Вы находитесь на странице: 1из 70

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Anatomi pembuluh darah otak

Otak merupakan organ yang paling aktif metabolismenya. Meskipun

beratnya hanya 2% dari berat badan, tetapi ia menerima 17% curah jantung dan

memakai 20% oksigen yang diperlukan oleh tubuh manusia untuk

metabolismenya (irfan, 2012). Otak mendapatkan darah arterial dari sepasang

sistem sirkulasi utama, yang menyalurkan darah ke bagian otak. Sirkulasi utama

tersebut antara lain :

1. Sirkulasi arteri serebri anterior yang memberikan suplai pada sebagian besar

kortex serebri dan massa putih sub kortikal, ganglia basalis, dan kapsula

interna.

2. Sirkulasi arteri serebri posterior memberikan suplai ke korteks oksipital

serebri, lobus temporalis medialis, thalamus, dan bagian rostal dari

mesensefalon (otak tangah).

3. Arteri karotis interna

Arteri karotis komunis memiliki percabangan yaitu arteri karotis interna

dan arteri karotis eksterna. Arteri karotis interna masuk kedalam kanalis

karotikus dan melalui foramen laserum masuk kedalam rongga tengkorak.

Dibelakang foramen optikum, arteri ini menembus duramater dan keluar

dari sinus karotikus yang kemudia bercabang arteria oftalmikus masuk ke

dalam orbita melalui foramen optikum.

7
8

Gambar 2.1 external artery of the head (Atlas Human Anatomy Volume1 14th Edition)

Kemudian arteri ini bercabang menjadi arteri komunikans posterior yang

ke belakang berhubungan dengan arteri serebri posterior, arteri koroidalis

anterior dan kemudian bercabang 2 membentuk arteri serebri media dan

arteri serebri anterior.

Arteri karotis interna mengurus daerah :

a. lobus frontalis, lobus parietalis dan lobus temporalis

b. kapsula interna

c. korpus striatum

d. belahan depan thalamus


9

Pertemuan sepasang arteri Karotis interna dan basilaris akan membentuk

bangunan yg disebut Circulus Willis.

Gambar 2.2 Circulus Willis (Atlas Human Anatomy Volume1 14th Edition)

4. Arteri Vertebralis

Arteri vertebralis kanan merupakan cabnag arteri subclavia kiri,

sedangkan arteri-arteri vertebralis kiri merupakan cabang arteri subclavia

kanan.

Arteria vertebralis berhulu di lengkungan atas arteria subclavia, masuk

kedalam foramen transversum servikal VI, kemudian ke arah kranial melalui

foramen transversaria servikal V, IV, dan III, epistrofeus dan atlas, kemudian
10

menembus duramater, berjalan di depan madulla oblongata ke arah klivus

blumenbachii.

Pada batas bawah pons kedua arteri vertebralis kanan dan kiri bersatu

membentuk satu arteri basalis.

Cabang-cabang penting arteri vertebralis adalah :

a. Arteri spinalis anterior

b. Arteri serebelaris posterior inferior

Cabang arteri basilaris adalah :

a. sepasang arteri serebelaris anterior inferior yang mengurus permukaan

serebellum bagian bawah depan.

b. Arteri auditiva interna

c. Arteri serebelaris superior yang mengurus permukaan atas serebellum.

Arteri ini yang sering pecah pada pendarahan serebellum spontan pada

kasus hipertensi.

d. Arteri serebri posterior kanan dan kiri yang akan berhubungan dengan

arteri serebri media melalui arteri komunikans.

Gambar 2.3 Arteri vertebralis

(Atlas Human Anatomy

Volume1 14th Edition)


11

Arteri vertebralis mengalirkan darah untuk bagian posterior otak, yaitu :

a. Lobus oksipitalis

b. Belahan belakang thalamus

c. Mesensefalon, pons, dan medula oblongata

d. Serebellum

e. Bagian basal lobus temporalis

Gambar 2.4 arteri subclavia (Atlas Human Anatomy Volume1 14th Edition)
12

B. Stroke

1. Definisi Stroke

Stroke didefinisikan sebagai disfungsi akut neurologi dari pembuluh

darah secara mendadak (dalam detik) atau secara lebih lambat (dalam jam)

dengan kejadian gejala dan tanda berhubungan dengan area fokal pada otak

(Goldstein, 2001).

Definisi menurut WHO: stroke adalah terjadinya gangguan

fungsional otak lokal maupun global secara mendadak dan akut yang

berlangsung lebih dari 24 jam akibat gangguan aliran darah otak.

Menurut Neil F Gordon: stroke adalah gangguan potensial yang

fatal pada suplai darah bagian otak. Tidak ada satupun bagian tubuh

manusia yang dapat bertahan bila terdapat gangguan suplai darah dalam

waktu relatif lama sebab darah sangat dibutuhkan dalam kehidupan terutama

oksigen pengangkut bahan makanan yang dibutuhkan pada otak dan otak

adalah pusat control system tubuh termasuk perintah dari semua gerakan

fisik.

2. Klasifikasi stroke

a. Stroke hemoragik

Stroke hemoragik disebabkan oleh pendarahan kedalam jaringan

otak (disebut hemoragia intraserebrum atau hematoma intraserebrum)

atau ke dalam ruang subarachnoid yaitu ruang sempit antara permukaan

otak dan lapisan jaringan yang menutupi otak (disebut hemoragia

subarachnoid). Ini adalah jenis stroke yang paling mematikan, tetapi

relatif hanya menyusun sebagian kecil dari stroke total: 10-15% untuk
13

perdarahan intraserebrum dan 5% untuk perdarahan subarachnoid.

perdarahan dari sebuah arteri intrakranium biasanya disebabkan

oleh aneurisma (arteri yang melebar) yang pecah atau karena suatu

penyakit.

Penyakit yang menyebabkan dinding arteri menipis dan rapuh adalah

penyebab tersering perdarahan intraserebrum. Penyakit semacam ini

adalah hipertensi atau angiopati amiloid (dimana terjadi pengendapan

protein di dinding arteri-arteri kecil diotak). Jika seseorang mengalami

perdarahan intraserebrum, darah dipaksa masuk kedalam jaringan otak,

merusak neuron sehingga bagian otak yang terkena tidak dapat berfungsi

dengan baik.

Pecahnya sebuah aneurisma merupakan penyebab tersering

perdarahan subarachnoid. Pada perdarahan subarachnoid, darah

didorong ke ruang subarachnoid yang mengelilingi otak. Jaringan otak

pada awalnya tidak terpengaruh, tetapi pada tahap selanjutnya dapat

terganggu.

Kadang satu-satunya gejala perdarahan subarachnoid adalah nyeri

kepala, tetapi jika diabaikan gejala ini dapat berakibat fatal. Nyeri kepala

khas pada perdarahan subarachnoid timbul mendadak, parah dan tanpa

sebab yang jelas. Nyeri kepala ini sering disertai oleh muntah, kaku

leher, atau kehilangan kesadaran sementara.

Namun hampir 30% dari semua perdarahan subarachnoid

memperlihatkan gejala yang berbeda dengan yang dijelaskan diatas dan

perdarahan subarachnoid yang kecil, terutama pada orang berusia lanjut


14

mungkin tidak menimbulkan nyeri kepala hebat atau memiliki serangan

yang parah. Karena itu, semua nyeri kepala yang timbul mendadak harus

segera diperiksakan.

Berat ringannya stroke tergantung dari bagian mana yang

mengalami kerusakan akibat penggumpalan darah atau pendarahan, besar

atau luasnya kerusakan dan seberapa banyak ditanggulangi atau diatasi.

Stroke umumnya mengenai ekstremitas yang berlawanan, biasanya

kelumpuhan pada ekstremitas kanan disertai dengan gangguan bicara,

kecuali pada orang kidal. Tingkat kerusakan di daerah korteks serebri

selalu diikuti dengan perbedaan derajat kelumpuhan antara lengan dan

tungkai, hal ini dikarenakan area ini dialirkan oleh dua arteri yaitu arteri

serebri anterior dan arteri medial. Sedangkan pada tingkat kapsula

interma derajat kelumpuhan relative sama lengan dan tungkai oleh karena

area ini hanya dilalui oleh satu arteri yang sama yaitu arteri

lentikulostriana.

Problematik penderita pasca stroke sangat kompleks dan

individual, namuan ada problem dasar yang sama meskipun dalam

derajat yang berbeda. Problematik tersebut timbul akibat hilangnya atau

terganggunya control (inhibisi) terhadap mekanisme refleks postural

normal terdiri dari reaksi-reaksi tegak (righting reactions) dan reaksi

keseimbangan (equilibrium reactions).

Reaksi tegak (righting reaction) ini memungkinkan terjadinya

pengaturan posisi kepala terhadap tubuh dan ruang, posisi normal

ekstremitas terhadap tubuh dan memungkinkan gerakan rotasi tubuh pada


15

sumbunya dalam aktivitas sehari-hari misalnya; berguling, berdiri

berjalan dan sebagainya, dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa

reaksi tegak merupakan pola dasar gerakan. Sedangkan reaksi

keseimbangan (equilibrium) berfungsi untuk mempertahankan atau

mendapatkan kembali keseimbangan tubuh. Reaksi ini sangat kompleks

dan dapat berupa kontraksi otot (tanpa adanya gerakan) atau berupa

gerakan-gerakan reflektor.

b. Stroke Non Hemoragik

Stroke non hemoragik disebut juga sebagai stroke iskemik, bisa

disingkat NHS (non hemorrhagic stroke). Stroke Iskemik adalah stroke

yang terjadi ketika terdapat sumbatan bekuan darah dalam pembuluh darah

di otak atau arteri yang menuju ke otak. Stroke jenis ini adalah yang paling

sering terjadi. Sekitar 80-90% dari semua stroke adalah stroke iskemik.

Stroke ini mengacu pada situasi di mana daerah otak kekurangan aliran

darah, biasanya karena adanya bekuan darah atau penyumbatan arteri oleh

aterosklerosis (menumpuknya kolesterol dalam arteri).

Faktor risiko stroke iskemik meliputi bertambahnya usia, tekanan

darah tinggi, penyakit jantung, diabetes, merokok, dan kolesterol tinggi.

Pada setiap usia, stroke lebih sering terjadi pada pria daripada wanita.

Pengobatan stroke dengan cara mengurangi faktor risiko dan

mengidentifikasi sumber penyumbatan. (Canonim, 2006).


16

1) Klasifikasi stroke non hemoragik

a) Berdasarkan manifestasi klinis

 Transient Ischemic Attack (TIA)

Deficit neurologis mendadak sementara dimana arteri

cerebri posterior tersumbat sepintas lalu. Berlangsung sekitar

24 jam.

 Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND)

Stroke yang dapat berulang. Gejala neurologis pada

RIND menghilang lebih dari 24 jam namun kurang dari 21

hari.

 Progressing Stroke (Stroke in evolution)

Deficit neurologic secara progresif dari ringan – berat

akibat penyumbatan arteri cerebri anterior sedang mengalami

penyumbatan secara bertahap.

 Completed Stroke

Defesit neurologis yang menetap, tidak bertambah berat

akibat tersumbatnya arteri cerebri media. (Marshall (Venusri

Latif: 1996;743-744)

b) Berdasarkan penyebab

 Stroke Trombotik

Stroke trombotik terjadi karena adanya penggumpalan pada

pembuluh darah di otak. Trombotik dapat terjadi pada pembuluh

darah yang besar dan pembuluh darah yang kecil.Pada

pembuluh darah besar trombotik terjadi akibat aterosklerosis


17

yang diikuti oleh terbentuknya gumpalan darah yang cepat.

Selain itu, trombotik juga diakibatkan oleh tingginya kadar

kolesterol jahat atau Low Density Lipoprotein (LDL). Sedang-

kan pada pembuluh darah kecil, trombotik terjadi karena aliran

darah ke pembuluh darah arteri kecil terhalang. Ini terkait

dengan hipertensi dan merupakan indikator penyakit

aterosklerosis.

 Stroke Emboli/Non Trombotik

Stroke emboli terjadi karena adanya gumpalan dari jantung

atau lapisan lemak yang lepas. Sehingga, terjadi penyumbatan

pembuluh darah yang mengakibatkan darah tidak bisa

mengalirkan oksigen dan nutrisi ke otak.

3. Patofisiologi

Infrak ischemic cerebri sangat erat hubungannya dengan

aterosklerosis dan arteriosclerosis dapat menimbulkan bermacam-macam

manifestasi klinis dengan cara :

a. Menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi

aliran darah.

b. Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya thrombus.

c. Dapat terbentuk thrombus yang kemudian terlepas sebagai emboli.

d. Menyebabkan aneurisma yaitu lemahnya dinding pembuluh darah

atau menjadi lebih tipis sehingga dapat dengan mudah robek.


18

Faktor yang mempengaruhi aliran darah ke otak:

a. Keadaan pembuluh darah.

b. Keadan darah : viskositas darah meningkat, hematokrit meningkat,

aliran darah ke otak menjadi lebih lambat, anemia berat, oksigenasi ke

otak menjadi menurun.

c. Tekanan darah sistemik memegang peranan perfusi otak.

Otoregulasi otak yaitu kemampuan intrinsik pembuluh darah otak

untuk mengatur agar pembuluh darah otak tetap konstan walaupun ada

perubahan tekanan perfusi otak.

d. Kelainan jantung menyebabkan menurunnya curah jantung dan karena

lepasnya embolus sehingga menimbulkan iskhemia otak.

4. Faktor resiko

a. Usia

Usia adalah faktor risiko tunggal terpenting. Sekitar 30% stroke

terjadi pada usia 65 tahun dan 70% terjadi pada usia 65 tahun atau

lebih. Faktor risiko meningkat dua kali lipat untuk setiap dekade

setelah usia 55 tahun.

b. Hipertensi

Setelah usia, hipertensi adalah faktor risiko stroke terkuat.

Faktor risiko meningkat seiring dengan peningkatan tekanan darah. Di

Framingham, faktor risiko relatif stroke untuk peningkatan 10 mmHg

sistolik adalah 1,9 untuk pria dan 1,7 untuk wanita setelah faktor

risiko stroke yang lain dikontrol. Peningkatan tekanan sistolik dan


19

diastolik atau keduanya mempercepat terjadinya aterosklerosis.

(Houston, 2000).

c. Jenis kelamin

Stroke lebih banyak dijumpai pada laki-laki. Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa laki-laki berisiko terserang stroke

dibandingkan wanita. Namun, kematian akibat stroke lebih banyak

dijumpai pada wanita di bandingkan laki-laki karena umumnya wanita

terserang stroke pada usia yang lebih tua. Pinzon & Asanti (2010) juga

mengatakan bahwa laki - laki lebih mudah terkena stroke. Hal ini

dikarenakan lebih tingginya angka kejadian faktor risiko stroke

(hipertensi) pada laki -laki.

d. Riwayat keluarga (herediter)

Prevalensi stroke meningkat lima kali lipat pada kondisi kembar

monozigot dibandingkan dengan kembar dizigot yang secara genetik

memiliki predisposisi terhadap stroke. Study cohort pada kelahiran di

Swedia pada tahun 1913 menunjukkan peningkatan tiga kali lipat

insidensi stroke pada orang yang ibunya meninggal karena stroke,

dibandingkan dengan orang tanpa riwayat maternal seperti itu.

e. Diabetes Melitus

Setelah faktor-faktor risiko stroke lainnya telah terkontrol,

diabetes meningkatkan risiko stroke tromboembolik sekitar dua hingga

tiga kali lipat dibandingkan dengan orang tanpa diabetes. Diabetes

merupakan predisposisi terhadap iskemik serebral dengan

mempercepat aterosklerosis pada pembuluh darah besar seperti arteri


20

koroner atau karotis atau dengan efek lokal pada mikr osirku lasi

serebral.

f. Penyakit jantung

Individu dengan penyakit jantung jenis yang mana saja

mempunyai risiko lebih dari dua kali terkena stroke dibandingkan

dengan orang dengan fungsi jantung normal. Penyakit arteri koroner

merupakan indikator kuat keberadaan penyakit vaskular aterosklerotik

dan berpotensi menjadi sumber emboli. Penyakit jantung kongestif,

Penyakit jantung hipertensi Berhubungan dengan peningkatan stroke.

Fibrilasi atrial berperan kuat dalam stroke emboli dan fibrilasi atrial

meningkatkan risiko stroke hingga 17 kali.

g. Merokok

Beberapa laporan termasuk sejumlah meta analisis menunjukkan

bahwa merokok dapat meningkatkan risiko stroke pada semua usia

dan kedua jenis kelamin. Derajat risiko berkorelasi dengan jumlah

komsumsi rokok (Tsementzis, 2000).

h. Obstructive sleep apnea syndrome

Obstructive sleep apnea syndromesecara bermakna

meningkatkan risiko stroke dan kematian serta menjadi faktor

dependen risiko lain seperti hipertensi (Yaggi, 2005).

i. Peningkatan hematokrit

Peningkatan viskositas menyebabkan gejala stroke ketika

hematokrit melebihi 55%. Penentu utama viskositas whole blood

adalah sel darah merah, protein plasma, serta fibrinogen. Ketika


21

viskositas meningkat akibat dari polisitemia, hiperfibrinogenemia atau

paraproteinemia, biasanya akan terjadi gejala seperti sakit kepala,

letargi, tinitus, dan penglihatan kabur. Infark serebral fokal dan oklusi

vena retina serta disfungsi platelet dapat menyebabkan perdarahan

intraserebral dan subaraknoid.

j. Peningkatan kadar fibrinogen dan abnormalitas sistem pembekuan

darah. Peningkatan kadar fibrinogen berpengaruh pada peningkatan

risiko stroke trombotik. Abnormalitas sistem pembekuan darah seperti

defisiensi antitrombin III dan defisiensi protein C dan S pernah

dilaporkan berhubungan dengan venous thrombotic.

k. Penyalahgunaan obat

Obat-obat yang dihubungkan dengan stroke di antaranya adalah

methamphetamine, norepinephrine, LSD, heroin, dan kokain.

Amfetamin meningkatkan necrotizing vasculitis yang berakibat pada

perdarahan petekie difus atau terbentuknya area iskemik dan infark

fokal. Heroin dapat menyebabkan hipersentisitas vascular berupa

alergi yang membawa ke infark Perdarahan subaraknoid dan infark

serebral pernah dilaporkan setelah penggunaan kokain.

l. Hiperlipidemia

Peningkatan kolesterol menjadi faktor risiko terjadinya

aterosklerosis terutama pada pria di bawah usia 55 tahun (Tsementzis,

2000).
22

m. Obesitas

Obesitas, terutama abdominal obesity, dihubungkan dengan

peningkatan risiko hipertensi, diabetes, hiperlipidemia, sleep apnea,

penyakit jantung koroner, dan stroke (DeMaria, 2007). Berat relatif

lebih dari 30% di atas rata-rata merupakan kontributor independen

terhadap aterosklerosis (Tsementzis, 2000).

n. Infeksi

Infeksi meningeal dapat menyebabkan infark serebral melalui

perubahan dinding pembuluh darah akibat inflamasi. Menigovascular

syphili dan Mucormycosis dapat menyebabkan artritis dan infark

serebral.

5. Tanda dan gejala dari stroke adalah (Baughman, C Diane.dkk,2000):

a. Kehilangan motorik

Disfungsi motorik paling umum adalah hemiplegia (paralisis

pada salah satu sisi) dan hemiparesis (kelemahan salah satu sisi) dan

disfagia

b. Kehilangan komunikasi

Disfungsi bahasa dan komunikasi adalah disatria (kesulitan

berbicara) atau afasia (kehilangan berbicara).

c. Gangguan persepsi

Meliputi disfungsi persepsi visual humanus, heminapsia atau

kehilangan penglihatan perifer dan diplopia, gangguan hubungan

visual, spesial dan kehilangan sensori.


23

d. Kerusakan fungsi kognitif parestesia (terjadi pada sisi yang

berlawanan).

e. Disfungsi kandung kemih meliputi: inkontinensi aurinarius transier,

inkontinensia urinarius peristen atau retensi urin (gejala dari

kerusakan otak bilateral), Inkontinensia urinarius dan defekasi yang

berlanjut (dapat mencerminkan kerusakan neurologi ekstensif).

C. Proses Fisioterapi

1. Assessment Fisioterapi

Assessment termasuk pemeriksaan pada perorangan atau kelompok

nyata atau yang berpotensi untuk terjadi kelemahan, keterbatasan fungsi,

ketidakmampuan atau kondisi kesehatan lain dengan cara pengambilan

perjalanan penyakit ( history taking ), screening, test khusus, pengukuran

dan evaluasi dari hasil pemeriksaan melalui analisis dan sintesa dalam

sebuah proses pertimbangan klinis, meliputi :

a. Pemeriksaan :

1) History taking : Anamnesis riwayat penyakit, keluhan utama,

pemeriksaan sebelumnya (medical record) dan data penunjang

medis.

2) Screening : penelusuran pada sifat keluhan yang di derita pasien ,

dari gejala, manifestasi yang timbul, seperti nyeri, sifat nyeri,

lokasi, hingga ketidakmampuan yang di timbulkan dari kasus

pasien.

3) Measurement : Vital sign, inspeksi, palpasi, pemeriksaan gerak

dasar, dan pemeriksaan kognitif intrapersonal dan interpersonal.


24

4) Spesific Test : dalam kasus ini tes spesifik yang relevan meliputi :

scale asworth, index bartel, Tinetti Performance Oriented

Assesment (POMA).

a) Ashworth’s scale adalah salah satu instrumen pemeriksaan

untuk mengetahui derajat spastisitas pada insan stroke (irfan,

2012).

Tabel 2.1 instrument pemeriksaan ashworth’s scale

NILAI KETERANGAN

0 Tidak ada peningkatan tonus otot

Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan


1 terasanya tahanan minimal pada akhir ROM pada

waktu sendi digerakkan fleksi atau ekstensi

Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai adanya

pemberhentian gerakan dan diikuti adanya tahanan


1+
minimal sepanjang sisa ROM, tetapi secara umum

sendi mudah digerakkan

Peningkatan tonus otot lebih nyata sepanjanG


2 sebagian besar ROM, tapi sendi masih mudah

digerakkan

Penigkatan tonus otot sangat nyata, gerakan pasif


3
sulit dilakukan

Sendi atau ekstremitas kaku/rigid pada gerakan


4
fleksi atau ekstensi
25

b) Menurut collin (1998), indeks barthel merupakan pemeriksaan

kemampuan aktifitas dengan skor 0-100 yang terdiri dari

aktifitas : feeding (skor 0, 5 & 10), bathing (0 & 5), grooming

(0 & 5), dressing (skor 0, 5 & 10), bowels (skor 0, 5 & 10),

bladder (skor 0, 5 & 10), toilet use (skor 0, 5 & 10), transfers

(skor 0, 5, 10, & 15), mobility (skor 0, 5, 10, & 15), dan stairs

(skor 0, 5 & 10).

Tabel 2.2 instrument pemeriksaan indeks barthel

No Aktivitas SKOR
Mandiri
1 Makan 10
2 Berpindah dari kursi roda ke tempat 15
tidur dan sebaliknya (termasuk duduk
di tempat tidur)
3 Kebersihan diri (mencuci muka, 5
menyisir,mencukur dan menggosok
gigi)
4 Aktivitas di toilet (menyemprot, 10
mngelap)
5 Mandi 5
6 Berjalan dijalan yang datar (jika tak 15
mampu jalan melakukannya dengan
kursi roda)
7 Naik turun tangga 10
8 Berpakaian (termasuk menggunakan 10
sepatu)
9 Mengontrol BAB 10
10 Mengontrol BAK 10
Jumlah 100
26

Keterangan :
0 – 20 : Ketergantungan penuh
21 – 61 : Ketergantungan berat atau sangat tergantung
62 – 90 : Ketergantungan moderat
91 - 99 : Ketergantungan ringan
100 : Mandiri

c) Tinetti Performance Oriented Assesment (POMA) adalah salah

satu instrument pengukuran gangguan gerak dan fungsional

insan stroke (irfan,2012).

a) Balance Tests

Tabel 2.3 intrument penilaian balance test berdasarkan pengukuran

POMA

Instruksi Reaksi pasien Skor


1 Tenang dan aman Keseimbangan Duduk. 0
Bersandar/slide. 2
2 Duduk ke berdiri Tidak mampu tanpa bantuan. 0
Mampu dengan bantuan tangan. 1
Mampu tanpa bantuan tangan. 2
3 Upaya untuk Tidak mampu tanpa bantuan. 0
bangkit Mampu dengan lebih dari 1 kali 1
(duduk ke berdiri) Upaya.
Mampu dengan 1 kali upaya. 2
4 Keseimbangan Goyah. 0
berdiri awal (5 detik Stabil dengan bantuan. 1
pertama) Stabil tanpa bantuan. 2
5 Keseimbangan Goyah. 0
Berdiri Stabil dengan base luas / 1
bantuan.
Stabil dengan base sempit/tanpa 2
27

Bantuan
6 Berdiri kaki rapat, Bereaksi akan jatuh. 0
Terapis memberikan Terhuyung, goyah. 1
dorongan 3 kali di dada Stabil. 2
7 Berdiri dengan kaki rapat Goyah. 0
dan menutup mata Stabil. 1
8 Berputar 360o Langkah tidak kontinyu. 0
Langkah kontinyu. 1
Goyah. 0
Stabil. 1
9 Berdiri ke duduk Tidak aman (salah penempatan, 0
duduk dengan menjatuhkan diri
ke kursi).
Menggunakan tangan dengan 1
duduk perlahan.
Aman dan duduk perlahan. 2
SKOR KESEIMBANGAN :

b) Gait Test

Tabel 2.4 intrument penilaian Gait test berdasarkan pengukuran

POMA

No Instruksi Reaksi pasien Skor


1 Inisiasi berjalan dengan Memulai dengan ragu-ragu. 0
instruksi “jalan” Tanpa ragu-ragu. 1
2 Panjang dan tinggi Tidak melewati kaki kiri yang 0
langkah menumpu.
- Ayunan kaki Melewati kaki kiri yang menumpu. 1
kakan Kaki kanan menyentuh lantai. 0
Kaki kanan tidak menyentuh lantai. 1
- Ayunan kaki kiri Tidak melewati kaki kanan. 0
Melewati kaki kanan. 1
28

Kaki kiri menyentuh lantai. 0


Kaki kiri tidak menyentuh lantai. 1
3 Kesimetian langkah Jarak langkah kanan dan kiri tidak 0
sama.
Jarak langkah kanan dan kiri 1
mendekati sama.
4 Kontinuitas Stop dan tidak kontinu pada setiap 0
langkah.
Kontinu pada setiap langkah. 1
5 Berjalan lurus pada jalur Terdapat deviasi. 0
(setimasi jarak antar Deviasi moderet/berjalan dengan alat 1
kaki seukuran ubun) bantu.
Berjalan lurus tanpa alat bantu. 2
6 Trunk Badan instabil dab berjalan dengan 0
alat bantu.
Badan tidak mengayun, tetapi lutut 1
menekuk/tangan melebar.
Berjalan tanpa instabil badan, tanpa 2
alat bantu, tanpa konpensasi tangan.
7 Posisi berjalan Tumit terangkat sepanjang berjalan. 0
Tumit menyentuh lantai. 1
SKOR MELANGKAH :
Keterangan :
Total score pengukuran = 17+9 = 26
Interpretasi : 25 – 28 = Resiko terjatuh rendah
19 – 24 = Resiko terjatuh sedang
< 19 = resiko terjatuh tinggi
b. Evaluasi

1) Analisa : Mengurai dari hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan.

2) Sintesa : Merangkai yang cocok/relevan hal-hal yang terkait

dengan kondisi pasien berdasarkan hasil pemeriksaan.


29

c. Problematik Fisioterapi

Asuhan pelayanan fisioterapi yang diberikan pada kasus stroke

dilakukan secara bertahap sesuai dengan problem yang ditemukan pada

saat dilakukan assessment. Dan juga dapat digunakan sebagai

penunjang diagnosa. Menurut Internasional Classification of

Functioning, Disabilities and Health ( ICF ) meliputi body functions,

body structurares, activities & participations, emperomental factors,

and personal factors (blance).

2. Diagnosa Fisioterapi

Dihasilkan dari pemeriksaan dan evaluasi dan merupakan hasil dari

alasan-alasan klinis yang dapat menunjukan adanya disfungsi gerak dapat

mencakup gangguan/kelemahan, ketidakmampuan dan sindroma.

3. Rencana program fisioterapi

Perencanaan dimulai dengan pertimbangan kebutuhan intervensi

dan biasanya menuntut kepada pengembangan rencana intervensi,

termasuk hasil sesuai dengan tujuan yang terukur yang disetujui

pasien/klien, keluarga atau pelayan kesehatan lainya (informed concent).

Dapat menjadi pemikiran perencanaan alternatif untuk di rujuk kepada

pihak lain bila dipandang kasusnya tidak tepat untuk fisioterapi.

a) Tujuan Jangka Pendek

Adalah segala yang mempengaruhi impairment functional

limitation dan participation restriction.


30

b) Tujuan Jangka Panjang

Tujuan jangka panjang adalah meneruskan tujuan dari tujuan

jangka pendek, mengembalikan gerak dan fungsi tubuh semaksimal

mungkin sesuai dengan kemampuan pasien.

4. Rencana intervensi Fisoterapi

a) Pertimbangan kebutuhan intervensi

b) Perkembangan rencana intervensi

c) Tujuan yang terukur yang disetujui pasien dan keluarga

d) Pemikiran perencanaan alternatif untuk di rujuk kepihak lain bila di

pandang kasusnya tepat untuk fisioterapi.

1) Modalitas Alternatif

Semua modalitas fisioterapi yang bisa di aplikasikan dan

indikasi pada kasus Stroke.

2) Modalitas Terpilih

Modalitas yang paling efektif dan efisien untuk mengatasi

kasus Stroke.

5. Evaluasi/ re-evaluasi

Keharusan untuk evaluasi atau re-assesmen untuk menetapkan

diagnostik baru pasien setelah menjalani periode intervensi dan untuk

menetapkan kriteria penghentian tindakan.


31

D . Bobath Exercise

1. Definisi Bobath

Bobath adalah salah satu metode yang berorientasi pada aktivitas pola

gerak normal dengan meningkatkan kemampuan kontrol postural dan gerakan

– gerakan yang seletif (irfan, 2012).

2. Konsep Bobath

a) Konsep Awal (Original Concept)

Metode Bobath pada awalnya memiliki konsep perlakuan yang

didasarkan atas inhibisi aktivitas abnormal refleks (Inhibition of

abnormal reflex activity) dan pembelajaran kembali gerak normal (The

relearning of normal movement), melalui penanganan manual dan

fasilitasi.

b) Konsep Bobath Terkini

Dengan perkembangan ilmu dan teknologi, maka konsep Bobath

juga mengalami perkembangan dimana menggunakan pendekatan

problem solving dengan cara pemeriksaan dan tindakan secara individual

yang diarahkan pada tonus otot, gerak dan fungsi akibat lesi pada sistem

saraf pusat.

Tujuan intervensi dengan metode Bobath adalah optomalisasi

fungsi dengan peningkatan kontrol postural dan gerakan selektif melalui

fasilitasi, sebagaimana yang dinyatakan oleh IBITA tahun 1995.

“The goal of treatment is to optimize function by improving

postural control and selective movement through facilitation.” (IBITA

1995)
32

Analisa tentang gerak normal (normal movement) menjadi dasar

utama penerapan aplikasi metode ini. Dengan pemahaman gerak normal,

maka setiap fisioterapis akan mampu melakukan identifikasi problematik

gerak kepada setiap insan stroke/klien atas penyimpangan gerak akibat

gangguan system saraf pusat.

Akibat adanya gangguan sistem saraf pusat (SSP) akan

mengakibatkan abnormal tonus postural, dari abnormal tonus postural

tersebut kemudian berdampak terhadap menurunnya kualitas gerak yang

mengakibatkan terjadinya abnormalitas pada umpan balik sensoris. Pada

tahap ini aktivitas dilakukan dengan kerja yang lebih berat. Akibat

adanya abnormalitas pada umpan balik sensoris maka akan berakibat

kembali menurunnya kualitas gerak dan pada akhirnya memunculkan

kembali abnormalitas tonus postural. Pada tahap ini akan terjadi

kompensasi gerak.

Hal tersebut dapat digambarkan melalui skema berikut ini :

Gambar 2.5 skema gangguan gerak akibat lesi CNS (irfan, 2012)
33

Dari skema tersebut diatas, menunjukkan bahwa adanya

abnormalitas gerak memberikan dampak terhadap komponen-komponen

gerak lainnya yang saling berhubungan satu sama lain. Untuk itu,

diperlukan metode yang dapat menghentikan abnormalitas gerak akibat

lesi pada CNS.

Metode Bobath adalah salah satu metode yang berorientasi pada

aktivitas pola gerak normal dengan meningkatkan kemampuan kontrol

postural dan gerakan – gerakan yang seletif. Pada aktifitas gerak, maka

tonus otot postural akan sangat menentukan efektifitas dan efesiensi

gerak yang akan dihasilkan. Beberapa hal yang berhubungan dengan

tonus otot postural dideskripsikan melalui gambar 2.6.

Gambar 2.6 Hubungan gaya grafitasi, COG,GRF dan BOS (irfan, 2012)

Dari gambar 2.6 diatas dapat menjelaskan bahwa tonus postural

dipengaruhi oleh adanya gaya gravitasi, Centre of Gravity (COG),

Ground Reaction Force (GRF) dan Base of Support (BOS).

Gaya gravitasi dan GRF merupakan kekuatan eksternal (eksternal

force) yang memberikan tekanan terus-menerus kepada tubuh. Besar

tekanan gravitasi sama dengan besar tekanan Ground Reaction Force


34

(GRF). Kedua tekanan tersebut memberikan informasi sehingga tubuh

dapat melakukan prediksi untuk menjaga keseimbangan berupa

penyesuaian pada BOS dan COG agar dapat tetap seimbang. Sehingga

kemampuan tubuh untuk tetap tegap merupakan reaksi dari otot postural

(anti gravity muscle) yang melawan gaya gravitasi dan GRF.

Gambar 2.7 Letak COG pada beberapa posisi (irfan, 2012)

Dari gambar 2.7 menunjukkan bahwa perubahan posisi tubuh

akan diikuti oleh perubahan letak COG yang memungkinkan tubuh tetap

seimbang. Pada insan stroke, terdapat deviasi letak COG yang cenderung

lebih rendah dibandingkan dengan letak COG yang seharusnya sehingga

tubuh melakukan usaha lebih melawan gravitasi. Sedemikian pentingnya

tonus otot postural yang adekuat dalam memberikan stabilisasi untuk

menghasilkan gerakan, maka salah satu fokus utama dalam intervensi ini

adalah meningkatkan aktifasi dari otot-otot postural tersebut, dengan

beberapa bentuk latihan yang kita sebut sebagai core stability exercise.
35

Dalam gerak normal, terdapat dua unsur utama yaitu stabilitas dan

mobilitas. Suatu gerak normal yang terjadi diawali oleh adanya stabilitas

pada otot stabilisator kemudian mobilitas terjadi yang bersifat fungsional.

Jika stabilitas tidak mendukung dalam proses terbentuknya gerak maka

yang akan terjadi adalah gerak yang tidak normal (abnormal movement)

termasuk adanya gerak kompensasi.

Setiap bentuk latihan yang akan diberikan harus selalu melibatkan

kedua unsur tersebut. Dengan demikian sebelum insan stroke melakukan

gerak selektif pada anggota gerak (lengan dan tungkai) sesuai fasilitasi

yang diberikan oleh fisioterapis, maka terlebih dahulu persiapan gerak

yang diberikan adalah menfasilitasi tonus otot postural untuk

meningkatkan stabilitas (postural stability dan proximal stability) sesuai

dengan gerak yang hendak dilakukan.

Penjelasan tentang stabilitas dan mobilitas dapat digambarkan

sebagai berikut :

Gambar 2.8 Stabilitas dan mobilisasi (irfan, 2012)

Dari gambar 2.7 menunjukkan bahwa suatu gerakan akan

terbentuk berdasarkan letak stabilisasinya. Demikian juga pada gerak


36

manusia, misalnya saat melangkah, maka sebelum salah satu sisi

melakukan gerakan mengayun (mobility), maka tubuh akan melakukan

reaksi stabilisasi (Stability) pada abdominal dan pada sisi yang

berlawanan.

Pada insan stroke dengan kondisi stroke maka komponen

stabilisasi tersebut mengalami penurunan sehingga gerakan yang akan

dilakukan menjadi sulit dan dengan pola yang tidak normal. Pemberian

fasilitasi terhadap stabilisas postur sering kali terabaikan oleh fisioterapis

karena sisi tubuh tersebut dianggap tidak mengalami kelumpuhan atau

sering disebut sebagai sisi yang sehat.

Pada dasarnya kedua sisi tubuh insan stroke mengalami

permasalahan gerak. Salah satu sisi tubuh mengalami kelemahan akibat

adanya gangguan neurologis pada hemisfer yang berlawanan di otak,

sedangkan pada sisi tubuh yang lain mengalami penurunan kemampuan

stabilitas yang disebabkan oleh terjadinya perubahan input sensoris pada

sisi yang mengalami kelemahan.

Dengan menurunnya kemampuan stabilisasi pada sisi tubuh yang

tidak mengalami kelemahan, maka saat gerakan dilakukan pada sisi yang

mengalami kelemahan akan terbentuk pola yang tidak normal (abnornal

pattern), misalnya berupa kompensasi pelvic ke arah atas atau

terbentuknya gerak memutar pada tungkai (circle gait ) saat melakukan

aktivitas berjalan.

Gerakan dengan pola yang tidak normal merupakan gerakan yang

tidak efisien. Secara normal (fisiologis) gerakan dengan pola tidak


37

normal berarti pula gerakan yang tidak fungsional, maka untuk

melakukan gerakan tersebut dibutuhkan energi yang lebih. Dengan kata

lain secara normatif (individu tanpa gangguan neurologis) gerakan

tersebut pada dasarnya adalah gerakan yang sulit untuk dilakukan apalagi

bagi insan stroke.

Pada pendekatan Bobath, maka fisioterapis memberikan fasilitasi

yang memungkinkan insan stroke/klien aktif melakukan pola gerak

normal dan bukan pasif. Perlu diingat bahwa hanya dengan gerak aktif

dari insan stroke yang memungkinkan terjadinya proses pembelajaran

motorik pada insan stroke/klien. Sebagimana yang disampaikan oleh

Brooks :

”Only active participation produces motor improvement or

learning, which passive imposition of postures and movements can have

no practical value.”

Untuk itu sangat dibutuhkan kepekaan fisioterapis dalam

memberikan latihan agar fasilitasi yang diberikan memungkinkan insan

stroke untuk aktif melakukan gerakan sesuai dengan pola yang

dikehendaki oleh fisioterapis.

Salah satu yang dapat dilakukan yaitu posisi pegangan fisioterapis

dalam bentuk lumbrikal (lumbrical grip).


38

Gambar 2.9 Posisi tangan saat fasilitasi (irfan, 2012)

Dengan posisi lumbrikal seperti pada gambar 2.8, maka informasi

sensoris yang diberikan oleh fisioterapis saat melakukan fasilitasi

gerakan akan lebih mudah untuk diinterpretasikan oleh insan

stroke/klien. Selain itu, posisi lumbrikal akan meminimalisasi support

saat gerakan dilakukan, sehingga memberikan kecenderungan pada insan

stroke untuk melakukan gerakan secara lebih aktif.

Langkah awal dalam terapi latihan yang akan diberikan adalah

dengan aktifasi dari otot-otot internal trunk, otot Transversus abdominis,

otot Multifidus, otot Oblique internus, otot-otot para spinal, otot-otot

pelvic floor.
39

Gambar 2.10 otot – otot stabilisator postur yang utama (irfan, 2012)

Otot-otot tersebut merupakan otot yang memberikan stabilitas

utama pada postur. Dengan kemampuan stabilitas postur yang adekuat,

maka fungsi mobilitas dari ekstremitas menjadi lebih mudah. Yang

terpenting dalam hal ini adalah bukan hanya tentang rekrutmen otot

tersebut, akan tetapi bagaimana memberikan fasilitasi yang tepat agar

secara selektif otot-otot tersebut dapat teraktifasi.

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa pada sistem lokomosi

manusia, maka gerak dengan pola normal dapat dibentuk jika kerja otot

yang sinergy antara otot agonist dan antagonist serta adanya sinergy

fungsi stabilitas (stability) dan fungsi gerak (mobility).

Untuk dapat memahami fungsi stability, maka akan sangat

berhubungan dengan pembahasan tentang core stability yang merupakan

bagian stabilitas tubuh paling utama.

3. Tujuan Intervensi Bobath

Tujuan dari intervensi metode bobath adalah optimalisasi fungsi dengan

peningkatan kontrol postural dan gerakkan selektif melalui fasilitasi,


40

sebagaimana yang dinyatakan oleh IBITA tahun 1995. ”The goal of treatment

is to optimize function by improving postural control and selective movement

trought fasilitation”(IBITA 1995).

Tujuan yang akan dicapai dengan konsep Bobath

a) Melakukan identifikasi pada area-area spesifik otot-otot antigravitasi

yang mengalami penurunan tonus.

b) Meningkatkan kemampuan input proprioceptive .

c) Melakukan identifkasi tentang gangguan fungsi setiap individu dan

mampu melakukan aktivitas fungsi yang efisien “Normal”.

d) Fasilitasi specific motor activity.

e) Minimalisasi gerakan kompensasi sebagai reaksi dari gangguan gerak.

f) Mengidentifikasi kapan dan bagaimana gerakan menjadi lebih efektif.

4. Teknik Bobath Exrcise

Dalam terapi dengan pendekatan bobath terdapat teknik-teknik khusus

yang mendasari latihan di semua fase perkembangan hemiplegia ( fase flacid,

fase spastis dan fase penyembuhan).

Teknik tersebut meliputi :

a. Propioceptic dan Tactile stimulation

yaitu teknik untuk merangsang kembali fungsi menyangga pada

sendi-sendi (propioceptic dan rasa raba). Propioceptic stimulation

diterapkan dalam bentuk pengembangan weight bearing, baik pada

ekstermitas maupun trunk secara segmental ataupun total. Tactile

stimulation (stimulasi rasa raba) berupa mengenalkan kembali bentuk

dan permukaan benda yang bervariasi kepada sisi yang lumpuh.


41

Stimulasi harus segera dimulai bersamaan dengan mulainya perawatan

agar terbentuk kembali mekanisme feed back gerakan yang utuh.

b. Inhibisi

adalah teknik untuk mencegah timbulnya pattern patologis

(associated reaction, asymmetrical tonic neck reflex, total pattern of

movement dan spastisitas) dengan cara memposisikan ekstremitas/

trunk di posisi tertentu terhadap bagian badan yang lain.

c. Fasilitasi

adalah teknik untuk mempermudah timbulnya gerakan dalam

pola normal dengan cara memposisikan trunk/ekstremitas diposisikan

tertentu.

5. Aplikasi metode Bobath Exercise

pada pasien stroke pada prinsipnya bentuk latihan dengan pendekatan

metode bobath bersifat individual, tergantung problem yang di temukan pada

pemeriksaan. Langkah awal dalam terapi latihan bobath yaitu dengan aktifasi

otot-otot internal trunk (otot abdominal, otot para spinal dan otot pelvic floor).

Otot-otot tersebut merupakan otot yang memberikan stabilitas yang utama pada

postur. Dengan stabilitas postur yang adekuat, maka fungsi mobilitas dari

ekstremitas menjadi lebih mudah. Beberapa bentuk latihan dalam pendekatan

metode bobath yang umum diberikan pada pasien stroke, diantaranya :

a. Posisi tidur

Dilakukan pada gerakan-gerakan selektif dengan bed sebagai

stabilisasi pasif. Umumnya untuk melatihan aktivitas gerak dari pelvic

dan tungkai bawah.


42

Key point pelvic control

1. Rotasi pelvic foreward dan backward

a) Meningkatkan kontrol pelvic sehingga pada aktivitas berjalan

keseimbangan segmen atas dan bawah tubuh dapat dicapai.

b) Meningkatkan keseimbangan posisi centre of Gravity (COG)

terhadap Gravitasi dan Base of Support (BOS).

Gambar 2.11 Rotasi pelvic foreward dan backward (irfan, 2012)

2. Latihan kontrol gerak pada tungkai sebagai area selective

movement dan tubuh dan pelvic sebagai stabilisator

Gambar 2.12 kontrol gerak

pada tungkai (irfan, 2012)

3. Latihan dengan meningkatkan aktivitas otot abdominal

a) Postural set

b) Aligment of body segment

b. Posisi Duduk

1. Postural set dan Pelvic key point control


43

Gambar 2.13 Postural set dan Pelvic key point control (irfan, 2012)

Posisi duduk sebaiknya lebih dominan dilakukan

a) Aktivitas otot-otot antigravitasi meningkat.

b) Aktivitas otot-otot stabilisator meningkat.

c) Selective movement lebih terarah.

2. Distal Key Point Control

a) Lakukan gerakan selective pada daerah distal lengan.

b) Gerakan dapat bersifat simetris atau diagonal.

c) Tingkatkan aktivitas kontrol postur pada bagian trunk.

c. Posisi Berdiri

1. Stabilitas dan Keseimbangan

a) Perbaikan pada BOS

b) Weight Bearing control

c) Pelvic control backward

Jika keseimbangan labil BOS diperluas, knee semi fleksi dan

minimalisasi kompensasi.
44

2. Latihan pelvic control

a) Stabilisator pasif ada upper extremity

b) BOS lebih luas

c) Knee 35 derajat (stabilisator)

d) Rotasi pelvic foreward dan backward

Gambar 2.14: Latihan

pelvic kontrol (irfan, 2012)

d. Latihan Persiapan Berjalan

Gambar 2.15: Latihan

persiapan berjalan

(http://my.me.queensu.ca)

1. Head control

a) Anjurkan kepada pasien untuk tetap menatap kedepan

b) Tingkatkan input proprioceptive dengan instruksi dan fasilitasi

2. Posisi Berdiri

Fase menapak kedua kaki (Double support phase)

a) Lakukan fasilitasi untuk menjaga simetris pelvis.

b) Koreksi Pelvis (cenderung foreward).


45

c) Aktifkan otot Gluteus dan abdominal.

d) Koreksi postur (cenderung kyfosis dan lateral fleksi ke sisi yang

mengalami kelemahan).

e) Koreksi hip (Cenderung fleksi saat menumpu hal tersebut terjadi

karena foreward pelvic, shortening illiopsoas dan low tone pada

gluteus).

e. Latihan memindahkan berat badan

Secara normal pemindahan berat badan ke salah satu sisi

badan/tungkai akan menghasilkan reaksi berupa sisi yang menumpu

memiliki bidang yang lebih panjang dibandingkan dengan sisi yang

lainnya.

1. Perputaran backward pelvic (Activitas otot-otot lower abdomnal

dan gluteus).

2. Knee ekstensi dan stabil .

3. Postur simetris dengan tungkai membentuk garis lurus.

E. Propioceptor Neuromuscular Facilitation (PNF)

1. Definisi Propioceptor Neuromuscular Facilitation (PNF)

Propioceptor Neuromuscular Facilitation (PNF) adalah metode untuk

membentuk pola gerak melalui stimulasi/fasilitasi proprioceptor sehingga

mendapatkan respon neuromuscular secara benar.

2. Prinsip-Prinsip dasar PNF

a. Tahanan Optimal (Optimal Resistance)

Experimen Gellow pada kera menunjukan bahwa:


46

1) Ketika pada suatu titik/tempatdi kortex motoris dirangsang maka

reaksi/kontraksinya lebih kuat apabila sendi yang bersangkutan di

fixer di bandingkan dengan sendinya tidak di fixer/bebas bergerak.

2) Rangsangan elektris dibawah nilai ambang yang dikenakan pada

kortex motoris tidak menimbulkan kontraksi otot apabila sendinya

bebas bergerak (tidak di fixer), sementara dengan rangsangan yang

sama menimbulkan kontraksi otot apabila diberikan tahanan dan

penguluran pada otot yang bersangkutan.

Experiment tersebut menunjukan bahwa tahanan (resistance)

mempunya efek fasilitasi kontraksi otot. Tahanan maksimal,

maksudnya adalah tahanan maksimal yang masih bisa dilawan oleh

penderita dengan baik sehingga memungkinkan penderita untuk:

1). Mempertahankan suatu posisi (kontraksi isometrik)

2). Melakukan kontraksi isotonik dengan gerakan yang halus pada

suatu diagonal.

Sangat jelas, tahanan ini sangat tergantung dari penderita.

Tahanan ini sangat penting untuk memperoleh untuk memperoleh

gerakan yang baik dan terkoordinasi, sehingga kita lebih baik

menggunakan istilah tahanan optimal dari pada tahanan maksimal.

Saat memberikan tahanan, fisioterapi berdiri pada groove dan

memberikan (tenaga) tahanan dari punggunya (memeakai berat badan).

Pegangan lumbrical (lumbrical grosp) mempermudah dalam

memberikan tahanan rotasi. Apabila secara kwantitatif tahanan ni

dapat di ukur, besaran tahanan sangat bervariasi. Tahanan harus


47

diberikan langsung (seketika setelah otot) diberikan penguluran dan

pada mulanya tahanan yang diberikan harus realtif ringan. Tahanan

tersebut ditingkatkan sedikit demi sedikit sampai mencapai optimal

saat gerakan mencapai middle range, selanjutnya tahanan dikurangi

sedikit demi sedikit sampai mencapai akhir gerakan. Prinsipnya,

tahanan diberikan pada awal gerakan sampai mencapai akhir gerakan.

Tahanan juga bervariasi yang disesuaikan dengan kekuatan daya tahan

dan koordinasi gerakan dari penderita.

Faktor faktor mekanisme, seperti halnya cara kerja “lever”

letak “as” dan gaya berat (gravitasi) sangant berpengaruh terhadap

besar kecilnya tahanan yang dapat diberikan. Di dalam memberikan

tahanan kita juga harus mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti :

1). Pegangan dan penekanan pada otot

2). Traksi dan approximasi dari sendi dan juga pengukuran otot.

Prinsif “overflow” hanya akan timbul jika kita menggunakan tahanan

optimal.

b. Kontak Manual (Manua Contact)

1) Manual contact dimaksudkan sebagairangsangan sensoris pada

kulit dan sebagai rangsangan pada proprioceptor.

2) Dengan fasilitasi kontak kulit ini pasien harus bisa mengerti (sadar)

tentang drajat dan sifat dari kontraksi otot yang di minta.

3) Pegangan dan tekanan tangan diberikan pada samping (tempat) ke

arah mana gerakan terjadi.


48

4) Manual contact sebaiknya dilakukan dengan kedua tangan,

sehingga bisa dengan mudah memberikan stretch, penekanan,

traksi ataupun tahanan.

5) Dengan menggunakan pegangan lumbrical (lumbrical grasp)

gerakan rotasi dapat terjadi dengan baik, terutama dengan

pegangan yang sebelah distal.

6) Kontak kulit harus selalu bisa memberikan arah gerak dan tidak

boleh menimbulkan rasa sakit.

c. Stimulasi Verbal (Komando / Aba-aba)

Rangsangan-rangsangan dengan suara dapat mengaktifkan

pergerakan, karena dapat memicu semngat aktifitas penderita. Untuk

tujuan relaksasi, stimulasi verbal harus diberikan dengan nada rendah

dan suara pelan. Sebaliknya untuk memacu kontraksi, stimulasi verbal

harus diberikan dengan nada yang lebih tinggi dan suara yang lebih

keras. Stimulasi verbal harus diberikan dengan kata-kata pendek, jelas

dan sering di ulang-ulang sehingga pasien tidak bingung dan selalu

konsentrasi pada gerakan. Selama memberikan instruksi, terapis harus

harus melihat ke wajah pasien dan tidak ke anggota geraknya.

Ketepatan waktu instruksi ini sangat penting, tidak boleh terlalu

cepat atau lambat. Instruksi diberikan tepat setelah stimulasi dengan

manual sebagai respon-respon refleks terkoordinasi dengan gerak aktif.


49

d. Visual Feed Beck

Dengan bantuan visual contact pasien dapat mengikuti,

mengontrol dan jika memungkinkan mengkoreksi sikap dan gerakan.

Kontak visual antara pasien dan terapis juga sangat penting.

e. Body Posision dan Body Mechanics

Terapis berdiri pada grove (garis) dan menghadap ke pasien

sehingga memungkinkan selalu kontak mata dengan pasien yang selalu

diperhatikan terapis. Pikirkan juga tubuh sendiri dan dalam

memberikan tahanan hendaknya menggunakan berat badan dan

dilakukan sebnyak mungkin dengan menggunakan lengan-lengan

lurus. Guanakan tubuh dan otot-otot tungkai yang kuat.

f. Traksi dan Aproximasi (Tarikan dan Penekanan)

1) Traksi

Traksi adalah suatu tarikan yang membuat saling saling

menjauh segmen yang satu dengan yang lain atau usaha mengukur

segmensuatu extremitas. Dengan traksi ini akan menimbulkan

rangsangan yang akan diterima oleh receptor sendi dan bisa

memfasilitasi terjadinya kontraksi otot secara isotonik. Untuk

mendapatkan suatu posisi terulur (elongated state) traksi ini sangat

di perlakukan, tetapi selama bergerakpun traksi juga harus selalu

diberikan.

2) Approximasi

Adalah saling menekannya atau memberikan penekanan

pada suatu segmen atau extremitas. Approximasi memperbaiki


50

stabilitas sendi, approximasi merangsang otot untuk kontraksi

secara isometrik. Terutama gerekan menekan atau mendorong,

gerekan melawan gaya berat seperti misalnya melawan berat badan

sendiri dan reflex-reflex sturat akan terfasilitasi dengan aproximasi

ini. Receptor yang terangsang oleh approximasi ini terletak didalam

synovial sendi.

g. Irradiasi

irradiasi atau overflow adalah luapan impuls-impuls syarat

sehingga memyebabkan respon yang lebih tinggi/kuat. Respon ini bisa

dalam bentuk exciatasi atau inhibisi. Respon-respon akan meningkat

sesuai dengan banyaknya rangsangan yang di berikan. PNF selalu

menggunakan prinsip-prinsif overflow ini. Sebanyak mungkin ‘motor

unit” dicoba terus menerus untuk diaktifkan.

Untuk itu impuls-impuls motorik dari otot-otot yang lemah di

usahakan secara terus menerus untuk di tingkatkan/diperkuat melalui

pengaruh impuls-impuls grup syaraf yang lain (sinergis) yang lebih

kuat, yang dalam waktu yang sama juga berkontraksi. Untuk

mendapatkan overflow yang secara maximal di gunakan tahanan

optimal dan dilakukan dalam pola-pola gerakan.

h. Reinforcement (penguatan ulang)

Adalah pengaruh respon suatu bagian tubuh ke bagian tubuh

yang lain.
51

Reinforcement ini bisa melalui :

1). Irradiasi

2). Reflex-reflex central

Reinforcement ini digunakan untuk memperbesar respon,

mencegah kelelahan yang berlebihan dan juga mengkombinasikan

patern-patern.

i. Pola gerak (patern of movement)

Pola gerak PNF adalah pola-pola gerakan massa dan itu

merupakan karakteristik dari aktifitas motoris yang normal dan ini

sesuai dengan axioma dari Beevor yang mengatakan bahwa otak tidak

mengetajui kerja otot secara individu teteapi yang diketahui hanyalah

gerakan. Pada keadaan normal (aktifitas) gerakan fungsional

merupakan gerakan kombinasi dari bernacam-macam gerakan atau

gerakan-gerakan masal yang memerlukan reaksi pemendekan dan

pemanjangan dari banyak otot dengan derajat yang bervariasi.

Pola-pola gerakan masa (dari aktifitas) sifatnya adalah spiral dan

diagonal, dan ini menyerupai/sesuai dengan gerakan-gerakan yang

digunakan dalam olahraga dan aktifitas sehari-hari. Sifat spiral dan

diagonal tersebut sesuai dengan karakteristik susunan sistem skeletal

dan sendi-sendi, juga struktur ligament yang sifatnya juga spiral dan

memutar. Tipe gerakan ini juga sangat harmonisdi tinjau dari segi

topografi otot-otot yang semuanya membentuk spiral dan diagonal.

Ada dua gerakan diagonal yang terdapat pada sebagaian besar

tubuh, kepala, leher, uuper trunk, lower trunk dan eksterimats. Tiap
52

diagonal terdiri dari pola-pola yang saling berlawanan satu dengan

yang lainnya. Tiap pola mempunyai komponen besar yaitu fleksi dan

ekstensi. Komponen-komponen mayor ini (fleksi dan ekstensi) di

kombinasikan dengan dua komponen yang lain.

Pola-pola gerak untuk lengan :

1) Fleksi ----- abduksi ---- exorotasi

2) Fleksi ----- adduksi ----- exorotasi

3) Ekstensi ----- adduksi ----- endorotasi

4) Ekstensu ----- abduksi ------ endorotasi

Pola gerak untuk tungkai :

1) Fleksi ----- adduksi ------ exorotasi

2) Fleksi ------ abduksi ----- endorotasi

3) Ekstensi ------ adduksi ----- exorotasi

4) Ekstensi ----- abduksi ------- endorotasi

3. Tehnik-Tehnik Dalam PNF

a. Tehnik adalah suatu upaya untuk mempermudah gerakan untuk

keperluan mencapai tujuan tertentu/spesifik.

b. Tujuan penggunaan berbagai tehnik dalam PNF adalah

1) Sebagai pengantar/pembuka gerakan

2) Meningkatkan kekuatan kontraksi

3) Menaikan tingkat rileksasi

4) Perbaikan koordinasi

5) Menurunkan nyeri

6) Meningkatkan lingkup gerak sendi


53

7) Meningkatkan stabilitas sendi

8) Menghindari kelelahan

9) Belajar suatu gerakan

10) Meningkatkan daya tahan

c. Macam-macam tehnik PNF

Tehnik-tehnik dalam PNF yaitu dapat berupa fasilitasi atau

inhibisi, untuk satu arah gerakan atau dua arah gerakan dan untuk otot-

otot agonis, untuk inhibisi antagonis, untuk fasilitasi antagonis,

maupun untuk agonis dan antagonis sekalipun. Berikut ini tehnik-

tehnik yang ada dalam PNF yaitu sebagi berikut :

1) Rhytmical Initiation/Tehnik Pumping-up

Rhytmical Initiation/Tehnik Pumping-up adalah suatu tehnik

yang ditujukan pada agonis menggunakan gerakan pasif, aktif dan

resisited.

2) Repeated Contraction

Repeated Contraction adalah suatu tehnik kontraksi isotoni

yang ditujukan pada agonis, yang mana pada lingkup gerak tertentu

di lakukan restretch untuk meningkatkan kontraksi.

3) Stretch Refleks

Stretch Refleks adalah suatu bentuk gerakan yang ditujukan

untuk merangsang refleks monosynaptis sehingga mempunyai efek

fasilitasi pada otot uang di ulur secara adequat.


54

4) Combination Of Isotonic

Combination Of Isotonic adalah suatu bentuk gerakan yang

ditujukan pada agonis untuk mengendalikan/mengontrol gerakan

yang sulit. Merupakan gerakan dengan kontraksi isotonik

(konsentrik, eksentrik dan kontraksi isometrik) dari pola gerak

agonis tanpa di ikuti fase rileks yang dikombinasikan dengan

ketenangan dan koordinasi untuk mendapatkan gerakan yang

fungsional.

5) Timing For Emphasis (Pivoting)

Timing For Emphasis adalah suatu bentuk gerakan dimana

bagian gerakan yang lemah diberi ekstra stimulasi melalui bagian

yang kuat.

6) Hold Rileks

Hold Rileks adalah suatu tehnik yang menggunakan kontraksi

isometrik yang optima dari kelompok otot antagonis yang

memendek, dilanjutkan dengan rileksasi otot tersebut.

7) Contract Rileks

Contract Rileks adalah suatu tehnik yang menggunakan

kontraksi isotonik yang optimal dari kelompok otot antagonis yang

memendek, dilanjutkan dengan rileksasi otot tersebut (prinsip

reciproke inhibition).

8) Slow Reversal

Slow Reversal adalah suatu tehnik yang menggunakan

kontraksi isotonik bergantian antara agonis dam amtagonis, tanpa


55

diikuti fase rileks. Fenomena ini indikasi untuk fungsi normal

(misalnya berjalan, memanjat pohon, berolahraga dan lain-lain).

9) Stabilizing Reversal

Stabilizing Reversal adalah suatu tehnik yang menggunakan

kontraksi isotonik bergantian antara agonis dan antagonis, tanpa

diikuti dengan fase rileks, dengan tujuan untuk emningkatkan

stabilitas.

10) Rhytmichal Stabilization

Rhytmichal Stabilization adalah suatu tehnik stabilisasi yang

ritmis, terasa nyaman, menggunakan kontraksi isometrik dari

kelompok agonis dan antagonis.


56

BAB III

LAPORAN KASUS

A. Assesment Fisioterapi (pada tanggal 07 maret 2017)

1. Anamnesis (Auto/Hetero)

a. Identitas Pasien:

Nama : Ny. R

Usia : 59 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Kristen

Status perkawinan : Belum menikah

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Pendidikan terakhir : SMA

Alamat : Cililitan besar

b. Riwayat Penyakit

1) Keluhan Utama

Kekakuan anggota gerak atas dan bawah pada sisi kanan tubuh

2) Riwayat Penyakit Sekarang

Pada tanggal 7 agustus 2015, pada saat bangun tidur tiba-tiba

pasien mengalami kelumpuhan anggota badan sebelah kanan.

Pada malam hari pasien baru ditemukan oleh saudaranya dan di

bawa ke rumah sakit UKI. Lalu pasien di diagnosis stroke non

hemoragic sinistra. Setelah itu pada tanggal 6 Februari 2016

pasien menjalani terapi di rumah sakit UKI sampai sekarang.

56
57

3) Riwayat Penyakit Dahulu

- Gula darah = normal

- Kolesterol = normal

- Hypertensi = tidak ada

4) Riwayat Pribadi

5) Riwayat Keluarga

Tidak ada keluarga yang menderita penyakit seperti yang

dialami pasien.

2. Pemeriksaan fisik

a. Vital sign dan keadaan umum

1) Tekanan darah : 130/80 mmHg

2) Denyut nadi : 78x/menit

3) Pernafasan : 22x/menit

4) Temperatur : 36,5 0C

5) Tinggi badan : 154 cm

6) Berat badan : 50 kg

7) Tingkat kesadaran : Compos Mentis

b. Inspeksi

1) Inspeksi Statik

a) Pasien datang dengan mandiri

b) Wajah pasien nampak asimetris

c) Bahu pasien asimetris dengan shoulder kanan lebih rendah.

d) Lengan pasien pada posisi elbow fleksi


58

e) Wajah tidak tampak pucat

2) Inspeksi Dinamik

a) pada saat berjalan pasien tidak nampak ayunan kaki

kanannya

b) tidak terdapat fase hill strike, hill off, toe off pada saat

berjalan dan ankle cenderung inversi.

c. Palpasi

1) Terdapat hypertonus pada otot biceps dan fleksor wrist

2) Suhu lokal sisi sakit sama dengan sisi sehat

3) Nyeri tekan (-) pada otot biceps dan tibilais anterior

d. Perkusi

Tidak dilakukan

e. Auskultasi

Tidak dilakukan

f. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar (PFGD)

1) Gerak pasif

Tabel 3.1 Hasil pemeriksaan gerak pasif setelah 4 kali terapi

AREA KANAN KIRI


Shoulder (S) =30O-0O-120O (S) =60O-0O-180O
(F) =120O-0O-120O (F) =180O-0O-130O
Elbow (S) =90O-120O- (F) =0O-0O-150O
135O
Wrist (S) =45O-45O-70O (F) =70O-0O-80O
HIP (S) =30O-0O-110O (S) =30O-0O-120O
(F) =45O-0O-30O (F) =45O-0O-30O
Knee (S) =0O-0O-135O (S) =0O-0O-135O
59

Angkle (S) =40O-0O-20O (S) =50O-0O-30O

2) pengukuran Endfill dan spastisitas dengan skala asworth scale.

Tabel 3.2 pengukuran endfill dan spastisitas

Sendi Gerakan Endfill Spastisitas

Shoulder Fleksi Springy 2


Ekstensi springy 2
Abduksi springy 2
Adduksi springy 2

Elbow Fleksi Soft 2


Ekstensi Springy 2

Wirst Fleksi springy 2


Ekstensi springy 3

Hip Fleksi springy 2


Ekstensi springy 2
Abduksi Elastis 2
Adduksi Elastis 2

Knee Fleksi Soft 2


Ekstensi Hard 2

Angkle Plantar fleksi Elastis 2


Dorso fleksi Springy 3
60

g. Pemeriksaan khusus (spesifik test)

1) Pemeriksaan pola berjalan

Kelainan yang didapat pada pemeriksaan pola jalan ini terdapat

pada stance phase yaitu:

a) Kontrol yang berkurang dari lutut ( knee lock)

b) Pada saat menumpu posisi angkle inversi sehingga hill

strike tidak ada.

c) pada saat berjalan tidak terlihat ayunan tungkai kanan dan

cenderung di seret.

3. Pemeriksaan kognitif, intrapersonal, dan interpersonal

a. Kognitif : Pasien dapat mengerti dan mengikuti latihan-

latihan yang diberikan oleh terapis.

b. Interpersonal : hubungan pasien dengan terapis cukup baik.

c. Intrapersonal : pasien memiliki motivasi yang tinggi untuk sembuh.

4. Pemeriksaan kemampuan fungsional dan lingkungan aktivitas

a. Fungsional dasar (Indeks Barthel)

Tabel 3.3 hasil pemeriksaan fungsional dasar

No Aktivitas SKOR
1 Makan 10
2 Berpindah dari kursi roda ke 10
tempat tidur dan sebaliknya
(termasuk duduk di tempat tidur)
3 Kebersihan diri (mencuci muka, 5
menyisir,mencukur dan
menggosok gigi)
4 Aktivitas di toilet (menyemprot, 10
61

mngelap)
5 Mandi 5
6 Berjalan dijalan yang datar (jika 15
tak mampu jalan melakukannya
dengan kursi roda)
7 Naik turun tangga 5
8 Berpakaian (termasuk 5
menggunakan sepatu)
9 Mengontrol BAB 10
10 Mengontrol BAK 10
Jumlah 85

Keterangan :
0 – 20 : Ketergantungan penuh
21 – 61 : Ketergantungan berat atau sangat tergantung
62 – 90 : Ketergantungan moderat
91 - 99 : Ketergantungan ringan
100 : Mandiri
Total 85 = ketergantungan moderat

b. Fungsional aktivitas

1)Tinetti Performance Oriented Mobility Assessment (POMA)

a) Balance Test

Tabel 3.4 Pengkuran balance test berdasarkan pengukuran POMA

Instruksi Reaksi pasien Skor


1 Tenang dan aman Keseimbangan Duduk. 0
Bersandar slide. 2
2 Duduk ke berdiri Tidak mampu tanpa bantuan. 0
Mampu dengan bantuan 1
tangan.
Mampu tanpa bantuan 2
tangan.
62

3 Upaya untuk Tidak mampu tanpa bantuan. 0


bangkit Mampu dengan lebih dari 1 1
(duduk ke berdiri) kali Upaya.
Mampu dengan 1 kali upaya. 2
4 Keseimbangan Goyah. 0
berdiri awal (5 Stabil dengan bantuan. 1
detik pertama) Stabil tanpa bantuan. 2
5 Keseimbangan Goyah.Stabil dengan base 0
Berdiri luas / bantuan.
Stabil dengan base 1
sempit/tanpa bantuan. 2
6 Berdiri kaki rapat, Bereaksi akan jatuh. 0
Terapis memberikan Terhuyung, goyah. 1
dorongan 3 kali di Stabil. 2
dada
7 Berdiri dengan Goyah. 0
kaki rapat dan Stabil. 1
menutup mata
8 Berputar 360 Langkah tidak kontinyu. 0
Derajat Langkah kontinyu. 1
Goyah. 0
Stabil. 1
9 Berdiri ke duduk Tidak aman (salah 0
penempatan, duduk dengan
menjatuhkan diri ke kursi).
Menggunakan tangan dengan 1
duduk perlahan.
Aman dan duduk perlahan. 2
SKOR KESEIMBANGAN : 13
63

b) Gait Test

Tabel 3.5pengukuran gait test berdasarkan pengukuran POMA

No Instruksi Reaksi pasien Skor


1 Inisiasi berjalan dengan Memulai dengan ragu-ragu. 0
instruksi “jalan” Tanpa ragu-ragu. 1
2 Panjang dan tinggi langkah Tidak melewati kaki kiri yang 0
- Ayunan kaki kakan menumpu.
Melewati kaki kiri yang menumpu. 1
Kaki kanan menyentuh lantai. 0
Kaki kanan tidak menyentuh lantai. 1
- Ayunan kaki kiri Tidak melewati kaki kanan. 0
Melewati kaki kanan. 1
Kaki kiri menyentuh lantai. 0
Kaki kiri tidak menyentuh lantai. 1
3 Kesimetrian langkah Jarak langkah kanan dan kiri tidak 0
sama.
Jarak langkah kanan dan kiri 1
mendekati sama.
4 Kontinuitas Stop dan tidak kontinu pada setiap 0
langkah.
Kontinu pada setiap langkah. 1
5 Berjalan lurus pada jalur Terdapat deviasi. 0
(setimasi jarak antar kaki Deviasi moderet/berjalan dengan 1
seukuran ubun) alat bantu.
Berjalan lurus tanpa alat bantu. 2
6 Trunk Badan instabil dab berjalan dengan 0
alat bantu.
Badan tidak mengayun, tetapi lutut 1
menekuk/tangan melebar.
Berjalan tanpa instabil badan, tanpa 2
alat bantu, tanpa konpensasi tangan.
64

7 Posisi berjalan Tumit terangkat sepanjang berjalan. 0


Tumit menyentuh lantai. 1
SKOR MELANGKAH : 7

Keterangan :
Total score pengukuran = 13+7 = 20
Interpretasi : 25 – 28 = Resiko terjatuh rendah
19 – 24 = Resiko terjatuh sedang
< 19 = resiko terjatuh tinggi
Jadi pasien memiliki resiko jatuh sedang

c. Lingkungan aktivitas

Pasien hanya tidak bisa mencuci baju sendiri dirumah

5. Problematik fisioterapi

a. Kelemahan anggota gerak atas dan bawah pada tubuh bagian

sinistra

b. Adanya spastisitas

c. Keterbatasan lingkup gerak sendi anggota gerak atas dan bawah

sisi sinistra

d. Gangguan pola jalan

e. Gangguan kemampuan funsional aktivitas

B. Diagnosa Fisioterapi

Adanya gangguan pola berjalan yang benar akibat spastisitas dan

kelemahan anggota gerak sebelah kanan sehubungan dengan Stroke Non

Hemoragic sinistra.
65

C. Rencana Program Fisioterapi (Planning)

1. Tujuan intervensi fisioterapi

a. Jangka pendek

1) Mengurangi spastisitas

2) Meningkatkan kekuatan otot pada upper extremity dan lower

ekstremity sinistra

3) Meningkatkan LGS sendi pada upper extremitas

4) Meningkatkan kemampuan fungsional aktivitas

5) Memperbaiki pola jalan

b. Jangka panjang

Meningkatkan kemampuan Fungsional pasien

2. Rencana Intervensi Fisioterapi

a. Modalitas alternatif

1) TENS

2) MWD

3) SWD

4) Bobath

5) PNF

6) Latihan pasif

7) Latihan pola jalan


66

b. Modalitas terpilih

1) Bobath

a) Pelvic kontrol

Tujuan : untuk meningkatkan mobilisasi dan kontrol pelvic

agar tercipta keseimbangan antara segment tubuh bagian

atas dan bagian bawah pada saat aktifitas berjalan.

Dosis :

F = 3X seminggu

I = 60-70% HR maks latihan

T = 10 menit

T = fasilitasi gerakan

R = 8 kali repetisi selama 2 sesi dengan waktu istirahat 30

detik

b) Postural kontrol

Tujuan : untuk melatih pasien untuk melakukan gerakan

pada ekstremitas tanpa diikuti oleh gerakan asosiasi oleh

bagian tubuh yang lain.

Dosis :

F = 3X seminggu

I = 60-70% HR maks latihan

T = 10 menit

T = inhibisi gerakan

R = 8 kali repetisi selama 2 sesi dengan waktu istirahat 30

detik
67

c) Latihan Berjalan

Tujuan : untuk meningkatkan kemampuan berjalan

berdasarkan pola gait yang normal.

Dosis :

F = 3X seminggu

I = 60-70% HR maks latihan

T = 10 menit

T = aktif exercise

R = 8 kali bolak balik selama 2 sesi dengan waktu istirahat

60 detik

d) Latihan naik dan turun tangga

Tujuan : melatih pasien agar dapat naik turun tangga tanpa

bantuan orang lain secara mandiri.

Dosis :

F = 3X seminggu

I = 60-70% HR maks latihan

T = 10 menit

T = aktif exercise

R = 4 kali bolak balik selama 2 sesi dengan waktu istirahat

60 detik

2) PNF (propioceptive neuromuscular facilitation)

tujuan = untuk mengajarkan pola gerak fungsional yang benar dan

membantu memfasilitasi otot yang mengalami kelemahan.


68

Dosisi =

F = 3x seminggu

I = 60-70% HR maks latihan

T = 15 menit

T = Rhytmical initiation dan Repeated contraction

R = 9 kali pengulangan, 3 sesi dan waktu istirahat 60 detik

3. Rencana evaluasi

a. Evaluasi rutin/ sesaat

- keadaan umum pasien/vital sign

b. Evaluasi periodik (setelah 4 kali terapi)

- LGS

- Spastisitas

c. Evaluasi kumulatif (setelah 8 kali terapi)

- Kemampuan fungsional pasien

4. Pelaksanaan Program Fisioterapi

a. Bobath

1) Pelvic kontrol

a) Posisi pasien : pasien di posisikan tidur terlentang dengan

kedua tungkai fleksi lutut 70o dan kedua tangan berada di

samping tubuh pasien.

b) Posisi terapis : terapis berada di depan pasien atau didepan

lutut pasien

c) Pelaksanaan : terapis menginstruksikan pasien untuk

mengangkat pinggul pada posisi bridging, lalu terapis


69

menginstruksikan pasien untuk melakukan pelvic tilting.

Terapis membantu pasien untuk mengontrol gerakan

pelvicnya. Gerakan di ulangi sebanyak 8 kali repetisi selama

2 sesi dengan istirahat selama 30 detik.

2) Postural kontrol

a) Posisi pasien : pasien di posisikan duduk di kursi

b) Pelaksanaan terapi : terapis menginstruksikan pasien untuk

duduk tegak pada kursi, lalu terapis mengkoreksi postural

trunk pasien. Setelah itu pasien disuruh mempertahankan

posisinya sambil menggerakan anggota geraknya dimana di

gerakkan pada arah diagonal tubuh. Latihan di lakukan

selama 2 sesi dengan setiap sesi sebanyak 8 kali gerakan per

anggota gerak dalam waktu 10 menit

3) Latihan berjalan

a) Posisi pasien : pasien di posisikan berdiri di dalam paralel

bar.

b) Posisi terapis : terapis berada di belakang pasien.

c) Pelaksanaan terapi : terapis menginstruksikan pasien untuk

melangkah dengan mentransfer berat badan ke satu sisi dan

mengayunkan kakinya untuk melangkah. Pada saat pasien

melangkah terapis mengkoreksi pergerakan pelvic pasien

sehingga pasien dapat berjalan dengan pola yang normal.

Latihan di lakukan sebanyak 8 kali bolak balik sebanyak 2

sesi selama 10 menit dengan waktu istirahat 1 menit.


70

4) Latihan naik dan turun tangga

a) Posisi pasien : pasien berdiri di bawah tangga

b) Posisi terapis : terapis berada di belakang pasien pada saat

naik tangga dan berada di depan pasien pada saat turun

tangga.

c) Pelaksanaan terapi : pasien di instruksikan untuk melangkah

naik tangga dengan kaki sehat terlebih dahulu sedangkan

terapis menjaga pasien untuk memastikan pasien tidak

terjatuh pada saat menaiki tangga. Pada saat menuruni

tangga, terapis mengintruksikan pasien untuk melangkah

dengan kaki yang sakit terlebih dahulu baru di ikuti dengan

kaki yang sehat. Sedangkan terapis menjaga pasien agar tidak

jatuh. Latihan di lakukan sebanyak 4 kali pengulangan

dengan 2 sesi dan istirahat sebanyak 60 detik. Terapi

dilakukan selama 10 menit.

b. PNF (propioceptive neuromuscular facilitation)

1) posisi pasien : pasien tidur terlentang di atas tempat tidur.

2) posisi terapis : terapis berada di samping pasien.

3) pelakanaan terapi : terapis menginstruksikan pasien untuk

melakukan gerakan yang di contohkan terapis dengan arah

diagonal sesuai dengan aba-aba terapis. Latihan di lakukan

pada lengan dan tungkai pada sisi kanan tubuh pasien. Latihan

di lakukan dengan 9 kali pengulangan dan 3 sesi dimana

latihan di lakukan selama 15 menit


71

5. Home Program

Pasien diingatkan untuk melakukan gerakan yang telah

diajarkan terapis dan mengulanginya di rumah.

6. Evaluasi

a. Evaluasi sesaat yang di lakukan setiap kali terapi meliputi tekanan

darah dan denyut nadi sebelum dan sesudah terapi. Hasilnya dapat

di lihat pada tabel berikut:

Tabel 3.6 Hasil evaluasi sesaat sebelum dan sesudah terapi

Tekanan Darah nadi


Tanggal
Pre exercise Post exercise Pre exercise Post exercise

07 maret 2017 130/80 mmhg 160/100 mmhg 78 x/menit 90 x/menit

09 maret 2017 120/80 mmhg 140/90 mmhg 64 x/menit 84 x/menit

11 maret 2017 110/70 mmhg 140/80 mmhg 76 x/menit 88 x/menit

14 maret 2017 130/90 mmhg 150/110 mmhg 82 x/menit 94 x/menit

18 maret 2017 140/100 mmhg 160/110 mmhg 86x/menit 96x/menit

21 maret 2017 120/80 mmhg 130/80 mmhg 74 x/menit 88 x/ menit

25 maret 2017 110/70 mmhg 130/80 mmhg 72 x/menit 86 x/menit

01 april 2017 120/ 90 mmhg 140/100 mmhg 80 x/menit 94 x/menit


72

b. Evaluasi dilakukan secara periodik, yaitu: evaluasi yang dilakukan

setelah 4 kali terapi yaitu pada tanggal 14 maret 2017.

1) Gerak pasif

Tabel 3.7 Hasil evaluasi gerak pasif setekah 4 kali terapi

AREA KANAN KIRI

Shoulder (S) =40O-0O-160O (S) =60O-0O-180O

(F) =160O-0O- (F) =180O-0O-130O

120O

Elbow (S) =0O-0O-135O (F) =0O-0O-150O

Wrist (S) =45O-30O-70O (F) =70O-0O-80O

HIP (S) =30O-0O-120O (S) =30O-0O-120O

(F) =45O-0O-30O (F) =45O-0O-30O

Knee (S) =0O-0O-135O (S) =0O-0O-135O

Angkle (S) =40O-0O-20O (S) =50O-0O-30O

3) spastisitas dengan skala asworth scale

Tabel 3.8 Tabel Evaluasi spastisitas

SENDI GERAKAN Spastisitas


Shoulder Fleksi 1+
Ekstensi 2
Abduksi 1+
Adduksi 2
Elbow Fleksi 1
Ekstensi 1
wirst Fleksi 2
Ekstensi 3
73

Hip Fleksi 1+
Ekstensi 1+
Abduksi 1+
Adduksi 2
Knee Fleksi 2
Ekstensi 1
Ankle Plantar fleksi 1
Dorso fleksi 2

c. Evaluasi kumulatif yaitu evaluasi yang dilakukan sebanyak 8 kali

terapi yaitu pada tanggal 1 april 2016.

1) Indeks Barthel

Tabel 3.9 hasil pemeriksaan fungsional dasar

No Aktivitas SKOR
1 Makan 10
2 Berpindah dari kursi roda ke tempat 15
tidur dan sebaliknya (termasuk duduk
di tempat tidur)
3 Kebersihan diri (mencuci muka, 5
menyisir,mencukur dan menggosok
gigi)
4 Aktivitas di toilet (menyemprot, 10
mngelap)
5 Mandi 5
6 Berjalan dijalan yang datar (jika tak 15
mampu jalan melakukannya dengan
kursi roda)
7 Naik turun tangga 10
8 Berpakaian (termasuk menggunakan 5
sepatu)
74

9 Mengontrol BAB 10
10 Mengontrol BAK 10
Jumlah 95
Keterangan :
0 – 20 : Ketergantungan penuh
21 – 61 : Ketergantungan berat atau sangat tergantung
62 – 90 : Ketergantungan moderat
91 - 99 : Ketergantungan ringan
100 : Mandiri
Total 95 = ketergantungan ringan

2)Tinetti Performance Oriented Mobility Assessment (POMA)

a) Balance Tests

Tabel 3.10 Evaluasi balance test berdasarkan

pengukuran POMA

Instruksi Reaksi pasien Skor


1 Tenang dan aman Keseimbangan Duduk. 0
Bersandar/slide. 2
2 Duduk ke berdiri Tidak mampu tanpa bantuan. 0
Mampu dengan bantuan tangan. 1
Mampu tanpa bantuan tangan. 2
3 Upaya untuk Tidak mampu tanpa bantuan. 0
bangkit Mampu dengan lebih dari 1 kali 1
(duduk ke berdiri) Upaya.
Mampu dengan 1 kali upaya. 2
4 Keseimbangan Goyah. 0
berdiri awal (5 detik Stabil dengan bantuan. 1
pertama) Stabil tanpa bantuan. 2
5 Keseimbangan Goyah. 0
Berdiri Stabil dengan base luas / 1
bantuan.
75

Stabil dengan base sempit/tanpa 2


bantuan
6 Berdiri kaki rapat, Bereaksi akan jatuh. 0
Terapis memberikan Terhuyung, goyah. 1
dorongan 3 kali di dada Stabil. 2
7 Berdiri dengan kaki rapat Goyah. 0
dan menutup mata Stabil. 1
8 Berputar 360o Langkah tidak kontinyu. 0
Langkah kontinyu. 1
Goyah. 0
Stabil. 1
9 Berdiri ke duduk Tidak aman (salah penempatan, 0
duduk dengan menjatuhkan diri
ke kursi).
Menggunakan tangan dengan 1
duduk perlahan.
Aman dan duduk perlahan. 2
SKOR KESEIMBANGAN : 17

b) Gait Test

Tabel 3.11 Evaluasi Gait test berdasarkan pengukuran

POMA

No Instruksi Reaksi pasien Skor


1 Inisiasi berjalan dengan Memulai dengan ragu-ragu. 0
instruksi “jalan” Tanpa ragu-ragu. 1
2 Panjang dan tinggi langkah Tidak melewati kaki kiri yang 0
- Ayunan kaki kakan menumpu.
Melewati kaki kiri yang menumpu. 1
Kaki kanan menyentuh lantai. 0
Kaki kanan tidak menyentuh lantai. 1
76

- Ayunan kaki kiri Tidak melewati kaki kanan. 0


Melewati kaki kanan. 1
Kaki kiri menyentuh lantai. 0
Kaki kiri tidak menyentuh lantai. 1
3 Kesimetian langkah Jarak langkah kanan dan kiri tidak 0
sama.
Jarak langkah kanan dan kiri 1
mendekati sama.
4 Kontinuitas Stop dan tidak kontinu pada setiap 0
langkah.
Kontinu pada setiap langkah. 1
5 Berjalan lurus pada jalur Terdapat deviasi. 0
(setimasi jarak antar kaki Deviasi moderet/berjalan dengan alat 1
seukuran ubun) bantu.
Berjalan lurus tanpa alat bantu. 2
6 Trunk Badan instabil dab berjalan dengan 0
alat bantu.
Badan tidak mengayun, tetapi lutut 1
menekuk/tangan melebar.
Berjalan tanpa instabil badan, tanpa 2
alat bantu, tanpa konpensasi tangan.
7 Posisi berjalan Tumit terangkat sepanjang berjalan. 0
Tumit menyentuh lantai. 1
SKOR MELANGKAH : 9
Keterangan :
Total score pengukuran = 17+9 = 26
Interpretasi : 25 – 28 = Resiko terjatuh rendah
19 – 24 = Resiko terjatuh sedang
< 19 = resiko terjatuh tinggi
Jadi pasien memiliki resiko jatuh sedang

Вам также может понравиться