Вы находитесь на странице: 1из 25

KULIAH FARMAKOTERAPI TERAPAN

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HASANUDDIN

“Gastro-Esophageal Reflux Disease/GERD”

KELOMPOK 2:

Aat Prayogo Muhtar N211 15 005

Ade Sri Ervina N211 15 004


BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Pendahuluan

Refluks gastroesofageal sebenarnya merupakan proses fisiologis normal yang banyak

dialami orang sehat, terutama sesudah makan. PRGE atau Penyakit refluks gastroesofageal

(gastro-esophageal reflux disease/GERD) adalah kondisi patologis dimana sejumlah isi

lambung berbalik (refluks) ke esofagus melebihi jumlah normal, dan menimbulkan berbagai

keluhan. Refluks ini ternyata juga menimbulkan symptomsekstraesofageal, disamping

penyulit intraesofageal seperti striktur, Barrett's esophagus atau bahkan adenokarsinoma

esophagus. PRGE dan sindroma dispepsia mempunyai prevalensi yang sama tinggi, dan

seringkali muncul dengan simptom yang tumpang tindih sehingga menyulitkan diagnosis.

Dispepsia non ulkus, di masa lalu diklasifikasikan menjadi 4 subgrup yaitu dispepsia tipe

ulkus, dispepsia tipe dismotilitas, dispepsia tipe refluks dan dispepsia non spesifik. Namun

kemudian ternyata dispepsia tipe refluks dapat berlanjut menjadi penyakit organik yang

berbahaya seperti karsinoma esofagus. Karena itulah para ahli sepakat memisahkan

dispepsia tipe refluks dari dispepsia dan menjadikan penyakit tersendiri bernama penyakit

refluks gastroesofageal.

Prevalensi PRGE di Asia, termasuk Indonesia, relatif rendah dibanding negara maju. Di

Amerika, hampir 7% populasi mempunyai keluhan heartburn, dan 20%-40% diantaranya

diperkirakan menderita PRGE. Prevalensi esofagitis di negara barat berkisar antara 10%-

20%, sedangkan di Asia hanya 3%-5%, terkecuali Jepang dan Taiwan (13-15%).2,4 Tidak

ada predileksi gender pada PRGE, laki-laki dan perempuan mempunyai risiko yang sama,

namun insidens esofagitis pada laki-laki lebih tinggi, begitu pula Barrett's esophagitis lebih

banyak dijumpai pada laki-laki PRGE dapat terjadi di segala usia, namun prevalensinya

meningkat pada usia diatas 40 tahun.


BAB II

ISI

II.1 Pengertian

Gastroesophageal Reflux Disease didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis

sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus yang menimbulkan berbagai

gejala yang mengganggu di esofagus maupun ekstra-esofagus dan/atau komplikasi maupun


(2,5)
adanya gejala kerusakan organ . Oleh karena itu, GER sebenarnya bukan suatu

penyakit, tetapi lebih banyak merupakan proses fisiologis yang normal. Namun GER dapat

bersifat patologik, bila peristiwa ini menimbulkan keluhan dan gejala kerusakan jaringan

dalam esofagus, orofarings, larings, dan saluran napas. Bila hal ini terjadi, penderita yang

mengalami kejadian ini disebut sebagai penderita Penyakit Refluks Gastroesofaggeal

(GERD = gastro-esophageal reflux disease) (8,10).

Refluks gastroesofagus adalah peristiwa masuknya isi lambung ke dalam esofagus

yang terjadi secara intermiten pada setiap orang, terutama setelah makan. Refluks yang

terjadi tanpa menimbulkan gejala dan perubahan histologik mukosa esofagus, disebut

refluks gastroesofagus fisiologik (9).

Penyakit Refluks Gastroesofageal adalah suatu keadaan patologis yang disebabkan

oleh kegagalan dari mekanisme antirefluks untuk melindungi mukosa esofagal terhadap
(2)
refluks asam lambung dengan kadar yang abnormal dan paparan yang berulang

Penyakit ini merupakan suatu spektrumdari penyakit yang menghasilkan gejala

heartburn dan regurgitasi asam serta menyebabkan kerusakan jaringan dalam esofagus,

orofaring, laring, dan saluran napas. Kelainan yang ditemukan di esofagus, dapat berupa

esofagitis, struktur esofagus, dan Barrett’s esophagusI sedangkan diekstraesofagus seperti


(5)
faringitis, laringitis, sinusitis, erosi gigi, dan gejala pulmonal seperti asma dan batuk .
II.2 Etiologi

Penyakit refluks gastroesofagus disebabkan oleh proses yang multifaktor. Pada orang

dewasa faktor-faktor yang menurunkan tekanan sfingter esofagus bawah sehingga terjadi

refluks gastroesofagus antara lain coklat, obat-obatan (misalnya aspirin), alkohol, rokok,

kehamilan. Faktor anatomi seperti tindakan bedah, obesitas, pengosongan lambung yang

terlambat dapat menyebabkan hipotensi sfingter esofagus bawah sehingga menimbulkan


(1,3,6,7)
refluks gastroesofagus . Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya

GERD. Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat refluks esofageal apabila : 1). Terjadi

kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus, 2).

Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus (5).

Beberapa penyebab lain terjadinya GERD meliputi : (11)

1. Menurunnya tonus LES (Lower Esophageal Sphincter)

2. Bersihan asam dari lumen esofagus menurun

3. Ketahanan epitel esofagus menurun

4. Bahan refluksat mengenai dinding esofagus yaitu Ph <2, adanya pepsin,

garam empedu, HCL.

5. Kelainan pada lambung

6. Infeksi H. Pylori dengan corpus predominan gastritis

7. Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas

8. Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks

9. Mengkonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan

berkarbonat, alkohol, merokok, dan obat-obatan yang bertentangan dengan fungsi

esophageal sphincter bagian bawah termasuk yang memiliki efek antikolinergik

(seperti beberapa antihistamin), penghambat saluran kalsium, progesteron, dan

nitrat.

10. Kelaianan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan.


II.3 Epidemologi

GERD dapat terjadi pada semua umur tetapi kebanyakan terjadi pada usia diatas 40

tahun. Walaupun kematian yang disebabkan ole GERD sangat jarang terjadi, gejala dari

GERD mungkin memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup penderita. Dalam

populasi barat, kisaran prevalensi untuk GERD adalah 10% sampai 20% dari populasi.

Prevalensi dari GERD bervariasi tergantung dari wilayah geografis, tetapi negara barat

merupakan wilayah dengan kasus GERD tertinggi. Kecuali selama kehamilan dan

kemungkinan NERD, tidak timbul perbedaan yang signifikan pada kasus antara pria dan

wanita. NERD cenderung terjadi pada wanita dan pada pasien sekitar 10 tahun lebih muda

dari pasien yang mengalami erosi.

Walaupun jenis kelamin tidak memberikan perbedaan yang signifikan pada terjadinya

GERD, hal ini merupakan faktor penting pada terjadinya Barret esofagus, komplikasi dari

GERD dimana epitel squamous normal digantikan oleh epitel kolumnar khusus. Barret

esofagus sering terjadi pada pria dewasa berkulit putih di negara barat.

Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah dibandingkan

dengan di negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian pada populasi umum yang

baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi GERD

di Asia. Prevalensi di Asia Timur 5,2 %-8,5 % (tahun 2005-2010), sementara sebelum

2005 2,5%-4,8%; Asia Tengah dan Asia Selatan 6,3%-18,3%, Asia Barat yang diwakili

Turki menempati posisi puncak di seluruh Asia dengan 20%. Asia Tenggara juga

mengalami fenomena yang sama; di Singapura prevalensinya adalah 10,5%, di Malaysia

insiden GERD meningkat dari 2,7% (1991-1992) menjadi 9% (2000-2001), sementara belum

ada data epidemiologi di Indonesia (Jung, 2009), (Goh dan Wong, 2006). Di Divisi

Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI-RSUPN Cipto Mangunkusumo

didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8 % dari semua pasien yang menjalani endoskopi

atas dasar dyspepsia.


II.4 Patofisiologi

Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya GERD. Esofagitis dapat

terjadi sebagai akibat refluks esofageal apabila : 1). Terjadi kontak dalam waktu yang

cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus, 2). Terjadi penurunan

resistensi jaringan mukosa esofagus . Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona

tekanan tinggi (high pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal

sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada

saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esofagus melalui LES hanya terjadi

apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg). Refluks gastroesofageal pada

pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme : 1). Refleks spontan pada saat relaksasi LES

tidak adekuat, 2). Aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES setelah

menelan, 3). Meningkatnya tekanan intra abdomen. Dengan demikian dapat

diterangkanbahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor

defensif dari esofagus (pemisah anti refluks, bersihan asam dari lumen esofagus,

ketahanan epitel esofagus) dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Faktor-faktor lain yang

turut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang

meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung atau obstruksi

gastric outlet dan delayed gastric emptying.

Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan

kurang didukung oleh data yang ada. Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap GERD

merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam

lambung (Makmun, 2009).Tingginya angka infeksi H. pylori di Asia dengan rendahnya

sekresi asam sebagai konsekuensinya telah dipostulasikan sebagai salah satu alasan

mengapa prevalensi GERD di Asia lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara

Barat. Hal tersebut sesuai dengan yang ditunjukkan pada satu studi di Jepang yang

dilakukan oleh Shirota dkk. Studi yang lain juga membuktikan adanya hubungan terbalik

antara derajat keparahan esofagitis refluks dengan infeksi H. pylori. Hamada dkk

menunjukkan insiden esofagitis refluks yang tinggi setelah eradikasi H.pylori,


khususnya pada pasien gastritis korpus dan mempunyai predisposisi terhadap refluks

hiatus hernia (Goh dan Wong, 2006). Dalam keadaan di mana bahan refluksat bukan

bersifat asam atau gas (non acid reflux), timbulnya gejala GERD diduga karena

hipersensitivitas viseral .

Patogenesis PRGE meliputi ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan faktor defensif

dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif antara lain ‘disfungsi’ SEB atau sfingter

esophagus bawah (lower esophageal sphincter/LES), bersihan asam dari lumen esofagus,

dan ketahanan epitel esophagus. Bentuk anatomik SEB yang melipat berbentuk sudut, dan

kekuatan menutup dari sfingter, menjadikan SEB berperan penting dalam mekanisme

antirefluks. Peningkatan tekanan intraabdomen (misalnya saat batuk), proses gravitasi saat

berbaring, dan kelainan anatomis seperti sliding hernia hiatal mempermudah terjadinya

refluks.Bersihan asam dari lumen esofagus adalah kemampuan esophagus untuk

membersihkan dirinya dari bahan refluksat. Kemampuan esophagus ini berasal dari
peristaltik esofagus primer, peristaltik e-sofagus sekunder (saat menelan), dan produksi

saliva yang optimal. Ketahanan epitel esofagus berasal dari lapisan mukus di permukaan

mukosa, produksi mukus, dan mikrosirkulasi aliran darah di post epitel. Sementara yang

menjadi faktor ofensif adalah peningkatan asam lambung, dilatasi lambung, beberapa

kondisi patologis yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan pengosongan lambung

seperti obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.

Simptom khas PRGE adalah heartburn,yaitu rasa terbakar di dada disertai nyeri

(gambar 2) dan regurgitasi (rasa asam pahit dari lambung terasa di lidah).Salah satu dari

keduanya cukup untuk mendiagnosis PRGE secara klinis.Selain kedua gejala tersebut,

PRGE dapat menimbulkan keluhan nyeri atau rasa tidak enak di epigastrium atau

retrosternal bawah, disfagia (kesulitan menelan makanan), odinofagia (rasa sakit waktu

menelan), mual dan rasa pahit di lidah. Keluhan ekstraesofageal yang juga dapat

ditimbulkan oleh PRGE adalah nyeri dada non kardiak, suara serak, laringitis, erosi gigi,
batuk kronis, bronkiektasis, dan asma.Diagnosis PRGE ditegakkan melalui anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan penunjang. Pemeriksaan baku emas untuk mendiagnosis PRGE

berdasarkan konsensus Montreal di tahun 2006 adalah pemantauan pH esophagus selama

24 jam.

II.5 Manifestasi Klinik

Manifestasi klinis GERD dapat berupa gejala yang tipikal (esofagus) dan gejala

atipikal (ekstraesofagus). Gejala GERD 70 % merupakan tipikal, yaitu (Yusuf, 2009):

1. Heart Burn, yaitu sensasi terbakar di daerah retrosternal. Gejala heartburn adalah gejala

tersering, dengan pasien merasa terbakar dari perut atau bagian bawah dada dan

menjalar ke leher, tenggorokan, dan kadang-kadang kembali. Biasanya, hal ini terjadi

terutama setelah makan besar atau mengkonsumsi makanan pedas, produk asam,

lemak, coklat, atau alkohol.

2. Regurgitasi, yaitu kondisi dimana material lambung terasa di faring. Kemudian mulut

terasa asam dan pahit, terutama setelah makan dan diperburuk dengan menunduk dan

berbaring.

3. Disfagia. Biasanya terjadi oleh karena komplikasi berupa striktur peptikum.


Gejala atipikal (ekstraesofagus) seperti batuk kronik dan kadang wheezing, suara

serak, pneumonia asmpirasi, fibrosis paru, bronkiektasis, dan nyeri dada nonkardiak. Gejala

yang kurang umum lainnya termasuk water brash, odynophagia, bersendawa, cegukan,

mual dan muntah. Water brash adalah kemunculan secara tiba-tiba di mulut cairan yang

asam atau asin. Cairan tersebut merupakan sekresi dari kelenjar ludah. (atau biasa disebut

dengan ludah berlebihan). Odynophagia, nyeripada saat menelan, kadang-kadang dapat

dilihat dengan ulseratif esofagitis berat, terutama pada infeksi (candidiasis, herpes)

(Yamada, 2007).

Kadang-kadang gejala GERD tumpang tindih dengan gejala klinis dispepsia sehigga

keluhan GERD yang tipikal tidak mudah ditemukan. Spektrum klinik GERD bervariasi mulai

gejala refluks berupa heart burn, regurgitasi, dispepsia tipe ulkus atau motilitas. Terdapat

dua kelompok GERD yaitu GERD pada pemeriksaan endoskopi terdapat kelainan esofagitis

erosif yang ditandai dengan mucosal break dan yang tidak terdapat mucosal break yang

disebut Non Erosive Reflux Disease (NERD) (Bestari, 2011).

Manifestasi klinis GERD dapat menyerupai manifestasi klinis dispepsia berdasarkan gejala yang

paling dominan adalah (Bestari, 2011) :

 Manifestasi klinis mirip refluks yaitu bila gejala yang dominan adalah rasa panas di dada

seperti terbakar.

 Manifestasi klinis mirip ulkus yaitu bila gejala yang dominan adalah nyeri ulu hati.

 Manifestasi klinis dismotilitas yaitu gejala yang dominan adalah kembung, mual, dan

cepat kenyang.

 Manifestasi klinis campuran atau nonspesifik.


II.6 Diagnosis

Secara klinis, diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan klinis yang seksama. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk

menegakkan diagnosis GERD adalah : endoskopi saluran cerna bagian atas,

pemantauan pH 24 jam, tes Bernstein, manometri esofagus, sintigrafi gastroesofageal,

dan tes penghambat pompa proton (tes supresi asam) . American College of

Gastroenterology (ACG) di tahun 2005 telah mempublikasikan Updated Guidelines for

the Diagnosis and Treatment of Gastroesophageal Reflux Disease, di mana empat di

antara tujuh poin yang ada, merupakan poin untuk diagnosis, yaitu :

a. Jika gejala pasien khas untuk GERD tanpa komplikasi, maka terapi empiris

(termasuk modifikasi gaya hidup) adalah hal yang tepat. Endoskopi saat pasien

masuk dilakukan jika pasien menunjukkan gejala-gejala komplikasi, atau berisiko untuk
Barret’s esophagus, atau pasien dan dokter merasa endoskopi dini diperlukan. (Level of

Evidence : IV)

b. Endoskopi adalah teknik pilihan yang digunakan untuk mengidentifikasi dugaan

Barret’s esophagus dan untuk mendiagnosis komplikasi GERD. Biopsi harus dilakukan

untuk mengkonfirmasi adanya epitel Barret dan untuk mengevaluasi displasia. (Level of

Evidence : III)

c. Pemantauan ambulatoar (ambulatory monitoring) esofagus membantu untuk

konfirmasi reluks gastroesofageal pada pasien dengan gejala menetap ( baik khas maupun

tidak khas) tanpa adanya kerusakan mukosa; juga dapat digunakan untuk memantau

pengendalian refluks pada pasien tersebut di atas yang sedang menjalani terapi. (Level of

Evidence : III)

d. Manometri esofagus dapat digunakan untuk memastikan lokasi penempatan probe

ambulatory monitoring dan dapat membantu sebelum dilakukannya pembedahan anti

refluks. (Level of Evidence : III) Sementara itu, pada tahun 2008, American

Gastroenterological Association (AGA) menerbitkan American Gastroenterological

Association Medical Position Statement on the Management of Gastroesophageal

Reflux Disease yang berisi 12 pernyataan, di mana pada poin ke-4 dijelaskan tentang

peran dan urutan prioritas uji diagnostik GERD pada dalam mengevaluasi pasien dengan

sangkaan GERD sebagai berikut :

a. Endoskopi dengan biopsi dilakukan untuk pasien yang mengalami gejala

esofagus dari GERD dengan disfagia yang mengganggu. Biopsi harus mencakup area

yang diduga mengalami metaplasia, displasia, atau dalam hal tidak dijumpainya

kelainan secara visual, mukosa yang normal (minimal 5 sampel untuk esofagitis

eosinofilik.)

b. Endoskopi dilakukan untuk mengevaluasi pasien yang mengalami gejala

esofagus dari GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali

sehari. Biopsi harus mencakup area yang diduga mengalami metaplasia, displasia,

atau malignansi.
c. Manometri dilakukan untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan gejala GERD

yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari dan gambaran

endoskopinya normal.

d. Pemantauan dengan ambulatory impedance-pH, catheter-pH, atau wirelesspH

dilakukan (terapi PPI dihentikan selama 7 hari) untuk mengevaluasi pasien dengan

dugaan gejala GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali

sehari, gambaran endoskopinya normal dan tidak memiliki kelainan pada manometri.

II.7 Tujuan Terapi

Meskipun secara awam GERD mungkin terkesan “penyakit ringan” karena “hanya”

menimbulkan gejala refluks, GERD perlu ditangani dengan tepat karena gejala tersebut

dapat sangat mengganggu sehingga menurunkan kualitas hidup penderitanya. Suatu kajian

sistematis dari 19 penelitian (n = 55.834 pasien GERD) menunjukkan bahwa frekuensi dan

keparahan gejala GERD dapat mempengaruhi produktivitas kerja, menurunkan kualitas tidur

di malam hari, mempengaruhi kesehatan fisik dan mental, serta kondisi kesehatan tubuh

secara umum.1 Berdasarkan hasil pemeriksaan endoskopi, kondisi GERD dapat dibedakan

menjadi 2, yaitu gejala refluks tanpa adanya inflamasi atau erosi pada mukosa esofagus

(endoscopy-negative reflux disease/ENRD atau non-erosive reflux disease/NERD) dan


gejala refluks disertai inflamasi atau erosi pada mukosa esofagus (esofagitis atau erosive

reflux disease/ERD). Penatalaksanaan GERD perlu disesuaikan dengan kondisi pasien

secara individual karena bervariasinya frekuensi dan tingkat keparahan gejala.

Tujuan penatalaksanaan GERD adalah mengurangi atau menghilangkan gejala

refluks,mengurangi kekambuhan atau lama penyakit GERD, mempercepat penyembuhan

mukosa esofagus, serta mencegah komplikasi, seperti striktur (penyempitan) esofagus,

esofagus Barret, dan kanker esofagus, mempercepat penyembuhan mukosa yang terluka,

dan mecegah berkembangnya komplikasi.

Terapi diarahkan pada peningkatan mekanisme pertahanan yang mencegah refluks

dan atau mengurangi faktor-faktor yang memperburuk agresifitas refluks atau kerusakan

mukosa. Secara spesifik yaitu :

1. Mengurangi keasaman dari refluksat

2. Menurunkan volume lambung yang tersedia untuk direfluks

3. Meningkatkan pengosongan lambung

4. Meningkatkan tekanan LES

5. Meningkatkan kebersihan asam esofagus

6. Melindungi mukosa esophagus

Penatalaksanaan GERD terdiri dari penatalaksanaan tanpa obat (nonfarmakologi)

dan dengan obat (farmakologi).

II.8 Terapi Non Farmakologi

Penatalaksanaan GERD tanpa obat yang saat ini direkomendasikan karena didasari

oleh bukti penelitian yang cukup antara lain: 1) menurunkan berat badan bagi pasien yang

overweight (kelebihan berat badan) atau yang baru saja mengalami peningkatan berat
badan, serta 2) menaikkan posisi kepala pada saat tidur dan tidak makan 2-3 jam sebelum

waktu tidur malam untuk pasien yang mengalami gejala refluks di malam hari (nocturnal

GERD) 3) penatalaksanaan non farmakologi lainnya.(Katz OImGersib LB, Vela MF.

Guidelines for the diagnosis and management of gastroesophageal reflux disease.

Am J Gastroenterol. 2013;108:308-28.

1) Penurunan Berat Badan

Obesitas diduga menyebabkan GERD melalui berbagai faktor antara lain

meningkatkan: 1) perubahan (gradient) tekanan sfingter gastroesofagus, 2) kejadian

hiatal hernia, 3) tekanan intra-abdomen, dan 4) pengeluaran enzim pankreas dan

empedu.9 Bukti penelitian epidemiologis yang ada mengenai hal ini masih saling

bertentangan, meskipun sebagian besar mendukung hubungan GERD dengan

obesitas.9,10 Dua meta-analisis dari penelitian epidemiologis di Amerika

menunjukkanadanya hubungan antara indeks massa tubuh (body mass index, BMI)

dengan GERD. Salah satu meta-analisis menyatakan bahwa bila dibandingkan dengan

orang yang tidak overweight dan tidak obesitas, gejala GERD lebih banyak dialami oleh

orang overweight (BMI 25-30 kg/m2) sebesar 1,43 kali (OR 1,43; 95% CI 1,158-1,774),

dan oleh obesitas (BMI >30 kg/m2) sebesar hampir 2 kali (OR 1,94; 95% CI 1,468-

2,566). Sementara itu, 2 studi berbasis populasi dan 2 studi cross sectional di Australia

dan beberapa negara Eropa tidak menunjukkan adanya hubungan tersebut. Perbedaan

ini diperkirakan terjadi karena 1) perbedaan etnis, 2) banyaknya mekanisme patogenesis

GERD, yang mana tidak semua mekanisme tersebut berhubungan dengan atau

dipengaruhi oleh adanya obesitas, serta 3) perbedaan metodologi penelitian.

Peningkatan berat badan pasien yang mempunyai BMI normal juga berhubungan

dengan munculnya gejala GERD baru.(Festi D, Scaioli E, Baldi F, Vestito A, Pasqui F,

Di Biase AR, et al. Body weight, lifestyle, dietary habits and gastroesophageal

reflux disease. World J Gastroenterol. 2009; 15(14):1690-701.

Penurunan berat badan terbukti berhubungan dengan berkurangnya gejala

GERD. Berdasarkan satu kajian sistematis, terdapat 5 penelitian mengenai hal ini.9 Satu
studi tak terkontrol (n = 34 pasien obesitas) dalam kajian sistematis tersebut

menunjukkan penurunan berat badan berkorelasi signifikan dengan pH esofagus (OR

0,55; p<0,001). Ketiga penelitian lainnya juga menunjukkan korelasi positif, sementara

hanya 1 penelitian (n=20 pasien obesitas dan refluks esofagitis) yang menunjukkan tidak

ada perbedaan gejala refluks antara kelompok kontrol dan kelompok pasien yang

menurunkan berat badan sebesar 10% setelah 6 bulan.(Kaltenbach T, Crockett S,

Gerson B. Are lifestyle measures effective in patients withgastroesophageal reflux

disease? An evidencebased approach. Arch Intern Med. 2006;166:965-71

Efek penurunan berat badan yang diinduksi oleh tindakan operasi atau

endoskopik juga dievaluasi. Terjadi penurunan signifikan paparan asam terhadap

mukosa esofagus selama penurunan berat badan menggunakan balon intragastrik.

Perbaikan gejala GERD juga terjadi setelah berat badan diturunkan menggunakan

metode operasi bariatrik dan Roux-en-Y gastric bypass. 4,10 Suatu studi kasus-kontrol

yang besar menunjukkan bahwa dibandingkan dengan kelompok kontrol, wanita yang

menurunkan berat badannya sebesar 3,5 kali berat badan kelompok kontrol, mengalami

penurunan frekuensi gejala refluks sebesar 40%.(Katz OImGersib LB, Vela MF.

Guidelines for thediagnosis and management of gastroesophageal reflux disease.

Am J Gastroenterol. 2013;108:308-28.

Menaikkan Posisi Kepala ketika Tidur Posisi berbaring datar ketika tidur

diperkirakan meningkatkan risiko refluks esofagus. Terdapat 3 penelitian terkait dengan

manfaat menaikkan posisi kepala ketika tidur. Penelitian pertama (n = 63 pasien)

membandingkan berbagai posisi tubuh, antara lain: duduk, berbaring danmenaikkan

posisi kepala saat tidur. Hasilnya, dibandingkan dengan pasien yang tidur datar, pasien

yang menaikkan posisi kepala ketika tidur dengan menggunakan blok/penyangga

setinggi 28 cm secara signifikan mengalami episode dan gejala refluks lebih sedikit,

durasi refluks lebih singkat, dan pembersihan asam lebih cepat. Penelitian kedua,

randomised trial, membandingkan antara tidur menggunakan bantalan, tidur dengan

posisi kepala dinaikkan, dan tidur datar. Hasilnya, tidur dengan posisi kepala dinaikkan
berhubungan secara signifikan dengan berkurangnya paparan asam pada esofagus bila

dibandingkan dengan tidur secara datar. Pada penelitian acak lainnya,pada pasien

dengan gejala refluks yang diobati dengan golongan penghambat pompa proton (proton

pump inhibitors, PPIs) dan cisapride, tidak ada hubungan antara menaikkan posisi

kepala selama 2 minggu dengan perbedaan penggunaan antasid atau perbaikan gejala,

sehingga intervensi ini tampaknya efektif pada sebagian pasien saja.(Kaltenbach T,

Crockett S, Gerson B. Are lifestyle measures effective in patients with

gastroesophageal reflux disease? An evidencebased approach. Arch Intern Med.

2006;166:965-71.)Contoh posisi menaikkan kepala ketika tidur dapat dilihat pada

gambar 1.

Gambar 1. Menaikkan Posisi Kepala ketika Tidur Menggunakan Bantalan atau

Penyangga

2) Menghindari Makan Terlalu Malam

Satu kajian sistematis dari 2 penelitian menyelidiki efek waktu makan di malam

hari terhadap keasaman lambung selama 24 jam pada subyek sehat. Penelitian pertama

menunjukkan makan pada pk. 18.00 menghasilkan pH lambung yang lebih rendah

dibandingkan makan pada pk. 21.00 (median pH 1,39 vs 1,67; p<0,01), namun ini hanya

terjadi antara tengah malam dan pk. 07.00 pagi. Studi kedua dilakukan pada 10 pasien

sehat menunjukkan bahwa keasaman lambung 24 jam dan malam hari tidak dipengaruhi
oleh perubahan waktu makan malam.(Kaltenbach T, Crockett S, Gerson B. Are

lifestyle measures effective in patients with gastroesophageal reflux disease? An

evidencebased approach. Arch Intern Med. 2006;166:965-71)

3) Penatalaksanaan Nonfarmakologi Lainnya

Beberapa penatalaksanaan nonfarmakologi yang juga direkomendasikan antara lain:

berhenti merokok dan menghindari konsumsi makanan yang dapat memicu gejala GERD

(contoh: coklat, jeruk,kopi, makanan berlemak, makanan pedas, minuman berkarbonasi, dan

alkohol).2,6,7 Akan tetapi, suatu meta-analisis tidak menemukan bukti yang kuat untuk

mendukung hubungan antara intervensi tersebut dengan GERD.9 Meskipun bukti fisiologis

menunjukkan bahwa alkohol, coklat, jeruk, makanan berlemak, atau rokok bisa saja

berpengaruh negatif pada pH esofagus, namun belum ada bukti yang menunjukkan

perbaikan klinis gejala GERD bila konsumsi makanan-minuman tersebut dihentikan.


II.9 Terapi Farmakologi

· 1. Antasida and turunan Asam Alginat Antasida

Antasida adalah komponen yang tepat untuk mengobati GERD ringan, meskipun

dokumentasi keberhasilan antasida dalam uji klinis terkontrol plasebo kurang. Meskipun

literatur agak kontroversial pada keunggulan antasida dengan plasebo , dokter dan

pasien jelas menganggap antasida efektif untuk segera mengurangi gejala-gejala, dan

antasida yang sering digunakan bersamaan dengan terapi asam. Mempertahankan pH

intragastrik > 4 mengurangi aktivasi pepsinogen ke pepsin, enzim proteolitik.

Produk kombinasi bisa lebih baik dibanding antasida sendirian dalam

mengurangi gejala GERD. Produk kombinasi antasida atau antasida dapat menyebabkan

efek samping gastrointestinal ( diare atau sembelit, tergantung pada produk ), perubahan

dalam metabolisme mineral, dan gangguan asam-basa . Antasida yang mengandung

aluminium dapat mengikat fosfat dalam usus dan mengakibatkan demineralisasi tulang .

Selain itu, antasida berinteraksi dengan berbagai obat-obatan dengan mengubah pH

lambung, meningkatkan pH urin, menyerap obat untuk permukaan mereka, memberikan

penghalang fisik untuk penyerapan, atau membentuk kompleks larut dengan obat lain.

Antasida memiliki interaksi obat yang signifikan secara klinis dengan tetrasiklin,

besi sulfat, isoniazid, quinidine, sulfonilurea, dan antibiotik kuinolon. Interaksi antasida

dengan beberapa obat dipengaruhi oleh komposisi, dosis, jadwal dosis, dan formulasi.

Secara umum, antasida memiliki durasi obat yang singkat sehingga memerlukan

administrasi sering sepanjang hari untuk memberikan netralisasi asam terus menerus.

Mengonsumsi antasida setelah makan dapat meningkatkan durasi obat dari sekitar 1 jam

sampai 3 jam, namun penekanan asam pada malam hari tidak dapat dipertahankan

dengan dosis tidur.

2. H2-Receptor Antagonists

Antagonis reseptor H2 (simetidin, famotidin, nizatidin, dan ranitidin) efektif dalam

menurunkan asam lambung. Efektivitas H2-reseptor antagonis dalam manajemen GERD


sangat bervariasi dan sering lebih rendah dari yang diinginkan. Respon terhadap

antagonis reseptor H2 tergantung pada (a) tingkat keparahan penyakit, (b) dosis regimen

yang digunakan, dan (c) durasi terapi. Faktor-faktor ini penting untuk diingat ketika

membandingkan berbagai uji klinis dan / atau menilai respon pasien terhadap terapi.

Tingkat keparahan esophagitis memiliki dampak mendalam pada respon pasien

terhadap antagonis reseptor H2.

Untuk mengurangi gejala-gejala GERD ringan, dosis rendah, antagonis reseptor

H2 tanpa resep atau dosis standar yang diberikan dua kali sehari mungkin

bermanfaat. Pasien yang tidak merespon pada dosis standar mungkin hypersekresi dari

asam lambung dan akan memerlukan dosis yang lebih tinggi. Meskipun dosis

tinggi antagonis reseptor H2 dapat memberikan tingkat kesembuhan gejala dan

endoskopi yang lebih tinggi, informasi yang terbatas mengenai keamanan regimen, dan

dapat menjadi kurang efektif dan lebih mahal daripada inhibitor proton pump sekali

sehari. Tidak seperti penyakit ulkus duodenum, di mana durasi terapi yang relatif singkat

(misalnya, 4 sampai 6 minggu), program perpanjangan antagonis reseptor H2 sering

diperlukan dalam pengobatan GERD.

Karena semua antagonis reseptor H2 memiliki khasiat yang sama, pemilihan agen

khusus untuk digunakan dalam pengelolaan GERD harus didasarkan pada faktor-faktor

seperti perbedaan farmakokinetik, profil keamanan, dan biaya. Secara umum, antagonis

reseptor H2ditoleransi dengan baik. Efek samping yang paling umum adalah sakit kepala,

mengantuk, kelelahan, pusing, dan sembelit atau diare. Pasien harus dipantau adanya

efek samping serta interaksi obat yang potensial, terutama pada cimetidine. Cimetidine

dapat menghambat metabolisme antara lain teofilin, warfarin, fenitoin, nifedipine, dan

propranolol. Alternatif antagonis reseptor H2 lain harus dipilih jika pasien pada obat ini

3. Proton Pump Inhibitor

Proton Pump Inhibitor ( Esomeprazole, lansoprazole, Omeprazole, Pantoprazole,

dan rabeprazole ). Inhibitor proton pump lebih unggul daripada antagonis reseptor

H2 dalam mengobati pasien dengan GERD parah. Tidak hanya pasien dengan esofagitis
erosif atau komplikasi ( misalnya, Barrett esophagus, striktur ), tetapi juga pasien dengan

GERD nonerosive yang memiliki gejala sedang sampai berat. Dosis yang disetujui FDA (

per hari ) dari proton pump inhibitor adalah omeprazole 20 mg, esomeprazole 20 mg,

lansoprazole 30 mg, 20 mg rabeprazole, dan pantoprazole 40 mg. Mengurangi gejala-

gejala pasien yang terlihat sekitar 83 % setelah 8 minggu pengobatan dengan inhibitor

proton pump, sedangkan tingkat penyembuhan endoskopik pada 8 minggu adalah 78 % .

Inhibitor proton pump memblokir sekresi asam lambung dengan menghambat

lambung H+ / K+ - triphosphatase adenosin dalam sel parietal lambung. Menghasilkan

profound, efek antisecretory tahan lama mampu mempertahankan pH lambung diatas 4,

bahkan selama asam postprandial mengalami lonjakan. Suatu korelasi tampak antara

persentase waktu pH lambung tetap di atas 4 selama periode 24 jam dan penyembuhan

esofagitis erosif.

Beberapa percobaan telah membandingkan inhibitor proton pump satu sama lain.

Secara umum, tingkat penyembuhan pada 4 minggu dan 8 minggu sama ; lansoprazole

dan rabeprazole, bagaimanapun, bisa meringankan gejala lebih cepat setelah dosis

pertama bila dibandingkan dengan omeprazole. Penggunaan omeprazole dosis tinggi (

40 mg dua kali sehari ) menyebabkan regresi parsial Barrett esophagus, tapi tidak ada

perubahan dicatat pasien rawat inap yang menerima ranitidine 150 mg dua kali sehari.

Inhibitor proton pump biasanya ditoleransi dengan baik, namun efek samping yang

potensial termasuk sakit kepala, pusing, mengantuk, diare, sembelit, mual, dan

kekurangan vitamin B12. Frekuensi efek samping tampaknya mirip dengan yang terlihat

dengan antagonis reseptor H2.

Interaksi obat dengan inhibitor proton pump bervariasi dengan masing-masing

agen. Semua inhibitor proton pump dapat mengurangi penyerapan obat-obatan seperti

ketoconazole atau itraconazol , yang membutuhkan lingkungan asam untuk diserap.

Semua inhibitor proton pump dimetabolisme oleh sistem sitokrom P450 sampai batas

tertentu, khususnya oleh enzim CYP2C19 dan CYP3A4. Namun, tidak ada interaksi

dengan lansoprazole, pantoprazole, atau rabeprazole telah terlihat dengan substrat


CYP2C19 seperti diazepam, warfarin, dan fenitoin. Esomeprazole tidak berinteraksi

dengan warfarin atau fenitoin, dan interaksi dengan diazepam umumnya tidak dianggap

relevan secara klinis. Pantoprazole juga dimetabolisme oleh sulfotransferase sitosol dan

karena kecil kemungkinannya untuk memiliki interaksi obat yang signifikan dibandingkan

dengan inhibitor proton pump lainnya. Meskipun umumnya tidak menyebabkan perhatian

utama, omeprazole memiliki potensi untuk menghambat metabolisme warfarin, diazepam,

dan fenitoin, dan lansoprazole dapat menurunkan konsentrasi teofilin. Pasien yang

memakai warfarin harus dimonitor untuk potensi adanya perdarahan.

Inhibitor proton pump menurunkan kondisi asam dan karena itu dibuat dalam

sediaan kapsul lepas lambat atau formulasi tablet. Lansoprazole, esomeprazole, dan

omeprazole mengandung enterik ( pH - sensitive ) butiran dalam bentuk kapsul. Untuk

pasien yang tidak dapat menelan kapsul, atau untuk pasien anak, isi kapsul lepas lambat

dapat dicampur dalam saus apel atau ditempatkan dalam jus jeruk. Jika pasien memiliki

tube nasogastrik, isi kapsul omeprazole dapat dicampur dalam 8,4 % larutan natrium

bikarbonat. Butiran esomeprazole dapat terdispersi dalam air. Lansoprazole tersedia

dalam suspensi oral dan sustain release, disintegrasi tablet oral. Pasien yang memakai

pantoprazole atau rabeprazole harus diinstruksikan untuk tidak menghancurkan,

mengunyah, atau membagi tablet lepas lambat. Lansoprazole, esomeprazole,

pantoprazole tersedia dalam formulasi intravena, menawarkan rute alternatif bagi pasien

yang tidak mampu meminum proton pump inhibitor oral. Yang penting, produk intravena

tidak lebih mujarab daripada inhibitor pompa proton dan secara signifikan lebih mahal.

Pemilihan untuk pasien harus hati-hati untuk menghindari meningkatnya biaya dari

penggunaan produk intravena.

Bentuk sediaan terbaru adalah omeprazole dalam nonprescription tablet lepas

lambat dan produk kombinasi dengan natrium bikarbonat dalam kapsul lepas segera dan

suspensi oral ( Zegerid ). Ini adalah pertama lepas segera proton pump inhibitor dan

harus diminum pada waktu perut kosong minimal 1 jam sebelum makan. Zegerid
menawarkan alternatif untuk kapsul lepas lambat atau formulasi intravena pada pasien

dewasa dengan tube nasogastrik .

Pasien harus diinstruksikan untuk meminum inhibitor proton pump di pagi hari, 15

sampai 30 menit sebelum sarapan, untuk memaksimalkan keberhasilan, karena agen ini

menghambat mensekresi proton pump. Pasien dengan gejala nokturnal dapat mengambil

manfaat dari inhibitor proton pump sebelum makan malam. Jika dosis dua kali sehari,

dosis kedua harus diberikan sekitar 10 hingga 12 jam setelah dosis pagi dan sebelum

makan atau camilan. Dosis dua kali sehari juga mungkin tepat selama diagnostik untuk

nyeri dada noncardiac, pada pasien dengan gejala atipikal atau rumit, dan dengan gejala

lain.

3. Prokinetic Agent

Agen prokinetic termasuk cisapride, metoclopramide, dan bethanechol. Khasiat dan

efek samping profil inferior metoclopramide dan bethanechol membatasi penggunaannya

dalam pengobatan GERD.Metoclopramide dapat menyebabkan tardive dyskinesia,

terutama dengan penggunaan jangka panjang. Sebaliknya, cisapride memiliki sebanding

khasiat H2RAs pada pasien dengan esofagitis ringan. Sayangnya, cisapride tidak lagi

tersedia untuk penggunaan rutin karena aritmia yang mengancam jiwa yang mungkin

terjadi saat diberikan dengan obat-obatan tertentu dan penyakit lainnya.

4. Mucosa protectants

Sukralfat, garam aluminium nonabsorbable dari octasulfate sukrosa, memiliki nilai yang

sangat terbatas dalam pengobatan GERD . Sukralfat tidak

direkomendasikan untuk digunakan dalam pengobatan GERD.

5. Terapi kombinasi

Dua agen kelas terapi yang berbeda tidak harus secara rutin digunakan bersama-

sama kecuali pasien memiliki esofagitis dengan disfungsi motorik terjadi bersamaan.

Didalam kasus, agen asam-penekan dan agen prokinetik mungkin

sesuai. Hanya perbaikan sederhana telah terbukti ketika agen prokinetik dikombinasikan

dengan dosis standar H2RA. Oleh karena itu, ketika pasien tidak menanggapi standar
dosis H2RA maka dosis harus ditingkatkan, atau mereka harus beralih ke PPI bukannya

menambahkan agen prokinetik.

Monoterapi dengan PPI tidak hanya lebih efektif dalam pasien yang tidak merespon

H2RA atau prokinetic agen saja, tetapi juga meningkatkan kepatuhan dengan dosis sekali

sehari dan akhirnya lebih hemat biaya.


Daftar Pustaka

1. D, josept T,et al Pharmacotherapy, A Pathopysiologic Approach seventh edition,

Mc Graw Hill Medical, 2008

2. A, Brian K, et al, “applied therapeutics, the clinical use of drug tenth edition”,

Wolters Kluwer, Philadelphia.2013

3. , Sulistia Gan, dkk, Farmakoterapi dan Terapi, Departement Farmakologi dan

terapeutik fakultas kedokteran- universitas indonesia, jakarta, 2007

4. Ballenger JJ.1997. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher, Edisi

13, Jilid 2, Alih Bahasa Staf Ahli Bagian THT RSCM-FK UI, Jakarta : Binarupa

Aksara,. 669-71.

5. Fisichella P.M., Pati M.G., Gastoesophageal refluks disease.

http://emedicine.medscape.com/articlel/176595 (update : April 28 2009).

6. Hibbert J. 1997. Scott-Brown’s Otolaryngology, 6thed., Vol.5, Oxford : Butterworth-

Heinemann, 5/24/12-5.

7. Kahrilas PJ.1997.Gastroesophageal reflux disease. In Gastrointestinal

Pharmacology and Therapeutics, Ed. By G. Friedman et al. Lippincott-Raven Publ.,

Philadelphia. p. 31.

Вам также может понравиться