Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PSIKOLOGI FORENSIK
“Child Sexual Abuse”
Disusun Oleh:
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahma-Nya sehingga
makalah yang berjudul “Sexual Child Abuse” ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak
lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Akhir-akhir ini kita dihebohkan berita pencabulan, yaitu seorang wali kelas
melakukan pencabulan terhadap 65 siswanya yang baru berusia 8 sampai 11 tahun.
Dari jumlah korban, 34 mengalami pelecehan secara verbal dan sisanya, 31 menerima
pelecehan non verbal. Hal tersebut dilakukan pelaku dengan alasan hobi
(https://daerah.sindonews.com/read/1284364/23/65-siswa-sd-di-surabaya-diduga-
dicabuli-wali-kelas-1519302493).
Kasus tersebut merupakan salah satu pelecehan seksual pada anak, yaitu
menyentuh anak secara tidak senonoh dan memaksa anak memegang alat kelamin.
Pelecehan seksual akan sangat berpengaruh pada psikologis anak. Anak akan
mengalami depresi, ketakutan, kecemasan, disfungsi seksual, menarik diri, bahkan
bisa mengakibatkan gangguan stres pascatrauma.
B. RUMUSAN MASALAH
1
4. Apa peran psikolog dalam kasus sexual child abuse ?
5. Apa saja yang dapat dilakukan psikolog dalam menangani sexual child abuse?
C. TUJUAN
2
BAB II
ISI
Ada istilah bagi keluarga yang memiliki hubungan darah yang melakukan
kekerasan seksual, istilah itu disebut dengan “incest” (inses). Walaupun inses
orangtua paling sering dilaporkan, saudara kandung menjadi bentuk yang paling
sering dilaporkan. Pada sebuah survei nasional yang dilakukan oleh Finkelhor,
Ormrod, Turner, dan Hamby (2005) terhadap anak-anak usia dari 2-17 tahun
ditemukan bahwa kira-kira 1 dari 12 anak melaorkan telah dianiaya secara seksual.
Finkelhor (1994) melakukan survei internasional terhadap orang-orang dewasa dari
19 negara. Rata-rata tingkat penganiayaan seksual anak kira-kira 20% untuk
perempuan dan 10% untuk laki-laki. Dari survei ini, perempuan lebih banyak
dianiayan secara seksual dari laki-laki, perempuan lebih banyak dianiaya oleh
keluarga dibanding laki-laki, dan pelakunya biasanya laki-laki.
3
anak-anak yang mengalami penganiayaan seksual memiliki kemungkinan mengalami
perilaku regresif, misalnya gangguan tidur dan mengompol.
B. PEDOFILIA
4
felasio atau kunilingus daripada hubungan seksual secara paksa. Sebagian pedofil
lebih suka mencumbu dan mengelus korbannya. Di dalam kasus–kasus di mana
pedofil benar–benar terlibat hubungan seksual, korbannya kemungkinan besar lebih
tua. Sebagian besar pedofil lebih menyukai korban perempuan daripada laki–laki
(Bogaert, Bezeau, Kuban, & Blanchard, 1997). Jika korbannya perempuan, pelaku
lebih banyak adalah keluarga, dan penyerangan itu biasanya akan terjadi di tempat
tinggal korban. Sebaliknya, pedofil memilih korban laki–laki, pelakunya lebih banyak
orang asing dan penyerangan terjadi di luar tempat tinggal korban (Murray, 2000;
Greenberg, Bradford, & Curry, 1995).
Hebephilia (hebefilia) adalah istilah yang berkaitan erat dengan pedofilia dan
digunakan untuk mendeskripsikan preferensi seksual untuk anak-anak usia pubertas
atau mendekati pubertas. Berbeda dengan pedofil, hebefil tertarik pada anak–anak
yang memperlihatkan beberapa tanda perkembangan seksual sekunder, seperti sudah
tumbuh rambut kemaluan, dan perkembangan awal buah dada pada perempuan.
Tetapi, berbeda dengan pedofilia, hebefilia tidak dimasukkan di dalam DSM-IV-TR.
5
Selama wawancara, kontak sosial individu dengan anak–anak seharusnya juga
di eksplorasi. Kontak tersebut mungkin melalui keluarga, teman, organisasi sosial dan
religius, tetangga, dan kegiatan pekerjaan atau kesukarelawanan yang melibatkan
kedekatan dengan anak–anak. Kelemahan wawancara tentu saja adalah bahwa
respondennya sering berbohong. Ini tentu lebih mungkin terjadi ketika memiliki
fantasi tentang perilaku–perilaku yang mungkin memalukan dan sekaligus ilegal.
Wilson Sexual Fantasy Questionaire (Wilson, 1978) terdiri atas 40 aitem yang
mendeskripsikan sejumlah fantasi seksual dan sikap selanjutnya tentang fantasi–
fantasi seksual. Kuesioner ini diorganisasikan menjadi 4 bidang fantasi: intim,
eksploratorik, impersonal, dan sadisme–masokhisme. Tema–tema ini masing–masing
melibatkan kegiatan seksual dengan pasangan yang menyetujui, kegiatan seksual
dengan banyak pasangan, kegiatan seksual dengan orang asing, dan kegiatan seksual
dengan pasangan yang belum menyatakan persetujuannya. Kuesioner ini juga berisi
aitem–aitem tentang fantasi seksual yang melibatkan seks dengan anak–anak yang
berumur kurang dari 12 tahun. Responden melaporkan minatnya pada skala dengan
poin 0–5. Alat pelaporan diri serupa adalah Sexual Interest Cardsort Questionnaire
6
(Abel & Becker, 1979) yang berisi 75 aitem yang membedakan minat dan perilaku
seksual yang somewhat successfully normal (agak berhasil normal) dan perilaku
seksual yang abnormal.
7
sendiri dan takut pada penganiayaannya dan konsekuensi pengungkapan
penganiayaan tersebut. Jadi, agar selamat dari penganiayaan seksual oleh anggota
keluarga yang dipercaya, anak diduga membuat upaya-upaya akomodatif untuk
menerima penganiayaan itu dan merahasiakannya.
8
fisik, disrupsi keluarga, dan kerusakan finansial bagi orang dewasa yang menjadi
sasaran tuduhan keliru tentang penganiayaan seksual. Ttuduhan penganiayaan seksual
juga telah digunakan untuk mendapatkan keuntungan hukum di dalam situasi-situasi
hak asuh anak. Thornnes dan Pearson (1988) memperkirakan bahwa tuduhan-tuduhan
penganiayaan seksual ditemuakn di dalam 2-10% kasus-kasus perselisihan soal hak
asuh anak, tetapi mencatat bahwa jumlah sebenarnya mungkin jauh lebih banyak.
9
Beberapa individu terlibat dalam percakapan yang eksplisit secara seksual
dengan anak – anak. Mereka bahkan mengoleksi dan tukar – menukar gambar
pornografi anak, sementara yang lain mengupayakan pertemuan langsung dengan
anak – anak melalui kontak daring. Anak – anak, khususnya remaja kadang tertarik
dan ingin tahu dengan seksualitas dan materi yang eksplisit secara seksual, sehingga
sebagian besar penjahat seks daring menargetkan anak–anak semacam itu
memanfaatkan dan mengeksplorasi kebutuhan ini. Bahkan sering kali para predator
mampu memindahkan hubungan ini ke luar dari dunia maya.
Banyak penjahat seks yang beroperasi daring menarget remaja – remaja muda,
bukan anak – anak kecil, sehingga mereka tidak bisa dikatakan pedofil yang menurut
definisinya tertarik secara seksual dengan anak – anak prapubertas. Para pedofil sulit
untuk memanfaatkan internet untuk menarget secara langsung anak – anak yang
masih kecil. Salah satu alasannya adalah, anak – anak yang masih kecil tidak dapat
diakses di lingkungan daring seperti remaja karena mereka tidak banyak
menggunakan internet untuk berkomunikasi dengan teman atau berbicara di ruang
obrolan, selain itu mereka juga diawasi dengan lebih ketat oleh orangtuanya (Rideout,
Roberts, & Foehr, 2005; Wang, Bianchi, & Raley, 2005).
10
berpendidikan, merasa tidak cakap, dan perkembangan psikososialnya terhambat
(Hines & Finkelhor, 2007).
F. PERAN PSIKOLOG
1. Mengevaluasi anak
Setelah dinyatakan bahwa telah terjadi pelecehan seksual dan tuntutan sudah
dibuat, anak tersebut dapat dipanggil oleh pihak berwenang sebagai saksi di
pengadilan. Walaupun pengadilan sudah memiliki metode dalam menentukan
kompetensi anak untuk menjadi saksi, hakim biasanya akan berkonsultasi dengan
psikolog.
11
4. Menjadi saksi ahli
Wood, dkk. (dalam Fulero & Wrigthsman, 2009) mengatakan bahwa teknik
ini memberi tahu anak bahwa pewawancara telah memperoleh informasi dari anak
lain mengenai topik yang ada. Misalnya, pewawancara mengatakan kepada anak
tersebut bahwa tiap anak dalam sebuah gambar kelas telah berbicara kepadanya
tentang rahasia menjijikan dari sekolah tersebut (Garven, dkk. dalam Fulero &
Wrightsman, 2009). Tindakan semacam itu menciptakan tekanan konformitas pada
anak.
12
Konsekuensi positif adalah saat psikolog memberikan pujian atau menjanjikan
suatu hadiah kepada anak. Misalnya, setelah seorang anak mengkonfirmasi bahwa
ada guru yang mengambil foto anak-anak saat mereka lagi telanjang, pewawancara
mengatakan, “Lihatlah apa yang telah Anda lakukan. Anda akan membantu banyak
anak karena Anda sangat pintar” (Garven, dkk. dalam Fulero & Wrightsman, 2009).
Konsekuensi negatif mencerminkan kritik terhadap pernyataan anak yang tidak
memadai atau mengecewakan. (Garven, dkk. dalam Fulero & Wrightsman, 2009).
4. Pertanyaan berulang
Bayangkan bahwa Anda adalah seorang anak dan pewawancara terus bertanya
pertanyaan yang sudah Anda jawab sebelumnya. Apakah cara ini akan mengubah
jawaban Anda? Penelitian telah menyatakan bahwa anak akan mengubah jawaban
terhadap pertanyaan yang berulang tetapi bukan pertanyaan tertutup.
5. Mengundang spekulasi
13
I. HAK-HAK ANAK DALAM BERSAKSI (HUKUM INDONESIA)
Secara umum hak saksi dan korban diatur pada UU RI No. 31 Tahun 2014
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban pasal 5 yang isinya adalah sebagai berikut.
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
d. Mendapat penerjemah;
i. Dirahasiakan identitasnya;
p. Mendapat pendampingan.
Pada undang-undang ini yang menyangkut anak-anak diatur pada pasal 29A dengan
ketentuan sebagai berikut
14
(1). Perlindungan LPSK terhadap anak yang menjadi Saksi dan/atau Korban dapat
diberikan setelah mendapat izin dari orang tua atau wali
(2). Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan dalam hal:
a. Orang tua atau wali diduga sebagai pelaku tindak pidana terhadap anak yang
bersangkutan;
b. Orang tua atau wali patut diduga menghalang-halangi anak yang bersangkutan
dalam memberikan kesaksian;
c. Orang tua atau wali tidak cakap menjalankan kewajiban sebagai orang tua
atau wali;
d. Anak tidak memiliki orang tua atau wali; atau
e. Orang tua atau wali anak yang bersangkutan tidak diketahui keberadaannya.
(3). Perlindungan LPSK terhadap anak yang menjadi Saksi dan/atau Korban yang
tidak memerlukan izin orang tua atau wali sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
diberikan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat atas
permintaan LPSK.
15
l. Memperoleh kehidupan pribadi;
m. Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n. Memperoleh pendidikan;
o. Memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Ketentuan lain yang lebih umum dan belum termasuk dalam UU yang tertulis
lebih lengkap dan tetap berlaku diatur dalam UU RI No. 35 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Anak.
16
c. Kesaksian pendapat tertinggi
Kesaksian yang disampaikan oleh psikolog sebagai saksi ahli tidak
hanya memberikan kesimpulan tetapi kesimpulan tersebut menjawab
pertanyaan hukum terakhir yang disampaikan di pengadilan seperti
penuntutan apakah pelaku bersalah atau tidak.
17
BAB III
KESIMPULAN
18
DAFTAR PUSTAKA
19