Вы находитесь на странице: 1из 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit kanker pada anak umumnya jarang dibandingkan angka kejadian

kanker pada orang dewasa. Angka kejadian kanker pad anak adalah 2-4 %, sangat

kecil dibandingkan angka kejadian penyakit lainnya seperti infeksi dan alergi1.

Namun, dari data statistik menunjukkan kejadian penyakit kanker pada anak saat

ini memperlihatkan kecenderungan meningkat, dibandingkan dua dasa warsa yang

lalu2. Leukemia adalah kanker anak yang paling sering, mencapai lebih kurang

33% dari kegasanasan pediatrik2. Leukemia limfoblastik akut (LLA) berjumlah

kira-kira 75% dari semua kasus, dengan insidensi tertinggi pada umur 4 (empat)

tahun. Leukemia mieloblastik akut (LMA) berjumlah kira-kira 20% dari

leukemia, dengan insidensi yang tetap dari lahir sampai usia 10 tahun, meningkat

sedikit pada masa remaja3. Leukemia sisanya ialah bentuk kronis; leukemia

limfositik kronis (LLK) jarang ditemukan pada anak. Insidensi tahunan dari

keseluruhan leukemia adalah 42,1 tiap juta anak kulit putih dan 24,3 tiap juta

anak kulit hitam3. Perbedaan itu terutama disebabkan oleh rendahnya kejadian

kejadian LLA pada orang kulit hitam. Gambaran klinis yang umum dari leukemia

adalah serupa karena semuanya melibatkan kerusakan hebat fungsi sumsum

tulang. Tetapi, gambaran klinis dan laboratorium spesifik berbeda dan ada

perbedaan dalam respon terhadap terapi dan perbedaan dalam prognosis4.

Leukemia atau kanker darah adalah sekelompok penyakit neoplastik yang

beragam, ditandai oleh pertumbuhan secara tak normal atau transformasi maligna

1
dari sel-sel pembentuk darah di sumsum tulang dan jaringan limfoid5. Sel-sel

normal di dalam sumsum tulang digantikan oleh sel tak normal atau abnormal. Sel

abnormal ini keluar dari sumsum dan dapat ditemukan di dalam darah perifer atau

darah tepi. Sel leukemia mempengaruhi hematopoiesis atau proses pembentukan

sel darah normal dan imunitas tubuh penderita.4 Kata leukemia berarti darah putih,

karena pada penderita ditemukan banyak sel darah putih sebelum diberi terapi. Sel

darah putih berasal dari sel stem di sumsum tulang. Leukemia terjadi jika proses

pematangan dari stem sel menjadi sel darah putih mengalami gangguan dan

menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Sel darah putih yang tampak banyak

merupakan sel yang muda, misalnya promielosit. Jumlah yang semakin meninggi

ini dapat mengganggu fungsi normal dari sel lainnya.5

Penyebab leukemia belum diketahui secara pasti, namun diketahui beberapa

faktor yang dapat mempengaruhi frekuensi leukemia, seperti3: 1. Radiasi,

Radiasi dapat meningkatkan frekuensi LLA dan LMA. Tidak ada laporan

mengenai hubungan antara radiasi dengan LLK. Beberapa laporan yang

mendukung : Para pegawai radiologi lebih sering menderita leukemia, penderita

dengan radioterapi lebih sering menderita leukemia, Leukemia ditemukan pada

korban hidup kejadian Hiroshima dan Nagasaki. 2. Leukemogenik, Pewarna

tekstil (rhodamin) digunakan mewarnai jelly dan minuman agar menarik minat

anak-anak untuk dikonsumsi. Sayuran dan buah-buahan sudah tercemar bahan

kimia, akibat pemupukan dan insektisida, sebelum sampai ketangan

konsumen. Hampir semua makanan saat ini menggunakan MSG, monosodium

glutamat, perasa yang berbahan kimia. Obat untuk kemoterapi Bahan bakar

bensin. 3. Genetik, Orang yang memiliki kelainan genetik tertentu

2
(misalnya sindroma d own dan sindroma Fanconi), juga lebih peka terhadap

leukemia, 4. Virus, Virus HTLV-I (human T-cell lymphotropic virus type I), yang

menyerupai virus penyebab AIDS, diduga merupakan penyebab jenis leukemia

yang jarang terjadi pada manusia, yaitu leukemia sel-T dewasa.

Leukemia dapat diklasifikasikan berdasarkan6: 1. Perjalanan alamiah

penyakitnya yaitu akut dan kronis. Leukemia akut ditandai dengan suatu

perjalanan penyakit yang sangat cepat, mematikan, dan memburuk. Apabila tidak

diobati segera, maka penderita dapat meninggal dalam hitungan minggu hingga

hari. Leukemia kronis memiliki perjalanan penyakit yang tidak begitu cepat

sehingga memiliki harapan hidup yang lebih lama, hingga lebih dari 1 tahun

bahkan ada yang mencapai 5 tahun, 2. Tipe sel predominan yang terlibat: limfoid

dan myeloid. Leukimia diklasifikasikan dengan jenis sel yang ditemukan pada

sediaan darah tepi. Ketika leukemia mempengaruhi limfosit atau sel limfoid,

maka disebut leukemia limfositik. Ketika leukemia mempengaruhi sel mieloid

seperti neutrofil, basofil, dan eosinofil, maka disebut leukemia mielositik, 3.

Jumlah leukosit dalam darah. Prevalensi empat tipe utama, Leukemia leukemik,

bila jumlah leukosit di dalam darah lebih dari normal, terdapat sel-sel abnormal,

Leukemia subleukemik, bila jumlah leukosit di dalam darah kurang dari normal,

terdapat sel-sel abnormal. Leukemia aleukemik, bila jumlah leukosit di dalam

darah kurang dari normal, tidak terdapat sel-sel abnormal, Dengan

mengkombinasikan dua klasifikasi pertama, maka leukemia dapat dibagi menjadi:

1. Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan tipe leukemia paling sering

terjadi pada anak-anak. Penyakit ini juga terdapat pada dewasa yang terutama

telah berumur 65 tahun atau lebih. 2. Leukemia mieloblastik akut (LMA) lebih

3
sering terjadi pada dewasa daripada anak-anak, tipe ini dahulunya disebut

leukemia nonlimfositik akut. 3. Leukemia limfositik kronis (LLK) sering diderita

oleh orang dewasa yang berumur lebih dari 55 tahun. Kadang-kadang juga

diderita oleh dewasa muda, dan hampir tidak ada pada anak-anak. 4. Leukemia

mielositik kronis (LMK) sering terjadi pada orang dewasa. Dapat juga terjadi pada

anak-anak, namun sangat sedikit Tipe yang sering diderita orang dewasa adalah

LMA dan LLK, sedangkan LLA sering terjadi pada anak-anak7.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai

dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari

sel myeloid. Bila tidak diobati,penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara

cepat dalam waktu beberapa minggu sampai bulan sesudah diagnosis 1. Di Negara

maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32% dari seluruh kasus leukemia.

Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa (85%) dari pada anak (15%) 2.

Insidens LMA umumnya tidak berbeda dari masa anak-anak hingga masa dewasa

muda3. Sesudah usia 30 tahun, insidensi LMA meningkat secara eksponensial

sejalan dengan meningkatnya usia. LMA pada orang yang berusia 30 tahun adalah

0,8%, pada orang yang berusia 50 tahun 2,7%, sedang pada orang yang berusia di

atas 65 tahun adalah sebesar 13,7%4. Secara tidak umum tidak didapatkan adanya

variasi antar etnik tentang insidensi LMA, meskipun pernah dilaporkan adanya

insidens LMA tipe M3 yang terjadi 2,9 hingga 5,8 kali lebih besar pada ras

Hispanik yang tinggal di Amerika Serikat dibandingkan dengan ras Kaukasia.4

2.2. ETIOLOGI

Etiologi LMA tidak diketahui. Meskipun demikian, ada beberapa faktor

yang diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya menjadi faktor predisposisi

LMA pada populasi tertentu. Benzene merupakan zat leukomogenik untuk LMA.

Selain itu, radiasi ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA. Terdapat

penelitian pada orang-orang yang selamat dari serangan bom atom Hiroshima dan

5
Nagasaki pada tahun 1945 5. Efek leukomogenik dari paparan ion radiasi tersebut

mulai tampak sejak 1.5 tahun sesudah pengeboman dan mencapai puncak 6 atau 7

tahun sesudah pengeboman5. Faktor lain yang merupakan predisposisi untuk LMA

adalah trisomi kromosom 21 yang dijumpai pada penyakit herediter sindrom

Down6. Pasien sindrom Down mempunyai risiko 10 hingga 18 kali lebih tinggi

untuk menderita leukemia, khususnya LMA tipe M76. Selain itu beberapa sindrom

genetik seperti sindrom Bloom dan anemia Fanconi juga diketahui mempunyai

risiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal untuk menderita LMA
6
. Faktor lain yang memicu terjadinya LMA adalah pengobatan dengan

kemoterapi sitotoksik pada pasien tumor.6 LMA akibat terapi adalah komplikasi

jangka panjang yang serius dari pengobatan limfoma, mieloma multipel, kanker

payudara, kanker ovarium dan kanker testis7. Jenis kemoterapi yang paling sering

memicu timbulnya LMA adalah golongan alkalyting agent dan topoisomerase II

inhobitor7. LMA akibat terapi mempunyai prognosis yang lebih buruk

dibandingkan LMA de novo sehingga di dalam klasifikasi leukemia versi WHO

dikelompokkan tersendiri8.

2.3. PATOGENESIS

Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang

menyebabkan proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda

(blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast di sumsum tulang2. Akumulasi

blast di dalam sumsum tulang akan menyebabkan gangguan hematopoesis normal

dan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow failure

syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia (anemia, leukopenia dan

6
trombositopenia). Adanya anemia akan menyebabkan pasien mudah lelah dan

pada kasus yang lebih berat sesak nafas, adanya trombositopenia akan

menyebabkan tanda-tanda perdarahan, sedangkan adanya leukopenia akan

menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi, termasuk infeksi oportunistis dari

flora bakteri normal yang ada di dalam tubuh manusia. Selain itu, sel-sel

blast yang terbentuk juga punya kemampuan untuk migrasi keluar sumsum tulang

dan berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak dan

sistem syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut7.

Gambar 1. Patofisilogi Leukemia Akut

7
2.4. TANDA DAN GEJALA

Tidak selalu dijumpai leukositosis. Leukositosis terjadi pada sekitar 50%

kasus LMA, sedangkan 15% pasien mempunyai angka leukosit yang normal dan

sekitar 35% pasien mengalami netropenia8. Meskipun demikian, sel-sel

blast dalam jumlah yang signifikan di darah tepi akan ditemukan pada 85% kasus

LMA2. Oleh karena itu sangat penting untuk memeriksa rincian jenis sel-sel

leukosit di darah tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari kesalahan

diagnosis pada orang yang diduga menderita LMA.

Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah, perdarahan dan

infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana

disebutkan di atas. Perdarahan biasanya terjadi adalam bentuk purpura atau

petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa epistaksis,

perdarahan gusi dan retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali

pada kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini paling sering dijumpai di

tenggorokan,paru-paru, kulit dan daerah perirektal, sehingga organ-organ tersebut

harus diperiksa secara teliti pada pasien LMA dengan demam.

Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (>100 ribu/mm3),

sering terjadi leukostasis, yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat

aliran pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukostasis, yaitu terjadinya

gumpalan leukosit yang menyumbat aliran pembuluh darah vena maupun arteri.

Gejala leukostasis sangat bervariasi, tergantung lokasi sumbatannya. Gejala yang

sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak nafas, nyeri dada dan

priapismus.8 Angka leukosit yang sangat tinggi juga sering menimbulkan

gangguan metabolisme berupa hiperurisemia dan hipoglikemia. Hiperurisemia

8
terjadi akibat sel-sel leukosit yang berproliferasi secara cepat dalam jumlah yang

besar.2 Hipoglikemia terjadi karena konsumsi gula in vitro dari sampel darah yang

akan diperiksa, sehingga akan dijumpai hipoglikemia yang asimptomatik karena

hipoglikemia tersebut hanya terjadi in vitro tetapi tidak in vivo pada tubuh pasien.2

Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi

tergantung organ yang diinfiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan

menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan

tanpa rasa sakit,3 sedang infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak akan

menyebabkan nodul di bawah kulit . Infiltrasi sel-sel blast ke dalam gusi.

Meskipun jarang, pada LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah

meningen dan untuk penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan sitologi dari

cairan serebro spinal yang diambil melalui prosedur pungsi lumbal.4

2.5. DIAGNOSIS

LMA khas menunjukkan tanda dan gejala yang berkaitan dengan

kegagalan sumsum tulang. LMA harus dipertimbangkan dalam evaluasi setiap

penderita dengan pucat, demam, infeksi, atau perdarahan. Hepatosplenomegali

sering ditemukan6, limfadenopati mungkin ada. Hipertrofi gingiva atau

pembengkakan kelenjar parotis jarang tetapi merupakan temuan yang sugestif.

Massa lokal dari sel leukemia (kloroma), mungkin timbul di tempat manapun,

tetapi daerah retro orbital dan epidural paling sering. Kloroma dapat mendahului

infiltrasi sel leukemia sumsum tulang. Hitung darah biasanya abnormal. Anemia

dan trombositopenia sering mencolok. Hitung leukosit mungkin tinggi, rendah,

atau normal. Blas leukemia mungkin nyata pada preparat apus darah.

9
LMA mungkin timbul pada anak yang mula-mula hanya menunjukkan

anemia, leokopenia atau trombositopenia saja. Keadaan ini, yang lebih sering

terjadi pada dewasa, khas disebut sindrom mielodisplasia. Sindrom mielodisplasia

mempunyai beberapa kesamaan dengan LMA, tetapi sumsum tulang mengandung

persentase sel blas yang lebih rendah dan mempunyai gambaran displasia yang

khas, termasuk megaloblastosis. Penderita mungkin tidak tampak sakit pada

waktu diperiksa dan hanya anemia dan leukopenia yang mendorong mereka untuk

memeriksakan diri ke dokter. Gambaran khasnya meliputi kelainan morfologi sel

darah dan sumsum tulang8. Perjalanan alamiah sindrom mielodisplasia pada anak

tidak begitu jelas, tetapi dapat timbul pada anak yang mendapat terapi keganasan

sebelumnya.

Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik,

morfologi sel dan pewarnaan sitokimia. Sejak sekitar dua dekade tahun yang lalu

berkembang 2 teknik pemeriksaan terbaru3: immunoserotyping dan analisis

sitogenetik. Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia,

klasifikasi LMA terdiri dari 8 subtipe (M0 sampai M7).Klasifikasi ini dikenal

dengan nama klasifikasi FAB (French American British). Klasifikasi FAB saat ini

masih menjadi dasar LMA. Pengecatan sitokimia yang penting untuk pasien LMA

adalah Sudan Black B (SBB) dan mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan

sitokimia tersebut akan memberikan hasil positif pada pasien LMA tipe M1, M2,

M3, M4 dan M6.5

Klasifikasi menurut FAB

LMA-M0 : Leukemia mielositik akut : Diferensiasi minimal

10
LMA-M1 : leukemia mieloblasti akut : tanpa maturasi

LMA-M2 : Leukemia mieloblastik akut : dengan maturasi

LMA-M3 : leukemia promielositik akut

LMA-M4 : leukemia mielomonositik akut

LMA-M5 : leukemia monositik akut

LMA-M6 : Eritroleukemia

LMA-M7 : Leukemia megakariositik akut

Di antara anak, jumlah kasus dengan subtipe M0, M1, dan M2 kira-kira

sama dengan jumlah penderita dengan M4 dan M5, tipe FAB ini bertanggung

jawab atas 80% dari LMA masa kanak-kanak. Subtipe M3 dan M7 lebih jarang,

dan M6 langka. Sistem klasifikasi ini memudahkan penelitian mengenai

perjalanan klinis dan memungkinkan pembandingan berbagai terapi. Peristiwa

molekuler spesifik mendasar beberapa tipe FAB.7

Meskipun diatesis hemoragi (DIC pada waktu pertama diperiksa atau

kemudian) dapat terjadi pada semua kelompok FAB, penderita dengan leukemia

promielositik akut (M3) yang terutama beriksiko. Penemuan yang hampir selalu

tetap pada subtipe ini adalah translokasi materi genetik antara kromosom 15 dan

17, ini menghasilkan kelainan gen yang menjadi reseptor asam retinoat-α. Asam

retinoat dapat secara efektif menginduksi remisi pada penderita ini. Translokasi

antara kromosom 8 dan 21, khas terdapat pada M2, berkaitan erat dengan

11
kloroma. Inversi material genetik di kromosom 16 dapat dijumpai pada M4, di

mana eosinofilia merupakan gambaran yang menonjol.6

Perubahan kromosom, termasuk trisomi 8 dan delesi sempurna atau

sebagian dari kromosom 5 atau 7, mungkin ada, Delesi kromosom 5 atau 7

terutama sering pada sindrom mielodisplasia sekunder dan LMA sekunder.

Leukemia mielogenik kronis juvenil (juvenile chronic myelogenous

leukemia (JCML)) tidak seperti leukemia myeloid kronis (chronic myeloid

leukemia (CML)) tipe dewasa, tetapi mempunyai gambaran yang serupa dengan

gambaran LMA dan sindrom mielodsiplasia.7 Kromosom Philadelphia tidak ada

pada JCML. Gejala dan tanda nonspesifik meliputi demam, lesu, pembesaran hati

dan limpa, dan adenopati. Erupsi kulit makulopapular desquamatif kronis sering

mengaburkan diagnosis. Kenaikan Hb-F yang mencolok, yang dapat mencapai

50%, dan leukositosis (terutama monositosis darah dan sumsum tulang)

merupakan temuan yang mencolok. JCML jarang ditemukan pada umur lebih dari

5 tahun dan mungkin lebih sering pada anak dengan neurofibromatosis tipe 1,

kasus-kasus familier atau herediter pernah dilaporkan.

Klasifikasi WHO Untuk LMA

I. LMA dengan translokasi sitogenetik rekuren7

12
 LMA dengan t (8;21) (q22;q22),AML 1 (CBFα)/ETO APL dengan

t(15;17) (q22;q11-12) dan varian-variannya, PML/RARα

 LMA dengan eosinofil sumsum tulang abnormal dengan inv (16)

(p13q22) atau t (16;16) (p13;q11) CBFβ/MHY11

 LMA dengan abnormalitas 11q23 (MLL)

II. LMA dengan multilineage dysplasia dengan sindrom myelodisplasia tanpa

sindrom myelodisplasia

III. LMA dan sindrom myelodisplastik yang berkaitan dengan terapi akibat

obat alkilasi akibat epipodofilotoksin (beberapa merupakan kelainan

limpfoid) tipe lain.

IV. LMA yang tidak terspesifikasi

 LMA diferensiasi minimal

 LMA tanpa maturasi

 LMA dengan diferensiasi monositik

 Leukemia monositik akut

 Leukemia eritroid akut

 Leukemia megakariositik akut

 Leukemia basofilik akut Panmielosis akut dengan mielofibrosis

13
Gambar 2. Hapusan Darah Kronik Mieloid
Gambar 1. Hapusan Darah Tepi Akut
Leukemia
Leukemia Lymphoblastic

Gambar 3. Hapusan Darah Tepi Akut


Leukemia Mieloblastic

2.6. TERAPI

Terapi LMA direncanakan untuk tujuan kuratif. Penderita yang

mempunyai peluang besar untuk mencapai tujuan kuratif adalah mereka yang

berusia <60 tahun, tanpa komorbiditas yang berat serta mempunyai profil

sitogenik yang favorable.8 Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang maksimal,

sangat penting untuk melakukan skrining awal dengan teliti sebelum pengobatan

dimulai. Skrining awal ini, terutama ditujukan untuk mendeteksi kemungkinan

adanya infeksi, gangguan fungsi jantung (regimen terapi standar LMA

mengandungi preparat golongan antrasiklin yang bersifat kardiotoksik) dan

adanya koagulopati yang sering ditemukan padapenderita LMA7. Selain itu,

penderita yang mempunyai angka leukosit pra-terapi yang sangat tinggi (>100

ribu/mm3), mungkin memerlukan tindakan leukoparesis emergensi untuk

menghindari leukostaisi dan sindrom tumor lisis akibat terapi induksi, sangat

14
penting untuk mengingatkan agar terapi LMA sebaiknya dilakukan di rumah sakit

yang mempunyai tim leukemia yang bersifat multi-disiplin, sarana laboratorium

mikrobiologi yang memadai, akses untuk transfusi darah yang lengkap serta ruang

steril/semi-steril untuk pelaksanaan pengobatan. Tanpa prasarana tersebut angka

kematian saat pengobatan akan sangat tinggi.9

Untuk mencapai hasil pengobatan yang baik harus dilakukan eradikasi sel-

sel klonal leukemik dan memulihkan hematopoesis di dalam sumsum tulang.

Survival jangka panjang hanya didapatkan pada pasien yang mencapai remisi

komplit. Dosis kemoterapi tidak perlu diturunkan karena alasan adanya sitopenia,

karena dosis yang diturunkan ini tetap akan menimbulkan efek samping berat

berupa supresi sumsum tulang, tanpa punya efek yang cukup untuk mengeradikasi

sel-sel leukemik maupun untuk mengembalikan fungsi sumsum tulang.8

Eradikasi sel-sel leukemik yang maksimal, memerlukan strategi

pengobatan yang baik. Umumnya regimen kemoterapi untuk pasien LMA terdiri

dari dua fase9: fase induksi dan fase konsolidasi. Kemoterapi fase induksi adalah

regimen kemoterapi yang intensif bertujuan untuk mengeradikasikan sel-sel

leukemik secara maksimal sehingga tercapai remisi komplit. Istilah remisi komplit

digunakan bila jumlah sel-sel darah di peredaran darah tepi kembali normal serta

pulihnya populasi sel di sumsum tulang termasuk tercapainya jumlah sel-sel blast

<5%.10 Perlu ditekankan disini, meskipun terjadi remisi komplit tidak berarti sel-

sel klonal leukemik telah tereradikasi seluruhnya, karena sel-sel leukemik akan

terdeteksi secara klinik bila jumlahnya lebih dari 109 log sel. Jadi pada kasus

remisi komplit, masih tersisa sejumlah signifikan sel-sel leukemik di dalam tubuh

pasien tetapi tidak dapat dideteksi. Bila dibiarkan, sel-sel ini berpotensi

15
menyebabkan kekambuhan di masa-masa yang akan datang. Oleh karena itu,

meskipun pasien telah mencapai remisi komplit perlu ditindak lanjuti dengan

program pengobatan selanjutnya yaitu kemoterapi konsolidasi. Kemoterapi

konsolidasi biasanya terdiri dari beberapa siklus kemoterapi dan menggunakan

obat dengan jenis dan dosis yang sama atau lebih besar dari dosis yang digunakan

pada fase induksi. Pengobatan eradikasi sel-sel tumor ini sebenarnya dapat

menyebabkan eradikasi sisa-sisa sel hematopoiesis normal yang ada di dalam

sumsum tulang, sehingga pasien LMA akan mengalami periode apalsia pasca

terapi induksi. Pada saat tersebut pasien sangat rentan terhadap infeksi dan

perdarahan. Pada kasus yang berat kedua komplikasi ini dapat berakibat fatal.

Oleh karena itu terapi suportif berupa penggunaan antibiotika dan transfusi

komponen darah (khususnya sel darah merah dan trombosit) sangat penting untuk

menunjang keberhasilan terapi LMA. Terapi LMA dibedakan menjadi 2 yaitu

terapi untuk LMA pada umumnya dan terapi khusus untuk leukemia promielositik

akut (LPA)

2.6.1. Terapi LMA pada Umumnya

Terapi standar 7+3 adalah kemoterapi induksi dengan regimen sitarabin

dan daunorubisin dengan protokol sitarabin 100mg/m2 diberikan secara infus

kontinyu selama 7 hari dan daunorubisin 45-60 mg/m2/hari iv selama 3 hari.10

Sekitar 30-40% pasien mengalami remisi komplit dengan terapi sitarabin dan

daunorubisin yang diberikan sebagai obat tunggal, sedangkan bila diberikan

sebagai kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60% pasien. Bila

16
terdapat residual disease pada hari ke-28 perlu dipertimbangkan adanya gagal

terapi primer dan perlu dimulai terapi alternatif dengan regimen lain.9

Pada pasien dengan gangguan fungsi jantung pemakaian antrasiklin

merupakan kontra indikasi terutama bila terdapat riwayat miokard infark dan

fraksi ejeksi kurang dari 50%. Pilihan terapi pada kondisi ini adalah high dose

cytarabine (ara-C)/HDAC. Regimen terapi yang dipakai pada HDAC adalah

sitarabin 2-3 g/m2 infus iv selama 1-2 jam tiap 12 jam selama 12 dosis atau

sitarabin 2-3 g/m2 selama 2 jam setiap 12 jam pada hari 1,3 dan 5.8

Pilihan untuk terapi post remisi dapat berupa kemoterapi konsolidasi,

transplantasi sel stem hematopoetik (hematopoetic stem cell transplantion/HSCT)

otolog, atau HSCT alogenik. Jenis terapi pada pasca remisi ditentukan

berdasarkan usia dan faktor prognostik, terutama profilsitogenetik. Sebagian besar

pasien usia muda memberikan respons yang lebih baik dibanding pasien usia tua.10

Bila terjadi relaps dapat diberikan lagi kemoterapi intensif dan/atau HSCT

untuk mencapairemisi komplit kedua atau hanya diberikan perawatan suportif.

Pencapaian remisi komplit kedua tidak begitu dipengaruhi karakter sitegenetik,

namun lebih dipengaruhi oleh durasi remisi komplit pertama, usia, dan ada

tidaknya komorbiditas aktif. Durasi median remisi komplit kedua umumnya

kurang dari 6 bulan bila tanpa HSCT dengan disease-free survival kurang dari 10

bulan. Survival meningkat bila sebelumnya pasien telah menjalani HSCT

alogenik, namun donor untuk prosedur tersebut umumnya terbatas.10

2.7. PROGNOSIS

17
Dengan terapi agresif, 40-50% penderita yang mencapai remisi akan hidup

lebih lama (30-40% angka kesembuhan keseluruhan). Penderita yang mengalami

relaps setelah mendapat kemoterapi atau transplantasi autolog dapat diterapi

dengan transplantasi dengan CST allogenik sebagai terapi penyelamatan.

Beberapa subtipe morfologi atau genetik LMA mempunyai prognosis yang

semakin baik. 8,9

18
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : GWM
Tanggal Lahir : 17 April 2015
Umur : 2 tahun 11 bulan 7 hari
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Desa Mangening Kubu Tambahan Buleleng
Agama : Hindu
Pendidikan :-
No. RM : 17041331
Tanggal Pemeriksaan : 21 Maret 2018 Pukul 09.30 WITA

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Gusi Berdarah

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien laki-laki 2 tahun datang ke triage anak Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah Denpasar diantar oleh kedua orang tuanya pada tanggal 19 Maret 2018
pukul 00:54 WITA. Keluhan gusi berdarah dikatakan muncul sejak pagi (18
Marert 2018). Darah dikatakan keluar terus menerus dengan jumlah yang cukup
banyak hingga dikatakan merembes. Gusi berdarah dikatakan muncul tanpa
disertai dengan provokasi seperti sikat gigi ataupun benturan. Tidak ada hal yang
memperingan maupun memperberat keluhan pasien.
Pasien juga mengeluhkan demam, yang dirasakan sejak tiga hari sebelum
masuk rumah sakit (15 Maret 2017). Demam dikatakan naik turun dengan suhu
tertinggi 39oC, kemudian dikatakan turun dengan pemberian Paracetamol dan
Antibiotik yang didapat saat pasien pulang dari rawat inap. Namun pasien
dikatakan tidak benar-benar membaik. Pasien awalnya dirawat inap pada tanggal

19
28 Maret 2018 untuk menjalani kemoterapi. Setelah kemoterapi pasien
mengalami demam dan edema pada keempat ekstremitas. Pasien kemudian
dipulangkan pada tanggal 15 Maret 2018 setelah bebas demam selama tiga hari,
namun demam kembali dirasakan pada malam hari. Tidak ada hal spesifik yang
memperberat keluhan pasien. Keluhan lain seperti sesak, batuk, pilek dan diare
disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien sejak kecil dikatakan sudah sering sakit seperti demam batuk pilek
dan diare. Pasien dikatakan selalu sakit setiap bulannya. Saat pasien berusia 2
tahun, pasien dikatakan mulai mengalami keluhan gusi berdarah. Pasien juga
mengalami BAB berdarah dan mimisan, namun tidak sesering keluhan gusi
berdarah.
Pasien dirawat pertama kali karena keluhan gusi berdarah pada September
2017, saat itu pasien didiagnosis dengan suspek Leukemia dan pasien
mendapatkan transfusi darah. Pasien sempat dirawat beberapa kali dan pada
tanggal 28 Desember 2017 pasien didiagnosis dengan AML. Pada tanggal 29
Desember 2017 pasien mendapat kemoterapi yang pertama.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Pada keluarga dikatakan tidak ada keluhan yang sama dengan pasien.
Penyakit sistemik seperti hipertensi, diabetes mellitus, keganasan dalam keluarga
disangkal.

Riwayat Pribadi/Sosial/Lingkungan
Pasien merupakan anak kelima dari lima bersaudara. Pasien tinggal
dirumah bersama ayah, ibu, kakak serta kakek dan nenek pasien. Keempat saudara
pasien dikatakan normal. Pasien sehari-hari dikatakan dirawat oleh kedua orang
tuanya dan menghabiskan waktu bersama mereka dirumah. Pasien dikatakan
sukar untuk berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya.

20
Riwayat Pengobatan
Pasien menjalani chemotherapy berupa vincristin , cyclophospamide ,
MTX IT , adriamycin , didapatkan selama pasien dirawat pada tanggal 16
Februari 2018 sampai dengan 15 Maret 2018.

Riwayat Persalinan
Selama kehamilan dikatakan ibu pasien tidak pernah menderita penyakit
maupun menggunakan obat-obatan. Pasien lahir secara normal, ditolong oleh
bidan, dikatakan ketika lahir segera menangis, dengan berat badan lahir 2800
gram, panjang badan lahir 40 cm dan lingkar kepala dikatakan 45 cm.

Riwayat Imunisasi
Orang tua pasien mengaku sudah dilakukan pemberian imunisasi lengkap
sesuai usia pasien di puskesmas pada pasien, yaitu imunisasi :
BCG : 1 kali
Polio : 3 kali
Hepatitis B : 3 kali
DPT : 3 kali
Campak : 1 kali
Kesan imunisasi pada pasien belum lengkap.

Riwayat Nutrisi
- ASI : pada pasien sudah diberikan ASI eksklusif sejak
lahir hingga usia 2 tahun dengan frekuensi on
demand
- Susu formula : sejak usia 7 bulan 2-3 kali sehari
- Bubur susu : sejak usia 6 bulan 2-3 kali sehari
- Nasi tim : sejak usia 8 bulan 2-3 kali sehari

Riwayat Tumbuh Kembang


Menegakkan kepala : 5 bulan

21
Membalik badan : 4 bulan
Duduk : 10 bulan
Merangkak : 12 bulan
Berdiri : 15 bulan
Berjalan : 18 bulan
Bicara : 18 bulan
Kesan : delay membaik

Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki alergi terhadap obat maupun makanan.

3.3 Pemeriksaan Fisis (21/3/2018 pukul 09.30 WITA)


Status Present:
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis E4V4M5
Tekanan darah : 100/70mmHg
Persentil 50th 86-87/44 mmHg
Persentil 90th 100-101/59 mmHg
Persentil 95th 104-105/63 mmHg
Persentil 99th 111-112/71 mmHg
Laju nadi : 100 kali/menit, reguler, isi cukup
Laju napas : 24 kali/menit
Suhu aksila : 36,7 C

Status generalis:
Kepala : Normosefali, ubun-ubun besar tertutup, tidak
terdapat tanda – tanda perdarahan (hematom)
Rambut : Hitam, tipis dan jarang
Wajah : mongoloid face (+), Nampak old man face
Mata : Konjungtiva pucat (+/+), ikterus (-/-), pupil
bulat 2 mm/ 2mm, refleks pupil (+/+) isokor,
tidak cowong, edema (-)

22
THT
Telinga : Bentuk normal, sekret (-)
Hidung : Napas cuping hidung (-), deviasi septum (-),
sekret (-) sianosis (-), mukosa hiperemi (-),
epistaksis (-)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-), Tonsil tidak membesar dan
hiperemis (-)
Mulut : Sianosis (-), mukosa mulut dan lidah normal, gusi
berdarah (+), petechie palatum (+), celah palatum
(-), petechiae pada palatum durum dan mukosa
mulut (-), atrofi papil lidah (-), stomatitis
angularis (-), glositis (-)
Leher
Inspeksi : Benjolan (-), bendungan vena jugularis tidak ada
Palpasi : Pembesaran kelenjar getah bening (-) konsistensi
kenyal, permukaan rata, mobile, tidak teraba
hangat, nyeri tekan (-)
Thorak
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tampak, precordial bulging (-)
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS IV midklavikula line
sinistra, LV lift (-), thrill (-)
Auskultasi : S1 S2 regular normal, murmur (-),
Paru
Inspeksi : Bentuk dada simetris saat diam dan bergerak,
retraksi (-)
Palpasi : Gerakan dada teraba simetris
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rales (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Distensi (+), tampak pelebaran pembuluh darah
vena
Auskultasi : Bising usus (+) normal

23
Palpasi : Hepar teraba 3 cm dibawah arcus costae, 3 cm di
bawah procesus xyphoideus, tepi tajam,
konsistensi kenyal, permukaan rata, nyeri tekan
(-), lien teraba schuffer I
Perkusi : Timpani, tidak terdapat tanda pekak beralih,
asites (-)
Ekstremitas : Akral hangat (+), edema -|- , CRT 1 detik, tidak
didapatkan kuku sendok, single palmar crease (+)
Kulit : Teraba hangat, pucat (-), tidak tampak icterus,
tidak ada petekie, tidak terdapat hematoma
Genitalia : Laki-Laki , (+) normal

Status Antropometri dan Gizi:


 BB Ideal (BBI) : 9,5kg
 Berat Badan (BB), BB/U : 8,5 kg, -3 s/d -2 SD
 Tinggi Badan (TB),TB/U : 76cm, Z score< -3SD
 BB/PB : Z score -1 SD
 LILA : 13 cm
 TB Ayah : 160 cm
 TB Ibu : 157 cm
 Potensi Tinggi Genetik : 143-160 cm
 Berat Badan Lahir : 2800 gram
 Waterlow : 89%

3.4 Diagnosis Kerja Sementara


 Gum bleeding ec Trombositopenia + anemia ringan normokromik
normositer
 AML minggu ke 6 Fase Induksi pro kemoterapi dan BMA
 Down Syndrome
 Gizi Kurang

3.5 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap (19/3/2018)

24
WBC : 28,58 103/µL (6,0 – 14,0) Tinggi
NE : 10,08 % (18,30 - 47,10) Rendah
MO : 65,82% (0,0 – 7,10) Tinggi
LY : 22,01% (30,0 – 64,30) Rendah
EO : 0,04 % (0,0 – 5,0)
BA : 2,05 % (0,0 – 0,70) Tinggi
PLT : 12,26 103/µL (140 - 440) Rendah
HGB : 9,47 g/dL (12,0 – 16,0) Rendah
HCT : 28,56 % (36,0 – 49,0) Rendah
MCV : 85,56 fL (78,0 – 102,0)
MCHC : 33,15 g/dL (31 – 36)
MCH : 28,36 pg (25,0 – 35,0)
RBC : 3,34 106/µL (4,10 – 5,3) Rendah
MPV : 10,38 fL (6,80 – 10,0) Tinggi

3.6 Diangnosis Kerja


4. Gum bleeding ec Trombositopenia + anemia ringan normokromik
normositer
5. AML minggu ke 6 Fase Induksi pro kemoterapi dan BMA
6. Down Syndrome
7. Gizi Kurang

3.6 Penatalaksanaan Penatalaksanaan


Plan of care
Daftar Masalah Rencana Intervensi Target (kondisi yang
diharapkan)
 Gum bleeding ec  Transfusi TC  Pendarahan berhenti
Trombositopenia

 AML minggu ke 6  Kemoterapi MTX-IT  Syarat kemoterapi


dan BMA terpenuhi
Fase Induksi

 Down Syndrome  Rehabilitasi medik  Kemampuan


bersosialisasi membaik

25
 Gizi Kurang  Kebutuhan cairan 
900ml/hari

Monitor
Observasi tanda – tanda vital, reaksi transfusi

3.7 Laporan Perkembangan Pasien

Subyektif, Obyektif,
Tanggal Terapi dan Planning Diagnosis
Assesment
22/3/2018 S: Gusi berdarah (+) mulai Terapi:
06.00 berkurang setelah di tampon  Kebutuhan Cairan 900 ml/hari,
Hemato- dengan adrenalin tapi masih mampu minum ± 400 ml/ hari
onkologi merembes sedikit-sedikit,
demam (-) bebas demam 2  Hidrasi dengan D5 NS 9
hari, mual dan muntah (-) tetes makro per menit 500 ml/
hari
O: Status Present
 Transfusi TC 3 kantong dengan
Keadaan umum : sakit sedang
pre medikasi dipenhidramin 10
Kesadaran : Compos Mentis
mg IV, dexamethasone 5 mg IV
(E4M4V5)
Nadi : 100x/menit, reguler, isi
cukup
Laju napas : 24 x/menit dengan
udara ruangan
Suhu aksila : 37,1 C

Status Generalis
Mata : konjungtiva pucat (-/-),
ikterus (-/-), refleks pupil
(+/+) isokor, cowong (-)
Mulut : gusi berdarah (+)
Leher : pembesaran kelenjar
getah bening (-)
THT : kesan tenang
Thorak: simetris, retraksi
subcostae (+)
Jantung: S1S2 normal
reguler, murmur
(-)
Paru: vesikuler (+/+), rales
(-/-), wheezing (-/-)
Abdomen: distensi (-), soufle,
bising usus (+)
Hepar: teraba 3 cm bawah
arcus costa dan 3 cm

26
bawah procesus
xypoideus, kenyal,
permukaan rata, tepi
tajam, batas tegas, tidak
nyeri
Lien: Schuffner I
Massa: tidak teraba
Ekstremitas: akral hangat (+),
edema (+/+)
pretibial dorso
pedis, CRT < 2
detik
A:
 Gum bleeding ec
Trombositopenia
 AML minggu ke 6 Fase
Induksi
 Down Syndrome
 Gizi Kurang

P: Diagnostik
 Cek DL Post Transfusi

Terapi
 Transfusi
 Tatalaksana gizi kurang

Monitor
 Tanda vital, perdarahan,
reaksi transfusi
23/3/2018 S: Gusi berdarah (+) mulai Terapi:
06.00 berkurang setelah di tampon  Kebutuhan
Hemato- dengan adrenalin tapi masih Cairan 900 ml/hari, mampu
onkologi merembes sedikit-sedikit, minum ± 400 ml/ hari
demam (-) bebas demam 3  Hidrasi dengan
hari, mual dan muntah (-),
BAB dan BAK dikatakan D5 NS 9 tetes makro per
normal.
menit 500 ml/ hari
O: Status Present
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
(E4M4V5)

27
Nadi : 100x/menit, reguler, isi
cukup
Laju napas : 24 x/menit dengan
udara ruangan
Suhu aksila : 36,8 C

Status Generalis
Mata : konjungtiva pucat (-/-),
ikterus (-/-), refleks pupil
(+/+) isokor, cowong (-)
Mulut : gusi berdarah (+)
Leher : pembesaran kelenjar
getah bening (-)
THT : kesan tenang
Thorak: simetris, retraksi
subcostae (+)
Jantung: S1S2normal reguler,
murmur (-)
Paru: vesikuler (+/+), rales
(-/-), wheezing (-/-)
Abdomen: distensi (-), soufle,
bising usus (+)
Hepar: teraba 3 cm bawah
arcus costa dan 3 cm
bawah procesus
xypoideus, kenyal,
permukaan rata, tepi
tajam, batas tegas, tidak
nyeri
Lien: Schuffner I
Massa: tidak teraba
Ekstremitas: akral hangat (+),
edema (+/+)
pretibial dorso
pedis, CRT < 2
detik
A:
 Gum bleeding ec
Trombositopenia
 AML minggu ke 6 Fase
Induksi
 Down Syndrome
 Gizi Kurang

P: Diagnostik

28
 Cek DL Post Transfusi

Terapi
 Rencana BMA, MIT IT
bila syarat memenuhi
 Hidrasi
 Transfusi
 Tatalaksana gizi kurang

Monitor
 Tanda vital, perdarahan ,
efek samping transfusi
24/3/2018 S: Gusi berdarah (+) mulai Terapi:
06.00 berkurang setelah di tampon  Kebutuhan Cairan 900 ml/hari,
Hemato- dengan adrenalin tapi masih mampu minum ± 400 ml/ hari
onkologi merembes sedikit-sedikit,
demam (-) bebas demam 4  Hidrasi dengan D5 NS 9
hari, mual dan muntah (-), tetes makro per menit 500 ml/
BAB dan BAK dikatakan hari
normal.
 Transfusi TC 3 kantong +
premedikasi diphenhidramin
O: Status Present
9mg dan dexamethasone 9mg
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
(E4M4V5)
Nadi : 100x/menit, reguler, isi
cukup
Laju napas : 24 x/menit dengan
udara ruangan
Suhu aksila : 36,8 C

Status Generalis
Mata : konjungtiva pucat (-/-),
ikterus (-/-), refleks pupil
(+/+) isokor, cowong (-)
Mulut : gusi berdarah (+)
Leher : pembesaran kelenjar
getah bening (-)
THT : kesan tenang
Thorak: simetris, retraksi
subcostae (+)
Jantung: S1S2 normal
reguler, murmur
(-)
Paru: vesikuler (+/+), rales
(-/-), wheezing (-/-)

29
Abdomen: distensi (-), soufle,
bising usus (+)
Hepar: teraba 3 cm bawah
arcus costa dan 3 cm
bawah procesus
xypoideus, kenyal,
permukaan rata, tepi
tajam, batas tegas, tidak
nyeri
Lien: Schuffner I
Massa: tidak teraba
Ekstremitas: akral hangat (+),
edema (+/+)
pretibial dorso
pedis, CRT < 2
detik
A:
 Gum bleeding ec
Trombositopenia
 AML minggu ke 6 Fase
Induksi
 Down Syndrome
 Gizi Kurang

P: Diagnostik
 Cek DL Post Transfusi

Terapi
 Rencana BMA, MIT IT
bila syarat memenuhi
 Hidrasi
 Transfusi
 Tatalaksana gizi kurang

Monitor
 Tanda vital, perdarahan ,
efek samping transfusi
25/3/2018 S: demam 1 kali pada pukul Terapi:
Hemato- 00.00 semalam suhu terukur  Kebutuhan Cairan 900 ml/hari,
Onkologi 38,3oC, muak muntah tidak mampu minum ± 400 ml/ hari
ada, makan minum baik,
gusi berdarah sedikit,  Hidrasi dengan D5 NS 9
sekarang sudah berhenti.

30
O: Status Present tetes makro per menit 500 ml/
Keadaan umum : sakit sedang hari
Kesadaran : Compos Mentis  Transfusi TC 3 kantong
(E4M4V5)  Rencana BMA 26/3/2018,
Nadi : 100x/menit, reguler, isi konsul TS Anestesi dan PK
cukup
Laju napas : 24 x/menit dengan
udara ruangan
Suhu aksila : 36,8 C

Status Generalis
Mata : konjungtiva pucat (-/-),
ikterus (-/-), refleks pupil
(+/+) isokor, cowong (-)
Mulut : gusi berdarah (+)
Leher : pembesaran kelenjar
getah bening (-)
THT : kesan tenang
Thorak: simetris, retraksi
subcostae (+)
Jantung: S1S2 normal
reguler, murmur
(-)
Paru: vesikuler (+/+), rales
(-/-), wheezing (-/-)
Abdomen: distensi (-), soufle,
bising usus (+)
Hepar: teraba 3 cm bawah
arcus costa dan 3 cm
bawah procesus
xypoideus, kenyal,
permukaan rata, tepi
tajam, batas tegas, tidak
nyeri
Lien: Schuffner I
Massa: tidak teraba
Ekstremitas: akral hangat (+),
edema (+/+)
pretibial dorso
pedis, CRT < 2
detik

A:
 Gum bleeding ec
Trombositopenia

31
 AML minggu ke 6 Fase
Induksi
 Down Syndrome
 Gizi Kurang
P: Diagnostik
8. Cek DL post transfusi
Terapi
9. Rencana BMA 26/3/18
10. Transfusi TC
Monitoring
 Tanda vital
 Keluhan
 Reaksi transfusi

26/3/2018 S: Gusi berdarah (-), demam Terapi:


06.00 (-), mual dan muntah (-),  Kebutuhan Cairan 900 ml/hari,
Hemato- BAB dan BAK dikatakan mampu minum ± 400 ml/ hari
onkologi normal.
 Hidrasi dengan D5 NS 9
O: Status Present tetes makro per menit 500 ml/
Keadaan umum : sakit sedang hari
Kesadaran : Compos Mentis
 BMA hari ini
(E4M4V5)
 Transfusi PRC target Hb 8-10,
Nadi : 100x/menit, reguler, isi
1x100ml
cukup
Laju napas : 24 x/menit dengan
udara ruangan
Suhu aksila : 36,8 C

Status Generalis
Mata : konjungtiva pucat (-/-),
ikterus (-/-), refleks pupil
(+/+) isokor, cowong (-)
Mulut : gusi berdarah (+)
Leher : pembesaran kelenjar
getah bening (-)
THT : kesan tenang
Thorak: simetris, retraksi
subcostae (+)
Jantung: S1S2 normal
reguler, murmur

32
(-)
Paru: vesikuler (+/+), rales
(-/-), wheezing (-/-)
Abdomen: distensi (-), soufle,
bising usus (+)
Hepar: teraba 3 cm bawah
arcus costa dan 3 cm
bawah procesus
xypoideus, kenyal,
permukaan rata, tepi
tajam, batas tegas, tidak
nyeri
Lien: Schuffner I
Massa: tidak teraba
Ekstremitas: akral hangat (+),
edema (+/+)
pretibial dorso
pedis, CRT < 2
detik
A:
 Anemia sedang
normokromik normositer
 Gum bleeding ec
Trombositopenia
(membaik)
 AML minggu ke 6 Fase
Induksi
 Down Syndrome
 Gizi Kurang

P: Diagnostik
 Cek DL Post Transfusi

Terapi
 Transfusi
 Tatalaksana gizi kurang

Monitor
 Tanda vital, perdarahan ,
efek samping transfusi

33
BAB IV

PEMBAHASAN

34
1.1. Penegakkan Diagnosis
1.1.1. Leukemia Mieloid Akut
Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai
dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor
dari sel myeloid. Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas
yang menyebabkan proses diferensiasisel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel
muda (blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast disumsum tulang.
Akumulasi blast di dalam sumsum tulang akan menyebabkan gangguan
hematopoesis normal dan pada gilirannya akan mengakibatkan sindrom
kegagalan sumsum tulang (bone marrow failure syndrome) yang ditandai
dengan adanya sitopenia (anemia, leukopenia dan trombositopenia). Adanya
anemia akan menyebabkan pasien mudah lelah dan pada kasus yang lebih berat
sesak nafas, hepatosplenomegali cukup sering ditemukan, limfadenopati
mungkin ada. Hipertrofi gingiva atau pembengkakan kelenjar parotis jarang
tetapi merupakan temuan yang sugestif. Adanya trombositopenia akan
menyebabkan tanda-tanda perdarahan, sedang adanya leukopenia akan
menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi, termasuk infeksi oportunistis dari
flora bakteri normal yang ada di dalam tubuh manusia.
Di Negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32% dari
seluruh kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa
(85%) dari pada anak (15%). Gejala klinis yang sering muncul pada leukemia
diantaranya rasa lelah, perdarahan dan infeksi yang disebabkan oleh sindrom
kegagalan sumsum tulang sebagaimana disebutkan di atas. Perdarahan
biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di
ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina. Selain
dengan gejala klinis, untuk penegakan diagnosis dari LMA juga dilakukan
pemeriksaan hapusan darah tepi dan pemeriksaan sumsum tulang.
Pada kasus, anak laki-laki usia 2 tahun 11 bulan, pada riwayat penyakit
dahulu pasien dikatakan sering demam dan sering merasa lelah, pasien juga
dikatakan mudah sakit sejak usia 6 bulan . pasien juga dikatakan sering mual
dan susah untuk makan. Pada pemeriksaaan fisik ditemukan adanya gusi
berdarah, hepatomegali, dan splenomegali. Jika dilihat dari gejala klinis, pasien
mengarah pada diagnosis LMA sesuai dengan teori yang disebutkan diatas.
Pasien saat ini datang dengan keluhan gusi berdarah dari pemeriksaan

35
penunjang didapatkan trombosit yang rendah , pasien mengarah pada diagnosis
Gum Bleeding et cause trombositopenia. Dari pemeriksaan Bone Marrow
Aspiration (BMA) ditemukan gambaran anemia, leukopenia, dan
trombositopenia yang merupakan tanda kegagalan sumsum tulang.
Pemeriksaan darah lengkap juga menunjukkan hasil leukositosis, anemia,
trombositopenia, dan eritrositopenia yang dapat terjadi pada kasus LMA. Dari
status antopometri didapatkan hasil perhitungan waterlow 89% atau gizi
kurang. Pada pasien memiliki wajah mongoloid dan single palmar crease
disertai adanya penurunan kemampuan dalam bersosialisasi sehingga
mengarah pada diagnosis sindroma down. Berdasarkan teori di atas, angka
kejadian LMA meningkat pada penderita sindroma down.

1.2. Penatalaksanaan
Pemberian terapi pada pasien ini berupa:
 Kebutuhan Cairan 900 ml/hari, mampu minum ± 400 ml/ hari
 Hidrasi dengan D5 NS 9 tetes makro per menit 500 ml/ hari
 BMA
 Transfusi PRC target Hb 8-10, 1x100ml
 Transfusi TC 3 kantong dengan pre medikasi dipenhidramin 10 mg IV,
dexamethasone 5 mg IV

Terapi standar 7+3 adalah kemoterapi induksi dengan regimen sitarabin

dan daunorubisin dengan protokol sitarabin 100mg/m2 diberikan secara infus

kontinyu selama 7 hari dan daunorubisin 45-60 mg/m2/hari iv selama 3 hari.

Sekitar 30-40% pasien mengalami remisi komplit dengan terapi sitarabin dan

daunorubisin yang diberikan sebagai obat tunggal, sedang bila diberikan

sebagai kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60% pasien. Bila

terdapat residual disease pada hari ke-28 perlu dipertimbangkan adanya gagal

terapi primer dan perlu dimulai terapi alternatif dengan regimen lain.

36
BAB V
KESIMPULAN

Leukemia adalah kanker anak yang paling sering, mencapai lebih kurang 33%

dari kegasanasan pediatrik. Leukemia limfoblastik akut (LLA) berjumlah kira-kira

75% dari semua kasus, dengan insidensi tertinggi pada umur 4 (empat) tahun.

Leukemia mieloblastik d akut (LMA) berjumlah kira-kira 20% dari leukemia,

37
dengan insidensi yang tetap dari lahir sampai usia 10 tahun, meningkat sedikit

pada masa remaja.

Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan

transformasineoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari sel

myeloid. Bila tidak diobati,penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara

cepat dalam waktu beberapa minggu sampai bulan sesudah diagnosis. Tidak selalu

dijumpai leukositosis. Leukositosis terjadi pada sekitar 50% kasus LMA,

sedang15% pasien mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35%

pasien mengalaminetropenia. Meskipun demikian, sel-selblas t dalam jumlah

yang signifikan di darah tepi akanditemukan pada 85% kasus LMA. Oleh karena

itu sangat penting untuk memeriksa rincian jenissel-sel leukosit di darah tepi

sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari kesalahan diagnosis pada orang

yang diduga menderita LMA.

Dengan terapi agresif, 40-50% penderita yang mencapai remisi akan hidup lama

(30-40% angka kesembuhan keseluruhan). Penderita yang mengalami relaps

setelah mendapat kemoterapi atau transplantasi autolog dapat diterapi dengan

transplantasi dengan CST allogenik sebagai terapi penyelamatan. Beberapa

subtipe morfologi atau genetik LMA mempunyai prognosis yang semakin baik

LLA merupakan leukemia yang paling sering terjadi pada anak-anak. Leukemia

jenis ini merupakan 25% dari semua jenis kanker yang mengenai anak-anak di

bawah umur 15 tahun. Paling sering terjadi pada anak usia antara 3-5 tahun, ada

juga yang mengatakan sekitar 4 tahun, tetapi kadang terjadi pada usia remaja dan

dewasa. Tujuan pengobatan adalah mencapai kesembuhan total dengan

menghancurkan sel-sel leukemik sehingga sel normal bisa tumbuh kembali di

38
dalam sumsum tulang.Penderita yang menjalani kemoterapi perlu dirawat di

rumah sakit selama beberapa hari atau beberapa minggu, tergantung kepada

respon yang ditunjukkan oleh sumsum tulang. Sebelum adanya pengobatan untuk

leukemia, penderita akan meninggal dalam waktu 4 bulan setelah penyakitnya

terdiagnosis. Lebih dari 90% penderita penyakitnya bisa dikendalikan setelah

menjalani kemoterapi awal

DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman R. Kliegman R. Jenson H. Nelson Textbook of Pediatrics. 2000;

16th edition : (501) 1537 – 1540

2. Voute P. Kalifa C. Barrett A. Cancer in Children Clinical Management.

1998; 4th edition : (4) 44 – 57

3. Haskell C. Cancer Treatment. 1985; 2nd edition : (5) 43 – 9

39
4. Bagemann, Rastetter J. Atlas of Acute Leukemia. In Clinical

Hematology rded. Thieme, Stuttgart. 1986 pp 243-48.

5. Berg SL, Steuber CP, Poplack DG. Clinical Manifestation of Acute

Lymphoblastic Leukemia. In Hoffman ed : Hematology : Basic Principles

and Practice 3rd ed. Churchill Livingstone Inc. 2000, pp 1070-76

6. Miller DR. Baehner RL, Mc Millan CW, Miller LP. Blood Disease of

Infancy and Childhood. 5th ed. St. Louis : Mosby Co., 1997 : 619.

7. Nathan DB, Oski FA. Hematology of Infancy and Childhood 2nd ed.

Philadelphia : WB Saunders, 2000 : 979.

8. Pui Ching H. Childhood Leukemia. N Eng J Med 1995 : 332 : 1618-27.

9. Sandlund J, Harrison PL, Rivers G, Behm FG, FG, Head D, Boyett J

rubritz JE, et all. Persistence of Lymphoblasts in Bone Marrow on Day 15

and Days 22 to 25 of Remiss

10. Ganiswarna S. Setiabudy R. Suyatna F. Purwatyastuti. Nafrialdi.

Farmakologi dan Terapi. 1995; edisi ke-4 : (13) 702 – 713

40
41

Вам также может понравиться