Вы находитесь на странице: 1из 4

Pembahasan

Ekshumasi mengacu pada penemuan kembali mayat yang telah dimakamkan untuk
pemeriksaan post mortem. Biasanya dilakukan setelah beberapa hari atau beberapa
bulan setelah pemakaman. Beberapa studi tentang ekshumasi melaporkan waktu
pemakaman bervariasi antara 5 hari sampai 20,5 tahun. Meskipun jarang dilakukan
pada beberapa tahun setelah pemakaman. Pemeriksaan forensik setelah ekshumasi
adalah usaha terakhir untuk diagnosis forensik pada kematian yang belum diselidiki
atau belum selesai diselidiki. Didunia, penyebab suatu kasus bisa belum selesai
diselidiki bermacam-macam, seperti budaya, politik dan kepercayaan agama. Tidak
seperti beberapa negara yang memiliki batas waktu yang jelas terhadap ekshumasi, di
Tunisia tidak ada batas waktu untuk dilakukannya ekshumasi. Walaupun, menurut
hukum bab 17 n°97-12 tentang pemakaman, ekshumasi hanya dapat dilakukan setelah
mendapat ijin dari pengadilan yang berwenang. Berdasarkan informasi terbaru,
ekshumasi mungkin bisa dilakukan atas permintaan keluarga untuk memverifikasi
identitas mayat, dan untuk mengetahui penyebab pasti kematian, atau untuk
menyangkal beberapa informasi seputar kematian (rumor, pernyataan saksi, dll).

Dibandingkann dengan autopsi konvensional, yang dilakukan segera setelah kematian,


pemeriksaan forensik pada ekshumasi biasanya akan menemukan beberapa kesulitan.
Kemudian, kemungkinan tersedianya perlengkapan ekshumasi selalu dibicarakann
sebelum proses ekshumasi. Sebelumnya, ekshumasi membutuhkan penjelasan
mengenai situasi dan menentukan informasi penting yang kemungkinan masih bisa
dideteksi setelah pemakaman. Walaupun, beberapa informasi negatif diperolehh
dengan ekshumasi bisa bermanfaat pada beberapa kasus.

Keberhasilan ekshumasi bergantung tidak hanya pada ketersediaan sarana teknis untuk
menyelesaikan tugas yang diminta, tetapi juga pada kondisi konservasi pada mayat
(durasi dan kondisi pemakaman, pengaruhh lingkungan). Pada waktu pemakaman yang
pendek, keberhasilan ekshumasi untuk tujuan medico-legal sekitar 66% sampai 78%
kasus. Kecil kemungkinanya pada pemakaman yang sudah berlangsung lama. Faktor
utama yang memungkinkan outcome pada ekshumasi, biasanya, menghilangnya
jaringan lunak, identifikasi lesi ante-mortem atau post-mortem dan pjanan dari
lingkungan dan faktor taphonomik.

Dalam kasus ini, pemakaman yangg lebih dari tiga puluh tahun, sudah diperkirakan
bahwa mayat hanya tinggal tulang. Menurut literatur, mayat yang sudah mengalami
skletonisasi diperkirakan sudah dimakamkan antara empat sampai lebih dari sepuluh
tahun. Pemeriksaan tulang dibedakan dari pemeriksaan mayat segar. Tentu saja, dalam
kasus luka tembak, jaringan lunak memiliki informasi yang menarik. Kulit merupakan
lapisan dengan lesi yang spesifik dalam menegaskan jenis balistik dari trauma,
membedakan orifisium dalam dan luar, untuk memperkirakan jarak tembakan dan arah
tembakan. Organ tubuh juga bisa menjadi lokasi balistik jalur peluru tanpa kerusakan
tulang.

Bahkan, salah satu langkah yang menantang dalam analisis skeletal trauma adalah
membedakan antara cedera ante-mortem dengan cedera post-mortem. Dalam
kenyataannya, untuk membedakannya cukup sulit. Beberapa studi telah mencoba
untuk menjelaskan bedanya trauma sekunder yang disebabkan oleh faktor lingkungan.
Itu dapat dijelaskan bahwa warna pada tepi lesi sekunder di bandingkan dengan
permukaan tulang. Seperti studi lain yang telah dilakukan untuk menentukan ketepatan
karakteristik morfologik dari trauma tulang. Meskipun, seringkalii sulit untuk
membedakan lesi ante-mortem dan lesi post-mortem. Beberapa fraktur ante-mortem
dapat menghasilkan karakter over time post mortem seperti modifikasi warna atau tepii
yang mengelilinginya. Demikian pula, lesi post-mortem dapat menyerupai lesi vital.
Mayat yang dikubur mengalami beberapa perubahan dari erosi mekanis dan kimiawi
oleh tanah dan aksi dari beberapa renik dan tumbuhan. Mwskipun dalam kasus ini,
mayat telah dilindungi dari faktor lingkungan berdasarkan kondisi pemakaman. Knight
menjelaskan skelet hancur didalam peti mayat karena kondisi tanah. Walaupun tugas
kami memang sulit dari awal, kami telah memverifikasi identitas mayat dan
menentukan penyebab kematian.

Identifikasi mayat?

Setelah melewati pemeriksaan anthropologi dari sisa skelet kami menyimpulkan bahwa
dari pemeriksaan tulang dapat diperkirakan mayat seorang laki-laki dengan tinggi
170cm. Profil ini, dengan menggunakan penyocokan rambut, yang cocok dengan profil
pemain bola tersebut. Identifikasi formal di periksa dengan analisis genetik.

Walaupun, analisis genetik merupakan metode pilihan untuk identifikasi dalam


pemeriksaan forensik, evaluasi anthropologi tetap berkontribusi. Masalah pda analisis
DNA biasanya adalah pengawetan material genetik, dekomposisi oleh bakteri ata
mikroorganisme lainnya dan pajanan agen lingkungan (kelembaban, senyawa organik,
dll) dapat menyebabkan degradasi DNA post-mortem. Kemudian, telah dikonfirmasi
bahwa tulang dan gigi merupakan sampel yang sangat berguna dalam analisis DNA
karena keawetannya yang tahan lama.

Penyebab kematian?

Namun, tanda-tanda trauma dapat muncul pada tulang. Dalam kasus ini, pemeriksaan
forensik telah mengidentifikasi lesi tulang dalam 2 lokasi berbeda, tulang tengkorak dan
tulang panggul. Kami tidak menemukan adanya fraktur atau benda metalik pada tulang.
Lesi yang diperiksa termasuk lubang pada tengkorak, fraktur multipel pada dasar tulang
tengkorak, defek besar pada tulang fasial kiri dan defek pada tulang ilium kanan pada
area yang telah dikuliti dari luar ke dalam.
Kejadian traumatik pada tulang biasanya diklasifikasikan sebagai hasil dari efek driving
force dan projectile, pengaruh benda tumpul atau benda tajam. Umumnya, semua agen
ini menghasilkan tanda spesifik pada tulang yang mudah diidentifikasi pada immediate
post-mortem. Pda sisa tulang, interpretasi dari tanda-tanda tersebut dapat sangat
meragukan.

Dalam kasus ini, penyebab kematian adalah sambaran petir. Petir menyalurkan
kekuatan elektrik yang dihasilkan oleh perubahan dari elektrisitas lingkungan yang
statis. Kemudian, sambaran petir dapat menyebabkan syok elektris, tekanan energi
termal dan ledakan yang sangat besar. Lesi ini biasanya membentuk luka bakar derajat
satu dan dua. Sebagai tambahan, korban bisa terlempar karena tekanan yang sangat
kuat dari sambaran dan mendapatkan cedera sekunder. Biasanya, patah tulang (tulang
panjang, tengkora dan tulang belakang) mungkin disebabkan oleh kontaksi otot yang
intensif ata karen trauma benturan. Biasanya patahan pada tulang berupa garis linear.
Walaupun dampak bbenturan pada temporal bagian atas atau area perieto-temporal
dapat menyebabkan patah yang m,embentuk fisura yang berjalan melingkar melewati
area temporal. Sebagai pertimbangan dari aspek fraktur dan defek tulang, sangat jelas
bahwa lesi, yang dijelaskan diatas, tidak dapat dijelaskan oleh luka masuk dan keluarnya
sambaran petir. Sebagai tambahan, mereka tidak bisa disbebkan oleh benturan tumpyl
atau trauma tajam. Meskipun, sangat mirip dengan luka tembak. Dalam beberapa
kasus, aplikasi inovatif dari radiologi sangat berguna. Pencitraan 3-D, kadang digunakan
dalam kasus fraktur cranial dan fasial pada sisa tulang, dapat mempermudah penilaian
fraktur, gambaran detail dari trauma dan memperlihatkan jalur trajectory dalam cedera
multipel. Metode ini juga berpotensi dapat digunakan untuk validasi trajectory peluru.

Berdasarkan hasil temuan dari studi tulang yang mengering dan pencitraan post-
mortem, kami dapat menyimpulkan bahwa:

 Pada tengkorak: terdapat kemungkinan 2 tembakan yang terpisah


- Tembakan pertama bersal dari dinding kanan mata kanan yang
menyebabkan lubang kecil. Kemudian, proyektik menyebabkan perforasi
pada dinding hidung, menyebabkan lubang yang besar pada tulang.
Ledakan dapat menimbulkan fraktur multipel dari dasar tengkorak dan
sinus maksilaris kanan. Kemudian, poyektil mungkin keluar dari temporal
kiri.
- Tembakan kedua mungkin berasal dari garis horizontal pada mandibula
yang terlihat sebagai fraktur dpresi pada tabula eksterna. Kemudian,
tembakan dapat menghancurkan sudut dari serabut saraf ascending
mandibula, bagian terluar dari dinding mata dan tulang zygomaticus kiri.
 Pada panggul: kemungkinan disebabkan karena satu tembakan, diarahkan dari
belakang ke depan dan dari luar ke dalam seperti yang diperlihatkan pada arah
lubang pada tulang.

Walaupun mekanisme balistik dari lesi sangat jelas, kami tidak dapat menentukan lesi
tersebut terbentuk saat ante-mortem atau post-mortem. Tidak ada benda asing yang
ditemukan, peluru kemungkinan sudah hilang dari tubuh. Sebagai tambahan, mungkin
tembakan lain tidak memberikan efek pada tulang dan tidak dapat diidentifikasi pada
sisa tulang. Bagaimanapun, jika tembakan sangat vital, dapat menimbulkan luka yang
fatal.

Вам также может понравиться