Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
KELOMPOK 2:
PENDAHULUAN
I.1 Pendahuluan
dialami orang sehat, terutama sesudah makan. PRGE atau Penyakit refluks gastroesofageal
lambung berbalik (refluks) ke esofagus melebihi jumlah normal, dan menimbulkan berbagai
esophagus. PRGE dan sindroma dispepsia mempunyai prevalensi yang sama tinggi, dan
seringkali muncul dengan simptom yang tumpang tindih sehingga menyulitkan diagnosis.
Dispepsia non ulkus, di masa lalu diklasifikasikan menjadi 4 subgrup yaitu dispepsia tipe
ulkus, dispepsia tipe dismotilitas, dispepsia tipe refluks dan dispepsia non spesifik. Namun
kemudian ternyata dispepsia tipe refluks dapat berlanjut menjadi penyakit organik yang
berbahaya seperti karsinoma esofagus. Karena itulah para ahli sepakat memisahkan
dispepsia tipe refluks dari dispepsia dan menjadikan penyakit tersendiri bernama penyakit
refluks gastroesofageal.
Prevalensi PRGE di Asia, termasuk Indonesia, relatif rendah dibanding negara maju. Di
diperkirakan menderita PRGE. Prevalensi esofagitis di negara barat berkisar antara 10%-
20%, sedangkan di Asia hanya 3%-5%, terkecuali Jepang dan Taiwan (13-15%).2,4 Tidak
ada predileksi gender pada PRGE, laki-laki dan perempuan mempunyai risiko yang sama,
namun insidens esofagitis pada laki-laki lebih tinggi, begitu pula Barrett's esophagitis lebih
banyak dijumpai pada laki-laki PRGE dapat terjadi di segala usia, namun prevalensinya
ISI
II.1 Pengertian
sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus yang menimbulkan berbagai
penyakit, tetapi lebih banyak merupakan proses fisiologis yang normal. Namun GER dapat
bersifat patologik, bila peristiwa ini menimbulkan keluhan dan gejala kerusakan jaringan
dalam esofagus, orofarings, larings, dan saluran napas. Bila hal ini terjadi, penderita yang
yang terjadi secara intermiten pada setiap orang, terutama setelah makan. Refluks yang
terjadi tanpa menimbulkan gejala dan perubahan histologik mukosa esofagus, disebut
oleh kegagalan dari mekanisme antirefluks untuk melindungi mukosa esofagal terhadap
(2)
refluks asam lambung dengan kadar yang abnormal dan paparan yang berulang
heartburn dan regurgitasi asam serta menyebabkan kerusakan jaringan dalam esofagus,
orofaring, laring, dan saluran napas. Kelainan yang ditemukan di esofagus, dapat berupa
Penyakit refluks gastroesofagus disebabkan oleh proses yang multifaktor. Pada orang
dewasa faktor-faktor yang menurunkan tekanan sfingter esofagus bawah sehingga terjadi
refluks gastroesofagus antara lain coklat, obat-obatan (misalnya aspirin), alkohol, rokok,
kehamilan. Faktor anatomi seperti tindakan bedah, obesitas, pengosongan lambung yang
GERD. Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat refluks esofageal apabila : 1). Terjadi
kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus, 2).
8. Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks
nitrat.
GERD dapat terjadi pada semua umur tetapi kebanyakan terjadi pada usia diatas 40
tahun. Walaupun kematian yang disebabkan ole GERD sangat jarang terjadi, gejala dari
GERD mungkin memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup penderita. Dalam
populasi barat, kisaran prevalensi untuk GERD adalah 10% sampai 20% dari populasi.
Prevalensi dari GERD bervariasi tergantung dari wilayah geografis, tetapi negara barat
merupakan wilayah dengan kasus GERD tertinggi. Kecuali selama kehamilan dan
kemungkinan NERD, tidak timbul perbedaan yang signifikan pada kasus antara pria dan
wanita. NERD cenderung terjadi pada wanita dan pada pasien sekitar 10 tahun lebih muda
Walaupun jenis kelamin tidak memberikan perbedaan yang signifikan pada terjadinya
GERD, hal ini merupakan faktor penting pada terjadinya Barret esofagus, komplikasi dari
GERD dimana epitel squamous normal digantikan oleh epitel kolumnar khusus. Barret
esofagus sering terjadi pada pria dewasa berkulit putih di negara barat.
Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah dibandingkan
dengan di negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian pada populasi umum yang
di Asia. Prevalensi di Asia Timur 5,2 %-8,5 % (tahun 2005-2010), sementara sebelum
2005 2,5%-4,8%; Asia Tengah dan Asia Selatan 6,3%-18,3%, Asia Barat yang diwakili
Turki menempati posisi puncak di seluruh Asia dengan 20%. Asia Tenggara juga
insiden GERD meningkat dari 2,7% (1991-1992) menjadi 9% (2000-2001), sementara belum
ada data epidemiologi di Indonesia (Jung, 2009), (Goh dan Wong, 2006). Di Divisi
didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8 % dari semua pasien yang menjalani endoskopi
terjadi sebagai akibat refluks esofageal apabila : 1). Terjadi kontak dalam waktu yang
cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus, 2). Terjadi penurunan
resistensi jaringan mukosa esofagus . Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona
tekanan tinggi (high pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal
sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada
saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esofagus melalui LES hanya terjadi
apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg). Refluks gastroesofageal pada
pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme : 1). Refleks spontan pada saat relaksasi LES
tidak adekuat, 2). Aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES setelah
defensif dari esofagus (pemisah anti refluks, bersihan asam dari lumen esofagus,
ketahanan epitel esofagus) dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Faktor-faktor lain yang
turut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang
meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung atau obstruksi
Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan
kurang didukung oleh data yang ada. Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap GERD
merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam
sekresi asam sebagai konsekuensinya telah dipostulasikan sebagai salah satu alasan
Barat. Hal tersebut sesuai dengan yang ditunjukkan pada satu studi di Jepang yang
dilakukan oleh Shirota dkk. Studi yang lain juga membuktikan adanya hubungan terbalik
antara derajat keparahan esofagitis refluks dengan infeksi H. pylori. Hamada dkk
hiatus hernia (Goh dan Wong, 2006). Dalam keadaan di mana bahan refluksat bukan
bersifat asam atau gas (non acid reflux), timbulnya gejala GERD diduga karena
hipersensitivitas viseral .
Patogenesis PRGE meliputi ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan faktor defensif
dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif antara lain ‘disfungsi’ SEB atau sfingter
esophagus bawah (lower esophageal sphincter/LES), bersihan asam dari lumen esofagus,
dan ketahanan epitel esophagus. Bentuk anatomik SEB yang melipat berbentuk sudut, dan
kekuatan menutup dari sfingter, menjadikan SEB berperan penting dalam mekanisme
antirefluks. Peningkatan tekanan intraabdomen (misalnya saat batuk), proses gravitasi saat
berbaring, dan kelainan anatomis seperti sliding hernia hiatal mempermudah terjadinya
membersihkan dirinya dari bahan refluksat. Kemampuan esophagus ini berasal dari
peristaltik esofagus primer, peristaltik e-sofagus sekunder (saat menelan), dan produksi
saliva yang optimal. Ketahanan epitel esofagus berasal dari lapisan mukus di permukaan
mukosa, produksi mukus, dan mikrosirkulasi aliran darah di post epitel. Sementara yang
menjadi faktor ofensif adalah peningkatan asam lambung, dilatasi lambung, beberapa
Simptom khas PRGE adalah heartburn,yaitu rasa terbakar di dada disertai nyeri
(gambar 2) dan regurgitasi (rasa asam pahit dari lambung terasa di lidah).Salah satu dari
keduanya cukup untuk mendiagnosis PRGE secara klinis.Selain kedua gejala tersebut,
PRGE dapat menimbulkan keluhan nyeri atau rasa tidak enak di epigastrium atau
retrosternal bawah, disfagia (kesulitan menelan makanan), odinofagia (rasa sakit waktu
menelan), mual dan rasa pahit di lidah. Keluhan ekstraesofageal yang juga dapat
ditimbulkan oleh PRGE adalah nyeri dada non kardiak, suara serak, laringitis, erosi gigi,
batuk kronis, bronkiektasis, dan asma.Diagnosis PRGE ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan penunjang. Pemeriksaan baku emas untuk mendiagnosis PRGE
24 jam.
Manifestasi klinis GERD dapat berupa gejala yang tipikal (esofagus) dan gejala
1. Heart Burn, yaitu sensasi terbakar di daerah retrosternal. Gejala heartburn adalah gejala
tersering, dengan pasien merasa terbakar dari perut atau bagian bawah dada dan
menjalar ke leher, tenggorokan, dan kadang-kadang kembali. Biasanya, hal ini terjadi
terutama setelah makan besar atau mengkonsumsi makanan pedas, produk asam,
2. Regurgitasi, yaitu kondisi dimana material lambung terasa di faring. Kemudian mulut
terasa asam dan pahit, terutama setelah makan dan diperburuk dengan menunduk dan
berbaring.
serak, pneumonia asmpirasi, fibrosis paru, bronkiektasis, dan nyeri dada nonkardiak. Gejala
yang kurang umum lainnya termasuk water brash, odynophagia, bersendawa, cegukan,
mual dan muntah. Water brash adalah kemunculan secara tiba-tiba di mulut cairan yang
asam atau asin. Cairan tersebut merupakan sekresi dari kelenjar ludah. (atau biasa disebut
dilihat dengan ulseratif esofagitis berat, terutama pada infeksi (candidiasis, herpes)
(Yamada, 2007).
Kadang-kadang gejala GERD tumpang tindih dengan gejala klinis dispepsia sehigga
keluhan GERD yang tipikal tidak mudah ditemukan. Spektrum klinik GERD bervariasi mulai
gejala refluks berupa heart burn, regurgitasi, dispepsia tipe ulkus atau motilitas. Terdapat
dua kelompok GERD yaitu GERD pada pemeriksaan endoskopi terdapat kelainan esofagitis
erosif yang ditandai dengan mucosal break dan yang tidak terdapat mucosal break yang
Manifestasi klinis GERD dapat menyerupai manifestasi klinis dispepsia berdasarkan gejala yang
Manifestasi klinis mirip refluks yaitu bila gejala yang dominan adalah rasa panas di dada
seperti terbakar.
Manifestasi klinis mirip ulkus yaitu bila gejala yang dominan adalah nyeri ulu hati.
Manifestasi klinis dismotilitas yaitu gejala yang dominan adalah kembung, mual, dan
cepat kenyang.
pemeriksaan klinis yang seksama. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk
dan tes penghambat pompa proton (tes supresi asam) . American College of
antara tujuh poin yang ada, merupakan poin untuk diagnosis, yaitu :
a. Jika gejala pasien khas untuk GERD tanpa komplikasi, maka terapi empiris
(termasuk modifikasi gaya hidup) adalah hal yang tepat. Endoskopi saat pasien
masuk dilakukan jika pasien menunjukkan gejala-gejala komplikasi, atau berisiko untuk
Barret’s esophagus, atau pasien dan dokter merasa endoskopi dini diperlukan. (Level of
Evidence : IV)
Barret’s esophagus dan untuk mendiagnosis komplikasi GERD. Biopsi harus dilakukan
untuk mengkonfirmasi adanya epitel Barret dan untuk mengevaluasi displasia. (Level of
Evidence : III)
konfirmasi reluks gastroesofageal pada pasien dengan gejala menetap ( baik khas maupun
tidak khas) tanpa adanya kerusakan mukosa; juga dapat digunakan untuk memantau
pengendalian refluks pada pasien tersebut di atas yang sedang menjalani terapi. (Level of
Evidence : III)
refluks. (Level of Evidence : III) Sementara itu, pada tahun 2008, American
Reflux Disease yang berisi 12 pernyataan, di mana pada poin ke-4 dijelaskan tentang
peran dan urutan prioritas uji diagnostik GERD pada dalam mengevaluasi pasien dengan
esofagus dari GERD dengan disfagia yang mengganggu. Biopsi harus mencakup area
yang diduga mengalami metaplasia, displasia, atau dalam hal tidak dijumpainya
kelainan secara visual, mukosa yang normal (minimal 5 sampel untuk esofagitis
eosinofilik.)
esofagus dari GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali
sehari. Biopsi harus mencakup area yang diduga mengalami metaplasia, displasia,
atau malignansi.
c. Manometri dilakukan untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan gejala GERD
yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari dan gambaran
endoskopinya normal.
dilakukan (terapi PPI dihentikan selama 7 hari) untuk mengevaluasi pasien dengan
dugaan gejala GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali
sehari, gambaran endoskopinya normal dan tidak memiliki kelainan pada manometri.
Meskipun secara awam GERD mungkin terkesan “penyakit ringan” karena “hanya”
menimbulkan gejala refluks, GERD perlu ditangani dengan tepat karena gejala tersebut
dapat sangat mengganggu sehingga menurunkan kualitas hidup penderitanya. Suatu kajian
sistematis dari 19 penelitian (n = 55.834 pasien GERD) menunjukkan bahwa frekuensi dan
keparahan gejala GERD dapat mempengaruhi produktivitas kerja, menurunkan kualitas tidur
di malam hari, mempengaruhi kesehatan fisik dan mental, serta kondisi kesehatan tubuh
secara umum.1 Berdasarkan hasil pemeriksaan endoskopi, kondisi GERD dapat dibedakan
menjadi 2, yaitu gejala refluks tanpa adanya inflamasi atau erosi pada mukosa esofagus
esofagus Barret, dan kanker esofagus, mempercepat penyembuhan mukosa yang terluka,
dan atau mengurangi faktor-faktor yang memperburuk agresifitas refluks atau kerusakan
Penatalaksanaan GERD tanpa obat yang saat ini direkomendasikan karena didasari
oleh bukti penelitian yang cukup antara lain: 1) menurunkan berat badan bagi pasien yang
overweight (kelebihan berat badan) atau yang baru saja mengalami peningkatan berat
badan, serta 2) menaikkan posisi kepala pada saat tidur dan tidak makan 2-3 jam sebelum
waktu tidur malam untuk pasien yang mengalami gejala refluks di malam hari (nocturnal
Am J Gastroenterol. 2013;108:308-28.
empedu.9 Bukti penelitian epidemiologis yang ada mengenai hal ini masih saling
menunjukkanadanya hubungan antara indeks massa tubuh (body mass index, BMI)
dengan GERD. Salah satu meta-analisis menyatakan bahwa bila dibandingkan dengan
orang yang tidak overweight dan tidak obesitas, gejala GERD lebih banyak dialami oleh
orang overweight (BMI 25-30 kg/m2) sebesar 1,43 kali (OR 1,43; 95% CI 1,158-1,774),
dan oleh obesitas (BMI >30 kg/m2) sebesar hampir 2 kali (OR 1,94; 95% CI 1,468-
2,566). Sementara itu, 2 studi berbasis populasi dan 2 studi cross sectional di Australia
dan beberapa negara Eropa tidak menunjukkan adanya hubungan tersebut. Perbedaan
GERD, yang mana tidak semua mekanisme tersebut berhubungan dengan atau
Peningkatan berat badan pasien yang mempunyai BMI normal juga berhubungan
Di Biase AR, et al. Body weight, lifestyle, dietary habits and gastroesophageal
GERD. Berdasarkan satu kajian sistematis, terdapat 5 penelitian mengenai hal ini.9 Satu
studi tak terkontrol (n = 34 pasien obesitas) dalam kajian sistematis tersebut
0,55; p<0,001). Ketiga penelitian lainnya juga menunjukkan korelasi positif, sementara
hanya 1 penelitian (n=20 pasien obesitas dan refluks esofagitis) yang menunjukkan tidak
ada perbedaan gejala refluks antara kelompok kontrol dan kelompok pasien yang
Efek penurunan berat badan yang diinduksi oleh tindakan operasi atau
Perbaikan gejala GERD juga terjadi setelah berat badan diturunkan menggunakan
metode operasi bariatrik dan Roux-en-Y gastric bypass. 4,10 Suatu studi kasus-kontrol
yang besar menunjukkan bahwa dibandingkan dengan kelompok kontrol, wanita yang
menurunkan berat badannya sebesar 3,5 kali berat badan kelompok kontrol, mengalami
penurunan frekuensi gejala refluks sebesar 40%.(Katz OImGersib LB, Vela MF.
Am J Gastroenterol. 2013;108:308-28.
Menaikkan Posisi Kepala ketika Tidur Posisi berbaring datar ketika tidur
posisi kepala saat tidur. Hasilnya, dibandingkan dengan pasien yang tidur datar, pasien
setinggi 28 cm secara signifikan mengalami episode dan gejala refluks lebih sedikit,
durasi refluks lebih singkat, dan pembersihan asam lebih cepat. Penelitian kedua,
posisi kepala dinaikkan, dan tidur datar. Hasilnya, tidur dengan posisi kepala dinaikkan
berhubungan secara signifikan dengan berkurangnya paparan asam pada esofagus bila
dibandingkan dengan tidur secara datar. Pada penelitian acak lainnya,pada pasien
dengan gejala refluks yang diobati dengan golongan penghambat pompa proton (proton
pump inhibitors, PPIs) dan cisapride, tidak ada hubungan antara menaikkan posisi
kepala selama 2 minggu dengan perbedaan penggunaan antasid atau perbaikan gejala,
gambar 1.
Penyangga
Satu kajian sistematis dari 2 penelitian menyelidiki efek waktu makan di malam
hari terhadap keasaman lambung selama 24 jam pada subyek sehat. Penelitian pertama
menunjukkan makan pada pk. 18.00 menghasilkan pH lambung yang lebih rendah
dibandingkan makan pada pk. 21.00 (median pH 1,39 vs 1,67; p<0,01), namun ini hanya
terjadi antara tengah malam dan pk. 07.00 pagi. Studi kedua dilakukan pada 10 pasien
sehat menunjukkan bahwa keasaman lambung 24 jam dan malam hari tidak dipengaruhi
oleh perubahan waktu makan malam.(Kaltenbach T, Crockett S, Gerson B. Are
berhenti merokok dan menghindari konsumsi makanan yang dapat memicu gejala GERD
(contoh: coklat, jeruk,kopi, makanan berlemak, makanan pedas, minuman berkarbonasi, dan
alkohol).2,6,7 Akan tetapi, suatu meta-analisis tidak menemukan bukti yang kuat untuk
mendukung hubungan antara intervensi tersebut dengan GERD.9 Meskipun bukti fisiologis
menunjukkan bahwa alkohol, coklat, jeruk, makanan berlemak, atau rokok bisa saja
berpengaruh negatif pada pH esofagus, namun belum ada bukti yang menunjukkan
Antasida adalah komponen yang tepat untuk mengobati GERD ringan, meskipun
dokumentasi keberhasilan antasida dalam uji klinis terkontrol plasebo kurang. Meskipun
literatur agak kontroversial pada keunggulan antasida dengan plasebo , dokter dan
pasien jelas menganggap antasida efektif untuk segera mengurangi gejala-gejala, dan
mengurangi gejala GERD. Produk kombinasi antasida atau antasida dapat menyebabkan
efek samping gastrointestinal ( diare atau sembelit, tergantung pada produk ), perubahan
aluminium dapat mengikat fosfat dalam usus dan mengakibatkan demineralisasi tulang .
penghalang fisik untuk penyerapan, atau membentuk kompleks larut dengan obat lain.
Antasida memiliki interaksi obat yang signifikan secara klinis dengan tetrasiklin,
besi sulfat, isoniazid, quinidine, sulfonilurea, dan antibiotik kuinolon. Interaksi antasida
dengan beberapa obat dipengaruhi oleh komposisi, dosis, jadwal dosis, dan formulasi.
Secara umum, antasida memiliki durasi obat yang singkat sehingga memerlukan
administrasi sering sepanjang hari untuk memberikan netralisasi asam terus menerus.
Mengonsumsi antasida setelah makan dapat meningkatkan durasi obat dari sekitar 1 jam
sampai 3 jam, namun penekanan asam pada malam hari tidak dapat dipertahankan
2. H2-Receptor Antagonists
antagonis reseptor H2 tergantung pada (a) tingkat keparahan penyakit, (b) dosis regimen
yang digunakan, dan (c) durasi terapi. Faktor-faktor ini penting untuk diingat ketika
membandingkan berbagai uji klinis dan / atau menilai respon pasien terhadap terapi.
H2 tanpa resep atau dosis standar yang diberikan dua kali sehari mungkin
bermanfaat. Pasien yang tidak merespon pada dosis standar mungkin hypersekresi dari
asam lambung dan akan memerlukan dosis yang lebih tinggi. Meskipun dosis
endoskopi yang lebih tinggi, informasi yang terbatas mengenai keamanan regimen, dan
dapat menjadi kurang efektif dan lebih mahal daripada inhibitor proton pump sekali
sehari. Tidak seperti penyakit ulkus duodenum, di mana durasi terapi yang relatif singkat
Karena semua antagonis reseptor H2 memiliki khasiat yang sama, pemilihan agen
khusus untuk digunakan dalam pengelolaan GERD harus didasarkan pada faktor-faktor
seperti perbedaan farmakokinetik, profil keamanan, dan biaya. Secara umum, antagonis
reseptor H2ditoleransi dengan baik. Efek samping yang paling umum adalah sakit kepala,
mengantuk, kelelahan, pusing, dan sembelit atau diare. Pasien harus dipantau adanya
efek samping serta interaksi obat yang potensial, terutama pada cimetidine. Cimetidine
dapat menghambat metabolisme antara lain teofilin, warfarin, fenitoin, nifedipine, dan
propranolol. Alternatif antagonis reseptor H2 lain harus dipilih jika pasien pada obat ini
dan rabeprazole ). Inhibitor proton pump lebih unggul daripada antagonis reseptor
H2 dalam mengobati pasien dengan GERD parah. Tidak hanya pasien dengan esofagitis
erosif atau komplikasi ( misalnya, Barrett esophagus, striktur ), tetapi juga pasien dengan
GERD nonerosive yang memiliki gejala sedang sampai berat. Dosis yang disetujui FDA (
per hari ) dari proton pump inhibitor adalah omeprazole 20 mg, esomeprazole 20 mg,
gejala pasien yang terlihat sekitar 83 % setelah 8 minggu pengobatan dengan inhibitor
bahkan selama asam postprandial mengalami lonjakan. Suatu korelasi tampak antara
persentase waktu pH lambung tetap di atas 4 selama periode 24 jam dan penyembuhan
esofagitis erosif.
Beberapa percobaan telah membandingkan inhibitor proton pump satu sama lain.
Secara umum, tingkat penyembuhan pada 4 minggu dan 8 minggu sama ; lansoprazole
dan rabeprazole, bagaimanapun, bisa meringankan gejala lebih cepat setelah dosis
40 mg dua kali sehari ) menyebabkan regresi parsial Barrett esophagus, tapi tidak ada
perubahan dicatat pasien rawat inap yang menerima ranitidine 150 mg dua kali sehari.
Inhibitor proton pump biasanya ditoleransi dengan baik, namun efek samping yang
potensial termasuk sakit kepala, pusing, mengantuk, diare, sembelit, mual, dan
kekurangan vitamin B12. Frekuensi efek samping tampaknya mirip dengan yang terlihat
agen. Semua inhibitor proton pump dapat mengurangi penyerapan obat-obatan seperti
Semua inhibitor proton pump dimetabolisme oleh sistem sitokrom P450 sampai batas
tertentu, khususnya oleh enzim CYP2C19 dan CYP3A4. Namun, tidak ada interaksi
dengan warfarin atau fenitoin, dan interaksi dengan diazepam umumnya tidak dianggap
relevan secara klinis. Pantoprazole juga dimetabolisme oleh sulfotransferase sitosol dan
karena kecil kemungkinannya untuk memiliki interaksi obat yang signifikan dibandingkan
dengan inhibitor proton pump lainnya. Meskipun umumnya tidak menyebabkan perhatian
dan fenitoin, dan lansoprazole dapat menurunkan konsentrasi teofilin. Pasien yang
Inhibitor proton pump menurunkan kondisi asam dan karena itu dibuat dalam
sediaan kapsul lepas lambat atau formulasi tablet. Lansoprazole, esomeprazole, dan
pasien yang tidak dapat menelan kapsul, atau untuk pasien anak, isi kapsul lepas lambat
dapat dicampur dalam saus apel atau ditempatkan dalam jus jeruk. Jika pasien memiliki
tube nasogastrik, isi kapsul omeprazole dapat dicampur dalam 8,4 % larutan natrium
dalam suspensi oral dan sustain release, disintegrasi tablet oral. Pasien yang memakai
pantoprazole tersedia dalam formulasi intravena, menawarkan rute alternatif bagi pasien
yang tidak mampu meminum proton pump inhibitor oral. Yang penting, produk intravena
tidak lebih mujarab daripada inhibitor pompa proton dan secara signifikan lebih mahal.
Pemilihan untuk pasien harus hati-hati untuk menghindari meningkatnya biaya dari
lambat dan produk kombinasi dengan natrium bikarbonat dalam kapsul lepas segera dan
suspensi oral ( Zegerid ). Ini adalah pertama lepas segera proton pump inhibitor dan
harus diminum pada waktu perut kosong minimal 1 jam sebelum makan. Zegerid
menawarkan alternatif untuk kapsul lepas lambat atau formulasi intravena pada pasien
Pasien harus diinstruksikan untuk meminum inhibitor proton pump di pagi hari, 15
sampai 30 menit sebelum sarapan, untuk memaksimalkan keberhasilan, karena agen ini
menghambat mensekresi proton pump. Pasien dengan gejala nokturnal dapat mengambil
manfaat dari inhibitor proton pump sebelum makan malam. Jika dosis dua kali sehari,
dosis kedua harus diberikan sekitar 10 hingga 12 jam setelah dosis pagi dan sebelum
makan atau camilan. Dosis dua kali sehari juga mungkin tepat selama diagnostik untuk
nyeri dada noncardiac, pada pasien dengan gejala atipikal atau rumit, dan dengan gejala
lain.
3. Prokinetic Agent
khasiat H2RAs pada pasien dengan esofagitis ringan. Sayangnya, cisapride tidak lagi
tersedia untuk penggunaan rutin karena aritmia yang mengancam jiwa yang mungkin
4. Mucosa protectants
Sukralfat, garam aluminium nonabsorbable dari octasulfate sukrosa, memiliki nilai yang
5. Terapi kombinasi
Dua agen kelas terapi yang berbeda tidak harus secara rutin digunakan bersama-
sama kecuali pasien memiliki esofagitis dengan disfungsi motorik terjadi bersamaan.
sesuai. Hanya perbaikan sederhana telah terbukti ketika agen prokinetik dikombinasikan
dengan dosis standar H2RA. Oleh karena itu, ketika pasien tidak menanggapi standar
dosis H2RA maka dosis harus ditingkatkan, atau mereka harus beralih ke PPI bukannya
Monoterapi dengan PPI tidak hanya lebih efektif dalam pasien yang tidak merespon
H2RA atau prokinetic agen saja, tetapi juga meningkatkan kepatuhan dengan dosis sekali
2. A, Brian K, et al, “applied therapeutics, the clinical use of drug tenth edition”,
4. Ballenger JJ.1997. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher, Edisi
13, Jilid 2, Alih Bahasa Staf Ahli Bagian THT RSCM-FK UI, Jakarta : Binarupa
Aksara,. 669-71.
Heinemann, 5/24/12-5.
Philadelphia. p. 31.