Вы находитесь на странице: 1из 46

MAKALAH PENYAKIT TROPIS

FILARIASIS, TONSILITIS, LEPTOSPIROSIS

Oleh :

Kelompok 3

HAKMAN ASFIANTO C12114007

HALIMAH C12114023

SWASTIKA FADIA AMALINA C12114022

IRFANI SYAFRI C12114015

IIN ZWORINSDY C121140

SURYANTI C121130

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2016

1
DAFTAR ISI

2
BAB
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan
bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan ilmu dan kiat
keperawatan yang berbentuk pelayanan biopsikososial dan spiritual yang
komprehensif serta ditujukan kepada individu, keluarga, masyarakat baik sakit
maupun sehat yang mencankup seluruh siklus kehidupan manusia. Pelayanan
keperawatan dilakukan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan,
pencegahan penyakit, penyembuhan serta pemeliharaan kesehatan dengan
penekanan serta pemeliharaan kesehatan khususnya pada klien. (Perry, Potter.
2005).
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi filariasis?
2. Bagaimana etiologi filariasis?
3. Bagaimana manifestasi klinik filariasis?
4. Bagaimana patofisiologi filariasis?
5. Apa pemeriksaan penunjang pada filariasis?
6. Bagaimana asuhan keperawatan filariasis?
7. Apa definisi tonsilitis?
8. Bagaimana etiologi tonsilitis
9. Bagaimana manifestasi klinik tonsilitis?
10. Bagaimana patofisiologi tonsilitis?
11. Apa pemeriksaan penunjang pada tonsilitis?
12. Bagaimana asuhan keperawatan tonsilitis?
13. Apa definisi leptospirosis?
14. Bagaimana etiologi leptospirosis?
15. Bagaimana manifestasi klinik leptospirosis?
16. Bagaimana patofisiologi leptospirosis?
17. Apa pemeriksaan penunjang pada leptospirosis?
18. Bagaimana asuhan keperawatan leptospirosis?

3
C. Tujuan
1. Apa definisi filariasis?
2. Bagaimana etiologi filariasis?
3. Bagaimana manifestasi klinik filariasis?
4. Bagaimana patofisiologi filariasis?
5. Apa pemeriksaan penunjang pada filariasis?
6. Bagaimana asuhan keperawatan filariasis?
7. Apa definisi tonsilitis?
8. Bagaimana etiologi tonsilitis
9. Bagaimana manifestasi klinik tonsilitis?
10. Bagaimana patofisiologi tonsilitis?
11. Apa pemeriksaan penunjang pada tonslitis?
12. Bagaimana asuhan keperawatan tonsilitis?
13. Apa definisi leptospirosis?
14. Bagaimana etiologi leptospirosis?
15. Bagaimana manifestasi klinik leptospirosis?
16. Bagaimana patofisiologi leptospirosis?
17. Apa pemeriksaan penunjang pada leptospirosis?
18. Bagaimana asuhan keperawatan leptospirosis?

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Filariasis
Filariasis atau lebih di kenal
elephantiasis ( kaki gajah) adalah penyakit
akibat nematode yang seperti cacing yaitu
bancrofti. Brugia malayi dan brugia timori
yang dikenal sebagai filaria. infeksi ini
biasanya terjadi pada saat kanak-kanak
dan manifestasi yang dapat terlihat
belakangan ,menetap dan menimbulkan
ketidakmampuan menetap. (Nurarif, dkk,
2015)
B. Etiologi
Wuchereria bancrofti merupakan cacing dewasa berwarna putih ,kecil
seperti benang. Cacing jantan berukuran 40 mm x 0,1 mm, sedangkan cacing
betina berukuran dua kali cacing jantan yaitu 80-100 x 0,2- 0,3 mm. ( sumarno
2002) .Manusia merupakan satu-satunya hopes yang diketahui . Penularannya
melalui proboscis ( labela ) sewaktu gigitan nyamuk yang mengandung larva
infektif. Larva akan terdeposit di kulit , berpindah ke pembuluh limfa
berkembang menjadi cacing dewasa selama 6-12 bulan dan menyebabkan
kerusakan dan pembesaran limfa . filaria dewasa hidup tahun di tubuh manusia .
selama periode tersebut filarial berkembang menghasilkan jutaan microfilaria
( umur 3-36 bulan) belum masak ,beredar di daerah perifer dan dapat di hisap
oleh nyamuk yang kemudian menularkan kemanusia lain. ( yuliana eline,2011)
Karena filariasis bancrofti dapat berlangsung selama beberapa tahun, maka
dapat mempunyai perputaran klinis yang berbeda beda . Reaksi pada manusia
terhadap infeksi filaria berbeda beda tidak mungkin stadium ini dibatasi dengan
pasti, sehingga seringkali pembagiannya atas dasar akibat infeksi filariasis
yaitu ( sudoyo Aru,dkk 2009)
1. Bentuk tanpa gejala
2. Filariasis dengan peradangan

5
3. Filariaisis dengan penyumbatan
C. Manifestasi Klinis
1. Gejala tampak setelah 3 bulan infeksi
2. Umumnya masa tunas 8-12 bulan
3. Fase akut menimbulkan peradangan seperti limfangitis, limfadentis,
furikulitis ,epididimitis dan orkitis
4. Gejala dari limfadentis nyeri lokal ,keras didaerah kelenjar limfe,
demam ,sakit kepala dan badan ,mual muntah ,lesu dan tidak nafsu
makan
5. Fase akut dapat sembuh spontan setelah beberapa hari dan beberapa
kasus mengalami kekambuhan tidak teratur selama berminggu minggu
atau bulan sebelum sembuh
6. Fase kronik terjadi dengan gejala hidrokel ,kluria ,limfedema, dan
elephantiasis

6
D. Patofisiologi
E.
Pengisapan Metamorfosis
F.
mikrofilaria dari mikrofilaria di dalam Membentuk larva
G.
darah/jaringan oleh rabditiform
horpes perantara
serangga
H. penghisap
serangga (nyamuk)
darah
I.
Penularan larva
Menuju pembuluh Larva masuk ke infektif ke dalam
J. dan kelenjar
darah dalam tubuh lewat kulit hospes baru,
luka gigitan melalui proboscis
K. limfe
gigitan nyamuk

Menjadi cacing Kerusakan gatah


L.
dewasa bening
M.

Mikrofilaria Proses inflamasi


N.
berkembangbiak dan
meninggalkan
O. induk
Hipertermi
Nyeri
Menembus dinding
pembuluh limfe
Penekanan saraf oleh
granulasi mikrofilaria
Menuju pembuluh Penyumbatan saluran
darah/terbawa
saluran limfe ke Proses penyakit
dalam aliran Stadium menahun (destruksi gangguan
saraf)

Salah satunya Granulasi yang


proliferative serta Kandungan protein
menuju ke ginjal
terbentuk varises meningkat dalam
saluran limfe yang luas saluran limfe

Hematuria Proteinuria
Terbentuk jaringan ikat
dan kolagen di saluran
Anemia Gangguan eliminasi limfe yang terinfeksi
urine

Gangguan citra Gangguan aktivitas


tubuh Semakin membesar
7
(elephantiasis)
Hambatan mobilitas fisik
E. Pemeriksaan penunjang
1. Penyakit gajah ini umumnya tredeteksi melalui pemeriksaan mikroskopis
darah. Sampai saat ini hal tersebut masih dirasakan sulit di lakukan karena
mikrofilaria hanya muncul dan menampilkan diri dalam darah pada waktu
malam hari selama beberapa jam saja ( nocturnal peridicity)
2. Selain itu berbgai metode pemeriksaaan juga dilakukan untul mendiagnosa
penyakit kaki gajah , diantaranya ialah dengan sistem yang dikenal sebagai
penjaringan membran ,metode konsentrasi knott dan teknik pengendapan
3. Metode pemeriksaan yang mendekati ke arah diagnosa dan diakui oleh
WHO dengan pemeriksaan system ‘’tes kartu “hal ini sangatlah sederhana
dan peka untuk mendeteksi penyebaran parasit ( larva) yaitu dengan
mengambil sampel darah sistem tusukan dari jari droples diwaktu
kapanpun ,tidak harus di malam hari.

Pemeriksaan diagnostic
Menggunakan sediaan darah malam, diagnosis praktis juga dapat
menggunakan ELISA dan rapid test dengan teknik imunokromatografik assay.
Jika pasien sudah terdeteksi kuat telah mengalami filariasis limfatik, penggunaan
USG Doppler diperlukan untuk mendeteksi pengerakan cacing dewasa di tali
sperma pria atau kelenjer mamae wanita.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan filariasis bergantung kepada keadaan klinis dan beratnya
penyakit ( Addis DG , Dreyer G)
1. Terapi medikamentosa
 Diethylcarbamazine citrate (DEC)
WHO merekomendasikan pemberian DEC dengan dosis 6 mg/mkBB
memberikan efek samping yang berat ,sehingga pemberian DEC
dilakukan berdasarkan usia dan dikombinasi dengan albendazol.
 Ivermectin
Obat ini merupakan antibiotik semisintetik golongan makrolid yang
berfungsi sebagai agent mikrofilarisidal poten. Dosis tunggal 200-400

8
ug/kg dapat menurunkan mikrofilaria dalam darah tepi untuk waktu 6-
24 bulan .Obat belum digunakan di Indonesia.
 Albendazol
Obat ini digunakan untuk pengobatan cacing intestine selama bertahun
tahun dan baru aru ini di coba digunakan sebagai anti filaria.
Albendazol hanya mempunyai sedikit efek untuk mikrofilaremia dan
antigenaemia jika digunakan sendiri. Dosis tunggal 400 mg
dikombinasi dengan DEC atau ivermectin efektif menghancurkan
mikrofilaria.
 Pemberian benzopyrenes, termaksuk flavonoids dan coumarin dapat
menjadi terapi tambahan.
2. Pembedahan
Tindakan pembedahan pada limfedema bersifat paliatif, indikasi
tindakan bedah adalah jika tidak terdapat perbaikan dengan terapi
konservatif, limfedema sangat besar sehingga menggaggu aktifitas dan
pekerjaan dan menyebabkan tidak berhasilnya terapi konservatif.
3. Gaya Hidup
1) Kontak dengan nyamuk terinfeksi dapat dikurangi melalui penggunaan
obat oles anti nyamuk ,kelambu, atau insektisida.
2) Mengikuti edukasi yang diberikan tenaga kesehatan atau pemerintah
tentang filariasis ( cara penyebaran,pencegahan dll).
3) Bagi yang masih terkena
 Pencucian dengan sabun dan air dua kali per hari
 Menaikkan tungkai yang terkena pada malam hari
 Ekstremitas digerakkan teratur untuk melancarkan aliran
 Menjaga kebersihan kuku
 Memakai alas kaki
 Mengobati luka kecil dengan antiseptik atau antibiotik2

9
F. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat
kelainan imun. Cacing filariasis menginfeksi manusia melalui gigitan
nyamuk infektif yang mengandung larva stadium III. Gejala yang
timbul berupa demam berulang-ulang 3-5 hari, demam ini dapat hilang
pada saat istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat.
2. Aktifitas / Istirahat
Gejala : Mudah lelah, intoleransi aktivitas, perubahan pola tidur.
Tanda : Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi
aktivitas
3. Sirkulasi
Tanda : Perubahan TD, menurunnya volume nadi perifer,
perpanjangan pengisian kapiler.
4. Integritas dan Ego
Gejala : Stress berhubungan dengan perubahan fisik,
mengkuatirkan penampilan, putus asa, dan sebagainya.
Tanda : Mengingkari, cemas, depresi, takut, menarik diri, marah.
5. Integumen
Tanda : Kering, gatal, lesi, bernanah, bengkak, turgor jelek.
6. Makanan/Cairan
Gejala : Anoreksia, permeabilitas cairan
Tanda : Turgor kulit buruk, edema.
7. Hygiene
Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS
Tanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.
8. Neurosensoris
Gejala : Pusing, perubahan status mental, kerusakan status indera
peraba, kelemahan otot.
Tanda : Ansietas, refleks tidak normal.
9. Nyeri /Kenyamanan

10
Gejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit kepala.
Tanda : Bengkak, penurunan rentang gerak.
10. Keamanan
Gejala : Riwayat jatuh, panas dan perih, luka, penyakit defisiensi
imun, demam berulang, berkeringat malam.
Tanda : Perubahan integritas kulit, pelebaran kelenjar limfe.
11. Seksualitas
Gejala : Menurunnya libido
Tanda : Pembengkakan daerah skrotalis
12. Interaksi Sosial
Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, isolasi, kesepian.
Tanda : Perubahan interaksi, harga diri rendah, menarik diri.
b. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermia b.d peradangan pada kelenjar getah bening
2. Nyeri akut b.d pembengkakan kelenjar limfe
3. Gangguan citra tubuh b.d tahap perkembangan penyakit, perubahan pada
struktur dan fungsi tubuh.
4. Hambatan mobilitas fisik b.d pembengkakan kelenjar limfe
5. Resiko ketidakberdayaan b.d perjalanan penyakit , perubahan dalam
status peran
6. Gangguan eliminasi urine b.d infeksi saluran kemih
7. Ansietas b.d proses penyakit
c. Intervensi Keperawatan
1. Hipertermi b.d peradangan pada kelenjar getah bening

NOC
Termoregulasi
Definisi: Keseimbangan antara produksi panas, mendapatkan panas, dan
kehilangan panas
Skala target outcome: dipertahankan pada 4 ditingkatkan ke 5
Berat Cukup Sedang Ringan Tidak ada
Skala Outcome
berat

11
Hipertermi 1 2 3 4 5 NA
Sakit kepala 1 2 3 4 5 NA
Sakit otot 1 2 3 4 5 NA
Perubahan warna kulit 1 2 3 4 5 NA
Berat Cukup Sedang Ringan Tidak ada
Skala Outcome
berat
Melaporkan NA
1 2 3 4 5
kenyamanan suhu
Tingkat pernapasan 1 2 3 4 5 NA
Denyut nadi radial 1 2 3 4 5 NA
Denyut jantung apikal 1 2 3 4 5 NA

Keparahan infeksi
Definisi: Keparahan tanda dan gejala infeksi
Skala target outcome: dipertahankan pada 4 ditingkatkan ke 5
Berat Cukup Sedang Ringan Tidak ada
Skala Outcome
berat
Kemerahan 1 2 3 4 5 NA
Vesikel yang tidak 1 2 3 4 5 NA
mengeras
permukaannya
Demam 1 2 3 4 5 NA
Nyeri 1 2 3 4 5 NA
Malaise 1 2 3 4 5 NA
Hilang nafsu makan 1 2 3 4 5 NA
Menggigil 1 2 3 4 5 NA
peningkatan jumlah 1 2 3 4 5 NA
sel drah putih

12
Hidrasi
Definisi: Ketersediaan air yang cukup dalam kompartemen intraseluler dan
ekstraseluler tubuh
Skala target outcome: dipertahankan pada 4 ditingkatkan ke 5
Sangat Besarly Cukup Sedikit Tidak
Skala Outcome terganggu compro terganggu teganggu terganggu
mised
Turgor kulit 1 2 3 4 5 NA
Membran mukosa 1 2 3 4 5 NA
lembab
Intake cairan 1 2 3 4 5 NA
Perfusi jaringan 1 2 3 4 5 NA
Berat Cukup Sedang Ringan Tidak ada
Skala Outcome
berat
Bola mata cekung 1 2 3 4 5 NA
dan lunak
Nadi cepat dan 1 2 3 4 5 NA
lemah
Peningkatan suhu 1 2 3 4 5 NA
tubuh

NIC
1. Perawatan Demam
 Pantau suhu dan tanda tanda vital lainnya
 Monitor warna kulit dan suhu
 Monitor asupan dan keluaran, sadari perubahan kehilangan cairan yang di
rasakan
 Beri obat cairan IV ( misalnya ,antipiretik.agen anti bakteri,dan agen anti
menggigil)
 Tutup pasien dengan selimut atau pakaian ringan,tergantung pada fase
demam ( yaitu: memberikan selimut hangat untuk fase dingin,

13
menyediakan pakaian atau limen tempat tidur ringan untuk demam dan
fase bergejolak /flush)
 Dorong konsumsi cairan
 Fasilitasi istirahat yang sesuia
 Mandikan pasien dengan spons hangat dengan hati hati ( berikan pasien
dengan suhu yang sangat tinnggi ,tidak memberikannya selama fase dingin,
dan hindari agar tidak menggigil)
 Pantau komplikasi komplikasi yang berhubungan dengan demam serta
tanda dan gejala kondisi penyebab demam( misalnya kejang,penurunan
tingkat kesadaran,status erekltrolit abnormal ,ketidakseimbangan asam
basa,aritmia jantung dan perubahan abnormalitas dll
 Lembabkan bibit dan mukosa yang kering.
 Monitor kalori dan asupan makanan
 Monitor kecenderungan terjadinya penurunan dan kenaikan berat badan.
2. Kontrol Infeksi
 Bersihkan lingkungan dengan baik setelah di gunakan untuk setiap pasien
 Ganti peralatan pasien sesuia protokol institusi
 Pertahankan teknik isolasi yang sesuia
 Ajarkan cara cuci tangan bagi tenaga kesehatan
 Cuci tangan sebelum dan sesudah kegiatan perawatan pasien .
 Pakai sarung tangan yang steril denan tepat
 Jaga lingkungan aseptik yang optimal selama penusukan di samping
tempat tidur dari saluran penghubung
 Pastikan penanganan aseptik dari semua saluran IV
 Pastikan teknik perawatan luka yang tepat
 Dorong untuk batuk dan bernafas dalam yang tepat
 Tingkatkan intake nutrisi yang tepat
 Dorong intake cairan yang sesuai
 Anjurkan pasiem minum antibiotik seperti yang di resepkan .
 Dokumentasi respon terhadap analgesik dan adanya efek samping

14
 Lakukan tindakan untuk menurunkan efek samping analgesik(misalnya ,
konstipasi dan iritasi lambung.
3. Manajemen Nutrisi
 Tentukan status gizi pasien dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
gizi
 Identifikasi adanya alergi atau intoleransi makanan yang dimiliki pasien
 Instruksikan pasien mengenai kebutuhan nutrisi ( yaitu:membahas
pedoman diet dan piramida makanan)
 Tentukan jimlah dan jenis nutrisi yang di butuhkan untuk memenuhi
persyaratan gizi.
 Ciptakan lingkungan yang optimal pada saat mengkonmsumsi makan
( misalnya : santai, dan bebas dari bau yang menyengat
 Beri obat-obat sebelum makan ( misalnya: penghilang rasa sakit,
antimietik) jika di perlukan.

2. Gangguan citra tubuh b.d tahap perkembangan penyakit, perubahan


pada struktur dan fungsi tubuh.
NOC
Citra tubuh
Definisi: Persepsi terhadap penampilan dan fungsi tubuh sendiri
Skala target outcome: dipertahankan pada 4 ditingkatkan ke 5
Tidak Jarang Kadang- Sering Konsisten
Skala Outcome pernah positif kadang positif positif
positif positif
Gambaran internal diri 1 2 3 4 5 NA
Kesesuaian antara NA
realitas tubuh dan
1 2 3 4 5
ideal tubuh dengan
penampilan tubuh
Sikap terhadap NA
menyentuh bagian 1 2 3 4 5
tubuh yang terkena

15
Penyesuaian terhadap NA
1 2 3 4 5
proses penyakit
Kepuasan dengan NA
1 2 3 4 5
fungsi tubuh
Penyesuaian terhadap NA
perubahan tampilan 1 2 3 4 5
fisik
Kepuasan dengan NA
1 2 3 4 5
penampilan tubuh
Sikap terhadap NA
penggunaan strategi
1 2 3 4 5
untuk meningkatkan
fungsi tubuh

Koping
Definisi: Tindakan pribadi untuk mengelola stres yang membebani individu
Skala target outcome: dipertahankan pada 4 ditingkatkan ke 5
Tidak Jarang Kadang- Sering Secara
pernah menun kadang menun konsisten
Skala Outcome
menun jukkan menunj jukkan menunjukk
jukkan ukkan an
Mengidentifikasi pola
1 2 3 4 5 NA
koping yang efektif
Mengidentifikasi pola
koping yang tidak 1 2 3 4 5 NA
efektif
Menyatakan perasaan
1 2 3 4 5 NA
akan kontrol diri
Melaporkan
1 2 3 4 5 NA
pengurangan stres
Menyatakan
1 2 3 4 5 NA
penerimaan terhadap

16
situasi
Mencari informasi
terpercaya tentang 1 2 3 4 5 NA
diagnosis
Mencari informasi
terpercaya tentang 1 2 3 4 5 NA
pengobatan
Menggunakan strategi
1 2 3 4 5 NA
koping yang efektif
Menggunakan sistem
1 2 3 4 5 NA
dukungan personal

NIC
1. Peningkatan Citra Tubuh
 Tentukan harapan citra diri pasien didasarkan pada tahap perkembangan
 Gunakan bimbingan antisipasif menyiapkan pasien terkait dengan
perubahan-perubahan citra tubuh yang dialami
 Tentukan jika terdapat perasaan tidak suka terhadap karakteristik fisik
khusus yang menciptakan disfungsi paralisis sosial untuk remaja dan
kelompok dengan risiko tinggi lain
 Bantu pasien untuk mendiskusikan perubahan-perubahan bagian tubuh
disebabkan adanya penyakit
 Bantu pasien menentukan keberlanjutan dari perubahan-perubahan aktual
dari tubuh atau tingkat fungsinya
 Bantu pasien memisahkan penampilan fisik dari perasaan berharga secara
pribadi dengan cara yang tepat
 Bantu pasien untuk mendiskusikan stresor yang mempengaruhi citra diri
terkait dengan penyakit
 Identifikasi dampak dari budaya pasien, agama, ras, jenis kelamin, dan
usia terkait dengan citra diri
 Monitor pernyataan yang mengidentifikasi citra tubuh mengenai ukuran
dan berat badan

17
 Tentukan persepsi pasien dan keluarga terkait dengan perubahan citra diri
dan realitas
 Tentukan apakah perubahan citra tubuh berkontribusi pada peningkatan
isolasi sosial
 Bantu pasien untuk mengidentifikasi tindakan-tindakan yang akan
meningkatkan penampilan
 Fasilitasi kontak dengan individu yang mengalami perubahan yang sama
dalam hal citra tubuh

2. Peningkatan Koping
 Dukung hubungan pasien dengan orang yang memiliki ketertariak dan
tujuan yang sama
 Berikan penilaian kemampuan penyesuaian pasien terhadap perubahan
dala citra tubuh
 Dukung pasien untuk mengidentifikasi deskrpsi yang realistik terhadap
adanya perubahan dalam peran
 Beikan penilaian mengenai pemahaman pasien terahadap proses penyakit
 Gunakan pendekatan yang tenang dan memberikan jaminan
 Sediakan informasi aktual mengenai diagnosis, penanganan, dan prognosis
 Dukung aktivitas sosial dan komunitas
 Kenali latar belakang budaya atau spritual pasien
 Dukung penggunaan sumber-sumber spritual
 Mengenalkan pasien pada seseorang yang telah berhasil melewati
pengalaman yang sama
 Diskusikan konsekuensi dari tidak mengatasi rasa bersalah dan malu
 Dukung pasien untuk mengidentifikasi kekuatan dan kemampun diri
 Bantu pasien untuk mengidentifikasi sistem dukungan yang tersedia
 Berikan keterampilan sosial yang tepat
 Bantu pasien untuk mengidentifikasi strategi positif untuk mengatasi
keterbatasan dan mengelola kebutuhan gaya hidup maupun perubahan
peran

18
A. Definisi Tonsilitis
Tonsilitis adalah inflamasi dari tonsil palatine yang disebabkan oleh
infeksi. Infeksi bakteri streptococcus beta hemolitik, namun dapat juga
disebabkan oleh bakteri jenis lain atau oleh infeksi virus. Tonsilitis akut
adalah radang akut yang disebabkan oleh kuman streptococcus beta
hemolyticus, streptococcus viridons dan streptococcus pygenes, dapat juga
disebabkan oleh virus. Sedangkan Tonsilitis kronik merupakan hasil dari
serangan tonsillitis akut yang berulang (Suzanne, O'Connell, Brenda, &
Janice, 2010).

B. Etiologi
Penyebab dari tonsillitis adalah infeksi bakteri Streptococcus beta
Hemolyticus, Streptococcus viridan, dan Streptococcus pyogenes. Tonsil
yang seharusnya berfungsi untuk mebuat limfosit, yaitu sejenis sel darah
putih yang bertugas membunuh kuman yang masuk kedalam tubuh melalui
mulut. Tonsil akan berubah menjadi tempat infeksi bakteri maupun virus,
sehingga mengalami pembengkakan dan inflamasi yang menyebabkan
terjadinya tonsillitis (Don & M. J., 2007).
C. Manifestasi Klinis
Ada beberapa manifestasi klinis dari tonsillitis menurut (Suzanne, O'Connell,
Brenda, & Janice, 2010) , yaitu:
a. Rasa gatal dan kering pada tenggorakan

19
b. Anoreksia
c. Otalgia
d. Tonsil membengkak dan terjadi inflamasi
e. Sakit tenggorakan dan disvagia
f. Kadang muntah
D. Klasifikasi
Ada tiga jenis utama dari tonsilitis, yaitu:
1) Tonsilitis akut

Tonsilitis akut adalah radang akut yang disebabkan oleh kuman


streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridons dan streptococcus
pygenes, dapat juga disebabkan oleh virus (Mansjoer,A. 2000). Tonsilitis
akut merupakan suatu inflamasi akut yang terjadi pada tonsilla palatina,
yang terdapat pada daerah orofaring disebabkan oleh adanya infeksi
maupun virus. (Sutji Pratiwi,2008).
2) Subakut tonsilitis - terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh Actinomyces
bakteri - organisme anaerob yang bertanggungjawab untuk keadaan
suppuratif pada tahap infeksi. Infeksi ini bisa bertahan antara tiga minggu
dan tiga bulan (Eunice, 2014).
3) Tonsilitis kronis
Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi
pada tonsila palatina yang menetap (Chan, 2009). Tonsilitis Kronis
disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang
mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme
patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang
lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan
tubuh penderita mengalami penurunan (Colman, 2001). Tonsilitis kronik
timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis
makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan
pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.

E. Patofisiologi

20
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Tonsil
berperan sebagai filter yang menyelimuti bakteri ataupun virus yang masuk
dan membentuk antibody terhadap infeksi. Kuman menginfiltrasi lapisan
epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial mengadakan
reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli
morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi
bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit,
bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut
tonsillitis falikularis. Pada tonsilitis akut dimulai dengan gejala sakit
tenggorokan ringan hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa
sakit tenggorokannya sehingga sakit menelan dan demam tinggi (39C-40C).
Sekresi yang berlebih membuat pasien mengeluh sakit menelan, tenggorokan
akan terasa mengental. (Charlene J. Reeves,2001). Tetapi bila penjamu
memiliki kadar imunitas antivirus atau antibakteri yang tinggi terhadap
infeksi virus atau bakteri tersebut, maka tidak akan terjadi kerusakan tubuh
ataupun penyakit. Sebaliknya jika belum ada imunitas maka akan terjadi
penyakit (Arwin, 2010).
Sistem imun selain melawan mikroba dan sel mutan, sel imun juga
membersihkan debris sel dan mempersiapkan perbaikan jaringan. Pada
tonsillitis kronik terjadi karena proses radang berulang yang menyebabkan
epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses
penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan
mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi
oleh detritus.
Infiltrasi bakteri pada epitel jaringan tonsil akan menimbulkan radang
berupa keluarnya leukosit polymorphnuklear serta terbentuk detritus yang
terdiri dari kumpulan leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang lepas.
Patofisiologi tonsilitis kronis Menurut Farokah, 2003 bahwa adanya infeksi
berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh
semua kuman sehingga kuman kemudian menginfeksi tonsil. Pada keadaan
inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi tempat infeksi
(fokal infeksi). Dan satu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh

21
tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun. Proses radang
berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid
terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh
jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar.
Secara klinik kripta ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus
sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan
dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris. roses ini disertai dengan
pembesaran kelenjar limfa submandibula (Rusmarjono, 2006).
F. Pemeriksaan Penunjang
Rapid Antigen Display Test (RADT) dikembangkan untuk identifikasi
streptokokus Grup A dengan melakukan apusan tenggorokan. Meskipun tes ini
lebih mahal daripada kultur agar darah, tesnya memberikan hasil yang lebih
cepat. RADT memiliki akurasi 93% dan spesifisitas > 95% dibandingkan
dengan kultur darah. Hasil tes false positive jarang berlaku. Identifikasi yang
cepat dan pengobatan pasien dapat mengurangi resiko penyebaran tonsilitis
yang disebabkan oleh streptokokus grup A dan terapi yang tepat dapat
diperkenalkan (Bisno et al., 2002).
Suatu penelitian dilakukan di Iraq untuk membandingkan antara swab
tenggorokan dan kultur tonsil core pada tonsilitis kronis. Patogen terdeteksi
sebanyak 41% pada swab dibandingkan 90,4% di tonsil core, sedangkan flora
normal yang terdeteksi adalah sebanyak 58,9% pada swab dibandingkan
9,59% di tonsil core. [Hasil dari penelitian ini meyokong hasil dari penelitian
Kurien, et al.,(2000)],yang menemukan patogen pada 55% dari swab
tenggorokan dan 72,5% dari kultur core (Yousef et al.,2014 ).
G. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
 Identitas klien yang terdiri dari nama, umur, suku/bangsa, status
perkawinan, agama, pendidikan, alamat, nomor register, tanggal
datang ke rumah sakit.
 Riwayat kesehatan yang terdiri dari :
a) Keluhan utama adalah keluhan atau gejala apa yang menyebabkan
pasien berobat atau keluhan atau gejala saat awal dilakukan

22
pengkajian pertama kali yang utama. Keluhan utama klien
tonsilitis biasanya nyeri pada tenggorokan dan pada saat menelan
disertai demam.
b) Riwayat kesehatan sekarang adalah faktor yang melatarbelakangi
atau mempengaruhi dan mendahuli keluhan, bagaimana sifat
terjadinya gejala (mendadak, perlahan-lahan, terus menerus atau
berupa serangan, hilang dan timbul atau berhubungan dengan
waktu), lokalisasi gejalanya dimana dan sifatnya bagaimana
(menjalar, menyebar, berpindah-pindah atau menetap).
Bagaimana berat ringannya keluhan berkurang, lamanya keluhan
berlangsung atau mulai kapan serta upaya yang telah dilakukan
apa saja.
c) Riwayat kesehatan masa lalu dapat ditanyakan seperti riwayat
pemakaian jenis obat, jumlah dosis dan pemakaiannya, riwayat
atau pengalaman masa lalu tentang kesehatan atau penyakit yang
pernah dialami atau riwayat masuk rumah sakit atau riwayat
kecelakaan.
d) Riwayat kesehatan keluarga
Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit tonsillitis
 Status Sosial
Status sosial ekonomi atau mempengaruhi tingkat pendidikan,
sedangkan tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat
pengetahuan klien dan hal ini akan berpengaruh pada pola
hidup dan kebiasaan sehari-hari yang akan mencerminkan
tingkat kesehatan klien.
 Penampilan umum
1) Kulit pucat kering
2) Lemah
3) Tanda-tanda vital : pola pernafasan dan suhu tubuh
meningkat
4) Tingkat kesadaran : composmetis, somnolen, sofor, koma,
delirium

23
5) Konsentrasi : mampu berkonsentrasi atau tidak
6) Gaya jalan : seimbang atau tidak
7) Koordinasi anggota gerak : mampu menggerakan anggota
tubuh atau tidak
b. Diagnosa
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (misalnya;
infeksi, iskemia, neoplasma)
2) Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi pada tonsil
c. Asuhan Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (misalnya;
infeksi, iskemia, neoplasma)
Definisi: pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan actual dan
potensial atau yang digambarkan sebagai kerusakan, awitan yang
tiba-tiba atau lambat dari intesitas ringan hingga berat dengan akhir
yang dapat diantisipasi atau diprediksi.

NOC
Kontrol nyeri

Tidak Jarang Kadang- Sering Secara


Skala Outcome pernah menunjuk kadang menunjuk konsisten
Keseluruhan menunjuk kan menunjukkan kan menunjukkan
kan
Mengenali kapan NA
1 2 3 4 5
nyeri terjadi
Melakukan NA
tindakan 1 2 3 4 5
pencegahan
Menggunakan NA
tindakan
1 2 3 4 5
pengurangan
(nyeri) tanpa

24
analgesik
Menggunakan NA
analgesic yang 1 2 3 4 5
direkomendasikan
Mengenali apa NA
yang terkait
1 2 3 4 5
dengan gejala
nyeri
Melaporkan nyeri NA
1 2 3 4 5
yang terkontrol

Tingkat nyeri
Skala Outcome Berat Cukup berat Sedang Ringan Tidak
Keseluruhan ada
Mengerang dan menangis 1 2 3 4 5 NA
Menggosok area yang 1 2 3 4 5 NA
terkena dampak
Ekspresi nyeri wajah 1 2 3 4 5 NA
Iritabilitas 1 2 3 4 5 NA
Kehilangan nafsu makan 1 2 3 4 5 NA
Mual 1 2 3 4 5 NA
Berkeringat berlebihan 1 2 3 4 5 NA

Pengetahuan : manajeman nyeri


Skala Tidak ada Pengetahuan Pengetahuan Pengetahuan Pengetahuan
Outcome pengetahuan terbatas sedang banyak sangat
Keseluruhan banyak
Strategi untuk NA
mengontrol 1 2 3 4 5
nyeri
Penggunaan 1 2 3 4 5 NA

25
obat yang
benar dari
obat-obat
yang
diresepkan
Tindakan- NA
tindakan 1 2 3 4 5
pencegahan
Manfaat NA
1 2 3 4 5
pemijatan

NIC
1. Pengalihan
 Motivasi klien untuk memilih teknik pengalihan yang diinginkan
(misalnya, music, terlibat dalam percakapan atau mencerikan dengan rinci
sebuah peristiwa atau cerita, imajinasi terbimbing, atau latihan pernapasan
dalam)
 Ajarkan pasien mengenai manfaat merangsang berbagai indra (misalnya,
music, berhitung, televisi, membaca)
 Identifikasi bersama klien mengenai daftar kegiatan yang menyenangkan
 Dorong partisipasi keluarga dan orang terdekat klien serta berikan
pengajaran yang diperlukan
2. Terapi Musik
 Definisikan perubahan spesifik perilaku dan fisiologi seperti yang
diinginkan (misalnya, relaksasi, stimulasi, konsentrasi dan pengurangan
nyeri)
 Pertimbangkan minat klien terhadap music
 Identifikasi music yang disukai klien
 Bantu klien untuk mennetukan posisi yang nyaman
 Batasi stimulasi eksternal (misalnya cahaya, suara, pengunjung) Selma
pengalaman mendengarkan musik

26
 Pastikan bahwa kaset/cakram optic dan peralatan music lainnya terjangkau
oleh klien
 Berikan headphone sesuai indikasi
 Pastikan bahwa volume music adekuat dan tidak terlalu keras
 Hindari menghidupkan musik dan biarkan waktu yang lama
 Fasilitasi partisipasi aktif klien (misalnya bermaain alat music atau
bernyanyi) jika hl ini diinginkan sesuaikan dngan tempat
 Hindari stimulasi music setelah injuri kepala akut
3. Pemberian obat
 Pertahankan aturan dan prosedur yang sesuai dengan keakuratan dan
keamanan pemberian obat-obat
 Ikuti prosedur lima benar dalam pemberian obat
 Monitor kemungkinan alergi terhadap obat,
 Catat alergi sebelum pemberian obat
 Beritahukann klien atau keluarga tentang jenis obat, alas an pemberian
obat, hasil yang diharapkan dan efek kemungkinan yang akan terjadi
 Catat tanggal kadaluarsa obat yang tertera pada wadah obat
4. Terapi relaksasi
 Gambarkan rasionalisasi dan manfaat relaksasi serta jenis relaksasi yang
tersedia (misalnya, musik, meditasi bernafas dengan ritme, relaksasi
rahang dan relaksasi otot progresif)
 Uji penurunan tingkat energi saat ini, ketidakmampuan untuk konsentrasi,
atau gejala lain yang mengiringi yang mungkin mempengaruhi
kemampuan kognisi untuk berfokus pada teknik relaksasi
 Tentukan apakah ada intervensi relaksasi dimasa lalu yang sudah
memberikan manfaat
 Pertimbangkan keinginan individu untuk berpartisipasi, kemampuan
berpartisipasi, pilihan, pengalaman masa lalu dan kontraindikasi sebelum
memilih strategi relaksasi tertentu
 Berikan deskripsi detail terkait intervensi relaksasi yang dipilh
 Ciptakan lingkungan yang tenang dan tanpa distraksi dengan lampu yang
redup dan suhu lingkungan yang nyaman, jika memungkinkan

27
 Dorong pasien untuk mengambil posisi yang nyaman dengan pakaian
longgar dan ata tertutup
 Spesifikkan isi intervensi relaksasi (misalnya dengan meminta saran
perubahan)
 Dapatkan perilaku yang menunjukkan terjadinya relaksasi misalnya
bernafas dalam, menguap, pernafasan perut atau bayangan yang
menyenangkan
 Minta lien untuk rileks dan merasakan sensasi yang terjadi
 Gunakan suara lembut dengan irama yang lambat untuk setiap kata
 Tunjukkan dan praktikkan teknik relaksasi pada klien
 Dorong klien untuk mengulang praktik teknik relaksasi, jika
memungkinkan
 Antisipasi kebutuhan penggunaan relaksasi
 Berikan informasi tertulis mengenai persiapan dan keterlibatan di dalam
teknik relaksasi
 Dorong pengulangan teknik praktik-praktik tertentu secara berkala
 Berikan waktu yang tidak terganggu karena mungkin saja klien tertidur
 Dorong kontrol sendiri ketika relaksasi dilakukan
 Evaluasi laporan individu terkait dengan relaksasi yang dicapai secara
teratur, dan monitor ketegangan otot secara periodik, denyut nadi, tekanan
darah dan suhu tubuh dengan tepat
 Kembangkan kaset teknik relaksasi untuk digunakan individu dengan tepat
 Gunakan relaksasi sebagai strategi tambahan dengan (penggunaan) obat-
obatan nyeri atau sejalan dengan terapi lainnya dengan tepat
 Evaluasi dan dokumentasikan respon terhadap terapi relaksasi
5. Peningkatan tidur
 Tentukan pola tidur/ aktivitas pasien
 Perkirakan tidur/siklus bangun pasien di dalam perawatan perencanaan
 Tentukan efek dari obat (yang dikonsumsi) pasien terhadap pola tidur
 Monitor pola tidur pasien, dan catat kondisi fisik (misalnya apnea tidur,
sumbatan jalan nafas, nyeri/ketidaknyamanan, dan frekuensi buang air

28
kecil) dan/atau psikologis (misalnya ketakutan atau kecemasan) keadaan
yang mengganggu tidur
 Anujurkan pasien untuk memantau pola tidur
 Sesuaikan lingkungan (misalnya cahaya, kebisingan, suhu, kasur, dan
tempat tidur) untuk meningkatkan tidur
 Dorong pasien untuk menetapkan rutinitas tidur untuk memfasilitasi
perpindahan dari terjaga menuji tidur
 Bantu untuk menghilangkan situasi stres sebelum tidur
 Monitor makanan sebelum tidur dan intake minuman yang dapat
memfasilitasi/mengganggu tidur
 Sesuaikan jadwal pemberian obat untuk mendukung tidur/siklus bangun
pasien
 Ajarkan pasien dan orang terdekat mengenai faktor yang berkontribusi
terjadinya gangguan pola tidur (misalnya fisiologis, psikologis, pola hidup,
perubahan shift kerja yang oanjang dan berlebihan, dan faktor lingkungan
lainnya)
 Identifikasi obat tidur yang dikonsumsi pasien
 Dorong penggunaan obat tidur yang tidak mengandung (zat) penekan tidur
REM
6. Manajemen pengobatan
 Tentukan obat apa yang diperlukan, dan kelola menurut resep dan atau
protocol
 Monitor pasien mengenai efek terapeutik obat
 Kaji ulang pasien dan atau keluarga secara berkala mengenai jenis dan
jumlah obat yang dikonsumsi
 Monitor respon terhadap perubahan pengobatan dengan cara yang tepat
 Ajarkan pasien dan atau anggota keluarga mengenai metode pemberian
obat yang tepat
 Ajarkan pasien dan atau anggota keluarga mengenai tindakan dan efek
samping yang diharpakan dari obat
 Berikan pasien dan anggota keluarga mengenai informasi tertulis dan
visual untuk meningkatkan pemahaman diri mengenai pemberian obat

29
 Ajarkan pasien dan atau anggota keluarga mengenai tindakan dan efek
samping yang diharpakan dari obat
 Berikan pasien dan anggota keluarga mengenai informasi tertulis dan
visual untuk meningkatkan pemahaman diri mengenai pemberian obat
yang tepat
7. Sentuhan terapeutik
 Ciptakan lingkungan yang nyaman tanpa distraksi
 Tentukan kesediaan untuk merasakan intervensi
 Identifikasitujuan yang bermanfaat untuk sesi ini
 Nasehatkan pasien untuk menanyakan pertanyaan kapanpun mereka punya
pertanyaan
 Tempatkan pasien pada tempat duduk yang nyama atau posisi terlentang
 Pusatkan diri dengan memfokuskan pada kesadaran mengenai diri
 Fokus pada niat untuk memfasilitasi keseluruhan dan kesembuhan pada
tingkat kesadaran yang berbeda
 Tempatkan tangan dengan telapak tangan menghadap pasien 3-5 inchi dari
tubuh
 Mulai satu sampai dua menit pengkajian dengan menggerakkan tangan
pelan dan stabil diatas pasien sebanyak mungkin, dari kepala sampai ibu
jari dan depan ke belakang
 Memindahkan tangan dengan lembut dengan gerakan turun melalui lapang
energi pasien, memikirkan pasien dan memfasilitasi sabagai aliran energi
yang terbuka dan seimbang
 Catat keseluruhan pola aliran energi, khususnya area yang terganggu
misalnya sumbatan atau ketidakrataan, yang mungkin diterima karena
adanya tanda halus di tangan, contohnya, perubahan suhu, tingling, atau
perasan halus lain dari pergerakan
 Fokuskan niat untuk memfasilitasi kesimetrisan dan penyembuhan dalam
area yang terganggu
 Lanjutkan penanganan dengan memfasilitasi dengan sangat lembut aliran
dari energi penyembuhan pada area yang mengalami gangguan

30
 Selesaikan pada saat jumlah perubahan dinilai telah terjadi (misalnya,
untuk bayi, 1 ampai 2 menit, untuk orang dewasa 5-10 menit) tetap diingat
perlunya kelembutan
 Dukung pasien untuk beristirahat selama 20 menit atau lebih setelah
penanganan
 Catat apakah pasien telah mengalami respon relaksasi dan perubahan yang
berkaitan

2) Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi pada tonsil


a) Definisi: Suhu inti tubuh di atas kisaran normal diurnai karena
kegagalan termoregulasi
NOC
Status Kenyamanan : Fisik
Sangat Banyak Cukup Sedikit Tidak
Skala Outcome
terganggu terganggu terganggu terganggu terganggu
Control terhadap 1 2 3 4 5 NA
gejala
Intake makanan 1 2 3 4 5 NA

Intake cairan 1 2 3 4 5 NA

Suhu tubuh 1 2 3 4 5 NA

Kepatenan Jalan 1 2 3 4 5 NA
napas

Keparahan Infeksi
Skala Outcome Berat Cukup Berat Sedang Ringan Tidak
Ada
Cairan [luka] yang 1 2 3 4 5 NA
berbau busuk

31
Hipotermia 1 2 3 4 5 NA

Ketidakstabilan 1 2 3 4 5 NA
suhu
Nyeri 1 2 3 4 5

Hilang nafsu 1 2 3 4 5
makan
Kolonisasi kultur 1 2 3 4 5
darah
Peningkatan 1 2 3 4 5
jumlah sel darah
putih
Depresi jumlah sel 1 2 3 4 5
darah putih
b) NIC
Perawatan Demam
Aktivitas :
 Pantau suhu dan tanda-tanda vital lainnya
 Monitor warna kulit dan suhu
 Monitor asupan dan keluaran
 Beri obat atau cairan IV
 Tutup pasien dengan dengan selimut atau pakaian ringan
 Dorong konsumsi cairan
 Fasilitasi istirahat
 Pantau komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan demam
serta tanda dan gejala kondisi penyebab demam

Pengaturan Suhu
Aktivitas :
 Monitor suhu paling tidak srtiap 2 jam, sesuai kebutuhan
 Monitor suhu dan warna kulit

32
 Tingkatkan intake cairan dan nutrisi adekuat
 Diskusikan pentingnya termoregulasi dan kemungkinan efek negative
dari demam yang berlebihan sesuai kebutuhan
 Sesuaikan suhu lingkungan untuk kebutuhan pasien
 Berikan medikasi yang tepat untuk mencegah atau mengontrol
menggigil
 Berikan pengobatan antipiretik, sesuai kebutuhan

A. Definisi Leptospirosis
Leptospirosis adalah penyakit yang bersumber dari binatang (zoonosis)
yang bersifat akut dengan gambaran klinis yang luas disebabkan oleh
leptospira interogans yang merupakan suatu jenis bakteri golongan
Spirochaeta tanpa memandang bentuk serotipenya. Penyakit ini dikenal dengan
berbagai nama seperti mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever,
infectious jaundice, field fever, cane fever, dan lain-lain. Penyakit ini pertama
kali dikemukakan oleh Weil pada tahun 1886. Leptospirosis berat disebut
Weil’s disease.
Leptospirosis sering kali luput didiagnosis karena gejala klinis tidak
spesifik, dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosa tanpa uji laboratorium.
Kejadian luar biasa leptospirosis dalam dekade terakhir di beberapa negara
telah menjadikan leptospirosis sebagai salah satu penyakit yang termasuk the
emerging infection diseases.
B. Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh leptospira yang merupakan suatu jenis
bakteri genus leptospira, famili treponemataceae, suatu mikroorganisme
spirochaeta. Ciri khas organisme ini yakni berbelit, tipis, fleksibel, panjangnya
5-15 um, dengan spiral yang sangat halus, lebarnya 0,1-0,2 um. Salah satu
ujung organisme sering membengkak, membentuk suatu kait. Terdapat gerak
rotasi aktif, tetapi tidak ditemkan adanya flagella. Spirochaeta ini demikian
halus sehingga dalam mikroskop lapangan gelap hanya dapat terlihat sebagai
ranta kokus kecil-kecil. Dengan pemeriksaan lapangan redup pada mikroskop
biasa morfologi leptospira secara umum dapat dilihat. Untuk mengamati lebih

33
jelas gerakan leptospira digunakan mikroskop lapangan gelap. Leptospira
membutuhkan media dan kondisi yang khusus untuk tumbuh dan mungkin
membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk membuat kultur yang positif.
Dengan medium Fletcher’s dapat tumbuh dengan baik sebagai obligat aerob.
Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies yaitu
L.interrogans yang patogen dan L.biflexa yang non patogen/saprofit. Spesies
L.interrogans dibagi menjadi beberapa serogrup dan serogrup ini dibagi
menjadi banyak serovar menurut komposisi antigennya. Saat ini telah
ditemukan lebih dari 250 serovar yang tergabung dalam 23 serogrup. Serovar
dengan jenis tersering yang menyerang manusia adalah L.icterohaemorrhagica
dengan reservoir tikus, L.canicola dengan reservoir anjing dan L.pomona
dengan resevoir babi dan sapi.
C. Epidemiologi
Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, disemua benua kecuali benua
Antartika, namun banyak didapati didaerah tropis. Indonesia merupakan negara
dengan insiden leptospirosis tinggi. Indonesia menempat peringkat ketiga
didunia untuk mortalitas akibat leptospirosis menurut International
Leptospirosis Society. Infeksi ini tersebar diberbagai wilayah yaitu DKI Jakarta,
Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Lampung, Sumatra Selatan,
Bengkulu, Riau, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat dengan insiden
meningkat bersamaan dengan banjir.
Penyakit leptospirosis bersifat musiman, didaerah beriklim sedang masa
puncak insiden dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena
temperatur adalah faktor yang memengaruhi kelangsungan hidup leptospira,
sedangkan didaerah tropis insiden tertinggi terjadi pada musim hujan. Ada
berbagai jenis pejamu dari leptospira, mulai dari mamalia yang berukuran kecil
dimana manusia dapat kontak dengannya misalnya landak, kelinci, tikus sawah,
tikus rumah, tupai, musang sampai dengan reptil (berbagai jenis katak dan ular),
babi, sapi, kucing dan anjing.
D. Penularan

34
Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan air atau tanah, lumpur
yang telah terkontaminasi oleh urin binatang yang telah terinfeksi leptospira.
Air tergenang atau mengalir lambat yang terkontaminasi urin binatang
infeksius memainkan peranan dalam penularan penyakit ini, bahkan air yang
deraspun dapat berperan dalam penularan penyakit ini. Infeksi tersebut terjadi
jika terjadi luka pada kulit ataupun selaput lendir. Kadang-kadang penyakit ini
terjadi akibat gigitan binatang yang sebelumnya terinfeksi leptospira atau
kontak dengan kultur leptospira di laboratorium. Ekspos yang lama pada
genangan air yang terkontaminasi terhadap kulit juga dapat menularkan
leptospira. Orang-orang yang mempunyai risiko tinggi mendapat penyakit ini
adalah petani, peternak, pekerja tambang, pekerja rumah potong hewan,
penebang kayu, dan dokter hewan.
E. Manifestasi klinis
Masa inkubasi 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dan rata-rata 10 hari.
Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas yaitu fase leptospiremia
dan fase imun.
1. Fase leptospiraemia (4-9 hari)
Fase ini di tandai dengan adanya leptospira di dalam darah dan
cairan serebrospinal berlangsung secara tiba-tiba, dengan gejala awal sakit
kepala biasanya di bagian frontal. Rasa sakit pada otot yang hebat
terutama pada paha, betis dan pinggang di sertai nyeri tekan, mialgia dapat
di ikuti dengan hiperestesi kulit, demam tinggi yang di sertai menggigil
juga di dapati mual dengan atau tanpa muntah disertai diare, bahkan pada
sekitar 25% kasus di sertai penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan
keadaan sakit berat, bradikardi relati, dan ikterus (50%). Pada hari ke 3-4
dapat di jumpai adanya konjungtiva suffusion dan fotofobia. Pada kulit
dapat di jumpai rosh yang berbentuk makular, makulopapular atau
urtikaria. Kadang kadang di jumpai spenomegali, hepatomegali, serta
limfadenofali. Fase ini berlangsung 407 hari. Jika cepat di tangani pasien
akan membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan organ yang
terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada
keadaan sakit yang lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh

35
bebas demam selama 1-3 hari, setelah itu terjadi demam kembali, keadaan
ini di sebut fase kedua atau fase imun.
2. Fase imun
` Biasanya setelah demam 7 hari akan diikuti keadaan bebas demam
1-3 hari sebelum demam kembali. Fase ini disebut fase imun yang ditandai
dengan peningkatan titer antibody, dapat timbul demam yang mencapai
suhu 400 C disertai menggigil dan kelemahan umum terdapat rasa sakit
yang menyeluruh pada leher, perut dan otot kaki terutama otot betis.
Terdapat pendarahan berupa epistaksis, gejala kerusakan pada ginjal, dan
hati, uremia, ikterik, Pendarahan paling jelas terlihat pada fase ikterik,
purpura, petechiae, epistaksis, pendarahan gusi merupakan manifestasi
pendarahan yang paling sering, konjungtiva injection dan konjungtiva
suffusion dengan ikterus merupakan tanda patognomosis untuk
leptospirosis.
Terjadi meningitis merupakan tanda dari fase ini,walaupun hanya
50% gejala dan tanda meningitis tetapi pleasitosis pada CSS di jumpai
pada 50-90% pasien. Tanda-tanda mengenal dapat menetap dalam
beberapa minggu tetapi biasanya menghilang setelah 1-2 hari. Pada fase
ini leptospira dapat di temukan dalam urine.
F. Patofisiologi
Leptospira masuk kedalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir manusia
dengan air, tanah, atau lumpur yang tercemar air kemih binatang yang
terkontaminasi leptospira, memasuki aliran darah dan berkembang. Lalu
menyebar secara luas ke jaringan tubuh, kemudian terjadi respon imunologi
baik secara selular maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan
terbentuk antibodi spesifik. Walaupun demikian beberapa organisme ini masih
bertahan pada daerah yang terisolasi secara imunologi seperti didalam ginjal
dimana sebagian mikroorganisme akan mencapai convoluted tubules, bertahan
disana dan dilepaskan melalui urin. Leptospira dapat dijumpai dalam air kemih
sekitar 8 hari sampai beberapa minggu setelah infeksi dan sampai berbulan-
bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira dapat dihilangkan dengan
fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap dari darah

36
setelah terbentuknya aggkutinin. Setelah fase leptospiremia 4-7 hari,
mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler.
Leptospiruria berlangsung 1-4 minggu. Tiga mekanisme yang terlibat pada
patogenesis leptospirosis yaitu invasi bakteri langsung, faktor inflamasi non
spesifik, dan reaksi imunologi.
Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin
yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ.
Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler pada
leptospirosis terdapat perbedaan antara derajat gangguan fungsi organ dengan
kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi histologis yang ringan
ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata
dari organ tersebut. Perbedaan ini menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada
struktur organ. Lesi inflamasi menunjukkan edema dan infiltrasi sel monosit,
limposit dan sel plasma. Pada kasus yang berat terjadi kerusakan kapiler
dengan perdarahan yang luas dan disfungsi hepatoseluler dengan retensi bilier.
Selain di ginjal leptospira juga dapat bertahan pada otak dan mata. Leptospira
dapat masuk kedalam cairan serebrospinalis pada fase leptosperemia. Hal ini
akan menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak
yang terjadi sebagai komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai
leptospira adalah ginjal,hati, dan pembuluh darah.
Kelainan spesifik pada organ ginjal yaitu interstitial nefritis dengan
infiltrasi sel mononuklear merupakan bentuk lesi pada leptospirosis yang dapat
terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat tubular
nekrosis akut. Adanya peranan nefrotoksin, reaksi imunologis, iskemia ginjal,
hemolisis dan invasi langsung mikroorganisme juga berperan menimbulkan
kerusakan ginjal. Pada hati menujukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan
infiltrasi sel infosit fokal dan proliferasi sel kapiler dengan kolestatis. Pada
kasus-kasus yang di otopsi, sebagian di temukan leptospira dalam hepar.
Biasanya organisme ini terdapat diantara sel-sel parenkim. pada jantung,
epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat. Kelainan
miokardium dapat lokal ataudifus brupa intersifiral edema dengan ilfiltrasi sel

37
mononuklear dan plasma. Nekrosis berhubungan dengan ilfiltrasi neotrifil.
Dapat terjadi pendarahan fokal p[ada miokardium dan endokardium.
Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa lokal nekrotis,
vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira
disebabkan invasi langsung leptospira. Dapat juga di temukan antigen
leptospira pada otot. Pada mata, leptospira dapat masuk ruang anterior dari
mata selama fase leptospirenia dan bertahap beberapa bulan walaupun anti bodi
yang terbentuk cukup tinggi. Hal ini akan menyebabkan uveitis. Pada
pembuluh darah terjadi perubahan pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis
yang akan menimbulkan perdarahan . sering ditemukan perdarahan/peteki pada
mukosa, permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit.
Pada susunan saraf pusat, leptospira mudah masuk ke dalam cairan
serebrospinal (CSS) dan dikaitkan dengan terjadinya miningitis. Miningitis
terjadi sewaktu terbentuknya respon antibodi , tidak pada saat memasuki CSS
diduga bahwa terjadinya meningitis diperantarai oleh mekanisme imunologis.
Terjadi penebalan meninges denga sedikit peningkatan sel mononuklear
araknoit. Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptik,biasanyapaling
sering diakibatkan oleh L canicola.
Weil’s disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus,
biasany di sertai pendarahan,anemia,asotemia,gangguan kesadaran,dan demam
tipe kontinoa. Penyakit weil ini biasanya terdapat pada 1-6 % kasus dengan
leptospirosis. Penyebab weil desiase adalah serotipe icterohaemagica pernah
juga dilaporkan oleh serotipe capenhageni dan batafiae, gambaran klinis
berfariasi berupa gangguan renal hepatik atau disfungsi vaskular.

38
Patway

Faktor predisposisi seperti pekerjaan, Kontak organisme leptospira kekulit


musim, binatang yang terinfeksi, air dan selaput lendir
dan tanah yang terkontaminasi
bakteri leptospira

Leptospiremia Leptospirosis

Masuk ke cairan serebrospinal


Ke otot rangka

Gangguan gastrointestinal

Invasi ke meningen

Mikrosirkulasi otot dan


permeabilitas kapiler
terganggu

Anoreksia, mual, Penurunan kesadaran, respon


muntah nyeri dan peningkatan suhu tubuh

Mialgia
Hipertermi

Ketidakseimbangan nutrisi :
39
kurang dari kebutuhan tubuh
Nyeri
G. Pemeriksaan penunjang
Pada umumnya diagnosis awal leptosirosis sulit karena psien
biasanya datang dengan meningitis, hepatitis, nefritis, pneumonia,
influensa, sindroma, syok toksik, demam yang tidak diketahui asalnya dan
distensi hemoragik, bahkan beberapa kasus datang sebagai pankreatitis.
Pada anamnesis, penting diketahui tentang riwayat pekerjaan pasien,
apakah termasuk kelompok resiko tinggi. Gejala/keluhan didapati demam
yang muncul mandadak, sakit kepala terutama dibagian frontal,nyeri otot,
mata merah/fotofobi, mual atau muntah. Pada pemerikasaan fisik dijumpai
demam, bradikardi, nyeri tekan otot, hepatomegali dan lain-lain. Pada
pemeriksaan laboratorium darah rutin bisa dijumpai lekositosis, normal
atau sedikit menurun disertai gambaran neutrofisis dan laju endap darah
yang meninggi. Pada urine dijumpai proses uria, leukosituria dan torak
(cast). Bila organ hati terlibat,bilirubin direk meningkat tanpa peningkatan
transminase BUN, ureum dan kreatinin juga bisa meningkat bila terjadi
komplikasi pada ginjal. Trombositopenia terdapat pada 50% kasus.
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang.
a) Anamnesis
 Riwayat pekerjaan berisiko tinggi seperti bepergian ke hutan, rawa,
sungan, atau petani
 Gejala klinis demam tiba-tiba, nyeri kepala terutama frintal, mata
merah, fotopobia, keluhan gastrointestinal, dan lain-lain.
b) Pemeriksaan fisis
Demam, bradikardi, nyeri tekan otot, ruam kulit, hepatomegali
c) Laboratorium
 Darah lengkap : leukositosis/normal, neutrofillia, peningkatan laju
endap darah
 Urinalisis : proteinuria, leukosituria, dan sedimen sel toraks
 Kimia darah bila terdapat hepatomegali, bilirubin darah dan
transaminase meningkat. Apabila terdapat komplikasi di ginjal dapat
terjadi peningkatan BUN, ureum, dan kreatinin.

40
 Kultur yaitu dengan mengambil spesimen dari darah atau CSS segera
pada awal gejala. Dianjurkan untuk melakukan kultur ganda dan
mengambil spesimen pada fase leptospiremia serta belum diberi
antibiotik. Kultur urine diambil setelah 2-4 minggu onset penyakit.
Pada spesimen yang terkontaminasi, inokulasi hewan dapat
digunakan.
 Serologi. Pemeriksaan untuk mendeteksi adanya leptospira dengan
cepat adalah dengan pemeriksaan palymerase chain Reaction (PCR),
silver stain atau fluroscent antibodystain dan mikroskop lapangan
gelap.
Pengobatan
Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan
mengatasi keadaan dehidrasi, hipotensi, pendarahan dan gagal ginjal
sangat penting pada leptospirosis. Gangguan fungsi ginjal umumnya
dengan spontan akan membaik dengan membaiknya konsdisi pasien.
Namun pada beberapa pasien membutuhkan tindakan hemodialisa
temporer.
Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin biasanya
sesuai pemberian dalam dalam 4 hari setelah onset cukup efektif. Berbagai
jenis antibiotik pilihan dapat dilihat pada tabel. Untuk kasus leptospirosis
berat, pemberian intra vena penisilin G,amoksilin, ampisilin atau
eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk kasu-kasus ringan dapat
diberikan antibiotika orat tetrasiklin, doksisiklin, impisilin atau
amoksisilin maupun sefalosforin.
Pengobatan dan Kemoprofilaksis Leptospirosis
Indikasi Regimen Dosis
Leptospirosis ringan Doksisiklin 2 x 100 mg
Ampisilin 4 x 500-750 mg
Amoksisilin 4 x 500 mg
Leptospirosis sedang/berat Penisilin G 1,5 juta unit/6 jam
Ampisillin (i.v)
Amoksisilin 1 gram/6 jam (i.v)

41
kemoprofilaksis Doksosoklin 1 gram/6 jam (i.v)
200 mg/ minggu
Sampai saat in penisilin masih merupakan antibiotika pilihan
utama,namun perlu diingat bahwa antibiotika bermanfaat jika leptospira
masi didarah (fase leptospiraemia). Pada pemberian penisilin dapat muncul
reaksi jarisch-Herxherimer 4 sampai 6 jam setelah pemberian intravena,
yang menunjukkan adanya aktivitas antileptospira. Tindakan suportif
diberikan sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul.
Keseimbangan cairan,elektrolit dan asam basa diatur sebagaimna pada
penanggulangan gagal ginjal secara umum. Kalau terjadi azotemia/uremia
berat sebaiknya dilakukan dialisis.
Prognosis
Prognosis tergantung pada keadaan umum pasien, usia, virulens
leptospira, adanya kekebalan didapat, kematian dapat terjadi sebagai
komplikasi faktor pemberat seperti gagal ginjal atau perdarahan dan
terlambatnya penatalaksanaan pasien. Jika tidak terjadi ikterus, penyakit
jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus, angka kematian 5% pada umur di
bawah 30 tahun,dan pada usia lanjut mencapai 30-40%.
Pencegahan
Pencegahan leptospirosis khusunya di daerah tropis sangat sulit.
Banyaknya hospes perantara dan jenis serotipe sulit untuk dihapus. Bagi
mereka yang mempunyai risiko tinggi untuk tertular leptospirosis harus
diberikan perlindungan berupa pakaian khusus yang dapat melindunginya
dari kontak dengan bahan-bahan yang telah terkontaminasi dengan air
kemih binatang reservolat. Pemberian dosisiklin 200 mg perminggu
dikatakan bermanfaat untuk mengurangi serangan leptospirosis bagi
mereka yang mempunyai resiko tinggi dan terpapar dalam waktu singkat.
Penelitian terhadap tentatara amerika di hutan Panama selama 3 minggu,
ternyata dapat mngurangi serangan leptospirosis dari 4-2% menjadi 0,2%
dan efikasi pencegahan 95%.

42
Vaksinasi terhadap hewan-hewan tersangka seservoar sudah lama
direkomendasikan, tetapi vaksinasi terhadap manusia belum berhasil
dilakukan, masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

H. Asuhan keperawatan
a. Pengkajian
1. Kaji terhadap adanya nyeri, ketidaknyamanan, keparahan, dan lokasi
nyeri.
2. Kaji gejala yang berhubungan seperti anoreksia, mual, muntah, diare,
3. Kaji adanya demam dan menggigil
4. Kaji keadaan kulit seperti adanya ruam kulit, rash berbentuk makular,
dan hiperestasi kulit
5. Kaji tingkat kesadaran
6. Kaji keadaan mata seperti konjungtiva suffusion, ikterus, dan fotopobia
7. Kaji riwayat atau adanya perdarahan berupa epistaksis
8. Kaji adanya pembesaran organ seperti splenomegali, hepatomegali, dan
limfadenopati
9. Kaji adanya kerusakan organ seperti hati dan ginjal
10. Kaji terjadinya meningitis.
b. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermia berhubungan dengan adanya infeksi
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake nutrisis tidak adekuat
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis
c. Intervensi Keperawatan
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake nutrisis tidak adekuat
NOC
Status nutrisi
Skala Sangat Banyak Cukup Sedikit Tidak
Outcome menyimpang menyimpang menyimpang menyimpang menyimpang
Keseluruhan dari rentang dari rentang dari rentang dari rentang dari rentang

43
normal normal normal normal normal
Asupan gizi 1 2 3 4 5 NA
Asupan NA
1 2 3 4 5
makanan
Asupan NA
1 2 3 4 5
cairan
Energi 1 2 3 4 5 NA
Rasio berat NA
badan/tinggi 1 2 3 4 5
badan
Hidrasi 1 2 3 4 5 NA

NIC
Manajemen nutrisi
 Tentukan status gizi pasien dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan gizi
 Instruksikan pasien mengenali kebutuhan nutrisi
 Tentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan untuk memenuhi
persyaratan gizi
 Atur diet yang diperlukan
 Ciptakan lingkungan yang optimal pada saat mengonsumsi makan
 Anjurkan pasien mengenai modifikasi diet yang diperlukan
 Anjurkan pasien terkait dengan kebutuhan diet untuk kondisi sakit
 Tawarkan makanan ringan yang padat gizi
 Monitor kalori dan asupan makanan

44
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Filariasis atau lebih di kenal elephantiasis ( kaki gajah)
adalah penyakit akibat nematode yang seperti cacing yaitu bancrofti.
Brugia malayi dan brugia timori yang dikenal sebagai filaria. infeksi
ini biasanya terjadi pada saat kanak-kanak dan manifestasi yang
dapat terlihat belakangan ,menetap dan menimbulkan
ketidakmampuan menetap.
Tonsilitis adalah inflamasi dari tonsil palatine yang
disebabkan oleh infeksi. Infeksi bakteri streptococcus beta hemolitik,
namun dapat juga disebabkan oleh bakteri jenis lain atau oleh infeksi
virus. Tonsilitis akut adalah radang akut yang disebabkan oleh
kuman streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridons dan
streptococcus pygenes, dapat juga disebabkan oleh virus. Sedangkan
Tonsilitis kronik merupakan hasil dari serangan tonsillitis akut yang
berulang (Suzanne, O'Connell, Brenda, & Janice, 2010).
Leptospirosis adalah penyakit yang bersumber dari binatang
(zoonosis) yang bersifat akut dengan gambaran klinis yang luas
disebabkan oleh leptospira interogans yang merupakan suatu jenis
bakteri golongan Spirochaeta tanpa memandang bentuk serotipenya.
Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever, slime
fever, swamp fever, autumnal fever, infectious jaundice, field fever,
cane fever, dan lain-lain. Penyakit ini pertama kali dikemukakan
oleh Weil pada tahun 1886. Leptospirosis berat disebut Weil’s
disease.
B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini, terdapa banyak kekurangan.
Oleh karena itu, Demi perbaikan pembuatan makalah ke depannya
sangat diharapkan kritik dan saran dari saudara (i).

45
Daftar pustaka
Arif, Mansjoer, dkk., ( 2000 ), Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Medica -
------ Aesculpalus, FKUI, Jakarta.

Don, M. R., & M. J., S. (2007). Practical Paediatrics. Singapore: Elsevier.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC. Yogyakarta:
Media Action Publishing.

Eunice, M., 2014. Efficacy of the Homoeopathic Complex Tonzolyt® on


the Symptoms of Acute Tonsillitis in Black Children Attending a Primary
School -------in Gauteng, University Johannesburg.

Setiati, S., dkk. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna
Publishing.

Tanto, C., dkk. (2014). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media


Aesculapius.

HUA, X. J. (2014). Atlas Anatomi Tubuh Manusia. Tangerang Selatan: Bina


--------Rupa Aksara.

Suzanne, C., O'Connell, S., Brenda, G. B., & Janice, L. (2010). Medical -----
-- Surcigal Nursing. The point.

Rahardjo Pratiwi Sudji.2008. Tonsilitis Akut Dengan Komplikasi -------


-----Multipel.Bagian Ilmu Kesehatan dan THT-KL. Fakultas Kedokteran ----
--- Hasanuddin.Makassar. ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------- ------
- --(http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/213086970.pdf)

Reeves J. Charlene, dkk. 2001. Keperawatan medikal bedah. Jakarta : -------


-------Salemba Medika.

46

Вам также может понравиться