Вы находитесь на странице: 1из 22

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 LANDASAN TEORI


2.1.1 TEORI KEAGENAN
Teori keagenan mendeskripsikan hubungan antara pemegang saham (shareholders)
sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Manajemen merupakan pihak yang
dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham.
Karena mereka dipilih, maka pihak manejemen harus mempertanggungjawabkan semua
pekerjaannya kepada pemegang saham.
Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan sebagai “agency
relationship as a contract under which one or more person (the principals) engage another
person (the agent) to perform some service on their behalf which involves delegating
some decision making authority to the agent”.
Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu atau lebih orang (prinsipal)
memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama prinsipal serta
memberi wewenang kepada agen membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Jika
kedua belah pihak tersebut mempunyai tujuan yang sama untuk memaksimumkan nilai
perusahaan, maka diyakini agen akan bertindak dengan cara yang sesuai dengan
kepentingan prinsipal.
Masalah keagenan potensial terjadi apabila bagian kepemilikan manajer atas saham
perusahaan kurang dari seratus persen (Masdupi, 2005). Dengan proporsi kepemilikan
yang hanya sebagian dari perusahaan membuat manajer cenderung bertindak untuk
kepentingan pribadi dan bukan untuk memaksimumkan perusahaan. Inilah yang nantinya
akan menyebabkan biaya keagenan (agency cost). Jensen dan Meckling (1976)
mendefinisikan agency cost sebagai jumlah dari biaya yang dikeluarkan prinsipal untuk
melakukan pengawasan terhadap agen. Hampir mustahil bagi perusahaan untuk
memiliki zero agency cost dalam rangka menjamin manajer akan mengambil keputusan
yang optimal dari pandangan shareholders karena adanya perbedaan kepentingan yang
besar diantara mereka.
Menurut teori keagenan, konflik antara prinsipal dan agen dapat dikurangi dengan
mensejajarkan kepentingan antara prinsipal dan agen. Kehadiran kepemilikan saham oleh
manajerial (insider ownership) dapat digunakan untuk mengurangi agency cost yang
berpotensi timbul, karena dengan memiliki saham perusahaan diharapkan manajer
merasakan langsung manfaat dari setiap keputusan yang diambilnya. Proses ini
dinamakan dengan bonding mechanism, yaitu proses untuk menyamakan kepentingan
manajemen melalui program mengikat manajemen dalam modal perusahaan.
Dalam suatu perusahaan, konflik kepentingan antara prinsipal dengan agen salah satunya
dapat timbul karena adanya kelebihan aliran kas (excess cash flow). Kelebihan arus kas
cenderung diinvestasikan dalam hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan kegiatan utama
perusahaan. Ini menyebabkan perbedaan kepentingan karena pemegang saham lebih
menyukai investasi yang berisiko tinggi yang juga menghasilkan return tinggi, sementara
manajemen lebih memilih investasi dengan risiko yang lebih rendah.
Menurut Bathala et al, (1994) terdapat beberapa cara yang digunakan untuk mengurangi
konflik kepentingan, yaitu : a) meningkatkan kepemilikan saham oleh manajemen
(insider ownership), b) meningkatkan rasio dividen terhadap laba bersih (earning after
tax), c) meningkatkan sumber pendanaan melalui utang, d) kepemilikan saham oleh
institusi (institutional holdings).
Sedangkan dalam penelitian Masdupi (2005) dikemukakan beberapa cara yang dapat
dilakukan dalam mengurangi masalah keagenan. Pertama, dengan meningkatkan insider
ownership. Perusahaan meningkatkan bagian kepemilikan manajemen untuk
mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga bertindak sesuai
dengan keinginan pemegang saham. Dengan meningkatkan persentase kepemilikan,
manajer menjadi termotivasi untuk meningkatkan kinerja dan bertanggung jawab
meningkatkan kemakmuran pemegang saham.
Kedua, dengan pendekatan pengawasan eksternal yang dilakukan melalui penggunaan
hutang. Penambahan hutang dalam struktur modal dapat mengurangi penggunaan saham
sehingga meminimalisasi biaya keagenan ekuitas. Akan tetapi, perusahaan memiliki
kewajiban untuk mengembalikan pinjaman dan membayarkan beban bunga secara
periodik. Selain itu penggunaan hutang yang terlalu besar juga akan menimbulkan
konflik keagenan antara shareholders dengan debtholders sehingga memunculkan biaya
keagenan hutang.
Ketiga, institutional investor sebagai monitoring agent. Moh’d et al, (1998) menyatakan
bahwa bentuk distribusi saham dari luar (outside shareholders) yaitu institutional
investor dan shareholders dispersion dapat mengurangi biaya keagenan ekuitas (agency
cost). Hal ini disebabkan karena kepemilikan merupakan sumber kekuasaan yang dapat
digunakan untuk mendukung atau menantang keberadaan manajemen, maka konsentrasi
atau penyebaran power menjadi suatu hal yang relevan dalam perusahaan.

2.1.2 MANAJEMEN LABA


2.1.2.1 Pengertian Manajemen Laba
Manajemen laba secara kasar bisa kita artikan sebagai cara memanipulasi keuntungan
dalam laporan keuangan agar mendapatkan keuntungan lebih. Tapi bagaimana dengan
pendapat para ahli mengenai manajemen laba ini? berikut ini beberapa pendapat mereka
seperti yang dikutip melalui website ilmuakuntansi.web.id.
Pertama Schipper (1989) dalam buku Rahmawati dkk. (2006), menyatakan bahwa
manajemen laba merupakan suatu intervensi dengan tujuan tertentu dalam proses
pelaporan keuangan eksternal, untuk memperoleh beberapa keuntungan privat (sebagai
lawan untuk memudahkan operasi yang netral dari proses tersebut).
Sedangkan menurut Asih dan Gudono (2000) manajemen laba adalah suatu proses yang
dilakukan dengan sengaja dalam batasan General Addopted Accounting
Principles atau GAAP untuk mengarahkan tingkatan laba yang dilaporkan.
Pengertian manajemen laba menurut Fischer dan Rozenzwig (1995) manajemen laba
adalah tindakan manajer yang menaikkan (menurunkan) laba yang dilaporkan dari unit
yang menjadi tanggung jawabnya namun tidak mempunyai hubungan dengan kenaikan
atau penurunan profitabilitas perusahaan dalam jangka panjang.
Pengertian manajemen laba menurut Fischer dan Rozenzwig (1995) manajemen laba
adalah tindakan manajer yang menaikkan (menurunkan) laba yang dilaporkan dari unit
yang menjadi tanggung jawabnya namun tidak mempunyai hubungan dengan kenaikan
atau penurunan profitabilitas perusahaan dalam jangka panjang.
Pendapat Healy dan Wallen (1999), manajemen laba itu terjadi ketika manajer
menggunakan judgement dalam laporan keuangan dan penyusunan transaksi untuk
mengubah laporan keuangan, sehingga mempengaruhi hasil yang berhubungan dengan
kontrak yang tergantung pada angka akuntansi.
Sedangkan pengertian manajemen laba Sugiri (dalam Widyaningdyah, 2001) dibagi
menjadi dua definisi yaitu:
a. Definisi sempit
Manajemen laba (Earning management) berkaitan dengan pemilihan metode
akuntansi. Manajemen laba adalah perilaku manager untuk bermain dengan
komponen discretionary accruals dalam penentuan laba.
b. Definisi luas
Earning management adalah tindakan manajer untu meningkatkan/mengurangi
laba yang dilaporkan saat ini atas unit yang menjadi tanggung jawab manaher
tanpa mengakibatkan peningkatan/penurunan profitabilitas ekonomis jangka
panjang unit tersebut.

2.1.2.2 POLA MANAJEMEN LABA


Menurut Scott (2000) dalam Aji dan Mita (2010), mengidentifikasikan adanya empat
pola yang dilakukan manajemen untuk melakukan pengelolaan atas laba sebagai berikut:
a. Taking a Bath
Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan CEO baru dengan
melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan dapat
meningkatkan laba di masa datang. Manajemen mencoba mengalihkan expected
future cost ke masa kini, agar memiliki peluang yang lebih besar mendapatkan laba
di masa yang akan datang.
b. Income Minimization
Dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat laba yang tinggi sehingga jika
laba pada periode mendatang diperkirakan turun drastic dapat diatasi dengan
mengambil laba periode sebelumnya. Manajemen mencoba memindahkan beban ke
masa kini agar memiliki peluang yang lebih besar mendapatkan laba di masa yang
akan datang.
c. Income Maximization
Dilakukan pada saat laba menurun dengan cara memindahkan beban ke masa
mendatang. Tindakan atas income maximization bertujuan untuk melaporkan net
income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan oleh
perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian hutang.
d. Income Smoothing
Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat
mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor lebih
menyukai laba yang relatif stabil.

2.1.2.3 MOTIVASI MANAJEMEN LABA


Faktor-faktor yang memotivasi pihak manajemen untuk melakukan manajemen laba
adalah sebagai berikut:
a. Alasan Bonus (bonus scheme).
Adanya asimetri informasi mengenai keuangan perusahaan menyebabkan pihak
manajemen dapat mengatur laba bersih untuk memaksimalkan bonus mereka.
b. Kontrak Hutang Jangka Panjang.
Semakin dekat suatu perusahaan ke pelanggan hutang, manajemen akan
cenderung memilih prosedur akuntansi yang dapat ‘memindahkan’ laba
periode mendatang ke periode berjalan, yang bertujuan untuk mengurangi
kemungkinan perusahaan mengalami technical defauld (kegagalan dalam
pelunasan hutang).
c. Motivasi Politis (political motivation).
Perusahaan besar yang menguasai hajat hidup orang banyak akan cenderung
menurunkan labanya untuk mengurangi visibilitasnya, misalnya dengan
menggunakan praktik atau prosedur akuntansi, khususnya selama periode
kemakmuran tinggi.
d. Motivasi Pajak (taxation motivation).
Salah satu insentif yang dapat memicu manajer untuk melakukan rekayasa laba
adalah keinginan untuk meminimalkan pajak atau total pajak yang harus
dibayarkan perusahaan. Hal ini karena laba sering dijadikan landasan untuk
mengambil keputusan, menyusun kontrak maupun penilaian kinerja suatu
manajer.
e. Pergantian CEO (Chief Executive Officer).
Banyak motivasi yng timbul disekitar waktu penggantian CEO. Contohnya,
CEO yang mendekati masa pensiun (tugas akhirnya) akan melakukan strategi
memaksimalkan laba untuk meningkatkan bonusnya.
f. IPO (Initial Public Offering).
Perusahaan yang baru pertama kali menawarkan sahamnya dipasar modal
belum memiliki harga pasar, sehingga terdapat masalah bagaimana menetapkan
nilai saham yang ditawarkan. Oleh karena itu, informasi seperti laba bersih
dapat digunakan sebagai sinyal kepada calon investor tentang nilai perusahaan,
sehingga manajemen perusahaan yang akan go public cenderung melakukan
manajemen laba untuk memperoleh harga lebih tinggi atas sahamnya.

Healy dan Wahlen (1999) membagi motivasi earnings management menjadi tiga, yaitu:

a. Capital Market.
Penggunaan secara luas informasi akuntansi oleh investor dan analis
keuangan untuk membantu menilai saham dapat menciptakan insentif bagi
manajemen untuk memanipulasi laba dalam usaha mempengaruhi harga
saham.
b. Constructing Motivations
Healy dan Wahlen (1999) dalam Qomariyah (2006) membaginya menjadi
dua, yaitu: lending constract dan management compensation constract.
Esensi penjelasan Healy dan Wahlen (1999) sama dengan uraian Scott (2000)
di atas, dimana penjelasan lending constract motivatons sama dengan other
constractual motivations dan management compensations, constract
motivationssama dengan bonus scheme motivations.
c. Regulatory Motivations
Terdapat tiga bentuk dalam motivasi ini, yaitu:
i. Industry Regulations Motivations
Industri-industri diatur dengan derajat pengaturan berbeda di masing-
masing industri, beberapa diantaranya seperti industri perbankan dan
asuransi menghadapi pemantauan yang lebih ketat oleh pihak
regulator termasuk data-data akuntansi. Peraturan perbankan
mengharuskan bank mencapai Cumulative Abnormal Return (CAR)
tertentu, sedangkan peraturan asuransi menghasilkan perusahaan
asuransi memenuhi syarat-syarat kesehatan keuangan minimum.
Peraturan seperti ini menciptakan insentif bagi manajemen untuk
mengatur laporan keuangan dan neraca sesuai dengan kepentingan
pihak regulator.
ii. Anti-trust and Other Regulations
Perusahaan yang berbeda di dalam penyelidikan pelanggaran anti-
trust atau menghadapi konsekuensi politik yang tidak menguntungkan
memiliki insentif untuk mengatur labanya agar tampak kurang
menguntungkan. Manajemen yang memiliki subsidi dan proteksi
pemerintah juga memilki insentif yang sama.
iii. Tax Planning Purposes
Healy dan Wahlen (1999) tidak menjelaskan bagian ini, karena
menurutnya earnings management untuk tujuan perencanaan pajak
merupakan bagian tugas (dominant) otorisasi pajak yang memiliki
insentif yang sama.

2.1.2.4 TEKNIK MANAJEMEN LABA


Ada tiga cara yang dapat digunakan untuk melakukan manajemen laba pada laporan
keuangan yaitu:
a. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi
Cara ini merupakan cara manajer untuk mempengaruhi laba melalui judgement
terhadap estimasi akuntansi antara lain: estimasi tingkat piutang tak tertagih,
estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud,
estimasi biaya garansi, dan lain-lain.
b. Mengubah metode akuntansi
Perubahan metoda akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi,
contoh: mengubah metoda depresiasi aktiva tetap, dari metoda depresiasi angka
tahun ke metoda depresiasi garis lurus.
c. Menggeser perioda biaya atau pendapatan
Beberapa orang menyebutkan rekayasa jenis ini sebagai manipulasi keputusan
operasional. Contoh: rekayasa perioda biaya atau pendapatan antara lain:
mempercepat atau menundapengeluaran untuk penelitian sampai perioda
akuntansi berikutnya, mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai
perioda akuntansi berikutnya, mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah
tidak dipakai, dan lain-lain.

2.1.2.5 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MANAJEMEN LABA


Menurut Watts dan Zimmerman (dalam Sulistyanto, 2008:44) merumuskan tiga hipotesis
teori akuntansi positif (Positive Accounting Theory) yang dapat dijadikan dasar
pemahaman dalam tindakan manajemen laba adalah:
a. Bonus Plan Hypothesis
Bonus Plan Hypothesis menyatakan bahwa “managers of firms with bonus plan
are more likely to use accounting methods that increase current period reported
income”. Pada perusahaan yang memiliki rencana pemberian bonus,
mengakibatkan manajer perusahaan akan lebih memilih metode akuntansi yang
dapat menggeser laba dari periode mendatang ke periode saat ini sehingga dapat
menaikkan laba saat ini. Dalam bonus atau kompensasi manajerial, pemilik
perusahaan berjanji bahwa manajer akan menerima sejumlah bonus jika kinerja
perusahaan mencapai jumlah tertentu. Janji bonus inilah yang merupakan alasan
bagi manajer untuk mengelola dan mengatur labanya pada tingkat tertentu sesuai
dengan yang diisyaratkan agar dapat menerima bonus.
b. Debt Covenant Hypothesis
Debt Covenant Hypothesis menyatakan bahwa “the larger the firms debt to equity
ratio, the more likely managers use accounting methods that increase income”.
Dalam konteks perjanjian hutang, manajer akan mengelola dan mengatur labanya
agar kewajiban hutangnya yang seharusnya diselesaikan pada tahun tertentu dapat
ditunda pada tahun berikutnya. Hal ini merupakan upaya manajer untuk mengatur
dan mengelola jumlah laba yang merupakan indikator kemampuan perusahaan
dalam menyelesaikan kewajiban hutangnya. Manajer akan melakukan
pengelolaan dan pengaturan jumlah laba untuk menunda bebannya pada periode
bersangkutan dan akan diselesaikannya pada periode-periode mendatang.
c. Political Cost Hypothesis
Political Cost Hypothesis menyatakan bahwa “larger firms rather than small firms
are more likely to use accounting choices that reduce reported profits”. Alasan
terakhir adalah masalah pelanggaran regulasi pemerintah. Sejauh ini ada regulasi
yang dikeluarkan pemerintah yang berkaitan dengan dunia usaha, misal undang-
undang perpajakan, anti-trust dan monopoli, dan sebagainya. Perusahaan yang
memperoleh laba lebih besar akan ditarik pajak yang lebih besar pula dan
perusahaan yang memperoleh laba lebih kecil akan ditarik pajak yang kecil pula.
Kondisi inilah yang merangsang manajer untuk mengelola dan mengatur labanya
dalam jumlah tertentu agar pajak yang harus dibayarkan menjadi tidak terlalu
tinggi, karena manajer sebagai pengelola tentu tidak ingin kewajiban yang harus
diselesaikannya telalu membebaninya.

2.1.3 PROFITABILITAS
2.1.3.1 PENGERTIAN PROFITABILITAS
Profitabilitas merupakan kemampuan suatu perusahaan untuk mendapatkan laba
(keuntungan) dalam suatu periode tertentu. Pengertian yang sama disampaikan oleh
Husnan (2001) bahwa Profitabilitas adalah kemampuan suatu perusahaan dalam
menghasilkan keuntungan (profit) pada tingkat penjualan, aset, dan modal saham tertentu.
Sedangkan Menurut Michelle & Megawati (2005) Profitabilitas merupakan kemampuan
perusahaan menghasilkan laba (profit) yang akan menjadi dasar pembagian dividen
perusahaan. Prolitabilitas menggambarkan kemampuan badan usaha untuk menghasilkan
laba dengan menggunakan seluruh modal yang dimiliki. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Shapiro (1991:731) “Profitability ratios measure managements objectiveness as
indicated by return on sales, assets and owners equity.” Profitabilitas suatu perusahaan
akan mempengaruhi kebijakan para investor atas investasi yag dilakukan. Kemampuan
peurusahaan untuk menghasilkan laba akan dapat menarik para investor untuk
menanamkan dananya guna memperluas usahanya, sebaliknya tingkat profitabilitas yang
rendah akan menyebabkan para investor menarik dananya. Sedangkan bagi perusahaan
itu sendiri profitabilitas dapat digunakan sebagai evaluasi atas efektivitas pengelolaan
badan usaha tersebut. Menurut Brigham (1993:79) “Profitability is the net result of a
large number of policies and decision. The ratio examined thus far reveal some
interesting thing about the wry the firm operates, but the profitability ratio show the
combined objects of liquidity, asset management, and debt management on operating
mult.”
Profitabilitas perusahaan merupakan salah satu dasar penilaian kondisi suatu perusahaan,
untuk itu dibutuhkan suatu alat analisis untuk bisa menilainya. Alat analisis yang
dimaksud adalah rasio-rasio keuangan. Ratio profitabilitas mengukur efektifitas
manajemen berdasarkan hasil pengembalian yang diperoleh dari penjualan dan investasi.
Profitabilitas juga mempunyai arti penting dalam usaha mempertahankan kelangsungan
hidupnya dalam jangka panjang, karena profitabilitas menunjukkan apakah badan usaha
tersebut mempunyai prospek yang baik di masa yang akan datang. Dengan demikian
setiap badan usaha akan selalu berusaha meningkatkan profitabilitasnya, karena semakin
tinggi tingkat profitabilitas suatu badan usaha maka kelangsungan hidup badan usaha
tersebut akan lebih terjamin. Seperti diungkapkan oleh Giulio Battazzi, Angelo Secchi,
and Federico Tamagni (July 2008) dalam jurnalnya yang berjudul “Productivity,
Profitabilty, and Financial Performance” menyatakan bahwa A comparative analysis of
two crucial dimensions of firms performance: profitability and productivity, and find
independently from the particular sector of activity and from financial conditions, there
seems to be weak market pressure and little behavioral inclination for the more efficient
and more profitable firms to grow faster.”

2.1.3.2 JENIS-JENIS RASIO PROFITABILITAS


Menurut Kasmir (2010) jenis – jenis rasio profitabilitas yang dapat digunakan adalah
sebagai berikut :
1. Profit Margin On Sales
Profit margin on sales atau ratio profit margin atau margin laba atas penjualan
merupakan salah satu rasio yang digunakan untuk mengukur margin laba atas
penjualan. Cara pengukuran rasio ini adalah dengan membandingkan laba bersih
setelah pajak dengan penjualan bersih. Rasio ini dikenal dengan nama profit
margin. Menurut Harahap(2009), semakin besar rasio ini semakin baik karena
dianggap kemampuan perusahaan dalam mendapatkan laba. Terdapat dua
rumusan untuk mencari profit margi yaitu :
a. Untuk Margin Laba Kotor

𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 − 𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑃𝑜𝑘𝑜𝑘 𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛


𝑃𝑟𝑜𝑓𝑖𝑡 𝑀𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛 𝑜𝑛 𝑆𝑎𝑙𝑒𝑠 =
𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛

Margin laba kotor menunjukkan laba yang relatif terhadap perusahaan,


dengan cara penjualan bersih dikurangi harga pokok penjulan. Rasio ini
merupakan cara untuk penetapan harga pokok penjualan.

b. Untuk Margin Laba Bersih

Earnings After Interest and Tax


Net Profit Margin on Sales =
𝑆𝑎𝑙𝑒𝑠

Margin laba bersih merupakan ukuran keuntungan dengan membandingkan


antara laba setelah bunga dan pajak dibandingkan dengan penjualan. Rasio
ini menunjukkan pendapatan bersih penjualan perusahaan. Apabila rasio
Profit Margin on sales maupun Net Profit Margin tinggi menunjukkan
kemampuan perusahaan menghasilkan laba yang tinggi pada tingkat
penjualan tertentu, sebaliknya jika rasionya rendah menandakan penjualan
yang terlalu rendah untuk tingkat biaya tertentu, atau kombinasi dari kedua
hal tersebut. Rasio yang rendah bisa menunjukkan ketidakefisien
manajemen.

2. Return on Assets (ROA)


Return on Assets (ROA) adalah rasio keuntungan brsih setelah pajak terhadap
jumlah asset secara keseluruhan. Rasio ini merupakan suatu ukuran untuk menilai
seberapa tingkat pengembalian (%) dari asset yang dimiliki. Apabila rasio ini
tinggi berarti menunjukkan adanya efisiensi yang dilakukan oleh pihak
manajemen.
Darmadji dan Fakhrudin (2012) menyatakan bahwa rasio Return on Asset (ROA)
mengukur kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba atas asset yang
dimiliki perusahaan. Demikian juga Brigham dan Houston (2010) mengatakan
bahwa Return on Asset (ROA) merupakan rasio laba bersih terhadap total asset
untuk mengukur pengembalian atas total asset. Menurut Rusdin (2008) Return on
Asset (ROA) merupakan tingkat pengembalian (return) yang dihasilkan
manajemen atas modal yang ditanam oleh pemegang saham sesudah dipotong
kewajiban kepada kreditor. Berdasarkan definisi tersebut, dapat ditarik
kesimpulan bahwa return on Asset (ROA) maka semakin bagus karena
perusahaan dianggap mampu dalam menggunakan asset yang dimilikinya secara
efektif untuk mengahasilkan laba.
Rasio pengembalian atas total aktiva dihitung dengan membagi laba bersih setelah
pajak dengan total aktiva.

𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑗𝑎𝑘


𝑅𝑒𝑡𝑢𝑟𝑛 𝑜𝑛 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠 (𝑅𝑂𝐴) =
𝐴𝑠𝑒𝑡
3. Return on Equity (ROE)
Return on equity (ROE) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur
kemampuan suatu perusahaan dalam menghasilkan laba bersih dari modal sendiri
yang digunakan oleh perusahaan tersebut. Menurut Birgham (2010) para
pemegang saham melakukan investasi untuk mendapatkan pengembalian atas
uang mereka, dan rasio ini menunjukkan seberapa besar baik mereka telah
melakukan hal tersebut dari kacamata akuntansi. Secara sistematis Return on
Equity (ROE) dapat dirumuskan sebagai berikut :

𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑗𝑎𝑘


𝑅𝑒𝑡𝑢𝑟𝑛 𝑜𝑛 𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦 (𝑅𝑂𝐸) =
𝑒𝑘𝑢𝑖𝑡𝑎𝑠

2.1.3.3 TUJUAN RASIO PROFITABILITAS


Menurut Kasmir (2011: 197), yang menyatakan bahwa: tujuan rasio profitabilitas bagi
perusahaan, maupun bagi pihak luar perusahaan, yaitu:
a. Untuk mengukur atau menghitung laba yang diperoleh perusahaan dalam satu
periode tertentu.
b. Untuk menilai posisi laba perusahaan tahun sebelumnya dengan tahun sekarang.
c. Untuk menilai perkembangan laba dari waktu ke waktu.
d. Untuk menilai besarnya laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri.
e. Untuk mengukur produtivitas seluruh dana perusahaan yang digunakan baik
modal pinjaman maupun modal sendiri.
2.1.3.4 MANFAAT RASIO PROFITABILITAS

a. Mengetahui besarnya tingkat laba yang diperoleh perusahaan dalam satu periode.
b. Mengetahui posisi laba perusahaan tahun sebelumnya dengan tahun sekarang.
c. Mengetahui perkembangan laba dari waktu ke waktu.
d. Mengetahui besarnya laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri.
e. Mengetahui produktivitas dari seluruh dana perusahaan yang digunakan baik
modal pinjaman maupun modal sendiri.

2.1.4 UKURAN PERUSAHAAN

Ukuran perusahaan pada dasarnya adalah pengelompokan perusahaan kedalam beberapa


kelompok, di antaranya perusahaan besar, sedang dan kecil. Skala perusahaan merupakan
ukuran yang dipakai untuk mencerminkan besar kecilnya perusahaan yang didasarkan
kepada total aset perusahaan (Suwito dan Herawaty, 2005).

Ukuran perusahaan adalah skala perusahaan yang dilihat dari total aktiva perusahaan
pada akhir tahun. Total penjualan juga dapat digunakan untuk mengukur besarnya
perusahaan (Veronica dan Siddharta, 2005). Ukuran perusahaan menggambarkan besar
kecilnya perusahaan. Besar kecilnya usaha tersebut ditinjau dari lapangan usaha yang
dijalanakan. Penentuan skala besar kecilnya perusahaan dapat ditentukan berdasarkan
total penjualan, total asset, rata-rata tingkat penjualan (Seftianne, 2011).

Perusahaan yang berukuran besar mempunyai berbagai kelebihan dibanding perusahaan


berukuran kecil. Kelebihan tersebut yang pertama adalah ukuran perusahaan dapat
menentukan tingkat kemudahan perusahaan memperoleh dana dari pasar modal. Kedua,
ukuran perusahaan menentukan kekuatan tawar-menawar (Bargaining Power) dalam
kontrak keuangan. Dan ketiga, ada kemungkinan pengaruh skala dalam biaya dan return
membuat perusahaan yang lebih besar dapat memperoleh lebih banyak laba (Sawir, 2004)
dalam (Oktavianti, 2015).

2.1.5 LAPORAN KEUANGAN


2.1.5.1 PENGERTIAN LAPORAN KEUANGAN

Laporan keuangan pada hakekatnya merupakan hasil dari proses akuntansi yang dapat
digunakan untuk mengkomunikasikan data keuangan kepada pihak yang berkepentingan.
Ada beberapa pengertian laporan keuangan yang telah dikemukakan oleh beberapa orang
antara lain:

Menurut Siegel yang dialih bahasakan oleh Kurdi (1999), menjelaskan bahwa:

“Laporan keuangan yang diperlukan adalah neraca, laporan laba rugi, dan laporan
perubahan posisi keuangan. Ketiganya dapat digabungkan dengan laporan pelengkap
untuk melukiskan status keuangan atau kinerja organisasi.”

Menurut Bambang Riyanto (2001):

“Laporan keuangan adalah ikhtisar mengenai keadaan finansial suatu perusahaan, di


mana neraca (balance sheet) mencerminkan nilai aktiva, utang, dan modal sendiri pada
suatu saat tertentu, dan laporan laba-rugi (Income Statement) mencerminkan hasil-hasil
yang dicapai selama suatu periode tertentu, yang biasanya meliputi periode satu tahun”.

Menurut Munawir (2002) pengertian laporan keuangan adalah :

“Laporan keuangan pada dasarnya adalah hasil dari proses akuntansi yang dapat
digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi antara data keuangan atau aktivitas suatu
perusahaan dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan data atau aktivitas
perusahaan tersebut”.

Menurut IAI (2002):

“Laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan. laporan keuangan
yang lengkap meliputi neraca, laporan rugi laba, laporan perubahan posisi keuangan,
catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari
laporan keuangan.”
Komponen-komponen Laporan Keuangan terdiri dari:

1. Neraca

Neraca perusahaan disajikan sedemikian rupa yang menonjolkan berbagai unsur


posisi keuangan yang diperlukan bagi penyajian secara wajar. Neraca umumnya
mencakup pos-pos berikut:

 Aktiva berwujud,
 Aktiva tidak berwujud,
 Aktiva keuangan,
 Investasi yang diperlukan menggunakan metode ekuitas,
 Persediaan,
 Piutang usaha dan piutang lainnya,
 Kas dan setara kas,
 Hutang usaha dan hutang lainnya,
 Kewajiban yang diestimasi,
 Kewajiban berbunga jangka panjang,
 Hak minoritas, dan
 Modal saham dan pos ekuitas lainnya

Pos, judul dan sub-jumlah lainnya disajikan dalam laporan laba rugi apabila
diwajibkan oleh Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan atau apabila penyajian
tersebut diperlukan untuk menyajikan kinerja keuangan secara wajar.

2. Laporan Laba Rugi


Laporan laba rugi perusahaan disajikan sedemikian rupa yang menonjolkan
berbagai unsur kinerja keuangan yang diperlukan bagi penyaji secara wajar
selama suatu periode tertentu. Laporan keuangan laba rugi umumnya mencakup
pos-pos berikut:

 Pendapatan,
 Rugi laba perusahaan,
 Beban pinjaman,
 Bagian dari rugi atau laba perusahaan afiliasi dan asosiasi yang diperlukan
menggunakan metode ekuitas,
 Beban pajak,
 Rugi atau laba dari aktivitas normal perusahaan,
 Pos luar biasa,
 Hak minoritas,
 Rugi atau laba bersih untuk periode berjalan.

Pos, judul dan sub-jumlah lainnya disajikan dalam laporan laba rugi apabila
diwajibkan oleh Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan atau apabila penyajian
tersebut diperlukan untuk menyajikan kinerja keuangan perusahaan secara wajar.

3. Laporan Perubahan Ekuitas


Perusahaan harus menyajikan laporan perubahan ekuitas sebagai komponen
utama laporan keuangan, yang menunjukkan:

 Rugi atau laba bersih periode yang bersangkutan.


 Setiap pos pendapatan dan beban, keuntungan atau kerugian beserta
jumlahnya yang berdasarkan PSAK terkait diakui secara langsung dalam
ekuitas.
 Pengaruh kumulatif dari perubahan kebijakan akuntansi dan perbaikan
terhadap kesalahan mendasar sebagaimana diatur dalam PSAK terkait.
 Transaksi modal dengan pemilik dan distribusi kepada pemilik.
 Saldo akumulasi rugi dan laba pada awal dan akhir periode serta
perubahannya.
 Rekonsiliasi antara nilai tercatat dari masing-masing jenis modal saham,
agio dan cadangan pada awal dan akhir periode yang mengungkapkan
secara terpisah setiap perubahan.

4. Laporan Arus Kas


Laporan arus kas merupakan laporan keuangan dasar yang berisi mengenai aliran
kas masuk dan keluar perusahaan. Laporan kas ini merupakan pengganti dari
laporan perubahan posisi keuangan yang menyajikan informasi mengenai sumber
dan penggunaan dana perusahaan, dimana pengertian dana dapat didefinisikan
sebagai modal kerja (aktiva lancar dikurangi pasiva lancar), ataupun dapat
didefinisikan sebagai kas.
Perusahaan harus menyusun laporan arus kas sesuai dengan persyaratan dalam
pernyataan ini dan harus menyajikan laporan tersebut sebagai bagian yang tak
terpisah (integral) dari laporan keuangan untuk setiap periode penyajian laporan
keuangan.
5. Catatan Atas Laporan Keuangan
Catatan atas laporan keuangan harus disajikan secara sistematis. Setiap pos dalam
neraca laporan laba rugi dan laporan arus kas harus berkaitan dengan
informasi yang terdapat dalam catatan atas laporan keuangan. Catatan atas
laporan keuangan mengungkapkan:

 Informasi tentang dasar penyusunan laporan keuangan dan kebijakan


akuntansi yang dipilih dan diterapkan terhadap peristiwa dan transaksi
yang penting.
 Informasi yang diwajibkan dalam PSAK tetapi tidak disajikan di neraca,
laporan laba rugi, laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuitas.
 Informasi tambahan yang tidak disajikan dalam laporan keuangan tetapi
diperlukan dalam rangka penyajian secara wajar.

2.1.5.2 TUJUAN LAPORAN KEUANGAN


Berdasarkan pendapat Ikatan Akuntansi Indonesia (2004), tujuan laporan keuangan
adalah sebagai berikut:
1. Menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja dan perubahan
posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai
dalam pengambilan keputusan ekonomi.
2. Laporan keuangan disusun untuk memenuhi kebutuhan bersama oleh sebagian
besar pemakainya, yang secara umum menggambarkan pengaruh keuangan dari
kejadian masa lalu.
3. Laporan keuangan juga menunjukkan apa yang telah dilakukan manajemen atau
pertanggungjawaban manajemen atas sumber daya yang dipercayakan kepadanya.

Menurut Rudianto (2006), secara umum laporan keuangan disusun dengan beberapa
tujuan, diantaranya yaitu:

1. Untuk memberikan informasi keuangan yang dapat dipercaya mengenai sumber-


sumber ekonomi dan kewajiban serta modal suatu perusahaan.
2. Untuk memberikan informasi penting lainnya mengenai perubahan sumber-
sumber ekonomi dan kewajiban, seperti informasi mengenai aktivitas
pembelanjaan dan investasi.
3. Untuk mengungkapkan sejauh mungkin informasi lain yang berhubungan dengan
laporan keuangan yang relevan untuk kebutuhan pemakai laporan, seperti
informasi mengenai kebijakan akuntasi yang digunakan.

2.2 PENELITIAN TERDAHULU

Penelitian ini meneliti tentang hubungan antara ukuran perusahaan dan profitabilitas
terhadap manajemen laba telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti.

Penelitian terdahulu dilakukan oleh Agnes Utari Widyaningdyah (2001). Penelitian ini
memiliki variabel independen berupa reputasi auditor, jumlah dewan direksi, leverage,
dan presentase saham yang ditawarkan kepada publik pada saat IPO, dan variabel
dependen berupa manajemen laba. Penelitian menggunakan metode analisis berupa
analisis regresi. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu Reputasi auditor, jumlah dewan
direksi, presentase saham yang ditawarkan kepada publik pada saat IPO tidak
berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba sedangkan leverage berpengaruh
signifikan terhadap manajemen laba.
Penelitian terdahulu dilakukan oleh Siregar dan Utama (2008). Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh dari struktur kepemilikan, ukuran perusahaan, dan praktek
corporate governance terhadap besaran pengelolaan laba. struktur kepemilikan dibedakan
menjadi kepemilikan institusional dan kepemilikan keluarga, dan praktek corporate
governance diukur menggunakan tiga variabel (kualitas audit, proporsi dewan komisaris
independen, dan keberadaan komite audit. Hasil penelitian ini menunjukkan ukuran
perusahaan dan kepemilikan keluarga mempunyai pengaruh signifikan terhadap besaran
pengelolaan laba. Sedangkan variabel kepemilikan institusional dan ketiga variabel
praktek corporate governance tidak terbukti berpengaruh secara signifikan.

Penelitian terdahulu dilakukan oleh Handayani dan Rachadi (2009). Penelitian ini
meneliti tentang pengaruh ukuran perusahaan terhadap manajemen laba, dalam penelitian
ini perusahaan dibagi dalam tiga golongan, golongan besar apabila perusahaan memiliki
market value lebih dari 1triliyun rupiah dan lebih kecil dari 1 triliyun rupiah
dikategorikan sedang dan dibawah 100 milyar rupiah dikategorikan kecil. Variabel
kontrol menggunakan pertumbuhan penjualan, capital intencity, satatus akuntan publik
untuk mengukur kualitas audit dan proporsi dewan komisaris independen. Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa perusahaan besar dan sedang tidak lebih agresif dalam
melakukan praktik manajemen laba dibandingkan dengan perusahaan kecil.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dalam periode waktu yang
digunakan. Penelitian ini menggunakan periode waktu 2015 sampai dengan 2017.
Penelitian ini juga berbeda dengan penelitian sebelumnya dalam hal variable independen
yang digunakan, yaitu:

 Dengan penelitian Widyaningdyah (2001). Variabel yang digunakan adalah


reputasi auditor, jumlah dewan direksi, leverage, dan presentase saham yang
ditawarkan saat IPO. Sedangkan penelitian ini menggunakan variabel ukuran
perusahaan dan profitabilitas.
 Dengan penelitian Siregar dan Utama (2005). Variabel yang digunakan adalah
Kepemilikan institusional, kepemilikan keluarga, ukuran perusahaan, kualitas
audit, proporsi dewan komisaris independen, dan keberadaan komite audit.
Sedangkan penelitian ini menggunakan variable ukuran perusahaan dan
profitabilitas.
 Dengan penelitian Handayani dan Rachadi (2009). Variabel yang digunakan
adalah ukuran perusahaan. Sedangkan penelitian ini menggunakan variable
ukuran perusahaan dan profitabilitas.

2.3 PENGARUH VARIABEL INDEPENDEN TERHADAP VARIABEL DEPENDEN

2.3.1 Pengaruh Ukuran Perusahaan dengan Manajemen Laba

Semakin besar ukuran perusahaan, biasanya informasi yang tersedia untuk investor dalam
pengambilan keputusan yang berhubungan dengan investasi dalam perusahaan tersebut
semakin banyak. Veronica dan Utama (2006) serta Guna dan Herawaty (2010)
menemukan bahwa perusahaan yang lebih besar kurang memiliki dorongan untuk
melakukan manajemen laba dibandingkan perusahaan perusahan yang lebih kecil karena
perusahaan besar dipandang lebih kritis oleh pihak luar. Hasil serupa juga dibuktikan oleh
Jao dan Pagulung (2011) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh negatif ukuran
perusahaan terhadap nilai discretionary accrual. Sehingga, diduga bahwa ukuran
perusahaan mempengaruhi besaran pengelolaan laba perusahaan, dimana semakin besar
perusahaan maka semakin kecil pengelolaan labanya. Berdasarkan hal tersebut maka
hipotesis yang diajukan penelitian adalah sebagai berikut:

H1 : UKURAN PERUSAHAAN BERPENGARUH NEGATIF TERHADAP


MANAJEMEN LABA

2.3.2 Pengaruh Profitabilitas dengan Manajemen Laba


Profitabilitas merupakan suatu indikator kinerja manajemen dalam mengelola kekayaan
perusahaan yang ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan perusahaan (Sudarmadji dan
Sularto, 2007). Profitabilitas menunjukkan kemampuan manajemen dalam menghasilkan
laba dengan memanfaatkan aktiva yang digunakan dalam kegiatan operasi. Perusahaan
dengan laba yang besar akan tetap mempertahankan labanya karena untuk memberikan
dampak kepercayaan terhadap investor dalam hal berinvestasi. Oleh sebab itu manajemen
termotivasi untuk melakukan manajemen laba dengan melakukan praktik perataan laba
agar laba yang dilaporkan tidak berfluktuatif sehingga dapat meningkatkan kepercayaan
investor. Selain itu, manajer melakukan tindakan manajemen laba juga terkait dengan
pemberian bonus atau kompensasi. Dalam Bonus Plan Hypothesis menyatakan bahwa
apabila pada tahun tertentu kinerja sesungguhnya berada di bawah syarat untuk
memperoleh bonus, maka manajer akan melakukan manajemen laba agar labanya dapat
mencapai tingkat minimal untuk memperleh bonus. Sebaliknya, jika pada tahun itu
kinerja yang diperoleh manajer jauh di atas jumlah yang diisyaratkan untuk memperoleh
bonus, manajer akan mengelola dan mengatur agar laba yang dilaporkan menjadi tidak
terlalu tinggi. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Widyastuti (2009) yang
menyatakan semakin besar tingkat profitabilitas maka semakin besar terjadinya
manajemen laba. Berdasarkan hal tersebut maka hipotesis yang diajukan penelitian
adalah sebagai berikut:
H2 : PROFITABILITAS BERPENGARUH POSITIF TERHADAP MANAJEMEN
LABA

2.4 KERANGKA KONSEPTUAL


Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai pengaruh variable
ukuran perusahaan dan profitibilitas terhadap manajemen laba sehingga kerangka analisis
dapat digambarkan sebagai berikut:

UKURAN PERUSAHAAN

X1 H1 (-)

MANAJEMEN LABA

Y
PROFITABILITAS
H2 (+)
X2

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual


2.5 PERUMUSAN HIPOTESIS
Berdasarkan uraian yang dijelaskan pada bab ini, maka dirumuskan hipotesis sebagai
berikut :
H1 : UKURAN PERUSAHAAN BERPENGARUH NEGATIF TERHADAP
MANAJEMEN LABA
H2 : PROFITABILITAS BERPENGARUH POSITIF TERHADAP MANAJEMEN
LABA

Вам также может понравиться