.
Meatus dilapisi oleh kulit dan sepertiga luarnya mempunyai rambut,
kelenjar sebasea, dan glandula seruminosa. Glandula seruminosa ini adalah
modifikasi kelenjar keringat yang menghasilkan sekret lilin berwarna coklat
kekuningan. Rambut dan lilin ini merupakan barier yang lengket, untuk
mencegah masuknya benda asing. Saraf sensorik yang melapisi kulit pelapis

25
meatus berasal dari N.Auriculo temporalis dan Ramus Auricularis N. Vagus.
Sedangkan aliran limfe menuju Nodi Parotidei Superficiales, Mastoidei, dan
Cervicales superficiales. 5,6

2. TELINGA TENGAH
Telinga tengah adalah ruang berisi udara didalam pars petrosa ossis
temporalis yang dilapisi oleh membrana mukosa. Ruang ini berisi tulang-tulang
pendengaran yang berfungsi meneruskan getaran membran timpani (gendang
telinga) ke perilympha telinga dalam. Kavum timpani berbentuk celah sempit
yang miring, dengan sumbu panjang terletak lebih kurang sejajar dengan bidang
membran timpani. Didepan, ruang ini berhubungan dengan nasofaring memalui
tuba auditiva dan dibelakang dengan antrum mastoid. 5,6
Telinga tengah mempunyai atap, lantai, dinding anterior, dinding
posterior, dinding lateral, dan dinding medial. yaitu:
 Atap dibentuk oleh lempeng tipis tulang, yang disebut segmen timpani, yang
merupakan bagian dari pars petrosa ossis temporalis. Lempeng ini memisahkan
kavum timpani dan meningens dan lobus temporalis otak didalam fossa
kranii media.
 Lantai dibentuk dibawah lempengan tipis tulang, yang mungkin tidak lengkap
dan mungkin sebagian tergantikan oleh jaringan fibrosa. Lempeng ini
memisahkan kavum timpani dari bulbus superior V. Jugularis interna.
 Bagian bawah dinding anterior dibentuk oleh lempeng tipis tulang yang
memisahkan kavum timpani dari A. Carotis interna.
 Pada bagian atas dinding anterior terdapat muara dari dua buah saluran.
Saluran yang lebih besar dan terletak lebih bawah menuju tuba auditiva dan
yang terletak lebih atas dan lebih kecil masuk ke dalam saluran untuk M.
tensor timpani. Septum tulang tipis, yang memisahkan saluran-saluran ini

25
diperpanjang ke belakang pada dinding medial, yang akan membentuk tonjolan
mirip selat.
 Dibagian atas dinding posterior terdapat sebuah lubang besar yang tidak
beraturan, yaitu auditus antrum. Dibawah ini terdapat penonjolan yang
berbentuk kerucut, sempit, kecil disebut pyramis, dari puncak pyramis ini
keluar tendon M. Stapedius.
 Sebagian besar dinding lateral dibentuk oleh membran timpani.

A. Membran Timpani
Membran timpani adalah membrana fibrosa tipis yang berwarna kelabu
mutiara. Membran ini terletak miring, menghadap ke bawah, depan, dan lateral.
Permukaannya konkaf ke lateral. Pada dasar cekungannya terdapat lekukan kecil,
yaitu umbo, yang terbentuk oleh ujung manubrium mallei. Bila membran terkena
cahaya otoskop, bagian cekung ini menghasilkan "refleks cahaya", yang
memancar ke anterior dan inferior dari umbo. 5,6
Membran timpani berbentuk bulat dengan diameter 1 cm. Pinggirnya tebal
dan melekat didalam alur pada tulang. Alur itu, disebut sulcus timpanicus,
dibagian atasnya berbentuk incisura. Dari sisi-sisi incisura ini berjalan dua plica,
yaitu plica mallearis anterior dan posterior, yang menuju ke processus lateralis
mallei. Daerah segitiga kecil pada membran timpani yang dibatasi oleh plika-
plika tersebut dan disebut pars flaccida. Manubrium mallei dilekatkan dibawah
pada permukaan dalam membran timpani oleh membran mucosa. Membran
timpani sangat peka terhadap nyeri dan permukaan luarnya dipersarafi oleh
N.Auriculo temporalis dan Ramus Auricularis N. Vagus. 5,6

25
Gambar 2.3. Anatomi membran timpani (6)

Dinding medial dibentuk oleh dinding lateral telinga dalam. Bagian


terbesar dari dinding memperlihatkan penonjolan bulat, disebut promontorium,
yang disebabkan oleh lengkung pertama cochlea yang ada dibawahnya. Diatas
dan belakang promontorium terdapat fenestra vestibuli yang berbentuk lonjong
(foramen ovale) dan ditutupi oleh basis stapedis. Pada sisi medial fenestra
terdapat perilympha scala vestibuli telinga dalam. Dibawah ujung posterior
promontorium terdapat fenestra cochleae, yang berbentuk bulat (foramen
rotundum) dan ditutupi oleh membran timpani sekunder. pada sisi medial dari
fenestra ini terdapat perilympha ujung buntu scala timpani. 5,6
Tonjolan tulang berkembang dari dinding anterior yang meluas
kebelakang pada dinding medial diatas promontorium dan diatas fenestra
vestibuli. Tonjolan ini menyokong M. Tensor timpani. Ujung posteriornya
melengkung ke atas dan membentuk takik, disebut processus cochleariformis.
Disekeliling takik ini tendo M. Tensor timpani membelok ke lateral untuk sampai
ke tempat insersionya yaitu manubrium mallei. Sebuah rigi bulat berjalan secara
horizontal ke belakang, diatas promontorium dan fenestra vestibule dikenal
sebagai prominentia canalis nervi facialis. Sesampainya didinding posterior,
prominentia ini melengkung ke bawah dibelakang membran timpani. 5,6

25
B. Tulang-tulang Pendengaran
Dibagian dalam rongga ini terdapat 3 jenis tulang pendengaran yaitu
tulang maleus, incus dan stapes. Ketiga tulang ini merupakan tulang kompak
tanpa rongga sumsum tulang.
Malleus adalah tulang pendengaran terbesar, dan terdiri atas caput,
collum, processus longum atau manubrium, sebuah processus anterior dan
processus lateralis. Caput mallei berbentuk bulat dan bersendi diposterior dengan
incus. Collum mallei adalah bagian sempit dibawah caput. Manubrium mallei
berjalan ke bawah dan belakang dan melekat dengan erat pada permukaan medial
membran timpani. Manubrium ini dapat dilihat melalui membran timpani pada
pemeriksaan dengan otoskop. Processus anterior adalah tonjolan tulang kecil yang
dihubungkan dengan dinding anterior cavum timpani oleh sebuah ligamen.
Processus lateralis menonjol ke lateral dan melekat pada plica mallearis anterior
dan posterior membran timpani. 5,6

Gambar 2.4.Anatomi tulang pendengaran (6)

Incus mempunyai corpus yang besar dan dua crus. Corpus incudes
berbentuk bulat dan bersendi dianterior dengan caput mallei. Crus longum
berjalan ke bawah dibelakang dan sejajar dengan manubrium mallei. Ujung
bawahnya melengkung ke medial dan bersendi dengan caput stapedies.
Bayangannya pada membrana timpani kadang-kadang dapat dilihat pada

25
pemeriksaan dengan otoskop. Crus breve menonjol ke belakang dan dilekatkan
pada dinding posterior cavum timpani oleh sebuah ligamen. 5,6

Gambar 2.5 Anatomi dari A. Malleus dan B incus (6)

Stapes mempunyai caput, collum, dua lengan dan sebuah basis. Caput
stapedies kecil dan bersendi dengan crus longum incudis. Collum berukuran
sempit dan merupakan tempat insersio M. Stapedius. Kedua lengan berjalan
divergen dari collum dan melekat pada basis yang lonjong. Pinggir basis
dilekatkan pada pinggir fenestra vestibuli oleh sebuah cincin fibrosa, yang disebut
ligamentum annulare. 5,6

C. Otot-Otot Telinga Tengah


Ada 2 otot kecil yang berhubungan dengan ketiga tulang pendengaran. M.
Tensor timpani terletak dalam saluran di atas tuba auditiva, tendonnya berjalan
mula-mula ke arah posterior kemudian mengait sekeliling sebuah tonjol tulang
kecil untuk melintasi rongga timpani dari dinding medial ke lateral
untuk berinsersi ke dalam gagang maleus. Tendo M. Stapedius berjalan dari
tonjolan tulang berbentuk piramid dalam dinding posterior dan berjalan anterior

25
untuk berinsersi ke dalam leher stapes. Otot-otot ini berfungsi protektif dengan
cara meredam getaran-getaran berfrekuensi tinggi. 5,6

D. Tuba Eustachius
Tuba eustachius terbentang dari dinding anterior kavum timpani ke bawah, depan,
dan medial sampai ke nasofaring. Sepertiga bagian posteriornya adalah tulang dan
dua pertiga bagian anteriornya adalah cartilago. Tuba berhubungan dengan
nasofaring dengan berjalan melalui pinggir atas M. Constrictor pharynges
superior. Tuba berfungsi menyeimbangkan tekanan udara didalam cavum timpani.
5,6

Gambar 2.6. Bagian anatomi dari letak tuba eustasius (6)

E. Antrum Mastoid
Antrum mastoid terletak dibelakang kavum timpani didalam pars petrosa ossis
temporalis, dan berhubungan dengan telinga tengah melaluia auditus ad antrum,
diameter auditus ad antrum lebih kurang 1 cm. Dinding anterior berhubungan
dengan telinga tengah dan berisi auditus ad antrum, dinding posterior
memisahkan antrum dari sinus sigmoideus dan cerebellum. Dinding lateral
tebalnya 1,5 cm dan membentuk dasar trigonum suprameatus. Dinding medial
berhubungan dengan kanalis semicircularis posterior. Dinding superior

25
merupakan lempeng tipis tulang, yaitu segmen timpani, yang berhubungan
dengan meningen pada fossa kranii media dan lobus temporalis cerebri. Dinding
inferior berlubang-lubang, menghubungkan antrum dengan cellulae mastoideae.5,6

3. TELINGA DALAM
Telinga dalam terletak di dalam pars petrosa ossis temporalis, medial
terhadap telinga tengah dan terdiri atas (1) telinga dalam osseus, tersusun dari
sejumlah rongga di dalam tulang dan (2) telinga dalam membranaceus, tersusun
dari sejumlah saccus dan ductus membranosa didalam telinga dalam osseus. 5,6

Gambar 2.7. Anatomi telinga dalam (6)

A. Telinga Dalam Bagian Osseus


Telinga dalam osseus terdiri atas tiga bagian: vestibulum, canalis
semicircularis, dan cochlea. Ketiganya merupakan rongga-rongga yang terletak
didalam substantia kompakta tulang, dan dilapisi oleh endosteum serta berisi
cairan bening, yaitu perilympha, yang didalamnya terdapat labyrinthus
membranaceus. 5,6

25
Vestibulum merupakan bagian tengah telinga dalam osseus,
terletak posterior terhadap cochlea dan anterior terhadap canalis semicircularis.
Pada dinding lateralnya terdapat fenestra vestibuli yang ditutupi oleh basis
stapedis dan ligamentum annularnya, dan fenestra cochleae yang ditutupi oleh
membran timpani sekunder. Didalam vestibulum terdapat sacculus dan utriculus
telinga dalam membranaceus. Ketiga canalis semicircularis, yaitu canalis
semicircularis superior, posterior, dan lateral bermuara ke bagian posterior
vetibulum. Setiap canalis mempunyai sebuah pelebaran diujungnya disebut
ampulla. Canalis bermuara ke dalam vestibulum melalui lima lubang, salah
satunya dipergunakan bersama oleh dua canalis. Didalam canalis terdapat ductus
semicircularis. 5,6

Gambar 2.8 Labirintus osseus (6)

Canalis semicircularis superior terletak vertikal dan terletak tegak lurus


terhadap sumbu panjang os petrosa. Canalis semicircularis posterior juga vertikal,
tetapi terletak sejajar dengan sumbu panjang os. petrosa. Canalis semicircularis
lateralis terletak horizontal pada dinding medial aditus adantrum, diatas canalis
nervi facialis. 5,6

25
Cochlea berbentuk seperti rumah siput, dan bermuara ke dalam bagian
anterior vestibulum. Umumnya terdiri atas satu pilar sentral, modiolus cochleae,
dan modiolus ini dikelilingi tabung tulang yang sempit sebanyak dua setengah
putaran. Setiap putaran berikutnya mempunyai radius yang lebih kecil sehingga
bangunan keseluruhannya berbentuk kerucut. Apex menghadap anterolateral dan
basisnya ke posteromedial. Putaran basal pertama dari cochlea inilah yang tampak
sebagai promontorium pada dinding medial telinga tengah. 5,6
Modiolus mempunyai basis yang lebar, terletak pada dasar meatus
acusticus internus. Modiolus ditembus oleh cabang-cabang N. Cochlearis. Pinggir
spiral, yaitu lamina spiralis, mengelilingi modiolus dan menonjol ke dalam
canalis dan membagi canalis ini. Membran basilaris terbentang dari pinggir bebas
lamina spiralis sampai ke dinding luar tulang, sehingga membelah canalis
cochlearis menjadi scala vestibuli disebelah atas dan scala timpani disebelah
bawah. Perilympha didalam scala vestibuli dipisahkan dari cavum timpani oleh
basis stapedis dan ligamentum annulare pada fenestra vestibuli. Perilympha
didalam scala timpani dipisahkan dari cavum timpani oleh membrana timpani
secundaria pada fenestra cochleae. 5,6

B. Telinga Dalam Bagian Membranaceus


Telinga dalam membranaceus terletak didalam telinga dalam osseus, dan
berisi endolympha dan dikelilingi oleh perilympha. Telinga dalam membranaceus
terdiri atas utriculus dan sacculus, yang terdapat didalam vestibulum osseus tiga
ductus semicircularis, yang terletak didalam canalis semicircularis osseus dan
ductus cochlearis yang terletak didalam cochlea. Struktur-struktur ini saling
berhubungan dengan bebas.
Utriculus adalah yang terbesar dari dua buah saccus vestibuli yang ada,
dan dihubungkan tidak langsung dengan sacculus dan ductus endolymphaticus
oleh ductus utriculosaccularis. Sacculus berbentuk bulat dan berhubungan dengan

25
utriculus, seperti sudah dijelaskan diatas. Ductus endolympaticus setelah bergabung
dengan ductus utriculo saccularis akan berakhir didalam kantung buntu kecil, yaitu
saccus endolymphaticus. Saccus ini terletak dibawah duramater pada permukaan
posterior pars petrosa ossis temporalis. Pada dinding utriculus dan sacculus
terdapat receptor sensorik khususyang peka terhadap orientasi kepala akibat gaya
berat atau tenaga percepatan lain. 5,6

Gambar 2.9. Labirintus Membranasus (6)

Ductus semicircularis meskipun diameternya jauh lebih kecil dari canalis


semicircularis, mempunyai konfigurasi yang sama. Ketiganya tersusun tegak
lurus satu terhadap lainnya, sehingga ketiga bidang terwakili. Setiap kali kepala
mulai atau berhenti bergerak, atau bila kecepatan gerak kepala bertambah atau
berkurang, kecepatan gerak endolympha didalam ductus semicircularis akan
berubah sehubungan dengan hal tersebut terhadap dinding ductus semicircularis.
Perubahan ini dideteksi oleh receptor sensorik didalam ampulla ductus
semicircularis. Ductus cochlearis berbentuk segitiga pada potongan melintang dan
berhubungan dengan sacculus melalui ductus reuniens. Epitel sangat khusus yang
terletak diatas membrana basilaris membentuk organ Corti (organ spiralis) dan
mengandung reseptor-reseptor sensorik untuk pendengaran. 5,6

25
II.2. OTITIS MEDIA SEROSA
1. DEFINISI
Otitis media serosa merupakan keadaan terdapatnya sekret yang non
purulen ditelinga tengah, sedangkan membran timpani utuh. Adanya cairan pada
telinga tengah dengan membran timpani yang utuh tanpa tanda-tanda infeksi
disebut juga otitis media dengan efusi. Apabila efusi tersebut encer disebut otitis
media serosa dan apabila efusi tersebut kental seperti lem disebut otitis media
mukoid (glue ear).1

2. ETIOLOGI
Gangguan fungsi tuba eustachius merupakan penyebab utama. Gangguan tersebut
dapat terjadi pada:
 Keradangan kronik rongga hidung, nasofaring, faring misalnya oleh alergi
 Pembesaran adenoid dan tonsil
 Tumor nasofaring
 Celah langit-langit

Faktor penyebab lainnya termasuk hipertrofi adenoid, adenoiditis kronik,


palatoskisis, tumor nasofaring, barotrauma, radang penyerta seperti sinusitis atau
rinitis, terapi radiasi, dan gangguan metabolik atau imuuologik. Alergi dapat
pula ikut berperan dalam menimbulkan efusi telinga tengah. 7

3. PATOFISIOLOGI
Otitis media serosa terjadi terutama akibat adanya transudat atau plasma
yang mengalir dari pembuluh darah ke telinga tengah yang sebagian besar terjadi
akibat adanya perbedaan tekanan hidrostatik, sedangkan pada otitis media
mukoid, cairan yang ada di telinga tengah timbul akibat sekresi aktif dari kelenjar
dan kista yang terdapat di dalam mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, dan
rongga mastoid. Faktor yang berperan utama dalam keadan ini adalah

25
terganggunya fungsi tuba Eustachius. Faktor lain yang dapat berperan sebagai
penyebab adalah adenoid hipertrofi, adenoitis, sumbing palatum (cleft-palate),
tumor di nasofaring, barotrauma, sinusitis, rhinitis, defisiensi imunologik atau
metabolic. Keadaan alergik sering berperan sebagai faktor tambahan dalam
timbulnya cairan ditelinga tengah (efusi ditelinga tengah).8
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti
radang tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran
Eustachius. Saat bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan
infeksi di saluran tersebut sehingga terjadi pembengkakan disekitar saluran,
tersumbatnya saluran, dan datangnya sel-sel darah putih untuk melawan bakteri.
Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri dengan mengorbankan diri mereka
sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah nanah dalam telinga tengah. Selain itu
pembengkakan jaringan sekitar saluran Eustachius menyebabkan lendir yang
dihasilkan sel-sel di telinga tengah terkumpul di belakang gendang telinga.8

Gambar 2.10 Patofisiologi otitis media (4)

25
Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu
karena gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga
dengan organ pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas.
Kehilangan pendengaran yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan
halus). Namun cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan gangguan
pendengaran hingga 45 desibel (kisaran pembicaraan normal). Selain itu telinga
juga akan terasa nyeri. Dan yang paling berat, cairan yang terlalu banyak
tersebut akhirnya dapat merobek gendang telinga karena tekanannya.8

4. GEJALA KLINIK
Pada dasarnya otitis media serosa dapat dibagi atas 2 jenis:
a. Otitis media serosa akut
 Adalah keadaan terbentuknya sekret di telinga tengah secara tiba-tiba yang
disebabkan oleh gangguan fungsi tuba.
 Pada otitis media serosa akut, sekret terjadi secara tiba-tiba di telinga tengah
dengan disertai rasa nyeri pada telinga.1

Gambar 2.11 Membran timpani pada otitis media serosa akut (8)

25
b. Otitis media serosa kronis
 Batasan antara kondisi otitis media kronik hanya pada cara terbentuknya
sekret. Pada otitis media serosa akut sekret terjadi secara tiba-tiba di telinga
tengah dengan disertai rasa nyeri pada telinga, sedangkan pada keadaan
kronis sekret terbentuk secara bertahap tanpa rasa nyeri dengan gejala-gejala
pada telinga yang berlangsung lama.
 Otitis media serosa kronik lebih sering terjadi pada anak-anak, sedangkan
otitis media serosa akut lebih sering terjadi pada orang dewasa. Otitis media
serosa unilateral pada orang dewasa tanpa penyebab yang jelas harus selalu
difikirkan kemungkinan adanya karsinoma nasofaring.
 Sekret pada otitis media serosa kronik dapat kental seperti lem, maka disebut
glue ear. Otitis media serosa kronik dapat juga terjadi sebagai gejala sisa dari
otitis media akut (OMA) yang tidak sembuh sempurna.1

Gambar 2.12. Membran timpani pada otitis media serosa kronik (8)

25
5. DIAGNOSA
1. Anamnesis :
a. Pendengaran berkurang
b. Rasa tersumbat pada telinga
c. Suara sendiri terdengar lebih nyaring / berbeda pada telinga yang sakit
(diplacusis binauralis)
d. Rasa sedikit nyeri (saat awal tuba eustachius terganggu)
2. Pemeriksaan fisik :
a. Pemeriksaan fisik memperlihatkan imobilitas gendang telinga pada penilaian
otoskop pneumatik. Setelah otoskop ditempelkan rapat-rapat pada liang
telinga, diberikan tekanan positif dan negatif. Jika terdapat udara dalam
kavum timpani, maka udara itu akan tertekan sehingga membran timpani
akan terdorong ke dalam pada pemberian tekanan positif, dan keluar pada
tekanan negatif. Gerakan menjadi lamban atau tidak terjadi pada otitis media
serosa atau mukoid. Pada otitis media serosa, membran timpani tampak
berwarna kekuningan, sementara pada otitis media mukoid terlihat lebih
kusam dan keruh. Maleus tampak pendek, retraksi dan berwarna putih kapur.
Kadang-kadang tinggi cairan atau gelembung otitis media serosa dapat
tampak lewat membran timpani yang semitransparan. Membran timpani
dapat berwarna biru atau keunguan bila ada produk-produk darah dalam
telinga.
b. Otitis media serosa akut : pada otoskopi terlihat membran timpani retraksi.
Kadang- kadang tampak gelembung udara (air bubbles) atau permukaan
cairan dalam kavum timpani (air fluid level)
c. Otitis media serosa kronik : pada otoskopi terlihat membran timpani utuh,
retraksi, suram, kuning kemerahan atau keabu-abuan.
d. Reflek cahaya berubah atau menghilang.
e. Garpu tala : untuk membuktikan adanya tuli konduksi

25
3. Pemeriksaan penunjang (bila tersedia sarana)
a. Audiogram : tuli konduktif
b. Timpanogram : mengukur gerakan gendang telinga, ketika cairan didalam
telinga tengah, gerakan gendang telinga akan terbatas
c. Radiologi : Pemeriksaan radiologi foto mastoid dahulu efektif digunakan
untuk skrining OME, tetapi sekarang jarang dikerjaka. CT scan penting
khususnya pada pasien dengan OME unilateral yang harus dipastikan
adanya massa di nasofaring telah disingkirkan.9

6. TATALAKSANA
1. NON BEDAH
Tatalaksana otitis media efusi secara medikamentosa dapat dikatakan
kontroversial, dan penerapannya tergantung dari setiap negara. Terapi
medikamentosa dapat berupa dekongestan, anti histamin, antibiotik, perasat
valsava (bila tidak ada tanda-tanda infeksi jalan napas atas), dan hiposensitisasi
alergi. Dekongestan dapat diberikan melalui tetes hidung, atau kombinasi anti
histamin dengan dekongestan oral. 10
Dasar dari pemberian antibiotik adalah berdasarkan penelitian dari hasil
kultur bakteri cairan otitis media efusi. Cairan serosa dan mukoid yang
dikumpulkan pada miringotomi untuk diteliti, hasilnya ditemukan biakan kultur
positif pada 40% spesimen. Hasil biakan kultur tersebut mengandung organisme
yang identik dengan organisme yang didapat dari timpanosentesis otitis media
akut. Maka, pemilihan antibiotik pada otitis media serosa dan mukoid serupa
dengan otitis media akut. Hasil penelitian terkini, membuktikan bahwa
penggunaan antibiotik terbukti efektif hanya pada sejumlah kecil pasien, dan
efeknya cenderung bersifat jangka pendek. Oleh karena itu, penggunaannya
tidak selalu mutlak, mengingat efek sampingnya (seperti gastroenteritis, reaksi
atopik, risiko resistensi) tidak sebanding dengan keefektifannya.10

25
Hiposensitisasi alergi hanya dilakukan pada kasus-kasus yang jelas
memperlihatkan alergi dengan tes kulit. Bila terbukti alergi makanan, maka diet
perlu dibatasi. Tatalaksana lain yang masih kontroversial keefektifannya antara
lain: penggunaan steroid, dan mukolitik. Penggunaan kedua golongan ini
kontroversial karena hasil studi banding dengan placebo, tidak menunjukan
perbedaan atau hanya sedikit perbaikan. 10

2. BEDAH
Beberapa pilihan untuk tatalaksana bedah antara lain: miringitomi,
pemasangan tuba timpanostomi, adenoidektomi. Pemasangan tuba
timpanostomi untuk sebagai ventilasi, yang memungkinkan udara masuk ke
dalam telinga tengah, dengan demikian menghilangkan keadaan vakum. Tuba
timpanostomi terdapat dua macam: short term (contoh: grommets), long term
(contoh: T-tubes). Tuba jangka pendek dapat bertahan hingga 12 bulan,
sedangkan tuba jangka panjang dapat digunakan hingga bertahun-tahun. Tuba
ventilasi dibiarkan pada tempatnya sampai terlepas sendiri dalam jangka waktu
6-12 bulan. Karena cairan seringkali berulang, beberapa anak memerlukan tuba
yang dirancang khusus sehingga dapat bertahan lebih dari 12 bulan. Keburukan
tuba yang tahan lama ini adalah menetapnya perforasi setelah tuba terlepas.
Namun, Pemasangan tuba ventilasi dapat memulihkan pendengaran dan
membenarkan membran timpani yang mengalami retraksi berat terutama bila
ada tekanan negatif yang menetap. 3

25
Gambar 2.13. Miringitomi pada membrane timpani (8)

Tindakan miringitomi dan aspirasi efusi tanpa pemasangan tuba


timpanostomi dibuktikan hanya berguna untuk efek jangka pendek.
Berdasarkan studi oleh Gates, tindakan miringitomi diikuti pemasangan tuba
timpanostomi, dapat mempercepat perbaikan pendengaran, mempersingkat
durasi penyakit, mengurangi angka rekurens. Luka insisi setelah miringitomi
biasanya sembuh dalam 1 minggu, namun, biasanya disfungsi tuba eustachius
membutuhkan waktu lebih lama untuk sembuh (biasanya 6 minggu). Oleh
karena ini, tindakan miringitomi saja, akan meningkatkan angka rekurens. 3
Manfaat adenoidektomi pada otitis media serosa kronik masih
diperdebatkan. Tentunya tindakan ini cukup berarti pada individu dengan
adenoid yang besar, dimana tindakan adenoidektomi dapat menghilangkan
obstruksi hidung – nasofaring, memperbaiki fungsi tuba eustachius, dan
mengeliminasi sumber reservoir bakteri. Namun sebagian besar anak tidak
memenuhi kategori tersebut. Penelitian mutakhir melaporkan bahwa
adenoidektomi terbukti menguntungkan sekalipun jaringan adenoid tersebut
tidak menyebabkan obstruksi. Namun, mengingat risiko post operasi (seperti
perdarahan), adenoidektomi biasanya baru dipertimbangkan ketika
penggunaan tuba timpanostomi gagal untuk menangani otitis media efusi.3

25
3. PILIHAN TERAPI
Kebanyakan pasien dengan otitis media efusi, tidak membutuhkan
terapi, terutama jika gangguan pendengarannya ringan, oleh karena resolusi
spontan sering terjadi. Dalam 3 bulan pertama setelah onset atau setelah
diagnosis, disarankan untuk diobservasi atau dapat diberikan tatalaksana non
bedah terlebih dahulu. Dalam jangka waktu tersebut, menurut studi, cairan
dapat menghilang hingga 90 persen. Cairan yang tetap bertahan setelah 3 bulan,
merupakan indikasi bedah.
Keputusan untuk melakukan intervensi bedah tidak hanya berdasarkan
lamanya penyakit. Derajat gangguan dan frekuensi parahnya gangguan
pendahulu juga perlu dipertimbangkan. Intervensi lebih awal dan agresif
disarankan perlu dilakukan pada pasien dengan:
 keterlambatan berbicara dan tumbuh kembang
 otitis media unilateral
 gangguan pendengaran bermakna (21 sampai dengan diatas 40 dB dengan
indikasi relatif)
 pasien dengan sindrom (Down Syndrome) atau dengan palatoschizis.
Sumber lain membagi pilihan terapi berdasarkan onset akut atau kronis.
Pada otitis media efusi akut, pengobatan medikal diberikan vasokonstriktor
lokal (tetes hidung), anti histamin, perasat valsava bila tidak ada tanda infeksi
jalan napas atas. Setelah satu atau dua minggu, bila gejala masih menetap,
dilakukan miringitomi, dan bila masih belum sembuh maka dilakukan
miringotomi serta pemasangan pipa ventilasi (Grommet). Pada otitis media
efusi kronis, pengobatan harus dilakukan miringotomi dan pemasangan pipa
ventilasi Grommet.1,11

25
7. KOMPLIKASI
Akibat lanjut OMS dapat mengakibatkan hilangnya fungsi pendengaran
sehingga akan mempengaruhi perkembangan bicara dan intelektual. Komplikasi
yang dapat terjadi pada otitis media serosa adalah otitis media supuratif kronik
(OMSK), labirinitis, mastoiditis, meningitis. Selain itu perubahan yang terjadi
pada telinga tengah dapat mengakibatkan penyakit otitis menjadi otitis media
adesiva dan otitis media kronis maligna.1

8. PROGNOSIS
Otitis media dengan Serosa (OMS) adalah penyebab utama gangguan
pendengaran pada anak-anak. Kondisi ini terkait dengan perkembangan bahasa
pada anak-anak muda tertunda dari 10 tahun, dan kehilangan pendengaran
konduktif, dengan ambang konduksi udara rata-rata 27,5 desibel (dB), tetapi
otitis media dengan efusi juga telah dikaitkan dengan hilangnya pendengaran
sensorineural. Kedua prostaglandin dan leukotrien telah ditemukan dalam
konsentrasi tinggi pada efusi telinga tengah (MEE). Paparan kronis ini metabolit
asam arakidonat dapat menyebabkan kehilangan pendengaran sementara dan
kadang-kadang permanen sensorineural. Otitis media dengan efusi biasanya
hilang dengan sendirinya selama beberapa minggu atau bulan. Pengobatan dapat
mempercepat proses ini. OME biasanya tidak mengancam nyawa. Kebanyakan
anak tidak mengalami kerusakan pada pendengaran jangka panjang mereka atau
kemampuan berbicara, bahkan ketika cairan tetap selama berbulan-bulan.12

25
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Otitis media serosa biasanya dikenal dengan nama lain otitis media
musinosa, otitis media efusi, otitis media sekrotoria atau otitis media mucoid
(glue ear). Otitis media serosa merupakan keadaan terdapatnya sekret yang
nonpurulen di telinga tengah, sedangkan membran timpani utuh. Di Indonesia,
data mengenai otitis media efusi masih jarang ditemukan karena kurangnya
pelaporan angka kejadian penyakit ini. Penelitian khusus mengenai otitis media
efusi juga kurang karena minimalnya keluhan pada pasien yang menderita
penyakit ini. Padahal komplikasi yang dapat ditimbulkan otitis media efusi yang
berulang dan persisten yaitu gangguan pendengaran harus menjadi perhatian.

Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti
radang tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran
Eustachius. Saat bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat
menyebabkan infeksi di saluran tersebut sehingga terjadi pembengkakan di
sekitar saluran, tersumbatnya saluran, dan datangnya sel-sel darah putih untuk
melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri dengan
mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah nanah dalam
telinga tengah.

Penatalaksaan dari OMS ini terbagi menjadi bedah dan non bedah.
Pengobatan dapat mempercepat proses ini. OME biasanya tidak mengancam
nyawa. Kebanyakan anak tidak mengalami kerusakan pada pendengaran jangka
panjang mereka atau kemampuan berbicara, bahkan ketika cairan tetap selama
berbulan-bulan

25
REFERENSI

1. Soepardi, Efiaty Arsyad; Iskandar, Nurbaiti. Editor : Otitis Media Non-Supuratif.


Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorokan-Kepala-Leher. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007
2. Aquinas R. Artikel : Tatalaksana Otitis Media Efusi pada anak. Dalam: CDK-254
Vol. 44 No. 7. RS THT-Bedah KL Proklamasi BSD, Tanggerang Selatan. 2017
3. Boies, Adams, Lawrence, Higler A. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Edisi 6.
Jakarta: EGC. 1997
4. Nazrien, Julianto R. Tugas Akhir: Komplikasi Otitis Media Serosa. Semarang:
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara. 2011
5. Snell Richard : Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Penerbit:
EGC. Jakarta 2006.
6. Drakel R, Vogl W, Mitchell A. Gray’s Dasar- dasar Anatomi. Penerbit:
ELSEVIER. 2012
7. Harmadji Sri, Soepriyadi, wisnubroto.. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit
Telinga, Hidung dan Tenggorok Edisi III. Penerbit FK UNAIR. Surrabaya . 2005
8. Hotiman, Mahyuni. Refarat: Otitis Media Efusi. Malang: Fakultas kedokteran
Universitas Muhammadiyah. 2011
9. Rukmini, Herawati. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung dan Tenggorokan.
EGC, Jakarta: 2000
10. Fachir, Marissa, Qamariah. Hubungan Tonsilitis Kronis Dan Otitis Media Efusi.
Dalam: Jurnal Berkala Kedokteran, Vol.12, No.1. Banjarmasing: Fakultas Kedokteran
Universitas Lambung Mangkurat. 2016
11. Sumit K Agrawal, Aguila J Demetrio, Ahn S Min, et al. Current Diagnosis & Treatment
– Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2th ed. USA: Mc Graw Hill. 2008
12. Kumar, Abbas, Aster. Buku Ajar Dasar Patology Robbins. Edisi 9. Penerbit:
ELSEVIER. 2013

25

Вам также может понравиться