Вы находитесь на странице: 1из 19

Judul Tesis : Nilai-nilai pranata kearifan lokal musik gondang dan tari tor-tor sebagai seni

tradisional dalam upacara pernikahan adat batak toba di Pematang Siantar

Korelasi dengan jurnal yang relevan dengan penelitian:

1. Simangunsong, Emmi. 2013. PERUBAHAN DAN KESINAMBUNGAN TRADISI


GONDANG DAN TORTOR DALAM PESTA ADAT PERKAWINAN PADA
MASYARAKAT BATAK TOBA DI MEDAN.‟ Unpublish M.A. thesis, University Sains
Malaysia, Pulau Pinang, Malaysia.

Penelitian ini membahas mengenai perubahan yang terjadi pada musik Gondang dan juga tari
tor-tor dalam pernikahan pada masyarakat suku Batak Toba. Penelitian ini menguraikan lebih
banyak mengenai perubahan yang terjadi pada musik Gondang sebagai kesenian tradisional
dan tarian tor-tor dalam pernikahan adat. Gondang merupakan suatu tradisi masyarakat Batak
Toba yang masih dipertahankan hingga saat ini. Perkataan gondang berkaitan dengan banyak
aspek. Dalam konsep pemikiran masyarakat Batak Toba, perkataan „musik‟ memberi arti yang
berbeda dengan perkataan gondang. Walaupun perkataan gondang mempunyai persamaan arti
dengan musik, tetapi tujuan menggunakan perkataan musik dengan gondang tidaklah sama.
Perkataan „musik‟ dikaitkan dengan musik modern sedangkan perkataan gondang dikaitkan
dengan musik tradisional. Oleh karena itu, jika dikatakan upacara pesta adat itu diiringi oleh
„musik‟, maksudnya adalah iringan musik tiup (brassband [atau uning-uningan]) bukan
iringan [musik].
Penelitian ini mengkaji bagaimana gondang sabangunan dalam pesta adat disertai
dengan acara manortor (menari). Kata manortor berasal dari perkataan tortor yang berarti
tarian adat. Oleh karena acara-acara adat tidak terlepas dari tortor (tarian adat), acara gondang
ni suhut dan gondang ni dongan tubu disebut juga tortor suhut karena dongan tubu (keluarga
lelaki bersaudara) dan suhut (pelaksana pesta/upacara) adalah satu kesatuan sebagai pelaksana
upacara pesta adat. Demikian pula gondang ni boru dan gondang ni hula-hula disebut menjadi
satu acara yaitu tortor adat ni dalihan na tolu (acara tarian adat dari unsur-unsur kekerabatan).
Alasannya adalah kalau kelompok boru (menantu) menari sudah pasti kelompok hula-hula
(mertua) juga menari. Kelompok boru dan kelompok hula-hula merupakan satu kesatuan
dalam acara tortor. Gondang dan tortor merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
dalam pelaksanaan pesta adat perkawinan. Dalam penyajiannya terdapat beberapa aspek yang
harus dilaksanakan misalnya mangido gondang (meminta judul lagu gondang untuk
dimainkan), menyebutkan judul-judul gondang dan manortor (menari) bersama. Berdasarkan
penjelasan peneliti pelaksanaan pesta adat perkawinan di kota Medan saat ini, aspek-aspek
tersebut tidak lagi dilaksanakan sebagaimana seharusnya pada masa lalu. Perubahan telah
terjadi walaupun masih tetap mempertahankan tradisi gondang dan tortor. Penyajian gondang
dan tortor dalam pesta adat perkawinan menunjukkan kesadaran masyarakat Batak Toba
tentang kesinambungan budaya mereka walaupun dalam pelaksanaannya telah terjadi
perubahan.
Perubahan inilah yang menjdi subjek penelitian sehingga memunculkan adanya tujuan
penelitian yakni mengetahui perkembangan tradisi gondang dan tortor pada masyarakat Batak
Toba dikota Medan. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menelaah perubahan dan
kesinambungan yang terdapat dalam tradisi gondang dan tortor dalam upacara adat
perkawinan pada masyarakat Batak Toba di kota Medan. Hasil penelitian ini diharapkan
bermanfaat dalam berbagai hal, antara lain sebagai informasi yang lebih mendalam mengenai
perubahan dan kesinambungan tentang tradisi gondang dan tortor dalam pesta adat perkawinan
pada masyarakat Batak Toba di kota Medan. Selain itu, penelitian ini diharapkan memberi
manfaat bagi peneliti yang berniat melakukan penelitian lanjutan tentang tradisi gondang dan
tortor pada masyarakat Batak Toba. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan etnomusikologi dengan penekanan kepada antropologi musik, Data primer
diperoleh dari narasumber dengan teknik wawancara kepada ketua adat, pemain musik dan
pelaksana pesta adat perkawinan. Selain itu, data primer diperoleh dari pengamatan yang
dilakukan secara langsung melihat pelaksanaan pesta adat perkawinan pada masyarakat Batak
Toba di Medan yang menggunakan gondang sabangunan, musik tiup (brass band) dan uning-
uningan.

Hasil penelitian ini menjelaskan beberapa hal yakni, tradisi gondang dan tortor
mempunyai fungsi ritual, dilaksanakan sebagai pemberi legitimasi pesta adat perkawinan pada
masyarakat Batak Toba di kota Medan. Bagaimana kemudian menyesuaikan diri dengan
tuntutan jaman, kiranya penting dilihat fleksibelitas yang dimiliki tradisi gondang dan tortor
untuk mengatasi keadaan itu. Setiap ulaon adat (pesta adat) biasanya dilaksanakan dengan
margondang yaitu kegiatan yang menggunakan gondang sabangunan. Tetapi dengan adanya
perubahan budaya dalam masyarakat Batak Toba, istilah margondang sering juga digunakan
untuk pesta adat yang menggunakan musik tiup atau uning-uningan. Masyarakat Batak Toba
di Medan mengenal tiga ansembel musik untuk mengiringi pesta adat perkawinan yaitu
gondang sabangunan, musik tiup (brass band) dan uning-uningan. Keberadaan musik tiup dan
uning-uningan muncul disebabkan pengaruh agama Kristen pada masyarakat Batak Toba.
Alasannya adalah musik tiup dan uningan-uningan dapat dimainkan untuk mengiringi lagulagu
rohani dan lagu-lagu rakyat yang mempunyai tangga nada diatonis sedangkan gondang
sabangunan tidak dapat digunakan karena mempunyai tangganada pentatonik.

Jika pelaksana pesta adat adalah orang kaya, ketiga ansambel musik ini dapat
digunakan dalam satu pesta adat perkawinan karena mampu membayar pemain musik dari
ketiga ansambel tersebut. Ansambel uning-uningan yang biasa digunakan di kota Medan terdiri
dari alat-alat musik sebagai berikut: sulim, satu set taganing dan gordang, hasapi, ogung, dan
hesek. Namun uning-uningan ini sering juga dimainkan dengan menambah alat dari musik tiup
seperti keyboard, trombone dan gitar bas. Perpaduan alat-alat musik tersebut juga dapat
bervariasi untuk setiap grup musik. Sebutan untuk pemain musik gondang sabangunan adalah
pargonsi (baca: pargocci). Untuk pemain musik tiup dan uning-uningan disebut parmusik.
Namun saat ini ada juga menyebut pargonsi untuk pemain musik tiup (brass band) dan juga
untuk pemain musik uning-uningan.

Pelaksanaan pesta pernikahan adat Batak Tobasering menghabiskan banyak waktu,


uang, dan tenaga. Hal itu terjadi karena dalam adat ni dalihan na tolu terdapat konsep tentang
nilai-nilai yang dicapai dalam kehidupan orang Batak Toba. Nilai-nilai kehidupan itu
tergambar dalam tiga perkataan, iaitu hamoraon, hagabeon dan hasangapon Untuk mencapai
tiga nilai tersebut yaitu hamoraon, hagabeon, hasangapon, orang- orang Batak Toba harus
bekerja kuat, banyak belajar dan hidup menurut agama dan adat ni dalihan na tolu. Hamoraon,
hagabeon, hasangapon merupakan “kekuatan‟, “kesinambungan‟ dan “kesempurnaan‟ dari
adat ni dalihan na tolu. Hamoraon dicapai supaya mempunyai kekuatan; hagabeon dicapai
supaya mempunyai kesinambungan marga keturunan; dan hasangapon dimiliki supaya
mencapai kesempurnaan. Untuk menunjukkan bahwa seseorang Batak Toba sudah mencapai
hamoraon, hagabeon, hasangapon, akan terlihat dalam pelaksanaan pesta adat perkawinan atau
kematian. Misalnya, seseorang na mora (yang kaya) ketika melaksanakan pesta adat
perkawinan akan mengundang kelompok musik, apakah gondang sabangunan, musik tiup
(brass-band) atau uningan-uningan.

Dalam pesta adat perkawinan tersebut, penyajian gondang dan tortor dilaksanakan
sesuai dengan adat ni dalihan na tolu. Penyajian gondang dan tortor bertujuan memenuhi adat
na gok („adat yang komplit/sempurna‟) yang berarti juga menunjukkan adat ni dalihan na tolu
dilakukan dengan sempurna (sangap). Selain itu, ia juga bertujuan mangalidangkon si
haadongonna (menunjukkan kekayaan [hamoraan]nya). Memenuhi adat na gok (adat yang
sempurna [mencakup hagabeon dan hasangapon]) dan „mangalidangkon sihaadonganna’
(menunjukkan kekayaannya) adalah aspek-aspek penting dalam nilai-nilai kehidupan
masyarakat Batak Toba. Oleh karena itu, orang-orang Batak Toba berusaha mencapai nilai-
nilai kehidupan itu supaya dapat memenuhi adat ni dalihan na tolu dengan sebaik mungkin.
Perubahan dan kesinambungan tradisi gondang dan tortor pada pesta adat perkawinan dapat
juga dilihat dari pemilihan judul gondang atau lagu yang dimainkan. Perubahan terjadi karena
pengaruh ansambel musik yang dimainkan. Misalnya yang diminta adalah judul lagu dari
repertoar gondang sabangunan sementara musik yang mengiringi adalah musik tiup atau
uning-uningan maka judul lagu gondang sabangunan yang diminta kelompok panortor, diganti
oleh pemain musik dengan lagu rohani atau lagu rakyat. Judul lagu rakyat yang diminta
kelompok panortor nampak bervariasi sesuai dengan hubungan kekerabatan hasuhuton sebagai
pelaksana pesta adat. Lagu-lagu dari etnis lain (seperti etnis Karo dan Simalungun) dapat
diterima dengan baik. Peranan pemain musik juga penting dalam pemilihan/penentuan judul
lagu yang dimainkan. Ketika kelompok panortor kurang paham judul lagu gondang yang
hendak dimainkan, pemain musik dapat memahami keinginan kelompok panortor dari hata-
hata mangido gondang-nya (ucapan yang disampaikan kepada hasuhuton sebelum manortor).
Namun ada juga kelompok panortor yang mengerti tentang judul lagu yang sesuai untuk
mengiringi tortor sehingga ketika mangido gondang ia langsung menyebut judul lagu dari lagu
rohani atau lagu rakyat.

Oleh karena itu, judul gondang atau lagu yang dimainkan dapat berbeda-beda di dalam
pesta adat perkawinan di kota Medan. Dalam acara gondang dan tortor, tortor adat ni dalihan
na tolu masih merupakan inti dalam pesta adat perkawinan. Namun dalam pelaksanaannya
telah terjadi perubahan. Pesta adat perkawinan pada masyarakat Batak Toba di kota Medan
sedapat mungkin dilakukan dengan singkat. Berbagai cara dilakukan seefektif mungkin
misalnya menggabung acara gondang dan tortor dari kelompok Tulang Rorobot (paman dari
ibu pengantin laki), kelompok Bona Tulang (paman dari ayah pengantin laki-laki), dan
kelompok Bona Ni Ari (paman dari kakek pengantin laki-laki). . Dengan cara itu, pelaksanaan
pesta adat perkawinan dapat dilakukan lebih efektif walaupun kadang-kadang nampak seperti
diburu waktu. Namun demikian, tujuan utama gondang dan tortor hula-hula/parboru dan boru
yaitu „meminta dan memberi berkat‟ antara boru dan hula-hula dapat dilakukan dalam acara
gondang dan tortor adat ni dalihan na tolu. Gerakan tortor dari boru yaitu gerakan manea-nea
atau marsomba meminta berkat dari hula-hula dan gerakan tortor dari hula-hula yaitu gerakan
mamasu-masu memberi berkat kepada boru masih tetap dilaksanakan. Hal ini menunjukkan
kesinambungan makna gondang dan tortor masih tetap dipertahankan walaupun dalam
pelaksanaannya telah terjadi perubahan.

Korelasi dengan penelitian yang diajukan oleh peneliti adalah konteks musik Gondang
dalam hal iringan pernikahan. Meskipun memiliki subjek penelitian yang berbeda akan tetapi
penelitian ini memiliki korelasi untuk melakukan cross check mengenai prosesi pernikahan
dan keterhubungannya dengan musik Gondang. Melalui penelitian ini peneliti nantinya dapat
mengutip dan juga mempelajari beberapa sudut pandang lain dari subjek penelitian yang akan
dilakukan oleh peneliti. Selain itu penelitian ini bmenggunakan pendekatan etnomusikologi
sedangkan peneliti nantinya akan menggunakan pendekatan fenomenologi dimana peneliti
tentunya membutuhkan penelitian yang membahas konteks pernikahan adat untuk
menghubungkan data yang membahas mengenai pranata adat.

2. Banjarnahor. A. 2016. Ruang Perkawinan Adat Etnik Batak Toba Di Kota Medan: Suatu
Tinjauan Antropologis. Master Thesis. Universitas Negeri Medan.

Penelitian ini membahas dengan memfokuskan pada kajian tentang Perubahan Ruang Perkawinan
Adat Suku Batak Toba, sebuah kajian antropologis pada masyarakat di Kota Medan Suatu.
Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan bagaimana peran ruang pelaksanaan ritual adat
perkawinan. Dalam kasus masyarakat Batak yang bermukim di kota Medan mengalami perubahan
dalam pembentukan organisasi-organisasi yang semakin didominasi oleh orang Kristen Batak
Toba. Perkembangan-perkembangan yang terjadi berimplikasi bahwa komunitas Melayu dari awal
tahun 1920-an mulai kehilangan kebudayaannya dan identitasnya dalam suku etnis semula. Medan
menjadi lingkungan yang multi-etnis dimana lebih mudah bagi kelompok-kelompok lain untuk
menonjolkan jati dirinya. Meskipun perbedaan etnis menjadi realitas penting di Medan, ada juga
diantara penduduk urban pribumi memiliki rasa kebersamaan. Di dalam berbagai perkembangan
ini, tidak tampak perbedaan etnis baik suku maupun agama.

Tingkat kompetisi yang tinggi orang-orang yang bermukim di kota Medan, membuat orang Batak
Toba berusaha keras untuk dapat hidup bertahan (survive). Berbagai cara dilakukan misalnya
sebagian orang menukar identitas mereka agar dapat diterima dengan mudah, atau meleburkan diri
terhadap pola dan tatanan hidup pada masyarakat pribumi pertama yang tingga di kota Medan.
Tetapi, hal yang dapat dilihat adalah mereka tetap hidup berkelompok dengan membentuk
komunitas yang kuat. Mereka membentuk kesatuan-kesatuan hegemonis marga menurut garis
keturunan, kelompok satu daerah asal (sahuta) dari tingkat pemuda hingga jenjang kekeluarga
yang sudah menikah. Mereka juga aktif membentuk kelompok dalam satu pola pikir dan tujuan
yang disbeut dengan partungkoan.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan penelitian kualitatif, sebagai perencana sekaligus juga
sebagai pelaksanaan pengumpul data atau sebagai instrument (Moeloeng, 1998:121). Teknik
mengumpulkan data yang dilakukan berupa: studi pustaka, observasi, wawancara dan dokumentasi
bersifat menyeluruh (holistik) berkaitan dengan tradisi suku Batak Toba dan bagaimana
penggunaan wisma/gedung sebagai sarana pelaksanaan Ritual Adat Perkawinan pada Masyarakat
Batak Toba yang ada di Kota Medan. Analisis data bersifat kualitatif dengan penekanan secara
induktif, dimana data yang dikumpulkan dikelompokkan dalam pola, tema atau kategori untuk
selanjutnya dianalis dan menarik suatu kesimpulan dengan cermat. Penelitian ini berusaha
mengungkap dan membahas pengaruh ritual adat Toba dalam penataan ruang sehingga diharapkan
dapat menjadi masukan bagi suku Batak Toba di perkotaaan.

peneliti dapat memberi kesimpulan dari Perubahan Ruang Ritual Adat Perkawinan Pada Suku
Batak Toba di Medan adalah :

1. Minimnya ruang yang terbuka seperti halaman rumah di kota Medan membuat masyarakat
Batak Toba harus mepergunakan gedung sebagai sarana untuk ruang ritual adat perkawinan.
2. Pelaksanaan ritual adat perkawinan masyarakat Batak Toba yang dilaksanakan di Kota Medan
memberi perubahan kepada unsuk adat Perkawinan dan menimbulkan adanya tatanan tahap-tahap
perkawinan secara adat yang dilaksanakan hanya sebagai formalitas tidak pada makna sebanarnya
misalnya; Tikkir tangga/ ulaon sadari, mangulosi (memberikan ulos), mangallang sibuha-buihai
(sarapan pagi dirumah peihak yang berpesta)

3. Keutamaan level antara ruang ritual dan tempat duduk tamu seringkalimenghambat peran tamu
sebagai pengamat. Jauhnya jarak pandang membuat orang yang berada di bagian belakang
terhalang orang di depannya. Dengan kondisi tersebut, fokus tamu menjadi tidak terarah dan
memicu mereka melakukan hal lain di luar ritual tersebut.

4. Perbedaan dari apa yang diperoleh tiap individu menghasilkan persepsi yang tidak sama
sehingga pernaknaan ritual setiap orang berbeda.

5. Setting yang dibuat berlapis-lapis untuk menghindari terjadinya kesesakan ternyata tidak
berlaku untuk ritual tertentu. Setting justru menimbulkan respon beberapa individu terhadap
kebutuhan ruang yang lebih luas untuk dapat rnetnaknai ritual tersebut.

6. Melakukan usaha dengan memanipulasi ruang sehingga mengubah setting yang ada dan setting
awal menjadi tidak berlaku. Adanya elemen lain seperti kain ulos, musik gondang, tari tor-tor, dan
lain-lain yang digunakan ternyata tidak hanya berperan sebagai sarana adat. Secara tidak langsung
elemen tersebut membantu menghadirkan kualitas ruang, baik secara visual maupun nonvisual,
yang tidak didapatkan melalui elemen ruang itu sendiri.

7. Penggunan wisma/gedung sebagai saran penyelelnggaraan ritual adat perkawinan berdampak


langsung terhadap perubahan pola-pola perkawinan secara adat bagi masyarakat Batak Toba yang
ada di Kota Medan.

Korelasi penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah adanya
ketersangkutan penelitian dengan revolusi pernikahan yang tentunya dapat menjadi referensi bagi
peneliti mengenai hal-hal yang berkenaan dengan pernikahan modern yang bisa jadi didapati oleh
peneliti selama masa terjun kelapangan. Pernikahan adat yang akan diteliti tidak bisa dipungkiri
telah terpapar dengan modernisasi sehingga perlu adanya referensi mengenai bagaimana
pernikahan adat secara modern mengubah tata cara dari pernikahan adat tradisional. Melalui
sumber penelitian ini, peneliti merasa dapat merefleksikan hasil penelitian yang nantinya didapat
dengan konteks pernikahan adat dan kearifan lokal serta pranata yang mengaturnya.

3. Novrasilofa. S. 2016. Dekontruksi Pranata Erturang Pada Perkawinan Semarga (Studi


Kasus Masyarakat Karo di Berastagi). Master Thesis. Universitas Sebelas Maret.

Penelitian ini membahas mengenai pranata yang ada didalam suku batak karo yang
mengalangi perubahan karena dinilai terlalu mengikat oleh masyarakat suku Batak Karo.
Pernikahan adat merupakan salah satu bentuk terjadinya ikatan antar marga yang terjadi pada
dua individu bedaa marga, yang kemudian dipersatukan dengan beberapa aturan adat. Secara
sosiologis perkawinan bagi masyarakat Karo adalah untuk mendapat pengakuan dari kerabat
dan masyarakat sekitar tempat kejadian dimana upacara perkawinan berlangsung (Bangun,
1986:35). Dalam adat pernikahan suku Batak Karo pasangan dengan marga yang sama tidak
diperkenankan untuk melakukan pernikahan, pertentangan ini telah ada sejak zaman nenek
moyang suku Batak Karo. Jurnal ini mengutip pernyataan bangun mengenai bagaimana dua
orang insan yang semarga tidak dapat melakukan pernikahan karena terkait keterikatan darah.
Laki-laki yang memiliki marga yang sama dengan seorang perempuan akan saling menyebut
turang. Turang merupakan panggilan untuk orang yang berlainan jenis dan memiliki marga
yang sama namun memiliki umur yang sama. Mereka yang berturang (erturang)dilarang untuk
menikah karena dianggap masih memiliki hubungan darah. Namun ada beberapa kelompok
masyarakat yang tidak mengindahkan adat yang berlaku dan melangsungkan pernikahan
semarga (Bangun, 1986:38).

Adanya larangan mengenai pernikahan adat ini diatur dalam pranata adat yang mana
menjelaskan bahwa dua orang dengan marga sama yang menentang aturan ini akan mendapat
hukuman adat yakni diusir atau bahkan dibunuh oleh para warga masyarakat adat. Pengusiran
ini biasanya diikuti oleh desa lain (masih di daerah Karo) yang tidak memperbolehkan mereka
tinggal di desa tersebut. Selain itu, mereka tidak akan mendapat restu dari keluarga dan tidak
akan diakui sebagai anggota keluarga. Hal ini dianggap menjadi aib dari keluarga besar yang
harus ditanggung dalam kehidupan sosial masyarakatnya. Agar keluarga besar tidak mendapat
gunjingan, pasangan tersebut akhirnya dibuang ke daerah pengasingan (Desa Sunggal). Orang
Karo menganggap pasangan yang melakukan perkawinan semarga atau turang merupakan satu
keturunan sehingga pertentangan mengenai pernikahan ini merupakan sebuah hal yang
dijunjung tinggi oleh para masyarakat adat untuk menghindari hal yang tidak diinginkan.
Menurut kepercayaan Karo, mereka merupakan keturunan dari kakek dan nenek yang sama
dan dianggap sedarah sehingga dilarang untuk menikah. Jika pernikahan semarga tersebut
terjadi, anak yang dilahirkan akan memiliki marga dan beru yang sama dan otomatis tidak
dapat diterima oleh masyarakat Karo. Pernikahan semarga ini dapat diartikan sebagai
pernikahan sedarah sehingga sang keluarga menanggap hal ini merupakan hal yang keji dan
mempermalukan keturunan marga mereka.

Jurnal ini membahas bagaimana pranata adat dalam suku Batak Karo mengalami
“pelunakkan” karena adanya fenomena beberapa pernikahan semarga yang diperbolehkan dan
tidak dikenakan sanksi hukuman adat. Jurnal ini menjelaskan bahwa sekarang ini banyak
kalangan muda yang menikah dengan turangnya.Pelaku pernikahan semarga pun banyak yang
hidup berdampingan di wilayah Berastagi. Mereka dapat beraktivitas seperti halnya
masyarakat yang menikah ideal di sana. Hal ini menunjukkan bahwa sakralitas dalam suatu
tradisi lambat laun semakin menurun.Pelaku tetap menerima gunjingan dari masyarakat,
namun pelaku mendapat ruang di masyarakat saat ini.Masa sekarang ini kebudayaan begerak
bersamaan dengan modernisasi. Masalah ini tentu saja menjadi perhatian untuk melihat posisi
pranata adat yang telah dipercayai sebagai pagu adat masyarakat batak Karo. Menurut
pengamatan dilapangan, konsep erturang sudah disalah artikan oleh sebagaian besar kalangan
muda.Dahulu tiap-tiap orang tidak diijinkan berada di dalam satu rumah dengan turangnya,
selain itu mereka dilarang berjalan bersama turang apalagi saling berboncengan (pada jaman
dahulu menggunakan sepeda).Faktanya, pranata erturang mulai memudar di kalangan anak
muda sekarang. Sakralitas dengan turangnya kemudian mulai dilanggar, dan secara otomatis
definisi mereka terhadap turang akan mengalami perubahan dibanding dengan konsep erturang
yang dipahami oleh orang tua.

Lokasi penelitian berada di Berastagi, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.
Berastagi merupakan Ibu Kota Kecamatan. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah studi kasus tunggal terpancang atau embedded case study. Penelitian ini terfokus pada
sasaran yang terpusat pada satu karakteristik saja yaitu di Berastagi yang merupakan
lingkungan masyarakat Karo. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara,
dan studi dokumen tertulis. Bentuk penelitian ini menggunakan bentuk deskriptif kualitatif.
Penelitian ini berfokus pada fenomena yang terjadi di suku Batak Karo tentunya fenomena ini
berbeda dengan pranata suku Batak Toba, sehingga melalui hal inilah disinyalir peneliti ingin
menguak permasalahan pernikahan satu marga ini. Pendekatan yang digunakan pada
masalah ini adalah pendekatan etnografi. Hasil dari penelitian ini adalah Etika dalam proses
ertutur saat ini sudah mengalami banyak perubahan. Larangan kedekatan yang dibuat sejak
dulu, oleh kaum muda mulai dilupakan hingga pada akhirnya terjadilah kedekatan yang tidak
bisa dipisahkan isahkan dan berujung pada pernikahan semarga. Erturang menurut
pemahaman kaum muda sekarang sudah tidak layak diaplikasikan seperti masa sebelumnya.
Apabila konsep lama masih diterapkan, itu tidak lagi disebut dengan turang, namun lebih cocok
disebut dengan rebu. Rebu dalam Suku Karo adalah tata krama dimana antara kedua belah
pihak dilarang (tabu) untuk berbicara secara langsung tetapi harus melalui perantara pihak
ketiga baik itu dari benda hidup maupun benda mati. Sehingga pemahaman dan aplikasi
tindakan terhadap turang untuk saat ini sudah tidak bisa dilakukan seperti jaman sebelumnya.
Jika dilihat dari pernyataan kaum muda, dapat dikatakan bahwa sebagian besar kaum muda
tidak menutup kemungkinan jika ternyata mereka menyukai turang-nya. Hasil penelitian ini
juga menjelaskan bahwa Ada 2 faktor yang melatarbelakangi terjadinya perkawinan semarga
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari hal-hal dalam diri pelaku
yang mengakibatkan terjadinya perkawinan semarga, sedangkan faktor eksternal berkaitan
dengan hal-hal yang berada di luar diri pelaku tersebut. Faktor internal yang melatarbelakangi
para kaum muda melakukan perkawinan semarga adalah karena keinginan dari dirinya sendiri.
Faktor internal yang melatarbelakangi terjadinya perkawinan semarga adalah karena adanya
perasaan saling menyayangi antara keduanya.

Selain itu keterikatan antar keduanya juga sangat mempengaruhi proses perkawinan
ini. Intensitas informan dalam berkomunikasi, saling bertukar fikiran, dan membahas masalah
dengan turangnya juga menjadi pemicu rasa nyaman. Di samping itu perasaan yang timbul
dengan turang sangat kuat. Perasaan cinta terhadap turang jauh lebih kuat di banding dengan
impal. Akibatnya meskipun hubungan seluruh informan mendapat larangan dari sejumlah
pihak, namun karena perasaan nyaman yang kuat membuat mereka rela meninggalkan
keluarga demi menikah dengan turangnya tersebut.
Korelasi tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan adalah mengenai pranata yang
mengatur sebuah pernikahan adat. Perbedaannya adalah pada konteks iringan dalam
pernikahan adat bukan mengenai aturan keterikatan marga. Melalui penelitian ini referensi
mengenai pranata dan pernikahan menjadi hal yang dapat membantu proses pembuatan
kerangka berpikir. Referensi ini membantu peneliti mendapatkan sumber mengenai penelitian
sejenis sehingga mudah untuk mendapatkan perbandingan data.

4. Sianturi, M.A. 2012. Ensembel Musik Tiup Pada Upacara Adat Batak Toba - Analisis
Perubahan Struktur Penyajian dan Repertoar Musik. Master Thesis. Universitas Sumatra
Utara.

Penelitian ini membahas mengenai keberadaan musik Gondang sebagai sebuah


kesenian ensemble yang selelau mengiringi upacara adat yang dilakukan masyarakat Batak
Toba yang ada di sumatera utara. Interaksi agama baru dan nilai-nilai Barat yang masuk ke
tanah Batak mengubah pokok-pokok kebudayaan sampai ke akarnya. Identifikasi dengan nilai-
nilai kemodern-an, kemajuan, pendidikan dan kemakmuran sering diekspresikan kepada apa
yang dianggap modern. Dengan masuknya infiltrasi agama Kristen yang dibawa missionaris
Badan Zending RMG, praktis pertunjukan tradisi gondang mulai dibatasi meskipun
masyarakat Batak Toba tetap menjalankan ritual adatnya. Pra Kristen di tanah Batak, musik
yang digunakan di dalam setiap upacara adat atau acara ritual lainnya adalah Gondang
Sabangunan dan Uning-uningan yang digunakan sebagai alat komunikasi dengan roh-roh
nenek moyang dan sebagai pengiring seperti upacara perkawinan, upacara kematian, pesta tugu
dan acara lainnya.

Sebelum kekristenan muncul di tanah Batak, musik yang digunakan di dalam acara adat
tradisi, ataupun acara ritual lainnya adalah ensembel Gondang Sabangunan dan ensembel
Uning-uningan yang digunakan memanggil arwah nenek moyang dan dan dalam konteks acara
adat lainnya, gondang sebagai kearifan lokal orang Batak memiliki peran strategis dalam
lingkungan kegiatan kebudayaan masyarakat ini. Musik yang dipakai dalam kegiatan upacara
adat masyarakat Batak Toba memperlihatkan adanya aktivitas musik yang sudah dipengaruhi
oleh kekristenan. Adanya perubahan mendasar yang terjadi dalam kehidupan tradisi
margondang diawali dengan masuknya pengaruh agama Kristen. Beberapa aturan yang
diterbitkan oleh badan zending, membatasi bahkan melarang kegiatan pertunjukan tradisi
gondang dalam beberapa konteks upacara adat Batak Toba yang memeluk agama Kristen. Dan
gereja sebagai perpanjangan tangan badan misi ini membuat aturan kebijakan yang dilegalisasi
melalui hukum yang harus dipatuhi masyarakat Batak Toba pemeluk agama Kristen. (Purba,
2000; 32-35). Kebijakan-kebijakan yang diambil gereja sebagai sikap menolak keberadaan
tradisi musik gondang ini, memiliki alasan bahwa praktek pertunjukan gondang adalah elemen
budaya yang terkait dengan upacara ritual dalam kepercayaan lama (sebelum Kristen), hal ini
merupakan bagian dari upaya kristenisasi misi Rheinische Mission-Gessellschaft (RMG) dari
Jerman pada tahun 1860-an di seluruh kawasan tanah Batak. Masyarakat ini yang sudah
memeluk agama ‘baru” mereka, tidak mau menerima resiko dikeluarkan (diban, istilah yang
digunakan dalam Tata Gereja) dari keanggotaan komunitas gereja, hanya karena terlibat dalam
praktek pertunjukan margondang.

Upaya kristenisasi ini ditelisik oleh peneliti sebagai sebuah hal yang memberikan
konsekuensi pada masyarakat suku Batak Toba. Missionaris yang membawa paham agama
Kristen dalam kesempatan ini mulai memperkenalkan musik Barat, diawali dengan satu alat
tiup trumpet dan selanjutnya menjadi sebuah ensembel musik tiup (brass music) yang
dipergunakan untuk kegiatan religi di gereja sebagai pengiring dalam ibadah. Memahami
perubahan kebudayaan sebagai paradigma dinamika dalam sebuah masyarakat, penting
dilakukan dengan menganalisa seni dalam kebudayaan. Dengan mengkaji apakah ada
keterkaitan hubungan saling mempengaruhi diantara faktor-faktor dalam dua kebudayaan itu.
Memiliki arti, masuknya pengaruh kebudayaan asing terhadap suatu kelompok masyarakat
adalah proses perubahan yang saling mempengaruhi antara seni itu sendiri. Perubahan itu dapat
terjadi melalui proses yang berbeda-beda, seperti: persebaran misi agama, kolonialisme, sistem
perdagangan, perpindahan penduduk, industri pariwisata dan lainnya.

Gondang sebagai kearifan lokal orang Batak, awalnya memiliki peran strategis dalam
lingkungan kegiatan upacara adat masyarakat ini, namun seiring dengan perkembangan zaman
sekarang ini, upacara atau pesta orang Batak secara berangsur-angsur lebih banyak
menggunakan musik barat brass band dari pada gondang tersebut diatas. Dalam tingkatan
kebudayaan, penggunaan musik brass band menggeser peranan gondang sabangunan dengan
menggantikan struktur dan repertoar musik dengan bentuk kaitan antara dua budaya yang
berbeda, yaitu agama dan musik dengan pengtrankulturasian dua budaya (Batak dan Barat).
Perubahan terjadi ketika brass band yang semula kedudukannya mengiringi nyanyian ibadah
di gereja, akhirnya sudah digunakan dalam upacara adat tradisi Batak Toba. Penggunaan brass
band yang dipakai dalam upacara adat, masih memakai konsep budaya Batak Toba dalam
struktur penyajian dan repertoar musiknya, walaupun dengan materi yang pada dasarnya
berbeda dengan gondang. Masyarakat Batak Toba yang hidup dalam dunia post-modern dan
harus menghadapi media global dan teknologi, banyak mempengaruhi pikiran dan selera setiap
orang pengguna kebudayaan ini, dapat menghilangkan musik tradisi gondang dalam setiap
upacara adat sebagai wujud kebudayaan Batak Toba. Korelasi terhadap penelitian yang akan
dilakukan oleh peneliti adalah dari segi musik Gondnag sebagai musik ensembel dan sejarah
perubahan yang terjadi terhadap keaslian instrumen yang dimainkan dan tata cara permainan
yang telah mengalami perubahan. Berdasarkan penelitian ini peneliti dapat menyaring data
yang dapat digunakan atas pencarian data mengenai nilai-nilai kearifan lokal yang berdasar
pada keaslian musik Gondang dan perubahan yang terjadi pada musik Gondang sebagai
ensembel musik.

5. Lubis.S&Wadiyo. 2016. Musik Gondang Batak Horas Rapolo dalam Proses Penggunaanya
untuk Berkesenian pada Upacara Adat Pernikahan Batak Toba di kota Semarang.
Catharsis: Journal of Arts Education 5 (1) (2016).

Penelitian ini berisi mengenai beberapa hal yakni:

- Teori Tindakan dalam Musik Gondang Batak Uning- uningan.

Fungsi dari musik Gondang Batak grup Horas Rapolo selain sebagai musik iringan juga
sebagai media komunikasi, media ekspresi dan lain-lain. Tindakan nyata yang di sampaikan
oleh pemain musik yaitu berupa prilaku dan kontak sosial berupa interaksi yang merupakan
bagian terpenting dalam keberlasungan acara. Hal ini sangat berkaitan jelas karena jika tidak
terbangunnya kontak antar pemain maka pesan yang disampaikan tidak akan tersampaikan
oleh si penikmat. Motivasi pertama pemain musik melakukan kegiatan berkesenian tidak lain
karena untuk mendapat imbalan yang berupa materi. Bahwa, seharusnya pemain musik hanya
memainkan apa yang harus dimainkan dan mengikuti aturan yang berlaku yang disampaikan
oleh parhata (pemangku adat) dan di pimpin oleh leader. Dalam proses adat berlangsung
respon ke penikmat tergambar dari saat musik uninguningan dimainkan penikmat merepon
dengan melanjutkan pada prosesi adat dengan menortor. Artinya, secara tidak langsung dan
tanpa disadari baik pemusik dan penikmat mampu untuk beremapati dan mampu menempatkan
diri dalam kerangka berfikir orang lain yang perilakunya dapat dijelaskan dari situasi dari
upacara adat pernikahan tersebut.

- Werktrational Action (Tindakan Rasional Nilai)


Salah satu tindakan rasional nilai dalam musik Gondang Batak Horas Rapolo dalam
mengiringi upacara adat yaitu pada saat prosesi pemberian ulos, prosesi pemberian ulos
yang dipandu oleh parhata yaitu para jajaran keluarga memberikan ulos kepada kedua
mempelai. Sebelum pemberian ulos, pihak keluarga memperkenalkan diri, dilanjutkan
menyampaikan sepatah dua patah kata berupa nasehat kemdian memberikan ulos kepada
kedua mempelai. Setelah pemberian ulos, parhata menyampaikan agar musik dimainkan,
barulah musik dimainkan dengan iringan musik permintaan dari pihak keluarga. Saat
musik dimainkan, perilaku pemain musik dalam memainkan musik masih menunjukan
tindakan rasional, selanjutnya disaat pihak keluarga dan juga kedua mempelai merespon
dengan menortor atau berjoget bersama sebagai rasa suka cita atas rasa bahagia yang
berlebihan dengan hiporia dari pihak keluarga dan kedua mempelai maka tergambar
adanya nilai-nilai yang mencerminkan kebersamaan, kekeluargaan didalamnya. Upaya dari
pemain musik untuk mengakhiri musik tidak dapat terjadi karena respon dari Tuan Rumah
saat berjoget dan memberi kode untuk diulang. Secara tidak langsung hal ini merupakan
sebuah tindakan yang merupakan pengaruh positif dari suatu situasi yang menjadi suatu
keharusan pemain musik untuk mengulang atau menambah variasi dari permainan
musiknya sampai situasi kembali normal.
- Affectual Action (Tindakan Afektif)
Tindakan afektif sangat berkaitan dengan tindakan rasional dan tindakan rasional nilai. Hal
ini didasari karena tindakan afektif lahir dari perasaan emosi seorang pemain, pemain
musik terbawa suasana dalam mengiringi upacara adat pernikahan tersebut sehingga
perilaku, interaksi, tindakan antar pemain yang ditunjukan mereka dalam memainkan
musik melahirkan sebuah nilai, serta bermakna yang lahir dari keseriusan pemain musik
dalam memainkan instrumen yang mereka mainkan. Tindakan afektif bisa dikatakan juga
sebagai tindakan irasional kerena tindakan afektif datang dari emosi yang berlebihan yang
lahir dari rasa bahagia dan haru sehingga pemain musik memainkan musik dengan
semangat. Dapat dikatakan dengan reaksi spontan yang menyebabkan permainan musik
yang dimainkan oleh pemain lebih terasa emosionalnya yang lahir dari pengaruh positif
dari situasi disekeliling. Tindakan afektif yang dipertunjukan oleh grup Horas Rapolo lahir
dari permainan musik dengan situasi keadaan yang ada disekelilingnya. Tindakan afektif
ini pada musik Gondang Batak grup Horas Rapolo tetap tergambar pada saat puncak
prosesi upacara adat. Kelanjutan dari prosesi upacara tersebut yaitu pada saat puncaknya
akhir dari prosesi upacara adat pernikahan tersebut. Puncak prosesi adat terjadi pada saat
mangunjungi ulaon (menyimpulkan acara adat) yaitu memberikan ucapan selamat,
memberikan nasehat, setelah nasehat selesai disampaikan lanjut pada permintaan lagu
untuk menortor (menari) bersama. Pada saat lagu yang dimainkan, pengaruh merespon dari
penikmat yaitu suhut, parboru, hula-hula dan lain menikmati lagu dengan menontor atau
berjoget bersama akan menambah suasana semakin semarak yang menyebabkan
pengulangan lagu dengan suasana yang semakin memuncak.
Penelitian ini menjurus pada teori-teori yang melibatkan ilmu sosiologi yang
membahas mengenai teori prilaku yang dilakukan oleh pemain Gondang. Penelitian ini
lebih mengkaji secara mendalam pendasaran perilaku yang dilakukan oleh pemain
Gondang dan keterkaitannya dengan teori perilaku dalam ritual pernikahan Batak Toba
beserta iringan yang dimainkan pemain Gondang. Melalui referensi ini, maka hasil
penelitian ini dapat membantu calon peneliti dalam memahami makna perilaku dan
tindakan para pemain Gondang dalam mengiringi pernikahan adat melalui nilai sosiologis,
sebagai sebuah bacaan untuk menelisik nilai-nilai kearifan lokal yang akan diteliti.
Metode penelitian pada penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif
dan pendekatan sosiologi, desain penitian yang digunakan adalah studi kasus, yang berarti
temuan dalam penelitian ini hanya berlaku bagi karakteristik dan fenomena yang sama.
Lokasi penelitian dilakukan di Taman Budaya Raden Saleh, Kota Semarang. Penelitian ini
juga berguna untuk mengetahui apakah perbedaan lingkungan budaya mempengaruhi
proses penggunaan musik Gondang Horas Rapolo dalam pernikahan adat Batak Toba.
Jurnal Internasional:

1. Brineman Bovill, K.,J. (1985). Toba batak relationship terminology. Bijdragen Tot De
Taal-, Land- En Volkenkunde, 141(1), 36.

2. Christianity, colonization, and gender relations in north sumatra: A patrilineal society in


flux (2018). Beaverton: Ringgold Inc.

3. Purba, M. (2003). Adat ni gondang: Rules and structure of the gondang performance in
pre-christian toba batak adat Practice1. Asian Music, 34(1), 67-109.

4. Purba, M. (2005). From conflict to reconciliation: The case of the gondang sabangunan in
the order of discipline of the toba batak protestant church.Journal of Southeast Asian
Studies, 36(2), 207-233.
Penelitian ini membahas bagaimana masyarakat Batak Toba memainkan Gondang sebagai
bentuk penyembahan pada leluhur . Permainan musik Gondang dipandang sebagai sebuah wujud
ucapan syukur dan penyembahan pada masyarakat suku batak Toba kepada nenek moyang yang
telah menjaga kehidupan mereka. Penyembahan ini didasarkan atas ucapan syukur terhadap tiga
hal yakni Tiga berkat utama adalah hasangapon (rasa hormat masyarakat, otoritas dan prestise);
hagabeon (memiliki banyak anak); dan hamoraon (kemakmuran). Untuk memperoleh berkat
seseorang harus menjaga hubungan baik dengan para dewa, roh leluhur dan kelompok serta hula-
hula. Dengan demikian tujuan utama mempraktekkan adat untuk menarik berkah (pemulihan
harmoni, jaminan kesuburan dan perlindungan kesejahteraan desa dan kota dan penghuninya) dan
menghindari sanksi adat. berkat seseorang harus menjaga hubungan baik dengan para dewa, roh
leluhur dan pembangkangan terhadap adat diyakini mengakibatkan infertilitas, penyakit, bencana
dan gagal panen.
Ketika adat dipraktekkan untuk perayaan, dapat disebut ulaon adat atau pesta adat. Pesta
adat dapat dibagi menjadi dua kategori berdasarkan peserta: horja dan pesta bius. Secara umum,
horja dikaitkan dengan upacara seremonial yang dilakukan di tingkat klan (marga). Pada horja,
peserta terdiri dari keturunan laki-laki (dongan sabutuha) serta mereka yang 'memberi' anak
perempuan atau saudara perempuan mereka dalam pernikahan. Musik Gondang sampai kapanpun
adalah sebuah simbol dari perayaan suku Batak Toba. Kinerjanya adalah bagian integral dari
praktik agama dan budaya Batak tradisional Toba, melayani tidak hanya untuk mengiringi tarian
seremonial tortor di semua pesta adat tetapi, yang paling penting, sebagai media komunikatif yang
memperkuat hubungan di antara keduanya yakni individu, kelompok orang, dewa (mis., Mula Jadi
Na Bolon, Batara Guru, Soripada, Mangala Bulan, Saniang Naga Laut, Boraspati ni Tano) dan roh
leluhur. berabad-abad Batak Toba mempraktikkan gondang dan tortor sebagai bagian dari upacara
keagamaan mereka, menerapkan aturan sosial dan agama tertentu yang dikenal sebagai adat ni
gondang (aturan untuk tampil gondang dan tortor).
Aturan-aturan ini memandu peserta upacara, yang terdiri pemain ensemble (pargonsi),
penari upacara (panortor) dan host seremonial (hasuhuton atau suhut). Gondang sabangunan terdiri
dari taganing (lima berkepala tunggal, berbentuk kerucut, disetel beralasan drum - secara
individual bernama tingting, paidua ni tingting, painonga, paidua odap dan odap-odap - digantung
dari balok kayu dan dipukul dengan sepasang tongkat kayu), dua drum bass (gordang [drum
berkepala satu] dan odap [drum berkepala dua]), empat ditangguhkan gong (oloan, ihutan,
panggora dan doal), sebuah sarune (double-reed aerophone) dan hesek (logam atau kaca idiophone
yang dipukul dengan tongkat kayu atau batang logam).Secara tradisional, satu musisi diperlukan
untuk setiap instrumen, kecuali untuk taganing dan odap, yang dimainkan secara bersamaan oleh
pemain taganing.
Adat mempertahankan hubungan antara makhluk hidup, roh leluhur dan dewa-dewa lain
dan membimbing komunikasi ritual di antara mereka. Ritual dan agama upacara meresmikan
hubungan ini dilakukan dengan tarian tor-tor diiringi oleh gondang sabangunan. Vergouwen,
mantan perwira Belanda yang mengamati latihan itu adat dan gondang sabangunan di antara orang-
orang di awal 1920-an, menulis bahwa: “gondang adalah. . . dimainkan ketika roh leluhur,
sumangot ni ompu, adalah dipanggil pada saat-saat seremonial segala macam ketika hadir, berkah
dan bantuan dari leluhur yang dihormati yang dipanggil. Itu dimainkan pada adopsi nama; Ketika
sebuah rumah ditahbiskan; ketika penyakit dan malapetaka harus ditangkal; ketika tulang salah
satu nenek moyang dikuburkan kembali, dll”.
Masuknya agama kristen ini membuat adanya perubahan dalam musik gondang dalam hal
penyajian dan juga permainan sangat memberikan pengaruh yang besar terhadap bagaimana adat
kemudian menjadi sesuai dengan warisan nenek moyang atau dengan peraturan yang hadir karena
masuknya agama kristen tesebut. Penelitian ini menemukan fakta bahwa Gereja Protestan telah
berjuang dengan hubungannya dengan adat (termasuk gondang dan tortor sebagai simbol
musiknya) selama satu setengah abad perdebatan dan negosiasi, bergerak dari posisi konflik dan
larangan ke titik rekonsiliasi yang mengakui bahwa jemaat memiliki dan akan selalu
mempraktekkan aspek adat dan oleh karena itu mengakomodasi beberapa praktik adat. Sampai
hari ini, dua Protestan terbesar Gereja Batak - HKBP dan GKPI - tetap tidak yakin tentang sikap
mereka terhadap Gereja tradisi gondang-tortor. Gereja saat ini secara tegas melarang yang
tradisional mode kinerja gondang sabangunan. Namun, Gereja Protestan sekarang memungkinkan
jemaatnya menggunakan gondang sabangunan dalam upacara adat, masyarakat akhirnya tunduk
pada hal tersebut mengenai batasan dan aturan yang dibuat.
Berbeda dengan Gereja Katolik, Protestan belum mengkontekstualisasikan kembali
gondang-tortor Tradisi dengan memasukkannya dalam liturgi hari Minggu, mempertahankan
sebaliknya kebijakan mengistimewakan bentuk-bentuk ekspresi musik liturgi dan keagamaan
Eropa. Namun, melalui Ordo Disiplin, Gereja berusaha untuk menggeser fungsi itu dari tradisi
gondang-tortor dari satu yang animis-religius ke yang mana tidak beragama dan berorientasi sosial
dan budaya, dengan mengizinkan penggunaannya dalam pesta-pesta gereja sambil mendorong
masyarakat untuk menyesuaikannya dalam upacara adat dengan ajaran Kristen. Adanya
kesenjangan antara warisan leluhur dengan persebaran agama tersebut membuat menteri Batak
Toba mengambil alih pemerintahan Gereja dari para misionaris, mereka merasa perlu untuk
mempraktekkan adat terlepas dari mereka tanggung jawab gerejawi, jika tidak mereka akan
dikecualikan dari sosial ini hubungan, dan kebutuhan ini mulai memengaruhi kebijakan Gereja
sejak saat itu mengasumsikan kepemimpinan. Ketika para menteri menyelenggarakan pesta adat,
mereka terkadang disajikan pertunjukan gondang-tortor. Konflik ini terus bergesekan sehingga
muncullah pengertian bahwa godang-tortor dapat terus dimainkan sebagai warisan budaya tanpa
memasukan unsur magis didalamnya sehingga pergesekkan antara agama dan adat mulai
melemah.
Korelasi penelitian ini dengan penelitian mengenai nilai-nilai pranata kearifan lokal ialah
posisi adat sebagai budyaa asli tanpa ada pengaruh agama didalamnya. Agama yang masuk dalam
kebudayan batak toba ini tentunya membatasi nilai-nilai asli yang dibawa oleh masyarakat batak
toba dalam kebudayaan nenek moyang mereka. Melalui penelitian ini peneliti dapat secara sadar
mengetahui bahwa musik gondang yang saat ini dimainkan oleh masyarakat suku batak toba
adalah musik gondang yang sudah dalam keadaan berevolusi. Pertanyaan yang akhirnya dapat
muncul adalah musik gondang yang saat ini dipakai memiliki nilai pranata yang sama dengan
sebelum agama mempengaruhi permainan musik Gondang dalam upacara nenek moyang
masyarakat Batak Toba.
5. Okazaki, Y. (1998), Liturgical music as a means to inculturation: An example from north
sumatra. The Japan Christian Review, 64, 74.

Вам также может понравиться