Вы находитесь на странице: 1из 45

PRESENTASI KASUS

SEORANG ANAK WANITA 4 TAHUN DENGAN KEJANG


DEMAM SEDERHANA, GLOBAL DELAY DEVELOPMENT,
DAN STATUS GIZI BAIK, NORMOWEIGHT, NORMOHEIGHT

DISUSUN OLEH:
WIDA PRIMA NUGRAHA G99171047 (N-3)
ZUHUD NUR G99162018 (N-6)
CANDA ARDITYA G99161029 (O-11)
DICKY MAULANA G99161034 (O-12)

PEMBIMBING :
Dr AHMAD FAISAL, Sp.A.

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANDAN ARANG
2017

HALAMAN PENGESAHAN

0
Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD
Pandan Arang Boyolali. Presentasi kasus dengan judul:

SEORANG ANAK WANITA 4 TAHUN DENGAN KEJANG DEMAM SEDERHANA,


GLOBAL DELAY DEVELOPMENT, DAN STATUS GIZI BAIK, NORMOWEIGHT,
NORMOHEIGHT

Hari, tanggal : Jumat, 5 Januari 2018

Oleh:
Wida Prima Nugraha G99171047 (N-3)
Zuhud Nur G99162018 (N-6)
Canda Arditya G99161029 (O-11)
Dicky Maulana G99161034 (O-12)

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi Kasus

dr. Ahmad Faizal, Sp.A.


NIP. 19600313 198802 1 003

BAB I

1
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. WTNF
Tanggal lahir : 13 November 2013 (4 tahun 1bulan)
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Candirejo RT 03/RW 01 Candisari, Boyolali
BB : 17 kg
TB : 105 cm
Tanggal masuk : 3 Januari 2018
Tanggal Pemeriksaan : 3 Januari 2018
No. CM : 1652xxxx

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Kejang

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Pandan Arang berasal dari rujukan
dari RS PKU Aisyah. Pasien dibawa oleh kedua orang tuanya ke IGD
dengan keluhan kejang 2 hari SMRS. Kejang disertai dengan demam
tinggi. Saat kejang seluruh tubuh pasien kelojotan. Menurut pengakuan
orang tuanya, kejang hanya terjadi satu kali pada hari itu, dan tidak
berulang kembali. Kejang hanya terjadi kurang dari 30 detik. Setelah
mengalami kejang, pasien masih mengalami demam tinggi. Setelah
kejang, pasien sadar dan menangis. Riwayat kejang sebelumnya diakui
oleh orang tua pasien pada 1 tahun yang lalu.
Ibu pasien menyangkal anaknya sedang batuk dan pilek. Tidak
terdapat cairan yang keluar dari telinga. Riwayat mimisan pada pasien
disangkal. Tidak ada riwayat trauma kepala maupun pijat pada pasien.
Buang air kecil (BAK) berwarna kuning jernih dan pasien tidak

2
menangis saat buang air kecil. Buang air besar (BAB) berwarna kuning
kecoklatan, darah (-), lendir (-)

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan sebelumnya : (+) 1 tahun lalu
Riwayat kejang tanpa demam : disangkal
Riwayat batuk pilek : disangkal
Riwayat demam berdarah : disangkal
Riwayat bepergian ke daerah endemik malaria : disangkal
Riwayat trauma kepala dan pijat : disangkal
Riwayat mondok : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat kejang : disangkal
Riwayat epilepsi : disangkal
Riwayat BAB cair : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat batuk lama : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal

5. Riwayat Lingkungan Sekitar


Berdasarkan alloanamnesis dengan ibu pasien, pasien tinggal
dengan kedua orang tuanya. Tetangga pasien tidak ada yang
mengeluhkan keluhan serupa dengan pasien.

6. Riwayat Kehamilan dan Prenatal

3
Ibu pasien hamil dalam usia 25 tahun dan merupakan kehamilan
yang ketiga. Ibu pasien mengaku tidak merasakan keluhan apapun saat
hamil. Ante natal care dilakukan secara rutin setiap bulan di bidan desa.
Ibu pasien mengaku mendapatkan suplemen tambah darah dari bidan.
Ibu pasien tidak mengonsumsi obat-obatan.

7. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir spontan di bidan desa saat usia kehamilan 37 minggu,
dengan berat lahir 3200 gram, panjang badan 49 cm, menangis spontan
(+), kebiruan (-) dan geraknya aktif (+).

8. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


a. DENVER DEVELOPMENTAL SCREEENING TEST
Hasil tes perkembangan Denver yaitu, personal sosial mengalami
keterlambatan setara dengan usia 14 bulan, adaptif-motorik halus
mengalami keterlambatan setara dengan usia 9 bulan. Pada motorik kasar
mengalami keterlambatan setara dengan usia 12 bulan dan kemampuan
bahasa mengalami keterlambatan setara dengan anak usia 15 bulan.
Ditemukan keterlambatan dalam aspek personal sosial, adaptif motorik
halus, adaptif motorik kasar, dan bahasa dan didiagnosis dengan suspek
global delay development.
Kesan : suspek global delay development
9. Status Imunisasi
Jenis 0 I
Hepatitis B 0 bulan 2 bulan
Polio 0 bulan 2 bulan
BCG 1 bulan
DPT 2 bulan

Kesan : imunisasi dasar telah lengkap sesuai jadwal Kemenkes 2017

10. Riwayat Nutrisi

4
ASI eksklusif diberikan sejak lahir sampai sekarang, diberikan
setiap kali menangis. Pasien juga sering mendapatkan minum air putih
dan teh dari ibunya.
Kesan : kualitas dan kuantitas asupan gizi cukup.

11. Riwayat Sosial


Pasien merupakan anak kedua dari Tn S yang bekerja sebagai
buruh tani, sedangkan ibu pasien adalah ibu rumah tangga. Ayah Ibu
pasien merupakan suku Jawa. Ayah, Ibu, dan pasien beragama Islam.
Pasien memeriksakan diri ke RSUD Pandan Arang Boyolali
menggunakan layanan BPJS kelas III.

12. Pohon Keluarga

An. WTNF
(4 tahun)

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Sikap / keadaan umum : tampak sakit sedang
Derajat kesadaran : kompos mentis
Derajat gizi : baik
2. Tanda vital
BB : 17 kg

5
PB : 105 cm
SiO2 : 97%
Nadi : 126 x/menit, reguler
Pernafasan : 26 x/menit, reguler
Suhu : 37,1 C (per axilla)
3. Perhitungan Status Gizi
a) Secara klinis
Gizi kesan baik
b) Secara Antropometris
BB : 17 kg, Umur : 4 tahun 1 bulan, PB : 105 cm
BB/U : 17/4 90<P<110 (normoweight)
PB/U : 105/4 90<P<110 (normoheight)
BB/TB : 17/105 90<P<110 (gizi baik)
Status gizi secara antropometri: gizi baik, normoweight,
normoheight
4. Kepala
Normosefal, lingkar kepala (LK): 51 cm (-2 SD < LK < +2 SD)
(Nellhaus).
5. Mata
Oedem palpebra (-/-), bulu mata rontok (-), konjunctiva pucat (-/-),
cekung (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+ 3 mm/ + 3mm), air mata
(+/+)
6. Hidung
Napas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (-/-)
7. Mulut
Bibir sianosis (-), mukosa basah (+), lidah kotor dan hiperemis (-)
8. Telinga
Sekret (-/-), tragus pain (-/-)
9. Tenggorok
Uvula di tengah, tonsil T1-T1, hiperemis (-), faring hiperemis (-)
10. Leher

6
Bentuk normocolli, trakea di tengah, kelenjar getah bening tidak
membesar
11. Toraks
Bentuk : normochest, retraksi (-)
Pulmo : Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba sulit dievaluasi
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar: vesikuler (+/+), suara
tambahan: RBH (-/-), RBK (-/-), wheezing
(-/-)
Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal,
regular, bising (-)
12. Abdomen
Inspeksi : dinding perut lebih tinggi dari dinding dada
Auskultasi : bising usus (+)
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, ascites (-),
pekak alih (-), undulasi (-), nyeri tekan (-), turgor kulit
kembali cepat

13. Ekstremitas
Akral dingin - - edema - -
- - - -
ADP kuat
CRT < 2 detik

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

7
Pemeriksaan 4/1/18 Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 10.8↓ g/dl 11.1 – 14.1
Hematokrit 33.2↓ % 34 – 40
Leukosit 13.3 ribu/ul 4.5 – 14.5
Eritrosit 3.76↓ juta/ul 4.00 - 5.20
Trombosit 175 ribu/ul 150 – 450
Protein plasma - g/dl 6–8
INDEX ERITROSIT
MCV 88.3 /um 80.0 - 100.0
MCH 28 Pg 27.0 - 32.0
MCHC 32.6 g/dl 32.0 - 36.0
RDW 13.2 % 11.6 - 14.6
HITUNG JENIS
Eosinofil 0.0↓ % 1–3
Basofil 0.0 % 0–1
Neutrofil 72.4↑ % 50 – 70
segmen
Limfosit 23 % 20 – 40
Monosit 4.3 % 2–8

E. RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Pandan Arang berasal dari rujukan dari
RS PKU Aisyah. Pasien dibawa oleh kedua orang tuanya ke IGD dengan
keluhan kejang 2 hari SMRS. Kejang disertai dengan demam tinggi. Saat
kejang seluruh tubuh pasien kelojotan. Menurut pengakuan orang tuanya,
kejang hanya terjadi satu kali pada hari itu, dan tidak berulang kembali.
Kejang hanya terjadi kurang dari 30 detik. Setelah mengalami kejang, pasien
masih mengalami demam tinggi. Setelah kejang, pasien sadar dan menangis.
Riwayat kejang sebelumnya diakui oleh orang tua pasien pada 1 tahun yang
lalu.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan didapatkan pasien tampak
sakit sedang, BB: 17 kg, PB: 105 cm, SiO2: 97%, nadi: 126 x/menit,
pernafasan: 26 x/menit, peningkatan suhu mencapai 37,1 ˚C.

8
F. DAFTAR MASALAH
1. Anamnesis:
a. Demam tinggi 2 hari SMRS
b. Kejang disertai demam 1x selama 30 detik pada seluruh tubuh
sebelum masuk rumah sakit
c. Tidak ditemukan batuk, pilek, keluar cairan dari telinga, dan
mimisan
d. Tidak ada keluhan mual muntah, perut kembung, dan nyeri tekan
perut
e. Tidak ada riwayat trauma kepala dan pijat bayi

2. Pemeriksaan Fisik:
a. Nadi 126 kali/menit
b. Pernapasan 26 kali/menit
c. Suhu: 37,1o C per axilla
d. CRT < 2 detik
e. ADP kuat

G. DIAGNOSIS BANDING
1. Kejang demam sederhana
2. Kejang demam kompleks
3. suspek global delay development
4. Gizi baik, normoweight, normoheight (antropometri)

H. DIAGNOSIS KERJA
1. Kejang demam sederhana
2. suspek global delay development
3. Gizi baik, normoweight, normoheight (antropometri)

9
I. PENATALAKSANAAN
1. IVFD D5 1/4 NS 20 tpm
2. Inj Stesolid 5 mg bila kejang
3. Inj Antrain 75 mg/8 jam
4. Cefixime pulv peroral 25 mg/12 jam
5. Interzinc syr peroral 10 mg/24 jam

J. PLAN
1. EEG
2. Lumbal Pungsi
3. Skrining pendengaran dengan BERA Test
4. Fisioterpi
5. Terapi wicara.
6. Terapi okupasi.

K. MONITORING
Keadaan umum, tanda vital, balance cairan dan diuresis tiap 8 jam.

L. EDUKASI
1. Mengenai penyakit pasien.
2. Mengenai pengobatan dan kesembuhan pasien.
3. Mengenai kemungkinan dan cara pencegahan kekambuhan penyakit
pasien.

M. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

10
BAB II
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini diagnosis kejang demam sederhana dan diare akut tanpa
dehidrasi ditegakkan berdasarkan:

A. Anamnesis
1. Pasien mengalami demam tinggi sejak 12 jam sebelum masuk rumah
sakit. Demam semakin tinggi dan tidak turun walaupun sudah
dikompres dengan air hangat.
2. Pasien mengalami kejang disertai demam sebanyak satu kali selama 10
menit pada seluruh tubuh. Saat kejang badan pasien kaku dan mata
melirik ke atas. Kejang berhenti sendiri dan tidak berulang. Setelah
kejang, pasien sadar dan menangis. Riwayat kejang pada pasien
sebelumnya disangkal.
3. Pasien mengalami BAB cair berlendir kehijauan tanpa disertai darah
sebanyak 4 kali di pempes sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit.
Tidak ada keluhan mual dan muntah pada pasien. Perut kembung dan
nyeri juga disangkal pada pasien. Pasien masih mau minum ASI.
4. Tidak ada riwayat batuk dan pilek pada pasien. Tidak terdapat cairan
yang keluar dari telinga. Riwayat mimisan pada pasien juga disangkal.
Tidak ada riwayat trauma kepala maupun pijat pada pasien. Buang air
kecil (BAK) berwarna kuning jernih dan pasien tidak menangis saat
buang air kecil.

B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang
2. Tanda vital pasien: SiO2 : 99%, nadi : 160 x/ menit reguler,
pernafasan : 30 x/menit reguler, suhu: 38.9º C (per axilla)
3. Bising usus meningkat 18 kali/ menit
4. ADP kuat, CRT < 2 detik
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium darah didapatkan Hemoglobin 8.3 g/dL,
Hematokrit turun menjadi 25%, Eritrosit 3.02 juta/ul, Eosinofil turun
menjadi 0.2 %, Neutrofil segmen turun menjadi 43.9 %, Limfosit
meningkat menjadi 42.8 %, dan Monosit meningkat menjadi 12.2 %.

2. Pemeriksaan urin lengkap dalam batas normal.

Kejang demam sederhana merupakan kejang demam yang berlangsung


singkat, kurang dari 15 menit, dan dapat berhenti sendiri. Kejang dapat
berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak
berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan tipe
kejang demam yang paling sering ditemukan. Sekitar 80% dari seluruh kasus
kejang demam merupakan kejang demam sederhana.
Diare cair akut merupakan diare yang terjadi secara akut dan berlangsung
kurang dari 14 hari (bahkan kebanyakan kurang dari 7 hari), dengan
pengeluaran tinja yang lunak/cair. Mungkin disertai muntah dan panas. Diare
cair akut menyebabkan dehidrasi, dan bila masukan makanan kurang dapat
mengakibatkan kurang gizi.
Kriteria rawat inap pada pasien anak dengan diare akut tanpa dehidrasi
adalah apabila terdapat komplikasi lain, seperti tidak mau minum, muntah
terus-menerus, diare frekuen, kejang, atau memerlukan observasi lebih lanjut
untuk menegakkan etiologi dari diare tersebut.
Penegakan diagnosis pada pasien ini dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Dari anamnesis didapatkan demam tinggi sejak 12 jam sebelum masuk
rumah sakit dan tidak turun walaupun sudah dikompres dengan air hangat,
kejang satu kali selama 10 menit pada seluruh tubuh, diare cair sebanyak 4
kali sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit. Tidak ditemukan tanda dehidrasi
pada pasien ini dan pasien masih mau minum ASI dengan lahap.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya demam dan bising usus yang
meningkat. Dari hasil pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah
lengkap, didapati adanya anemia, neutropenia, limfositosis, peningkatan

12
monosit, penurunan hematokrit, serta penurunan kadar eosinofil. Pemeriksaan
urin lengkap dalam batas normal.

13
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1.1 DEFINISI

3.1.1.1 Kejang

Sebelum memahami definisi mengenai kejang, perlu kita ketahui tentang


seizure dan konvulsi. Yang dimaksud dengan seizure adalah cetusan aktivitas
listrik abnormal yang terjadi secara mendadak dan bersifat sementara di antara
saraf-saraf di otak yang tidak dapat dikendalikan. Akibatnya, kerja otak
menjadi terganggu. Manifestasi dari seizure bisa bermacam-macam, dapat
berupa penurunan kesadaran, gerakan tonik (menjadi kaku) atau klonik
(kelojotan), konvulsi dan fenomena psikologis lainnya. Kumpulan gejala
berulang dari seizure yang terjadi dengan sendirinya tanpa dicetuskan oleh hal
apapun disebut sebagai epilepsi (ayan). Sedangkan konvulsi adalah gerakan
mendadak dan serentak otot-otot yang tidak bisa dikendalikan, biasanya
bersifat menyeluruh. Hal inilah yang lebih sering dikenal orang sebagai
kejang. Jadi kejang hanyalah salah satu manifestasi dari seizure.1

3.1.1.2 Kejang Demam

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal > 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Menurut Consensus Statment on Febrile Seizures, kejang demam adalah suatu
kejadian pada bayi dan anak biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun
berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial
atau penyebab tertentu.1,2 Definisi kejang demam menurut International
League Against Epilepsy (ILAE) adalah kejang yang terjadi setelah usia 1
bulan yang berkaitan dengan demam yang bukan disebabkan oleh infeksi
susunan saraf pusat, tanpa riwayat kejang sebelumnya pada masa neonatus
dan tidak memenuhi kriteria tipe kejang akut lainnya misalnya karena
keseimbangan elektrolit akut.3,4

14
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun.
Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami
kejang didahului dengan demam pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi
susunan saraf pusat atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. 2,5
Anak yang pernah kejang tanpa demam kemudian mengalami kejang
demam kembali dan bayi yang berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk
dalam definisi kejang demam. Derajat tingginya demam yang dianggap cukup
untuk diagnosis kejang demam ialah 38 oC atau lebih, tetapi suhu sebenarnya
saat kejang berlangsung sering tidak diketahui.2,5
Kejang demam kompleks ialah kejang demam yang lebih lama dari 15
menit, fokal atau multipel (lebih daripada 1 kali kejang per episode demam)
sedangkan kejang demam sederhana ialah kejang demam yang berlangsung
singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang
berbentuk umum tonik dan atau klonik tanpa gerakan fokal, kejang tidak
berulang dalam waktu 24 jam. Kejadian kejang demam sederhana yaitu 80%
di antara seluruh kejang demam. 2,5
Jika kejang yang disertai demam terjadi selama lebih dari 30 menit baik
satu kali atau multipel tanpa kesadaran penuh diantara kejang maka
diklasifikasikan sebagai status epileptikus yang diprovokasi demam. Kejadian
ini berkisar 5 % dari keseluruhan kejang yang disertai demam.4
Faktor yang penting pada kejang demam ialah demam, umur, genetik,
prenatal dan perinatal. Demam sering disebabkan infeksi saluran pernapasan
atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih.
Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang paling tinggi, terkadang kejang
terjadi pada demam yang tidak begitu tinggi. Bila hal ini terjadi maka anak
tersebut memiliki resiko tinggi untuk berulangnya kejang. 2
3.1.2. EPIDEMIOLOGI
Kejang sangat tergantung kepada umur, 85% kejang pertama sebelum
berumur 4 tahun yaitu terbanyak di antara umur 17-23 bulan. Hanya sedikit
yang mengalami kejang demam pertama sebelum berumur 5-6 bulan atau
setelah berumur 5-8 tahun. Biasanya setelah berumur 6 tahun pasien tidak
kejang demam lagi namun, beberapa pasien masih dapat mengalami kejang
demam sampai umur lebih dari 5-6 tahun. Dua sampai lima persen anak

15
dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam, insiden
bangkitan kejang tertinggi pada usia 18 bulan dan lebih sering pada anak
laki-laki.2 Gen yang dicurigai berperan dengan terjadinya kejang demam
antara lain: FEB1 (8q), FEB2 (19q), FEB3 (5q),SCAN1A (2q), dan
SCAN1B (19q)
Di Amerika Serikat insiden kejang demam berkisar antara 2-5% pada
anak umur kurang dari 5 tahun. Di Asia angka kejadian kejang demam
dilaporkan lebih tinggi dan sekitar 80-90% dari seluruh kejang demam adalah
kejang demam sederhana. Di Jepang angka kejadian kejang demam adalah 9-
10%.3,6
Prognosis kejang demam mempunyai angka kematian hanya 0,64% -
0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna,
sebagian berkembang menjadi epilepsi sebanyak 2-7%. Empat persen
penderita kejang demam secara bermakna mengalami gangguan tingkah
laku serta penurunan intelegensi dan pencapaian tingkat akademik. 1

3.1.3 MANIFESTASI KLINIS

Bangkitan kejang pada bayi dan anak-anak sering terjadi bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, biasanya berkembang bila suhu
tubuh mencapai 39°C atau lebih, disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf
pusat (ISPA, OMA, dan lainya). Serangan kejang biasanya terjadi 24 jam
pertama sewaktu demam. Kejang dapat bersifat tonik-klonik, tonik, klonik,
fokal, atau akinetik.

Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang


klonik atau tonik-klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah
kejang berhenti, anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi
setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa
defisit neurologis. Kejang demam kompleks dapat diikuti oleh hemiparesis
sementara (hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jam sampai
beberapa hari.2,7
3.1.4 KLASIFIKASI KEJANG

16
Kejang diklasifiaksikan sebagai parsial atau generalisata berdasarkan apakah
kesadaran utuh atau lenyap. Kejang dengan kesadaran utuh disebut sebagai
kejang parsial. Kejang parsial dibagi lagi menjadi parsial sederhana
(kesadaran utuh) dan parsial kompleks (kesadaran berubah tetapi tidak hilang).
1. Kejang parsial
Kejang parsial dimulai di suatu daerah di otak, biasanya korteks
serebrum. Gejala kejang ini bergatung pada lokasi fokus di otak.
Sebagai contoh, apabila fokus terletak di korteks motorik, maka gejala
utama mungkin adalah kedutan otot; sementara, apabila fokus terletak
di korteks sensorik, maka pasien mengalami gejala – gejala sensorik
termasuk baal, sensasi seperti ada yang merayap, atau seperti
tertusuk-tusuk. Kejang sensorik biasanya disertai beberapa gerakan
klonik, karena di korteks sensorik terdapat beberapa reprsentasi
motorik. Gejala autonom adalah kepucatan, kemerahan, berkeringat,
dan muntah. Gangguan daya ingat, disfagia, dan de ja vu adalah
contoh gejala psikis pada kejang parsial. Sebagian pasien mungkin
mengalami perluasan ke hemisfer kontralateral disertai hilangnya
kesadaran.
Lepas muatan kejang pada kejang parsial kompleks (dahulu
dikenal sebagai kejang psikomotor atau lobus temporalis) sering
berasal dari lobus temporalis medial atau frontalis inferior dan
melibatkan gangguan pada fungsi serebrum yang lebih tinggi serta
proses-proses pikiran, serta perilaku motorik yang kompleks. Kejang
ini dapat dipicu oleh musik, cahaya berkedip-kedip, atau rangsangan
lain dan sering disertai oleh aktivitas motorik repetitif involunta yang
terkoordinasi yang dikenal sebagai perilaku otomatis (automatic
behavior). Contoh dari perilaku ini adalah menarik-narik baju,
meraba-raba benda, bertepuk tangan, mengecap-ngecap bibir, atau
mengunyah berulang-ulang. Pasien tetap sadar selama serangan tetapi
umumnya tidak dapat mengingat apa yang terjadi. kejang parsial
kompleks dapat meluas dan menjadi kejang generalisata.
2. Kejang Generalisata

17
Kejang generalisata melibatkan seluruh korteks serebrum dan
diensefalon serta ditandai dengan awitan aktivitas kejang yang bilateral
dan simetrik yang terjadi di kedua hemisfer tanpa tanda-tanda bahwa
kejang berawal sebagai kejang fokal. Pasien tidak sadar dan tidak
mengetahui keadaan sekeliling saat mengalami kejang. Kejang ini
muncul tanpa aura atau peringatan terlebih dahulu. Terdapat beberapa
tipe kejang generalisata antara lain kejang absence, kejang tonik-
klonik, kejang mioklonik, kejang atonik, kejang tonik dan kejang
klonik.
a. Kejang absence (petit mal)
Ditandai dengan hilangnya kesadaran secara singkat, jarang
berlangsung lebih dari beberapa detik. Sebagai contoh, mungkin
pasien tiba-tiba menghentikan pembicaraan, menatap kosong, atau
berkedip-kedip dengan cepat. Pasien mungkin mengalami satu atau
dua kali kejang sebulan atau beberapa kali sehari. Kejang absence
hampir selalu terjadi pada anak; awitan jarang dijumpai setelah
usia 20 tahun. Serangan-serangan ini mungkin menghilang setelah
pubertas atau diganti oleh kejang tipe lain, terutama kejang tonik-
klonik.

b. Kejang tonik-klonik (grand mal)


Kejang tonik-klonik adalah kejang epilepsi yang klasik. Kejang
tonik-klonik diawali oleh hilangnya kesadaran dengan cepat. Pasien
mungkin bersuara menangis, akibat ekspirasi paksa yang
disebabkan oleh spasme toraks atau abdomen. Pasien kehilangan
posisi berdirinya, mengalami gerakan tonik kemudian klonik, dan
inkontenesia urin atau alvi (atau keduanya), disertai disfungsi
autonom. Pada fase tonik, otot-otot berkontraksi dan posisi tubuh
mungkin berubah. Fase ini berlangsung beberapa detik. Fase klonik
memperlihatkan kelompok-kelompok otot yang berlawanan
bergantian berkontraksi dan melemas sehingga terjadi gerakan-
gerakan menyentak. Jumlah kontraksi secara bertahap berkurang
tetapi kekuatannya tidak berubah. Lidah mungkin tergigit; hal ini

18
terjadi pada sekitar separuh pasien (spasme rahang dan lidah).
Keseluruhan kejang berlangsung 3 sampai 5 menit dan diikuti oleh
periode tidak sadar yang mungkin berlangsung beberapa menit
sampai selama 30 menit. Setelah sadar pasien mungkin tampak
kebingungan, agak stupor, atau bengong. Tahap ini disebut sebagai
periode pascaiktus. Umumnya pasien tidak dapat mengingat
kejadian kejangnya.
Kejang tonik-klonik demam, yang sering disebut sebagai
kejang demam, paling sering terjadi pada anak berusia kurang dari
5 tahun. Teori menyatakan bahwa kejang ini disebabkan oleh
hipernatremia yang muncul secara cepat yang berkaitan dengan
infeksi virus atau bakteri. Kejang ini umumnya berlangsung
singkat, dan mungkin terdapat predisposisi familial. Pada beberapa
kasus, kejang dapat berlanjut melewati masa anak dan anak
mungkin mengalami kejag non demam pada kehidupan
selanjutnya.
c. Kejang mioklonik
Kontraksi mirip syok mendadak yang terbatas dibeberapa otot atau
tungkai, cenderung singkat.
d. Kejang atonik
Hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lemahnya postur
tubuh.
e. Kejang klonik
Gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tungal atau
multipel di lengan, dan tungkai.
f. Kejang tonik
Peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku, kontaksi) wajah
dan tubuh bagian atas, fleksi lengan dan ekstensi tungkai, mata dan
kepala mungkin berputar ke satu sisi, dapat menyebabkan henti
nafas.

Kejang demam dibagi atas kejang demam sederhana dan kejang demam
kompleks.

1. Kejang Demam Sederhana

19
Adalah kejang yang terjadi pada umur antara 6 bulan sampai 5 tahun,
berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan
berhenti sendiri. Kejang bersifat umum tonik dan atau klonik, tanpa
gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Frekwensi
kejang kurang dari 4x/ tahun, dan biasanya kejang timbul dalam 16
jam sesudah kenaikan suhu. Kejang demam sederhana merupakan 80%
di antara seluruh kejang demam.4

2. Kejang Demam Kompleks


Adalah kejang demam yang berlangsung lebih dari 15 menit, atau
berulang dalam 24 jam. Kejang bersifat fokal atau parsial satu sisi,
atau kejang umum didahului kejang parsial.4
Perbedaan kejang demam sederhana (KDS) dan kompleks (KDK)
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Perbedaan kejang demam sederhana dan kompleks1

Selain klasifikasi diatas, terdapat juga klasifikasi lain, yaitu klasifikasi


Livingston. Klasifikasi ini dibuat karena jika anak kejang maka akan
timbul pertanyaan, dapatkah diramalkan dari sifat dan gejala mana yang
memiliki kemungkinan lebih besar untuk menderita epilepsi. Livingston
(1954) membagi kejang demam atas 2 golongan : 5
1. Kejang demam sederhana (simple febrile convulsion)
2. Epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsy triggered off by fever)

20
Modifikasi Livingston diatas dibuat untuk diagnosis kejang demam sederhana
adalah:
1. Umur anak ketika kejang adalah 6 bulan dan 4 tahun
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit
3. Kejang bersifat umum
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal
tidak menunjukkan kelainan
7. Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.

Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh
kriteria modifikasi diatas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh
demam. Kejang kelompok kedua ini memiliki kelainan yang menyebabkan
timbulnya kejang, sedangkan demam hanya merupakan faktor pencetus saja.

3.1.5 FAKTOR RISIKO KEJANG DEMAM

Terdapat enam faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam, yaitu:
demam, usia, riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil,
riwayat pre-eklamsi pada ibu, hamil primi/multipara, pemakaian bahan
toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah, usia kehamilan,
partus lama, cara lahir) dan faktor paskanatal (kejang akibat toksik, trauma
kepala).1,6

1. Faktor demam.
Demam ialah hasil pengukuran suhu tubuh di atas 37,80 oC aksila atau di
atas 38,30 oC rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi
yang tersering pada anak disebabkan oleh infeksi dan infeksi virus
merupakan penyebab terbanyak. Demam merupakan faktor utama
timbulnya bangkitan kejang. 1
Kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang
dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada
kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan
suhu tubuh satu derajat celsius akan meningkatkan metabolisme

21
karbohidrat sebesar 10-15%, sehingga meningkatkan kebutuhan glukosa
dan oksigen. 1,8
Demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk
jaringan otak. Pada keadaan hipoksia, otak akan kekurangan energi
sehingga menggangu fungsi normal pompa Na+. Permeabilitas membran
sel terhadap ion Na+ meningkat, sehingga menurunkan nilai ambang
kejang dan memudahkan timbulnya bangkitan kejang. Demam juga dapat
merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu. 1,8
Bangkitan kejang demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh
berkisar 38,90°C-39,90°C (40 -56%). Bangkitan kejang terjadi pada suhu
tubuh 37°C-38,90°C sebanyak 11% dan sebanyak 20% kejang demam
terjadi pada suhu tubuh di atas 40oC. 1
2. Faktor usia
Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu 1:
1. Neurulasi
2. Perkembangan prosensefali
3. Proliferasi neuron
4. Migrasi neural
5. Organisasi
6. Mielinisasi.

Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi sampai


migrasi neural. Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi masih
berlanjut sampai tahun-tahun pertama paskanatal. Kejang demam terjadi
pada fase perkembangan tahap organisasi sampai mielinisasi. Fase
perkembangan otak merupakan fase yang rawan apabila mengalami
bangkitan kejang, terutama fase perkembangan organisasi.1
Pada keadaan otak belum matang (developmental window), reseptor
untuk asam glutamat sebagai reseptor eksitator padat dan aktif,
sebaliknya reseptor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak
belum matang eksitasi lebih dominan dibanding inhibisi. 1,8
Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptid
eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang
kadar CRH di hipokampus tinggi dan berpotensi untuk terjadi bangkitan
kejang apabila terpicu oleh demam. 1,8

22
Anak pada masa developmental window merupakan masa
perkembangan otak fase organisasi yaitu saat anak berusia kurang dari 2
tahun. Pada masa ini, apabila anak mengalami stimulasi berupa demam,
maka akan mudah terjadi bangkitan kejang. 1,8
Sebanyak 4% anak akan mengalami kejang demam dan 90% kasus
terjadi pada anak antara usia 6 bulan sampai dengan 5 tahun, dengan
kejadian paling sering pada anak usia 18 sampai dengan 24 bulan.1
3. Riwayat keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan
kejang demam. Pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak
ditemukan sekitar 60-80%.
Apabila salah satu orang tua memiliki riwayat kejang demam maka
anaknya beresiko sebesar 20-22%. Apabila kedua orang tua mempunyai
riwayat pernah menderita kejang demam maka resikonya meningkat
menjadi 59-64%. Sebaliknya apabila kedua orangtuanya tidak mempunyai
riwayat kejang demam maka risiko terjadi kejang demam hanya 9%.
Pewarisan kejang demam lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah yaitu
27% berbanding 7%.1
4. Faktor Prenatal dan Perinatal
Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat
mengakibatkan berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan.
Komplikasi kehamilan diantaranya hipertensi dan eklamsia, sedangkan
gangguan pada persalinan diantaranya trauma persalinan. Hipertensi pada
ibu dapat menyebabkan aliran darah ke plasenta berkurang sehingga
berakibat keterlambatan pertumbuhan intrauterin, prematuritas dan
BBLR. Komplikasi persalinan diantaranya partus lama. Keadaan tersebut
dapat mengakibatkan janin dengan asfiksia sehingga akan terjadi hipoksia
dan iskemia. Hipoksia mengakibatkan lesi pada daerah hipokampus,
rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi,
sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai
seperti demam.1
5. Faktor Pascanatal

23
Risiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila
serangan berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi sistem saraf
pusat seperti meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi
lainnya. Ensefalitis virus berat seringkali mengakibatkan terjadinya
kejang. Di negara-negara barat penyebab yang paling umum adalah virus
Herpes simplex (tipe l) yang menyerang lobus temporalis. Selain infeksi,
ditemukan bukti bahwa cedera kepala memicu kejadian kejang demam
pada anak sebesar 20,6%.1
3.1.6 PATOGENESIS KEJANG DEMAM
Untuk mempertahankan hidupnya, sel otak membutuhkan energi yaitu
senyawa glukosa yang didapat dari proses metabolisme sel. Sel-sel otak
dikelilingi oleh membran yang dalam keadaan normal membran sel neuron
dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh
ion natrium (Na+) dan elektrolit lain kecuali clorida (Cl-). Akibatnya
konsentrasi ion K+ di dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi ion Na+ rendah.
Keadaan sebaliknya terjadi di luar sel neuron. Karena perbedaan jenis dan
konsentrasi ion di dalam dan di luar sel tersebut maka terjadi beda potensial
yang disebut ‘Potensial Membran Sel Neuron’.

Gambar 1. Potensial Membran Sel Neuron1

24
Untuk menjaga keseimbangan potensial membran sel diperlukan
energi dan enzim Na-K-ATP ase yang terdapat di permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran sel dipengaruhi oleh:
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
2. Rangsangan yang datangnya mendadak baik rangsangan mekanis,
kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya.
3. Perubahan patofisiologi dari membran karena penyakit atau faktor
keturunan.
Sebuah potensial aksi akan terjadi akibat adanya perubahan
potensial membran sel yang didahului dengan stimulus membrane sel
neuron. Saat depolarisasi, channel ion Na+ terbuka dan channel ion K+
tertutup. Hal ini menyebabkan influx dari ion Na+, sehingga menyebabkan
potensial membran sel lebih positif, sehingga terbentuklah suatu potensial
aksi. Dan sebaliknya, untuk membuat keadaan sel neuron repolarisasi,
channel ion K+ harus terbuka dan channel ion Na+ harus tertutup, agar
dapat terjadi efluks ion K+ sehingga mengembalikan potensial membran
lebih negative atau ke potensial membrane istirahat.

Gambar 2. Depolarisasi dan Repolarisasi 4

Renjatan listrik akan diteruskan sepanjang sel neuron. Dan diantara


2 sel neuron, terdapat celah yang disebut sinaps, yang menghubungkan
akson neuron pre-sinaps dan dendrite neuron post sinaps. Untuk
menghantarkan arus listrik pada sinaps ini, dibutuhkan peran dari suatu
neurotransmitter.
Ada dua tipe neurotransmitter, yaitu :

25
1. Eksitatorik, neurotransmiter yang membuat potensial membrane
lebih positif dan mengeksitasi neuron post sinaps
2. Inhibitorik, neuritransmiter yang membuat potensial membrane
lebih negative sehingga menghambat transmisi sebuah impuls.
Sebagai contoh : GABA (Gamma Aminobutyric Acid). Dalam
medis sering digunakan untuk pengobatan epilepsy dan hipertensi.

Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan


listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada
neuron tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel
syaraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial membran.
Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel.
Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan ekstrasel. Dalam keadaan
istirahat potensial membran berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial
membran ini akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan.

Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori yaitu 1 :


- Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K,
misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan
pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi
hipoksemia.
- Perubahan permeabilitas sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan
hipomagnesemia.
- Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan
dengan neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang
berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat
akan menimbulkan kejang.

Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, pada


keadaan demam, kenaikan suhu 1o C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan peningkatan kebutuhan oksigen sampai
20%. Jadi pada kenaikan suhu tertentu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi
ion kalium dan natrium melalui membran sel, dengan akibat lepasnya

26
muatan listrik yang demikian besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun ke membran sel tetangga dengan bantuan neurotransmitter dan
terjadilah kejang.
Saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak,
jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan
menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin
bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa
hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan
hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi neuron karena
kegagalan metabolisme di otak. 1
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut 1:
- Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang
belum matang/immatur.
- Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang
menyebabkan gangguan permiabilitas membran sel.
- Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat
dan CO2 yang akan merusak neuron.
- Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta
meningkatkan kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan
gangguan aliran ion-ion keluar masuk sel.

27
Pada anak dengan ambang kejang yang rendah kenaikan suhu
sampai 38o C sudah terjadi kejang, Namun pada anak dengan ambang
kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu diatas 40o C.
Terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada anak dengan ambang
kejang rendah. 1
Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak
berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang demam yang
berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai dengan apneu,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skeletal
yang mengakibatkan hipoksemia, hiperkapneu, dan asidosis laktat.
Hipotensi arterial disertai dengan aritmia jantung dan kenaikan suhu tubuh
disebabkan meningkatnya aktivitas berakibat meningkatnya metabolisme
otak.

Gambar 3. Mekanisme terjadinya kejang 1


demam 4
Awal (< 15 menit) Lanjut (15-30 menit) Berkepanjangan (>1jam)
Meningkatnya kecepatan Menurunnya tekanan Hipotensi disertai
denyut jantung darah berkurangnya aliran darah
Meningkatnya tekanan Menurunnya gula serebrum sehingga terjadi
darah darah hipotensi serebrum
Meningkatnya kadar Disritmia Gangguan sawar darah otak
glukosa yang menyebabkan edema
Meningkatnya suhu pusat Edema paru serebrum
tubuh nonjantung
Meningkatnya sel darah
putih
Tabel 1. Efek Fisiologis Kejang 1

Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab terjadinya kerusakan


neuron otak pada kejang yang lama. Faktor yang terpenting adalah
gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga
berakibat meningkatnya permeabilitas vaskular dan udem otak serta
kerusakan sel neuron. Kerusakan anatomi dan fisiologi yang bersifat

28
menetap bisa terjadi di daerah medial lobus temporalis setelah ada
serangan kejang yang berlangsung lama. Hal ini diduga kuat sebagai
faktor yang bertanggung jawab terhadap terjadinya epilepsi.

3.1.7 DIAGNOSIS

Diagnosis kejang demam ditegakkan setelah penyebab kejang yang lain dapat
disingkirkan yaitu meliputi meningitis, ensefalitis, trauma kepala,
ketidakseimbangan elektrolit, dan penyebab kejang akut lainnya. Dari
beberapa diagnosis banding tersebut, meningitis merupakan penyebab kejang
yang lebih mendapat perhatian. Angka kejadian meningitis pada kejang yang
disertai demam yaitu 2-5%. 4
Kejadian demam pada kejang demam biasanya dikarenakan adanya infeksi
pada sistem respirasi atas, otitis media, infeksi virus herpes termasuk roseola.
Lebih dari 50% kejadian kejang demam pada anak kurang dari 3 tahun
berhubungan dengan infeksi virus herpes (Human Herpes Virus 6 dan 7).4
Hal – hal yang perlu ditanyakan saat anamnesis yaitu 9 :
- Adanya kejang, jenis kejang , kesadaran, lama kejang
- Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak
pasca kejang
- Penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala infeksi saluran
napas akut/ISPA, infeksi saluran kemih/ISK. Otitis media akut/ OMA, dan
lainnya)
- Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam
keluarga
- Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah yang
mengakibatkan gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan
hipoksemia, asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia)

Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain 9:


- Kesadaran : apakah terdapat penurunan kesadaran
- Suhu tubuh: apakah terdapat demam

29
- Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, Bruzinski I dan II, Kernique,
Lasuque dan pemeriksaan nervus cranial
- Tanda peningkatan tekanan intrakranial: ubun ubun besar (UUB)
memnonjol, papil edema
- Tanda infeksi di luar susunan saraf pusat seperti infeksi saluran
pernapasan, faringitis, otitis media, infeksi saluran kemih dan lain
sebagainya yang merupakan penyebab demam
- Pemeriksaan neurologi: tonus, motorik, reflex fisiologis, reflex patologis9

Pemeriksaan laboratorium seperti darah rutin tidak begitu bermanfaat


untuk dilakukan pada pasien dengan kejang demam sederhana kecuali jika
terdapat komplikasi atau penyakit lain yang mendasari seperti gangguan
keseimbangan elektrolit yang berkaitan dengan dehidrasi akibat infeksi
saluran gastrointestinal. Pemeriksaan laboratorium sebaiknya dilakukan untuk
mencari penyebab demam diantaranya pemeriksaan kultur urin untuk melihat
ada tidaknya infeksi saluran kemih jika ternyata tidak ditemukan fokus
infeksi dari pemeriksaan fisik. Pemeriksaaan kadar elektrolit seperti kalsium,
fosfor, magnesium dan glukosa yang biasa dilakukan pada pasien kejang
tanpa demam juga kurang memberikan arti yang bermakna jika dilakukan
pada pasien kejang demam sederhana.10
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah EEG
(elektroensefalogram). EEG dapat memperlihatkan gelombang lambat di
daerah belakang yang bilateral, sering asimetris kadang-kadang unilateral.
Perlambatan ditemukan pada 88% pasien bila EEG dikerjakan pada hari
kejang dan ditemukan pada 33% pasien bila EEG dilakukan 3 sampai 7 hari
setelah serangan kejang. Namun, perlambatan EEG ini kurang mempunyai
nilai prognostik dan kejadian kejang berulang dikemudian hari atau
perkembangan ke arah epilepsi. Saat ini sudah tidak dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan EEG pada pasien kejang demam sederhana karena
hasil pemeriksaan yang kurang bermakna.2
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan diagnosis meningitis

30
karena manifestasi klinisnya tidak jelas, oleh karena itu pemeriksaan pungsi
lumbal harus dilakukan pada bayi berumur < 6-12 bulan, sangat dianjurkan
pada bayi berumur 12-18 bulan dan tidak rutin dilakukan pada bayi berumur
>18 tahun jika tidak disertai riwayat dan gejala klinis yang mengarah ke
meningitis.2,4,5,8
Pemeriksaan radiologi tidak begitu memberikan manfaat dalam evaluasi
kejang demam sederhana dan masih kontroversial untuk dilakukan pada
kejang demam kompleks sekalipun. Pemeriksaan radiologi misalnya
Magnetic resonance imaging (MRI) dapat dilakukan untuk mengevaluasi ada
tidaknya kerusakan di otak misalnya di daerah hipokampus jika penyebab
kejang masih belum diketahui.
Secara umum, perlu tidaknya pemeriksaan penunjang dilakukan dapat
dilihat pada tabel di bawah ini7:

Tabel 2. Pemeriksaan penunjang pada kejang yang disertai demam7

Pada kejang demam sederhana tidak diperlukan pemeriksaan penunjang


baik berupa pungsi lumbal, EEG, radiologi maupun biokimia darah karena
kejang demam sederhana didiagnosis berdasarkan gambaran klinis.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding
7
kejang yang disertai dengan demam seperi meningitis Diagnosis kejang
demam sederhana menurut konsensus ikatan dokter anak Indonesia yaitu jika
memenuhi kriteria sebagai berikut 5:
- Terjadi pada anak usia 6 bulan - 5 tahun
- Kejang berlangsung singkat, tidak melebihi 15 menit
- Kejang umumnya berhenti sendiri
- Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik tanpa gerakan fokal

31
- Kejang tidak berulang dalam 24 jam
3.1.8 TATA LAKSANA
Pada tatalaksana kejang demam ada 3 hal yang perlu diperhatikan yaitu 2:
1. Pengobatan fase akut
2. Mencari dan mengobati penyebab
3. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam

Pada waktu pasien datang dalam keadaan kejang maka hal yang harus
dilakukan ialah membuka pakaian yang ketat dan posisi pasien dimiringkan
apabila muntah untuk mencegah aspirasi. Jalan napas harus bebas agar
oksigenasi terjamin. Pengisapan lendir dilakukan secara teratur, diberikan
terapi oksigen dan jika perlu dilakukan intubasi. 2
Awasi keadaan vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan
dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air
hangat dan pemberian antipiretik. Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan
antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di
Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan ketika anak demam
(> 38,5oC). Dosis parasetamol yang digunakan ialah 10-15 mg/kgBB/kali
diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10
mg/kgBB/kali diberikan 3-4 kali sehari.5
Obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang
diberikan secara intravena atau intrarektal. Kadar diazepam tertinggi dalam
darah akan tercapai dalam waktu 1-3 menit apabila diazepam diberikan secara
intravena dan dalam waktu 5 menit apabila diberikan secara intrarektal. Dosis
diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB, diberikan perlahan-lahan dengan
kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit dengan dosis maksimal
20 mg. Untuk memudahkan orangtua di rumah dapat diberikan diazepam
rektal dengan dosis 2,5:
5 mg pada anak dengan berat badan < 10 kg
10 mg untuk berat badan anak > 10 kg
Buccal midazolam (0.5 mg/kg; dosis maximal 10 mg) dikatakan lebih efektif
daripada diazepam per rektal pada anak.11
Tabel 3. Dosis obat anti konvulsi untuk kejang demam11

32
Tatalaksana kejang demam dan kejang secara umum yaitu tampak pada
bagan berikut ini 12:

Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan 12karena sering


Bagan 1. Tatalaksana kejang demam
berulang dan menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Ada 2 cara
profilaksis yaitu proflaksis intermiten pada waktu demam dan profilaksis
terus-menerus dengan antikonvulsan setiap hari. 2
Untuk profilaksis intermiten, antikonvulsan hanya diberikan pada waktu
pasien demam. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk
ke jaringan otak. Diazepam intermiten memberikan hasil lebih baik karena
penyerapannya lebih cepat. Dapat digunakan diazepam intrarektal tiap 8 jam
pada kenaikan suhu mencapai 38,5oC atau lebih yaitu dengan dosis 2:
4 5 mg untuk pasien dengan berat badan < 10 kg
5 10 mg untuk pasien dengan berat badan > 10 kg

33
Diazepam dapat pula diberikan secara oral dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 3 dosis pada waktu pasien demam. Efek samping diazepam
ialah ataksia, mengantuk dan hipotonia.2
Untuk profilaksis terus-menerus dilakukan dengan pemberian fenobarbital
4-5mg/kgBB/hari dengan kadar obat dalam darah sebesar 16µg/ml
menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah berulangnya kejang
demam. Efek samping fenobarbital berupa kelainan watak yaitu iritabel,
hiperaktif, pemarah dan agresif ditemukan pada 30-50% pasien. Efek
samping dapat dikurangi dengan menurunkan dosis fenobarbital.
Obat lain yang dapat digunakan yaitu asam valproat dengan dosis 15-40
mg/kgBB/hari. Fenitoin dan carbamazepin tidak efektif untuk pencegahan
kejang demam. Antikonvulsan profilaksis terus-menerus diberikan selama 1-2
tahun setelah kejang terakhir kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2
bulan. 2
Adapun indikasi profilaksis terus-menerus yaitu sebagai berikut 2:
6 Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau
perkembangan
7 Ada riwayat kejang tanpa demam pada orangtua atau saudara kandung
8 Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan
neurologis sementara dan menetap
9 Kejang demam terjadi pada bayi berumur < 12 bulan atau terjadi kejang
multipel dalam satu episode demam

Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada
saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah
meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya :13
1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik

2. Memberitahukan cara penanganan kejang

3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali

4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus


diingat efek samping obat

34
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang:13
1. Tetap tenang dan tidak panik

2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher

3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring.


Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun
kemungkinan lidah tergigit, sebaiknya jangan memasukkan sesuatu
kedalam mulut

4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang

5. Tetap bersama pasien selama kejang

6. Berikan diazepam rektal dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti

7. Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau
lebih

3.1.9 PROGNOSIS
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah
dilaporkan. Kematian akibat kejang demam juga tidak pernah dilaporkan.
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien
yang memang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif
melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus dan kelainan ini
biasanya terjadi pada kasus kejang yang lama atau kejang berulang baik fokal
atau kejang umum. 3,5
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko
berulangnya kejang yaitu riwayat kejang demam dalam keluarga, usia saat
kejang pertama < 12 bulan, temperatur yang rendah saat kejang (<40°C) dan
timbulnya kejang yang cepat setelah demam. Bila semua faktor tersebut
terpenuhi maka resiko berulangnya kejang demam 80 % sedangkan bila tidak
terdapat faktor tersebut resikonya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang

35
paling besar pada tahun pertama.2,5Faktor risiko lain adalah terjadinya epilepsi
di kemudian hari. Faktor risiko menjadi epilepsi adalah :
1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi
sampai 4% - 6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan
kemungkinan epilepsi menjadi 10% - 49% . 5

DELAYED DEVELOPMENT

3.2.1 DEFINISI

Perkembangan yang terlambat (Developmental Delay) adalah ketertinggalan


secara signifikan pada fisik, kemampuan kognitif, perilaku, emosi, atau
perkembangan sosial seorang anak bila dibandingkan dengan anak normal
seusianya. Seorang anak dengan Global Developmental Delay (GDD) adalah anak
yang tertunda dalam mencapai sebagian besar hingga semua tahapan
perkembangan pada usianya. Ciri khas GDD biasanya adalah fungsi intelektual
yang lebih rendah dari pada anak seusianya disertai hambatan dalam
berkomunikasi yang cukup berarti, keterbatasan kepedulian terhadap diri sendiri,
keterbatasan kemampuan dalam pekerjaan, akademik, kesehatan dan keamanan
dirinya.14,16

3.2.2 EPIDEMIOLOGI

Prevalensi GDD diperkirakan 5-10% dari populasi anak di dunia, sedangkan


angka kejadian GDD diperkirakan 1%-3% anak-anak berumur <5 tahun, dan
sebagian besar anak dengan GDD memiliki kelemahan pada semua tahapan
kemampuannya. Global Delay development merupakan keadaan yang terjadi pada
masa perkembangan dalam kehidupan anak (lahir hingga usia 18 bulan). Sekitar
8% dari seluruh anak usia lahir hingga 6 tahun di dunia memiliki
masalah perkembangan dan keterlambatan pada satu atau lebih area

36
perkembangan. Sementara di Indonesia khususnya di Jakarta, telah dilakukan
Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak (SSDIDTK).
Hasilnya, dari 476 anak yang diberi pelayanan SDIDTK, ditemukan 57 (11,9%)
anak dengan kelainan tumbuh kembang. Adapun lima jenis kelainan tumbuh
kembang yang paling banyak dijumpai adalah Delayed Development (tumbuh
kembang yang terlambat) sebanyak 22 anak, Global Delayed Development
sebanyak 4 anak, gizi kurang sebayak 10 anak, Mikrochepali sebanyak 7 anak dan
anak yang tidak mengalami kenaikan berat badan dalam beberapa bulan terakhir
sebanyak 7 anak. 14,15

3.2.3 ETIOLOGI

Penyebab Terjadinya Developmental delay pada anak-anak diantaranya genetik,


suatu syndrome misalnya pada down syndrome, anak dengan hipotiroid, cedera
kepala, lingkungan anak yang tidak mendukung seperti child abuse, infeksi
perinatal seperti rubella, konsumsi alkohol saat kehamilan, kelahiran premature
dan berat badan lahir rendah, serta kelainan pendengaran dan penglihatan.15

3.2.4 MANIFESTASI KLINIK

Sebagian besar pemeriksaan pada anak dengan delay development difokuskan


pada keterlambatan perkembangan kemampuan kognitif, motorik, atau bahasa.
Gejala yang terdapat biasanya berupa keterlambatan perkembangan sesuai tahap
perkembangan pada usianya seperti anak terlambat untuk bisa duduk, berdiri dan
berjalan. Keterlambatan kemampuan motorik halus dan kasar, rendahnya
kemampuan sosial, perilaku agresif serta masalah dalam berkomunikasi.14,17

3.2.5 DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis pada anak dengan developmental delay didapatkan melalu


riwayat kehidupannya sejak lahir, dimulai waktu prenatal, perinatal, dan postnatal,
disertai riwayat perkembangannya sejak lahir. Selain itu diperlukannya pula
pemeriksaan-pemeriksaan klinis lainnya untuk memastikan adanya masalah

37
perkembangan pada anak tersebut, beserta dilakukannya Developmental Delay
Screening Test.17

Bagan 2. Screening untuk delayed


development15

Denver Developmental Screening Test (DDST) merupakan alat untuk menilai


perkembangan seorang anadk berusia 0 tahun sampai usia 6 tahun.. Metode ini
dikembangkan pada tahun 1967. Tes terdiri hingga 125 item, dibagi menjadi
empat bagian:
 Sosial / pribadi: aspek sosialisasi di dalam dan di luar rumah, misalnya
tersenyum
 Fungsi motorik halus: mata / tangan koordinasi, dan manipulasi benda-
benda kecil, misalnya menggenggam dan menggambar
 Fungsi motorik kasar seperti duduk, berjalan, melompat dan lainnya.
 Bahasa: produksi suara, kemampuan untuk mengenali, memahami, dan
penggunaan bahasa, misalnya kemampuan untuk menggabungkan
kata-kata

38
Fungsi motorik kasar: kontrol motor, duduk, berjalan, melompat, dan
gerakan lainnya

39
Gambar 3. DDST (Denver Developmental Screening Test)17

40
3.2.6 TATA LAKSANA
Tidak ada terapi khusus bagi anak dengan delayed development, tetapi untuk
beberapa keadaan dapat dilakukan penatalaksanaan. Jika ditemukan masalah
dalam pendengaran atau penglihatan dapat dilakukan koreksi dengan merujuk ke
spesialis mata dan THT. Prinsip tatalaksana delayed development adalah dengan
terapi rehabilitasi medik sesuai dengan keterlambatan yang terjadi. Pada pasien
yang mengalami keterlambatan dalam berbicara membutuhkan speech therapy.
Pada anak dengan keterlambatan motorik kasar seperti belum dapat berdiri dan
berjalan dapat dilakukan fisioterapi. Penanganan sebaiknya dilakukan sedini
mungkin sehingga menghindari dan memperkecil kelainan pada masa sekolah.
Fisioterapi merupakan salah satu jenis layanan terapi fisik yang menitikberatkan
untuk menstabilkan atau memperbaiki gangguan fungsi alat gerak/fungsi tubuh
yang terganggu yang kemudian diikuti dengan proses/metode terapi gerak.
Fisioterapi membantu anak mengembangkan kemampuan motorik kasar.
Kemampuan motorik kasar meliputi otot-otot besar pada seluruh tubuh yang
memungkinkan tubuh melakukan fungsi berjalan, melompat, jongkok, dan
seterusnya.16,17

3.2.7 PROGNOSIS
Global Development Delay memiliki kemungkinan penyebab yang beraneka
ragam. Keterlambatan perkembangan dapat terjadi pada otak anak saat otak
terbentuk pada masa gestasi. Penyebab yang mungkin antara lain: lahir prematur,
kelainan genetik dan herediter, infeksi, tetapi seringkali penyebab GDD tidak
dapat ditentukan. Secara umum, perjalanan penyakit GDD tidak memburuk
seiring dengan waktu pertumbuhan anak.16

41
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, pasien tersebut didiagnosis dengan kejang demam
sederhana, diare akut tanpa dehidrasi, dengan status gizi baik
2. Pada pasien tersebut telah dilakukan penanganan yang tepat sesuai
dengan Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010 dan Tatalaksana
Kejang Demam IDAI 2016.

B. Saran
1. Setelah pasien diperbolehkan pulang, sebaiknya dilakukan follow up
kembali untuk mengevaluasi hasil pengobatan.
2. Perlu edukasi pada keluarga pasien untuk menjaga kebersihan
lingkungan dan diri sendiri untuk mencegah terjadinya sakit yang
berulang.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Fuadi F, (2010), Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak, (Tesis),
Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.
2. Soetomenggolo T.S, (1998), Kejang Demam dalam Buku Ajar Neurologi,
IDAI, Jakarta.
3. Jones T, Jacobsen S.J, (2007), Childhood Febrile Seizures: Overview and
Implications, Int. J. Med. Sci. 4(2):110-114.
4. Wolf P, Shinnar S, (2005), Febrile Seizures in Current Management in Child
Neurology, Third Edition.BC Decker Inc.
5. Pusponegoro H.D, Widodo D.P, Ismael S, (2006), Konsensus Penatalaksanaan
Kejang Demam, Unit Kerja Koordinasi Neurologi, Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jakarta.
6. Kusuma D, Yuana I, (2010), Korelasi antara Kadar Seng Serum dengan
Bangkitan Kejang Demam, (Tesis), Magister Ilmu Biomedik dan Program
Pendidikan Dokter Spesialis 1, Ilmu Kesehatan Anak, Universitas
Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.
7. Scheffer I.E, Sadleir L.G, (2007), Febrile Seizures, BMJ;334;307-311.
8. Bahtera T, (2006), Pengelolaan Kejang Demam, Neurologi Anak, FK UNDIP,
Jawa Tengah.
9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2010). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan
Dokter anak Indonesia Jilid 1.
10. Srinivasan J, Wallace K.A., Scheffer I.E., (2005), Febrile Seizures, Australian Family
Physician, Vol. 34, No. 12: 1021-1025.
11. Ministry of Health Service, (2010), Guidelines and Protocols : Febrile
seizures, British Columbia Medical Assosiation.
12. Mangunatmadja, I, Widodo D.P, (2011), Simposium dan Workshop Tata
Laksana Terkini Kejang Demam dan Epilepsi pada Anak, Ikatan Dokter Anak
Indonesia Cabang Kalimantan Barat.
13. Wong V, dkk. Clinical Guideline on Management of Febrile Convulsion. HK J
Pediatri 2002;7:143-151
14. Moersintowarti B.Narendra,dkk. 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja
Jilid 1. Jakarta : Penerbit Sagung Seto
15. Behrman RE., Kliegman RM., Jenson HB. 2004. Nelson textbook of
pediatrics 17th ed. Saunders. Philadelphia. American Academy of Pediatrics.

43
Identifying Infants and Young Children With Developmental Disorders in the
Medical Home: An Algorithm for Developmental Surveillance and Screening.
Pediatrics Volume 118, Number 1, July 2006.
16. Jacoby D. Pustaka Kesehatan Populer (Psikologi). Jakarta: PT. Buana Ilmu
Populer,2009.p.120-25.
17. Oberklaid F. Delayed Development Identification and Management (2005).
Australian Family Physician, Vol 34, No.9, September 2005.

44

Вам также может понравиться