Вы находитесь на странице: 1из 17

BAB 2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Karet (Hevea brasiliensis L.)


Tanaman karet (Hevea Brasiliensis) merupakan tanaman perkebunan yang
bernilai ekonomis tinggi. Tanaman tahunan ini dapat disadap getah karetnya
pertama kali pada umur tahun ke-5. Dari getah tanaman karet (lateks) tersebut bisa
diolah menjadi lembaran karet (sheet), bongkahan (kotak), atau karet remah
(crumb rubber) yang merupakan bahan baku industri karet. Kayu tanaman karet,
bila kebun karetnya hendak diremajakan, juga dapat digunakan untuk bahan
bangunan, misalnya untuk membuat rumah, furniture dan lain-lain (Purwanta
dkk., 2008). Karet merupakan tanaman yang berasal dari Amerika Latin,
khususnya Brasil. Sebelum dipopulerkan sebagai tanaman budidaya yang
dikebunkan secara besar-besaran, penduduk asli Amerika Selatan, Afrika, dan
Asia sebenarnya telah memanfaatkan beberapa jenis tanaman penghasil getah.
Karet masuk ke Indonesia pada tahun 1864, mula-mula karet ditanam di kebun
Raya Bogor sebagai tanaman koleksi. Dari tanaman koleksi karet selanjutnya
dikembangkan ke beberapa daerah sebagai tanaman perkebunan komersial
(Setiawan dan Andoko, 2005).
Tanaman karet termasuk dalam famili Euphorbiacea, disebut dengan nama
lain rambung, getah, gota, kejai ataupun havea. Klasifikasi tanaman karet adalah
sebagai berikut:
Devisio : Spermatophyta
Subdevisio : Angiospermae
Klas : Dicotyledonae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Havea
Spesies : Havea brasiliensis
Sumber: Habibie, 2009
Lateks karet alam terdiri dari sistem koloid cis -1,4 poliisoprena yang
tersebar secara stabil dengan jumlah molekul yang tinggi dalam serum. Cis-1,4
poliisoprena ini banyak terdapat di Indonesia yaitu berasal dari pohon hevea
brasiliensis. Untuk jenis gutta percha yaitu tras -1,4 poli isoprena banyak tumbuh
di Malaysia dengan perbedaan konfigurasi dari hevea brasiliensis. Perbedaan
dimana untuk trans 1,4 poliisoprena yaitu molekul CH2 tidak sejajar dengan

molekul CH2 yang lain, tetapi sejajar dengan molekul CH3. Karet gutta percha ini

umumnya lebih kuat dan kurang elastis, digunakan untuk pembungkus kabel
listrik dan sebagai bahan baku untuk bola golf. Karet merupakan politerpena yang
disintesis secara alami melalui polimerisasi enzimatik isopentilpirofosfat.
Sesungguhnya isoprena merupakan produk degradasi utama karet, yang
diidentifikasi sebagaimana pada awal 1860-an. Rumus empiris karet adalah
C10H16 dan ini adalah polimer yang tinggi.
Produktivitas karet di Indonesia hanya 1,0 ton/ha, lebih rendah daripada
Malaysia (1,3 ton/ha) dan Thailand (1,9 ton/ha). Produksi karet di Indonesia,
Thailand, dan Malaysia berkontribusi 85% dari total produksi dunia (Kemenperin,
2012). Pada tahun 2012 luas area perkebunan karet di Indonesia mencapai 3,462
juta hektar dengan komposisi perkebunan rakyat sebanyak 2,937 juta hektar,
perkebunan besar milik Negara sebanyak 0,242 juta hektar, dan perkebunan besar
swasta sebanyak 0,283 juta hektar (Ditjenbun 2012).
2.2 Fungsi Bahan
2.2.1 Asam Format
Asam formiat atau asam metanoat yang juga dikenal sebagai asam semut
adalah senyawa organik yang mengandung gugus karboksil (-CO2H) dan
merupakan bagian dari senyawa asam karboksilat. Asam formiat ini pertama kali
diperoleh oleh ahli kimia pada abad pertengahan melalui proses penyulingan
semut merah dengan rumus molekul HCOOH. Sifat dari asam formiat ini adalah
mudah terbakar, tidak berwarna, berbau tajam/menusuk dan mempunyai sifat
korosif yang cukup tinggi. Asam formiat ini mudah larut dalam air dan beberapa
pelarut organik, tetapi sedikit larut dalam benzene, karbon tetraklorida dan
toluene, serta tidak larut dalam dalam karbon alifatik. Asam formiat mempunyai
bobot molekul 46,03 g/mol dan merupakan asam paling kuat dari deretan gugus
asam karboksilat serta berfungsi sebagai reduktor. Asam formiat dalam keadaan
murninya mempunyai titik leleh 8°C, titik didih 101°C, dan rapatan sebesar 1,2
g/ml pada suhu 20°C, secara ideal struktur karbonil senyawa asam formiat
mencerminkan ikatan hydrogen yang kuat antara molekul-molekul asam
karboksilat (kira-kira 10 kkal/mol untuk 2 ikatan hydrogen), maka asam
karboksilat ini sering dijumpai dalam bentuk dimer asam karboksilat / bahkan
dalam fasa uap (Setiawan, 2007).
Kata formiat berasal dari nama sejenis semut merah “formica rufa” yang
dapat mengeluarkan asam dan terbentuk sebagai asam bebas. Asam ini banyak
dijumpai pada beberapa jenis tumbuhan, pada bulu-bulu jelatang dan hasil
dari fermentasi bakteri pada karbohidrat. Beberapa ilmuwan melakukan
penelitian yang berhubungan dengan Asam formiat dari semut tersebut. Brunfles
pada permulaan abad ke-16 menyelidiki uap dari semut gunung penyebab warna
merah dari tumbuh-tumbuhan. Et-Muller pada tahun 1684 telah mendistilasi
sejumlah semut gunung yang menghasilkan suatu “acid spirit” yang dapat
merusak besi. Fisher mendistilasi sejumlah semut dengan air dan ditemukan pada
larutan distilatnya suatu asam menyerupai “spirit of vinegar”. Pada umumnya,
Asam formiat yang dijual dipasaran mempunyai kadar 85% dan 90% sedangkan
dalam bentuk anhidrat tersedia dalam jumlah bebas. Asam formiat banyak
digunakan untuk koagulan karet, conditioner pada pencelupan tekstil, industri
kulit serta sintesa bahan-bahan farmasi dan bahan kimia lain.
Di alam, asam format ditemukan pada sengatan dan gigitan banyak dari misalnya
lebah dan semut. Asam format juga merupakan hasil pembakaran yang signifikan
dari yaitu pembakaran yang tercampur air), jika dicampurkan dengan asam
format berasal dari kata yang berarti semut. Pada awalnya, senyawa ini
di melalui semut. Senyawa kimia turunan asam format, misalnya
kelompok dan format memiliki rumus kimia HCOO−. Pemakaian asam formiat
didalam negeri terutama untuk :
1. Koagulasi karet alam
Sebagai koagulan aid yang akan menghasilkan kualitas karet yang lebih baik.
2. Conditioner Pada Proses Pencelupan Tekstil
Digunakan sebagai bahan kimia pembantu dalam proses pencelupan atau
pewarnaan anti kusut dan anti ciut.
3. Conditioner Pada Proses Penyamakan Kulit
Digunakan dalam proses pembersihan, penghilangan zat kapur dan pewarnaan
kulit.
4. Silase
Untuk pencampuran pada makanan ternak.
2.2.2 Asam Asetat
Nama asam asetat berasal dari kata Latin asetum, “vinegar”. Asam asetat,
asam etanoat atau asam cuka adalah senyawa kimia asam organik yang
merupakan asam karboksilat yang paling penting di perdagangan, industri, dan
laboraturium dan dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan.
Asam cuka memiliki rumus kimia CH3-COOH, CH3COOH, atau CH3CO2H.
Bentuk murni dari asam asetat ialah asam asetat glacial. Asam asetat glasial
mempunyai ciri-ciri tidak berwarna, mudah terbakar (titik beku 17°C dan titik
didih 118°C) dengan bau menyengat, dapat bercampur dengan air dan banyak
pelarut organik. Dalam bentuk cair atau uap, asam asetat glacial sangat korosif
terhadap kulit dan jaringan lain suatu molekul asam asetat mengandung gugus –
OH dan dengan sendirinya dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air. Karena
adanya ikatan hidrogen ini, maka asam asetat yang mengandung atom karbon satu
sampai empat dan dapat bercampur dengan air (Hewitt, 2003). Asam asetat
merupakan asam lemah yang terionisasi sebagian dalam air, walaupun demikian,
keasaman asam asetat tetap lebih tinggi dibanding dengan keasaman air (Kohar,
2004).
2.2.3 Amoniak
Amonia merupakan salah satu pengemulsi yang paling banyak digunakan
karena desinfektan sehingga dapat membunuh bakteri, bersifat basa sehingga
dapat mempertahankan atau menaikkan pH lateks pekat, dan mengurangi
konsentrasi logam. Selain sebagai zan antikoagulan, amonia berfungsi sebagai
desinfektan. Bersifat basa sehingga dapat mempertahankan/menaikkan pH lateks
kebun. Mengurangi konsentrasi logam. Untuk lateks yang akan diolah menjadi
crepe tidak boleh diberi amonia secara berlebihan karena akan berpengaruh
terhadap warna crepe. Dosis: 5 – 10 ml larutan amonia 2,5% untuk setiap liter
lateks.
Amonia adalah gas tajam yang tidak berwarna dengan ttik didih -33,5 0C.
Cairannya mempunyai panas penguapan yang bebas yaitu 1,37 kJ/g pada titik
didihnya dan dapat ditangani dengan peralatan laboratorium yang biasa. Cairan
NH3 mirip air dalam perilaku fisikanya, bergabung dengan sangat kuat melalui
ikatan hidrogen. Tetapan dielektriknya ~22 pada -34 0C kira-kira 81 untuk H2O
pada 25 0cukup tinggi untuk membuatnya sebagai pelarut pengion yang baik
(Cotton dan Wilkinson, 1989)
2.2.4 CMC
Carboxy Methyl Cellulose adalah turunan dari selulosa dan sering dipakai
dalam industri makanan untuk mendapatkan tekstur yang baik. Fungsi CMC yang
terpenting adalah sebagai pengental, stabilisator, pembentuk gel, sebagai
pengemulsi dan dalam beberapa hal dapat meratakan penyebaran antibiotik
(Winarno, 1997).
Emulsifier memiliki kemampuan untuk menyatukan dua jenis bahan yang
tidak saling melarut karena molekulnya terdiri dari gugus hidrofilik dan lipofilik
sekaligus. Gugus hidrofilik mampu berikatan dengan air atau bahan lain yang
bersifat polar, sedangkan gugus lipofilik mampu berikatan dengan minyak atau
bahan lain yang bersifat non polar (Suryani et al., 2002). Karboksi metil selulosa
memiliki sifat higroskopis, mudah larut dalam air, dan membentuk larutan koloid.
Sebagai pengemulsi, CMC sangat baik digunakan untuk memperbaiki
penampakkan tekstur dari produk berkadar gula tinggi. Sebagai pengental, CMC
mampu mengikat air sehingga molekul-molekul air terperangkap dalam struktur
gel yang dibentuk oleh CMC.

2.3 Proses Pengolahan dan Produk Hulu Lateks


Karet alam diperoleh dengan cara penyadapan pohon Hevea Brasiliensis,
karet alam memiliki berbagai keunggulan dibanding karet sintetik, terutama dalam
hal elastisitas, daya redam getaran, sifat lekuk lentur (flex-cracking) dan umur
kelelahan (fatigue). Karet alam diproduksi dalam berbagai jenis, yakni lateks
pekat, RSS (Ribbed Smoked Sheet) dan Crepe.
2.3.1 Lateks Pekat
Lateks pekat (concentrated latex) merupakan bahan baku pembuatan
benang karet. Lateks pekat adalah jenis karet yang berbentuk cairan pekat, tidak
berbentuk lembaran atau padatan lainnya. Lateks pekat yang dijual di pasaran ada
yang dibuat melalui proses pemusingan. Biasanya lateks pekat banyak digunakan
untuk pembuatan bahan-bahan karet yang tipis dan bermutu tinggi
misalnyaseperti kondom, sarung tangan medis, lem karet, selang transparan, karet
busa dan barang jadi lateks lainnya. Dalam mempoduksi lateks pekat dapat
ditempuh beberapa cara, yakni secara pemusingan (sentrifugasi), pendadihan
(creaming), penguapan dan elektrodekantasi (Handoko, 2002). Pengolahan lateks
pekat dapat diperoleh dengan beberapa metode yaitu sebagai berikut:
a. Metode Sentrifugasi
Mertode sentrifugasi dilakukan dengan sentrifuge berkecepatan 6000-7000
rpm. Lateks yang dimasukkan pada alat sentrifugasi (separator) akan
mengalami pemutaran yaitu gaya sentripetal dan gaya sentrifugal. Prinsip
pemekatan lateks dengan cara sentrifugasi yaitu berdasarkan perbedaan
berat jenis antara partikel karet dan serum. Gaya sentrifugal jauh lebih
besar daripada percepatan gaya berat dan gerak brown. Sehingga dapat
terjadi terpisah antara partikel karet dan serum karena adanya gaya
sentrifugal yang lebih besar dibanding percepatan gravitasi bumi. Serum
yang mempunyai berat jenis lebih besar dari partikel karet cenderung naik
ke permukaan sedangakan serum yang memiliki berat jenis lebh kecil
cenderung berada dibawahnya. Lateks pekat hasil dari kumpulan karet
yang berada pada sentrifugasi dengan mengandung karet kering sebesar
60%, sedangkan lateks skim dihasilkan dari kumpulan serum yang keluar
dari alat sentrifugasi karena bagian serum yang memiliki rapat jenis besar
akan terlempar. Pada lateks skimnya mengandung karet kering antara 3-
8% dengan rapat jenis sekitar 1,02 g/cm3 (Handoko, 2002).
b. Metode Pendadihan
Metode pendadihan merupakan metode yang bisa dilakukan dalam
pemekatan lateks. Pada metode ini memerlukan bahan pendadih, seperti
natrium atau amonium alginat, gum tragacant, methyl cellulosa, carboxy
methylcellulosa, dan tepung iles-iles. Mutu lateks yang dihasilkan
ditentukan berdasarkan esifikasi menurut ASTM dan SNI. Bahan lateks
kebun yang telah dibubuhi dengan bahan pendadih seperti natrium atau
amonium alginat, gum tragacant, methyl cellulosa, carboxy
methylcellulosa, dan tepung iles-iles. Kemudian, bahan pendadih tersebut
dimasukkan ke dalam tangki pendadihan. Adanya bahan pendadih tersebut
menyebabkan partikel-partikel karet akan membentuk rantai-rantai
menjadi butiran yang garis tengahnya lebih besar. Perbedaan rapat jenis
antara butir karet dan serum menyebabkan partikel karet yang mempunyai
rapat jenis lebih kecil dari serum akan bergerak ke atas untuk membentuk
lapisan, sedangkan dengan yang di bawah yaitu serum.
c. Metode Evaporasi
Dalam proses pemekatan lateks pekat dapat dilakukan dengan cara metode
dekantasi listrik. Pemekatan lateks dilakukan dengan cara memasukkan
logam elektroda yaitu positif dan negatif ke dalam lateks kebun yang
ditempatkan dalam suatu tabung, karena butir-butir karet bermuatan
negatif maka butir-butir karet akan mengalir ke kutub positif dan
mengumpul disekelilingnya. Dengan caratersebut maka terpisahlah lateks
kebun menjadi 2 bagian yaitu kutub positif terdapat lateks pekat
sedangkan kutub negatif adalah serumnya. Untuk memudahkan
pengambilannya atau pemisahannya maka pada tabung dipasang alat untuk
mengalirkan lateks pekat atau serumnya biasanya berupa klep pada salah
satu sisi yang berguna sebagai alat untuk memisahkan lateks dengan
serumnya supaya tidak tercampur.
d. Metode Elektrodekantasi
Maksud dari penguapan ini adalah untuk mengurangi kadar air dari lateks
kebun dengan cara pemanasan. Lateks pekat yang diperoleh ini kadar karet
keringnya antara 70-75% dan masih mengandung bahan bukan karet.
Prinsipnya yaitu mengurangi kadar air pada bahan. Menurut Praptiningsih
(1999), evaporasi adalah proses pengentalan larutan dengan cara
mendidihkan atau menguapkan pelarut. Di dalam pengolahan hasil
pertanian proses evaporasi bertujuan untuk, meningkatkan larutan sebelum
proses lebih lanjut, memperkecil volume larutan, menurunkan aktivitas air
Aw. Proses pengurangan kadar air dalam bahan dapat meliputi evaporasi
dan pengeringan. Evaporasi ditujukan untuk mendapatkan massa yang
lebih pekat dengan jalan menguapkan sebagian air yang yang ada pada
massa air. Maka secara umum, evaporasi dapat didefinisikan sebagai
proses pengentalan larutan dengan cara mendidihkan atau menguapkan
pelarut. Di dalam pengolahan hasil pertanian proses evaporasi bertujuan
untuk :
1. Meningkatkan konsentrasi atau viskositas larutan sebelum diproses
lebih lanjut. Sebagai contoh pada pengolahan gula diperlukan proses
pengentalan nira tebu sebelum proses kristalisasi, spray drying, drum
drying dan lainnya
2. Memperkecil volume larutan sehingga dapat menghemat biaya
pengepakan, penyimpanan dan transportasi.
3. Menurunkan aktivitas air dengan cara meningkatkan konsentrasi solid
terlarut sehingga bahan menjadi awet misalnya pada pembuatan
susukental manis (Handoko, 2002).
2.3.2 RSS (Ribbed Smoked Sheet)
Ribbed Smoke Sheet (RSS) merupakan salah satu jenis produk karet olahan
dari getah tanaman karet Hevea brasiliensis yang diperoleh secara perkebunan
maupun perorangan (Khimah et al., 2013). Produk olahan tanaman karet ini
memiliki banyak kegunaan dalam pasar industri sebagai bahan baku pembuatan
industri otomotif dan ban. Di tingkat dunia, Thailand, Indonesia, dan Malaysia
merupakan pengekspor karet terbesar di dunia. Indonesia memiliki kecenderungan
pengeksporan karet ke negara Amerika Serikat. Ribbed Smoked Sheet (RSS)
adalah adalah produk yang berasal dari lateks tanaman karet Hevea brasiliensis
yang diolah secara mekanis dan kimiawi dengan pengeringan menggunakan
rumah asap serta mutunya memenuhi standard The Green Book dan konsisten.
Prinsip pengolahan jenis karet ini adalah mengubah lateks segar menjadi
lembaran-lembaran melalui proses penyaringan, pengenceran, pembekuan,
penggilingan, pengasapan dan sortasi.
Pengolahan karet secara umum meliputi penerimaan lateks, pengenceran
lateks, pembekuan lateks, penggilingan, pengeringan, serta sortasi dan
pembungkusan. Lateks merupakan cairan yang berwarna putih atau putih
kekuning-kuningan yang terdiri atas partikel karet dan non karet yang terdispersi
di dalam air. tahap pengolahan karet Ribbed Smoked Sheet (RSS) menurut
Sucahyo (2010), adalah sebagai berikut:
1. Penerimaan lateks
Lateks hasil penyadapan yang berasal dari berbagai bagian kebun diangkut
dengan tangki yang ditarik truk ke pabrik. Dipabrik lateks diterima dan di
campur dalam bak penerimaan. lateks yang dimasukan ke dalam bak
penerimaan harus disaring terlebih dahulu untuk mencegah aliran lateks
yang terlalu deras dan terbawanya lump atau kotoran lainnya.
2. Pengenceran lateks
Pengenceran lateks atau memperlemah kadar karet adalah menurunkan
kadar karet yang terkandung dalam lateks sampai diperoleh kadar karet
yang terkandung dalam lateks sampai diperoleh kadar karet baku sesuai
dengan yang diperlukan dalam pembuatan sheet, yaitu sebesar 13%, 15%,
16%, atau 20% sesuai dengan kondisi dan peralatan setempat.
3. Pembekuan lateks
Pembekuan atau koagulasi bertujuan untuk mempersatukan butir butir
karet yang terdapat dalam cairan lateks, supaya menjadi satu gumpalan
atau koagulum. Untuk membuat koagulum ini lateks pelu dibubuhi obat
pembeku (koagulan) seperti asam semut atau asam cuka. Menurut
penelitian, terjadinya poses koagulasi adalah karena terjadinya penurunan
pH. Lateks segar yang diperoleh dari hasil sadapan mempunyai pH 6,5.
supaya tidak terjadi pengumpalan, pH yangmendekati netral tersebut harus
diturunkan sampai 4,7. Pada kemasaman ini tercapai titik isoelektris atau
keseimbangan muatan listrik pada permukaan pertikel pertikel karet,
sehingga partikel partikel karet tersebut dapat menggumpal menjadi satu.
Penurunan pH ini terjadi dengan membubuhi asam semut 1% atau asam
cuka 2% ke dalam lateks yang telah diencerkan.
4. Penggilingan
Koagulum yang didapatkan dari lateks tersebut di ambil dan digiling
dengan mesin penggiling manual atau otomatis. Mesin penggiling tersebut
terdiri dari mesin penggiling halus dan mesin penggiling cetakan. Tujuan
dari gilingan ini adalah mengubah koagulum menjadi lembaran lembaran
yang mempunyai lebar,panjang dan tebal tertentu serta untuk
mengeluarkan serum yang terdapat di dalam koagulum
5. Pengeringan
Lembaran-lembaran yang dihasilkan dari mesin penggiling selanjutnya
akan dikeringkan dengan cara dijemur pada selayan di pabrik. Pengeringan
dapat dilakukan dengan menggunakan kayu bakar dan panas. Pengeringan
bertujuan untuk mengawetkan sheetyang dapat mencegah tumbuhnya
mikroorganisme karena asap mengandung fenol dan memberikan warna
coklat muda dengan asap sehingga meningkatkan mutunya. Pengaturan
sirkulasi udara dan jumlah asap perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil
pengeringan yang optimal.
6. Sortasi dan Pembungkusan
Setelah diasap dan dikeringkan selanjutnya sheet dapat dipilih berdasarkan
beberapa macam kriteria mutu tertentu. Kegiatan sortasi ini biasanya
dilakukan di atas meja sortasi kaca berwarna putih susu. Menurut Djumarti
(2011) dasar penentuan mutu RSS secara visual dan organoleptik yaitu
jumlah kapang, keseragaman warna, noda oleh benda asing (kebersihan),
gelembung udara, kekeringan, berat antara 1-1,5 kg per lembar, tebal sheet
2,5-3,5 mm dan lebarnya 4,5 mm.
2.3.3 Crepe
Karet crepe merupakan lateks kebun yang telah melalui pengolahan menjadi
lembaran-lembaran tipis. Pengolahan karet crepe diawali dengan proses
penyaringan, pengenceran, pembekuan, penggilingan dan pengeringan pada lateks
segar yang berasal dari perkebunan. Pengolahan crepe memilikiperbedaan dengan
pengolahan sheet erletk yaitu pada tahap penggelingan dan pengeringan. Tahapan
pengolahan crepe adalah sebagai berikut :
a. Penyaringan dan pengenceran lateks
Lateks segar yang berasal dari perkebunan karet akan dikumpulkan terlebih
dahulu sebelum diproses menjadi karet crepe. Lateks segar akan disaring
pada tempat pengolahan dan dilakukan beberapa kali sehingga lateks yang
diperoleh memiliki kualitas baik dan bersih. Bahan baku dalam pembuatan
crepe membutuhkan lateks yang memiliki tingkat kebersihan tinggi dan
kualitas yang baik. Proses selanjutnya pada lateks yaitu pengenceran.
Sebelum lateks diencerkan, lateks sudah mengalami pencampuran.
Setyamidjaja (1993) menyatakan bahwa, pencampuran harus dilakukan
sangat teliti dengan menggunakan tiga buah saringan. Buih-buih atau busa
yang muncul pada permukaan larutan diharuskan untuk dibuang.
Pembuangan harus dilakukan hati-hati karena pembuangan buih yang tidak
baik akan meyebabkan timbulnya garis-garis pada crepe yang sudah
kering.Buih yang sudah dihilangkan dapat kembali diproses menjadi off
crepe. Setelah pencampuran akan dilakukan pengenceran air, air yang
digunakan yaitu KKK 20%.
b. Pembekuan lateks
Pembekuan lateks dilakukan setelah lateks mengalami pengenceran.Pada
pengolahan krep bila keadaan tidak memungkinkan karena jarak antara
kebun ke pabrik terlalu jauh dan kemungkinan terjadi kerusakan pada saat
pengangkutan maka pembekuan lateks dapat dilakukan di kebun. Pembekuan
lateks dilakukan menggunakan natrium bisulfit.Setelah lateks diencerkan
sampai mencapai kadar karet baku 20% ditambahakan larutan obat pemutih
Natrium-bisulfit 5% sesuai dengan kebutuhan. Obat pembeku ditambahkan
sebanyak 20cc asam semut 2,5% atau asam cuka 5% dan diaduk secara
perlahan-lahan. Menurut Safitri (2010) asam format atau asam semut
ditambahkan dalam lateks yang dibekukan, bisa juga menggunakan asam
asetat. Bila menggunakan asam format sebagai pembeku, dosisnya adalah
0.5-0.7 ml per liter lateks. Sedangkan dosis asam asetat 1-1.4 ml untuk setiap
liter lateks. Asam pembeku ini diberikan ke lateks segera setelah natrium
bisulfit diberikan. Karet crepe yang dibekukan dalam tangki/bak koagulasi
harus ditutup agar crepe tidak tercampur kotoran. Untuk mencegah proses
oksidasi yang menyebabkan warna ungu pada crepe, ditambahkan air bersih
atau larutan natrium bisulfit 1% hingga airnya melebihi pemukaan lateks.
Pemberian bisulfit juga dapat menghindari atau mengurangi warnakuning
pada lateks.
c. Penggilingan
Koagulum yang diperoleh dari bak pembekuan dapat berbentuk bongkah-
bongkah dalam ukuran tertentu sehingga perlu dilakukan penggilingan.
Lateks beku yang memiliki ukuran besar dipotong-potong agar mudah
dilakukan penggilingan. Lateks beku akan digiling dengan menggunakan 3
sampai 4 gilingan crepe yang masing-masing memiliki 2 roda.1 seri mesin
gilingan kreb terdiri atas 3-5 buah gilingan, yang dapat dibedakan menjadi 3
macam gilingan yaitu gilingan pertama (voorwerker), gilingan tengah
(tussenwerker), dan gilingan akhir (finisher). Pada pabrik krep yang
kapasitas produksinya tinggi biasa menggunakan gilingan pertama 7 buah,
gilingan tengah 2 buah, dan gilingan akhir 1 buah (Setyamidjaja, 1993). Alat
penggiling yang digunakan memiliki kecepatan yang berbeda-beda. Saat
penggilingan berlangsung, air harus selalu tersedia. Setelah penggilingan
selesai. pada proses penggilingan karet crepe itu rata tidak berpatron, kasar
tidak licin. Saat proses pengeringan karet crepe tidak dilakukan pengasapan
karena karet crepe harus berwarna putih. Berlangsungnya prose penggilingan
adalah sebagai berikut:
Koagulum dimasukkan kedalam gilingan pertama. Oleh gilingan pertama
koagulum ditekan sambil digilas menjadi lembaran yang koyak-koyak,
berlubang-lubang, dan masih belum rata ketebalannya. Lembaran-lembaran
ini kemudian dilipatdua dan digiling kembali pada gilingan pertama.
Lembaran yang keluar dari gilingan pertama akan dimasukkan kedalam
gilingan tengah ke-1 atau tussenwerker 1. Lembaran yang keluar dari
gilingan tengah ke-1 sudah lebih tipis tetapi masih berlubang-lubang.
Lembaran ini terus dimasukkan dalam gilingan tengah ke-2 atau
tussenwerker 2 yang setelah rodanya lebih sempit.Lembaran yang keluar dari
gilingan tengah ke-2 digulung dengan gulungan kayu atau bambu. Kemudian
digiling pada gilingan akhir atau finisher dengan tujuan untuk meratakan
permukaan lembaran kreb tersebut. Selama berlangsung proses penggilingan
lembaran-lembaran kreb, rol gilingan harus selalu dibasahi dengan air.
Maksud pemberian air ini bukan saja sebagai pencuci serum yang keluar dari
koagulum yang digiling, tetapi juga untuk menghindari karet lengket pada rol
dan untuk mendinginkan rol tiap-tiap gilingan yang bekerja. Kebutuhan air
pencuci dan pendingin adalah 25 liter tiap kadar karet kering. Kreb yang
keluar melalui gilingan akhir akan memiliki panjang 6-7 meter, lebar 40-45
cm, dan tebal 1-2 mm. Lembaran kreb akan memiliki permukaan yang tidak
licin dan berpori-pori halus. Lembaran krep akhir akan digulung atau dilipat-
lipat dan diletakkan dengan posisi tegak akan airnya air dapat menetes
dengan waktu 1-2 jam. Sebelum lembaran-lembaran dibawa kerumah
pengeringan biasanya ditimbang dahulu untuk mengetahui berat basah kreb
tersebut. Setelah dikeringkan, bobotnya akan susut sekitar 12-20%.
Tabel1. Skema Penggilingan Kreb
Gilingan Perlakuan Hasil

Gilingan pertama Koagulum digiling pertama Koyak-koyak, tebal 7-


(voorwerker) dilipat dua, digiling kedua 10mm, berlobang-lobang,
kalinya. tebal 4-5mm

Gilingan tengah I. Lembaran dilipat dua, Lembaran berlobang-


(tussenwerker) digiling lobang kecil, tebal 3-4mm.
II. Lembaran digiling tanpa
dilipat
Gilingan akhir Lembaran digiling satu kali Lembaran permukaannya
rata, tebal mencapai 1-
(finisher) 2mm.

d. Pengeringan
Lembaran crepe yang diletakkan secara tegak akan dikeringkan dengan
bantuan angina (Safitri, 2010). Rumah pengeringan asap memiliki bentuk
dan konstruksi yang berbeda dengan rumah asap. Lembaran crepe tidak
diasap dan memiliki lembaran-lembaran yang panjang. Ukuran rumah
pengeringan kreb panjangnya 15 meter dengn lebar 7,5 meter serta tingginya
dari lantai ke atap 10 meter. Pada bagian dalam rumah pengeringan terdapat
bilah-bilah penggantungan yang dibuat dari bahan kayu jati. Tebal bilah
adalah 4-5 cm. Bilah-bilah yang terbuat dari kayu jati penggunaannya akan
tahan lama dan memiliki kekuatan apabila diinjak oleh pekerja yang akan
menggantung-gantungkan kreb yang akan dikeringan. Bagian atas bilah
penggantungan ini dibulatkan untuk menjaga agar permukaan kreb menjadi
rata. Kerapatan bilah-bilah diruangan pengeringan dengan panas buatan
adalah 8-12 cm, sedangkan pada rumah-rumah pengeringan alami (dengan
udara biasa) lebih jarang yaitu sekitar 15-20 cm. Pengeringan kreb bisa
dilakukan dengan dua acara yaitu menggunakan panas udara biasa
(pengeringan alami) dan dengan udara yang dipanaskan (pemanasan
buatan).Setiap pengeringan memiliki kelemahan.Pada pengeringan secara
alami, waktu yang digunakan cukup lama yaitu sekitar saru bulan tergantung
cuaca atau iklim. Pada pengeringan dengan panas buatan suhu udara dalam
ruangan pengeringan yang dibutuhkan adalah sekitar 33-34°C. Pengeringan
pada lembaran crepe dilakukan untuk memperoleh tingkat kadar air yang
diinginkan pada lembaran crepe. Tanda-tanda kreb yang tengah kering
adalah tidak terdapat bintik-bintik keputih-putihan dan bila dites kadar airnya
telah mencapai rata-rata 0,6% (0,35-1,00%) (Setyamidjaja, 1993).
e. Sortasi
Krep yang sudah dikeringan akan diangkut keruang sortasi. Lembaran krep
yang panjang digulun menggunakan bilah kayu agar mempermudah proses
sortasi. Ruangan sortasi harus kering dan bersih, penerangan atau keadaan
cahaya harus cukup, biasanya dengan cahaya baur yang dapat diperoleh
dengan melalui jendela-jendela kaca susu. Noda-noda kotoran yang terdapat
pada lembarang digunting dan bekas guntingan dirapatkan kembali.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam sortasi krep yaitu warna, noda-
noda kotoran, tanda-tanda oksidasi, dan belang-belang serta bintik-bintik
atau garis-garis. Standar sortasi krep berdasarkan The International of
Quality and Packing for Natural Rubber Grades atau Green Book kualitas
krep digolongkan sebagai berikut:
1) No. 1-X : Superior Quality Thin Pale Latex Crepe
2) No. 1 : Standart Quality Thin Pale Latex Crepe
Jenis krep No. 1-X dann No. 1 harus memenuhi persyaratan warna
kuning pucat, tidak terdapat noda-noda, minyak, dan bahan lainnya.
3) No. 2 : Fair Average Quality Tin Palish Latex Crepe
Jenis ini boleh berwarna tidak kuning pucat, tetapi tidak boleh
mengadung bintik-bintik, minyak, kotoran, dan bahan-bahan lainnya.
f. Pembungkusan
Lembaran-lembaran akan dijadikan bandela-bandela (bal-bal) berbentuk
kubus 52cm x 52 cm x 52cm dengan berat 80 kg pada saat pembungkusan.
Pembungkusan harus dilakukan secara rapat dan dibalut menggunakan
lembaran-lembaran krep pembalut yang memiliki kualitas yang sama atau
sejenis. Pada bagian luar bal diberi warna dengan menggunakan larutan
coating talc (dilabur) kemudian diberi merk dan cap kiriman.
2.4 Mekanisme Penggumpalan Lateks
2.5 SNI Lateks
Lateks yang baik harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :
1. Disaring dengan saringan berukuran 40 mesh
2. Tidak terdapat kotoran atau benda lain seperti daun atau kayu
3. Tidak bercampur dengan bubur lateks, air ataupun serum lateks
4. Warna putih dan berbau lateks segar
5. Lateks kebun bermutu 1 mempunyai kadar karet kering 28% dan lateks
kebun bermutu 2 mempunyai kadar karet kering 20%
Menurut (Zuhra, 2006), persyaratan mutu lateks kebun setibanya di pabrik untuk
dapat diolah menjadi lateks adalah :
- Kadar karet kering (DRC) : maksimum 27,5%
- Jumlah padatan (TSC) : maksimum 25%
- Bilangan VFA : minimum 0,07
- Bilangan KOH : minimum 1,70
- Analisa amoniak : maksimum 0,35
Persyaratan mutu berdasarkan Standar Nasional Indonesia dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 2.Spesifikasi Persyaratan Mutu
Persyaratan
No Parameter Satuan Lateks
Sit Slab Lump
Kebun
1 Karet Kering
(KK) (min) % 28 - - -
Mutu I % 20 - - -
Mutu II
2 Ketebalan (T)
Mutu I Mm - 3 < 50 50
Mutu II Mm - 5 51– 100 100
Mutu III Mm - 10 100-150 150
Mutu IV Mm - - >150 >150
3 Kebersihan - Tidak Tidak Tidak Tidak
(B) terdapat terdapat terdapat terdapat
kotoran kotoran kotoran kotoran
4 Jenis - Asam Asam Asam
Koagulan semut dan semut semut
bahan lain dan dan
- yang tidak bahan bahan
merusak lain lain
mutu karet yang yang
tidak tidak
merusak merusak
mutu mutu
karet karet
serta serta
penggu penggu
mpalan mpalan
alami alami
Sumber: SNI (2002)

Вам также может понравиться