Вы находитесь на странице: 1из 21

TUGAS MAKALAH

KEPERAWATAN GERONTIK

“ASKEP PADA KLIEN LANSIA DENGAN GANGGUAN

AKTIVITAS BERPINDAH”

OLEH :

ARYAZID KAMIL

DRAYELA SILVIA ANDISA

MUTIARA RAMA ANNISA

SUCI LESTARI

AKADEMI KEPERAWATAN PURNA BHAKTI HUSADA

BATUSANGKAR

TP: 2015/2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaiakan makalah ini yang berjudul “Askep Pada Klien Lansia
Dengan Gangguan Aktivitas Berpindah”.

Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada


1. Dosen pembimbing yang telah membantu penulis dalam mengerjakan tugas
makalah ini.
2. Kepada teman-teman yang sudah memberi kontribusi baik langsung maupun
tidak langsung dalam pembuatan makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan,oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak sangat penulis harapkan, agar makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Semoga makalah ini dapat bermanfaaat bagi kita semua.

Batusangkar, 20 September 2015

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas
(Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999). Pada lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi
normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan
memperbaiki kerusakan yang terjadi. Karena itu di dalam tubuh akan menumpuk makin
banyak distorsi metabolik dan struktural disebut penyakit degeneratif yang menyebabkan
lansia akan mengakhiri hidup dengan episode terminal.
Mobilitas adalah pergerakan yang memberikan kebebasan dan kemandirian bagi
seseorang. Walaupun jenis aktivitas berubah sepanjang kehidupan manusia, mobilitas
adalah pusat untuk berpartisipasi dalam menikmati kehidupan. Mempertahankan mobilitas
optimal sangat penting untuk kesehatan mental dan fisik semua lansia.
Imobilitas merupakan tingkat aktivitas yang kurang dari mobilitas optimal.
Diagnosa keperawatan yang dapat di ambil dalam keterbatasan mobilitas adalah hambatan
mobilitas fisik, potensial sindrom disuse, dan intoleransi aktivitas. Imobilitas, intoleransi
aktivitas, dan sindrom disuse sering terjadi pada lansia. Sekitar 43% lansia telah
diidentifikasi memiliki gaya hidup kurang gerak yang turut berperan terhadap gangguan
aktivitas.
Awitan imobilitas atau intoleransi aktivitas untuk sebagian besar orang tidak terjadi
secara tiba-tiba, bergerak dari mobilitas penuh sampai ketergantungan fisik total atau
ketidakaktifan, tetapi lebih berkembang secara perlahan dan tanpa disadari. Intervensi yang
dapat dilakukan yaitu dengan diarahkan pada pencegahan ke arah konsekuensi-
konsekuensi imobolisasi dan ketidakaktifan dapat menurunkan kecepatan penurunannya.
Kecenderungan untuk perawatan diri dan kemandirian yang berkelanjutan akan menurun
jika penurunan imobilitas tidak di atasi atau tingkat aktivitas tidak dipertahankan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan aktivitas ?
2. Bagaimana prosedur latihan pada klien lansia dengan gangguan aktivitas ?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Menjelaskan asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan aktivitas.
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan pengertian gangguan aktivitas pada lansia
b. Menjelaskan etiologi
c. Menjelaskan dampak masalah gangguan aktivitas pada lansia
d. Menjelaskan manifestasi klinis gangguan aktivitas pada lansia
e. Menjelaskan penatalaksanaan gangguan aktivitas pada lansia
f. Menjelaskan asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan aktivitas
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Aktivitas adalah suatu energy atau keadaan bergerak dimana manusia memerlukan
untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup. Salah satu tanda kesehatan adalah adanya
kemampuan seseorang melakukan aktivitas seperti berdiri, berjalan dan bekerja.
Kemampuan aktivitas seseorang tidak terlepas dari keadekuatan system persarafan dan
muskuloskeletel.
Aktivitas sebagai salah satu tanda bahwa seseorang itu dalam keadaan sehat.
Seseorang dalam rentang sehat dilihat dari bagaimana kemampuannya dalam melakukan
berbagai aktivitas seperti misalnya berdiri, berjalan dan bekerja. Kemampuan aktivitas
seseorang itu tidak terlepas dari keadekuatan system persarafan dan musculoskeletal.
Intoreransi aktivitas adalah penurunan kapasitas fisiologis seseorang untuk
mempertahankan aktivitas sampai tingkat yang diinginkan atau yang diperlukan.
Sedangkan gangguan mobilisasi sendiri adalah suatu keadaan keterbatasan kemampuan
pergerakan fisik secara mandiri yang dialami oleh seseorang.
Body mekanik merupakan penggunaan tubuh yang efisien, terkoordinir dan aman
untuk menghasilkan pergerakan dan mempertahankan keseimbangan selama aktivitas.
Mekanika tubuh dan ambulasi merupakan bagian dari kebutuhan aktivitas manusia.
Body Mekanik meliputi 3 elemen dasar yaitu :
1. Body Aligement (Postur Tubuh)
Susunan geometrik bagian-bagian tubuh dalam hubungannya dengan bagian tubuh
yang lain.
2. Balance / Keseimbangan
Keseimbangan tergantung pada interaksi antara pusat gravity, line gravity dan base of
support.
3. Koordinated Body Movement (Gerakan tubuh yang terkoordinir)
Dimana body mekanik berinteraksi dalam fungsi muskuloskeletal dan sistem syaraf.
B. Prinsip-prinsip Body Mekanik
Mekanika tubuh penting bagi perawat dan klien. Hal ini mempengaruhi tingkat
kesehatan mereka. Mekanika tubuh yang benar diperlukan untuk mendukung kesehatan
dan mencegah kecacatan.
Perawat menggunakan berbagai kelumpok otot untuk setiap aktivitas keperawatan,
seperti berjalan selama ronde keperawatan, memberikan obat, mengangkat dan
memindahkan klien, dan menggerakan objek. Gaya fisik dari berat dan friksi dapat
mempengaruhi pergerakan tubuh. Jika digunakan dengan benar, kekuatan ini dapat
meningkatkan efisiensi perawat. Penggunaan yang tidak benar dapat mengganggu
kemampuan perawat unuk mengangkat, memindahkan, dan mengubah posisi klien.
Perawat juga mengganbungkan pengetahuan tentang pengaruh fisiologis dan patologis
pada mobilisasi dan kesejajaran tubuh. Prinsip yang digunakan dalam mekanik tubuh
adalah sebagai berikut :
1. Gravitasi
Merupakan prinsip pertama yang harus diperhatikan dalam melakukann mekanika
tubuh dengan benar, yaitu memandang gravitasi sebagai sumbu dalam pergerakan tubuh.
Terdapat tiga faktor yang perlu diperhatikan dalam gravitasi:
a. Pusat gravitasi ( center of gravitasi ), titik yang berada dipertengahan tubuh
b. Garis gravitasi ( Line Of gravitasi ), merupakan garis imaginer vertikal melalui
pusat gravitasi.
c. Dasar tumpuan ( base of suport ), merupakan dasar tempat seseorang dalam
keadaan istirahat untuk menopang atau menahan tubuh
2. Keseimbangan
Keseimbangan dalam penggunaan mekanika tubuh dicapai dengan cara
mempertahankan posisi garis gravitasi diantara pusat gravitasi dan dasar tumpuan.
3. Berat
Dalam menggunakan mekanika tubuh yang sangat dipehatikan adalah berat atau bobot
benda yang akan diangkat karena berat benda akan mempengaruhi mekanika tubuh.
C. Etiologi
Penyebab imobilitas bermacam-macam. Pada kenyataannya, terdapat banyak
penyebab imobilitas yang unik pada orang-orang yang di imobilisasi. Semua kondisi
penyakit dan rehabilitasi melibatkan beberapa derajat imobilitas. Ada bebetapa faktor yang
berhubungan dengan gangguan aktivitas pada lansia, yaitu:
1. Tirah baring dan imobilitas
2. Kelemahan secara umum
3. Gaya hidup yang kurang gerak
4. Ketidakseimbanag antara suplai oksigen dan kebutuhan
Berbagai penyebab dari imobilitasi fisik dapat dihubungkan dengan lingkungan
internal dan eksternal.
1. Faktor Internal
Faktor internal yang dapat menyebabkan imobilitas atau gangguan aktivitas adalah:
a. Penurunan fungsi muskuloskeletal
1) Otot : adanya atrofi, distrofi, atau cedera
2) Tulang : adanya infeksi, fraktur, tumor, osteoporosis, atau osteomalaisa.
3) Sendi : adanya artritis dan tumor
b. Perubahan fungsi neurologis
Misalnya adanya infeksi atau ensefalitis, tumor, trauma, obat-obatan, penyakit vaskuler
seperti stroke, penyakit demielinasi seperti sklerosis multiple, penyakit degeneratif,
terpajan produk racun, gangguan metabolik atau gangguan nutrisi.
c. Nyeri
Nyeri dengan penyebab yang multiple dan bervariasi seperti penyakit kronis dan
trauma.
d. Defisit perceptual
e. Berkurangnya kemampuan kognitif
f. Jatuh
g. Perubahan fungsi social
h. Aspek psikologis
2. Faktor Eksternal
Banyak faktor eksternal yang mengubah mobilitas pada lansia. Faktor tersebut adalah
program terapeutik, karakteristik tempat tinggal dan staf, sistem pemberian asuhan
keperawatan, hambatan-hambatan,dan kebijakan-kebijakan institusional.
a. Program terapeutik
Program penanganan medis memiliki pengaruh yang kuat terhadap kualitas dan
kuantitas pergerakan pasien. Misalnya pada program pembatasan yang meliputi faktor-
faktor mekanis dan farmakologis, tirah baring, dan restrain.
Faktor-faktor mekanis dapat mencegah atau pergerakan tubuh atau bagian tubuh
dengan penggunaan peralatan eksternal (misalnya gips dan traksi) atau alat-alat (misalnya
yang dihubungkan dengan pemberian cairan intravena, pengisapan gaster, kateter urine,
dan pemberian oksigen). Agens farmasetik seperti sedatif, analgesik, transquilizer, dan
anastesi yang digunakan untuk mengubah tingkat kesadaran pasien dapat mengurangi
pergerakan atau menghilangkannya secara keseluruhan.
Tirah baring dapat dianjurkan atau merupakan akibat dari penanganan penyakit cedera.
Sebagai intervensi yang dianjurkan, istirahat dapat menurunkan kebutuhan metabolik,
kebutuhan oksigen, dan beban kerja jantung. Selain itu, istirahat dapat memberikan
kesempatan pada sistem muskuloskeletal untuk relaksasi menghilangkan nyeri, mencegah
iritasi yang berlebihan dari jaringan yang cedera, dan meminimalkan efek gravitasi. Tirah
baring dapat juga merupakan akibat dari faktor-faktor fisiologis atau psikologis lain.
Restrain fisik dan pengamanan tempat tidur biasanya digunakan pada lansia yang
diinstitusionalisasi. Alat-alat ini turut berperan secara langsung terhadap imobilitas dengan
membatasi pergerakan ditempat tidur dan secara tidak langsung terhadap peningkatan
resiko cedera ketika seseorang berusaha untuk memperoleh kebebasan dan mobilitasnya.
b. Karakteristik penghuni institusi
Tingkat mobilitas dan pola perilaku dari kelompok teman sebaya klien dapat
mempengaruhi pola mobilitas dan perilakunya. Dalam suatu studi tentang status mobilitas
pada penghuni panti jompo, mereka yang dapat berjalan dianjurkan untuk menggunakan
kursi roda karena anggapan para staf untuk penghuni yang pasif.
c. Karakteristik staf
Karakteristik dari staf keperawatan yang mempengaruhi pola mobilitas adalah
pengetahuan, komitmen, dan jumlah. Pengetahuan dan pemahaman tentang konsekuensi
fisiologis dari imobilitas dan tindakan-tindakan keperawatan untuk mencegah atau
melawan pengaruh imobilitas penting untuk mengimplementasikan perawatan untuk
memaksimalkan mobilitas. Jumlah anggota staf yang adekuat dengan suatu komitmen
untuk menolong lansia mempertahankan kemandiriannya harus tersedia untuk mencegah
komplikasi imobilitas.
d. Sistem pemberian asuhan keperawatan
Jenis sitem pemberian asuhan keperawatan yang digunakan dalam institusi dapat
mempengaruhi status mobilitas penghuninya. Alokasi praktik fungsional atau tugas telah
menunjukkan dapat meningkatkan ketergantungan dan komplikasi dari imobilitas.
e. Hambatan-hambatan
Hambatan fisik dan arsitektur dapat mengganggu mobilitas. Hambatan fisik termasuk
kurangnya alat bantu yang tersedia untuk mobilitas, pengetahuan dalam menggunakan alat
bantu mobilitas tidak adekuat, lantai yang licin, dan tidak adekuatnya sandaran untuk kaki.
Sering kali, rancangan arsitektur rumah sakit atau panti jompo tidak memfasilitasi atau
memotivasi klien untuk aktif dan tetap dapat bergerak.
f. Kebijakan-kebijakan institusi
Faktor lingkungan lain yang penting untuk lansia adalah kebijakan-kebijakan dan
prosedur-prosedur institusi. Praktik pengaturan yang formal dan informal ini
mengendalikan keseimbangan antara perintah institusional dan kebebasan individu.
Semakin ketat kebijakan, semakin besar efeknya pada mobilitas.

D. Dampak Masalah pada Lansia


Lansia sangat rentan terhadap konsekuensi fisiologis dan psikologis dari imobilitas.
Perubahan yang berhubungan dengan usia disertai dengan penyakit kronis menjadi
predisposisi bagi lansia untuk mengalami komplikasi-komplikasi ini. Secara fisiologis,
tubuh bereaksi terhadap imobilitas dengan perubahan-perubahan yang hamper sama
dengan proses penuaan, oleh karena itu memperberat efek ini.
Suatu pemahaman tentang dampak imobilitas dapat diperoleh dari interaksi
kompetensi fisik, ancaman terhadap imobilitas, dan interpretasi pada kejadian. Imobilitas
dapat mempengaruhi tubuh yang telah terpengaruh sebelumnya. Sebagai contoh, setelah
masa dewasa awal terdapat penurunan kekuatan yang jelas dan berlangsung terus secara
tetap.
Oleh karena itu, kompetensi fisik seorang lansia mungkin berada pada atau dekat
tingkat ambang batas untuk aktivitas mobilitas tertentu. Perubahan lebih lanjut atau
kehilangan dari imobilitas dapat membuat seseorang menjadi tergantung.

E. Manifestasi Klinis
Dampak fisik dari imobilitas dan ketidakaktifan sangat banyak dan bermacam-
macam. Masalah-masalah yang berhubungan dapat mempengaruhi semua sistem pada
tubuh.
Tabel 2.1 Dampak Fisiologis dari imobilitas dan ketidakaktifan
NO EFEK HASIL

1. Penurunan konsumsi oksigen maksimum Intoleransi ortostatik


2. Penurunan fungsi ventrikel kiri - Peningkatan denyut jantung
- Sinkop
3. Penurunan curah jantung Penurunan toleransi latihan
4. Penurunan volume sekuncup Penurunan kapasitas kebugaran
5. Peningkatan katabolisme protein - Penurunan massa otot tubuh
- Atrofi muskular
- Penurunan kekuatan otot
6. Peningkatan pembuangan kalsium Osteoporosis
7. Perlambatan fungsi usus Konstipasi
8. Pengurangan miksi Penurunan evakuasi kandung kemih
9. Gangguan metabolisme glukosa Intoleransi glukosa
10. Penurunan ukuran thoraks Penurunan kapasitas fungsional residual
11. Penurunan aliran darah pulmonal - Atelektasis
- Penurunan PO2
- Peningkatan pH
12. Penurunan cairan tubuh total - Penurunan volume plasma
- Penurunan keseimbangan natrium
- Penurunan volume darah total
13. Gangguan sensori - Perubahan kognisi
- Depresi dan ansietas
- Perubahan persepsi
14. Gangguan tidur - Bermimpi pada siang hari
- Halusinasi

F. Penatalaksanaan
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer merupakan proses yang berlangsung sepanjang kehidupan dan
episodik. Sebagai suatu proses yang berlangsung sepanjang kehidupan, moblilitas dan
aktivitas tergantung pada fungsi system musculoskeletal, kardiovaskuler, pulmonal.
Sebagai suatu proses episodik pencegahan primer diarahkan pada pencegahan masalah-
masalah yang dapat tmbul akibat imoblitas atau ketidak aktifan.
a. Hambatan terhadap latihan
1) Bahaya-bahaya interpersonal termasuk isolasi social yang terjadi ketika teman-
teman dan keluarga telah meninggal.
2) Perilaku gaya hidup tertentu (misalnya merokok dan kebiasaan diet yang buruk)
3) Depresi gangguan tidur
4) Kurangnya transportasi dan kurangnya dukungan.
5) Hambatan lingkungan termasuk kurangnya tempat yang aman untuk latihan dan
kondisi iklim yang tidak mendukung.
6) Sikap budaya
7) Gender juga dianggap sebagai hambatan karena aktivitas fisik diterima sebagai
sesuatu yang lebih penting bagi kaum pria daripada wanita.
b. Pengembangan program latihan
Program latihan yang sukses sangat individual, diseimbangkan, dan mengalami
peningkatan. Program tersebut disusun untuk memberikn kesempatan pada klien untuk
mengembangkan suatu kebiasaan yang teratur dalam melakukan bentuk aktif dari rekreasi
santai yang dapat memberikan efek latihan.
Aktivitas atau latihan harus disesuaikan dengan kapasitas klien. Sebelum seorang
lansia memulai program latihan, dianjurkan untuk melakukan pengkajian sebelum latihan,
yang meliputi sedikitnya riwayat lengkap dan pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh
dokter atau praktisi keperawatan.
Ketika klien telah memiliki evaluasi fisik secara seksama, pengkajian tentang faktor-
faktor pengganggu berikut ini akan membantu untuk memastikan keterikatan dan
meningkatkan pengalaman, yaitu:
1) Aktivitas sat ini dan respon fisiologis denyut nadsi sebelum, selama dan setelah
aktivitas diberikan).
2) Kecenderungan alami (predisposisi atau penngkatan kearah latihan khusus).
3) Kesulitan yang dirasakan.
4) Tujuan dan pentingnya lathan yang dirasakan.
5) Efisiensi latihan untuk dirisendiri (derajat keyakinan bahwa seseorang akan
berhasil)
c. Keamanan
Ketika program latihan spesifik telah diformulasikan dan diterima oleh klien, instruksi
tentang latihan yang aman harus dilakukan. Mengajarkan klien untuk mengenali tanda-
tanda intoleransi atau latihan yang terlalu keras sama pentingnya dengan memilih aktivitas
yang tepat.
2. Pencegahan Sekunder

Spiral menurun yang terjadi akibat aksaserbasi akut dari imobilitas dapat dkurangi atau
dicegah dengan intervensi keperawatan. Keberhasilan intervensi berasal dri suatu
pengertian tentang berbagai factor yang menyebabkan atau turut berperan terhadap
imobilitas dan penuaan. Pencegahan sekunder memfokuskan pada pemeliharaan fungsi
dan pencegahan komplikasi. Diagnosis keperawatan dihubungkan dengan pencegahan
sekunder adalah gangguan mobilitas fisik.

3. Penatalaksanaan terapeutik

Pengobatan terapeutik ditujukan kearah perawatan penyakit atau kesakitan yang


dihasilkan atau yang turut berperan terhadap masalah imobilitis dan penanganan
konsekuensi aktual atau potensial dari imobilitas. Contoh-contoh pendekatan terhadap
penanganan imobilitas meliputi terapi fisik untuk mempertahankan mobilitas dan kekuatan
otot, kompresi pneumatik intermiten dan kekuatan otot, kompresi pneumatik intermiten
atau stoking kompresi gradien untuk meningkatkan aliran darah vena dan mencegah
tromboembolisme, spirometri insesif untuk hiperinflasi alveoli, dan tirah baring, kecuali
untuk eliminasi.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Data demografi
- Usia
- Jenis kelamin
- Pendidikan
- Status perkawinan
- Pekerjaan
b. Riwayat kesehatan
Keluhan utama : yang biasa muncul pada pasien dengan gangguan aktivitas dan latihan
adalah rasa nyeri, lemas, pusing, mengeluh sakit kepala berat, badan terasa lelah,
muntah tidak ada, mual ada, bab belum lancar terdapat warna kehitaman dan merah
segar hari belum bab, urine keruh kemerahan, parese pada ekstermitas kanan ataupun
fraktur.
1) Riwayat penyakit sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari nyeri/fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya nyeri/fraktur tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya nyeri bisa diketahui nyeri yang lain.
2) Riwayat penyakit dahulu
Ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang mengalami hipertensi apakah
sebelumnya pasien pernah mengalami penyakit seperti saat ini.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Perlu dikaji penyakit riwayat keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
atau tidak. Penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur,
seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
2. Pola Fungsi Kesehatan (GORDON)
a. Persepsi terhadap kesehatan
1) Tingkat pengetahuan kesehatan / penyakit meliputi sebelum sakit dan selam sakit
2) Perilaku untuk mengatasi masalah kesehatan meliputi sebelum sakit dan selam
sakit
3) Faktor-faktor resiko sehubungan dengan kesehatan
b. Pola Aktivitas Dan Latihan
Menggunakan tabel aktifitas meliputi makan, mandi berpakaian, eliminasi, mobilisaasi
di tempat tidur, berpindah, ambulansi, naik tangga, serta berikan keterangan skala dari 0–4
yaitu :
0 : Mandiri
1 : Di bantu sebagian
2 : Di bantu orang lain
3 : Di bantu orang dan peralatan
4 : Ketergantungan / tidak mampu
Aktifitas 0 1 2 3 4
Makan √
Mandi √
Berpakaian √
Eliminasi √
Mobilisasi ditempat tidur √
Berpindah √
Ambulansi √
Naik tangga √

c. Pola Istirahat Tidur


Ditanyakan :
1) Jam berapa biasa mulai tidur dan bangun tidur
2) Sonambolisme
3) Kualitas dan kuantitas jam tidur
d. Pola Nutrisi - Metabolic
Ditanyakan :
1) Berapa kali makan sehari
2) Makanan kesukaan
3) Berat badan sebelum dan sesudah sakit
4) Frekuensi dan kuantitas minum sehari
e. Pola Eliminasi
1) Frekuensi dan kuantitas BAK dan BAB sehari
2) Nyeri
3) Kuantitas
f. Pola Kognitif Perceptual
Adakah gangguan penglihatan, pendengaran (Panca Indra)
g. Pola Peran Hubungan
1) Hubungan dengan anggota keluarga
2) Dukungan keluarga
3) Hubungan dengan tetangga dan masyarakat.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Kemunduran musculoskeletal
Indikator primer dari keparahan imobilitas pada system musculoskeletal adalah
penurunan tonus, kekuatan, ukuran, dan ketahanan otot; rentang gerak sendi; dan
kekuatan skeletal. Pengkajian fungsi secara periodik dapat digunakan untuk memantau
perubahan dan keefektifan intervensi.
b. Kemunduran kardiovaskuler
Tanda dan gejala kardiovaskuler tidak memberikan bukti langsung atau meyaknkan
tentang perkembangan komplikasi imobilitas. Hanya sedikit petunjuk diagnostik yang
dapat diandalkan pada pembentukan trombosis. Tanda-tanda tromboflebitis meliputi
eritema, edema, nyeri tekan dan tanda homans positif. Intoleransi ortostatik dapat
menunjukkan suatu gerakan untuk berdiri tegak seperti gejala peningkatan denyut
jantung, penurunan tekanan darah, pucat, tremor tangan, berkeringat, kesulitandalam
mengikuti perintah dan sinkop.
c. Kemunduran Respirasi
Indikasi kemunduran respirasi dibuktikan dari tanda dan gejala atelektasis dan
pneumonia. Tanda-tanda awal meliputi peningkatan temperature dan denyut jantung.
Perubahan-perubahan dalam pergerakan dada, perkusi, bunyi napas, dan gas arteri
mengindikasikan adanaya perluasan dan beratnya kondisi yang terjadi.
d. Perubahan-perubahan integument
Indikator cedera iskemia terhadap jaringan yang pertama adalah reaksi inflamasi.
Perubahan awal terlihat pada permukaan kulit sebagai daerah eritema yang tidak
teratur dan didefinisikan sangat buruk di atas tonjolan tulang yang tidak hilang dalam
waktu 3 menit setelah tekanan dihilangkan.
e. Perubahan-perubahan fungsi urinaria
Bukti dari perubahan-perubahan fungsi urinaria termasuk tanda-tanda fisik berupa
berkemih sedikit dan sering, distensi abdomen bagian bawah, dan batas kandung kemih
yang dapat diraba. Gejala-gejala kesulitan miksi termasuk pernyataan ketidakmampuan
untuk berkemih dan tekanan atau nyeri pada abdomen bagian bawah.
f. Perubahan-perubahan Gastrointestinal
Sensasi subjektif dari konstipasi termasuk rasa tidak nyaman pada abdomen bagian
bawah, rasa penuh, tekanan. Pengosonganh rectum yang tidak sempurna, anoreksia,
mual gelisah, depresi mental, iritabilitas, kelemahan, dan sakit kepala.
4. Faktor-faktor lingkungan
Lingkungan tempat tinggal klien memberikan bukti untuk intervensi. Di dalam
rumah, kamar mandi tanpa pegangan, karpet yang lepas, penerangan yang tidak
adekuat, tangga yang tinggi, lantai licin, dan tempat duduk toilet yang rendah dapat
menurunkan mobilitas klien. Hambatan-hambatan institusional terhadap mobilitas
termasuk jalan koridor yang terhalang, tempat tidudan posisi yang tinggi, dan cairan
pada lantai. Identifikasi dan penghilangan hambatan-hambatan yang potensial dapat
meningkatakan mobilitas
5. Faktor Psikososial
a. Perubahan status psikososial klien biasa terjadi lambat dan sering diabaikan tenaga
kesehatan.
b. Observasi perubahan tingkah laku
c. Menentukan penyebab perubahan tingkah laku / psikososial untuk mengidentifikasi
terapi keperawatan
d. Observasi pola tidur klien
e. Observasi perubahan mekanisme koping klien
f. Observasi dasar perilaku klien sehari-hari
B. Diagnosa Keperawatan
Beberapa diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada lansia dengan
gangguan pemenuhan kebutuhan aktivitas dan latihan antara lain:
1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan bed rest atau imobilitas, mobilitas yang
kurang, pembatasan pergerakan, nyeri.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktivitas, gangguan persepsi
kognitif, imobilisasi, gangguan neuromuskular, kelemahan/paralisis, pemasangan
traksi.
3. Resiko cedera berhubungan dengan gangguan neuromuskular, menurunnya kekuatan
otot, dan koordinasi, kerusakan persepsi kognitif, depresi, gangguan kognitif.
C. Intervensi Keperawatan
1. Tujuan
Tujuannya adalah mengarahkan intervensi keperawatan untuk mencegah atau
meniadakan sekuelafisiologis dari imobilitas, yang meliputi lima tujuan yaitu:
a. Pertama, meliputi pemeliharaan kekuatan dan ketahanan sistem muskuloskeletal,
yang termasuk pengondisian program latihan harian baik kontraksi otot isometrik
dan isotonik, aktivitas penguatan aerobik, nutrisi untuk meningkatkan anabolisme
protein dan pembentukan tulang, dan sikap komitmen terhadap latihan.
b. Kedua, pemeliharaan fleksibilitas sendi yan terlibat dalam latihan rentang gerak,
posisi yang tepat, dan aktivitas kehidupan sehari-hari.
c. Ketiga, pemeliharaan ventilasi yang normal meliputi hiperinflasi dan mobilisasi
serta menghilangkan sekresi.
d. Keempat, pemeliharaan sirkulasi yang adekuat meliputi tindakan-tindakan
pendukung untuk mempertahankan tonus vaskuler (termasuk mengubah posisi
dalam hubungannya dengan gravitasi), stoking kompresi untuk memberikan
tekanan eksternal pada tungkai, dan asupan cairan yang adekuat untuk mencegah
efek dehidrasi pada volume darah. Pergerakan aktif memengaruhi toleransi
ortostatik.
e. Kelima, pemeliharaan fungsi urinaria dan usus yang normal bergantung pada
dukungan nutrisi dan struktur lingkungan serta rutinitas-rutinitas untuk
memfasilitasi eliminasi.
2. Intervensi yang dapat dilakukan
a. Kontraksi otot isometrik
Kontraksi otot isometrik meningkatkan tegangan otot tanpa mengubah panjang otot
yang menggerakkan sendi. Kontraksi-kontraksi ini digunakan untuk mempertahankan
kekuatan otot dan mobilitas dalam keadaan berdiri (misalnya otot-otot kuadrisep,
abdominal dan gluteal) dan untuk memberikan tekanan pada tulang bagi orang-orang
dengan dan tanpa penyakit kardiovaskuler. Kontraksi isometrik dilakukan dengan cara
bergantian mengencangkan dan merelaksasikan kelompok otot.
b. Kontraksi otot isotonik
Kontraksi otot yang berlawanan atau isotnik berguna untk mempertahankan
kekuatan otot-otot dan tulang. Kontraksi ini mengubah panjang otot tanpa mengubah
tegangan. Karena otot-otot memendek dan memanjang, kerja dapat dicapai. Kontraksi
isotonik dapat dicapai pada saat berada di tempat tidur, dengan tungkai menggantung
di sisi tempat tidur, atau pada saat duduk di kursi dengan cara mendorong atau menarik
suatu objek yang tidak dapat bergerak. Ketika tangan atau kaki dilatih baik otot-otot
fleksor dan ekstensor harus dilibatkan.
c. Latihan Kekuatan
Aktivitas penguatan adalah latihan pertahanan yang progresif. Kekuatan otot harus
menghasilkan peningkatan setelah beberapa waktu. Latihan angkat berat dengan
meningkatkan pengulangan dan berat adalah aktivitas pengondisian kekuatan. Latihan
ini meningkatkan kekuatan dan massa otot serta mencegah kehilangan densitas tulang
dan kandungan mineral total dalam tubuh.
d. Latihan Aerobik
Latihan aerobik adalah aktivitas yang menghasilkan peningkatan denyut jantung 60
sampai 90% dari denyut jantung maksimal dihitung dengan (220-usia seseorang) x 0,7.
Aktivitas aerobik yang dipilih harus menggunakan kelompok otot besar dan harus
kontinu, berirama, dan dapat dinikmati. Contohnya termasuk berjalan, berenang,
bersepeda, dan berdansa.
e. Sikap
Variabel utama yang dapat mengganggu keberhasilan intervensi pada individu
yang mengalami imobilisasi adalah sikap perawat dan klien tentang pentingnya latihan
dan aktivitas dalam rutinitas sehari-hari. Sikap perawat tidak hanya memengaruhi
komitmen untuk memasukkan latihan sebagai komponen rutin sehari-hariyang
berkelanjutan, tetapi juga integrasi aktif dari latihan sebagai intervensi bagi lansia di
berbagai lingkungan; komunitas, rumah sakit, dan fasilitas jangka panjang. Demikian
pula halnya sikap klien dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas latihan.
f. Latihan Rentang Gerak
Latihan rentang gerak aktif dan pasif memberikan keuntungan-keuntungan yang
berbeda. Latihan aktif membantu mempertahankan fleksibilitas sendi dan kekuatan
otot serta meningkatkan penampilan kognitif. Sebaliknya, gerakan pasif, yaitu
menggerakkan sendi seseorang melalui rentang geraknya oleh orang lain, hanya
membantu mempertahankan fleksibilitas.
g. Mengatur Posisi
Mengatur posisi juga digunakan untuk meningkatkan tekanan darah balk vena. Jika
seseorang diposisikan dengan tungkai tergantung, pengumpulan dan penurunan
tekanan darah balik vena akan terjadi. Posisi duduk di kursi secara normal dengan
tungkai tergantung secara potensial berbahaya untuk seseorang yang beresiko
mengalami pengembangan trombosis vena. Mengatur posisi tungkai dengan
ketergantungan minimal (misalnya meninggikan tungkai diatas dudukan kaki)
mencegah pengumpulan darah pada ekstremitas bawah.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Aktivitas adalah suatu energy atau keadaan bergerak dimana manusia memerlukan
untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup. Salah satu tanda kesehatan adalah adanya
kemampuan seseorang melakukan aktivitas seperti berdiri, berjalan dan bekerja.
Kemampuan aktivitas seseorang tidak terlepas dari keadekuatan system persarafan dan
muskuloskeletel.
Intoreransi aktivitas adalah penurunan kapasitas fisiologis seseorang untuk
mempertahankan aktivitas sampai tingkat yang diinginkan atau yang diperlukan.
Sedangkan gangguan mobilisasi sendiri adalah suatu keadaan keterbatasan kemampuan
pergerakan fisik secara mandiri yang dialami oleh seseorang.
Penyebab imobilitas bermacam-macam. Pada kenyataannya, terdapat banyak
penyebab imobilitas yang unik pada orang-orang yang di imobilisasi. Semua kondisi
penyakit dan rehabilitasi melibatkan beberapa derajat imobilitas.
Lansia sangat rentan terhadap konsekuensi fisiologis dan psikologis dari imobilitas.
Perubahan yang berhubungan dengan usia disertai dengan penyakit kronis menjadi
predisposisi bagi lansia untuk mengalami komplikasi-komplikasi ini. Secara fisiologis,
tubuh bereaksi terjhadap imobilitas dengan perubahan-perubahan yang hamper sama
dengan proses penuaan, oleh karena itu memperberat efek ini.
B. Saran
1. Bagi Mahasiswa
Diharapkan mampu memahami tentang bagaimana asuhan keperawatan pada lansia
dengan gangguan aktivitas sehingga dapat meningkatkan kesehatan lansia yang ada di
masyarakat.
2. Bagi Masyarakat
Diharapkan lebih mengerti dan memahami tentang asuhan keperawatan pada lansia
dengan gangguan aktivitas untuk meningkatkan mutu kesehatan lansia yang ada di
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Wartonah, Tarwoto. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan Edisi 3.
Jakarta: Salemba Medika

Wilkinson M. Judith. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC Edisi 7. Jakarta : EGC

Satya. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Kebutuhan Aktivitas.

http://satyaexcel.blogspot.com/2012/07/laporan-pendahuluan-kebutuhan-aktivitas.html.

Вам также может понравиться