Вы находитесь на странице: 1из 44

JOURNAL READING

FORENSIC TOXICOLOGY ANALYSIS OF SELFPOISONING


SUICIDAL DEATHS IN TEHRAN, IRAN;TRENDS BETWEEN
2011-2015

Dosen Penguji:
Saebani, S.KM., M.KES

Dosen Pembimbing:
dr. Stephanie Renni Anindita

Disusun Oleh:

Fiqih Anansyah FK UNIB


Novtiara Dwita Putri FK UNIB
Thomas Erickson FK UNIB
Tari Nasawida FK UNIB
Ika Nofaza Sartika FK UNIB
Novita Amelia FK ABDURRAB
Alfa Rezi Ramadhan FK TRISAKTI

KEPANITRAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. KARIADI SEMARANG
PERIODE 11 DESEMBER 2017 – 6 JANUARI 2018
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui oleh Dosen Pembimbing, journal reading dari:


Nama :
Fiqih Anansyah FK UNIB
Novtiara Dwita Putri FK UNIB
Thomas Erickson FK UNIB
Tari Nasawida FK UNIB
Ika Nofaza Sartika FK UNIB
Novita Amelia FK ABDURRAB
Alfa Rezi Ramadhan FK TRISAKTI

Fakultas : Kedokteran Umum


Universitas : Universitas Bengkulu, Universitas Abdurrab dan Universitas
Trisakti
Bagian : Ilmu Kedokteran Forensik RSUP Kariadi
Judul : “Forensic Toxicology Analysis Of Selfpoisoning Suicidal Deaths
In Tehran, Iran;Trends Between 2011-2015”
Ditujukan untuk memenuhi syarat menempuh ujian kepanitraan Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Bengkulu, Universitas Abdurrab dan Universitas Trisakti.

Semarang, Desember 2017


Mengetahui,

Dosen Penguji Residen Pembimbing

Saebani, S.KM., M.KES dr. Stephanie Renni Anindita

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Allah SWT, karena atas berkah dan
rahmatnya kami dapat menyelesaikan journal reading berjudul “Forensic
Toxicology Analysis Of Selfpoisoning Suicidal Deaths In Tehran, Iran;Trends
Between 2011-2015”. Journal reading ini dibuat untuk memenuhi persyaratan
ujian kepanitraan klinik Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas
Kedokteran Universitas Bengkulu, Universitas Abdurrab dan Universitas Trisakti.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan journal reading ini tidak akan
tercapai tanpa bantuan pihak-pihak yang telah membantu kelancaran dalam
penyusunan journal reading ini.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih dan penghargaan
kepada:
1. Bapak Saebani, S.Km, selaku dosen penguji yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk belajar, meningkatkan ilmu dan
pengetahuan.
2. dr. Stephanie Renni Anindita, selaku residen pembimbing journal reading
yang berkontribusi besar dalam memberikan bimbingan dan arahan dalam
pembuatan journal reading ini.
3. Teman-teman dokter muda di Kepanitraan Klinik Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu,
Universitas Abdurrab dan Universitas Trisakti.

Penulis sangat menyadari bahwa penyusunan journal reading ini masih


jauh dari kata sempurna, untuk itu segala kritik dan saran sangat kami harapkan
demi perbaikan kedepannya. Semoga journal reading ini dapat memberikan
manfaat kepada masyarakat serta menjadi sumber motivasi dan inspirasi untuk
pembuatan referat selanjutnya.

Semarang, Desember 2017

Tim Penyusun

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPANi
HALAMAN PENGESAHANii
KATA PENGANTARiii
DAFTAR ISIiv
BAB I JURNAL1
1.1 Abstrak1
1.2 Latar Belakang 2
1.3 Metode3
1.4 Hasil6
1.5 Pembahasan9
1.5 Kesimpulan17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA19
2.1 Toksikologi Forensik19
2.1.1 Definisi Toksikologi19
2.1.2 Macam-MacamToksikologi19
2.1.3 Macam-Macam Dosis20
2.1.4 Cara Masuk Racun ke Dalam Tubuh21
2.1.5 Cara Kerja Racun di Dalam Tubuh21
2.1.6 Faktor Yang Mempengaruhi Kerja Racun24
2.1.7 Motif Keracunan28
2.1.8 Cara Diagnosa Keracunan29
2.1.9 PemeriksaanToksikologi30
BAB III KESIMPULAN38
DAFTAR PUSTAKA40

iv
BAB I
JURNAL

1.1 Abstrak
Latar belakang: Bunuh diri termasuk dalam peringkat sepuluh tertinggi
penyebab kematian dalam semua kelompok usia di seluruh dunia. Ada banyak
metode untuk bunuh diri termasuk meracuni diri sendiri, dengan senjata api
dan gantung. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk membuktikan ikhtisar
kematian meracuni diri sendiri dengan fokus kepada analisis toksikologi
forensik di Tehran, Iran antara tahun 2011-2015.
Metode: Semua kasus mencurigakan dengan riwayat keracunan diri diselidiki
untuk menentukan penyebab dan cara kematian di bawah pengawasan praktisi
pengobatan forensik. Sampel postmortem dianalisis di laboratorium
toksikologi forensik untuk mengkonfirmasi adanya obat dalam kadaver kasus
bunuh diri. Obat dan racun dianalisis dengan menggunakan kromatografi lapis
tipis, kromatografi cair kinerja tinggi, kromatografi gas / spektrometri massa,
kromatografi gas headspace dan kromatografi gas yang dilengkapi detektor
fosfor nitrogen. Data demografis dikumpulkan dari laporan otopsi dari semua
kasus dengan dugaan bunuh diri akibat bunuh diri akibat kematian.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa 674 kasus kematian akibat
keracunan hati diselidiki selama masa studi lima tahun, dimana 68,55% adalah
laki-laki. Metode bunuh diri yang paling sering digunakan adalah keracunan
diri pada populasi muda. Fosfon gas yang dibebaskan dari tablet aluminium
fosfida adalah zat paling toksik yang terdeteksi pada sampel postmortem (619
kasus) diikuti oleh opioid, metamfetamina, organofosfat, sianida dan
strychnine
Kesimpulan: Kematian bunuh diri meracuni sendiri sangat dominan pada
populasi pria muda di Teheran, Iran. Tampaknya akses yang bebas ke sarana
bunuh diri seperti obat-obatan dan racun harus dibatasi oleh otoritas nasional
dan kesehatan setempat.
Kata kunci: Bunuh diri, meracuni diri, toksikologi forensik, obat obatan,
racun.

1
1.2 Latar Belakang
Bunuh diri adalah masalah kompleks dan multifaset dan dikategorikan
sebagai salah satu penyebab utama kematian tidak wajar di semua kelompok
usia di seluruh dunia. Bunuh diri adalah masalah kesehatan masyarakat yang
patut mendapat perhatian dan perhatian yang besar. Hampir 800.000 kematian
bunuh diri terjadi setiap tahun di seluruh dunia. Ini setara dengan 16 per
100.000 orang. Negara-negara Asia menyumbang sekitar 60% kasus bunuh
diri global. Terjadi peningkatan 60% dalam tingkat bunuh diri secara global
selama 40 tahun terakhir. Namun usaha bunuh diri terjadi hingga 20 kali lebih
sering daripada bunuh diri fatal dan komplit.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa jumlah
kematian akibat bunuh diri akan mencapai 1,5 juta orang pada 2020. Tingkat
bunuh diri berkembang di Iran. Iran menduduki peringkat 91 dalam bunuh diri
di seluruh dunia pada tahun 1991, tingkat ini mencapai angka 58 pada tahun
2003. Hassanian-Moghaddam et al melaporkan bahwa Iran telah menunjukkan
tingkat kematian bunuh diri tertinggi di antara Wilayah Mediterania Timur
dan negara-negara Islam. Keracunan yang disengaja adalah metode ketiga
untuk bunuh diri menyusul gantung dan pembakaran sendiri di Iran. Meskipun
penggunaan obat-obatan legal dan obat-obatan terlarang secara non-medis
telah meningkat secara substansial dalam beberapa tahun terakhir di Iran, studi
yang meneliti keberadaan obat-obatan dan racun dalam sampel postmortem
dari bunuh diri yang meracuni sendiri relatif langka.
Kiadaliri et al dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Iran,
menyelidiki secara keseluruhan dan pada kasus kesenjangan sosial terhadap
kasus bunuh diri di seluruh provinsi dari tahun 2006 sampai 2010.
Saberizafaghandi et al telah menunjukkan bahwa overdosis narkoba dan juga
keracunan adalah usaha bunuh diri yang paling biasa dilakukan di Iran . Peran
obat-obatan dan zat terlarang dalam bunuh diri didiskusikan oleh Sheehan et
al. Studi sebelumnya menyelidiki temuan toksikologi dalam kasus bunuh diri
dan hubungan etanol dan obat lain untuk peracunan dan gantung. Dalam 2
tahun studi kohort tentang bunuh diri, Galway et al. menunjukkan bahwa

2
penggunaan obat-obatan yang terlarang maupun tidak dan alkohol memainkan
peran penting dalam kasus bunuh diri di Irlandia Utara.
Prevalensi penggunaan obat-obatan psikoaktif non-medis di kalangan
remaja diselidiki untuk mengeksplorasi peran obat-obatan ini dalam usaha
bunuh diri oleh Juan et al. Keracunan kimia didefinisikan sebagai metode
bunuh diri keempat yang paling umum pada populasi geriatri di Turki sampai
2009-2013. Usaha bunuh diri dan bunuh diri komplit di Iran dari tahun 1981
sampai 2007 telah dianalisis oleh Shirazi et al. Mereka menganalisis 54 studi
yang dipublikasikan mengenai bunuh diri dan menyimpulkan bahwa
keracunan obat adalah metode yang paling umum untuk mencoba bunuh diri
di masa studi mereka. Tingkat percobaan bunuh diri dan bunuh diri komplit di
setiap komunitas dapat memberikan wawasan tentang pengaruh faktor risiko
yang unik seperti akses terhadap obat-obatan dan racun.
Selalu ada pertanyaan yang sering diajukan dari otoritas yurisdiksi,
apakah keracunan obat tersebut penyebab kematian atau orang tersebut berada
di bawah pengaruh obat-obatan atau zat pada saat bunuh diri atau tindak
pidana lainnya. Meskipun sekarang secara luas diterima bahwa obat-obatan
dan racun memiliki peran penting dalam tindakan bunuh diri, namun hasil
toksikologi analitik sampel postmortem yang diperoleh dari percobaan bunuh
diri dan bunuh diri komplit hanya sedikit diketahui dan hanya ada sedikit
penelitian yang dipublikasikan di wilayah ini di Iran. Oleh karena itu, kami
melakukan studi analitik retrospektif untuk menyelidiki temuan toksikologi
dalam kasus bunuh diri lengkap yang diajukan ke Organisasi Pengobatan
Hukum, Teheran, Iran untuk menentukan obat-obatan dan racun yang paling
umum dalam sampel kasus keracunan diri pasca-kelahiran dalam periode studi
lima tahun (2011- 2015).

1.3 Metode
Pemilihan Kasus
Penelitian retrospektif analitik cross-sectional ini mempelajari semua
kasus kematian bunuh diri dengan racun berdasarkan data Legal Medicine
Organization, Tehran, Iran yang telah diinvestigasi dari sudut pandang

3
toksikologi dan kedokteran forensik dengan memperhatikan data demografis,
hasil analisis toksikologi forensik, serta penyebab dan cara kematian. Legal
medicine organization berafiliasi dengan otoritas yurisdiksi di Iran. Semua
kematian yang mencurigakan dan tidak wajar termasuk pembunuhan, bunuh
diri, kematian terkait keracunan obat dan kematian terkait api harus dilaporkan
kepada Legal Medicine Organization untuk pemeriksaan dan menerbitkan
sertifikat kematian. Legal Medicine Organization, Tehran, Iran, melaporkan
sekitar 10.000-11.000 setiap tahun untuk memperjelas penyebab dan cara
kematian. Sekitar 35% dari kasus-kasus ini dilaporkan departemen toksikologi
forensik. Semua kasus bunuh diri dengan racun selama 2011-2015
dimasukkan dalam penelitian ini. Cara lain bunuh diri seperti gantung,
membakar dan bunuh diri dengan senjata api tidak diikutkan dalam penelitian.

Pengumpulan Sampel Biologis


Darah (10-15 mL) diambil dari vena femoralis. 20 mL sampel urin
dikumpulkan dari kandung kemih. Vitreous humour dikumpulkan dengan
memasukkan jarum suntik ke dalam mata. Lobus kanan hati (250 g) dan
empedu dikumpulkan secara terpisah. Isi perut diperiksa untuk kemungkinan
adanya pil atau cairan yang tertelan sebelum kematian lalu dikeluarkan dari
perut dan akan dikumpulkan dalam wadah.

Analisis Toksikologi Forensik


 Metode Persiapan Sampel
Sampel hati, isi perut, urin, darah dan empedu mengalami proses
ekstraksi menggunakan metode Liquid Liquid Extraction (LLE). Sampel
hati dihomogenkan (Heidolph homogenizer, DIAX 900). Semua obat dan
racun tidak memiliki struktur kimia yang sama, penyesuaian pH digunakan
untuk mengekstrak obat-obat asam lemah (barbiturat, fenitoin, asam
valproat, asetamino-phen dan primidone) dan obat-obatan dengan struktur
dasar (analgesik narkotik, benzodiazepin, antidepresan, jenis amphetamine
stimulan dan fenotiazin ). Harus diperhatikan bahwa banyak obat yang
dalam toksikologi forensik memiliki struktur dasar. Penyesuaian pH yang
seksama dari medium sebanding degan titik isoelektrik dari obat-obatan

4
amfoter seperti morphin perlu diperhatikan agar penggunaan metode LLE
efisien.
PH dari sampel hati, empedu dan isi perut yang homogen
ditetapkan untuk asam (pH=2), basa (pH=12) dan netral (pH=7-9).
Hidrolisis asam diperlukan untuk obat conjugat metabolik dalam sampel
urin. Untuk melakukan hidrolisis asam pH sampel urin disesuaikan
menjadi 1-2 dengan asam klorida dan sampel di inkubasi dalam suhu
60 °C selama 3 jam. Untuk ekstraksi opioid dan obat-obatan basa pH
medium diatur menjadi 7-9 dan 12 masing-masing. Medium cair
diekstraksi dengan kloroform : isopropanol (8:2 v/v). Lapisan organik
yang dihasilkan dipisahkan dan diuapkan sampai kering. Produk ekstraksi
dilarutkan dengan sedikit metanol dan siap untuk dianalisa dengan Thin
Layer Chromatography (TLC). Hasil positif diperoleh dari prosedur TLC
yang dikonfirmasi dengan instrumen analitis yang lebih sensitif dan
spesifik seperti High Performance Liquid Chromatoraphy (HPLC)
(Knauer, Jerman) dilengkapi dengan Diode Array Detector (DAD)
(Knauer DAD 2700, Jerman) dan Agilent GC / MS Instrument (USA)
yang terdiri dari 7890 A GC dan detektor massa 5975 C.
Analisis kuantitatif metanol dan etanol dalam darah dan sampel
vitreous humor dilakukan menggunakan sistem kromatografi gas
headspace (Agilent 6890 N, USA) yang dilengkapi dengan detektor
ionisasi. Carboxyhemoglobine dianalisis dalam sampel darah
menggunakan spektrofotometer Cecil 9000. Sampel postmortem dari
semua kasus dilakukan pencarian apakah terdapat methamphetamine dan
amphetamine menggunakan Asam Heptafluorobutyric (HFBA) sebagai
derivatisasi reagen dan sebelumnya divalidasi metode untuk GC / MS
instrumentasi. Sianida dideteksi dalam darah, isi lambung atau sampel hati
menggunakan uji Prussian Blue (metode kolorimetri dan screening) dan
teknik polarografi/voltametri (Metrohm 797 analyzer) sebagai tes
konfirmasi.Gas fosfin (PH3), Dibebaskan dari aluminium phosphide atau
seng fosfida lalu dianalisis dengan perak nitrat (AgNO3) kertas resapan tes
disesuaikan dengan metode yang dijelaskan oleh Chugh et al. Hasil positif

5
dikonfirmasi dengan kromatografi gas headspace dengan detektor nitrogen
fosfor (HSGC / NPD).
 Pengumpulan Data Orang yang Mati
Data mengenai kematian bunuh diri dengan racun yang dilaporkan
Legal Medicine Organization, Tehran, Iran dikumpulkan dari sertifikat
kematian antara 20 Maret 2011 hingga 21 Maret 2016. Selama masa studi
5 tahun, 55.210 kematian diselidiki di Legal Medicine Organization,
Teheran, Iran, yang mana, 19.412 (35,2%) dirujuk ke departemen
toksikologi forensik. Bunuh diri dengan racun menyumbang 674 kasus
yang terdaftar dalam penelitian ini. Metode bunuh diri lain seperti gantung
diri dan senjata api dikeluarkan dari penelitian. sertifikat kematian dari
kasus juga dibahas, data seperti usia, jenis kelamin, status perkawinan,
status pekerjaan, hasil toksikologi forensik untuk obat-obatan legal dan
tidak legal, alkohol dan racun diekstrak dijadikan ke dalam kuesioner yang
dirancang oleh seorang spesialis toksikologi forensik terlatih.

Statistika
Analisis statistik dilakukan dengan software SPSS (Chicago, IL,
USA) menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov, Mann-Whitney U dan uji Chi-
square. Kategori variabel ditunjukkan dengan frekuensi dan persentase (%).
Mean ± standar deviasi (SD) digunakan untuk variabel berkelanjutan. Nilai-
nilai P <0,05 dan interval kepercayaan (CI) yang tidak termasuk rasio odds
(OR) = 1 dianggap signifikan secara statistik.

1.4 Hasil
Karakteristik demografis
Dalam lima tahun masa studi, 1667 kasus bunuh diri diselidiki di Legal
Medicine Organization, Teheran, Iran, 674 kasus (40,43%) menunjukkan hasil
positif untuk obat-obatan dan racun dalam sampel post mortem yang diperoleh
dari mayat akibat keracunan itu sendiri. Hal Ini terdiri dari 462 (68,55%) laki-
laki dan 212 (31,45%) perempuan. Dengan demikian tingkat kematian bunuh
diri laki-laki meningkat sekitar dua kali lipat dari wanita. Gambar 1
menunjukkan jumlah dan tingkat hasil toksikologi positif per 1 juta populasi

6
setiap tahun di provinsi Teheran, Iran. Pada tingkat kematian bunuh diri, total
bunuh diri ditetapkan paling rendah di tahun 2011 (3,53/1 juta populasi) dan
tertinggi pada tahun 2012 (18,30/1 juta penduduk). Usia rata-rata kasus adalah
32,61 ± 13,7 (mean ± SD).
Gambar 2 menunjukkan distribusi hasil toksikologi positif menurut
kelompok usia dan jenis kelamin yang berbeda. Ada perbedaan tingkat
kematian yang signifikan pada 6 kelompok umur (p <0,01). Dalam hal ini,
kematian akibat keracunan diri lebih sering terjadi pada populasi pria muda
(20-30 tahun). Analisis terpisah yang memeriksa peracunan diri menunjukkan
bahwa metode bunuh diri ini adalah metode bunuh diri yang paling umum
pada orang muda dibandingkan dengan populasi yang lebih tua (OR=3,615,
CI=2,21-5,02, p<0,001). Kemungkinan kematian akibat keracunan yang
disengaja secara signifikan lebih tinggi pada subjek pria dibandingkan dengan
wanita (OR=2,75, CI=2,2-3,43, p<0,001). Sebagian besar kasus keracunan
pada orang yang tidak bekerja, status pekerjaan menunjukkan bahwa 27,6%
(186 kasus) menganggur.

Gambar 1.1 Jumlah dan rasio hasil pemeriksaan toksikologi positif pada kasus
peracunan diri per 1 juta populasi, Tehran, Iran, 2011-2015

7
Gambar 1.2 Penyebaran hasil toksikologi positif berdasarkan kelompok umur
dan jenis kelamin pada peracunan diri, Tehran, Iran, 2011-2015.

Gambar 3 menunjukkan status pekerjaan dari semua kasus bunuh diri


yang meracuni diri sendiri. Semua kasus itu diracun melalui oral, inhalasi dan
jalur injeksi. Keracunan akibat bunuh diri secara signifikan lebih umum pada
subjek tunggal (360 kasus) dibandingkan dengan yang menikah (313 kasus)
dan bercerai (1 kasus) (p<0,001). Sedangkan untuk tingkat pendidikan,
tingkat bunuh diri tertinggi terjadi pada subjek dengan tingkat pencapaian
pendidikan tinggi (diploma/universitas) dibandingkan dengan tingkat
pencapaian pendidikan rendah (sekolah dasar/menengah). Tabel 1
menunjukkan tingkat pendidikan kasus dalam penelitian ini. Pencapaian
pendidikan tampaknya menjadi faktor penting dalam keracunan bunuh diri.
Kematian bunuh diri dengan meracuni diri sendiri lebih tinggi pada subjek
tingkat pendidikan tinggi (OR=3,38, CI=2,47-4,62, p<0,05). Musim dengan
jumlah keracunan bunuh diri yang signifikan adalah musim semi (n=190,
28,2%) dan musim gugur (n=168, 24,9%).

8
Gambar 1.3 Status pekerjaan pada kasus peracunan diri, Tehran, Iran, 2011-
2015.

Hasil analisis toksikologi forensik


Hasil analisis toksikologi forensik telah menunjukkan 766 hasil positif
untuk obat-obatan terlarang, alkohol dan racun. Etanol dideteksi pada
konsentrasi > 35 mg / dL dalam sampel darah dan vitreoushumor dari 10
kasus (1,48%) kematian akibat obat bius bunuh diri. Kasus yang
menunjukkan hasil etanol positif adalah semua laki-laki (100%) pada rentang
usia 21-40 tahun. Tabel 2 menunjukkan konsentrasi alkohol humor vitreous
dalam 10 kasus.
Tabel 3 menunjukkan obat-obatan dan racun yang terdeteksi pada
sampel postmortem. Seperti yang diharapkan, lebih dari satu obat digunakan
oleh subjek untuk melakukan bunuh diri. Gambar 4 menunjukkan pola
penggunaan poli obat oleh 50 subjek dalam penelitian ini. Perlu dicatat bahwa
korban bunuh diri telah menggunakan alkohol dengan alkaloid opium,
metadon, dan benzodiazepin. Zat toksik paling umum yang terdeteksi pada
sampel postmortem adalah gas fosfin (619 kasus) yang dibebaskan dari tablet
aluminium phosphide atau zinc phosphide atau bubuk. Juga organofosfat,
organoklorin, sianida dan strychnine terdeteksi pada sampel postmortem.

1.5 Pembahasan
Penelitian ini meneliti tentang peracunan diri terkait kematian bunuh
diri diTeheran, Iran dengan masa studi 5 tahun.Kunci temuan dari penelitian
ini adalah kematian diri akibat keracunan yang disengaja di Teheran, Iran ini

9
di dominasi oleh usia muda dan laki-laki. Spesialis forensik selalu meminta
analisis toksikologi selain dari temuan otopsi untuk mengetahui penyebab
pasti dari kejadian bunuh diri ini. Kehadiran obat dan racun dalam spesimen
postmortem membenarkan peracunan diri atau gangguan perilaku di bawah
pengaruh obat-obatan. Penting untuk dicatat bahwa, di Iran, otoritas hukum
menuntut otopsi kematian kekerasan/cedera yang mencurigakan atau yang
belum ditentukan (keracunan, pembunuhan, bunuh diri) untuk menentukan
penyebab dan cara kematian sebenarnya. Jumlah total kematian peracunan diri
adalah 674 dengan didominasi laki-laki. Sepanjang tahun penelitian, kami
mengamati variasi dalam tingkat bunuh diri di Teheran secara lengkap, dari
3.53/1 juta populasi penduduk Tehran di tahun 2011, dan tertinggi 18,3/1 juta
populasi penduduk Tehran tahun 2012.
Dalam penelitian lain tingkat kasus bunuh diri di Mesir diperkirakan
1,6-3,5/1 juta penduduk, 10/1 juta di Sudan dan 21/1 juta di Yordania. Perlu
diingat bahwa kami tidak bisa memutuskan tentang tingkat keracunan bunuh
diri berdasarkan hasil analisis toksikologi forensik saja. Banyak faktor yang
mempengaruhi variasi ini. Tidak semua obat dan racun memiliki struktur
kimia yang sama. Zat beracun yang mudah menguap dengan mudah menguap
dari tubuh pada suhu kamar. Selain itu program detoksifikasi membersihkan
racun keluar dari tubuh, sehingga menyebabkan didapatkan hasil negatif. Juga
beberapa kematian keracunan disengaja dapat salah didiagnosis sebagai
keracunan.
Sejalan dengan penelitian lain, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
keracunan bunuh diri lebih sering pada pria dibandingkan pada wanita di
semua kelompok umur kecuali kelompok usia 10-15 tahun. Perbandingan laki-
laki terhadap perempuan adalah 2.14, menyerupai supremasi laki-laki untuk
kematian akibat meracuni diri sendiri. Dominasi laki-laki dalam obat terkait
kematian diri akibat keracunan telah dilaporkan oleh peneliti lain. Pria sering
memilih metode bunuh diri lebih keras yang akan menjamin untuk mencapai
tujuan yang diinginkan. Namun hasilnya bertentangan dengan peneliti
sebelumnya yang mengatakanbahwa jumlah tertinggi percobaan bunuh diri
adalah pada wanita. Penjelasan singkatnya berdasarkan fakta bahwa penelitian

10
ini hanya menganalisis kematian meracuni diri sendiri sampai dengan selesai
dan tingkat usaha bunuh diri non-fatal tidak dimasukkan dalam penelitian ini.
Seperti dilaporkan dalam studi sebelumnya tingkat bunuh diri pada remaja
laki-laki (15 - 19 tahun) lebih tinggi dibandingkan dengan rekan-rekan
perempuan mereka. Remaja perempuan memilih metode yang kurang
mematikan akan tetapi tingkat usaha bunuh diri lebih tinggi pada anak
perempuan daripada anak laki-laki. Hasil kami juga menunjukkan tingkat
yang lebih tinggi dari keracunan bunuh diri pada remaja laki-laki.
Kematian akibat meracuni diri yang tertinggi terjadi pada usia 21-30
tahun berdasarkan kategori usia. Hasil ini juga telah diamati oleh Rostami et
al. di Kermanshah, Iran dan Issa et al. di Arab Saudi. Meskipun penelitian lain
menunjukkan bahwa subjek yang berusaha meracuni diri sendiri namun tidak
fatal terjadi lebih tinggi pada usia kurang dari 25 tahun, namun niat bunuh diri
itu lebih umum di kalangan orang dengan usia lebih tua. Hasil ini terlihat
dalam penelitian ini juga. Namun ada laporan yang menunjukkan tingkat
bunuh diri lebih tinggi pada populasi yang lebih tua di negara maju. Ada
banyak faktor risiko untuk ide bunuh diri pada orang dewasa yang lebih tua.
Salah satu indikator yang paling penting dari bunuh diri di kemudian hari
adalah keputusasaan. Sebagaimana dicatat oleh Stanley et al., Setiap kematian
karena bunuh diri pada populasi yang lebih tua cocok dengan empat
percobaan. Meskipun demikian tingkat ini menunjukkan satu berbanding 25
upaya dalam populasi yang lebih muda.

Tabel 1.1 Status pendidikan pada kasus peracunan diri, Tehran, Iran, 2011-2015
Tingkat Pendidikan Jumlah
Buta huruf 19
Sekolah dasar/ menengah 132
Diploma 357
Mahasiswa 136
Sarjana 30

11
Tabel 1.2 Kadar alkohol dalam vitreous humor (mg/dL) pada 10 kasus peracunan
diri, Tehran, Iran, 2011-2015
Kadar ethanol dalam vitreous humor (mg/dL) Jumlah
< 50 2
50-80 1
81-150 3
151-300 2
301-450 2

Adapun penduduk dengan persentase tertinggi untuk bunuh diri


terdapat pada subyek menganggur. Penelitian ini menemukan bukti bahwa
terdapat hubungan antara status pekerjaan dan kematian akibat meracuni diri
sendiri. Studi yang ada menunjukkan korelasi yang kuat antara tingkat
pengangguran dan ide bunuh diri. Berbeda dengan hasil penelitian ini,
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa pekerjaan itu tidak
berhubungan dengan perilaku bunuh diri di 17 negara. Untuk menambah
pengetahuan kita mengenai krisis ekonomi dan stres sosial dikaitkan
kontribusinya sebagai faktor untuk pemikiran bunuh diri.
Sebuah frekuensi yang lebih tinggi dari keracunan terlihat dalam
kasus-kasus tunggal yang sesuai dengan hasil investigasi lainnya. Data yang
kontroversial mengenai status perkawinan terhadap kematian bunuh diri
dilaporkan dalam studi sebelumnya. Sebuah penjelasan yang
memungkinkandalam hasil penelitian kami, berkaitan dengan rasa perasaan
tanggung jawab keluarga setelah menikah. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa tingkat kematian meracuni diri sendiri lebih tinggi di antara orang-
orang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Namun Shojaei et al.
menunjukkan bahwa gantung adalah metode bunuh diri yang paling sering
pada subyek dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah.
Musim semi dan musim gugur adalah musim yang paling bermasalah
mengenai kematian akibat meracuni diri sendiri. Meskipun musim lainnya
pernah dilaporkan sebagai musim yang paling bermasalah pada penelitian
sebelumnya. Sangat mungkin untuk dihubungkanantara tingginya tingkat

12
keracunan bunuh diri di musim semi dengan awal libur tahun baru Persia,
masalah ekonomi dan stres untuk upacara tahun baru. Juga kondisi cuaca
berubah dengan meningkatnya waktu kegelapan di musim gugur yang
mungkin memicu depresi dan merasa kewalahan dengan kesedihan. Obat-
obatan terlarang ditentukan dalam beberapa kasus dalam pola
penyalahgunaan banyak substansi (7,4% dari 674 kasus). Sedangkan obat-
obatan terlarang yang terdeteksi di sekitar 29% kasus bunuh diri dalam studi
Dias et al. Penyalahgunaan alkohol, obat-obatan terlarang dan obat-obatan
biasa merupakan faktor risiko utama untuk ide bunuh diri. WHO menyoroti
bahwa beberapa faktor risiko seperti penyalahgunaan alkohol dan zat yang
memiliki elemen tersebut berkontribusi untuk ide bunuh diri pada semua
kelompok umur.
Layanan Administrasi Penyalahgunaan zat dan Kesehatan Mental
menyarankan bahwa penghilang rasa sakit, agen psikoterapi, benzodiazepin,
anxiolytics dan hipnotik adalah obat yang paling umum digunakan dalam
upaya bunuh diri. Populasi muda lebih mungkin untuk terlibat dalam
perilaku berisiko seperti penggunaan alkohol dan obat terlarang.
Diperkirakan bahwa ada hubungan yang kuat antara penyalahgunaan zat dan
bunuh diri pada semua kelompok umur. Pengguna heroin dan pecandu opiat
menghadapi peningkatan risiko bunuh diri dibandingkan dengan masyarakat
umum. Selalu ada pertanyaan “mengapa narkoba selalu digunakan sebelum
melakukan upaya bunuh diri ?. Jawabannya karena pemikiran bunuh diri
sangat dipengaruhi oleh stres dan zat tersebut dapat membantu orang-orang
untuk melarikan diri dari situasi tersebut.

Tabel 1.3 Obat-obatan dan racun yang terdeteksi pada sampel postmortem dari
kasus peracunan diri, Tehran, Iran, 2011-2015
Golongan obat Jumlah
Opioid
Opium alkaloid (morfin, codeine, tebain, papaverin) 39
Metadon 8
Buprenorfin 1

13
Antalgin 4
Metamfetamin 21
Etanol 10
Benzodiazepin
Diazepam 3
Oxazepam 2
Alprazolam 1
Antidepresan Trisiklik
Nortriptyline 3
Amitriptyline 1
Pestisida
Aluminium phosphide (gas Phosphine) 619
Diazinon (dimpylate) 15
Azinphos metal 3
Malathion 3
Klorpirifos 2
Endosulfan 2
Strychnine 10
Sianida 17
Total 764

Metamfetamin terdeteksi dalam sampel postmortem dari 21 kasus dan


dalam beberapa kasus dalam bentuk kombinasi dengan alkaloid opium,
etanol dan metadon. Kardiotoksisitas adalah salah satu efek samping utama
dari jenis amphetamine stimulan. Methamphetamine menyebabkan efek
kardiovaskular akut yang merugikan dan bahkan kematian melalui rilis yang
berlebihan dari beberapa neurotransmitter seperti serotonin, dopamin dan
norepinefrin. Juga penyalahgunaan methamphetamine disertai dengan delusi,
halusinasi dan usaha bunuh diri.
Dalam penelitian ini sepuluh kasus menunjukkan hasil positif untuk
etanol di atas 35 mg / dL pada darah dan sampel pada humor vitreous. Sesuai
dengan penelitian lain tentang peran alkohol dalam kematian bunuh diri,

14
kasus etanol positif terutama pada laki-laki dalam rentang usia muda.
Karakteristik demografi mempengaruhi hubungan antara penggunaan
alkohol dan metode bunuh diri. Conner et al. menyatakan bahwa konsumsi
alkohol lebih dimungkinkan pada metode kasus bunuh diri dengan senjata
api atau gantung diri dibandingkan dengan metode meracuni diri sendiri.
Meskipun penggunaan alkohol bukan satu-satunya faktor risiko bunuh diri,
hal tersebut bertindak dengan cara meningkatkan pikiran untuk bunuh diri
dan rasa malu. Oleh karena itu dapat meningkatkan kemungkinan untuk
bunuh diri.
Juga dilaporkan dalam penelitian lain, bahwa etanol konsentrasi di atas
50 mg/dL meningkatkan risiko bunuh diri yang lebih tinggi sebagai akibat
dari mencari keberanian dan rasa malu pada individu ketika melakukan
bunuh diri. Etanol merupakan salah satu zat psikoaktif terdaftar sebagai obat
yang paling penting terdeteksi dalam analisis postmortem di seluruh dunia.
Sebagai hasil, peningkatan konsumsi etanol terbesar terdapat pada populasi
laki-laki. Etanol adalah zat yang paling banyak terdeteksi dalam sebuah
penelitian yang dilakukan di Portugal dan Swedia pada kematian bunuh diri.
Namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peran etanol terhadap
kematian bunuh diri kurang dari penelitian lainnya. Hal ini dapat dijelaskan
oleh keyakinan agama yang kuat yang memiliki efek yang besar pada sikap
subjek terhadap penggunaan alkohol di Iran. Penentuan obat (legal & ilegal)
dan zat beracun memainkan peran penting dalam penyelidikan kematian
kasus bunuh diri.
Penggunaan obat non-medis telah meningkat secara substansial di Iran.
Penggunaan obat di Iran per kapita adalah tiga kali lebih banyak dari standar
global yang ada. Iran juga memiliki penggunaan opioid per kapita tertinggi
di dunia. Salah satu alasan untuk jumlah tinggi pada penggunaan narkoba
jenis ini adalah ketersediaan yang bebas untuk obat tanpa resep dari saluran
farmasi yang sah dan melalui sumber-sumber non-medis. Kemudahan
ketersediaan adalah salah satu faktor penting untuk memilih obat dan racun
sebagai alat bunuh diri. Korelasi antara penggunaan narkoba dan tekanan

15
psikologis tidak dapat disimpulkan, dimana satu kasus dapat menyebabkan
yang lainnya.
Hasil analisis toksikologi menunjukan bahwa 50 objek adalah pelaku
polysubstance dan penyebab kematian ditentukan sebagai keracunan yang
disengaja. Penggunaan narkoba adalah salah satu yang paling banyak
digunakan untuk bunuh diri di Iran.Khabaronline melaporkan bahwa opium
adalah zat yang paling sering disalahgunakan di Iran. Tapi kecenderungan
untuk jenis amphetamine stimulan masih tinggi. Orang dengan gangguan
penyalahgunaan zat mencoba bunuh diri enam kali lebih banyak dari
pengguna non-obat. Juga sebagian pecandu narkoba mencoba bunuh diri
dengan terlalu sering menggunakan obat secara overdosis.
Gas fosfin adalah zat beracun yang paling umum terdeteksi dalam
penelitian ini. Aluminium phosphide diklasifikasikan sebagai pestisida
fumigan yang tersedia di Iran pada tablet bentuk 3-g dengan nama-nama
merek Celphos, phostoxin, Quickphos untuk melindungi beras dan biji-bijian
lainnya. Aluminium phosphide dikonversi ke fosfin berikutnya mendapatkan
paparan kelembaban atau asam klorida dalam lambung. Departemen
Kesehatan dan Pendidikan Kedokteran, Iran melarang zat aktif yang sangat
beracun dan cepat ini sejak tahun 2007. Terlepas dari larangan produksi dan
penjualannya, tablet aluminium phosphide tersedia secara bebas di toko-toko
herbal dengan harga murah. Saat itu menjadi salah satu zat yang paling
populer digunakan untuk meracuni diri di Iran
Sejauh yang kami tahu, tidak ada studi dalam literatur yang
menunjukkan tingginya prevalensi bunuh diri dengan phosphide aluminium
di negara lain. Penggunaan beberapa zat beracun seperti phosphide
aluminium pada keracunan yang di sengaja dilaporkan dalam studi
sebelumnya. Tingginya insiden aluminium phosphide dalam meracuni diri
terkait kematian (80,8% dari total hasil toksikologi positif) dalam penelitian
ini akan disebabkan oleh faktor-faktor tersebut. Dalam penelitian kami
sebelumnya yang dilakukan di Teheran, Iran, 85% dari keracunan fosin
berakibat fatal terhadap kematian terutama pada kasus bunuh diri. Sesuai
dengan hasil penelitian ini, pestisida adalah produk beracun yang paling

16
banyak digunakan untuk meracuni diri di kasus bunuh diri. Juga ada banyak
artikel penelitian mengatasi keracunan yang disengaja dengan phosphide
aluminium di Iran, India dan Maroko.
Penyebab kematian dari 25 kasus keracunan yang disengaja dengan
organofosfat. Penggunaan senyawa organofosfat dengan maksud bunuh diri
adalah umum di negara-negara berkembang dengan basis pertanian.
Penelitian sebelumnya menegaskan penggunaan organofosfat sebagai sarana
bunuh diri. Keracunan sianida disengaja adalah cara bunuh diri pada 17
kasus (2,2%) dalam penelitian ini. Sianida terdeteksi dalam sampel
postmortem dengan alkaloid opium di lima kasus. Temuan ini menyoroti
peran penyalahgunaan zat di keinginan bunuh diri. Pria yang menggunakan
sianida mendominasi yaitu pada (15 kasus). Hasil ini dikonfirmasi oleh
penelitian kami sebelumnya pada kematian terkait keracunan sianida di
Teheran, Iran. Tingkat yang lebih tinggi dari keracunan sianida yang
disengaja pada pria mungkin karena fakta bahwa pria lebih mungkin untuk
menggunakan metode bunuh diri lebih keras untuk menyelesaikan bunuh
diri.
Meracuni diri yang disengaja dengan strychnine adalah penyebab
kematian dari sepuluh kasus dalam penelitian ini. Strychnine adalah alkaloid
beracun yang diperoleh dari biji dari tanaman Strychnos nux vomica yang
digunakan sebagai rodentisida. Keracunan dengan strychnine jarang terjadi
dan jika intervensi yang cocok melewatkannya bisa berakibat fatal. Hal ini
menyebabkan keracunan pada anak-anak dan bahkan keracunan bunuh diri
pada orang dewasa akibat menelan atau menghirupnya. Jika tertelan,
strychnine menyebabkan asfiksia dan kejang. Kematian terjadi karena
kelumpuhan pada otak terutama pada sistem pusat pernapasan. Kemudahan
ketersediaan telah dikutip sebagai faktor kunci untuk memilih strychnine
sebagai bahan untuk bunuh diri.

1.6 Kesimpulan
Kematian bunuh diri dengan meracuni diri sendiri merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang utama. Sebuah badan kerja yang jauh lebih kecil
telah memeriksa hasil analisis toksik forensik secara rinci dalam kasus bunuh

17
diri dengan meracuni diri sendiri. Studi ini menyelidiki kematian bunuh diri
yang meracuni diri sendiri dari sudut toksikologi forensik. Kematian bunuh
diri dangan peracunan diri lebih banyak terjadi pada populasi laki-laki muda.
Namun ada banyak penelitian mengenai pengelolaan kasus bunuh diri yang
meracuni diri sendiri di bidang detoksifikasi medis dan toksikologi klinis di
rumah sakit. Perlu diperhitungkan bahwa tidak semua upaya bunuh diri
menghasilkan kematian, oleh karena itu pola obat-obatan dan racun yang
digunakan sebagai percobaan untuk bunuh diri akan berbeda dalam kasus
klinis dan forensik. Sementara itu, hasil penelitian ini akan membantu upaya
yang lebih baik mengenai pembatasan akses terhadap cara bunuh diri seperti
obat-obatan dan racun terutama tablet dan bubuk aluminium fosfida.

18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TOKSIKOLOGI FORENSIK


2.1.1 Definisi Toksikologi
Ilmu toksikologi adalah ilmu yang menelaah tentang kerja dan efek
berbahaya zat kimia atau racun terhadap mekanisme biologis suatu
organisme. Definisi lainnya dari toksikologi forensik yaitu ilmu yang
mempelajari aspek medikolegal dari bahan kimia yang mempunyai efek
membahayakan manusia/hewan sehingga dapat dipakai untuk
membantu mencari/menjelaskan penyebab kematian pada penyelidikan
kasus pembunuhan. 1,2
Toksikologi forensik mencakup:
1. Terapan ilmu alam dalam analisis racun sebagi bukti dalam tindak
kriminal
2. Mendeteksi dan mengidentifikasi konsentrasi dari racun dan
metabolitnya dalam materi biologi
3. Menginterpretasikan temuan analisis ke dalam suatu argumentasi
tentang penyebab keracunan2

Gambar 2.1 Toksikologi Forensik

2.1.2 Macam-Macam Toksikologi1


Toksikologi klinis adalah bidang ilmu kedokteran yang
memberikan perhatian terhadap penyakit yang disebabkan oleh bahan
toksik atau hubungan yang unik dan spesifik dari bahan toksik tersebut.

19
Efek merugikan/toksik pada sistem biologis dapat disebabkan oleh
bahan kimia yang mengalami biotransformasi dan dosis serta
suasananya cocok untuk menimbulkan keadaan toksik. 1
1. Toksikologi lingkungan
Mempelajari efek dari bahan polutan terhadap kehidupan dan
pengaruhnnya pada ekosistem, yang digunakan untuk mengevaluasi
kaitan antara manusia dengan polutan yang ada di lingkungan. 1
2. Toksikologi forensik
Mempelajari aspek medikolegal dari bahan kimia yang
mempunyai efek membahayakan manusia/hewan sehingga dapat
dipakai untuk membantu mencari/menjelaskan penyebab kematian
pada penyelidikan seperti kasus pembunuhan. 1
Menurut Taylor, racun adalah suatu zat yang dalam jumlah
relatif kecil (bukan minimal), yang jika masuk atau mengenai
tubuh seseorang akan menyebabkan timbulnya reaksi kimiawi
(efek kimia) yang besar yang dapat menyebabkan sakit, bahkan
kematian. Menurut Gradwohl racun adalah substansi yang tanpa
kekuatan mekanis, yang bila mengenai tubuh seorang (atau
masuk), akan menyebabkan gangguan fungsi tubuh, kerugian,
bahkan kematian. Sehingga jika dua definisi di atas digabungkan,
racun adalah substansi kimia, yang dalam jumlah relatif kecil,
tetapi dengan dosis toksis, bila masuk atau mengenai tubuh, tanpa
kekuatan mekanis, tetapi hanya dengan kekuatan daya kimianya,
akan menimbulkan efek yang besar, yang dapat menyebabkan
sakit, bahkan kematian. 1

2.1.3 Macam-Macam Dosis3


1. Dosis pemakaian
Dosis normal yang dipakai seseorang tetapi tujuannya bukan untuk
pengobatan. Misalnya untuk menjaga kesehatan tubuh. 3
2. Dosis terapi
Dosis yang cukup memberikan daya penyembuhan yang optimal. 3

20
3. Dosis minimal
Dosis terkecil yang masih dapat memberikan efek terapi.3
4. Dosis maksimal
Dosis terbesar untuk sekali pemakaian atau untuk 24 jam tanpa
memperlihatkan efek toksik. 3
5. Dosis toksik
Dosis yang sedemikian besarnya dapat menunjukkan efek toksik3
6. Dosis letal
Dosis yang sedemikian besarnya dapat menyebabkan kematian pada
hewan percobaan. 3

2.1.4 Cara Masuk Racun ke Dalam Tubuh


Keracunan paling cepat terjadi jika masuknya racun secara
inhalasi. Cara masuk lain, berturut-turut ialah intravena, intramuskular,
intraperitoneal, subkutan, peroral dan paling lambat ialah bila melalui
kulit yang sehat.4

A B

Gambar 2.2 Cara racun masuk ke dalam tubuh A. Melalui Intramuscular,


Transdermal, Subcutaneus B. Mealui Inhalasi

2.1.5 Cara Kerja Racun di Dalam Tubuh4


1. Racun yang bekerja lokal
Misalnya:
a) Racun bersifat korosif: lisol, asam dan basa kuat

21
A B C
Gambar 2.3 Racun yang bekerja lokal A. Lisol, B. Asam Kuat, C. Basa Kuat

b) Racun bersifat iritan: arsen, HgCl2

A B
Gambar 2.4 Racun yang bersifat iritan A. HgCl2, B. Arsen

c) Racun bersifat anastetik: kokain, asam karbol.

A B
Gambar 2.5 Racun yang bersifat anastetik A. Kokain, B. Asam Karbol

Racun-racun yang bekerja secara setempat ini, biasanya akan


menimbulkan sensasi nyeri yang hebat, disertai dengan peradangan,
bahkan kematian yang dapat disebabkan oleh syok akibat nyerinya
tersebut atau karena peradangan sebagai kelanjutan dari perforasi
yang terjadi pada saluran pencernaan.4

22
2. Racun yang bekerja sistemik
Walaupum kerjanya secara sistemik, racun-racun dalam
golongan ini biasanya memiliki akibat/afinitas pada salah satu
sistem atau organ tubuh yang lebih besar bila dibandingkan dengan
sistem atau organ tubuh lainnya. 4
Misalnya:
A. Narkotik, barbiturate, dan alkohol terutama berpengaruh pada
susunan syaraf pusat
B. Digitalis, asam oksalat terutama berpengaruh terhadap jantung
C. Strychine terutama berpengaruh terhadap sumsum tulang
belakang
D. CO, dan HCN terutama berpengaruh terhadap darah dan enzim
pernafasan
E. Cantharides dan HgCl2 terutama berpengaruh terhadap ginjal
F. Insektisida golongan hidrokarbon yang di-chlor-kan dan
phosphorus terutama berpengaruh terhadap hati

A B C

D
Gambar 2.6 Racun yang bersifat sistemik A. Narkotika, B. Barbiturat, C. Biji
Strychine, D. Pestisida

3. Racun yang bekerja lokal dan sistemik

23
Misalnya:
a) Asam oksalat
b) Asam karbol

Gambar 2.7 Racun yang bekerja lokal dan sistemik, ex: asam oksalat

Selain menimbulkan rasa nyeri (efek lokal) juga akan


menimbulkan depresi pada susunan syaraf pusat (efek sistemik).
Hal ini dimungkinkan karena sebagian dari asam karbol tersebut
akan diserap dan berpengaruh terhadap otak. 4

2.1.6 Faktor Yang Mempengaruhi Kerja Racun4


1. Cara pemberian
Setiap racun baru akan menimbulkan efek yang maksimal
pada tubuh jika cara pemberiannya tepat. Misalnya jika racun-racun
yang berbentuk gas tertentu akan memberikan efek maksimal bila
masuknya ke dalam tubuh secara inhalasi. Jika racun tersebut
masuk ke dalam tubuh secara ingesti tentu tidak akan menimbulkan
akibat yang sama hebatnya walaupun dosis yang masuk ke dalam
tubuh sama besarnya. 4
Berdasarkan cara pemberian, maka umumnya racun akan
paling cepat bekerja pada tubuh jika masuk secara inhalasi,
kemudian secara injeksi (i.v, i.m, dan s.c), ingesti, absorbsi melalui
mukosa, dan yang paling lambat jika racun tersebut masuk ke dalam
tubuh melalui kulit yang sehat. 4

2. Keadaan tubuh

24
a) Umur
Pada umumnya anak-anak dan orang tua lebih sensitif
terhadap racun bila dibandingkan dengan orang dewasa. Tetapi
pada beberapa jenis racun seperti barbiturate dan belladonna,
justru anak-anak akan lebih tahan. 4
b) Kesehatan
Pada orang-orang yang menderita penyakit hati atau
penyakit ginjal, biasanya akan lebih mudah keracunan bila
dibandingkan dengan orang sehat, walaupun racun yang masuk
ke dalam tubuhnya belum mencapai dosis toksis. Hal ini dapat
dimengerti karena pada orang-orang tersebut, proses detoksikasi
tidak berjalan dengan baik, demikian halnya dengan
ekskresinya. Pada mereka yang menderita penyakit yang disertai
dengan peningkatan suhu atau penyakit pada saluran
pencernaan, maka penyerapan racun pada umumnya jelek,
sehingga jika pada penderita tersebut terjadi kematian, kita tidak
boleh terburu-buru mengambil kesimpulan bahwa kematian
seseorang karena penyakit tanpa penelitian yang teliti, misalnya
pada kasus keracunan arsen (tipe gastrointestinal) dimana disini
gejala keracunannya mirip dengan gejala gastrointeritis yang
lumrah dijumpai. 4
c) Kebiasaan
Faktor ini berpengaruh dalam hal besarnya dosis racun
yang dapat menimbulkan gejala-gejala keracunan atau kematian,
yaitu karena terjadinya toleransi. Tetapi perlu diingat bahwa
toleransi itu tidak selamanya menetap. Menurunnya toleransi
sering terjadi misalnya pada pecandu narkotik, yang dalam
beberapa waktu tidak menggunakan narkotik lagi. Menurunnya
toleransi inilah yang dapat menerangkan mengapa pada para
pecandu tersebut bisa terjadi kematian, walaupun dosis yang
digunakan sama besarnya.4
d) Hipersensitif (alergi idiosinkrasi)

25
Banyak preparat seperti vitamin B1, penisilin,
streptomisin dan preparat-preparat yang mengandung yodium
menyebabkan kematian, karena si korban sangat rentan terhadap
preparat-preparat tersebut.Dari segi ilmu kehakiman, keadaan
tersebut tidak boleh dilupakan, kita harus menentukan apakah
kematian korban memang benar disebabkan oleh karena
hipersinsitif dan harus ditentukan pula apakah pemberian
preparat-preparat mempunyai indikasi. Ada tidaknya indikasi
pemberi preparat tersebut dapat mempengaruhi berat-ringannya
hukuman yang akan dikenakan pada pemberi preparat tersebut.4
3. Racunnya sendiri
a) Dosis
Besar kecilnya dosis racun akan menentukan berat-
ringannya akibat yang ditimbulkan. Dalam hal ini tidak boleh
dilupakan akan adanya faktor toleransi, dan intoleransi
individual. Pada toleransi, gejala keracunan akan tampak
walaupun racun yang masuk ke dalam tubuh belum mencapai
level toksik. Keadaan intoleransi tersebut dapat bersifat
bawaan/kongenital atau toleransi yang didapat setelah
seseorang menderita penyakit yang mengakibatkan gangguan
pada organ yang berfungsi melakukan detoksifikasi dan
ekskresi.5
b) Konsentrasi
Untuk racun-racun yang kerjanya dalam tubuh secara
lokal misalnya zat-zat korosif, konsentrasi lebih penting bila
dibandingkan dengan dosis total. Keadaan tersebut berbeda
dengan racun yang bekerja secara sistemik, dimana dalam hal
ini dosislah yang berperan dalam menentukan berat-ringannya
akibat yang ditimbulkan oleh racun tersebut. 5
c) Bentuk dan kombinasi fisik
Racun yang berbentuk cair tentunya akan lebih cepat
menimbulkan efek bila dibandingkan dengan yang berbentuk

26
padat. Seseorang yang menelan racun dalam keadaan lambung
kosong tentu akan lebih cepat keracunan bila dibandingkan
dengan orang yang menelan racun dalam keadaan lambungnya
berisi makanan. 5
d) Adiksi dan sinergisme
Barbiturate, misalnya jika diberikan bersama-sama
dengan alkohol, morfin, atau CO, dapat menyebabkan
kematian, walaupun dosis letal. Dari segi hukum kedokteran
kehakiman, kemungkinan-kemungkinan terjadinya hal seperti
itu tidak boleh dilupakan, terutama jika menghadapi kasus
dimana kadar racun yang ditemukan rendah sekali, dan dalam
hal demikian harus dicari kemungkinan adanya racun lain yang
mempunyai sifat aditif (sinergitik dengan racun yang
ditemukan), sebelum kita tiba pada kesimpulan bahwa kematian
korban disebabkan karena anafilaksi yang fatal atau karena
adanya toleransi. 5
e) Susunan kimia
Ada beberapa zat yang jika diberikan dalam susunan
kimia tertentu tidak akan menimbulkan gejala keracunan, tetapi
bila diberikan secara tersendiri terjadi hal yang sebaliknya. 5
f) Antagonisme
Kadang-kadang dijumpai kasus dimana seseorang
memakan lebih dari satu macam racun, tetapi tidak
mengakibatkan apa-apa, oleh karena reaksi-reaksi tersebut
saling menetralisir satu sama lain. Dalam klinik adanya sifat
antagonis ini dimanfaatkan untuk pengobatan, misalnya
nalorfin dan kaloxone yang dipakai untuk mengatasi depresi
pernafasan dan oedema paru-paru yang terjadi pada keracunan
akut obat-obatan golongan narkotik. 5

2.1.7 Motif Keracunan6

27
1. Kecelakaan/kematian tidak sengaja
Kebanyakan kecelakaan kerecunan yang terjadi di rumah-
tangga, seperti: keracunan pada anak-anak akibat kelalaian atau
kurang tepatnya penyimpanan bahan-bahan rumah tangga
berbahaya (ditergen, pestisida rumah-tangga, obat-obatan),
sehingga dapa dijangkau oleh anak-anak, adalah umumnya akibat
ketidaksengajaan/kelalaian. Kecelakaan keracunan pada orang
dewasa biasanya berhubungan dengan hilangnya label “penanda”
pada bahan beracun, penyimpanan tidak pada tempatnya, misal
disimpan di dalam botol minuman, kaleng gula, kopi dll, yang
dapat menyebabkan kekeliruan. Kecelakaan keracunan mungkin
juga dapat terjadi di industri, untuk menghidari kecelakan akibat
kelalaian kerja diperlukan protokol khusus tentang keselamatan
kerja di industri. Protokol ini berisikan standard keamanan,
peraturan perlindungan kerja, tersedianya dokter dalam
penanganan kasus darurat pada keracunan fatal. 2,6
2. Penyalahgunaan obat-obatan
Penyalahgunaan obat-obatan adalah penggunaan obat-
obatan atau bahan kimia tertentu yang bukan untuk tujuan
pengobatan, melainkan untuk memperoleh perubahan perasaan atau
menimbulkan rasa bahagia “eporia”. Fakta menunjukkan sering
akibat penyalahgunaan obat-obatan dapat mengakibatkan beberapa
keracunan, sampai kematian. Kematian pemakaian heroin umumnya
diakibatkan oleh depresi “penekanan” fungsi pernafasan, yang
mengakibatkan kegagalan pengambilan oksigen, sehingga terjadi
penurunana kadar oksigen yang drastis di otak. Pada kematian
akibat keracunan heroin biasanya disertai dengan udema paru-paru.
Hal ini menandakan telah terjadi dipresi pernafasan. Umumnya
penyalahgunaan obat-obatan melibatkan penggunaan obat-obatan
golongan narkotika dan psikotropika, seperti narkotika (golongan
opiat), hipnotika.sedativa (barbiturat), halusinogen (3-4 metil
deoksimetamfetamin “MDMA”, metil dioksiamfetamin “MDA”,

28
fensilidin “PCP”), dan stimulan (amfetamin, cocain). Keracunan
akibat penyalahgunaan obat-obatan dapat juga sebabkan oleh
kelebihan dosis, pengkonsomsi alkohol, atau salah pengobatan oleh
dokter (mismedication). 2,6
3. Bunuh diri dengan racun
Kasus kecelakan bunuh diri menggunakan pestisida rumah-
tangga, ditergen, atau menggunakan kombinasi obat-obatan yang
komplek. Pada kasus bunuh diri dengan obat-obatan kadang
ditemukan 3 hingga 7 jenis obat. Untuk mencari penyebab kematian
pada kasus bunuh diri diperlukan analisis toksikologi, yaitu analisis
kualitatif dan kuantitatif racun di cairan lambung, darah, urin, dan
organ tubuh lainnya untuk mencari dan menentukan jumlah minimum
penyebab keracunan. 2,6
4. Pembunuhan menggunakan racun
Penyidikan kematian seseorang akibat pembunuhan dengan
racun adalah penyidikan yang paling sulit bagi penegak hukum dan
dokter ferensin “termasuk toksikolog forensik”. Secara umum bukti
keracunan diperoleh dari simptom yang ditunjukan sebelum kematian.
Penyidikan pasca kematian oleh dokter patologi forensik dengan
melakukan otopsi dan pengambilan spesimen “sampel”, yang
kemudian dilakukan analisis racun oleh toksikolog forensik
merupakan sederetan penyidikan penting dalam penegakan hukum. 2,6

2.1.8 Cara Diagnosa Keracunan7


Kriteria diagnostik pada keracunan adalah7
1. Anamnesa kontak antara korban dengan racun
2. Adanya tanda-tanda serta gejala yang sesuai dengan tanda dan
gejala dari keracunan racun yang diduga
3. Dari sisa benda bukti, harus dapat dibuktikan bahwa benda bukti
tersebut, memang racun yang dimaksud
4. Dari bedah mayat dapat ditemukan adanya perubahan atau kelainan
yang sesuai dengan keracunan dari racun yang diduga; serta dari
bedah mayat tidak dapat ditemukan adanya penyebab kematian lain

29
5. Analisa kimia atau pemeriksaan toksikologi, harus dapat dibuktikan
adanya racun serta metabolitnya, dalam tubuh atau cairan tubuh
korban, secara sistemik7

2.1.9 Pemeriksaan Toksikologi7


Dari pemeriksaan pada kasus-kasus yang mati akibat racun
umumnya tidak akan di jumpai kelainan-kelainan yang khas yang dapat
dijadikan pegangan untuk menegakan diagnose atau menentukan sebab
kematian karena racun suatu zat. Jadi pemeriksaan toksikologi mutlak
harus dilakukan untuk menentukan adanya racun pada setian kasus
keracunan atau yang diduga mati akibat racun. Setelah mayat si korban
dibedah oleh dokter kemudian diambil dan dikumpulkan jaringan-
jaringan atau organ-organ tubuh si korban untuk dijadikan barang bukti
dan bahan pemeriksaan toksikologi. Prinsip pengambilan sampel pada
keracunan adalah diambil sebanyak-banyaknya setelah disishkan untuk
cadangan dan untuk pemeriksaan histopatologis. 7
Secara umum sampel yang harus diambil adalah: 8
Cairan biologis8
1. Darah

Gambar 2.8 Sampel Darah


Dalam semua kasus investigasi medikolegal spesimen darah
harus diperoleh saat darah tersedia. Ini digunakan sebagai sampel
referensi untuk identifikasi dalam kasus yang tidak dikenal dan juga
untuk analisis toksikologi. Konsentrasi darah perifer telah terbukti
lebih dapat diandalkan untuk analisis toksikologi dibandingkan
dengan darah jantung konvensional. Oleh karena itu, dalam semua
kematian yang diduga keracunan atau dalam semua kasus dengan

30
penyebab kematian yang tidak diketahui, spesimen darah femoralis
harus dikumpulkan. Biasanya 20 ml darah sudah cukup dan itu
harus diawetkan dalam sodium fluorida 10 mg/ml dan kalium
oksalat 30 mg/10 ml konsentrasi darah dalam wadah gelas bermulut
lebar segar 30 ml dengan tutup ulir (wadah universal). 8
2. Urin

Gambar 2.9 Sampel Urin


Spesimen urin sangat bernilai bahkan dalam jumlah kecil,
terutama dalam skrining obat atau racun yang tidak diketahui.
Spesimen urin juga berharga dalam analisis kuantitatif alkohol
dimana ada ketidakpastian mengenai validitas spesimen darah.
Sebelum melakukan otopsi, urine bisa dikumpulkan dengan kateter
atau tusukan suprapubik. 8
3. Empedu
Empedu sangat membantu dalam memperkirakan obat-
obatan yang terkonsentrasi dengan hati dan diekskresikan ke dalam
kantung empedu seperti opiat dan asetaminofen (parasetamol).
Bagian ini tidak rutin diawetkan, tapi hanya pada kasus tertentu. 8
4. Vitreous Humor

Gambar 2.10 Sampel dari vitrous humor


Spesimen humor vitreous sangat berguna untuk pemeriksaan
alkohol atau pada diabetes dan kematian terkait insulin.Cairan di
mata tahan pembusukan lebih lama daripada cairan tubuh lainnya

31
karena steril dan tetap terlindungi dengan baik di mata. Hal ini
berguna untuk tes biokimia tertentu seperti urea, creatinie, glukosa,
laktosa dan alkohol. Humor vitreous harus dikumpulkan dari kedua
mata dengan botol terpisah 10 ml. Ini diawetkan dengan sodium
fluorida (10 mg / ml). 8
5. Cairan serebrospinal
Sampel cairan cerebrospinal jarang diperlukan untuk analisis
toksikologi. Jika diperlukan harus dikumpulkan dengan tusukan
cisternal. Sulit mengumpulkan CSF pada otopsi. 8
6. Cairan tubuh lainnya
Dalam kasus dimana darah dan air kencing tidak tersedia cairan
tubuh lain yang tersedia seperti cairan perikardial dan synovial
dapat digunakan untuk analisis toksikologi seperti alkohol. 8

Jaringan Biologis
1. Hati
Hati adalah jaringan yang paling penting karena
mengkonsentrasikan banyak zat. Hati dapat mengandung sejumlah
besar obat-obatan dan metabolit yang mungkin dalam beberapa
kasus sulit membantu menentukan apakah telah terjadi toksisitas
akut atau kronis. Idealnya bagian hati yang diambil harus tetap
segar, diambil dari pinggiran lobus kanan yang jauh dari lambung,
bagian besar dan kantung empedu. Minimal 100 g cukup untuk
analisis toksikologi. 8
2. Isi perut
Sampel berguna bila obat telah dikonsumsi secara oral karena
konsentrasinya akan berkali-kali lebih tinggi daripada cairan
lainnya. Hal ini juga dapat membantu untuk menentukan jumlah
obat yang ada dalam perut jika konsentrasi darah sulit ditafsirkan.
Perut harus diligasi pada kedua ujungnya (kerongkongan dan
pilorus) dan dibedah lalu isinya langsung dituangkan ke toples
bermulut lebar. 8
3. Jaringan lainnya

32
Sampel jaringan lainnya mungkin berguna untuk menyelidiki
kematian dimana zat volatil misalnya pelarut atau gas terlibat. Otak,
jaringan lemak, paru-paru dan ginjal adalah yang paling berguna.
Idealnya jaringan basah yang steril harus dikumpulkan ke dalam
wadah gelas terpisah. Dalam kasus paru-paru, sampel harus
dikumpulkan dari apeks paru-paru. Seluruh paru mungkin harus
diawetkan jika terjadi keracunan pelarut atau zat volatil. 8
4. Tulang dan jaringan otot
Kita harus mengumpulkan semua sampel yang relevan meskipun
mungkin bukan sampel rutin. Jika tulang lang tersedia, keseluruhan
tulang panjang harus untuk dikumpulkan dan dipelihara. Sampel ini
harus dikeringkan pada suhu normal dan disegel dalam kantong
plastik. Sampel sumsum tulang mungkin berguna dalam identifikasi
obat (kualitatif dan juga kuantitatif) dalam kasus dimana semua
jaringan lunak mengalami degenerasi. 8
5. Rambut dan kuku
Rambut dan kuku adalah contoh yang berguna untuk menganalisis
racun kronis (logam berat) atau obat terlarang (opioid). Sampel ini
harus dikirim jika dicurigai keracunan kronis terutama untuk
membedakan antara paparan episodik atau kontinu atau racun-racun
yang mungkin telah dieliminasi dari tubuh pada saat kematian. 8
6. Belatung
Dalam tubuh yang terdekomposisi, jika belatung hadir 20 gram
maggot dapat dikumpulkan dalam wadah plastik atau kaca dengan
larutan garam jenuh sebagai pengawetnya. Jika obat-obatan atau
minuman keras terdeteksi, mereka hanya bisa berasal dari jaringan
dimana larva tersebut diberi makan. Sampel ini hanya memberikan
informasi kualitatif tentang penggunaan narkoba. 8

7. Tempat suntikan atau gigitan ular


Dalam kasus kematian karena suntikan obat-obatan atau gigitan ular
yang diduga, sampel dari tempat suntikan harus disimpan. Sampel

33
kulit dengan jaringan otot di bawah area injeksi harus dipelihara
bersama dengan sampel kontrol dengan komposisi serupa dari
tempat normal yang berlawanan. 8
8. Tablet, serbuk dan semprotan
Sampel ini harus dikemas dengan hati-hati dan jarum dilindungi
untuk menghindari cedera. Hal ini mungkin sangat berguna dalam
kematian pada pecandu medis pribadi atau pecandu obat yang
mungkin menggunakan agen yang sulit untuk dideteksi begitu
mereka memasuki tubuh. 8

Pemeriksaan toksikologi dapat dibagi menjadi dua


pemeriksaan berdasarkan objek yang diperiksa, yaitu pemeriksaan
pada korban hidup dan pemeriksaan korban meninggal. 7
a) Pemeriksaan pada korban hidup
 Anamnesis
Setelah penatalaksanaan awal terhadap intoksikasi,
anamnesis dapat menjadi awal dari pemeriksaan toksikologi.
Pasien bisa menerangkan secara langsung obat-obatan atau
racun yang digunakan sebelumnya terutama pada percobaan
bunuh diri. Jika korban tidak ingin menceritakan kronologis
maka bisa dilihat dari pemeriksaan fisik. 7
 Pemeriksaan Fisik
− Tanda tanda vital
Evaluasi tanda vital merupakan hal yang esensial dalam
kedaruratan toksikologi. Hipertensi dan takikardi adalah
khas pada obat-obat amfetamin, kokain, fensiklidin,
nikotin, dan antimuskarinik. Hipotensi dan bradikardia
merupakan gambaran karakteristik dan takar lajak
narkotika, klonidin, sedatif-hipnotik dan beta bloker.
Takikardi dan hipotensi sering terjadi dengan antidepresan
trisiklik, fenotiazin, dan teofihin. Pernapasan yang cepat
adalah khas pada amfetamin dan simpatometik lainnya,
salisilat, karbon monoksida dan toksin lain yang

34
menghasilkan asidosis metabolik. Hipertermia dapat
disebabkan oleh obat simpatometik, antimuskarinik,
salisilat, dan obat-obatan yang menimbulkan kejang atau
kekakuan otot. 7
− Mata
Konstriksi pupil (miosis) adalah khas untuk keracunan
narkotika, klonidin, fenotiazin, insektisida organofosfat
dan penghambat kolinesterase lainnya, serta kornea yang
dalam akibat obat sedatif. Dilatasi pupil (midriasis)
umumnya terdapat pada amfetamin, kokain, LSD, atropin,
dan obat antimuskarinik lain. 7
− Mulut
Mulut dapat memperlihatkan tanda-tanda luka bakar
akibat zat-zat korosif atau jelaga dan inhalasi asap. Bau
yang khas dari alkohol, pelarut hidrokarbon. Keracunan
dengan sianida dapat dikenali oleh beberapa pemeriksa
seagai bau seperti bitter almond. 7
− Kulit
Kulit merah, panas, dan kering pada keracunan dengan
atropin dan antimuskarinik lain. Keringat yang berlebihan
ditemukan pada keracunan dengan organofosfat, nikotin,
dan obat-obat simpatometik. 7
− Abdomen
Bunyi usus yang hiperaktif, kram perut, dan diare terjadi
pada keracunan dengan organofosfat, besi arsen, dan
teofihin. 7
 Metode Pemeriksaan
− Uji Penapisan “screening test”
Uji penapisan untuk mengenali golongan senyawa (analit)
dalam sampel. Analit digolongkan berdasarkan sifat fisika
kimia, sifat kimia, maupun efek farmakologi yang
ditimbulkan. Selain digolongkan sifatnya pemeriksaan

35
dapat digolongkan berdasarkan berat molekul. Adapun
tekni uji penapisan yaitu: 7
1. Uji Immunoassay
Menggunakan antidrug antibody untuk
mengidentifikasi obat dan metabolitnya di dalam
sampel. Terdapat berbagai metode untuk uji ini antara
lain dengan Enzyme Linked Immunoassat (ELISA),
Enzyme Multiplied Immunoassay Technique (EMIT),
Fluoroscence Polarization Immuniassay (FPIA),
Cloned Enzyme-Donor Immunoassay (CEDIA), dan
Radio Immunoassay (RIA). 7
2. Thin Layer Chromatography (TLC)
Metode ini adalah metode analitik yang relatif murah
dan meudah pengerjaanya. Metode ini menggunakan
prinsip spektrofotodensitometri analit yang dapat
dideteksi spektrumnya. 7
− Uji Konfirmasi
Uji ini bertujuan untuk memastikan identitas analit dan
menetapkan kadarnya. Teknik yang dapat digunakan
antara lain: Gas Chromatography Mass Spectrometry
(GC-MS), High Performance Liquid Chromatography
(HPLC) dan Liquid Chromatography Mass
Spectrofotometry (LC-MS). 7

b) Pemeriksaan pada korban meninggal7


Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan:
 Bekas-bekas suntikan
 Pembesaran kelenjar getah bening akibat pemakaian kroonis
suntikan yang tidak steril.
 Lepuh kulit (skin blister), biasanya terdapat pada kasus
kematian karena suntikan dalam jumlah besar atau pada
keracunan CO dan barbiturat

36
 Kelainan lain seperti tanda tanda afiksia dan perforasi septum
nasi pada pemakaian narkotika dengan cara sniffing7
Pada pemeriksaan otopsi didapatkan7
 Kelainan paru akut berupa edema dan kongesti pada
perubahan awal (3 jam) atau narkotik lungs pada 3-12 jam.
Perubahan lanjut dapat menunjukkan gambara pneumnia
lobularis difus, penampang tampak berwarna coklat
kemerahan, pada seperti daging dan menunjukkan gambaran
granuler.
 Kelainan paru kronik berupa granulomatosis vaskular paru
sebagai manifestasi reaksi jaringan terhadap talk yang
digunakan sebagai bahan pencampur. Pada mikroskopis
tampak gambaran kristal.
 Kelainan hati dapat berupa akumulasi sel radang. Derajat
kelainannya tergantung lamanya pakai narkotika. Pada
pemeriksaan mikroskopik juga ditemukan fibrosis ringan dan
proliferasi sel sel duktus biliaris. 7

37
BAB III
KESIMPULAN

Toksikologi merupakan ilmu yang sangat luas yang mencakup berbagai


disiplin ilmu yang sudah ada seperti ilmu kimia, farmakologi, biokimia, forensik
dan lain-lain.Racun adalah suatu substansi yang dapat mengganggu keseimbangan
fisiologis sehingga mengganggu kesehatan bila terserap kedalam tubuh.4
Kasus kematian yang disebabkan oleh racun dapat dikelompokkan dalam
kecelakaan/kematian tidak sengaja, penyalahgunaan obat-obatan, bunuh diri
dengan racun, dan pembunuhan menggunakan racun.3
Bunuh diri adalah usaha seseorang untuk menyakiti dirinya sendiri dengan
tujuan untuk meniadakan atau menghilangkan nyawanya sendiri, hal ini biasanya
dilakukan atas dasar motivasi-motivasi tertentu seperti menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi. Meracuni diri merupakan usaha bunuh diri dengan
tujuan menarik perhatian. Penderita biasanya menelan racun dalam dosis besar
untuk membahayakan dirinya.5
Penelitian ini meneliti tentang peracunan diri terkait kematian bunuh diri
diTeheran, Iran dengan masa studi 5 tahun. Kunci temuan dari penelitian ini
adalah kematian diri akibat keracunan yang disengaja di Teheran, Iran ini di
dominasi oleh usia muda dan laki-laki. Jumlah total kematian peracunan diri
adalah 674 dengan didominasi laki-laki. Kematian akibat meracuni diri yang
tertinggi terjadi pada usia21-30 tahun berdasarkan kategori usia. Adapun
penduduk dengan persentase tertinggi untuk bunuh diri terdapat pada subyek
menganggur. Penelitian ini menemukan bukti bahwa terdapat hubungan antara
status pekerjaan dan kematian akibat meracuni diri sendiri. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa tingkat kematian meracuni diri sendiri lebih tinggi di antara
orang-orang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi.9
Kehadiran obat dan racun dalam spesimen postmortem membenarkan
peracunan diri atau gangguan perilaku di bawah pengaruh obat-obatan. Obat-
obatan terlarang ditentukan dalam beberapa kasus dalam pola penyalahgunaan
banyak substansi (7,4% dari 674 kasus). Metamfetamin terdeteksi dalam sampel
postmortem dari 21 kasus dan dalam beberapa kasus dalam bentuk kombinasi

38
dengan alkaloid opium, etanol dan metadon. Dalam penelitian ini sepuluh kasus
menunjukkan hasil positif untuk etanol di atas 35 mg / dL pada darah dan sampel
pada humor vitreous. Hasil analisis toksikologi menunjukan bahwa 50 objek
adalah pelaku polysubstance dan penyebab kematian ditentukan sebagai
keracunan yang disengaja. Penggunaan narkoba adalah salah satu yang paling
banyak digunakan untuk bunuh diri di Iran.Penyebab kematian dari 25 kasus
keracunan yang disengaja dengan organofosfat. Penggunaan senyawa
organofosfat dengan maksud bunuh diri adalah umum di negara-negara
berkembang dengan basis pertanian. Sianida terdeteksi dalam sampel postmortem
dengan alkaloid opium di lima kasus.9
Kematian bunuh diri dengan meracuni diri sendiri merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang utama. Studi ini menyelidiki kematian bunuh diri
yang meracuni diri sendiri dari sudut toksikologi forensik. Perlu diperhitungkan
bahwa tidak semua upaya bunuh diri menghasilkan kematian, oleh karena itu pola
obat-obatan dan racun yang digunakan sebagai percobaan untuk bunuh diri akan
berbeda dalam kasus klinis dan forensik. Sementara itu, hasil penelitian ini akan
membantu upaya yang lebih baik mengenai pembatasan akses terhadap cara
bunuh diri seperti obat-obatan dan racun terutama tablet dan bubuk aluminium
fosfida.6
Penentuan sikap untuk memilih bunuh diri atau baru ada keberanian untuk
mencoba bunuh diri dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain usia, jenis
kelamin, karakteristik kepribadian dan masalah yang menimbulkan keinginan
untuk melakukan bunuh diri.7

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Heroux P, 2013. Principles of Toxicology. Mc Gill: California.


2. Eckert WG, 1997. Introduction to Forensic Sciences. 2nd Edition.CRC Press:
New York.
3. Gloan DE, 2005. Principles of Pharmaology: The Pathophysiologic Basis of
Drug Therapy. 2nd Edition. Harvard Medical School: Massachusetts.
4. Vij Krishan. 2011. Textbook of Forensic Medicine and Toxicology: Principles
and Practice. 5th Edition. Elsevier: India
5. James J.P. 2011. Simpsons Foresnic Medicine 13th Edition. Hoddar Arnold:
London.
6. Stark MM. 2001. Forensic Medicine A Physician’s Guide. 2nd Edition.
Humana Press: London.
7. Wirasuta IMAG. 2008. Analisis Toksikologi Forensik dan Interpretasi
Temuan Analisis. Indonesian Journal of Legal adn Forensics Sciences: Jakarta
8. Millo T, Jaiswa AK, Behera C. Collection, Preservation and Forwarding of
Biological Samples for Toxicological Analysis in Medicolegal Autopsy Cases:
A Review. J Indian Acad Forensic Med, 30(2).
9. Kordrostami Roya, et al. Forensic Toxicology Analysis Of Selfpoisoning
Suicidal Deaths In Tehran, Iran;Trends Between 2011-2015; pp: 1–10

40

Вам также может понравиться