Вы находитесь на странице: 1из 22

MAKALAH

PSIKOLOGI FORENSIK
“Child Sexual Abuse”

Disusun Oleh:

Martin Yohanes Christian Aritonang 15010115120008


Alfiyani Rahmawati 15010115120022
Dwi Anggun Lestari 15010115120079
Alsethia Hanna Aisya 15010115140111
Norhendra Ardhanaputra 15010115140151
Lathifa Zahranisa Febriana 15010115140162

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahma-Nya sehingga
makalah yang berjudul “Sexual Child Abuse” ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak
lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan


pengalaman mengenai psikologi forensik bagi para pembaca, karena keterbatasan
pengetahuan maupun pengalaman kami, mungkin masih ada kekurangan dalam
makalah ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Untuk ke depannya dapat
memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Semarang, 25 Februari 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i


KATA PENGANTAR ................................................................................ ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................ 1
C. Tujuan .............................................................................................. 2

BAB II ISI ................................................................................................... 3

A. Indikator-Indikator Penganiayaan Seksual Anak ............................. 3


B. Pedofilia ........................................................................................... 4
C. Metode-Metode untuk Mengases Pedofilia ..................................... 5
D. Child Sexual Abuse Accommodation Syndrome .............................. 7
E. Predator Seksual Daring ................................................................... 9
F. Peran Psikolog ................................................................................ 11
G. Teknik Wawancara dengan Anak .................................................. 12
H. Penggunaan Boneka Anatomi ........................................................ 13
I. Hak-Hak Anak dalam Bersaksi (Hukum Indonesia)........................ 14
J. Psikolog Sebagai Saksi Ahli ............................................................ 16

BAB III KESIMPULAN .......................................................................... 18


DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Akhir-akhir ini kita dihebohkan berita pencabulan, yaitu seorang wali kelas
melakukan pencabulan terhadap 65 siswanya yang baru berusia 8 sampai 11 tahun.
Dari jumlah korban, 34 mengalami pelecehan secara verbal dan sisanya, 31 menerima
pelecehan non verbal. Hal tersebut dilakukan pelaku dengan alasan hobi
(https://daerah.sindonews.com/read/1284364/23/65-siswa-sd-di-surabaya-diduga-
dicabuli-wali-kelas-1519302493).

Kasus tersebut merupakan salah satu pelecehan seksual pada anak, yaitu
menyentuh anak secara tidak senonoh dan memaksa anak memegang alat kelamin.
Pelecehan seksual akan sangat berpengaruh pada psikologis anak. Anak akan
mengalami depresi, ketakutan, kecemasan, disfungsi seksual, menarik diri, bahkan
bisa mengakibatkan gangguan stres pascatrauma.

Sehingga dalam menangani kasus pelecehan seksual pada anak dibutuhkan


adanya peran psikolog, baik dalam proses sidang maupun pemulihan kondisi
psikologis anak. Dalam makalah ini, kami akan mepaparkan mengenai pelecehan
seksual anak dan peran psikolog dalam menangani kasus tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan ruang lingkup yang cukup luas, penulis membatasinya dengan


merangkum beberapa pertanyaan, yaitu:

1. Apa yang dimaksud dengan pedofilia ?


2. Bagaimana cara mengases seorang pedofil ?
3. Apa yang dimaksud dengan child sexual abuse accommodation syndrome
(CSAAS) ?

1
4. Apa peran psikolog dalam kasus sexual child abuse ?
5. Apa saja yang dapat dilakukan psikolog dalam menangani sexual child abuse?
C. TUJUAN

Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan maka tujuan makalah


adalah:

1. Mampu menjelaskan pedofilia.


2. Mampu menjelaskan Positive Emotion.
3. Mampu menjelaskan child sexual abuse accommodation syndrome
(CSAAS) ?
4. Mampu menjelaskan peran psikolog dalam menangani kasus sexual child
abuse.
5. Mampu menjelaskan apa saja yang dapat dilakukan psikolog dalam
menangani sexual child abuse.

2
BAB II
ISI

SEXUAL CHILD ABUSE

Sexual child abuse (penganiayaan seksual anak) adalah sebuah perilaku


molestation (menyentuh anak secara tidak senonoh dan memaksa anak memegang
alat kelamin). Kekerasan seksual pada anak bisa terjadi dengan pemerkosaan, dimana
segala bentuk atau benda dimasukkan kedalam alat kelamin untuk kenikmatan
seksual. Akhir-akhir ini pelaku penganiaan seksual anak adalah lebih banyak orang
tua, sisanya adalah pasangan, dan pelaku lain (guru sekolah dan karyawan).

Ada istilah bagi keluarga yang memiliki hubungan darah yang melakukan
kekerasan seksual, istilah itu disebut dengan “incest” (inses). Walaupun inses
orangtua paling sering dilaporkan, saudara kandung menjadi bentuk yang paling
sering dilaporkan. Pada sebuah survei nasional yang dilakukan oleh Finkelhor,
Ormrod, Turner, dan Hamby (2005) terhadap anak-anak usia dari 2-17 tahun
ditemukan bahwa kira-kira 1 dari 12 anak melaorkan telah dianiaya secara seksual.
Finkelhor (1994) melakukan survei internasional terhadap orang-orang dewasa dari
19 negara. Rata-rata tingkat penganiayaan seksual anak kira-kira 20% untuk
perempuan dan 10% untuk laki-laki. Dari survei ini, perempuan lebih banyak
dianiayan secara seksual dari laki-laki, perempuan lebih banyak dianiaya oleh
keluarga dibanding laki-laki, dan pelakunya biasanya laki-laki.

A. INDIKATOR-INDIKATOR PENGANIAYAAN SEKSUAL ANAK

Pullins dan Jones (2006), dalam penelitian menunjukkan ada pola-pola


perilaku tertentu yang sangat menggambarkan bentuk penganiayaan seksual anak,
tetapi belum tentu menunjukkan penganiayaan seksual anak. Efek dari penganiayaan
seksual pada anak seperti depresi, ketakutan, kecemasan, disfungsi seksual, menarik
diri, bahkan bisa mengakibatkan gangguan stres pascatrauma. Selain efek tersebut,

3
anak-anak yang mengalami penganiayaan seksual memiliki kemungkinan mengalami
perilaku regresif, misalnya gangguan tidur dan mengompol.

Banyak orangtua menganggap keliru gejala-gejala seperti ketakutan, depresi,


menarik diri, dan perilaku membangkang yang menggambarkan indikasi dari
penganiayaan seksual anak. Berdasarkan pernyataan ini, perilaku-perilaku tersebut
cukup memprihatinkan dan dapat berkaitan dengan gejala penganiayaan seksual anak.
Namun, tidak eksklusif untuk penganiayaan seksual anak.

Berdasarkan sebuah fakta yang dikeluarkan oleh Kendall-Tackett, William,


dan Finkelhor (1993) memperkirakan 20-30% anak-anak yang mengalami
penganiayaan seksual sama sekali tidak menunjukkan gejala-gejala emosional. Orang
dewasa yang memiliki pengalaman child sexual abuse biasanya mengalami depresi.
Perilaku depresi orang dewasa yang mengalami child sexual abuse dapat merusak diri
mereka dengan perilaku mengkonsumsi alkohol, penyalahgunaan obat, dan insomnia.
Banyak juga yang mengalami disfungsi seksual ketika mengalami child sexual abuse
ini.

B. PEDOFILIA

Di dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV-


TR), pedofilia termasuk sebagai salah satu paraphilia. Menurut Nathan dkk (dalam
Kitaeff, 2011), paraphilia (parafilia) adalah sebuah kondisi di mana kemampuan
seseorang untuk terangsang dan mengalami kepuasan secara seksual didasarkan pada
berfantasi tentang dan terlibat dalam perilaku seksual yang atipikal dan biasanya
ekstrem. Paraphilia pada umumnya lebih lazim ditemukan pada pria daripada wanita.

Modus operandi pedofil biasanya pertama–tama adalah mendapatkan


kepercayaan atau bahkan pertemanan dari korban yang dimaksud. Mereka mungkin
bekerja di sekolah, perkemahan, atau area–area lain yang memungkinkan kontak
dekat dengan anak–anak. Kontak seksual langsung lebih banyak dilakukan melalui

4
felasio atau kunilingus daripada hubungan seksual secara paksa. Sebagian pedofil
lebih suka mencumbu dan mengelus korbannya. Di dalam kasus–kasus di mana
pedofil benar–benar terlibat hubungan seksual, korbannya kemungkinan besar lebih
tua. Sebagian besar pedofil lebih menyukai korban perempuan daripada laki–laki
(Bogaert, Bezeau, Kuban, & Blanchard, 1997). Jika korbannya perempuan, pelaku
lebih banyak adalah keluarga, dan penyerangan itu biasanya akan terjadi di tempat
tinggal korban. Sebaliknya, pedofil memilih korban laki–laki, pelakunya lebih banyak
orang asing dan penyerangan terjadi di luar tempat tinggal korban (Murray, 2000;
Greenberg, Bradford, & Curry, 1995).

Hebephilia (hebefilia) adalah istilah yang berkaitan erat dengan pedofilia dan
digunakan untuk mendeskripsikan preferensi seksual untuk anak-anak usia pubertas
atau mendekati pubertas. Berbeda dengan pedofil, hebefil tertarik pada anak–anak
yang memperlihatkan beberapa tanda perkembangan seksual sekunder, seperti sudah
tumbuh rambut kemaluan, dan perkembangan awal buah dada pada perempuan.
Tetapi, berbeda dengan pedofilia, hebefilia tidak dimasukkan di dalam DSM-IV-TR.

C. METODE–METODE UNTUK MENGASES PEDOFILIA

Ada beragam metode untuk pengukuran kecenderungan dan intensitas


pedofilia. Wawancara klinis biasanya memungkinkan pedofil atau penyerang
seksual untuk ditanya tentang pikiran dan perilaku seksual, khususnya dalam
kaitannya dengan anak–anak. Laki–laki yang telah melakukan penyerangan seksual
terhadap anak–anak ditanyai tentang detail–detail kejahatannya. Pedofilia dapat
didiagnosis dengan wawancara setelah mempertimbangkan dengan cermat seluruh
riwayat seksual orang itu. Sebagai contoh, kriteria DSM–IV-TR untuk pedofilia
mungkin akan dipenuhi oleh seseorang yang mengaku memiliki fantasi yang sering
dan intens tentang melakukan hubungan seks dengan anak–anak, mengoleksi dan
bermasturbasi dengan media yang menggambarkan anak–anak, dan berulang kali
terlibat tindakan seksual yang melibatkan anak–anak.

5
Selama wawancara, kontak sosial individu dengan anak–anak seharusnya juga
di eksplorasi. Kontak tersebut mungkin melalui keluarga, teman, organisasi sosial dan
religius, tetangga, dan kegiatan pekerjaan atau kesukarelawanan yang melibatkan
kedekatan dengan anak–anak. Kelemahan wawancara tentu saja adalah bahwa
respondennya sering berbohong. Ini tentu lebih mungkin terjadi ketika memiliki
fantasi tentang perilaku–perilaku yang mungkin memalukan dan sekaligus ilegal.

Self report questionnaires juga digunakan untuk mengases pedofilia. Salah


satunya adalah Multiphasic Sex Inventory (Nichols & Molinder, 1984), yang berisi
300 pertanyaan yang dibagi menjadi 20 skala, termasuk skala–skala validitas. Skala–
skala klinisnya mengases perilaku dan pikiran seksual yang menyangkut
penyimpangan seksual, perilaku seksual atipikal, disfungsi seksual, dan pengetahuan
dan sikap umum tentang seks dan daya tarik. Inventori ini telah berhasil dalam
membedakan antara penjahat dan non penjahat seksual. Clarke Sexual History
Questionnarie terdiri atas 24 skala yang membedakan “hasrat erotik”. Dengan
“kemuakan” untuk berbagai perilaku seksual. Skala–skala nya telah ditemukan
mengklasifikasikan dengan benar 45–90% subjek dan mendiskriminasikan antara
kelompok–kelompok yang relevan secara klinis dan kelompok kontrol di berbagai
penelitian.

Wilson Sexual Fantasy Questionaire (Wilson, 1978) terdiri atas 40 aitem yang
mendeskripsikan sejumlah fantasi seksual dan sikap selanjutnya tentang fantasi–
fantasi seksual. Kuesioner ini diorganisasikan menjadi 4 bidang fantasi: intim,
eksploratorik, impersonal, dan sadisme–masokhisme. Tema–tema ini masing–masing
melibatkan kegiatan seksual dengan pasangan yang menyetujui, kegiatan seksual
dengan banyak pasangan, kegiatan seksual dengan orang asing, dan kegiatan seksual
dengan pasangan yang belum menyatakan persetujuannya. Kuesioner ini juga berisi
aitem–aitem tentang fantasi seksual yang melibatkan seks dengan anak–anak yang
berumur kurang dari 12 tahun. Responden melaporkan minatnya pada skala dengan
poin 0–5. Alat pelaporan diri serupa adalah Sexual Interest Cardsort Questionnaire

6
(Abel & Becker, 1979) yang berisi 75 aitem yang membedakan minat dan perilaku
seksual yang somewhat successfully normal (agak berhasil normal) dan perilaku
seksual yang abnormal.

Perlu dicatat bahwa kuesioner seperti halnya wawancara, rentang bias


pelaporan diri, dan tidak ada penelitian tentang validitas prediktif kuesioner-
kuesioner ini. Saat ini ada juga sejumlah kuesioner semacam yang lebih baru yang
digunakan secara klinis. Ini termasuk Static 99 (Hanson & Tornton, 1999), Sex
Offender Risk Appraisal Guide (Quinsey, Rich, & Harris, 1995), Minnesota Sex
Offender Screening Tool–Revised (Epperson, Kaul, & Hesselton, 1998), dan Violence
Risk Scale-Sexual Offender Version (Oliver & Wong, 2006).

D. CHILD SEXUAL ABUSE ACCOMMODATION SYNDROME

Pada 1983, psikiater Roland Summit mengintroduksikan konsep formal child


sexual abuse accommodation syndrome (CSAAS) (sindroma akomodasi
penganiayaan seksual anak). Model Summit memasukkan lima komponen perilaku
mengapa anak-anak yang menjadi korban penganiayaan seksual di dalam keluarga
enggan untuk mengungkapkan pengalaman mereka. Yang pertama adalah secrecy
(kerahasiaan), di mana si penganiaya kali mengancam akan menyakiti fisik atau
perpecahan keluarga, dan itu adalah kesalahan si anak. Yang kedua adalah
helplesness (ketidakberdayaan), di mana anak membutuhkan si penganiaya untuk
menyediakan berbagai sumber daya atau merasa sama sekali tidak berdaya untuk
berbuat apa pun tentang penganiayaan tersebut. Yang ketiga adalah entrapment
(perangkap), di mana anak merasa benar-benar terperangkap oleh keadaan dan tidak
dapat melarikan diri. Yang keempat adalah konflik yang dirasakan tentang hal yang
tepat untuk dilakukan. Alasan kelima mengapa anak yang menjadi korban tidak
mengungkapkannya menurut Summit adalah unconvincing disclosure (pengungkapan
yang tidak meyakinkan) dan tertunda. Summit mengatakan bahwa anak-anak yang
telah dianiaya secara seksual mungkin terlihat menyalahkan dan meragukan dirinya

7
sendiri dan takut pada penganiayaannya dan konsekuensi pengungkapan
penganiayaan tersebut. Jadi, agar selamat dari penganiayaan seksual oleh anggota
keluarga yang dipercaya, anak diduga membuat upaya-upaya akomodatif untuk
menerima penganiayaan itu dan merahasiakannya.

Kesaksian CSAAS telah digunakan untuk menjelaskan perilaku yang tampak


tidak konsisten atau tidak logis pada anak yang menjadi korban penganiayaan
seksual, termasuk pelaporan yang tertunda, tidak adanya saksi atau bukti fisik, dan
korban mencabut kembali pernyataannya. Summit berpendapat bahwa kesaksian ahli
ilmu sosial bisa kritis dalam mengklarifikasi perilaku yang tampak tidak logis
tersebut dan mengatasi kesalahan konsepsi juri tentang klaim-klaim korban anak.
Tetapi, yang lebih sering, kesaksian CSAAS menyesatkan dan membingungkan bagi
juri karena penerapannya sering kali tidak hanya digunakan untuk menjelaskan
reaksi-reaksi orban anak, tetapi juga untuk membuktikan bahwa penganiayaan
seksual benar-benar terjadi.

CSAAS juga resisten untuk “disangkal” karena fitur-fitur penentuanya


kontradiktif. Lebih spesifiknya, jika seorang anak suatu saat mengklaim viktimisasi,
CSAAS memberikan penjelasan; jika anak yang sama mencabut kembali
pengakuannya, CSAAS menjelaskan perilaku itu juga, sehingga membuat klaim
penganiayaan seksual anak nyaris mustahil untuk disangkal. Sebagai contoh, di dalam
United States v. Bighead (1997), seorang ahli bersaksi di persidangan tetapi belum
benar-benar memeriksa korban terduga. Anak itu belum melaporkan penganiayaan
pada saat hal yang dituduhkan terjadi, dan testimoni ahli diberikan untuk menjelaskan
mengapa ini sebenarnya masuk akal menurut teori CSAAS di mana pelaporan
tertunda bisa lazim terjadi di antara mereka yang telah mengalami penganiayaan
seksual.

Para pengkritik CSAAS menunjuk pada efek-efek merusak dari membuat


tuduhan palsu berdasarkan CSAAS pada keluarga, seperti trauma emosional dan

8
fisik, disrupsi keluarga, dan kerusakan finansial bagi orang dewasa yang menjadi
sasaran tuduhan keliru tentang penganiayaan seksual. Ttuduhan penganiayaan seksual
juga telah digunakan untuk mendapatkan keuntungan hukum di dalam situasi-situasi
hak asuh anak. Thornnes dan Pearson (1988) memperkirakan bahwa tuduhan-tuduhan
penganiayaan seksual ditemuakn di dalam 2-10% kasus-kasus perselisihan soal hak
asuh anak, tetapi mencatat bahwa jumlah sebenarnya mungkin jauh lebih banyak.

Menurut Daubert v. Merrel Dow Pharmaceutical, Inc. (1993), General


Electric Co. V. Joiner (1997), Kumho Tire Company Ltd. V. Cemichael (1999), dan
Federal Rules of Evidence, trial judges perlu mempertimbangkan faktor-faktor
seperti tangkat kesalahan, peer-reviewed publications (publikasi yang diperiksa oleh
para ahli di bidang yang sama), dan penerimaan umum oleh masyarakat keilmuan
yang relevan dan mengevaluasi kesaksian semacam itu.

E. PREDATOR SEKSUAL DARING

Internet atau komunikasi komputer dalam jaringan (daring/online) telah


membuka dunia bagi anak–anak. Tetapi ada individu–individu yang mengambil
manfaat dan berusaha memancing dan mengeksploitasi anak–anak secara seksual
melalui penggunaan berbagai layanan daring. Wolak, Finkelhor, & Mitchell, 2004
mengungkapkan bahwa 39% anak mengatakan bahwa mereka mempercayai orang-
orang yang mereka temui di web internet dan satu di antara lima orang anak pernah
menerima permintaan daring untuk seks. Beberapa predator seksual daring sedikit
demi sedikit menggoda anak–anak dengan memberi mereka perhatian dan dengan
menunjukan afeksi dan kebaikan. Dalam pendekatannya, individu–individu sering
mencurahkan banyak waktu, uang, dan tenaga di dalam usahanya. Mereka berpura–
pura peduli dan berempati dengan masalah anak, dan mereka mengetahui musik
terkini, bermacam–macam hobi, dan minat anak–anak. Kemudian kandungan seksual
perlahan–lahan diintroduksikan ke dalam konteks percakapan setelah kepercayaan
anak didapatkan dan hambatan mereka diturunkan.

9
Beberapa individu terlibat dalam percakapan yang eksplisit secara seksual
dengan anak – anak. Mereka bahkan mengoleksi dan tukar – menukar gambar
pornografi anak, sementara yang lain mengupayakan pertemuan langsung dengan
anak – anak melalui kontak daring. Anak – anak, khususnya remaja kadang tertarik
dan ingin tahu dengan seksualitas dan materi yang eksplisit secara seksual, sehingga
sebagian besar penjahat seks daring menargetkan anak–anak semacam itu
memanfaatkan dan mengeksplorasi kebutuhan ini. Bahkan sering kali para predator
mampu memindahkan hubungan ini ke luar dari dunia maya.

Kebutuhan anak–anak dan remaja kadang–kadang membuat penjahat dewasa


untuk tidak terlalu perlu untuk menyembunyikan status dewasa mereka. Faktanya, di
banyak kasus, korban sebenarnya sadar bahwa mereka menjalin percakapan daring
dengan orang yang lebih dewasa. Para penjahat mungkin tidak membohongi
mengenai minat seksualnya dan seks akan didiskusikan secara daring sehingga
sebagian korban yang bertemu dengan penjahat secara tatap muka pergi menemuinya
dengan harapan akan terlibat kegiatan seksual. Beberapa korban bahkan mengaku
mencintai atau merasa dekat dengan si penjahat.

Banyak penjahat seks yang beroperasi daring menarget remaja – remaja muda,
bukan anak – anak kecil, sehingga mereka tidak bisa dikatakan pedofil yang menurut
definisinya tertarik secara seksual dengan anak – anak prapubertas. Para pedofil sulit
untuk memanfaatkan internet untuk menarget secara langsung anak – anak yang
masih kecil. Salah satu alasannya adalah, anak – anak yang masih kecil tidak dapat
diakses di lingkungan daring seperti remaja karena mereka tidak banyak
menggunakan internet untuk berkomunikasi dengan teman atau berbicara di ruang
obrolan, selain itu mereka juga diawasi dengan lebih ketat oleh orangtuanya (Rideout,
Roberts, & Foehr, 2005; Wang, Bianchi, & Raley, 2005).

Berbagai penelitian menemukan bahwa pria dewasa yang mengejar remaja


perempuan dan laki – laki kemungkinan besar memiliki riwayat kejahatan, kurang

10
berpendidikan, merasa tidak cakap, dan perkembangan psikososialnya terhambat
(Hines & Finkelhor, 2007).

F. PERAN PSIKOLOG

Psikolog memiliki empat peran dalam menangani kasus pelecehan seksual


pada anak. Peran-peran tersebut adalah:

1. Mengevaluasi anak

Psikolog memiliki peran dalam mengevaluasi kasus yang dialami seorang


anak. Psikolog mengevaluasi dari beberapa sumber. Tugas ini tidak mudah karena
tidak ada yang merasa nyaman dalam menanggapi hal yang mengganggu privasi
mereka. Selain itu, anak sangat terbatas dalam kemampuan mereka untuk
mengungkapkan apa yang terjadi atau memisahkan kebenaran dari fantasi. Psikolog
dapat menggunakan boneka anatomi dalam melakukan asesmen kepada anak.

2. Melakukan asesmen kompetensi kepada anak untuk menjadi saksi

Setelah dinyatakan bahwa telah terjadi pelecehan seksual dan tuntutan sudah
dibuat, anak tersebut dapat dipanggil oleh pihak berwenang sebagai saksi di
pengadilan. Walaupun pengadilan sudah memiliki metode dalam menentukan
kompetensi anak untuk menjadi saksi, hakim biasanya akan berkonsultasi dengan
psikolog.

3. Mempersiapkan anak untuk menjadi saksi

Beberapa anak merasa takut saat menghadapi pemeriksaan pengadilan.


Biasanya, jaksa penuntut umum akan meminta psikolog untuk mendampingi anak
tersebut agar ia dapat merasa nyaman.

11
4. Menjadi saksi ahli

Masing-masing pihak bisa saja menggunakan psikolog sebagai saksi ahli


dalam persidangan yang melibatkan pelecehan seksual terhadap anak-anak. Penuntut
dapat meminta psikolog untuk memberi kesaksian tentang validasi memori anak-anak
dan mencoba mengatasi keberatan juri untuk mempercayai kesaksian anak-anak.
Pembela dapat menggunakan psikolog untuk memberi kesaksian mengenai masalah
keakuratan saksi mata dan dugaan anak.

G. TEKNIK WAWANCARA DENGAN ANAK


1. Menggunakan pertanyaan sugestif

Teknik pertanyaan sugestif terdiri dari "mengenalkan informasi baru ke dalam


sebuah wawancara ketika anak belum menyediakan informasi tersebut dalam
wawancara yang sama" (Garven, dkk. dalam Fulero & Wrightsman, 2009). Misalnya,
seorang anak ditanya “Apakah kamu ingat foto-foto telanjang tersebut?” saat anak
belum menyatakan adanya foto-foto tersebut (Garven, dkk. dalam Fulero &
Wrightsman, 2009).

2. Implikasi konfirmasi oleh orang lain

Wood, dkk. (dalam Fulero & Wrigthsman, 2009) mengatakan bahwa teknik
ini memberi tahu anak bahwa pewawancara telah memperoleh informasi dari anak
lain mengenai topik yang ada. Misalnya, pewawancara mengatakan kepada anak
tersebut bahwa tiap anak dalam sebuah gambar kelas telah berbicara kepadanya
tentang rahasia menjijikan dari sekolah tersebut (Garven, dkk. dalam Fulero &
Wrightsman, 2009). Tindakan semacam itu menciptakan tekanan konformitas pada
anak.

3. Menggunakan konsekuensi negatif dan positif

12
Konsekuensi positif adalah saat psikolog memberikan pujian atau menjanjikan
suatu hadiah kepada anak. Misalnya, setelah seorang anak mengkonfirmasi bahwa
ada guru yang mengambil foto anak-anak saat mereka lagi telanjang, pewawancara
mengatakan, “Lihatlah apa yang telah Anda lakukan. Anda akan membantu banyak
anak karena Anda sangat pintar” (Garven, dkk. dalam Fulero & Wrightsman, 2009).
Konsekuensi negatif mencerminkan kritik terhadap pernyataan anak yang tidak
memadai atau mengecewakan. (Garven, dkk. dalam Fulero & Wrightsman, 2009).

4. Pertanyaan berulang

Bayangkan bahwa Anda adalah seorang anak dan pewawancara terus bertanya
pertanyaan yang sudah Anda jawab sebelumnya. Apakah cara ini akan mengubah
jawaban Anda? Penelitian telah menyatakan bahwa anak akan mengubah jawaban
terhadap pertanyaan yang berulang tetapi bukan pertanyaan tertutup.

5. Mengundang spekulasi

Teknik ini meminta anak untuk berpura-pura. Misalnya, “Anggaplah bahwa


hal itu benar-benar terjadi, apa yang akan Anda lakukan?”

H. PENGGUNAAN BONEKA ANATOMI


Selain wawancara, psikolog dapat menggunakan boneka, gambar, rumah
boneka, dan boneka anatomi dalam melakukan asesmen pada anak dalam kasus
pelecehan seksual. Boneka anatomi dapat berupa boneka laki-laki dewasa dengan alat
kelamin; boneka perempuan dewasa dengan alat kelamin serta payudara; boneka anak
laki-laki dengan alat kelamin yang masih berkembang; dan boneka anak perempuan
dengan alat kelamin dan payudara yang masih berkembang (Skinner & Berry dalam
Fulero & Wrightsman, 2009). Penggunaan boneka tersebut dapat membantu anak
dalam mengungkapkan apa yang terjadi tanpa harus membicarakannya.

13
I. HAK-HAK ANAK DALAM BERSAKSI (HUKUM INDONESIA)
Secara umum hak saksi dan korban diatur pada UU RI No. 31 Tahun 2014
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban pasal 5 yang isinya adalah sebagai berikut.

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta


bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang
akan, sedang, atau telah diberikannya;

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;

c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;

d. Mendapat penerjemah;

e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;

g. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;

h. Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;

i. Dirahasiakan identitasnya;

j. Mendapat identitas baru;

k. Mendapat tempat kediaman sementara;

l. Mendapat tempat kediaman baru;

m. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

n. Mendapat nasihat hukum;

o. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan


berakhir; dan/atau

p. Mendapat pendampingan.

Pada undang-undang ini yang menyangkut anak-anak diatur pada pasal 29A dengan
ketentuan sebagai berikut

14
(1). Perlindungan LPSK terhadap anak yang menjadi Saksi dan/atau Korban dapat
diberikan setelah mendapat izin dari orang tua atau wali

(2). Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan dalam hal:

a. Orang tua atau wali diduga sebagai pelaku tindak pidana terhadap anak yang
bersangkutan;
b. Orang tua atau wali patut diduga menghalang-halangi anak yang bersangkutan
dalam memberikan kesaksian;
c. Orang tua atau wali tidak cakap menjalankan kewajiban sebagai orang tua
atau wali;
d. Anak tidak memiliki orang tua atau wali; atau
e. Orang tua atau wali anak yang bersangkutan tidak diketahui keberadaannya.

(3). Perlindungan LPSK terhadap anak yang menjadi Saksi dan/atau Korban yang
tidak memerlukan izin orang tua atau wali sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
diberikan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat atas
permintaan LPSK.

Selanjutnya pelaksanaan penguatan hak-hak anak secara keseluruhan dalam


proses pidana seluruh perannya diatur dengan UU RI No. 11 Tahun 2012 pada pasal
3 mengenai hak anak dalam proses pengadilan pidana yaitu.

a. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai


dengan umurnya;
b. Dipisahkan dari orang dewasa;
c. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. Melakukan kegiatan rekreasional;
e. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak
manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan
dalam waktu yang paling singkat;
h. Memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak
memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i. Tidak dipublikasikan identitasnya;
j. Memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh
Anak;
k. Memperoleh advokasi sosial;

15
l. Memperoleh kehidupan pribadi;
m. Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n. Memperoleh pendidikan;
o. Memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Ketentuan lain yang lebih umum dan belum termasuk dalam UU yang tertulis
lebih lengkap dan tetap berlaku diatur dalam UU RI No. 35 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Anak.

J. PSIKOLOG SEBAGAI SAKSI AHLI


Psikolog memiliki peran yang penting sebagai saksi ahli dengan memberikan
keterangan secara keilmuan dengan literatur psikologis yang relevan dan digunakan
untuk mengkaji suatu kasus tertentu lalu disampaikan dalam persidangan. Khususnya
pada kasus pelecehan seksual ilmu psikologi sangat berperan kuat untuk mengkajinya
secara mendalam.
1. Kesaksian untuk penuntutan
Berliner (1998) menemukan beberapa tipe kesaksian psikolog sebagai saksi
ahli dalam penuntutan kasus pelecehan seksual yaitu.
a. Kesaksian pada kerangka sosial
Psikolog memakai cara kesaksian ini menggunakan kesimpulan umum
dari riset pada ilmu sosial dalam menjelaskan permasalahan faktual di kasus
tertentu.
b. Kesaksian tentang kesemaan antara saksi anak tertentu dengan kelas umum
lain pada pelecehan seksual anak.
Walaupun ilmu sosial dapat menjelaskan permasalahan dalam kasus
secara luas, namun hal yang paling spesifik dan mendalam terdapat dalam
pengalaman anak sebagai saksi yang perlu digali oleh psikolog.

16
c. Kesaksian pendapat tertinggi
Kesaksian yang disampaikan oleh psikolog sebagai saksi ahli tidak
hanya memberikan kesimpulan tetapi kesimpulan tersebut menjawab
pertanyaan hukum terakhir yang disampaikan di pengadilan seperti
penuntutan apakah pelaku bersalah atau tidak.

17
BAB III
KESIMPULAN

Sexual child abuse (penganiayaan seksual anak) merupakan perilaku


menyentuh anak secara tidak senonoh dan memaksa anak memegang alat kelamin.
Cara pelaku sexual child abuse sedikit demi sedikit menggoda anak–anak dengan
memberi mereka perhatian dan dengan menunjukan afeksi dan kebaikan dengan
menggunakan media sosial (daring/online). Efek dari penganiayaan seksual pada
anak seperti depresi, ketakutan, kecemasan, disfungsi seksual, menarik diri, bahkan
bisa mengakibatkan gangguan stres pascatrauma. Selain efek tersebut, anak-anak
yang mengalami penganiayaan seksual memiliki kemungkinan mengalami perilaku
regresif, misalnya gangguan tidur dan mengompol.

Dalam menangani kasus pelecehan seksual pada anak dibutuhkan seorang


psikolog. Terdapat beberapa peran psikolog dalam menangani kasus ini, yaitu
mengevauasi anak, melakukan asesmen kompetensi kepada anak untuk menjadi saksi,
mempersiapkan anak untuk menjadi saksi, dan menjadi saksi ahli dalam persidangan.
Psikolog dapat mengases korban pelecehan seksual pada anakdengan cara meakukan
wawancara dengan beberapa teknik dan dengan cara menggunakan boneka anatomi.
Penggunaan boneka tersebut dapat membantu anak dalam mengungkapkan apa yang
terjadi tanpa harus membicarakannya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Fulero, S. M. & Wrigthsman, L. S. (2009). Forensic psychology third edition. United


States of America: Wadsworth, Cengange Learning.

Huss. Matthew T. (2009). Forensic Psychology Research, Clinical Practice, and


Applications. United State of America. Wiley-Black Well

Kitaeff, J. (2017). Psikologi forensik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

UU RI No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak

UU RI No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

UU RI No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.

19

Вам также может понравиться