Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Diabetes Melitus
A. Definisi
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya (Perkeni, 2015).
Riwayat DM gestasional
Riwayat melahirkan bayi dengan berat >4kg
Riwayat terapi dengan antipsikotik untuk skizofrenia atau bipolar
Pajanan dengan glukokortikoid kronis
Gangguan tidur disertai intoleransi glukosa (HbA1C >5.7%, IGT atau
IFG pada uji sebelumnya) termasuk OSA, Chronic sleep deprivation, dan
kerja shift malam.
American Diabetes Association (ADA) juga merekomendasikan hal
serupa; untuk skrining obesitas pada dewasa (usia >18 tahun) yang memiliki
satu atau lebih faktor risiko sama halnya juga dengan skrining pada individu
berusia >45 tahun paling sedikit setiap 3 tahun.
C. Etiologi
DM tipe 2 biasanya diidentifikasi pada seseorang yang berusia lebih
dari 300 tahun yang overweight atau obesitas atau memiliki riwayat
keluarga dengan DM namun tidak memiliki autoantibodies T1D.
Kebanyakan orang dengan DM tipe 2 terbukti memiliki resistensi insulin
(ditunjukkan dengan kadar trigliseridanya yang tinggi dan HDL-C nya yang
rendah). DM tipe 2 cenderung muncul karena defek poligenik yang menjadi
predisposisi penyakit yang diidap seseorang. Pengaruh lingkungan seperti
gaya hidup sedentary dan makanan tinggi lemah dapat mengeksaserbasi
defek baik pada sekresi insulin dari sel beta pancreas dan aksi insulin pada
otot dan jaringan adiposa. Karakteristik hiperglikemia pada keadaan
prediabetes (HbA1C 5.5% -6.4%) menyebabkan glukotoksisitas, sementara
pada individu overweight (yang memiliki adiposit sentral yang banyak),
meningkatknya kadar FFA menyebabkan lipotoksisitas. Baik
glukotoksisitas dan lipotoksisitas memperburuk sekresi sel B yang
menyebabkan hiperglikemia. Sekali saja kadar glukosa melebihi diambang
normal, sudah dianggap DM tipe 2 (Poitout et al, 2008; Kahn SE, 2003;
Gerich, 2003).
D. Patogenesis DM Tipe II
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta
pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-
2 Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih
berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta,
organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal
(defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal
(peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya
ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa
pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam gangguan toleransi glukosa
ini (ominous octet) penting dipahami karena dasar patofisiologi ini
memberikan konsep tentang (Perkeni, 2015).:
Gambar 2.1 The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam
patogenesis hiperglikemia pada DM tipe 2
(Perkeni, 2015).
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal
(omnious octet) berikut :
1. Kegagalan sel beta pancreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan,
fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja
melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-
4 inhibitor.
2. Liver: Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan
memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan
basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat
yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses
gluconeogenesis.
3. Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga
timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis
glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini
adalah metformin, dan tiazolidindion.
4. Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas
(FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang
proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan
otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang
disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja
dijalur ini adalah tiazolidindion.
5. Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding
kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin
ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan
GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga
gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan
defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut
incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya
bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja
DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga
mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim
alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida
yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa
darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja
ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.
6. Sel Alpha Pancreas: Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan
dalam hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi
dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam
plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam
keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang
normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat
reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP4 inhibitor dan amylin.
7. Ginjal: Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam
pathogenesis DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa
sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap
kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose coTransporter) pada
bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di
absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden,
sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM
terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat
kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di
tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang
bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah
satu contoh obatnya.
E. Perjalanan Penyakit
1. Pengukurantinggidanberatbadan.
hipotensi ortostatik.
3. Pemeriksaanfunduskopi.
4. Pemeriksaanronggamulutdankelenjartiroid.
5. Pemeriksaan jantung.
lain.
Evaluasi Laboratorium
TTGO.
2. PemeriksaankadarHbA1c
Penapisan Komplikasi
trigliserida
2. Tes fungsi hati
3. Tesfungsiginjal:Kreatininserumdanestimasi-GFR
4. Tesurinrutin
5. Albuminurinkuantitatif
6. Rasioalbumin-kreatininsewaktu.
7. Elektrokardiogram.
jantung kongestif).
9. Pemeriksaankakisecarakomprehensif.
Penghambat Glukoneogenesis
5. Insulin
Indikasi pemberian insulin yaitu sebagai berikut (Perkeni, 2015):
a. HbA1C > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
b. Penurunan berat badan yang cepat
c. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
d. Krisis hiperglikemia
e. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
f. Stres berat ( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke )
g. Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali
dengan perencanaan makan
h. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
i. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
j. Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Stadium Akhir.
. Pasien yang disertai dengan albuminuria persisten pada kadar 30-299 mg/24
jam dan berubah menjadi albuminuria persisten pada kadar ≥300 mg/24 jam
-Normal : <30mg/g
. Penapisan dilakukan:
-Jika albuminuria <30 mg/24 jam dilakukan evaluasi ulang setiap tahun.
(B)
. Metode Pemeriksaan
-Kadar albumin dalam urin 24 jam: Monitoring albumin urin secara kontinu
diterima. (E).
. Penatalaksanaan
-Pengurangan diet protein pada diet pasien diabetes dengan penyakit ginjal
kronik tidak direkomendasikan karena tidak mengubah kadar glikemik,
resiko kejadian kardiovaskuler, atau penurunan GFR. (A)
-Terapi dengan penghambat ACE atau obat penyekat reseptor angiotensin