Вы находитесь на странице: 1из 28

Case Report Session

MENINGITIS TB

Oleh:

Yelsa Yulanda Putri

1010313111

Preseptor:

dr. Mayetti, Sp.A(K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RSUP. DR. M. DJAMIL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2015
BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkolusis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis.1 Umumnya TB menyerang paru-paru tetapi kuman TB juga
bisa menyebar ke bagian atau organ lain dalam tubuh. TB jenis ini lebih berbahaya dari TB
paru. Bila kuman TB menginfeksi hampir seluruh organ tubuh, seperti ginjal, saluran
kencing, tulang, sendi, usus, kulit disebut TB milier atau TB ekstrapulmoner Bila kuman TB
menyerang otak dan sistem saraf pusat, akan menyebabkan meningitis tuberkulosa.1

Meningitis merupakan penyakit susunan saraf pusat yang dapat menyerang semua
orang. Bayi, anak-anak, dan dewasa muda merupakan golongan usia yang mempunyai resiko
tinggi untuk terkena meningitis.2 Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput
otak (meningen) yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis.3
Tuberkulosis masih merupakan penyakit penting sebagai penyebab morbiditas dan
mortalitas, dan tingginya biaya kesehatan. Setiap tahun diperkirakan 9 juta kasus TB baru dan
2 juta di antaranya meninggal. Dari 9 juta kasus baru TB di seluruh dunia, 1 juta adalah anak
usia <15 tahun. Dari seluruh kasus anak dengan TB, 75% didapatkan di duapuluh dua negara
dengan beban TB tinggi (high burden countries). Dilaporkan dari berbagai negara presentase
semua kasus TB pada anak berkisar antara 3% sampai >25%. 4
Apabila tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis dapat meninggal
dunia. Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang berumur kurang dari 3 tahun
mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada pasien yang lebih tua usianya. Hanya 18%
dari yang hidup mempunyai neurologis dan intelek yang normal. Sekuele terbanyak adalah
paresis spastik, kejang, paraplegia, dan gangguan sensori ekstremitas.3

Morbiditas dan mortalitas meningitis TB sangat tinggi maka tindakan pengobatan


meningitis TB harus tepat dan adekuat. Selain tindakan pencegahan juga merupakan hal yang
sangat penting diantaranya imunisasi dan pada semua anak, terutama balita yang tinggal
serumah atau kontak erat dengan penderita TB dengan BTA positif, perlu dilakukan
pemeriksaan menggunakan sistem skoring.2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang


disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini merupakan salah satu
bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer
muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah
tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak.1

2.2 Epidemiologi

Setiap tahun diperkirakan 9 juta kasus TB baru dan 2 juta di antaranya meninggal.
Dari 9 juta kasus baru TB di seluruh dunia, 1 juta adalah anak usia <15 tahun. Dari seluruh
kasus anak dengan TB, 75% didapatkan di duapuluh dua negara dengan beban TB tinggi
(high burden countries). Dilaporkan dari berbagai negara presentase semua kasus TB pada
anak berkisar antara 3% sampai >25%.4 Insidens meningitis serosa (tuberkulosa) sangat
bervariasi dan bergantung kepada tingkat sosio-ekonomi dan kesehatan masyarakat, umur,
status gizi serta faktor genetik yang menentukan respon imun seseorang. Menurut Auerbach,
insidens meningitis tuberkulosa sebanyak 42,2 % dari 97 anak yang meninggal kerana
tuberkulosis.3

2.3 Etiologi

Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik gram


positif, berukuran 0,4 – 3 μ, mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama berminggu-
minggu dalam keadaan kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20 jam).
Bakteri ini merupakan salah satu jenis bakteri yang bersifat intracellular pathogen pada
hewan dan manusia. Selain Mycobacterium tuberkulosis, spesies lainnya yang juga dapat
menimbulkan tuberkulosis adalah Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum,
dan Mycobacterium microt.5

2.4 Patofisiologi

Meningitis tuberkulosa terjadi sebagai akibat komplikasi penyebaran tuberkulosis


primer dengan fokus infeksi di tempat lain. Biasanya fokus primer di paru, namun Blockloch
menemukan 22,8% dengan fokus infeksi primer di abdomen, 2,1% di kelenjar limfe leher dan
1,2% tidak ditemukan fokus primernya. 3

Menurut Rich, proses terjadinya meningitis tuberkulosa adalah mula-mula terbentuk


tuberkel di otak, selaput otak atau medula spinalis akibat penyebaran basil Mycobacterium
tuberculosa secara hematogen selama infeksi primer.3

Meningitis timbul akibat terlepasnya basil dan antigennya dari tuberkel yang pecah
karena rangsangan seperti trauma atau faktor imunologis. Basil kemudian langsung masuk
ruang subaraknoid atau ventrikel. Hal ini bisa langsung segera terjadi atau sesudah lesi
terbentuk atau setelah periode laten beberapa bulan atau beberapa tahun. Bila hal ini terjadi
pada penderita yang sudah tersensitasi, maka masuknya basil ke dalam ruang subaraknoid
menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan perubahan dalam cairan serebrospinal.
Reaksi peradangan ini mula-mula timbul disekitar tuberkel yang pecah tetapi kemudian
tampak jelas di selaput otak pada dasar otak. Meningitis basalis yang terjadi akan
menimbulkan komplikasi neurologis berupa paralisis saraf kranial VI, III dan IV. Infark
karena penyumbatan arteri dan vena serta hidrosefalus karena tersumbatnya aliran cairan
serebrospinal.2,3

2.5 Patologi

Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosis:2

1. Araknoiditis proliferatif

Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik yang
melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi radang akut
di leptomening ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di
basis otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan
nekrosis perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan
mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan
mengalami paralisis. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian
III dan IV, sehingga akan timbul gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf
kranial II, maka kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur
bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII
akan menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya permanen.
2. Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal yang melintasi
membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya
radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang meninggalkan
sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri
cerebri media atau arteri karotis interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila
infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri yang
terkena, ditemukan adanya perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia
ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis
perkijuan. Pada tunika media tidak tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan
kadang perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel,
proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri
cerebri media dan anterior serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena
selaput otak dapat mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan
trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas,
diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear dan
perubahan fibrin.1,2

3. Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang akan


mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan2,3

Adapun perlengketan yang terjadi dalam kanalis sentralis medulla spinalis akan
menyebabkan spinal block dan paraplegia.1

Gambaran patologi yang terjadi pada meningitis tuberkulosis ada 4 tipe, yaitu:3

1. Disseminated milliary tubercles, seperti pada tuberkulosis milier;

2. Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering menyebabkan meningitis yang
difus;

3. Acute inflammatory caseous meningitis

- Terlokalisasi, disertai perkijuan dari tuberkel, biasanya di korteks


- Difus, dengan eksudat gelatinosa di ruang subarakhnoid

4. Meningitis proliferatif

- Terlokalisasi, pada selaput otak


- Difus dengan gambaran tidak jelas

Gambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi bersamaan pada setiap
pasien. Gambaran patologi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur, berat dan
lamanya sakit, respon imun pasien, lama dan respon pengobatan yang diberikan, virulensi
dan jumlah kuman juga merupakan faktor yang mempengaruhi.3

2.6 Manifestasi Klinis

Menurut Lincoln, gejala dan tanda meningitis TB dapat dibagi menjadi 3 stadium:3

1. Stadium I (stadium prodormal)

Manifestasi neurologis belum timbul. Gejala pada fase ini tidak khas dan timbul
perlahan-lahan serta berlangsung 1-2 minggu sebelum tanda-tanda rangsang meningeal
muncul. Tanda yang muncul antara lain demam, nyeri kepala, mual, muntah, apati, gelisah.
Pada bayi iritabel dan ubun ubun besar menonjol merupakan manifestasi yang paling sering
ditemukan, sedangkan pada anak mungkin tanpa demam dan timbul kejang yang intermiten.
Kejang bersifat umum dan didapatkan pada sekitar 10-15%. Kadang kadang tanda kenaikan
tekanan intrakranial mendahului tanda rangsang meningeal. Stadium ini berlangsung selama
1-3 minggu dan bila turberkelnya pecah langsung ke dalam ruang subarachnoid maka fase ini
berlangsung singkat dan langsung ke stadium III.3

2.Stadium II (stadium meningitis)

Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak, sehingga sakit kepala dan muntah
menjadi keluhan utamanya. Pasien muntah dan sakit kepala terus menerus, menjadi mudah
terangsang dan disorientasi. Pada anak usia di bawah 3 tahun iritabel dan muntah merupakan
gejala utamanya, sedangkan pada anak yang lebih besar sakit kepala adalah keluhan
utamanya.3

Eksudat yang mengalami organisasi akan mengakibatkan kelumpuhan saraf kranial


dan hidrosefalus, gangguan kesadaran, papiledema ringan serta adanya tuberkel di
koroid. Vaskulitis menyebabkan gangguan fokal, saraf kranial dan kadang medulla spinalis.
Hemiparesis yang timbul disebabkan karena infark/ iskemia, quadriparesis dapat terjadi
akibat infark bilateral atau edema otak yang berat.2,3
Gejala:3

- Akibat rangsang meningen sakit kepala berat dan muntah (keluhan utama)

- Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak:

 disorientasi
 bingung
 kejang
 tremor
 hemibalismus / hemikorea
 hemiparesis / quadriparesis
 penurunan kesadaran
- Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial:

Saraf kranial yang sering terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII

Tanda:  strabismus

 diplopia

 ptosis

 reaksi pupil lambat

 gangguan penglihatan
 Gangguan pendengaran
3. Stadium III.

Terjadi percepatan penyakit, berlangsung selama ± 2-3 minggu. Gangguan fungsi otak
semakin jelas. Terjadi akibat infark batang otak akibat lesi pembuluh darah atau strangulasi
oleh eksudat yang mengalami organisasi.3
Gejala: 2,3
- pernapasan irregular
- demam tinggi

- edema papil

- hiperglikemia
- kesadaran makin menurun, irritable dan apatik, mengantuk,

stupor, koma, otot ekstensor menjadi kaku dan spasme,

opistotonus, pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali.

- nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur

- hiperpireksia

- akhirnya, pasien dapat meninggal.

Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu dengan yang
lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu sebelum pasien meninggal.
Dikatakan akut bila 3 stadium tersebut berlangsung selama 1 minggu.3

2.7 Diagnosis

Dari anamnesis: adanya riwayat kejang atau penurunan kesadaran (tergantung stadium
penyakit), adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis (baik yang menunjukkan gejala,
maupun yang asimptomatik), adanya gambaran klinis yang ditemukan pada penderita (sesuai
dengan stadium meningitis tuberkulosis). Pada neonatus, gejalanya mungkin minimalis dan
dapat menyerupai sepsis, berupa bayi malas minum, letargi, distress pernafasan, ikterus,
muntah, diare, hipotermia, kejang (pada 40% kasus), dan ubun-ubun besar menonjol (pada
33,3% kasus)1,2,3

Uji tuberkulin positif. Pada 40% kasus, uji tuberkulin dapat negatif.

Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis yang paling
bermanfaat. Penelitian menunjukkan bahwa efektivitas uji tuberkulin pada anak dapat
mencapai 90%. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, tetapi hingga saat ini
cara mantoux lebih sering dilakukan.

Dari hasil pemeriksaan laboratorium2,3

o Darah: - anemia ringan

- peningkatan laju endap darah pada 80% kasus

Lumbal pungsi
Cairan serebrospinal memberi gambaran khas berupa peningkatan kadar protein dan
penurunan kadar glukosa.3

LP SEROSA

Warna Jernih

Sel 200-500/mm3

Protein > 100 mg %

Glukosa 20-40 mg %

- Warna: jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan membentuk batang-


batang. Dapat juga berwarna xanhtochrom bila penyakitnya telah
berlangsung lama dan ada hambatan di medulla spinalis.

- Jumlah sel: 100 – 500 sel / μl. Mula-mula, sel polimorfonuklear dan limfosit
sama banyak jumlahnya, atau kadang-kadang sel polimorfonuklear lebih
banyak (pleositosis mononuklear). Kadang-kadang, jumlah sel pada fase
akut dapat mencapai 1000 / mm3.

- Kadar protein: meningkat (dapat lebih dari 200 mg / mm3). Hal ini
menyebabkan liquor cerebrospinalis dapat berwarna xanthochrom dan
pada permukaan dapat tampak sarang laba-laba ataupun bekuan yang
menunjukkan tingginya kadar fibrinogen

- Kadar glukosa: biasanya menurun (<>liquor cerebrospinalis dikenal sebagai


hipoglikorazia. Adapun kadar glukosa normal pada liquor
cerebrospinalis adalah ±60% dari kadar glukosa darah.

- Kadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun

- Pada pewarnaan Gram dan kultur liquor cerebrospinalis dapat ditemukan


kuman
Untuk mendapatkan hasil positif, dianjurkan untuk melakukan pungsi lumbal selama
3 hari berturut-turut. Terapi dapat langsung diberikan tanpa menunggu hasil
pemeriksaan pungsi lumbal kedua dan ketiga.2

Dari pemeriksaan radiologi:

- Foto toraks : dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis. rontgen


toraks pada meningitis serosa normal pada 43% pasien, penyebaran milier
pada 23% pasien dan kalsifikasi pada 10% kasus.2

- Pemeriksaan EEG (electroencephalography) menunjukkan kelainan kira-kira


pada 80% kasus berupa kelainan difus atau fokal

- CT-scan kepala : dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah


basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus.

Gambaran dari pemeriksaan CT-scan dan MRI (Magnetic Resonance


Imaging) kepala pada pasien meningitis tuberkulosis adalah normal pada
awal penyakit. Seiring berkembangnya penyakit, gambaran yang sering
ditemukan adalah enhancement di daerah basal, tampak hidrosefalus
komunikans yang disertai dengan tanda-tanda edema otak atau iskemia
fokal yang masih dini. Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma
yang silent, biasanya di daerah korteks serebri2,3

2.8 Pengobatan

Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yakni:

- Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yakni
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.
- Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan rifampisin
hingga 12 bulan.2

Berikut ini adalah keterangan mengenai obat-obat anti tuberkulosis yang digunakan pada
terapi meningitis tuberkulosis:6

- Isoniazid
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman intrasel dan
ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor
cerebrospinalis, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki adverse
reaction yang rendah. Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan
adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari dan diberikan dalam satu kali
pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg,
dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml. Konsentrasi puncak di darah, sputum, dan liquor
cerebrospinalis dapat dicapai dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling sedikit selama 6-8
jam. Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid dan dapat menembus
sawar darah plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik
dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih banyak terjadi
pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Untuk
mencegah timbulnya neuritis perifer, dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg
satu kali sehari, atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg.

- Rifampisin

Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua
jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh
isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat
perut kosong (1 jam sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam.
Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB / hari, dosis
maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika diberikan
bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari
dan dosis isoniazid 10 mg/ kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan
dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Distribusi rifampisin ke dalam liquor
cerebrospinalis lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang mengalami peradangan
daripada keadaan normal. Efek samping rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah,
keringat, sputum, dan air mata menjadi warma oranye kemerahan. Efek samping lainnya
adalah mual dan muntah, hepatotoksik, dan trombositopenia. Rifampisin umumya
tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg.

- Pirazinamid

Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan


dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Obat ini bersifat bakterisid hanya pada
intrasel dan suasana asam dan diresorbsi baik pada saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-
30 mg / kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar serum puncak 45 μg / ml
tercapai dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid
sangat baik diberikan pada saat suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang
masih sangat banyak. Efek samping pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi
saluran cerna, dan hiperurisemia (jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam
bentuk tablet 500 mg.

- Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraselular
pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman
intraselular. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi
penggunaannya penting pada pengobatan fase intensif meningitis tuberkulosis dan MDR-
TB (multi drug resistent-tuberculosis). Streptomisin diberikan secara intramuskular
dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari, dan kadar puncak 45-50 μg
/ ml dalam waktu 1-2 jam. Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang
meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin
berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura dan diekskresi melalui ginjal.
Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap
isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis berat. Toksisitas utama streptomisin
terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran,
dengan gejala berupa telinga berdengung (tinismus) dan pusing. Streptomisin dapat
menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita
hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli
berat.

- Etambutol

Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat baktersid jika


diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan
pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis
etambutol adalah 15-20 mg / kgBB / hari, maksimal 1,25 gram / hari dengan dosis
tunggal. Kadar serum puncak 5 μg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk
tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak
pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik
pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis. Kemungkinan toksisitas utama
etambutol adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau, sehingga seringkali
penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya.
Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa pemberian etambutol dengan dosis 15-25 mg /
kgBB / hari tidak menimbulkan kejadian neuritis optika pada pasien yang dipantau hingga
10 tahun pasca pengobatan. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai pelaksanaan
tuberkulosis pada anak, etambutol dianjurkan penggunaannya pada anak dengan dosis 15-
25 mg / kgBB / hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan
kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat
digunakan.6

Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis tuberkulosis sebagai


terapi ajuvan. Penggunaan steroid selain sebagai anti inflamasi, juga dapat menurunkan
tekanan intrakranial dan mengobati edema otak. Steroid yang dipakai adalah prednison
dengan dosis 1-2 mg / kgBB / hari selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan penurunan dosis
secara bertahap (tappering off) selama 4-6 minggu sesuai dengan lamanya pemberian
regimen.2

2.9 Komplikasi

Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala sisa
neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia, dan
gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak, nistagmus,
ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas. Komplikasi pada mata dapat
berupa atrofi optik dan kebutaan. Gangguan pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh
obat streptomisin atau oleh penyakitnya sendiri. Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira
2/3 pasien yang hidup. Pada pasien ini biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan
dengan kelainan neurologis menetap seperti kejang dan mental subnormal. Kalsifikasi
intrakranial terjadi pada kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang sembuh
mempunyai kelainan kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi prekoks seksual,
hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon pertumbuhan, kortikotropin dan
gonadotropin.3
2.10 Prognosis

Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien didiagnosis dan
diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya.2 Apabila tidak
diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis dapat meninggal dunia. Prognosis juga
tergantung pada umur pasien. Pasien yang berumur kurang dari 3 tahun mempunyai
prognosis yang lebih buruk daripada pasien yang lebih tua usianya.3
BAB III

LAPORAN KASUS

Identitas pasien:

Nama : NH

Umur : 3 tahun 2 bulan

Jenis Kelamin : Perempuan

MR : 411311

Tanggal masuk: 25 Mei 2015

Alamat : Jorong Kampung IV Nagari Koto Baru Kec. Baso Agam

Alloanamnesis

Diberikan oleh ibu kandung dan ayah kandung

Seorang pasien perempuan usia 3 tahun 2 bulan dirawat di bangsal anak RSUD
Achmad Mochtar Bukittinggi sejak tanggal 25 Mei 2015 dengan

Keluhan utama:

Kejang 4 jam sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang:

- Demam sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, demam tinggi, terus menerus, tidak
berkeringat, dan tidak menggigil. Pasien dibawa ke puskesmas dan terukur suhu nya
39,2ºC dan diberi paracetamol.
- Batuk pilek sejak 1 hari sebelum masuk RS, batuk berdahak, batuk tidak berdarah
- Kejang 4 jam sebelum masuk RS, frekuensi 1x, lama kejang ± 10 menit, kejang
kelonjotan pada seluruh tubuh, kaki dan tangan, mata melirik ke atas. Setelah kejang
pasien sadar. Ini merupakan kejang episode ketiga, pasien pernah kejang saat berusia
10 bulan dan 2 tahun.
-
- Muntah sebanyak 1 kali 2 jam sebelum masuk RS, berisi cairan, jumlah seperempat
gelas, tidak menyemprot
- BAB konsistensi dan jumlah normal
- BAK jumlah dan warna normal
- Nyeri dan keluar cairan dari telinga tidak ada
- Bintik bintik merah pada kulit tidak ada
- Sesak nafas tidak ada
- Saat demam, pasien sempat dibawa ke puskesmas dan diukur suhu tubuh didapatkan
39,2ºC dan diberi obat paracetamol.
- Saat kejang pasien dibawa ke puskesmas kemudian dirujuk ke RSUD Baso dan
didapatkan suhu 38,5ºC dan diberi pengobatan IVFD RL 15 tpm (mikro), luminal tab
40 mg, Dumin supp dan kemudian dirujuk ke RSAM Bukittinggi.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat kejang episode pertama saat berusia 10 bulan, kejang 1 kali, lama kejang ± 2 menit,
kejang kelonjotan pada seluruh tubuh, sesudah kejang pasien sadar. Saat itu demam ada dan
diukur suhu 41,5ºC. Dibawa ke puskesmas dan diberikan obat melalui anus.

Riwayat kejang episode kedua saat berusia 2 tahun, kejang 1 kali, lama kejang ± 5 menit,
kejang kelonjotan pada seluruh tubuh, sesudah kejang pasien sadar. Saat itu demam ada dan
diukur suhu 39,5ºC. kemudian dibawa ke puskesmas dan diberikan obat melalui anus.

Riwayat Penyakit Keluarga:

Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan yang sama dengan pasien

Riwayat kelahiran, imunisasi, perumahan dan lingkungan:

- Pasien merupakan anak ke 2 dari 2 bersaudara,lahir SC ai CPD (panggul sempit),


ditolong Sp OG, cukup bulan, berat badan lahir= 2600 gr, panjang badan 48 cm,
langsung menangis.
- Riwayat imunisasi dasar lengkap, scar (+)
- Riwayat perkembangan dalam batas normal
- Riwayat higiene dan sanitasi lingkungan baik (rumah permanen,kamar mandi di
dalam rumah, sumber air PDAM, sampah dibuang di TPS, ventilasi dan pencahayaan
baik, pekarangan cukup luas)
Pemeriksaan Umum

Kesadaran : Compos mentis

Nadi : 132 kali/menit

Suhu : 37,50C

Pernapasan : 30 kali/menit

Sianosis : tidak ada

Keadaan umum : sedang

Keadaan gizi : kurang

Panjang badan : 84 cm

Berat badan : 9 kg

Edema : tidak ada

Anemia : tidak ada

Ikterus : tidak ada

Status gizi : BB/U = 15/41x 100% = 36,6%

TB/U = 123 /152 x 100% = 82 %

BB/TB = 15/23 x 100%= 65,2%

Kesan : gizi kurang

Kulit : teraba hangat, turgor baik.

Kelenjar getah bening : tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening

Kepala : bulat, bentuk simetris

Rambut : hitam,tidak mudah rontok

Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor 3 mm/
3 mm, reflek cahaya +/+, mata tidak cekung, air mata ada
Telinga : tidak ditemukan kelainan

Hidung : nafas cuping hidung tidak ada, sekret +/+

Tenggorokan : tonsil T1-T1, tidak hiperemis

Gigi dan mulut : mukosa mulut dan bibir basah

Leher : tidak ditemukan kelainan, kaku kuduk tidak ada

Dada Paru : Inspeksi : normochest, simetris kiri dan kanan, retraksi tidak ada

Palpasi : fremitus kiri=kanan

Perkusi : sonor

Auskultasi : vesikuler, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada

Jantung: inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis teraba di 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : batas jantung kanan linea sternalis dekstra, atas RIC II,
dan kiri 1 jari medial LMCS RIC V

Auskultasi : irama teratur, bising tidak ada

Abdomen inspeksi : distensi tidak ada

Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, turgor kembali cepat

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal

Punggung : tidak ditemukan kelainan

Alat kelamin : tidak ditemukan kelainan, status pubertas A1M1P1

Anus : colok dubur tidak dilakukan

Anggota gerak : akral hangat, CRT < 2 detik,


Refleks fisiologis +/+, refleks patologis -/-, tanda rangsang meningeal
tidak ada

Laboratorium

Darah

Hb : 12,6 gr/dl

Leukosit : 19270/mm3

Trombosit : 281000/mm3

Diagnosis kerja :

 Kejang demam simpleks


Diagnosis banding :
 Epilepsi
 Kejang demam kompleks
Terapi:

 IVFD RL 10 tetes/ menit



 Paracetamol 150 mg (bila suhu ≥ 38,5℃)
Rencana

Follow up (26/5/2015)
S/

Demam (+) tinggi

Muntah (-)

Kejang (-)

Sesak napas(-)

BAK jumlah dan warna biasa


PF/
KU : sedang

Kes : composmentis

nadi :130 x/mnt

RR :38 x/mnt

TD : 100/70 mmHg

T : 37,90C

Mata: konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+

Leher : kaku kuduk

Torak : retraksi tidak ada

-cor : irama teratur, bising tidak ada

-pulmo : bronkovesikuler, ronki -/-, wheezing -/-

Abdomen : distensi tidak ada, BU (+) normal

Ektremitas : akral hangat, CRT < 2 detik

P/

Urinalisis

Feses rutin

Follow up (20/5/2015)
S/

Penurunan kesadaran (+)

Demam (+)

Muntah (-)

Kejang (-)

Sesak napas(-)
BAK jumlah dan warna biasa

BAB ada
PF/
KU : berat

Kes : GCS 5 (E1M3V1)

nadi :124 x/mnt

RR :36 x/mnt

TD : 105/70 mmHg

T : 38,80C

Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, pupil isokor 3mm/3mm, refleks
cahaya +/+

Leher : kaku kuduk

Torak : retraksi tidak ada

-cor : irama teratur, bising tidak ada

-pulmo : bronkovesikuler, ronki -/-, wheezing -/-

Abdomen : distensi tidak ada, BU (+) normal

Ektremitas : akral hangat, CRT < 2 detik

Hasil lab:

Hasil AGD post koreksi :

PH= 7,47

PCO2=27

PO2 = 171

HCO3 =22,8

BE = 0,6
Sat O2 = 100%

Kesan: alkalosis respiratorik

A/ Susp meningitis TB
P/

- O2 2 liter/menit nasal
- IVFD D1 2,5% 10 tpm (makro)
- Aminofusin poed 300 cc/hr
- Sementara puasa
- Ceftriakson 2x725mg IV
- Dexametason 7,5 mg dilanjutkan 3x2,5 mg IV
- Fenobarbital 2x 35 mg IV
- Ranitidine 2x150 mg IV
- Omeprazole 1x 8 mg IV
- Paracetamol 150 mg (bila suhu ≥ 38,5℃)
- INH 1x150 mg po
- Rifampisin 1x 225 mg po
- Pirazinamid 1x 375 mg po
- Etambutol 1x300 mg po
- Vit B 1x 20 mg po
- KCl 3x375 mg po
- Lanjut Rebreathing, cek AGD post koreksi

LP belum bisa dilakukan karena KU pasien buruk

Follow up (21/5/2015)
S/

Nafas spontan ada, tidak adekuat

Penurunan kesadaran (+)

Demam (+)

Muntah (-)

Kejang (-)
Sesak napas(-)

BAK jumlah dan warna biasa

Pasien terpasang drip dopamin dosis 10µg/kg/menit


PF/
KU : berat

Kes : GCS 4 (E1M2V1)

Nadi :154 x/mnt, cepat dan halus

RR : 6 x/mnt (VTP 20-30x)

TD : 70/50 mmHg

T : 38,80C

Sat : 93-98%

Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, pupil isokor 4mm/4mm, refleks
cahaya -/-, refleks kornea +/+

Leher : kaku kuduk +

Torak : retraksi tidak ada

-cor : irama teratur, bising tidak ada

-pulmo : bronkovesikuler, ronki -/-, wheezing -/- Refleks carina +/+

Abdomen : distensi tidak ada, BU (+) normal

Ektremitas : akral dingin, CRT > 3 detik

A/ Susp meningitis TB

Syok sepsis

P/ O2 2 liter/menit nasal

- IVFD D1 2,5% 10 tpm (makro)


- Sementara puasa
- Ceftriakson 2x725mg IV
- Dexametason 7,5 mg dilanjutkan 3x2,5 mg IV
- Fenobarbital 2x 35 mg IV
- Ranitidine 2x150 mg IV
- Paracetamol 150 mg (bila suhu ≥ 38,5℃)
- INH 1x150 mg po
- Rifampisin 1x 225 mg po
- Pirazinamid 1x 375 mg po
- Etambutol 1x300 mg po
- Vit B 1x 20 mg po

BAB IV

DISKUSI

Telah dilaporkan suatu kasus seorang pasien perempuan berumur 12 tahun dengan
diagnosis kerja suspect meningitis TB, failure to thrive, dengan diagnosa bandingnya
meningitis purulenta dan gangguan elektrolit. Pasien dirawat ruangan Semi Intensif Bagian
Anak setelah sebelumnya merupakan rujukan dari RSUD Painan. Anak telah dirawat di
RSUD Painan selama 5 hari.

Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


laboratorium. Pada anamnesis didapatkan demam 15 hari sebelum masuk rumah sakit,
demam tinggi, terus menerus. Demam tidak tinggi sudah ada sejak 3 bulan yang lalu tanpa
sebab yang jelas. Muntah dan sakit kepala sejak 15 hari sebelum masuk rumah sakit. Kejang
sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit Dr M djamil, kejang seluruh tubuh, mata melihat ke
atas,anak tidak sadar setelah kejang, ini adalah kejang yang kedua. Pada anak usia < 6 bulan
atau > 5 tahun jika terjadi kejang maka harus dipikirkan adanya infeksi SSP, dalam hal ini
berdasarkan data epidemiologi terbanyak adalah meningitis. Inflamasi dari meningen dapat
disebabkan oleh infeksi virus, bakteri atau mikroorganisme lain dan penyebab paling jarang
adalah karena obat-obatan.7 Terdapat riwayat kontak TB yaitu dengan ibu pasien. Sehingga
dari anamnesis pasien diduga menderita meningitis TB.

Demam hilang timbul tanpa sebab yang jelas sejak 3 bulan yang merupakan gejala
awal pada stadium I prodromal. Sejak 15 hari yang lalu sudah ada gejala dari stadium II/
stadium meningitis. Pada fase stadium II ini terjadi rangsangan pada selaput otak, sehingga
sakit kepala dan muntah menjadi keluhan utamanya. Pada pasien ini didapatkan terjadinya
penurunan kesadaran berarti telah terjadi adanya gangguan di pusat kesadaran.

Dari pemeriksaan fisik kesadaran GCS 8 E2M4V2, nadi 110 kali/menit, suhu 37,80C,
pernapasan 28 kali/ menit. Pada pemeriksaan terdapat tanda rangsang meningeal berupa kaku
kuduk, bruzinsky 1, kernig dan bruzinsky 2. Hal ini menunjukkan telah terjadi inflamasi pada
selaput/ meningen. Selain itu terdapat berat badan yang tidak naik dalam 1 bulan meskipun
sudah dengan penanganan gizi (failure to thrive) yaitu BB/U = 36,6% , BB/TB= 65,7%.
Teraba pembesaran kelenjar getah bening regio colli sinistra dan dekstra ukuran 1,5x1x1 cm,
kenyal, mobile, tidak nyeri tekan.

Untuk menegakkan diagnosis pasti dari meningitis TB ini kita harus melakukan
lumbal punksi dimana nantinya akan di dapatkan warnanya jernih, jernih (khas), dapat juga
berwarna xanhtochrom bila penyakitnya telah berlangsung lama dan ada hambatan di
medulla spinalis, Jumlah sel: 100 – 500 sel / μl, Kadar protein meningkat (dapat lebih dari
200 mg/ mm3), kadar glukosa biasanya menurun. Pada pasien ini belum dilakukan lumbal
pungsi karena kondisi pasien yang buruk. Pasien ini diterapi dengan pemberian OAT untuk
TB ekstra paru berupa fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis,
yakni isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.Terapi dilanjutkan
dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan rifampisin hingga 12 bulan. Saat ini
pasien mendapat terapi OAT berupa INH 1x150 mg po, Rifampisin 1x 225 mg po,
Pirazinamid 1x 250 mg po, dan Etambutol 1x300 mg po. Pada pasien ini di berikan terapi O2
2 liter/menit. Fenobarbital 2x 35 mg IV, Paracetamol 150 mg (bila suhu ≥ 38,5), Prednison
3x20 mg po, vitamin B6 1x20 mg po. Pemberian kortikosteroid sebagai antiinflamasi,
mjenurunkan tekanan intrakranial, dan mengobati edema otak.3

Rencana pada pasien ini adalah Mantoex Test, pemeriksaan Brain CT Scan dapat
menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah basal, serta adanya dan luasnya
hidrosefalus.8 Komplikasi neurologik meningitis TB dapat meningkatkan mortalitas dan
morbiditas mortalitas dan sekuele yang serius terjadi pada 50 % pasien meningitis TB atau
akibat pengobatan AOT.9 Pada pasien ini kemungkinan terjadinya gejala sisa neurologi
sangat besar.

Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad malam karena stadium penyakit saat
pengobatan dimulai adalah stadium II –III, dari hasil follow up selama 3 hari didapatkan
kondisi kesadaran pasien yang semakin menurun , pupil melebar dan tidak bereaksi terhadap
rangsangan cahaya dan sudah jatuh ke stadium III.

BAB V

PENUTUP

- Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang


disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini merupakan salah
satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru
- Gejala dan tanda meningitis TB dapat dibagi menjadi 3 stadium:
1. Stadium I (stadium prodormal
2. Stadium II (stadium meningitis)
3. Stadium III
- Diagnosis didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis: adanya riwayat kejang atau penurunan kesadaran (tergantung
stadium penyakit), adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis (baik yang
menunjukkan gejala, maupun yang asimptomatik), adanya gambaran klinis yang
ditemukan pada penderita (sesuai dengan stadium meningitis tuberkulosis).
- Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda rangsang meningeal berupa kaku kuduk,
bruzinsky I dan II, dan kernig sign
- Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah LP, Brain CT Scan, Ro thorax
serta mantoex test
- Terapi pada meningitis TB sesuai dengan pedoman terapi pada TB ekstra paru yaitu
Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yakni
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol. Terapi dilanjutkan
dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan rifampisin hingga 12 bulan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Starke, Jeffrey R., Munoz, Flor M., Tuberculosis (Mycobacterium Tuberculosis). Dalam
: Kliegman, Behrman, Jenson, dkk. Nelson Textbook of Pediatrics 18 th edition.
Philadelphia. 2007 ; 212: 1240-1254
2. Darfioes Basir, Finny Fitry Yani . Tuberkulosis dengan Keadaan khusus. Dalam : Buku
Ajar Respirologi Anak. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012; 233-234.
3. Saharso D, Hidayati SN. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam: Buku Ajar Neurologi
Anak. Cetakan ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. 1999; 363-371
4. World Health Organization (WHO). Guidance for national tuberculosis programme on
the management of tuberculosis in children. WHO/HTM/2006.371
5. Goe F Brooks dkk, Mikrobiologi Kedokteran ;Jawetz, Melnick & Adleberg’s Medical
Microbiology, Edisi 23, 2004
6. Nastiti N Rahardjoe dan Landia Setiawati. Tatalaksana TB. Dalam: Buku Ajar
Respirologi Anak. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012; 214-217.

7. Susana Cha´vez-Bueno, MD, George H. McCracken, Jr, MD. Bacterial Meningitis in


Children. Department of Pediatrics, Division of Pediatric Infectious Diseases, University
of Texas Southwestern Medical Center of Dallas. Pediatr Clin N Am 2005; 52: 795–810.
8. Przbojewsky S, Andronikou S. Objective CT criteria to determine the prescence of
abnormal basal enhancement in children with suspected tuberculosus meningitis. Pediatr
Radiol. 2006: 36:687-99.
9. Anderson NE, Somaratne, Mason, Holland. Neurological and Systemic complications
of tuberculosis meningitis and its treatment at Auckland City Hospital, New Zealand.
Journal of Clinical Neuroscience. 2010; 1114-1118.

Вам также может понравиться