Вы находитесь на странице: 1из 26

MAKALAH

MUNAKAHAD (LARANGAN DALAM NIKAH)


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama Islam
Dosen Pengampu :
Dr. Drs. H. Musrifu, M, M,Hi

Disusun oleh :
Chandra Halim Amir : 16022014001
Ummu Aisyah Istiqamah Tamara Putri : 16022014086

JURUSAN TEKNIK MESIN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR
2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang energy terbarukan.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan
manfaatnya untuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.

Makassar, April 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………. i


DAFTAR ISI …………………………………………………………. ii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………. 1
A. Latar Belakang …………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………………………. 2
C. Tujuan …………………………………………………………. 2
D. Manfaat …………………………………………………………. 2
BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………….... 3
A. Nikah Mut’ah …………………………………………………………. 3
B. Nikah Tahlil …………………………………………………………. 10
C. Nikah Syighar …………………………………………………………. 13
D. Pernikahan di Masa Jahiliyah ..………………………………………………. 14
E. Nikah Beda Agama (Wanita Muslim dengan Pria Non Muslim) ..……………. 15
F. Nikah Beda Agama (Pria Muslim dengan Wanita Ahli Kitab) ..……………. 18
BAB III PENUTUP …………………………………………………………. 21
A. Kesimpulan …………………………………………………………. 21
B. Saran …………………………………………………………. 22
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. 23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan itu merupakan suatu akad untuk menghalalkan hubungan antara
laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup
berkeluarga yang diridloi oleh Allah SWT. Dari pengertian itu dapat kta ketahui
bawasanya untuk menciptakan kehidupan keluarga yang yang bahagia , kemudian
menghalalkan hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan, membangun
rumah tangga yang tentram atas dasar cinta dan kasih saying, sebagaimana yang
dianjurkan Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat 21
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir.
Di dalam agama islam itu sudah jelas, mana saja pernikahan yang dilarang
islam dan mana saja yang diperbolehkan. Adapun yang dimaksud dari pernikahan
yang dilarang yakni bentuk-bentuk perkawinan yang tidak boleh dilakukan seperti
kawin mut'ah kawin hanya untuk bersenang-senang, kawin syhighor, kawin
muhallil dan lain-lain, bentuk perkawinan tersebut merupakan bawaan yang
berasal dari zaman jahiliyyah yang mana pada zaman itu orang-orang bagaikan
binatang yang memiliki prinsip bahwa siapa kuat dialah yang berkuasa. Adapun
pernikahan yang diperbolehkan atau dihalalkan yaitu pernikahan yang sesuai
dengan ketentuan syariat seperti ada kedua mempelai, saksi dan wali serta mahar
dan apabila salah satu diantara syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka
pernikahannya tidaklah syah dan batal.

1
B. Rumusan Masalah
Adapun beberapa permasalahan yang dirumuskan dan akan dibahas oleh
penyusun, yaitu :
1. Apakah yang dimaksud nikah mut’ah?
2. Apakah yang dimaksud nikah tahlil?
3. Apakah yang dimaksud nikah syighar?
4. Bagaimanakah pernikahan di masa jahiliyah?
5. Bagaimanakah hukum nikah beda agama?
6. Bagaimanakah hukum pernikahan pria muslim dan wanita non-muslim?

C. Tujuan
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka tujuan penyusunan
makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud nikah mut’ah
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud nikah tahlil
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud nikah syighar
4. Untuk mengetahui pernikahan di masa jahiliyah?
5. Untuk mengetahui hukum nikah beda agama?
6. Untuk mengetahui hukum pernikahan pria muslim dan wanita non-
muslim?

D. Manfaat
Manfaat dari penyusunan makalah ini adalah mahasiswa atau pembaca
dapat mengetahui dan memahami jenis-jenis pernikahan yang diharamkan dalam
Islam. Sehingga mahasiswa dapat membagi pemahamannya tersebut kepada
masyarakat dan sebagai dasar pengetahuan sebelum memasuki jenjang
pernikahan.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Nikah Mut’ah
Yang dimaksud nikah mut’ah adalah, seseorang menikah dengan seorang
wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya, berupa
harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka
dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalak dan tanpa warisan.
Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa harus
ada wali atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar (upah) dan
batas waktu tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih, atau kurang. Biasanya tidak
lebih dari empat puluh lima hari; dengan ketentuan tidak ada mahar kecuali yang
telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling mewariskan dan tidak ada iddah
kecuali istibra` (yaitu satu kali haidh bagi wanita monopouse, dua kali haidh bagi
wanita biasa, dan empat bulan sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal), dan
tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan.
Jadi, rukun nikah mut’ah -menurut Syiah Imamiah- ada tiga :
1. Shighat, seperti ucapan : “aku nikahi engkau”, atau “aku mut’ahkan
engkau”.
2. Calon istri, dan diutamakan dari wanita muslimah atau kitabiah.
3. Mahar, dengan syarat saling rela sekalipun hanya satu genggam
gandum.
4. Jangka waktu tertentu.

Nikah mut’ah pada masa pensyariatan, antara boleh dan larangan


Nikah mut’ah, pada awal Islam -saat kondisi darurat- diperbolehkan,
kemudian datang nash-nash yang melarang hingga hari Kiamat. Di antara hadits
yang menyebutkan dibolehkannya nikah mut’ah pada awal Islam ialah :
‫الربيِْع َعن‬ َ ‫ فَقَا َل وسلم عليه هللا صلى هللا َرسو ِل َم َع َكانَ أَنَّه عنه هللا رضىِ أَبِيه َعن‬: َ ‫أَيَّ َها يا‬
َّ ‫سب َرة بن‬
‫اء ِمنَ االستِمتاَعِ فِي َلكم أَذِنت كنت َقد إِنِي ال َّناس‬
ِ ‫س‬َ ِ‫ الن‬, ‫ ال ِقيَا َم ِة يَو ِم إِلَى ذلِكَ َح َّر َم قَد هللاَ إِ َّن َو‬, ‫كاَنَ فَ َمن‬
‫س ِبيلَه فَليخ ِل شَيء ِمنه َّن ِعندَه‬
َ , ‫ ” شَيئا آتَيتموه َّن ِم َّما ت َأخذوا َال َو‬.

3
Dari Rabi` bin Sabrah, dari ayahnya Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia bersama
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: “Wahai, sekalian
manusia. Sebelumnya aku telah mengizinkan kalian melakukan mut’ah dengan
wanita. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkannya
hingga hari Kiamat. Barangsiapa yang mempunyai sesuatu pada mereka , maka
biarkanlah! Jangan ambil sedikitpun dari apa yang telah diberikan”.

‫ قَا َل َعنه َو‬: َ ‫ام باِلمتعَ ِة وسلم عليه هللا صلى هللاِ َرسول أََْ َْ َم َرنا‬
َ ‫َحتَّى نَخرج لَم ث َّم َم َّكةَ دَخَلنَا ِحينَ الفَتحِ َع‬
َ ‫َعن َها نَ َهانا‬

Dari beliau, juga berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam


memerintahkan kami untuk mut’ah pada masa penaklukan kota Mekkah, ketika
kami memasuki Mekkah. Belum kami keluar, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah mengharamkannya atas kami”.

‫سلَ َمةَ َعن‬ َ ‫قَا َل عنه هللا رضىِ ا ََلك َوع ب ِن‬: ‫ص‬ َ ‫المت َع ِة ِفي أَوطاَس َع‬
َ ‫ام وسلم عليه هللا صلى هللاِ َرسول َر َّخ‬
َ‫َعن َها نَ َهى ث َّم أَيَّام ثَ ََلثَة‬

Dari Salamah bin Akwa`Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu


‘alaihi wa sallam telah memberikan keringanan dalam mut’ah selama tiga hari
pada masa perang Awthas (juga dikenal dengan perang Hunain), kemudian beliau
melarang kami”.

Muncul pertanyaan, semenjak kapan Islam melarang mut’ah? Untuk


menjawabnya, kita dapatkan riwayat-riwayat yang menerangkan masalah ini
terkesan simpang-siur, disebabkan tempat dan waktu pengharaman mut’ah
berbeda-beda. Berikut kami sebutkan secara ringkas waktu pengharaman mut’ah,
sesuai dengan urutan waktunya.
1. Ada riwayat yang mengatakan, bahwa larangan mut’ah dimulai ketika
perang Khaibar (Muharram 7H).

4
2. Ada riwayat yang mengatakakan pada umrah qadha (Dzul Qa`dah
7H).
3. Ada riwayat yang mengatakan pada masa penaklukan Mekkah
(Ramadhan 8H).
4. Ada riwayat yang mengatakan pada perang Awthas, dikenal juga
dengan perang Hunain (Syawal 8H).
5. Ada riwayat yang mengatakan pada perang Tabuk (Rajab 9H).
6. Ada riwayat yang mengatakan pada Haji Wada` (Zul Hijjah 10H).
7. Ada riwayat yang mengatakan, bahwa yang melarangnya secara
mutlak adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu.

Berikut ini penjelasan tentang riwayat-riwayat tersebut.


Riwayat yang menyatakan, bahwa larangan mut’ah dimulai pada umrah
qadha, perang Tabuk dan Haji Wada tidak lepas dari kritikan, dan tidak dapat
dijadikan pegangan.
Tinggallah tiga riwayat yang shahih, yang menerangkan pengharaman
mut’ah. Yaitu saat perang Khaibar, Penaklukan kota Mekkah, perang Awthas.
Riwayat-riwayat tersebut sebagai berikut :
Riwayat pengharaman nikah mut’ah pada masa perang Khaibar :

‫بن مح َّمد َعن‬ِ ‫ عنهما هللا رضى َعبَّاس ِالب ِن قا َ َل عنه هللا رضى َعل ِيا أََْ َّن َعلي‬: ‫الن ِْي ِإ َّن‬
َّ ‫عليه هللا صلى‬
‫خَي َب َر زَ َمنَ ِ اَلَهل ِية لحو ِم ِعن َ ِو المت َعة َع ِن نَ َهى وسلم‬

Dari Muhammad bin Ali (yang dikenal dengan sebutan Muhammad bin
Hanafiah), bahwa ayahnya Ali (bin Abu Thalib) berkata kepada Ibnu Abbas
Radhiyalahu ‘anhuma : “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang mut’ah dan daging keledai pada masa Khaibar”.
Riwayat pengharaman nikah mut’ah pada penaklukan kota Mekkah, yaitu
riwayat dari Rabi’ bin Sabrah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ayahnya berperang
bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pada penaklukkan kota Mekkah.
Kami tinggal lima belas hari. Kemudian, oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

5
sallam kami diperbolehkan untuk mut’ah. Akupun keluar bersama seseorang dari
kabilahku. (Kebetulan) aku mempunyai sedikit ketampanan, sedangkan kerabatku
tersebut lebih mendekati jelek. Setiap kami membawa sal, salku jelek, sedangkan
sal anak pamanku tersebut baru dan mengkilap. Ketika kami sampai di kaki
Mekkah atau di puncaknya, kami bertemu dengan seorang gadis perawan, panjang
lehernya semampai. Kami berkata,”Apakah engkau mau bermut’ah dengan salah
seorang dari kami?” Dia berkata,”Dengan apa kalian bayar?” Maka setiap kami
membentangkan salnya. Lalu wanita itu melihat kami, dan sahabatku itu melihat
ketiaknya dan berkata: “Sesungguhnya sal dia jelek, sedangkan salku baru,
mengkilap”. Dia berucap,”Salnya tidak apa-apa,” dua kali atau tiga. Lalu aku
melakukan mut’ah dengannya. Belum usai aku keluar dari Mekkah, kiranya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkannya. Sedangkan
riwayat yang mengharamkan nikah mut’ah pada saat perang Awthas, yaitu hadits
Salamah bin al Akwa`.
Mengkombinasikan antara riwayat-riwayat di atas, para ulama
menggunakan dua metode.
Pertama : Metode tarjih (mengambil riwayat yang lebih kuat).
Sebagian para ulama mengatakan [16], bahwa lafadz hadits Ali, yaitu riwayat
Ibnu Uyainah dari Zuhri ada kalimat yang didahulukan dan diakhirkan, karena
beliau berucap kepada Ibnu ‘Abbas jauh setelah kejadian [17]. Seharusnya ucapan
beliau, “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan daging
keledai pada masa Khaibar dan melarang mut’ah”. Dengan demikian, larangan
mut’ah dalam riwayat ini tidak lagi ada secara tegas waktu Khaibar.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Para ulama berselisih, apakah mut’ah
dilarang pada masa Khaibar? Ada dua pendapat. Dan yang shahih, larangan hanya
pada masa penaklukan kota Makkah, sedangkan pelarangan waktu Khaibar hanya
sebatas daging keledai. Hanya saja Ali berkata kepada Ibnu ‘Abbas, bahwasanya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mut’ah pada hari Khaibar, dan
juga melarang makan daging keledai untuk memberi alasan (pengharaman) pada
dua permasalahan tersebut kepada Ibnu ‘Abbas. Maka para rawi menyangka,

6
bahwa ikatan hari Khaibar kembali kepada dua hal itu, lalu mereka meriwayatkan
dengan makna”.[18]
Sedangkan riwayat pengharaman mut’ah pada perang Awthas atau Hunain,
yaitu hadits Salamah bin Akwa`. Berhubung perang Awthas dan tahun
penaklukan Mekkah pada tahun yang sama, maka sebagian ulama menjadikannya
satu waktu, yaitu pada penaklukan Mekkah.
Kedua : Metode jamak (menggabungkan antara riwayat-riwayat).
Melihat pada semua riwayat yang shahih tentang pengharaman nikah
mut’ah, bahwa telah berlaku pembolehan kemudian pelarangan beberapa kali.
Diperbolehkan sebelum Khaibar, lalu diharamkan, kemudian diperbolehkan tiga
hari penaklukan Mekkah, kemudian diharamkan hingga hari Kiamat.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,”Tidak ada keraguan lagi, mut’ah
diperbolehkan pada permulaan Islam. Sebagian ulama berpendapat, bahwa ia
dihalalkan kemudian dimansukhkan (dihapus), lalu dihalalkan kemudian
dimansukhkan. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa penghalalan dan
pengharaman berlaku terjadi beberapa kali.” [19]
Al Qurthubi berkata,”Telah berkata Ibnul ‘Arabi,’Adapun mut’ah, maka ia
termasuk salah satu keunikan syari’ah; karena mut’ah diperbolehkan pada awal
Islam kemudian diharamkan pada perang Khaibar, lalu diperbolehkan lagi pada
perang Awthas kemudian diharamkan setelah itu, dan berlangsung pengharaman.
Dan mut’ah -dalam hal ini- tidak ada yang menyerupainya, kecuali permasalahan
kiblat, karena nasakh (penghapusan) terjadi dua kali, kemudian baru hukumnya
stabil’.Bahkan sebagian ulama yang belum menyaring semua riwayat tentang
mut’ah, mereka mengatakan telah terjadi tujuh kali pembolehan dan tujuh kali
pelarangan.
Kesimpulan Dari Pembahasan Di Atas :
Pertama : Telah terjadi perselisihan tentang waktu pengharaman. Ibnul
Qayyim rahimahullah menguatkan riwayat yang mengatakan, bahwa
pengharaman berlaku pada tahun penaklukan Mekkah.[22]

7
Kedua : Bagaimanapun perselisihan ini tidak mengusik haramnya nikah
mut’ah; karena, sekalipun terjadi perselisihan, akan tetapi telah terjadi
kesapakatan Ahlus Sunnah tentang haramnya.
Al Qurthubi berkata,”Pengharaman mut’ah telah berlaku stabil. Dan
dinukilkan dari Ibnul ‘Arabi, bahwa tekah terjadi Ijma’ (kesepakatan) atas
pengharamannya (yaitu ijma` Ahlus Sunnah yang datang kemudian, wallahu
a`lam, Pen).” [23]
Hukum islam tentang nikah mut’ah
Nikah mut’ah telah diharamkan oleh Islam dengan dalil Kitab, Sunnah dan Ijma’,
dan secara akal.
• Dari al Qur`an :
َ‫َوالَّذِين‬ ‫هم‬ ‫وج ِهم‬
ِ ‫ِلفر‬ َ‫َحا ِفظون‬
‫إِ َّال‬ ‫َعلَى‬ ِ ‫أَز َو‬
‫اج ِهم‬ ‫أَو‬ ‫َما‬ ‫َملَكَت‬ ‫أَي َمانهم‬ ‫فَإ ِ َّنهم‬ ‫غَير‬ َ‫ومين‬
ِ ‫َمل‬
‫العَادونَ هم فَأولَئِكَ ذَلِكَ َو َرا َء ابتَغَى فَ َم ِن‬
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam
hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah
orang-orang yang melampaui batas. [al Maarij : 29-31]

Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan, sebab disahkan berhubungan badan


hanya melalui dua cara. Yaitu: nikah shahih dan perbudakan. Sedangkan wanita
mut’ah, bukanlah istri dan bukan pula budak.

‫طوال ِمنكم يَست َِطع لَّم َو َمن‬


َ ‫ت َين ِك َح أَن‬
ِ ‫صنَا‬ ِ ‫ت فَتَيَاتِكم ِمن أَي َمانكم َملَكَت َّما فَ ِمن المؤ ِمنَا‬
َ ‫ت المح‬ َّ ‫َو‬
ِ ‫ّللا ۚ المؤ ِمنَا‬
‫وره َّن َوآتوه َّن أَه ِل ِه َّن بِإِذ ِن فَان ِكحوه َّن ۚ بَعض ِمن َبعضكم ۚ بِإِي َمانِكم أَعلَم‬
َ ‫وف أج‬ ِ ‫صنَات بِال َمعر‬ َ ‫غَي َر مح‬
‫سافِ َحات‬ ِ ‫ص َّن فَإِذَا ۚ أَخدَان متَّ ِخذَا‬
َ ‫ت َو َال م‬ ِ ‫احشَة أَت َينَ فَإِن أح‬ِ َ‫ت َعلَى َما نِصف فَعَ َلي ِه َّن بِف‬
ِ ‫صنَا‬ ِ ‫ۚ العَذَا‬
َ ‫ب ِمنَ المح‬
َ ‫ّللا ۗ لَّكم خَير تَص ِبروا َوأَن ۚ ِمنكم ال َعنَتَ َخش‬
َ‫ِي ِل َمن ذَلِك‬ َّ ‫َّر ِحيم غَفور َو‬
Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaanya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh
mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah
mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain,

8
karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin
mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara
diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai
piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian
mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo
hukuman dari hukuman bagi wanita-wanita merdeka bersuami. (Kebolehan
mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan
menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik
bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [an Nisa`: 25].
Dalam ayat ini ada dua alasan. Pertama, jika nikah mut’ah diperbolehkan, maka
tidak ada lagi alasan untuk tidak melakukannya bagi orang yang kesulitan
menjaga diri atau keperluan untuk menikahi budak atau bersabar untuk tidak
menikah. Kedua, ayat ini merupakan larangan terhadap nikah mut’ah, karena
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “karena itu kawinilah mereka dengan
seizin tuan mereka”. Sebagaimana diketahui, bahwa nikah seizin orang tua atau
wali, itulah sebenarnya nikah yang disyariatkan, yaitu dengan wali dan dua orang
saksi. Adapun nikah mut’ah, tidak mensyariatkan demikian.
• Dalil dari Sunnah, yaitu semua riwayat yang telah disebutkan di atas merupakan
dalil haramnya mut’ah.
• Adapun Ijma`, para ulama ahlus sunnah telah menyebutkan, bahwa para ulama
telah sepakat tentang haramnya nikah mut’ah. Di antara pernyataan tersebut ialah
:
1. Perkataan Ibnul ‘Arabi rahimahullah , sebagaimana telah disebutkan
di muka.
2. Imam Thahawi berkata,”Umar telah melarang mut’ah di hadapan para
sahabat Rasulullah, dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya.
Ini menunjukkan, bahwa mereka setuju dan menuruti apa yang telah
dilarang. Dan juga bukti Ijma’ mereka atas larangan tersebut adalah,
bahwa hukum tersebut telah dihapus.

9
3. Qadhi Iyadh berkata,”Telah terjadi Ijma’ dari seluruh ulama atas
pengharamannya, kecuali dari kalangan Rafidhah (kelompok Syi’ah,
Pen)”.
4. Dan juga disebutkan oleh al Khattabi: “Pengharaman mut’ah nyaris
menjadi sebuah Ijma’ (maksudnya Ijma’ kaum Muslmin, Pen.),
kecuali dari sebagian Syi’ah”.
• Adapun alasan dari akal dan qiyas, sebagai berikut :
1. Sesungguhnya nikah mut’ah tidak mempunyai hukum standar, yang
telah diterangkan dalam kitab dan Sunnah dari thalak, iddah dan
warisan, maka ia tidak berbeda dengan pernikahan yang tidak sah
lainnya.
2. ‘Umar telah mengumumkan pengharamannya di hadapan para sahabat
pada masa khilafahnya dan telah disetujui oleh para sahabat. Tentu
mereka tidak akan mengakui penetapan tersebut, jika pendapat ‘Umar
tersebut salah.
3. Haramnya nikah mut’ah, dikarenakan dampak negatif yang
ditimbulkannya sangat banyak. Di antaranya
a. Bercampurnya nasab, karena wanita yang telah dimut’ah oleh
seseorang dapat dinikahi lagi oleh anaknya, dan begitu
seterusnya.
b. Disia-siakannya anak hasil mut’ah tanpa pengawasan sang ayah
atau pengasuhan sang ibu, seperti anak zina.
c. Wanita dijadikan seperti barang murahan, pindah dari tangan ke
tangan yang lain, dan sebagainya.

B. Nikah Tahlil

Nikah tahlil yaitu menikahi wanita yang telah ditalak tiga setelah
berakhirnya masa ‘iddahnya kemudian menceraikannya kembali untuk diberikan
kepada suaminya yang pertama. Ini adalah salah satu dosa besar dan perbuatan
keji yang Allah melarangnya dan melaknat pelakunya, berdasarkan apa yang
diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal itu.

10
At-Tirmidzi meriwayatkan dalam Sunannya dari ‘Abdullah bin Mas’ud
Radhiyallahu anhu, ia mengatakan:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil dan muhallal lahu.”
Arti muhallil berasal dari tahlil, yakni orang yang menikahi wanita yang ditalak
tiga dengan niat untuk diceraikannya setelah menyetubuhinya agar orang yang
mentalak tiga tersebut dapat menikahinya kembali.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan orang yang melakukan
perbuatan ini dengan rusa yang dipinjamkan. Sebagaimana Ibnu Majah
meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
“Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang rusa yang dipinjamkan?” Mereka
menjawab: “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Ia adalah muhallil,
semoga Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu.”
Pendapat-Pendapat Ulama :
At-Tirmidzi rahimahullah berkata: “Pengamalan atas hal ini dilakukan para
ulama dari kalangan Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya
adalah ‘Umar bin al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Abdullah bin ‘Umar dan
selainnya, serta ini pun adalah pendapat fuqaha dan Tabi’in.
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Pernikahan muhallil, yang diriwayatkan
bahwa Rasulullah melaknatnya, bagi kami -wallaahu a’lam- sama halnya dengan
nikah mut’ah, karena pernikahan ini tidak mutlak, jika disyaratkan agar
menikahinya hingga melakukan persetubuhan. Pada dasarnya, dia melakukan
akad nikah terhadapnya hingga dia menyetubuhinya. Jika dia telah
menyetubuhinya, maka selesailah status pernikahannya dengan wanita tersebut.”
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan bahwa secara keseluruhan,
pernikahan muhallil adalah haram lagi bathil menurut pendapat semua ahli ilmu,
baik wali mengatakan: “Aku menikahkanmu dengannya hingga kamu
menyetubuhinya,” maupun mensyaratkan bila telah menggaulinya, maka tiada
pernikahan di antara keduanya, atau bila telah menggaulinya untuk pertama
kalinya maka dia harus menceraikannya. Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa
pernikahan tersebut sah tetapi syaratnya tidak sah.

11
‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata ketika beliau
berkhutbah: “Demi Allah, tidaklah dihadapkan kepadaku muhallil dan muhallal
lahu melainkan aku merajam keduanya. Sebab, keduanya adalah pezina.” Dan
karena pernikahan hingga suatu masa, atau di dalamnya terdapat syarat yang
menghalangi kelangsungan pernikahan tersebut, maka ini serupa dengan nikah
mut’ah.
Nafi’ meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa seorang
pria bertanya kepadanya: “Aku menikahi seorang wanita untuk menghalalkannya
bagi (mantan) suaminya, sedangkan dia tidak menyuruhku dan dia tidak tahu.” Ia
menjawab: “Tidak boleh, kecuali pernikahan karena keinginan (yang wajar); jika
mengagum-kanmu, pertahankanlah dan jika kamu tidak suka, ceraikanlah.
Sesungguhnya kami menganggapnya pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai perzinaan.”[45]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah ditanya tentang orang yang
berucap: “Jika wanita yang dicerai telah disetubuhi seseorang (yang menikahinya)
pada duburnya, maka dia halal untuk suaminya; apakah ini benar ataukah tidak?”
Beliau menjawab: “Ini adalah ucapan bathil, menyelisihi pen-dapat para Imam
kaum muslimin yang masyhur dan para Imam kaum muslimin lainnya. Sebab,
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada wanita yang ditalak tiga
(kemudian menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali kepada suaminya
yang pertama.-ed.):
َ‫سيلَت َه ت َذوقِي َحتَّى ال‬
َ ‫سيلَت َِك َو َيذوقَ ع‬
َ ‫ع‬.
‘Tidak, hingga engkau merasakan madunya dan dia merasakan madumu.’[46]
Ini adalah nash (teks) tentang keharusan merasakan madu masing-masing dan ini
tidak terjadi dengan (cara menyetubuhi) dubur. Tidak diketahui adanya pendapat
yang menyelisihi hal ini. Pendapat tersebut adalah pendapat aneh yang diselisihi
oleh Sunnah yang shahih, lagi pula telah ada ijma’ sebelumnya dan
sesudahnya.”[47]
Beliau juga ditanya tentang tahlil yang dilakukan manusia pada hari ini: “Jika
terjadi pada apa yang mereka lakukan berupa pemberian hak, kesaksian, dan
siasat-siasat lainnya; apakah itu sah ataukah tidak?”

12
Beliau menjawab: “Tahlil yang mereka sepakati bersama suami -baik lafal
maupun kebiasaan- agar menceraikan wanita itu, atau suami meniatkan demikian
adalah diharamkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat-nya.

C. Nikah Syighar
Definisi nikah ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
‫الرجل يَقو َل أَن َوال ِشغَار‬ َّ ‫ ِل‬: ‫أختِي َوأزَ ِوجكَ أختَكَ زَ ِوجنِي أَو ابنَتِي َوأزَ ِوجكَ ابنَتَكَ زَ ِوجنِي‬.
َّ ‫لرج ِل‬
“Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain, ‘Nikahkanlah
aku dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku dengan dirimu.’ Atau
berkata, ‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan
nikahkan saudara perempuanku dengan dirimu.”. Yaitu wali menikahkan gadis
yang diurusnya kepada seorang pria dengan syarat dia menikahkannya pula
dengan gadis yang diurusnya.
Nafi’ berkata: “Syighar ialah seorang laki-laki menikahi puteri laki-laki
lainnya dan dia pun menikahkannya dengan puterinya tanpa mahar. Atau seorang
laki-laki menikahi saudara perempuan laki-laki lainnya lalu dia menikahkannya
pula dengan saudara pe-rempuannya tanpa mahar.”
An-Nawawi berkata: “Para ulama bersepakat bahwa pernikahan ini terlarang.”
Adapun hadits-hadits tentang pengharaman pernikahan ini ialah sebagai
berikut:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahiihnya dari Ibnu
‘Umar Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
َ‫َار ال‬
َ ‫ا ِإلسـَلَ ِم فِي ِشغ‬.
“Tidak ada nikah syighar dalam Islam.”
2. At-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu,
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang syighar.”
3. At-Tirmidzi meriwayatkan dari ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu
anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َ َ‫َب َوالَ َجل‬
َ‫ب ال‬ َ ‫َار َوالَ َجن‬ َ ‫منَّا فَلَي‬.
َ ‫س نهبَة انت َ َه‬
َ ‫ ِشغ‬، ‫ب َو َم ِن‬ ِ

13
“Tidak boleh berbuat kejahatan, tidak boleh membangkang, tidak
boleh melakukan syighar. Dan barangsiapa melakukan perampasan,
maka dia bukan golongan kami.”
4. Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwasanya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang syighar. Dan syighar ialah
menikahkan seseorang dengan puterinya dengan syarat orang tersebut
menikahkan dirinya dengan puterinya pula, tanpa ada mahar di antara
keduanya.

D. Pernikahan di Masa Jahiliyah


Dari Ibnu Syihab, ia berkata : telah mengkhabarkan kepada saya ‘Urwah bin
Zubair, sesungguhnya ‘Aisyah istri Nabi SAW telah memberitahukan kepadanya,
bahwa pernikahan di jaman jahiliyah itu ada 4 macam.
1. Pernikahan yang berlaku seperti sekarang ini, yaitu seorang laki-laki
meminang wanita atau anak perempuan kepada orang tuanya atau
walinya, lalu membayar mahar, kemudian menikahinya.
2. Seorang laki-laki berkata kepada istrinya, ketika istrinya itu telah suci
dari haidl, “ pergilah kepada si Fulan, kemudian mintalah untuk
dikumpuli”, dan suaminya sendiri menjauhinya, tidak menyentuhnya
sama sekali sehingga telah jelas istrinya itu telah hamil dari hasil
hubungannya dengan laki-laki itu. Kemudian apabila telah jelas
kehamilannya, lalu suaminya itu melanjutkan mengumpulinya apabila
dia suka. Dan hal itu diperbuat karena keinginan untuk mendapatkan
anak yang cerdas (bibit unggul). Nikah semacam ini disebut nikah
istibdla’.
3. Yaitu sejumlah laki-laki, kurang dari sepuluh orang berkumpul, lalu
mereka masing-masing mencampuri seorang wanita tersebut. Apabila
wanita telah hamil dan melahirkan anaknya, selang beberapa hari
maka perempuan itu memanggil mereka dan tidak ada seorang pun
diantara mereka yang dapat menolak panggilan tersebut sehingga
merekapun berkumpul di rumah perempuan itu. Kemudian wanita itu

14
berkata kepada mereka, “ sungguh anda semua telah mengetahui
urusan kalian, sedang aku sekarang telah melahirkan, dan anak ini
adalah anakmu hai Fulan”. Dan wanita itu menyebut nama laki-laki
yang disukainya, sehingga dihubungkanlah anak itu sebagai anaknya,
dan laki-laki itupun tidak bisa menolaknya.
4. Yaitu, berhimpun laki-laki yang banyak, lalu mereka mencampuri
seorang wanita yang memang tidak akan menolak setiap laki-laki
yang mendatanginya. Mereka itu adalah para wanita pelacur. Mereka
memasang bendera-bendera di depan pintu mereka sebagai tanda.
Maka siapa saja yang menginginkannya boleh masuk, kemudian
apabila salah seorang diantara wanita itu ada yang hamil dan telah
melahirkan anaknya, maka para laki-laki tadi dikumpulkan di situ, dan
mereka pun memanggil orang-orang ahli qiyafah ( ahli memeriksa dan
meneliti tanda-tanda pada manusia), lalu dihubungkalah anak itu
kepada ayahnya oleh orang-orang ahli qiyafah itu menurut anggapan
mereka. Maka anak itu pun di panggil sebagai anaknya, dan orang
(yang dianggap sebagai ayahnya) itu tidak boleh menolaknya.
Kemudian Nabi Muhammad SAW di utus sebagai Rasul dengan membawa
kebenaran, beliau menghapus pernikahan dengan model jahiliyah tersebut
seluruhnya, kecuali pernikahan sebagaimana yang berjalan sekarang ini. [HR.
Bukhari juz 6, hal. 132]

E. Nikah Beda Agama (Pernikahan Wanita Muslimah dan Pria Non


Muslim)
Tentang status pernikahan wanita muslimah dan pria non muslim disebutkan
dalam firman Allah Ta’ala,
‫ّللاُ أَ ْعلَ ُم ِبإِي َمانِ ِه َّن فَإ ِ ْن َع ِل ْمت ُ ُموه َُّن ُمؤْ ِمنَات فَ َل‬
َّ ‫اج َرات فَا ْمت َِحنُوه َُّن‬ِ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َ َمنُوا ِإذَا َجا َء ُك ُم ْال ُمؤْ ِمنَاتُ ُم َه‬
‫ار َل ه َُّن ِحل لَ ُه ْم َو َل ُه ْم َي ِح ُّلونَ لَ ُه َّن‬ ِ َّ‫ت َْر ِجعُوه َُّن ِإلَى ْال ُكف‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah

15
mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu
kembalikan mereka (wanita mukmin) kepada (suami-suami mereka) orang-orang
kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-
orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. Al Mumtahanah: 10)
Pendalilan dari ayat ini dapat kita lihat pada dua bagian. Bagian pertama pada
ayat,
ِ َّ‫فَ ََل ت َر ِجعوه َّن إِلَى الكف‬
‫ار‬
“Janganlah kamu kembalikan mereka (wanita mukmin) kepada suami mereka
yang kafir”
Bagian kedua pada ayat,
‫َال ه َّن ِحل لَهم‬
“Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu”
Dari dua sisi ini, sangat jelas bahwa tidak boleh wanita muslim menikah dengan
pria non muslim (agama apa pun itu).
Ayat ini sungguh meruntuhkan argumen orang-orang liberal yang
menghalalkan pernikahan semacam itu. Firman Allah tentu saja kita mesti junjung
tinggi daripada mengikuti pemahaman mereka (kaum liberal) yang dangkal dan
jauh dari pemahaman Islam yang benar.
Para ulama telah menjelaskan tidak bolehnya wanita muslimah menikah
dengan pria non muslim berdasarkan pemahaman ayat di atas (surat Al
Mumtahanah ayat 10), bahkan hal ini telah menjadi ijma’ (kesepakatan) para
ulama.
Al Qurthubi rahimahullah mengatakan,
.‫ لما في ذلك من الغضاضة على السلم‬،‫وأجمعت المة على أن المشرك ل يطأ المؤمنة بوجه‬
“Para ulama kaum muslimin telah sepakat tidak bolehnya pria musyrik (non
muslim) menikahi (menyetubuhi) wanita muslimah apa pun alasannya. Karena hal
ini sama saja merendahkan martabat Islam.”
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
‫هذه اآلية هي التي َح ّر َمت المسلمات على المشركين‬
“Ayat ini (surat Al Mumtahanah ayat 10) menunjukkan haramnya wanita
muslimah menikah dengan laki-laki musyrik (non muslim)”.

16
Asy Syaukani rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan,
‫مجرد هجرتها‬
ّ ‫ وأن إسلم المرأة يوجب فرقتها من زوجها ل‬، ‫وفيه دليل على أن المؤمنة ل تح ّل لكافر‬
“Ayat ini (surat Al Mumtahanah ayat 10) merupakan dalil bahwa wanita
muslimah tidaklah halal bagi orang kafir (non muslim). Keislaman wanita tersebut
mengharuskan ia untuk berpisah dari suaminya dan tidak hanya berpindah tempat
(hijrah)”.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan,
‫ غير أهل‬،‫ فكذلك الكافرة ل تحل للمسلم أن يمسكها ما دامت على كفرها‬،‫وكما أن المسلمة ل تحل للكافر‬
،‫الكتاب‬
“Sebagaimana wanita muslimah tidak halal bagi laki-laki kafir, begitu pula wanita
kafir tidak halal bagi laki-laki muslim untuk menahannya dalam kekafirannya,
kecuali diizinkan wanita ahli kitab (dinikahkan dengan pria muslim).”
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Orang
kafir (non muslim) tidaklah halal menikahi wanita muslimah. Hal ini berdasarkan
nash (dalil tegas) dan ijma’ (kesepakatan ulama). Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya), “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah
mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu
kembalikan mereka (wanita mukmin) kepada (suami-suami mereka) orang-orang
kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-
orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” Wanita muslimah sama sekali tidak
halal bagi orang kafir (non muslim) sebagaimana disebutkan sebelumnya,
meskipun kafirnya adalah kafir tulen (bukan orang yang murtad dari Islam). Oleh
karena itu, jika ada wanita muslimah menikah dengan pria non muslim,
maka nikahnya batil (tidak sah).
Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim hafizhohullah dalam Kitab Adhwaul
Bayan (yang di mana beliau menyempurnakan tulisan gurunya , Syaikh Asy
Syinqithi), memberi alasan kenapa wanita muslimah tidak dibolehkan menikahi
pria non muslim, namun dibolehkan jika pria muslim menikahi wanita ahli kitab.
Di antara alasan yang beliau kemukakan: Islam itu tinggi dan tidak mungkin
ditundukkan agama yang lain. Sedangkan keluarga tentu saja dipimpin oleh laki-

17
laki. Sehingga suami pun bisa memberi pengaruh agama kepada si istri. Begitu
pula anak-anak kelak harus mengikuti ayahnya dalam hal agama. Dengan alasan
inilah wanita muslimah tidak boleh menikah dengan pria non muslim.

F. Nikah Beda Agama (Pernikahan Pria Muslim dengan Wanita Ahli


Kitab)

Diperbolehkan pria muslim menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan


Nashrani) selama wanita tersebut adalah wanita yang selalu menjaga
kehormatannya serta tidak merusak agama si suami dan anak-anaknya. Dalilnya
adalah firman Allah Ta’ala,
ِ ‫صنَاتُ ِمنَ ْال ُمؤْ ِمنَا‬
‫ت‬ َ ْ‫طعَا ُم ُك ْم ِحل لَ ُه ْم َو ْال ُمح‬ َ ‫طعَا ُم الَّذِينَ أُوتُوا ْال ِكت‬
َ ‫َاب ِحل لَ ُك ْم َو‬ َّ ‫ْاليَ ْو َم أ ُ ِح َّل لَ ُك ُم ال‬
َ ‫طيِّبَاتُ َو‬
َ ‫صنَاتُ ِمنَ الَّذِينَ أُوتُوا ْال ِكت‬
‫َاب ِم ْن قَ ْب ِل ُك ْم‬ َ ْ‫َو ْال ُمح‬
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi
mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di
antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS. Al
Maidah: 5). Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Wanita ahli kitab (Yahudi
dan Nashrani) boleh dinikahi oleh laki-laki muslim berdasarkan ayat ini.”
Yang dimaksud di sini, seorang pria muslim dibolehkan menikahi wanita
ahli kitab, namun bukan wajib dan bukan sunnah, cuma dibolehkan saja. Dan
sebaik-baik wanita yang dinikahi oleh pria muslim tetaplah seorang wanita
muslimah. Wanita ahli kitab di sini yang dimaksud adalah wanita Yahudi dan
Nashrani. Agama Yahudi dan Nashrani dari dahulu dan sekarang dimaksudkan
untuk golongan yang sama dan sama sejak dahulu (di masa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam), yaitu wahyu mereka telah menyimpang.
Catatan penting di sini, jika memang laki-laki muslim boleh menikah
dengan wanita ahli kitab, maka pernikahan tentu saja bukan di gereja. Dan juga
ketika memiliki anak, anak bukanlah diberi kebebasan memilih agama. Anak
harus mengikuti agama ayahnya yaitu Islam. Lihat keterangan dari Syaikh
‘Athiyah Muhammad Salim di atas.

18
Sedangkan selain ahli kitab (seperti Hindu, Budha, Konghucu) yang disebut
wanita musyrik, haram untuk dinikahi. Hal ini berdasarkan kesepakatan para
fuqoha. Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala,
ِ ‫َولَ تَن ِك ُحواْ ْال ُم ْش ِركَا‬
‫ت َحتَّى يُؤْ ِم َّن َوأل َ َمة ُّمؤْ ِمنَة َخيْر ِّمن ُّم ْش ِركَة َولَ ْو أَ ْع َجبَتْ ُك ْم‬
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu.” (QS. Al Baqarah: 221)
Di kalangan para ulama yang menyatakan halal menikahi wanita-wanita
Ahli Kitab sendiri, yaitu jumhur ulama, mereka masih berbeda pendapat tentang
menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, apakah hukum halal itu boleh secara muthlak
ataukah boleh namun makruh hukumnya?
Dalam masalah ini terdapat tiga pendapat.
Pendapat Pertama : Menikahi wanita-wanita Ahli Kitab adalah boleh namun
makruh hukumnya. Ini adalah pendapat sebagian madzhab
Hanafiyah, pendapat madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan
Hanabilah.
Pendapat Kedua : Menikahi wanita-wanita Ahli Kitab adalah boleh secara
mutlak, tidak makruh sama sekali. Ini adalah pendapat
sebagian madzhab Malikiah, di antara mereka ada Ibnu
Al-Qasim dan Khalil, dan itu merupakan pendapat imam
Malik.
Pendapat Ketiga : Az-Zarkasyi dari kalangan madzhab Syafi’iyah berkata :
“Kadangkala hukumnya menikahi wanita Ahli Kitab bisa
sunnah (istihbab), apabila wanita tersebut dapat
diharapkan masuk Islam. Pasalnya, ada riwayat bahwa
Utsman Radhiyallahu ‘anhu telah menikah seorang wanita
Nashrani, kemudian wanita itu masuk Islam dan ke-
islamannya pun baik” [17]. Ini adalah pendapat yang
marjuh (lemah) dari kalangan madzhab Syafi’iyah.

19
Menurut para ulama, laki-laki muslim sama sekali tidak boleh menikahi wanita
yang murtad meskipun ia masuk agama Nashrani atau Yahudi kecuali jika wanita
tersebut mau masuk kembali pada Islam.

20
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Yang dimaksud nikah mut’ah adalah, seseorang menikah dengan
seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian
kepadanya, berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika
masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa
kata thalak dan tanpa warisan.
2. Nikah tahlil yaitu menikahi wanita yang telah ditalak tiga setelah
berakhirnya masa ‘iddahnya kemudian menceraikannya kembali untuk
diberikan kepada suaminya yang pertama. Ini adalah salah satu dosa
besar dan perbuatan keji yang Allah melarangnya dan melaknat
pelakunya.
3. Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain,
‘Nikahkanlah aku dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku
dengan dirimu.’ Atau berkata, ‘Nikahkanlah aku dengan saudara
perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara perempuanku dengan
dirimu.”. Yaitu wali menikahkan gadis yang diurusnya kepada
seorang pria dengan syarat dia menikahkannya pula dengan gadis
yang diurusnya.
4. Pernikahan dimasa jahiliyah ada 4 macam, yaitu : pernikahan yang
seperti saat ini, nikah istibdla”, poliandri, dan banyak lelaki yang
mendatangi wanita yang memang tidak menolak ketika laki-laki
mendatanginya (menyerupai pelacur).
5. Hukum pernikahan Wanita muslim dan Pria Nonmuslim adalah
Haram
6. Hukum pernikahan Pria Muslim dan wanita ahli kitab adalah mubah.
Namun, wanita murtad dan selain ahli kitab adalah haram.

21
B. SARAN
Melalui makalah ini, penyusun menyarankan pada pembaca agar lebih
memperdalam lagi pemahamannya tentang hukum-hukum islam. Karena dengan
tingkat pemahaman ilmu yang tinggi maka kita akan lebih mudah menjalankan
syariat islam dan menjauhi seluruh yang haram dalam islam.

22
DAFTAR PUSTAKA

http://ahmadalberjowi.blogspot.com/2012/12/empat-macam-pernikahan-di-
jaman.html, Diakses tanggal 10 April 2018
https://almanhaj.or.id/3995-hukum-seorang-muslim-menikahi-wanita-ahli-
kitab.html, Diakses tanggal 10 April 2018
https://rumaysho.com/1174-nikah-beda-agama.html, Diakses tanggal 10 April
2018
http://agama.galihpamungkas.com/2016/04/09/pernikahan-pada-zaman-jahiliyah/,
Diakses tanggal 10 April 2018
https://almanhaj.or.id/3233-pernikahan-yang-dilarang-dalam-syariat-islam.html,
Diakses tanggal 10 April 2018
https://almanhaj.or.id/2952-nikah-mutah-kawin-kontrak.html, Diakses tanggal 10
April 2018
https://almanhaj.or.id/3562-pernikahan-yang-diharamkan-nikah-syigar-nikah-
tahlil-nikah-dalam-masa-iddah.html, Diakses tanggal 10 April 2018
https://ujungkelingking.blogspot.com/p/blog-page_11.html, Diakses tanggal 10
April 2018
https://holilahpa.blogspot.com/2014/01/makalah-pernikahan-yang-dilarang.html,
Diakses tanggal 10 April 2018
http://www.nu.or.id/post/read/10910/bagaimana-hukum-nikah-mutamp8217ah,
Diakses tanggal 10 April 2018
https://almanhaj.or.id/3233-pernikahan-yang-dilarang-dalam-syariat-islam.html,
Diakses tanggal 10 April 2018
https://www.scribd.com/doc/17222298/Pernikahan-Yang-Dilarang-Dalam-Islam,
Diakses tanggal 10 April 2018

23

Вам также может понравиться