Вы находитесь на странице: 1из 30

Case Report Session

HIPERBILIRUBINEMIA

OLEH
Erix Firmando
1210313081

PRESEPTOR:
DR. dr. Eva Chundrayetti, Sp. A(K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL PADANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering


ditemukan pada bayi baru lahir dan menyebabkan bayi terlihat berwarna kuning,
keadaan ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin (4Z, 15Z bilirubin IX alpha)
yang berwarna ikterus pada sklera dan kulit. Isomer bilirubin ini berasal dari
degradasi heme yang merupakan komponen haemoglobin mamalia. Pada masa
transisi setelah lahir, hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga proses
glukuronidasi bilirubin tidak terjadi secara maksimal. Keadaan ini akan menyebabkan
dominasi bilirubin tak terkonjugasi di dalam darah. Pada kebanyakan bayi baru lahir,
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan fenomena transisional yang normal,
tetapi pada beberapa bayi, terjadi peningkatan bilirubin secara berlebihan sehingga
bilirubin berpotensi menjadi toksik dan dapat menyebabkan kematian dan bila bayi
tersebut dapat bertahan hidup pada jangka panjang akan menimbulkan sekuele
neurologis. Dengan demikian, setiap bayi yang mengalami kuning, harus dibedakan
apakah ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis serta
dimonitor apakah mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi
hiperbilirubinemia yang berat.
Di Amerika Serikat, sebanyak 65 % bayi baru lahir menderita ikterus dalam
minggu pertama kehidupannya. Di Malaysia, hasil survei pada tahun 1998 di rumah
sakit pemerintah dan pusat kesehatan di bawah Departemen Kesehatan mendapatkan
75% bayi baru lahir menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya. Di
Indonesia, insidens ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan di beberapa RS
pendidikan antara lain RSCM, RS Dr. Sardjito, RS Dr. Soetomo, RS Dr. Kariadi
bervariasi dari 13,7% hingga 85%.
Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada
sebagian besar neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama
kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi
cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan. Oleh karena itu, setiap bayi dengan ikterus

2
harus mendapatkan perhatian, terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam
pertama kehidupan bayi atau bila kadar bilirubin meningkat > 5 mg/dL (> 86μmol/L)
dalam 24 jam. Proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih
dari 1 minggu serta bilirubin direk >1 mg/dL juga merupakan keadaan yang
menunjukkan kemungkinan adanya ikterus patologis. Dalam keadaan tersebut
penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus
dapat dihindarkan.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
1.1.1 Ikterus neonatorum
Ikterus (‘Jaundice’) neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi baru lahir
yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit, sklera dan mukosa akibat akumulasi
bilirubin tak terkonjugasi yang berlebihan. Ikterus secara klinis akan mulai tampak
pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah >5 mg/dL atau disebut dengan
hiperbilirubinemia. 1,2
1.1.2 Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin 2
standar deviasi atau lebih kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih
dari persentil 90. Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kadar bilirubin serum total
>5 mg/dl (86 μmol/L). Biasanya istilah hiperbilirubinemia dipakai untuk ikterus
neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar
serum bilirubin. Hiperbilirubinemia bisa disebabkan proses fisiologis atau patologis
atau kombinasi keduanya.1,2
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering
ditemukan pada bayi baru lahir yang dapat disebabkan oleh proses fisiologis atau
patologis atau kombinasi keduanya. Hiperbilirubinemia yang signifikan dalam 36 jam
pertama biasanya disebabkan oleh peningkatan produksi bilirubin (terutama karena
hemolisis) karena pada periode ini hepatic clearance jarang memproduksi bilirubin
lebih dari 10 mg/dL. Peningkatan penghancuran hemoglobin 1% akan meningkatkan
kadar bilirubin empat kali lipat. Sebagian besar hiperbilirubinemia adalah fisiologis
dan tidak membutuhkan terapi khusus, tetapi karena potensi toksik dari bilirubin
maka semua neonatus harus dipantau untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya
hiperbilirubinemia berat. 2,3

1.1.3 Metabolisme Bilirubin

4
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan
bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi –
reduksi. 1,7
Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang di bentuk dari heme
dengan bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar
terdapat dalam sel hati, dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terdapat besi yang
digunakan kembali untuk pembentukan haemoglobin dan karbon monoksida yang
dieksresikan ke dalam paru. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin
oleh enzim biliverdin reduktase. Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat
akan dirubah menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan
biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hydrogen serta pada pH
normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan mengeksresikan, diperlukan mekanisme
transport dan eliminasi bilirubin. 1,7

Gambar 1. Metabolisme Bilirubin


Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan
orang dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi
baru lahir disebabkan oleh masa hidup eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari)
dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn

5
over sitokrom yang meningkat dan juga reabsorpsi bilirubin dari usus yang meningkat
(sirkulasi enterohepatik). 1,7
1. Transportasi Bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di system retikulo endothelial, selanjutnya
dilapaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir
mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena
konsentrasi albumin yang rendahdan kapasitas ikatan molar yang kurang.Bilirubin
yang terikat pada albumin serum ini merupakan zat non polar dan tidak larut dalam
air dan kemudian akan di transportasi kedalam sel hepar. Bilirubin yang terikat
dengan albumin tidak dapat memasuki susuna syaraf pusat dan bersifat nontoksik.
Selain itu albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat –
obatan yang bersifat asam seperti penicillin dan sulfonamide. Obat – obat tersebut
akan menempati tempat utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga bersifat
competitor serta dapat pula melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin.
Obat – obat yang dapat melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin:
 Analgetik, antipiretik ( Natrium salisilat, fenilbutazon )
 Antiseptik, desinfektan ( metal, isopropyl )
 Antibiotik dengan kandungan sulfa ( Sulfadiazin, sulfamethizole,
sulfamoxazole )
 Penicilin ( propicilin, cloxacillin )
 Lain – lain ( novabiosin, triptophan, asam mendelik, kontras x – ray ).

Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda, yaitu:


1) Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk
sebagian besar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum.
2) Bilirubin bebas
3) Bilirubin terkonjugasi yaitu bilirubin yang siap dieksresikan melalui ginjal.
4) Bilirubin terkonjugasi yang terikat denga albumin serum.

6
2. Asupan Bilirubin
Pada saat kompleks bilirubin – albumin mencapai membrane plasma
hepatosit, albumin terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, di transfer
melalui sel membran yang berikatan dengan ligandin ( protein y ), mungkin juga
dengan protein ikatan sitosilik lainnya.
3. Konjugasi Bilirubin
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan kebentuk bilirubin konjugasi yang
larut dalam air di reticulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphospate
glukuronosyl transferase (UDPG – T). Katalisa oleh enzim ini akan merubah formasi
menjadi bilirubin monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi
bilirubin diglukoronida. Bilirubin ini kemudian dieksresikan kedalam kalanikulus
empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke
reticulum endoplasmic untuk rekonjugasi berikutnya.
4. Eksresi Bilirubin
Setelah mengalami proses konjugasi , bilirubin akan dieksresikan kedalam
kandung empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan di eksresikan melalui feses.
Setelah berada dalam usus halus bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat
diresorbsi, kecuali jika dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh
enzim beta – glukoronidase yang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari
saluran cerna dan kembali ke hati untuk di konjugasi kembali disebut sirkulasi
enterohepatik.
Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa, yaitu pada
mukosa usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim β-glukoronidase
yang dapat menghidrolisa monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi
bilirubin yang tak terkonjugasi yang selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu
pada bayi baru lahir, lumen usus halusnya steril sehingga bilirubin konjugasi tidak
dapat dirubah menjadi sterkobilin (suatu produk yang tidak dapat diabsorbsi).
Kecepatan produksi bilirubin adalah 6-8 mg/kgBB per 24 jam pada neonatus
cukup bulan sehat dan 3-4 mg/kgBB per 24 jam pada orang dewasa sehat. Sekitar 80
% bilirubin yang diproduksi tiap hari berasal dari hemoglobin. Bayi memproduksi

7
bilirubin lebih besar per kilogram berat badan karena massa eritrosit lebih besar dan
umur eritrositnya lebih pendek.
Pada sebagian besar kasus, lebih dari satu mekanisme terlibat, misalnya
kelebihan bilirubin akibat hemolisis dapat menyebabkan kerusakan sel hati atau
kerusakan duktus biliaris, yang kemudian dapat mengganggu transpor, sekresi dan
ekskresi bilirubin. Di pihak lain, gangguan ekskresi bilirubin dapat menggangu
ambilan dan transpor bilirubin. Selain itu, kerusakan hepatoseluler memperpendek
umur eritrosit, sehngga menmbah hiperbilirubinemia dan gangguan proses ambilan
bilirubin olah hepatosit. 1,7

1.2 Klasifikasi
1.2.1 Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang
(80%) maupun cukup bulan (50-60%) pada minggu pertama kehidupan, dimana
kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama >2 mg/dL. Dalam keadaan
normal, kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum tali pusat adalah sebesar 1-3
mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl/24 jam; dengan
demikian ikterus baru terlihat pada hari ke 2-3, biasanya mencapai puncaknya antara
hari ke 2-4, dengan kadar 5-6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadarnya
lebih rendah dari 2 mg/dl antara lain hari ke 5-7 kehidupan. Ikterus akibat perubahan
ini dinamakan ikterus fisiologis dan untuk kebanyakan bayi fenomena ini ringan dan
dapat membaik tanpa pengobatan, hal ini terjadi akibat hancurnya sel darah merah
janin yang disertai pembatasan sementara pada konjugasi dan ekskresi bilirubin oleh
hati.1
Pada bayi prematur, kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau sedikit lebih
lambat daripada pada bayi aterm, tetapi berlangsung lebih lama, pada umumnya
mengakibatkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai antara hari ke 4-7, pola
yang akan diperlihatkan bergantung pada waktu yang diperlukan oleh bayi preterm
mencapai pematangan mekanisme metabolisme ekskresi bilirubin. Kadar puncak
sebesar 8-12 mg/dl tidak dicapai sebelum hari ke 5-7 dan kadang-kadang ikterus

8
ditemukan setelah hari ke-10. Peningkatan sampai 10-12 mg/dL masih dalam kisaran
fisiologis, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan metabolisme bilirubin,
kadar tersebut tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi
menjadi “kernikterus” dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.1,
Diagnosis ikterus fisiologik pada bayi aterm atau preterm, dapat ditegakkan
dengan menyingkirkan penyebab ikterus berdasarkan anamnesis dan penemuan klinik
dan laboratorium. Pada umumnya untuk menentukan penyebab ikterus jika :
1. Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
2. Bilirubin serum meningkat dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl/24 jam.
3. Kadar bilirubin serum lebih besar dari 12 mg/dl pada bayi aterm dan lebih
besar dari 14 mg/dl pada bayi preterm.
4. Ikterus persisten sampai melewati minggu pertama kehidupan, atau
5. Bilirubin direk lebih besar dari 1 mg/dl.
1.2.2 Ikterus non fisiologis
Dulu disebut dengan ikterus patologis tidak mudah dibedakan dari ikterus
fisiologis dan mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu
nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Ikterus non fisiologis mungkin merupakan
petunjuk penting untuk diagnosis awal dari banyak penyakit neonatus, walaupun
kadar bilirubin masih dalam batas-batas fisiologis, tetapi klinis mulai terdapat tanda-
tanda kernikterus maka keadaan ini disebut ikterus non fisiologi. Ikterus non
fisiologis timbul dalam 36 jam pertama kehidupan biasanya disebabkan oleh
kelebihan produksi bilirubin, karena klirens bilirubin yang lambat jarang
menyebabkan peningkatan konsentrasi diatas 10 mg/dl pada umur ini. 1,4
Ada beberapa keadaan ikterus yang cenderung menjadi patologik:
1. Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam
2. Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi
3. Peningkatan kadar bilirubin total serum >0.5 mg/dL/jam
4. Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi
(muntah,letargis, malas menetek, penurunan berat badan bayi yang
cepat, apnea, takipnea atau suhu yang tidak stabil)

9
5. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14
hari pada bayi kurang bulan.
6. Ikterus yang disertai:
- Berat lahir < 2.000 g
- Masa gestasi < 36 minggu
- Asfiksia, hipoksia, sindroma gawat nafas pada neonatus
- Infeksi
- Trauma lahir pada kepala
- Hipoglikemia, hiperkarbia
1.2.3 Kernikterus
Kernikterus adalah perubahan neuropatologi yang ditandai oleh deposisi
pigmen bilirubin indirek/tak terkonjugasi pada beberapa daerah di otak terutama di
ganglia basalis, pons dan serebelum. Kern Ikterus adalah istilah yang digunakan
untuk keadaan klinis kronik dengan sekuele yang permanen karena toksik bilirubin.1
1.3 Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat
dibagi :4,5,6
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada
hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah
lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat
asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase
(sindrom criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y
dalam hepar yang berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar.
Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya
bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.

10
4. Gangguan dalam ekskresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar.
Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi
dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
1.4 Faktor resiko
Faktor resiko timbulnya ikterus neonatorum: 1
a. Faktor Maternal
- Ras atau kelompok etnik tertentu ( Asia, Native American, Yunani)
- Komplikasi kehamilan ( DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
- Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik, ASI
b. Faktor Perinatal
- Trauma lahir (sefalhematom,ekimosis)
- Infeksi (bakteri,virus,protozoa)
c. Faktor Neonatus
- Prematuritas
- Faktor genetik
- Polisitemia
- Obat ( streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
- Rendahnya asupan ASI
- Hipoglikemia
- Hipoalbuminemia
1.5 Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin
pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit
janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan
sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan
kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang atau
pada keadaan protein Y dan protein Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi
dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan
peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar
(defisiensi enzim glukoranil transferase) atau bayi yang menderita gangguan ekskresi,

11
misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra
hepatik.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan
tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar
larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek
patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak.
Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris.
Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada susunan saraf pusat tersebut mungkin
akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya
bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya
kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin
indirek akan mudah melalui sawar daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan
imaturitas, berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan
susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.1,7
1.6 Manifestasi Klinis
Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar matahari. Bayi
baru lahir (BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6 mg/dl
atau 100 mikro mol/L (1 mg mg/dl = 17,1 mikro mol/L). salah satu cara pemeriksaan
derajat kuning pada BBL secara klinis, sederhana dan mudah adalah dengan penilaian
menurut Kramer.
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual,
sebagai berikut :
- Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup ( disiang hari dengan
cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan
pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
-
Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah
kulit dan jaringan subkutan.
-
Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang
tampak kuning.7,8

12
Gambar 2. Pembagian ikterus menurut Kramer
Tabel 1. Hubungan kadar bilirubin (mg/dL) dengan daerah hiperbilirubinemia menurut Kramer.

Kadar bilirubin
Daerah
Penjelasan (mg/dL)
hiperbilirubinemia
Prematur Aterm
1 Kepala dan leher 4–8 4–8
2 Dada sampai pusat 5 – 12 5 – 12
3 Pusat bagian bawah sampai lutut 7 – 15 8 – 16
4 Lutut sampai pergelangan kaki dan bahu 9 – 18 11 – 18
sampai pergelangan tangan
5 Kaki dan tangan termasuk telapak kaki dan > 10 > 15
telapak tangan

Tabel 2. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus


Usia Kuning terlihat pada Tingkat keparahan
ikterus
Hari 1 Bagian tubuh Berat
manapun
Hari 2 Lengan dan tungkai

Hari ke 3 dan Tangan dan kaki


seterusnya

Bila kuning terlihat pada bagian tubuh mananpun pada hari pertama dan
terlihat pada lengan, tungkai tangan dan kaki pada hari kedua maka digolongankan

13
sebagai ikterus sangat berat dan memerlukan terapi sinar secepatmya. Tidak perlu
menunggu hasil pemeriksaan kadar bilurbin serum untuk memulai terapi sinar.
1.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis
ikterus neonatorum serta untuk menentukkan perlunya intervensi lebih lanjut. Namun
pada bayi yang mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera mungkin,
jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar
serumbilirubin. ‘Transcutaneous bilirubin (TcB)’ dapat digunakan untuk menentukan
kadar serum bilirubin total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini
hanya valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257 μmol/L), dan tidak
‘reliable’ pada kasus ikterus yang sedang mendapat terapi sinar.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan :4
a. pemeriksaan bilirubin (total, direk dan indirek) berkala
Penyebab ikterus yang tergolong pre-hepatik akan menyebabkan peningkatan
bilirubin indirek. Kelainan intrahepatik dapat berakibat hiperbilirubin indirek
maupun direk. Kelainan posthepatik dapat meningkatkan bilirubin direk.
b. pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan darah dilakukan unutk mengetahui adanya suatu anemia dan juga
keadaan infeksi.
c. pemeriksaan penyaring G6PD
d. Urin
Tes yang sederhana yang dapat kita lakukan adalah melihat warna urin dan
menentukan apakah terdapat bilirubin di dalam urin atau tidak.
e. Aminotransferase dan alkali fosfatase
f. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar
ataukah tranfusi tukar.
1.8 Diagnosis
Berbagai faktor resiko dapat meningkatkan kejadian hiperbilirubinemia yang
berat. Perlu penilaian pada bayi baru lahir terhadap berbagai faktor resiko, terutama
untuk bayi-bayi yang pulang lebih awal. 7

14
Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis ikterus pada bayi. Termasuk dalam hal ini anamnesis
mengenai riwayat inkompatabilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar
pada bayi sebelumnya. Disamping itu faktor risiko kehamilan (obat-obatan, ibu DM,
gawat janin, malnutrisi intrauterine, infeksi intranatal), persalinan dengan
tindakan/komplikasi, riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan
limpa juga berperan dalam diagnosis dini ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi.7
Tampilan ikterus harus dapat ditentukan dengan memeriksa bayi dalam
ruangan pencahayaan yang baik dan menekan kulit dengan tekanan ringan untuk
melihat warna kulit dan jaringan subkutan dan pemeriksaan fisik harus difokuskan
pada identifikasi dari salah satu penyebab ikterus patologis. Kondisi bayi harus
diperiksa apakah ada pucat, petekie, ektravasasi darah, memar kulit yang berlebihan,
hepatosplenomegali, kehilangan berat badan dan bukti adanya dehidrasi.
Pendekatan menentukan kemungkinan penyebab
Menetapkan penyebab ikterik tidak selamanya mudah dan membutuhkan
pemeriksaan yang banyak dan mahal. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti yang
penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya
ikterus mempunyai kaitan yang erat dengan kemungkinan penyebab ikterus
tersebut,sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus untuk dapat memperkirakan
penyebabnya yaitu :
A. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama
Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya
kemungkinan dapat disusun sebagai berikut :
1. Inkompatibilitas darah Th,ABO atau golongan lain
2. Infeksi intrauterin (rubela, penyakit sitomegali, toksoplasmosis, atau
sepsis bakterial)
3. Defisiensi G6PD
B. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir
1. Biasanya ikterus fisiologis

15
2. Inkompatibilitas darah ABO atau Rh atau golongan lain. Hal ini dapat
diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg
%/24 jam.
3. Defisiensi enzin G6PD juga mungkin
4. Polisitemia
5. Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subapneurosis, pendarahan
subkapsuler dan lainnya)
6. Hipoksia
7. Srerositosis, elipsitosis, dan lain-lain.
8. Dehidrasi asidosis
9. Defisiensi enzim eritrosit lainnya.
1.9 Komplikasi
Komplikasi yang ditakuti dari hiperbilirubinemia adalah kern icterus. Kern
icterus atau ensefalopati bilirubin adalah sindrom neurologis yang disebabkan oleh
deposisi bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin tidak langsung atau bilirubin indirek)
di basal ganglia dan nukleus batang otak. Patogenesis kern icterus bersifat
multifaktorial dan melibatkan interaksi antara kadar bilirubin indirek, pengikatan oleh
albumin, kadar bilirubin yang tidak terikat, kemungkinan melewati sawar darah otak,
dan suseptibilitas saraf terhadap cedera. Kerusakan sawar darah otak, asfiksia, dan
perubahan permeabilitas sawar darah otak mempengaruhi risiko terjadinya kern
icterus.6,9.
Gambaran klinis kern icterus antara lain :9
1) Bentuk akut :
a. Fase 1(hari 1-2) : tidak kuat menyusui, stupor, hipotonia, kejang.
b. Fase 2 (pertengahan minggu I) : hipertoni otot ekstensor, opistotonus,
retrocollis, demam.
c. Fase 3 (setelah minggu I) : hipertoni.
2) Bentuk kronis :
a. Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory tonic
neck reflexes, keterampilan motorik yang terlambat.

16
b. Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis,
ballismus, tremor), gangguan pendengaran.
Oleh karena itu terhadap bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu
dilakukan tindak lanjut sebagai berikut: 2
1. Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan
2. Penilaian berkala pendengaran
3. Fisioterapi dan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa
1.10 Penatalaksaan
Berbagai cara telah dilakukan untuk mengelola bayi baru lahir dengan
hiperbilirubinemia indirek. Strategi tersebut termasuk: pencegahan, penggunaan
farmakologi, fototerapi, dan transfusi tukar.9
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk
mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menimbulkan kern-ikterus/ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab langsung
ikterus tadi. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan mengusahakan agar
konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan
merangsang terbentuknya glukoronil transferase dengan pemberian obat-obatan
(luminal). Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma
atau albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi
sinar atau transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan
kenaikan kadar bilirubin. Dikemukakan pula bahwa obat-obatan (IVIG : Intra Venous
Immuno Globulin dan Metalloporphyrins) dipakai dengan maksud menghambat
hemolisis, meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin.1,5
a. Memberikan substrat yang kurang toksik untuk transportasi atau konjugasi
Contohnya ialah pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas.
Albumin dapat diganti dengan plasma dengan dosis 15-20 mg/kgBB. Albumin
biasanya diberikan sebelum transfusi tukar dikerjakan oleh karena albumin akan
mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin
yang diikatnya lebih mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar. Glukosa perlu
diberikan untuk konyugasi hepar sebagai sumber energi.

17
b. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi 8,9
Indikasi terapi sinar adalah:
1. Bayi kurang bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar bilirubin >10
mg/dL.
2. Bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin >15 mg/dL.
Gambar 2. Kurva fototerapi berdasarkan America Association of Pediatry4
Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus-menerus, istirahat 12 jam, bila
perlu dapat diberikan dosis kedua selama 24 jam. Foto terapi intensif adalah
fototerapi yang menggunakan sinar blue-green spectrum ( panjang gelombang 430-
490 nm) dengan kekuatan paling kurang 30 uW/cm 2. Bila bilirubin tidak menurun
atau cenderung naik pada bayi-bayi yang mendapat fototerapi.
c. Transfusi Tukar
Transefer tukar pada umumnya dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:8
a. Kadar bilirubin tidak langsung >20 mg/dL
b. Kadar bilirubin tali pusat > 4 mg/dL dan Hb <10 mg/dL
c. Peningkatan bilirubin >1 mg/dL

Terapi Sinar Tranfusi Tukar


Usia Bayi Sehat Faktor Resiko Bayi Sehat Faktor resiko
mg/dL mmol/L mg/dL mmol/L mg/dL mmol/L mg/dL mmol/L
Hari 1
Setiap ikterus yang terlihat 15 260 13 220
Hari 2 15 260 13 220 19 330 15 260
Hari 3 18 310 16 270 30 510 20 340
Hari 4 dst 20 340 17 290 30 510 20 340
Tabel 3. Penanganan Bilirubinemia Berdasarkan Kadar Bilirubin Serum 8

18
Gambar 4. Panduan transfusi tukar untuk bayi dengan usia gestasi > 35 minggu.
Sumber dimodifikasi dari AAP. Management of hyperbiilirubinemia in the newborn infant 35 or more
weeks of gestation. Pediatrics. 2004;114:297-316.
Keterangan:

Transfusi tukar segera direkomendasikan untuk bayi yang menunjukkan tanda
ensefalopati bilirubin akut (hipertoni, arching, retrocollis, opistotonus,
demam, high pitched cry suhu, sepsis, asidosis.

Periksa albumin serum dan hitung rasio bilirubin/albumin.

Bilirubin yang digunakan adalah bilirubin serum total.9

d. Terapi suportif, antara lain : 8


a. Minum ASI atau pemberian ASI peras.
b. Infus cairan dengan dosis rumatan.
1.11 Pencegahan
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan laju peningkatannya dengan : 1,9
1) Pencegahan primer
- Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali perhari
- Tidak memberikan cairan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang
mendapatkan ASI dan tidak mengalami dehidrasi
2) Pencegahan skunder
- Melakukan penilaian sistematis terhadap resiko kemungkinan terjadinya
ikterus atau hiperbilirubinemia berat selama periode neonatal yaitu :

19
 Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus
serta penyaringan serum untuk antibodi isoimun yang tidak biasa
- Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap
timbulnya ikterus dan menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang
harus dinilai saat pemeriksaan tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari 8-12
jam
3) Evaluasi laboratorium
- Pengukuran bilirubin transkutan dan atau bilirubin serum total harus
dilakukan pada setiap bayi yang mengalami ikterus dalam 24 jam pertama
setelah lahir. Penentuan waktu dan perlunya pengukuran ulang bilirubin
transkutan atau bilirubin serum total tergantung pada daerah dimana kadar
bilirubin serum total terletak, umur bayi dan evolusi hiperbiliruinemia.
- Pengukuran bilirubin transkutan dan atau bilirubin serum total harus
dilakukan bila tampak ikterus yang berlebihan, jika derajat ikterus meragukan
dan pada kulit hitam oleh karena pemeriksaan derajat ikterus secara visual
sering sekali salah.

4) Penyebab
- Memikirkan kemungkinan penyebab ikterus pada bayi yang menerima
fototerapi atau bilirubin serum total meningkat cepat dan tidak dapat
dijelaskan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis.
 Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus
dilakukan analisis dan kultur urin. Pemeriksaan laboratorium tambahan
untuk mengevaluasi sepsis harus dilakukan bila terdapat indikasi
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis.
 Bayi sakit dan ikterus pada atau umur lebih 3 minggu harus dilakukan
pemeriksaan bilirubin total dan direk atau bilirubin konjugasi untuk
mengindentifikasi adanya kolestasis. Juga dilakukan penyaringan
terhadap tiroid dan galaktosemia.
 Pemeriksaan terhadap G6PD direkomendasikan untuk bayi ikterus
yang mendapat fototerapi dan dengan riwayat keluarga atau etnis/asal

20
geografis yang menunjukkan kecenderungan defisiensi G6PD atau pada
bayi dengan respon terhadap fototerapi yang buruk.
5) Penilaian resiko sebelum bayi dipulangkan
- Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai terhadap resiko
berkembangnya hiperbilirubinemia berat dan semua perawatan harus
menetapkan protokol untuk menilai resiko ini. Penilaian ini sangat penting
pada bayi yang pulang sebelum umur 72 jam.
 Ada dua pilihan rekomendasi klinis yaitu : pengukuran kadar
bilirubin transkutaneus atau kadar bilirubin serum total sebelum
keluar RS, secara individual atau kombinasi untuk pengukuran yang
sistematis terhadap resiko
 Penilaian faktor resiko klinis.
6) Kebijakan dan prosedur rumah sakit
Harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orangtua saat keluar
dari RS, termasuk penjelasan tentang kuning, perlunya monitoring terhadap
kuning dan anjuran bagaimana monitoring harus dilakukan
 Tindak lanjut : Semua bayi harus diperiksa oleh petugas kesehatan
profesional yang berkualitas beberapa hari setelah keluar RS untuk
menilai keadaan bayi dan ada tidaknya kuning. Waktu dan tempat
untuk melakukan penilaian ditentukkan berdasarkan lamanya
perawatan, ada atau tidaknya faktor resiko untuk hiperbilirubinemia
dan resiko masalah neonatal lainnya.
 Saat tindak lanjut : berdasarkan tabel dibawah ini
Tabel 4. Saat tindak lanjut9
Bayi keluar RS Harus dilihat saat umur
Sebelum umur 24 jam 72 jam
Antara umur 24 dan 72 jam 96 jam
Antara umur 48 dan 72 jam 120 Jam

Selain itu pencegahan juga dilakukan dengan cara:


a. Pengawasan antenatal yang baik

21
b. Menghindari obat yang dapat meningkatkan hiperbilirubinemia pada bayi
pada masa kehamilan dan kelahiran, mislnya sulfafurazol, novobiotin,
oksitosin, dan lain-lain.
c. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus
d. Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir
e. Pemberian makanan yang dini
f.Pencegahan infeksi
g. Pemberian ASI eksklusif
Monitoring
Monitoring yang dilakukan antara lain :
1. Bilirubin dapat menghilang dengan cepat dengan terapi sinar. Warna kulit
tidak dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar bilirubin
serum selama bayi mendapat terapi sinar dan selama 24 jam setelah
dihentikan.
2. Pulangkan bayi bila terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum
dengan baik, atau bila sudah tidak ditemukan masalah yang membutuhkan
perawatan di RS.8,9
1.12 Prognosis
Ikterus baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui
sawar darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita kernikterus atau
ensefalopati biliaris. Gejala ensefalopati biliaris ini dapat segera terlihat pada masa
neonatus atau baru tampak setelah beberapa lama kemudian. Pada masa neonatus
gejala mungkin sangat ringan dan hanya memperlihatkan gangguan minum, latergi
dan hipotonia. Selanjutnya bayi mungkin kejang, spastik dan ditemukan epistotonus.
Pada stadium lanjut mungkin didapatkan adanya atetosis disertai gangguan
pendengaran dan retardasi mental di hari kemudian. Dengan memperhatikan hal di
atas, maka sebaiknya pada semua penderita hiperbilirubinemia dilakukan
pemeriksaan berkala, baik dalam hal pertumbuhan fisis dan motorik, ataupun
perkembangan mental serta ketajaman pendengarannya.7

22
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas pasien
Nama : by. LN
Usia : 1 hari
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 15 Maret 2018
Tanggal Periksa : 19 Maret 2018
Identitas Orang Tua
Nama : Ayah : Tn. M
Ibu : Ny. LN
Umur : Ayah : 37 tahun.
Ibu : 36 tahun.
Pendidikan terakhir : Ayah : SD
Ibu : SMK
Pekerjaan : Ayah : Buruh
Ibu : Ibu Rumah Tangga.
Alamat : Gunung Pangilun, Kota Padang
Aloanamnesis: diberikan oleh ibu kandung
Neonatus, laki-laki, usia 1 hari, telah dirawat di bagian perinatologi RSUP DR.
M. DJAMIL Padang, dengan
Keluhan utama : NBLL 3.400 gr
Riwayat penyakit sekarang:
 NBBLC 3.400 gr, panjang badan 48 cm, lahir section caesaria atas indikasi
ibu plasenta previa suspek akreta + anemia sedang, skor apgar 8/9 , sisa
ketuban jernih, keadaan ibu baik.
 Tidak ada merintih, sesak napas, kejang, demam, muntah, dan kebiruan.
 Perdarahan tidak ada.
 Injeksi vitamin K sudah diberikan
 Buang air kecil jumlah dan warna biasa
 Mekonium belum keluar.

23
 Riwayat ibu demam dan keputihan selama kehamilan dan menjelang
persalinan tidak ada.
 Riwayat nyeri buang air kecil selama kehamilan dan menjelang persalinan
tidak ada.
 Riwayat ibu konsumsi obat-obatan, jamu-jamuan, merokok, dan minum
alkohol, selama kehamilan dan menjelang persalinan tidak ada.
 Ibu golongan darah B dan ayah golongan darah B.

Riwayat Obstetri :
 G3P1A1H1
 Presentasi bayi : kepala
 Penyakit selama kehamilan : tidak ada
 Pemeriksaan kehamilan : ada, di bidan dan dokter kandungan
 Tindakan selama kehamilan : tidak ada
 Kebiasaan ibu selama kehamilan : tidak merokok / minum alkohol / jamu-
jamuan /obat-obatan
 Lama hamil : HPHT : Maret 2017
TM : 37-38 minggu
Kesan : cukup bulan
Pemeriksaan Fisik
Keadaan : cukup aktif
Suhu : 37,00C
Nadi : 150 x/menit
Nafas : 46 x/menit
BB : 3.400 gram (BMK)
TB : 48 cm
Anemia : tidak ada
Edema : tidak ada
Ikterik : tidak ada
Sianosis : tidak ada
Kepala : Bulat, simetris, LK : 36 cm

24
UUB : 2,5 x 2,5 cm ; UUK : 0,5 x 0,5cm
Jejas persalinan : tidak ada
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil hitam bulat
diameter 2mm/2mm, tidak ada katarak congenital.
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Telinga: Tidak ditemukan kelainan
Hidung : Nafas cuping hidung tidak ada
Mulut : Sianosis sirkum oral tidak ada, mukosa bibir dan mulut basah
Leher : Tidak ditemukan kelainan
Toraks bentuk : normochest, simetris, retraksi tidak ada.
Jantung : irama teratur, bising tidak terdengar
Paru : bronchovesikuler, tidak ada ronki dan wheezing
Abdomen Permukaan : datar
Kondisi : supel, distensi tidak ada.
Hepar : teraba 1/4 - 1/4, pinggir tajam, permukaan rata,
konsistensi kenyal
Lien : tidak teraba
Umbilikus : tidak hiperemis
Genitalia : tidak ditemukan kelainan, desensus testis
Ekstremitas :Atas : akral hangat, CRT <2s, tidak ditemukan kelainan
Bawah : akral hangat, CRT <2s, tidak ditemukan kelainan
Kulit : Teraba hangat,
Anus : Ada
Tulang-tulang : Tidak ditemukan kelainan
Reflek neonatal: Moro (+) Rooting (+) Isap (+) Pegang (+)
Ukuran Lingkar kepala : 36 cm Panjang lengan : 17 cm
Lingkar dada : 34 cm Panjang kaki : 20 cm
Lingkat perut : 31 cm Kepala – simfisis : 30 cm
Simfisis – kaki: 18 cm
Pemeriksaan Penunjang

25
 Hemoglobin : 12,3 g/dL
Diagnosis Kerja
 NBLLC-BMK (3.400gr, gravid 37-38 minggu)
 Hipoglikemia
Pemeriksaan Anjuran
 Cek bilirubin total, I dan II
 Coombs test.
Hasil: (18/03/2018)
 Billirubin Total: 7,3 mg/dl
 Billirubin I : 6,7 mg/dl
 Billirubin II : 0,6 mg/dl
Kesan : Hiperbillirubinemia
 Coombs test :
o Golongan darah pasien O positif
o Golongan darah ibu B positif
o Coombs test Negatif
o ICT Negatif
o DCT Negatif
Diagnosis : NBBLR 3.400 gram
Hiperbilirubinemia ec ?
Tatalaksana
 IVFD D 10% 8,3 cc /jam
FOLLOW UP
1. 16 Maret 2018
S/ Intake peroral, toleransi baik. Tidak demam. Tidak kejang. Tidak ada sesak
napas.
O/ Cukup aktif, HR :132x/menit RR: 40x/menit T: 36,9oC
Kulit : teraba hangat
Mata : konjungtiva tidak anemis. Sklera tidak ikterik
Thorak : cor : irama teratur, bising tidak terdengar
Pulmo : retraksi tidak ada, bronchovesikuler, tidak ada ronki
dan wheezing
Abdomen : distensi tidak ada, bising usus + normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2s
GDS : 76
A/ NBBLC 3.400 gr
Hipoglikemia

26
P/ terapi lanjut
2. 17 Maret 2018
S/ Tidak ada demam, kejang, sesak napas, muntah, dan kebiruan
Intake masuk, toleransi baik. BAK dan BAB biasa.
O/ sakit sedang, kurang aktif,
HR : 133x/menit RR: 42x/menit T: 37,3oC
Kulit : teraba hangat
Mata : konjungtiva tidak anemis. Sklera tidak ikterik
Thorak : cor : irama teratur, bising tidak terdengar
Pulmo: retraksi tidak ada, bronchovesikuler,
tidak ada ronki wheezing
Abdomen: distensi tidak ada, bising usus + normal
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2s
A/ NBBLC 3.400 gr
Hipoglikemia
P/ terapi lanjut
3. 18 Maret 2018
S/ Anak tampak kuning hingga paha, tidak ada demam, kejang, sesak napas,
muntah, dan kebiruan
Intake masuk, toleransi baik. BAK dan BAB biasa.
O/ sakit sedang, cukup aktif,
HR : 120x/menit RR: 28x/menit T: 36,9oC
Kulit : ikterik kramer III
Mata : konjungtiva tidak anemis. Sklera ikterik
Thorak : cor : irama teratur, bising tidak terdengar
Pulmo: retraksi tidak ada, bronchovesikuler,
tidak ada ronki wheezing
Abdomen: distensi tidak ada, bising usus + normal
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2s
GDS : 65 mg/dL
A/ NBBLC 3.400 gr
Hipoglikemia
Hiperbilirubinemia ec ?
P/ Terapi lanjut
Belum butuh Fototerapi
Rencana cek DPL, bilirubin I, bilirubin II, coombs test, retikulosit

27
BAB IV
DISKUSI
Telah diperiksa neonatus, perempuan, berusia 1 hari, MR 01 01 00 40, dirawat
di bagian perinatologi RSUP DR. M. Djamil Padang, masuk pada tanggal 15 Maret
2018 dengan diagnosis NBBLC 3.400 gram.
Keadaan anak selama rawatan baik, hingga hari rawatan ke-3, muncul ikterik
hingga paha. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa timbulnya kuning pada
umur lebih dari 36 jam, hal ini mengindikasikan bahwa jenis ikterik yang dialami
pasien dapat diduga termasuk dalam ikterik fisiologis karena ikterik jenis non
fisiologis terjadi pada anak yang berumur kurang dari 36 jam. Walaupun demikian,
pemeriksaan lebih lanjut dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab
yang mengarah ke ikterus non fisiologis nantinya. Rencana pemeriksaan yang
dilakukan adalah cek bilirubin total, I, II dan coombs test. Coombs test dilakukan
karena adanya kecurigaan penyebab ikterik adalah inkompatibilitas ABO. Hal ini
didasarkan pada onset timbulnya ikterik dan anamnesis golongan darah orang tua
pasien.
Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggan 18 Maret 2018 yang didapatkan
adalah bilirubin total 7,3 mg/dl, bilirubin I 6,7 mg/dl, dan bilirubin II 0,6 mg/dl,
sehingga didapatkan kesan hiperbilirubinemia dengan sikap belum perlu dilakukan
fototerapi. Dari pemeriksaan diketahui golongan darah ibu B, golongan darah ayah B,
dan golongan darah bayi O, kemungkinan kuning disebabkan oleh inkompatibilitas
ABO kecil. Ibu dengan golongan darah B memiliki anti-A dimana antibodi ibu akan
mensensitisasi terjadinya reaksi antigen-antibodi pada anak yang golongan darahnya
A dan AB. Hasil coombs test yang telah dilakukan didapatkan hasil negatif. Dengan
demikian penyebab kuning inkompatibilitas ABO pada pasien ini dapat disingkirkan.
Berdasarkan hasil ini, pasien dikategorikan hiperbilirubinemia fisiologis,
karena muncul dalam waktu lebih dari 36 jam. Terapi yang diberikan kepada pasien
ini adalah IVFD D 10% 8,3 cc/jam karena pada pasien ini terjadi hipoglikemia
berulang. Walaupun demikian, pasien tetap diobservasi ketat dalam penilaian ikterik
dan pemeriksaan bilirubinnya agar apabila terjadi kadar bilirubin yang melebihi

28
15mg/dL atau terdapat tanda-tanda yang mengarah ke hiperbilirubinemia yang non
fisiologis, tatalaksana yang cepat dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi dari
hiperbilirubinemia ini.

29
Daftar Pustaka
1. Kosim Ms, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A. Buku ajar Neonatologi.
Edisi pertama. Cetakan kedua. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010:147-69.
2. Pudjadi, AH. Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED,
et al. Hiperbilirubinemia. Dalam : Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jilid II. Cetakan Pertama. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta. 2011:114-22.
3. Lubis BM, Rasyidah, Syofiani B, Sianturi P, Azlin E, Guslihan DJ. Rasio
Bilirubin Albumin pada Neonatus dengan Hiperbilirubinemia. Sari Pediatri.
Jakarta 2013:14(5): 292-7.
4. Glaser K.L., Jaundice and Hyperbilirubinemia in the Newborn in Pediatrics, in
www.medstudents-pediatrics.htm, 2001; page 1-3. Diakses tanggal 19 maret
2018.
5. Kliegman, Robert M. Neonatal Jaundice And Hyperbilirubinemia Dalam :
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB Editors. Nelson Textbook Of Pediatrics.
17Th Edition. Philadelphia, Pennsylvania : Saunders. 2004.
6. Blackburn ST, penyunting. Bilirubin metabolism. Maternal, fetal & neonatal
physiology, a clinical perspective. Edisi ke-3.Saunders;2007.
7. Etika, R., Harianto, A., Indarso, F., Damanik, Sylviati M. Hiperbilirubinemia
Pada Neonatus. Divisi Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk Unair/Rsu
Dr. Soetomo – Surabaya. 2004.
8. Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan. HTA Indonesia 2004 Tatalaksana
Ikterus Neonatorum. Kementrian kesehatan RI: Jakarta. 2004.
9. American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Hyperbilirubinemia.
Management Of Hyperbilirubinemia In The Newborn Infant 35 Or More Weeks
Of Gestation. Pediatrics; 114;297-316. 2004.

30

Вам также может понравиться