Вы находитесь на странице: 1из 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Karsinoma Nasofaring


Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah
nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring.
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang
terbanyak ditemukan di Indonesia. (Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI; 2008)

2.2 Epidemiologi dan Etiologi Karsinoma Nasofaring


Karsinoma nasofaring jarang sekali ditemukan di benua Eropa, Amerika,
ataupun Oseania, insidennya umumnya kurang dari 1/100.000 penduduk. Insiden
di beberapa negara Afrika agak tinggi, sekitar 5-10/100.000 penduduk. Namun
relatif sering ditemukan di berbagai Asia Tenggara dan China. Di RRC, walaupun
karsinoma nasofaring jauh lebih sering ditemukan daripada berbagai daerah lain
di dunia, mortalitas rata-rata nasional hanya 1,88/100.000, pada pria 2,49/100.000,
dan pada wanita 1,27/100.000.
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah leher yang
terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher
merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan
sinus paranasal (18%), larynx (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil,
hipofaring dalam presentase rendah.
Karsinoma nasofaring dapat terjadi pada segala usia, tapi umumnya
menyerang usia 30-60 tahun (menduduki 75-90%). Perbandingan proporsi pria
dan wanita adalah 2-3,8:1.
Sebagian besar penderita karsinoma nasofaring berumur diatas 20 tahun,
dengan umur paling banyak antara 50-70 tahun. Penelitian di Taipe menjumpai
umur rata-rata penderita lebih muda yaitu 25 tahun. Insiden karsinoma nasofaring
meningkat setelah umur 20 tahun dan tidak ada lagi peningkatan insiden setelah
umur 60 tahun.

1
Sebesar 2% dari kasus. karsinoma nasofaring adalah penderita anak dan di
Guangzhou ditemukan 1% karsinoma nasofaring dibawah 14 tahun. Pada
penelitian yang dilakukan di medan (2008), kelompok umur penderita karsinoma
nasofaring terbanyak adalah 50-59 tahun (29,1%). Umur penderita yang paling
muda adalah 21- tahun dan yang paling tua 77 tahun. Rata-rata umur penderita
pada penelitian ini adalah 48,8 tahun.
Karsinoma nasofaring paling sering ditemukan pada laki-laki dengan penyebab
yang masih belum dapat diungkap secara pasti dan mungkin berhubungan dengan
adanya faktor genetika, kebiasaan hidup, pekerjaan, dan lain-lain. (Roezin, A., dan
Marlinda A. 2010. Karsinoma Nasofaring. dalam: Soepardi, Efianty A., Nurbaiti I.,
Jenny B., dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga- Hidung-Tenggorok Kepala Leher
edisi keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.)
Insidens karsinoma nasofaring yang tinggi ini dihubungkan dengan
kebiasaan makan, lingkungan dan virus Epstein-Barr. (R. Sjamsuhidajat &Wim de
jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC ; 2005)
Selain itu faktor geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan,
kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit juga
sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini. Tetapi sudah hampir
dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-barr,
karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus EEB yang cukup
tinggi. (Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2008)
Patogenesis EBV pada Karsinoma Nasofaring
Epstein-Barr virus merupakan virus herpes yang menginfeksi lebih dari
90% populasi dewasa di dunia. Infeksi primer EBV umumnya terjadi pada awal
kehidupan dan bersifat asimtomatik. Infeksi primer EBV yang berlanjut
bermanifestasi sebagai infeksi mononukleosis yang merupakan infeksi oleh virus,
bersifat self limiting namun sangat menular dengan karakteristik demam, sakit
pada tenggorok dan kondisi tubuh yang lemah. Epstein-Barr virus dikontrol
dengan sempurna oleh sistem imun namun sebagian kecil berkembang menjadi
penyakit terkait, pada sebagian besar individu terutama dalam bentuk keganasan
primer dari sel B dan sel epitel.11

2
Virus ini berkaitan dengan sejumlah kanker termasuk limfoma Hodgkin
dan limfoma Burkit disamping KNF. Epstein-Barr virus terdeteksi pada semua
sampel KNF dengan beberapa teknik pemeriksaan seperti sikatan sel epitel
nasofaring (brushing), PCR, hibridisasi in situ, dan metode imunohistokimia.
KNF sangat berkaitan dengan EBV terutama pada tipe yang undifferentiated.
Namun demikian, EBV bukanlah faktor penting satusatunya dalam patogenesis
NPC. Bahan etiologi lain seperti lingkungan dan genetik, merupakan hal penting
lainnya yang berperan dalam perkembangan multi tahap dari keganasan.
Kerentanan genetik seperti HLA-A2 berperan sebagai faktor predisposisi. 11
Infeksi EBV menginduksi ketahanan sel terhadap kematian (immortality)
melalui mekanisme aktivasi telomerase yang merupakan suatu enzim yang secara
normal tertekan namun teraktivasi selama perkembangan kanker. Akhir akhir ini
terbukti bahwa untuk mengaktivasi atau menghambat gen reverse transcriptase
telomerase manusia adalah melalui modulasi jalur signal intra selular. Penelitian
in vitro mendapatkan infeksi EBV yang menetap pada sel epitel menyebabkan sel
epitel menjadi rentan terhadap paparan karsinogen lingkungan, contoh bentuk
karsinogen lingkungan adalah faktor diet seperti ikan yang diasinkan, mekanisme
EBV memasuki sel epitel masih belum diketahui. Selain potensi perubahan
genetik dari infeksi EBV, adanya infeksi laten pada sel epitel tampaknya berperan
besar dalam perkembangan KNF. 11
Epstein-Barr virus mengkode dua onkogen, Latent Membrane Protein-1
(LMP1) dan BamH1-A Reading Frame-1 (BARF1). LMP1 termasuk famili gen
laten dan BARF1 ditetapkan sebagai satu dari famili gen awal. EBV menginduksi
dan mengontrol proliferasi sel melalui ekspresi 10 gen viral yang mengkode 6
protein inti (EBNA1, 2, 3A, 3B, 3C dan LP), 3 protein membran (LMP1, LMP2A,
LMP2B) dan 2 RNA kecil. 11

3
Gambar 2.1. Skema histo-patogenesis dari karsinoma nasofaring

2.3 Gejala Klinis Karsinoma Nasofaring


Manifestasi klinis dari karsinoma nasofaring bermacam-macam. Pada 70-
85% kasus biasanya asimtomatik dan dapat terjadi pembesaran kelenjar limfe
stadium lanjut. Di lain pihak, dapat terjadi gejala lokal seperti hidung buntu,
sumbatan di telinga, sinusitis yang berulang, ototis media akut dan kronis
khususnya unilateral, otalgia, dan epitaksis. 12,13
Secara klinis gejala karsinoma nasofaring dibagi menjadi gejala dini dan
gejala lanjut. Biasanya pasien datang dengan gejala-gejala yang sudah lanjut yang
merupakan gejala perluasan tumor yang telah melewati batas-batas nasofaring,
seperti kerusakan saraf kranialis, sindrom neurologi dan diplopia.

4
Hal ini menunjukkan bahwa kanker sudah ke basis kranii. Metastase jauh
dapat terjadi, dimana yang umum terlibat adalah kelenjar limfe regional, tulang,
paru-paru, liver dan otak.12
a. Gejala Dini
Gejala dini tampak bila tumor masih terbatas di rongga nasofaring. 14
Gejala pada telinga dapat berupa oklusi tuba eustachius sehingga pasien
mengeluh rasa penuh di telinga, rasa mendengung kadang-kadang disertai
dengan gangguan pendengaran. Perlu diperhatikan jika gejala ini menetap
atau sering timbul tanpa penyebab yang jelas. Selain itu dapat juga terjadi
otitis media serosa sampai perforasi dengan gangguan pendengaran. Gejala
pada hidung dapat berupa epistaksis oleh karena dinding tumor yang rapuh
sehingga pada iritasi ringan dapat terjadi perdarahan. Dapat juga terjadi
sumbatan hidung akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga nasofaring.12,14

Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas
untuk penyakit ini karena dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis
dan sinusitis. Namun jika keluhan ini timbul berulang tanpa sebab yang
jelas maka perlu dilakukan pemeriksaan rongga nasofaring, kalau perlu
dengan endoskopi nasofaring. 14,15

Keluhan yang sering ditemukan pada pasien karsinoma nasofaring


adalah adanya massa pada leher (75,8%), gangguan pada hidung seperti
sekret, perdarahan, obstruksi (73,4%), gangguan pada telinga seperti tinitus,
gangguan pendengaran (62,4%), sakit kepala (34,8%), diplopia (10,7%),
mati rasa pada wajah (7,6%), penurunan berat badan (6,9%), trismus
(3,0%), gangguan berbicara (2,4%), keluhan lain akibat metastasis (1,2%),
lesi kulit (0,9%).14

b. Gejala Lanjut
Sel-sel kanker dapat sampai di kelenjar limfe leher akibat drainase
limfatik. Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak
sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher
bagian samping (limfadenopati servikal).14 Benjolan ini tidak dirasakan
nyeri sehingga sering diabaikan oleh pasien. Sekitar 85% kasus KNF dapat

5
muncul dengan tanda limfadenopati. Pada umumnya meliputi regio
retrofaring (69%) dan limfe nodi level II (70%).16 Perluasan tumor juga
dapat ke arah atas rongga tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot
dan dapat mengenai saraf-saraf otak, sehingga muncul gejala-gejala saraf
sesuai dengan tempat terjadinya pendesakan tumor.3

Gejala akibat metastase apabila sel-sel kanker dapat ikut mengalir


bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh
dari nasofaring (disebut metastasis jauh). Metastasi jauh yang sering adalah
ke organ tulang, paru, hati.3

Pada dasarnya gejala-gejala klinik kanker nasofaring dibagi dalam 4


kelompok, yaitu3 :

1. Gejala Nasofaring
Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan, sumbatan hidung, dan
discharge. Gejala lainnya dapat berupa rinitis kronis, nasofaringitis kronis
dan sebagainya. Apabila terdapat gejala tersebut, nasofaring perlu diperiksa
dengan cermat, karena seringkali gejala spesifik belum ada sedangkan tumor
sudah tumbuh atau dapat tidak tampak karena masih terdapat dibawah
mukosa (creeping tumor).3
2. Gejala Telinga
Gangguan pada telinga merupakan gejala yang lebih dulu terjadi karena
tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (predileksi di fosa
Rosenmuller). Tumor mula-mula tumbuh di fosa Rosenmuller, selanjutnya
menyebabkan penyumbatan (oklusi) muara tuba. Gejala di sini bisa berupa :
kurang pendengaran tipe hantaran, rasa penuh di telinga seperti terisi air,
berdengung. Gangguan pendengaran terjadi bila ada perluasan tumor atau
kanker nasofaring secara merayap ke sekitar tuba sehingga terjadi sumbatan.
Meskipun letak tuba relatif dekat dengan fossa Rossenmuller atau tumor
primer, tetapi gejala telinga relatif jarang dibanding gejala tumor metastase di
leher. Bila oklusi tuba berlangsung lama dapat terjadi otitis media serosa.14,15

3. Penekanan pada saraf kranial

6
Nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai
gejala lanjut karsinoma ini. Perluasan tumor primer melalui foramen laserum
akan mengenai saraf kranialis ke III, IV, V, VI, akibat kompresi maupun
infiltrasi tumor. Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke
IX, X, XI, XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat
yang relatif jauh dengan nasofaring.15
Gejala-gejala saraf ini meliputi :
a. Sindroma Petrosfenoidal
Pada sindrom ini nervus kranialis yang terlibat berturut-turut adalah
nervus IV, III, VI, dan baru nervus II paling akhir dan jarang terjadi.
Paresis nervus II memberikan keluhan penurunan ketajaman
penglihatan. Paresis nervus III akan menyebabkan kelumpuhan m.
levator palpebrae dan m. tarsalis superior, sehingga kelopak mata atas
menurun, fisura palpebrae menyempit, dan kesulitan membuka mata.
Bila terjadi kelumpuhan salah satu atau ketiga nervus III, IV, dan VI
akan menyebabkan terjadinya diplopia yang disebabkan karena
kelumpuhan otot-otot ekstraokuler yang disarafi oleh ketiga nervus
kranialis tersebut diatas.
b. Paresis nervus V
Paresis atau paralisis saraf otak akibat perluasan tumor ke arah
intrakranial melalui foramen laserum, pada N.V menyebabkan parestesi
atau rasa nyeri pada muka.
c. Sindroma Parafaring
Nervus kranialis yang terlibat pada sindrom ini adalah nervus IX, X,
XI, dan XII akibat perluasan dan pertumbuhan karsinoma nasofaring.
Paresis nervus IX akan menimbulkan gejala klinis berupa hilangnya
reflek muntah, disfagia ringan, paresis lidah, deviasi uvula ke sisi yang
sehat, hilangnya sensasi pada laring, tonsil, bagian atas tenggorokan,
serta belakang lidah, air ludah meningkat akibat terkenanya pleksus
timpani pada lesi telinga tengah, dan takikardia pada sebagian lesi
nervus IX yang dimungkinkan akibat gangguan reflek karotikus.
Paresis nervus, X akan menimbulkan gejala klinis berupa gejala
motorik seperti afonia, disfonia, perubahan posisi pita suara, disfagia,

7
dan spasme esophagus, serta gejala gangguan sensorik seperti nyeri
pada daerah faring dan laring, dispneu, dan hipersalivasi.
Paresis nervus XI menimbulkan gangguan fungsi otot sternokleido-
mastoideus dan otot trapezius berupa gejala kesukaran dalam
mengangkat dan memutar kepala dan dagu.
Paresis nervus XII yang diakibatkan oleh infiltrasi tumor ganas
melalui kanalis nerws hipoglosus, atau dapat pula paresis otot-otot
yang disarafi oleh saraf ini yaitu m. styloglosus, m. longitudinalis
superior dan inferior, m. geniglosus (otot-otot lidah) sehingga gejala
yang timbul berupa lidah deviasi ke sisi yang lumpuh, pasien pelo, dan
disfagia.
4. Gejala Metastasis atau Gejala di Leher
Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang
mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat
keluhan. 3

2.4 Diagnosis Karsinoma Nasofaring


Berdasarkan formula Digby, setiap gejala yang ditunjukkan pasien
memiliki nilai diagnostik dan berdasarkan jumlah nilai formula Digby dapat
ditentukan diagnosis karsinoma nasofaring secara klinis. Bila jumlah nilai skor
Digby mencapai 50, diagnosis klinis karsinoma nasofaring dapat ditegakkan.12,17

Gejala Nilai

Massa terlihat pada nasofaring 25

Gejala khas di hidung 15

Gejala khas pendengaran 15

Sakit kepala unilateral atau bilateral 5

Gangguan neurologis 5

Eksoptalmus 5

Limfadenopati leher 25

Jika ditemukan adanya kecurigaan klinis yang mengarah pada suatu


karsinoma nasofaring, protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan
diagnosis pasti serta stadium tumor :

8
1. Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti dari karsinoma nasofaring ditentukan dengan diagnosis klinik
ditunjang dengan diagnosis histologi atau sitologi. Pengambilan sampel untuk
pemeriksaan histopatologi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung
atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi
topikal dengan xylocain 10%. Biopsy merupakan gold standard untuk
menentukan diagnosis dari Kanker Nasofaring.
2. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan karsinoma nasofaring merupakan
pemeriksaan penunjang diagnostik yang penting. Tujuan utama pemeriksaan
radiologik tersebut meliputi memberikan diagnosis yang lebih pasti pada
kecurigaan adanya tumor pada daerah nasofaring, menentukan lokasi yang
lebih tepat dari tumor tersebut, dan mencari dan menetukan luasnya
penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya. 12,17
a. Foto polos
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari
kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu: (1) posisi
lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue technique), (2)
posisi basis kranii atau submentoverteks, (3) Tomogram Lateral daerah
nasofaring, dan (4) Tomogram Antero-posterior daerah nasofaring.
b. CT-.Scan
Pada umunya karsinoma nasofaring yang dapat dideteksi secara jelas
dengan radiografi polos adalah jika massa tumor tersebut cukup besar.
Sedangkan pemeriksaan lebih akurat jika massa tumor kecil serta dapat
memberikan gambaran posisi serta perluasan tumor primer ke jaringan
sekitarnya, menilai ada tidaknya destruksi tulang serta ada tidaknya
penyebaran intrakranial. 12,17
3. Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan IgA anti VCA (capsid
antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam
mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta
mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III
dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer

9
berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA
sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan
ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan, titer yang
didapat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160.12
4. Pemeriksaan endoskopi
Deteksi adanya lesi atau visualisasi direk pada lesi yang nonpalpabel tetapi
dicurigai keganasan dapat dilakukan dengan nasofaringoskopi indirek atau
fiber optik fleksibel atau endoskopi rigid. Pada nasofaringoskopi dapat dilihat
massa yang tumbuh di nasofaring, biasanya di fossa Rossenmuller.12,18

Pharyngobasilar
fascia

Gambar 2. Gambaran Endoskopi Pasien Karsinoma Nasofaring.12

2.5 Klasifikasi Karsinoma Nasofaring


Karsinoma nasofaring dapat diklasifikasikan berdasarkan stadium klinis dan
gambaran histopatologisnya. Penentuan stadium karsinoma nasofaring digunakan
sistem TNM menurut.20
 T (Tumor Primer)
 T1 : Tumor terbatas pada satu lokasi saja (lateral,
porterosuperior, atap, dll)
 T2 : Tumor keluar ke soft tissue
 T2a : Tumor telah keluar ke orofaring , nasal cavity, namun
belum sampai ke parapharingeal.

10
 T2b : tumor keluar ke parapharingel space
 T3 : tumor memasuki bony struktur dan atau sinus paranasalis
 T4 : Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak
tulang tengkorak atau mengenai saraf-saraf otak
 N (Pembesaran kelenjar getah bening regional)
N0 = Tidak ada pembesaran KGB
N1 = Terdapat pembesaran KGB homolateral dan masih bisa digerakkan
N2 = Terdapat pembesaran KGB kontralateral/bilateral dan masih bisa
digerakkan
N3 = Terdapat pembesaran baik homolateral/kontralateral/bilateral yang
sudah melekat pada jaringan sekitar
N3A = Tumor membesar lebih dari 6cm
N3B = Tumor keluar ke supraclavicular fossa
 M (Metastasis jauh)
MX = distant metastasis cannot be assessed
M0 = Tidak ada metastasis jauh
M1 = Terdapat metastasis jauh
Dari keterangan di atas, karsinoma nasofaring dikelompokkan menjadi 4
stadium, yaitu:
a. Stadium 0 : Tis N0 M0
b. Stadium I : T1 N0 M0
c. Stadium IIA : T2a N0 M0
d. Stadium IIB : T1N1M0/ T2N1M0/ T2aN1M0/ T2bN0M0/ T2bN1M0
e. Stadium III : T1 N2 M0 /T2a N2 M0 /T2b N2 M0 / T3 N0 M0
f. Stadium IV A : T4 N0 M0 / T4 N0 M0 / T4 N1 M0 / T4 N0 M0
g. Stadium IV B : Any T N3 M0
h. Stadium IVC : Any T N3 M1
2.7 Diagnosis Banding Karsinoma Nasofaring
Karena nasofaring merupakan bagian faring yang sulit dilihat, untungnya
banyak manifestasi tak langsung dari karsinoma nasofaring yang bisa digunakan
untuk mencurigai adanya lesi pada nasofaring. Bila terjadi obstruksi koana, huruf
”m” akan terdengar seperti huruf ”b” dan ”n” seperti huruf ”d”.

11
Bila pasien mengeluh sengau dan hasil pemeriksaan hidung anterior
normal dapat dicurigai sebagi kelainan nasofaring. Sehingga beberapa lesi di
nasofaring dengan gejala yang hampir mirip bisa dianggap sebagai diagnosis
banding, misalnya :17

a. Angiofibroma nasofaring
b. Hipertrofi adenoid/ adenoid persisten
c. Polip nasi /polip antrokoanal
d. Tumor dekat dasar tengkorak

2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan karsinoma nasofaring pada dasarnya ada 2 macam, yaitu
pencegahan dan pengobatan.
1. Pencegahan
Karena penyebab kanker nasofaring belum jelas, maka pencegahan yang
dilakukan hanya berdasarkan faktor-faktor yang dinilai berpengaruh akan
timbulnya karsinoma nasofaring tersebut. Usaha tersebut adalah
penggunaan vaksin virus Epstein-Barr, mengurangi dan menghindari bahan-
bahan atau polutan yang dapat mempengaruhi timbulnya karsinoma
nasofaring, dan perbaikan sosial ekonomi.17
2. Pengobatan
a. Stadium I : Radioterapi.
b. Stadium II&III : Kemoradiasi (Roezin, 2010 dan National Cancer
Institute 2011).
c. Stadium IV dengan N<6cm: Kemoradiasi.
d. Stadium IV dengan N>6cm: kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi
(Roezin, A., dan Marlinda A. 2010. Karsinoma Nasofaring. dalam: Soepardi,
Efianty A., Nurbaiti I., Jenny B., dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga- Hidung-Tenggorok Kepala Leher edisi keenam. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 182-187)

Radioterapi
Radioterapi adalah pengobatan kanker yang menggunakan X-ray energi
atau radiasi tipe lain untuk memusnahkan sel kanker atau menghambat

12
pertumbuhan sel kanker. Ada dua tipe terapi radiasi. Terapi radiasi external
menggunakan mesin yang berada di luar tubuh untuk memberikan radiasi kepada
kanker. Terapi radiasi internal menggunakan zat radioaktif yang dimasukkan
melalui jarum, radioaktive seeds, wires atau kateter yang ditempatkan secara
langsung kedalam atau di dekat kanker. Cara pemberian terapi radiasi tergantung
pada tipe dan satdium kanker yang diobati.
Sumber radiasi menggunakan radiasi γ Co-60, radiasi β energi tinggi atau radiasi
X energi tinggi dari akselerator linier, terutama dengan radiasi luar isosentrum,
dibantu brakiterapi intrakavital, bila perlu ditambah radioterapi stereotaktik.
(Roezin, A., dan Marlinda A. 2010. Karsinoma Nasofaring. dalam: Soepardi,
Efianty A., Nurbaiti I., Jenny B., dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga- Hidung-Tenggorok Kepala Leher edisi keenam. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 182-187.)

Kemoterapi
Pemberian kemoterapi diberikan dalam banyak siklus, dengan setiap periode
diikuti dengan adanya waktu istirahat untuk memberikan kesempatan tubuh
melakukan recover. Siklus-siklus kemoterapi umumnya berakhir hingga 3 sampai
4 minggu. Kemoterapi sering tidak dianjurkan bagi pasien yang kesehatannya
memburuk. Tetapi umur yang lanjut bukanlah penghalang mendapatkan
kemoterapi.

Cisplatin
Cisplatin merupakan obat yang paling sering digunakan untuk mengobati karsinoma
nasofaring. Cisplatin telah digunakan secara tunggal sebagai bagian dari
kemoradiasi, tetapi boleh dikombinasikan dengan obat lain, 5-fluorourasil (5-FU)
jika diberikan setelah terapi radiasi. Beberapa obat lain boleh juga berguna untuk
mengobati kanker yang telah menyebar. Obat-obat ini termasuk: Carboplatin,
Oxaliplatin, Bleomycin, Methotrexate, Doxorubicin, Epirubicin, Docetaxel, dan
Gemcitabine. Sering, pengkombinasian 2 atau lebih obat-obat ini yang digunakan
(American cancer society, 2011. Nasopharingeal cancer. USA: American Cancer
Society. Diunduh:
http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003124-
pdf.pdf (pada tanggal 9 september 2017). Tetapi berbagai macam kombinasi

13
dikembangkan, yang terbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cis-
platinum sebagai inti (Roezin, A., dan Marlinda A. 2010. Karsinoma Nasofaring.
dalam: Soepardi, Efianty A., Nurbaiti I., Jenny B., dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga- Hidung-Tenggorok Kepala Leher edisi keenam. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 182-187.)
.

Terapi bedah
Pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher yang tidak
menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran
selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan
pemeriksaan radiologik dan serologi, serta tidak adanya ditemukan metastsis jauh.
Juga dilakukan pada karsinoma nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti
karsinoma skuamosa grade I, II, adenokarsinoma, komplikasi radiasi
(parasinusitis radiasi, dll) (Roezin, A., dan Marlinda A. 2010. Karsinoma
Nasofaring. dalam: Soepardi, Efianty A., Nurbaiti I., Jenny B., dkk. 2010.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga- Hidung-Tenggorok Kepala Leher edisi
keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 182-187.)

Terapi paliatif
Terapi paliatif adalah terapi atau tindakan aktif untuk meringankan beban
penderita kanker dan memperbaiki kualitas hidupnya, terutama yang tidak dapat
disembuhakn lagi. Tujuan terapi paliatif adalah:
 Meningkatkan kualitas hidup penderita
 Menghilangkan nyeri dan keluhan berat lainnya
 Menjaga keseimbangan fisik, psikologik, dan sosial penderita
 Membantu penderita agar dapat aktif sampai akhir hayatnya
 Membantu keluarga mengatasi kesulitan penderita dan ikut berduka
cita atas kematian penderita.
Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi.
Mulut rasa kering disebabkan oleh kelenjar liur mayor maupun minor
sewaktu penyinaran. Tidak dapat banyak dilakukan selain menasihatkan
penderita untuk makan dengan banyak kuah, membawa minuman kemana
pun pergi dan mencoba memakan dan mengunyah bahan yang rasa asam
sehingga merangsang keluarnya liur (Roezin, A., dan Marlinda A. 2010.

14
Karsinoma Nasofaring. dalam: Soepardi, Efianty A., Nurbaiti I., Jenny B., dkk.
2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga- Hidung-Tenggorok Kepala Leher
edisi keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 182-187).

PENATALAKSANAAN KNF

Gambar 2.2 Algoritma Diagnosis dan Penatalaksanaan KNF21

2.7 Prognosis dan Komplikasi Karsinoma Nasofaring


Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah,
mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah
tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk.
Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan
metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati
10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %. Komplikasi lain yang biasa
dialami adalah terjadinya pembesaran kelenjar getah bening pada leher dan
kelumpuhan saraf kranial.18

15
Beberapa penelitian melaporkan 5 years survival-rate (ysr) pasien
karsinoma nasofaring dengan terapi radiasi primer sekitar 40-60%. 5 ysr KNF
stadium I sekitar 76,9%, dan stadium II dengan terapi radiasi saja sekitar 56,0%. 5
ysr stadium III dan IV dengan penatalaksanaan radioterapi saja berkisar 16,4-
38,4%, dimana hasil maksimal didapatkan pada penduduk Asia Tenggara dan
dengan tambahan kemoterapi yang dikerjakan bersamaan dengan radioterapi,
didapatkan peningkatan 5 ysr pasien ini. Prognosis diperburuk oleh beberapa
faktor, yaitu stadium yang lebih lanjut, usia lebih dari 40 tahun, laki-laki dari pada
perempuan, ras Cina dari pada ras kulit putih, adanya pembesaran kelenjar leher,
adanya kelumpuhan saraf otak, adanya kerusakan tulang tengkorak, dan adanya
metastasis jauh.20,21
Metastasis jauh ke tulang, hati dan paru dengan gejala khas nyeri pada
tulang, batuk-batuk, dan gangguan fungsi hati serta gangguan fungsi organ lain
(Sudiana, I., 2008. Patobiologi Molekuler Kanker. Salemba Medika. Jakarta. 41-42.)

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Chan J, PIlch B, Kuo T, Wenig B, Lee A. Tumours of The Nasopharynx. In


Barnes L EJRPSD, editor. WHO Classification of Tumours: Head & Neck
Tumours. 2005;81-106.

2. National Cancer Institute. Nasopharyngeal Cancer Treatment. USA: National


Cancer Institute. 2009. Available from: URL:
https://www.cancer.gov/types/head-and-neck/hp/nasopharyngeal-treatment-
pdq#section/all

3. Soepardi, Efiaty Arsyad dkk, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher edisi 7. 2012. FKUI

4. William IW, Daniel T.T.Chua, 2014. Nasopharyngeal Carcinoma. BJ Bailey,


et al., eds. Head and Neck Surgery – Otolaryngology.Vol 2. 5th Ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Pp: 1875-97
5. Ho-Sheng et al.2009. Malignant nasopharyngeal tumors. Chinese Journal of
Cancer . Vol V. 2009
6. Tabuchi K, Nakayama M, Nishimura B, Hayashi K, Hara A. Early Detection
of Nasopharyngeal Carcinoma. International Journal of Otolaryngology.
2011;2011:1-6.

7. Adham M Kamana. Nasopharyngeal Carcinoma in Indonesia: Epidemiology,


Incidence, Signs, and Symptoms at Presentation. Chin J Cancer. 2012;31(4).

8. Ferlay J SIea. Cancer Incidence and Mortality Worldwide: Sources, Methods


and Major Patterns in GLOBOCAN 2012. Int. J. Cancer. 2015;136.

9. Chang TE AH. The Enigmatic Epidemiology of Nasopharyngeal Carcinoma.


Cancer Epidemiology Biomarkers Prev. 2006 Oktober:15(10).
10. Tao Q, Chan A. Nasopharyngeal carcinoma: molecular pathogenesis and
therapeutic developments – CORRIGENDUM. Expert Reviews in Molecular
Medicine, 2011;13.
11. Sudiono J, Hassan I. DNA Epstein-Barr virus (EBV) sebagai biomaker
diagnosis karsinoma nasofaring. Dental Journal (Majalah Kedokteran Gigi).
2013;46(3):140.

12. Roezin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring dalam Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, Leher, ed 6, FKUI, Jakara.
2007;182-7.

17
13. Guigay J, Temam S, Bourhis J, Pignon JP, Armand JP. Nasopharyngeal
Carcinoma and Therapeutic Management: The Place of Chemotherapy.
Annals of Oncology. 2006;17(10): 304-7.

14. Asroel, Harry A. Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring.


USU digital library : Bagian Tenggorokan Hidung dan Telinga Universitas
Sumatera Utara. 2002.

15. American Cancer Society. Nasopharyngeal Cancer. Atlanta, Ga: American


Cancer Society. 2011.

16. Ho F, Tham I, Earnest A, Lee K, Lu J. Patterns of regional lymph node


metastasis of nasopharyngeal carcinoma: A meta-analysis of clinical
evidence. BMC Cancer. 2012;12(1).

17. Leu YS, Lee JC. Carcinoma in The Pharynx: Nasopharynx, Oropharynx and
Hypopharynx. J. Chinese Oncol. Soc. 2009;25(2):102-13.

18. Jeyakumar, Anita et al. Review of Nasopharyngeal Carcinoma. ENT-Ear,


Nose & Throat Journal. 2006 Maret
19. Lin HS. 2013. Malignant Nasopharyngeal Tumors. Review : annals of
Oncology. 2013
20. Daniel G. Deschler, MD, Terry Day, MD. 2008. NECK ISSECTION
CLASSIFICATION AND TNM STAGING OF HEA AND NECK CANCER.
American Academy Otolaryngology Head and Neck Surgery Foundation. Va
22314-3357
21. Ho-Sheng et al.2009. Malignant nasopharyngeal tumors. Chinese Journal of
Cancer . Vol V. 2009
22. William IW, Daniel T.T.Chua, 2014. Nasopharyngeal Carcinoma. BJ Bailey,
et al., eds. Head and Neck Surgery – Otolaryngology.Vol 2. 5th Ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Pp: 1875-97

18

Вам также может понравиться