Вы находитесь на странице: 1из 18

II.

Diabetes Melitus

A. Definisi
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya (Perkeni, 2015).

B. Faktor Risiko DM Tipe II


Berikut ini adalah faktor risiko DM Tipe 2 (Handelsman et al, 2015):
 Usia ≥45 tahun
 Memiliki riwayat keluarga dengan DM tipe 2
 Penyakit kardiovaskular
 Overweight atau obesitas (BMI >25 kg/m2)
 Sedentary lifestyle
 Nonwhite ancestry (Asian, African American, Hispanic, Native
American, or Pacific Islander)
 Kadar Trigliserida yang tinggi (>250 mg/dL), kadar HDL-C yang rendah
 Gangguan toleransi glukosa, gangguan kadar gula puasa, dan atau adanya
sindrom metabolic.
 PCOS, akantosis nigrikans, atau adanya Non alcoholic fatty liver disease
(NAFLD)
 Hipertensi

 Riwayat DM gestasional
 Riwayat melahirkan bayi dengan berat >4kg
 Riwayat terapi dengan antipsikotik untuk skizofrenia atau bipolar
 Pajanan dengan glukokortikoid kronis
 Gangguan tidur disertai intoleransi glukosa (HbA1C >5.7%, IGT atau
IFG pada uji sebelumnya) termasuk OSA, Chronic sleep deprivation, dan
kerja shift malam.
American Diabetes Association (ADA) juga merekomendasikan hal
serupa; untuk skrining obesitas pada dewasa (usia >18 tahun) yang memiliki
satu atau lebih faktor risiko sama halnya juga dengan skrining pada individu
berusia >45 tahun paling sedikit setiap 3 tahun.

C. Etiologi
DM tipe 2 biasanya diidentifikasi pada seseorang yang berusia lebih
dari 300 tahun yang overweight atau obesitas atau memiliki riwayat
keluarga dengan DM namun tidak memiliki autoantibodies T1D.
Kebanyakan orang dengan DM tipe 2 terbukti memiliki resistensi insulin
(ditunjukkan dengan kadar trigliseridanya yang tinggi dan HDL-C nya yang
rendah). DM tipe 2 cenderung muncul karena defek poligenik yang menjadi
predisposisi penyakit yang diidap seseorang. Pengaruh lingkungan seperti
gaya hidup sedentary dan makanan tinggi lemah dapat mengeksaserbasi
defek baik pada sekresi insulin dari sel beta pancreas dan aksi insulin pada
otot dan jaringan adiposa. Karakteristik hiperglikemia pada keadaan
prediabetes (HbA1C 5.5% -6.4%) menyebabkan glukotoksisitas, sementara
pada individu overweight (yang memiliki adiposit sentral yang banyak),
meningkatknya kadar FFA menyebabkan lipotoksisitas. Baik
glukotoksisitas dan lipotoksisitas memperburuk sekresi sel B yang
menyebabkan hiperglikemia. Sekali saja kadar glukosa melebihi diambang
normal, sudah dianggap DM tipe 2 (Poitout et al, 2008; Kahn SE, 2003;
Gerich, 2003).

D. Patogenesis DM Tipe II
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta
pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-
2 Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih
berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta,
organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal
(defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal
(peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya
ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa
pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam gangguan toleransi glukosa
ini (ominous octet) penting dipahami karena dasar patofisiologi ini
memberikan konsep tentang (Perkeni, 2015).:

1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis,


bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat pada
gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada
penyandang gangguan toleransi glukosa.

Gambar 2.1 The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam
patogenesis hiperglikemia pada DM tipe 2
(Perkeni, 2015).
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal
(omnious octet) berikut :
1. Kegagalan sel beta pancreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan,
fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja
melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-
4 inhibitor.
2. Liver: Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan
memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan
basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat
yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses
gluconeogenesis.
3. Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga
timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis
glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini
adalah metformin, dan tiazolidindion.
4. Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas
(FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang
proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan
otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang
disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja
dijalur ini adalah tiazolidindion.
5. Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding
kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin
ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan
GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga
gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan
defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut
incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya
bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja
DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga
mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim
alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida
yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa
darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja
ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.
6. Sel Alpha Pancreas: Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan
dalam hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi
dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam
plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam
keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang
normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat
reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP4 inhibitor dan amylin.
7. Ginjal: Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam
pathogenesis DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa
sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap
kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose coTransporter) pada
bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di
absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden,
sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM
terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat
kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di
tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang
bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah
satu contoh obatnya.
E. Perjalanan Penyakit

Pada awalnya meningkatnya resistensi insulin dan impairment fungsi sel


disertai efek incretin berinteraksi, seiring waktu menyebabkan defisiensi
insulin relative dan juga produksi glucagon yang berlebihan (menyebabkan
produksi glukosa endogen berlebih di hepar). Sebagai respon, paada
awalnya ggn kadar gula post prandial, lalu gangguan kadar gula puasa
(Holan RR, 1198; Ramlo 1999; Nathan, 2002).
Hiperglikemia memperburuk semua defek patofisiologi DM tipe 2
(De Fronzo, 2009). Juga faktor risko penyakit makrovaskular, yang mulai
muncul pada fase prediabetes (Chiasson, 2003; Malmberg, 2005; Selvin,
2004). Lebih lanjut lagi, hiperglikemia menyebabkan komplikasi
mikrovaskular pada diabetes. Kebanyakan pasien dengan DM tipe 2
asimptomatik, penyakit tidak bisa didiagnosis beberapa tahun setelah onset
(Selvin, 2004). Akibatnya sebanyak 25% pasien sudah menderita 1 atau
lebih kelainan mikrovaskular pada saat didiagnosis (UKPDS, 1991).
F. Diagnosis DM Tipe II
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa
darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas
dasar adanya glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada
penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat
keluhan seperti (Perkeni, 2015);
 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Gambar 2.2 Kriteria Diagnosis DM

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
 GDPT : Hasil pemeriksaan GDP antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan
TTGO glukosa plasma 2 jam <140 mg/dl
 TGT: Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 jam setelah TTGO antara 140-
199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1C yang menunjukkan angka 5,7%- 6,4%.
Gambar 2.3. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan
prediabetes

G. Penalatalaksanaan Diabetes Melitus


Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas
hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi : 1. Tujuan
jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup,
dan mengurangi risiko komplikasi akut. 2. Tujuan jangka panjang:
mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati dan
makroangiopati. 3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas
dan mortalitas DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan
pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid,
melalui pengelolaan pasien secara komprehensif.
Langkah-langkah penatalaksanaan umum:
 Perlu dilakukan evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan
pertama, yang meliputi:
1. Riwayat Penyakit
2. Usia dan karakteristik saat onset diabetes.
3. Pola makan, status nutrisi, status aktifitas fisik, dan riwayat
perubahan berat badan.
4. Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda.
5. Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap,
termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh
tentang perawatan DM secara mandiri.
6. Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang
digunakan, perencanaan makan dan program latihan jasmani.
7. Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar
hiperglikemia, hipoglikemia).
8. Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan
traktus urogenital.
9. Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik pada ginjal,
mata, jantung dan pembuluh darah, kaki, saluran pencernaan,
dll.
10. Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa
darah.
11. Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung
koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk
penyakit DM dan endokrin lain).
12. Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM.
13. Karakteristik budaya, psikososial, pendidikan, dan status
ekonomi.
 Pemeriksaan Fisik

1. Pengukurantinggidanberatbadan. 


2. Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran 
 tekanan

darah dalam posisi berdiri untuk mencari 
 kemungkinan adanya

hipotensi ortostatik. 


3. Pemeriksaanfunduskopi.
4. Pemeriksaanronggamulutdankelenjartiroid.

5. Pemeriksaan jantung. 


6. Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan 
 stetoskop.

7. Pemeriksaan kaki secara komprehensif (evaluasi 
 kelainan

vaskular, neuropati, dan adanya deformitas). 


8. Pemeriksaan kulit (akantosis nigrikans, bekas luka,

hiperpigmentasi, necrobiosis diabeticorum, kulit 
 kering, dan


bekas lokasi penyuntikan insulin). 


9. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan 
 DM tipe

lain. 


 Evaluasi Laboratorium

1. Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2jam 
 setelah

TTGO.

2. PemeriksaankadarHbA1c 


 Penapisan Komplikasi

1. Profil lipid pada keadaan puasa: kolesterol total, High 
 Density

Lipoprotein (HDL), Low Density Lipoprotein 
 (LDL), dan

trigliserida
2. Tes fungsi hati

3. Tesfungsiginjal:Kreatininserumdanestimasi-GFR 


4. Tesurinrutin 


5. Albuminurinkuantitatif 


6. Rasioalbumin-kreatininsewaktu. 


7. Elektrokardiogram. 


8. Foto Rontgen thoraks (bila ada indikasi: TBC, penyakit


 jantung kongestif). 


9. Pemeriksaankakisecarakomprehensif. 


Pengelolaan Diabetes Melitus dimulai dengan terapi gizi medis dan


latihan jasmani selama beberapa waktu (2 – 4 minggu). Apabila kadar
glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis
dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada
keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau
langsung kombinasi, sesuai indikasi (Perkeni, 2015).
Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus terdiri dari (Perkeni, 2015) :
1. Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang :
a. Perjalanan penyakit DM
b. Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan
c. Penyulit DM dan risikonya
d. Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target
perawatan
e. Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan
obat hipoglikemik oral atau insulin serta obat-obatan lain
f. Cara pemantauan glukosa darah
g. Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia
h. Pentingnya latihan jasmani yang teratur
i. Pentingnya perawatan kaki
j. Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
2. Terapi nutrisi medis (TNM)
Prinsip pengaturan makan pada penderita DM yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing
individu. Selain itu, perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam
hal jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama pada
mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin atau
terapi insulin itu sendiri.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari (Perkeni, 2015) :
a. Karbohidrat
Dianjurkan sebesar 45-65 % total asupan energi dengan sukrosa
tidak lebih dari 10% total asupan energi.
b. Lemak
Dianjurkan sekitar 20 – 25% kebutuhan kalori dengan lemak jenuh
< 7% kebutuhan kalori. Perlu adanya pembatasan terhadap makanan
yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain :
daging berlemak dan susu penuh (whole milk). Selain itu, dianjurkan
juga untuk mengkonsumsi kolesterol < 300 mg/hari.
c. Protein
Dibutuhkan sebesar 15 – 20% total asupan energi. Sumber protein
yang baik adalah ikan, seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa
kulit, produk susu rendah lemak, kacang dan kacang-kacangan, tahu,
tempe. Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein
menjadi 0,8 g/kg BB/hari atau 10% dari kebutuhan energi.
d. Garam
Dianjurkan untuk mengkonsumsi garam tidak lebih dari 3000 mg
atau sama dengan 6 – 7 g (1 sendok teh) garam dapur. Selain itu,
natrium dibatasi sampai 2400 mg atau sama dengan 6g/hari terutama
pada penderita hipertensi.
e. Serat
Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.
3. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-5
kali seminggu selama kurang lebih 30-45 menit, dengan total 150 menit
perminggu), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2.
Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga,
berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga
kebugaran jugadapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin,sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah.
Latihan jasmaniyang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat
aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status
kesegaran jasmani.Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan
jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi
DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
bermalas-malasan.
4. Terapi farmakologis
Jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan TNM dan latihan
jasmani, maka terapi selanjutnya dilakukan dengan intervensi
farmakologi yang meliputi (Sudoyo, 2006)
a. Obat Hipoglikemik Oral ( OHO )
Berdasarkan cara kerjanya, OHO diklasifikasikan ke dalam 4
golongan (Sudoyo, 2006) :
1. Memicu sekresi insulin (sulfonilurea dan glinid)
2. Meningkatkan sensitivitas terhadap insulin (metformin,
tiazolidindion)
3. Menghambat glukoneogenesis (metformin)
4. Menghambat absorpsi glukosa (penghambat glukosidase α)

Tabel 2.2. Pengelompokan Obat Hipoglikemik Oral

Obat Cara Kerja Efek samping Contoh Obat

Pemicu Sekresi Insulin

Sulfonilurea ↑ sekresi insulin Hipoglikemia Glibenclamide


Pilihan utama pasien BB naik Gliclazide
dgn BB N/< Glipizide
Gilmepiride

Glinid ↑ sekresi insulin fase BB naik Repaglinid


pertama Nateglinid

Penambah Sensitivitas Insulin

Tiazolidindion Berikatan pada ↑ adiposity Rosiglitazone


PPAr-ϒ ( reseptor di t.u subkutan dgn Pioglitazone
sel otot dan lemak) redistribusi
lemak,↑BB,
Retensi cairan
Penghambat Glukoneogenesis

Biguanides ↓ Glukoneogenesis Mual, anorexia, Metformin


diare, asidosis
laktat

Pemicu Sekresi Insulin

Sulfonilurea ↑ sekresi insulin Hipoglikemia Glibenclamide


Pilihan utama pasien BB naik Gliclazide
dgn BB N/< Glipizide
Gilmepiride

Glinid ↑ sekresi insulin fase BB naik Repaglinid


pertama Nateglinid

Penambah Sensitivitas Insulin

Tiazolidindion Berikatan pada ↑ adiposity Rosiglitazone


PPAr-ϒ ( reseptor di t.u subkutan dgn Pioglitazone
sel otot dan lemak) redistribusi
lemak,↑BB,
Rentensi cairan

Penghambat Glukoneogenesis

Biguanides ↓ Glukoneogenesis Mual, anorexia, Metformin


diare, asidosis
laktat

Penghambat Glukosidase Alfa

Acarbose ↓absorpsi glukosa di Kembung dan Acarbose


usus halus flatulens

5. Insulin
Indikasi pemberian insulin yaitu sebagai berikut (Perkeni, 2015):
a. HbA1C > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
b. Penurunan berat badan yang cepat
c. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
d. Krisis hiperglikemia
e. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
f. Stres berat ( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke )
g. Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali
dengan perencanaan makan
h. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
i. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
j. Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Efek samping terapi insulin (Perkeni, 2015) :


a. Efek samping utama adalah terjadinya hipoglikemia
b. Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin

H. Diabetes dengan nefropati diabetik


. Nefropati diabetik merupakan penyebab paling utama dari Gagal Ginjal

Stadium Akhir. 


. Sekitar 20-40% penyandang diabetes akan mengalami nefropati diabetik. 


. Didapatkannya albuminuria persisten pada kisaran 30-299 mg/24 jam

merupakan tanda dini nefropati diabetik pada DM tipe 2 


. Pasien yang disertai dengan albuminuria persisten pada kadar 30-299 mg/24
jam dan berubah menjadi albuminuria persisten pada kadar ≥300 mg/24 jam

sering berlanjut menjadi gagal ginjal kronik stadium akhir. 


. Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan jika didapatkan kadar albumin >30


mg dalam urin 24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-

6 bulan, tanpa penyebab albuminuria lainnya. 



. Klasifikasi nefropati diabetik tidak lagi menggunakan istilah
‘mikroalbuminuria’ dan ‘makroalbuminuria’ tetapi albuminuria saja.
Nefropati diabetik dibagi atas albuminuria persisten pada level 30-

299mg/24 jam dan albuminuria persisten pada level ≥300mg/24 jam. 


. Pemeriksaan lainnya adalah rasio albumin kreatinin. Nilai diagnosis adalah:

-Normal : <30mg/g


-Rasio albumin kreatinin 30-299 mg/g

-Rasio albumin kreatinin ≥300 mg/g 


. Penapisan dilakukan:

-Segera setelah diagnosis DM tipe 2 ditegakkan. 


-Jika albuminuria <30 mg/24 jam dilakukan evaluasi ulang 
 setiap tahun.

(B) 


. Metode Pemeriksaan

-Rasio albumin/kreatinin dengan urin sewaktu 


-Kadar albumin dalam urin 24 jam: Monitoring albumin urin secara kontinu

untuk menilai respon terapi dan 
 progresivitas penyakit masih dapat

diterima. (E).

. Penatalaksanaan 


-Optimalisasi kontrol glukosa untuk mengurangi resiko ataupun

menurunkan progresi nefropati. (A) 


-Optimalisasi kontrol hipertensi untuk mengurangi resiko ataupun

menurunkan progresi nefropati. (A) 


-Pengurangan diet protein pada diet pasien diabetes dengan penyakit ginjal
kronik tidak direkomendasikan karena tidak mengubah kadar glikemik,
resiko kejadian kardiovaskuler, atau penurunan GFR. (A)
-Terapi dengan penghambat ACE atau obat penyekat reseptor angiotensin

II tidak diperlukan untuk pencegahan primer. (B). 


IV. DAFTAR PUSTAKA

Chiasson JL, Josse RG, Gomis R, Hanefeld M, Karasik A, Laakso M. Acarbose


treatment and the risk of cardiovascular disease and hypertension in patients
with impaired glucose tolerance: the STOP-NIDDM trial. JAMA.
2003;290:486-494.
Defronzo RA. Banting Lecture. From the triumvirate to the ominous octet: a new
paradigm for the treatment of type 2 diabetes mellitus. Diabetes.
2009;58:773-795.
Gerich JE. Contributions of insulin-resistance and insulin-secretory defects to
the pathogenesis of type 2 diabetes mellitus. Mayo Clin Proc. 2003;78:447-
456
Handelsman Y, Bloomgarden ZT, Grunberger G, et al. American Association of
Clinical Endocrinologists and American College of Endocrinology Clinical
practice guidelines for developing a diabetes mellitus comprehensive care
plan—2015. Endocr Pract. 2015;21(suppl 1):1-87.
Holman RR. Assessing the potential for alpha-glucosidase inhibitors in
prediabetic states. Diabetes Res Clin Pract. 1998;40(suppl):S21-S25.
Kahn SE. The relative contributions of insulin resistance and beta-cell
dysfunction to the pathophysiology of type 2 diabetes. Diabetologia.
2003;46:3-19
Malmberg K, Ryden L, Wedel H, et al. Intense metabolic control by means of
insulin in patients with diabetes mellitus and acute myocardial infarction
(DIGAMI 2): effects on mortality and morbidity. Eur Heart J. 2005;26:650-
661.
Nathan DM. Clinical practice. Initial management of glycemia in type 2 diabetes
mellitus. N Engl J Med. 2002;347:1342-1349.
Perkeni. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe
2 di Indonesia tahun 2015. Jakarta : PB Perkeni
Poitout V, Robertson RP. 2008. Glucolipotoxicity: fuel excess and beta-cell
dysfunction. Endocr Rev. 29:351-366
Ramlo-Halsted BA, Edelman SV. The natural history of type 2 diabetes.
Implications for clinical practice. Prim Care. 1999;26:771-789.
Selvin E, Marinopoulos S, Berkenblit G, et al. Meta-analysis: glycosylated
hemoglobin and cardiovascular disease in diabetes mellitus. Ann Intern
Med. 2004;141:421-431.
Sudoyo, A.W., et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi IV.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
U.K. Prospective Diabetes Study Group. U.K. prospective diabetes study 16.
Overview of 6 years' therapy of type II diabetes: a progressive
disease. Diabetes. 1995;44:1249-1258.
UK Prospective Diabetes Study (UKPDS). VIII. Study design, progress and
performance. Diabetologia. 1991;34:877-890.

Вам также может понравиться