Вы находитесь на странице: 1из 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Artropoda adalah filum yang paling besar dalam dunia hewan dan
mencakup serangga, laba-laba, udang, lipan, dan hewan sejenis lainnya.
Artropoda biasa ditemukan di laut, air tawar, darat, dan lingkungan udara,
termasuk berbagai bentuk simbiosis dan parasit. Kata artropoda berasal
dari bahasa Yunani "ruas, buku, atau segmen", dan pous (podos), "kaki",
yang jika disatukan berarti "kaki berbuku-buku. Artropoda juga dikenal
dengan nama hewan berbuku-buku atau hewan beruas.
Vektor adalah arthropoda yang dapat menimbulkan dan menularkan
suatu infectious agent dari sumber infeksi kepada induk semang yang
rentan. Bagi dunia kesehatan masyarakat, binatang yang termasuk
kelompok vektor dapat merugikan kehidupan manusia karena disamping
mengganggu secara langsung juga sebagai perantara penularan penyakit.
Binatang tersebut termasuk phylum arthropoda, seperti nyamuk yang dapat
bertindak sebagai perantara penularan penyakit malaria, deman berdarah,
dan Phylum chodata yaitu tikus sebagai pengganggu manusia, serta
sekaligus sebagai tuan rumah (hospes), pinjal Xenopsylla cheopis yang
menyebabkan penyakit pes.
Sebenarnya disamping nyamuk sebagai vektor dan tikus binatang
pengganggu masih banyak binatang lain yang berfimgsi sebagai vektor dan
binatang pengganggu. Namun kedua phylum tersebutlah yang sangat
berpengaruh didalam menyebabkan kesehatan pada manusia, untuk itu
keberadaan vektor dan binatang penggangu tersebut harus di tanggulangi,
sekalipun demikian tidak mungkin membasmi sampai keakar-akarnya
melainkan kita hanya mampu berusaha mengurangi atau menurunkan
populasinya kesatu tingkat ertentu yang tidak mengganggu ataupun
membahayakan kehidupan manusia. Dalam hal ini untuk mencapai
harapan tersebut perlu adanya suatu managemen pengendalian dengan
arti kegiatan-kegiatan/proses pelaksanaan yang bertujuan untuk
memurunkan densitas populasi vektor pada tingkat yang tidak
membahayakan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi antropoda?

2. Apa klasifikasi dari antropoda?

3. Apa siklus hidup dari vector penyakit protozoa?

4. Apa penyakit yang di sebabkan?

1.2 Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi antropoda.

2. Untuk mengetahui klasifikasi dari antropoda.

3. Untuk mengetahui siklus hidup dari vector penyakit protozoa.

4. Untuk mengetahui penyakit yang di sebabkan.


BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Tinjauan Vektor

Vektor merupakan arthropoda yang dapat menularkan, memindahkan


atau menjadi sumber penularan penyakit pada manusia. Di Indonesia,
penyakit – penyakit yang ditularkan melalui serangga merupakan penyakit
endemis pada daerah tertentu, seperti Demam BerdarahDengue (DBD),
malaria, kaki gajah, Chikungunya yang ditularkan melalui gigitan nyamuk
aedes aegypti. Disamping itu, ada penyakit saluran pencernaan seperti
dysentery, cholera, typhoid fever dan paratyphoid yang ditularkan secara
mekanis oleh lalat rumah.
Arthropoda mempunyai 4 tanda morfologi yang jelas, yaitu:
1. Badan beruas-ruas
2. Umbai-umabi yang juga beruas-ruas
3. Eksoskelet, dan
4. Bentuk badan simetris bilateral
Selama pertumbuhannya serangga mengalami perubahan bentuk
yang disebut metamorfosis. Antara tingkat muda dan dewasa terdapat
perbedaan morfologi yang jelas, disertai perbedaan biologi (tempat hidup
dan makanan). Menurut besarnya peran dalam ilmu kedokteran, arthropoda
dikelompokkan sebagai berikut:
1. Arthropoda yang menularkan penyakit (vektor dan hospes
perantara)
2. Arthropoda yang menyebabkan penyakit (parasit)
3. Arthropoda yang menimbulkan kelainan karna toksis yang
dikeluarkan
4. Arthropoda yang menyebabkan alergi
5. Arthropoda yang menyebabkan entomofobia.
2.2 Vektor Penyakit Protozoa
1. Vektor Malaria
Nyamuk anophelini yang berperan sebagai vektor malaria hanyalah
genus Anopheles. Di seluruh dunia genus Anopheles jumlahnya kurang lebih
2000 spesies, 60 spesies diantaraya adalah vektor malaria. Di Indonesia
jumlah nyamuk anophel ini kurang lebih 80 spesies dan 16 diantaranya telah
terbukti berperan sebagai vektor malaria.
Daur hidup nyamuk anophelini mengalami metamorfosis sempurna.
Telur menetas menjadi larva yang kemudian melakukan pengelupasan
kulit/eksoskelet sebanyak 4 kali; lalu tumbuh menjadi pupa dan akhirnya
menjadi nyamuk dewasa jantan atau betina. Waktu yang diperlukan untuk
pertumbuhan sejak telur diletakkan sampai menjadi dewasa antara 2-5
minggu, tergantung spesies, makanan yang tersedia dan suhu udara.
Tempat perindukan nyamuk anophelini bermacam-macam tergantung spesie
dan dapat dibagi menjadi 3 kawasan, yaitu:
1) Kawasan pantai dengan tanaman bakau di danau pantai atau lagun, rawa,
empang sepanjang patai, ditemukan An. sundaicus dan An. subpictus.
2) Kawasan pedalaman yang ada sawah, rawa dan empang, saluran irigasi
serta sungai ditemukan An. farauti, An. bancrofti, An. subpictus, An.
nigerrimsdan An. sinensis.
3) Kawasan kaki gunung dengan perkebunan atau hutan ditemukan An.
balabacensis, sedangkan didaerah gunung ditemukan An. maculattus.
Aktivitas nyamuk anophelini sangat dipengaruhi oleh kelembaban udara
dan suhu. Umumnya anphelini aktif menghisap darah hospes pada malam
hari atau semenjak senja sampai dini hari. Jarak terbang anophelini biasanya
0,5-3 km, tetapi dapat mencapai puluan kilometer karena dipengaruhi oleh
transportasi dan kencangnya angin.
Penentuan vektor malaria didasarkan atas penemua sporozoit malaria di
kelenjar liur nyamuk anophelini yang hidup di alam bebas. Berbagai faktor
yang perlu diketahui untuk menentukan vektor di suatu daerah
endemimalaria adalah :
1) Pada pembedahan nyamuk alam positif mengandung sporozoit
2) Kebiasaan nyamuk anophelini mengisap darah manusia
3) Umur nyamuk betina lebih dari 10 hari
4) Kepadatan yang tinggi dan mendominasi spesies lain
5) Hasil infeksi percobaab di laboratorium yang menunjukkan kemampan
untuk mengembangkan plasmodium menjadi stadium sporozoit.
Malaria merupakan penyakit yang dapat bersifat akut maupun kronik,
malaria disebabkan oleh protozoa dari genus plasmodium ditandai dengan
demam, anemiadan splenomegali. Sampai sekarang dikenal 4
jenis plasmodium, yaitu :
1) Plasmodium falciparum sebagai penyebab malaria tropika.
2) Plasmodium vivaks sebagai penyebab penyakit malaria tertiana.
3) Plasmodium malariae sebagai penyebab penyakit malaria quartana.
4) Plasmodium ovale yang menyebabkan penyakit malaria yang hampir
serupa dengan malaria tertiana.
Dalam daur hidupnya Plasmodium mempunyai 2 hospes, yaitu
vertebrata dan nyamuk. Siklus aseksual didalam hospes vertebrata dikenal
sebagai skizogoni dan siklus seksual yang terbentuk sporozoit disebut
sebagai sporogoni. Pemberantasan malaria dapat dilakukan dengan
berbagai cara, diantarnanya:
1) Mengobati penderita malaria
2) Mengusahakan agar tidak terjadi kontak dengan nyamuk anophelini
dengan memasang kawat kasa di bagian-bagia terbuka di rmah serta
penggunaan kelambu dan repellent
3) Mengadakan penyuluhan tentang sanitasi lingkungan dan pendidikan
kesehatan kepada masyarakat yang berkaitan dengan upaya
memusnahkan tempat-tempat perindukan nyamuk dan penempatan
kandang ternak di antara tempat perindukan dan rumah penduduk.
2. Vektor Tripasonomiasis Afrika
Vektor tripasonomiasis (penyakit tidur Afrika) adalah lalat Tse tse
(Glossina) yang termasuk ordo Diptera kelas Insecta. Lalat ini memiliki
ukuran 6-13 mm, mengalami metamorfosis sempurna, bersifat vivipar,
mempunyai tipe mulut tusuk isap. Baik jantan maupun betina, keduanya
mengisap darah dengan aktivitas menggigit terutama pada pagi hari.
Terdapat 2 spesies yang berperan sebagai vektor tripasonomiasis
yaitu Glossina morsitans yang menularkan Trypanosoma rhodensiense di
Afrika bagian timur dan Glossina palpalis yang bertindak sebahai
vektor Trypanosoma gambiense di Afrika bagian barat. Glossina
morsitans menyukai daerah yang terbuka dengan tanah yang keras seperti
padang rumput, sedangkan Glossina palpalis lebih menyukai habitat
berpasir atau tanah di sekitar sungai atau danau yang banyak ditumbuhi
pohon.
Kedua spesies Trypanosoma akan berada dalam plasma darah yang
kemudian bisa sampai ke otak mempengaruhi sentrum tidur dan saraf
pusat. Akibatnya penderita terganggu ingatannya dan merasa mengantuk
yang sulit bangun.
3. Vektor Leismaniasis
Phlebotomus longipalpis (lalat pasir = sand fly) termasuk ordo diptera
dari kelas insekta. Lalat ini berukuran kecil kurang lebih 1,5-4 mm,
berwarna kuning/kelabu dan seluruh badan berbulu serta mengalami
metamorfosis sempurna dengan tipe mulut tusuk isap, baik jantan maupun
betina keduanya mengisap darah.
Habitat lalat ini terutama pada lubang yang terdapat dionggokan tanah.
Peranan lalat ini adalah sebagai vektor biologik Leismania donovani,
Leishmania tropica dan Leishmania brasiliense. Selain menularkan
flagelata darah lalat ini juga menularkan virus penyebab Phlebotomus
fever dan bakteri penyebab bartonelosis

2.3 Anopheles
A. Klasifikasi
1. Phylum : Arthropoda
2. Class : Hexapoda / Insecta
3. Sub Class : Pterigota
4. Ordo : Diptera
5. Familia : Culicidae
6. Sub Famili : Anophellinae
7. Genus : Anopheles
8. Spesies : Anopheles

B. Morfologi
Stadium telur Anopheles yang diletakkan satu per satu di atas
permukaan air berbentuk seperti perahu yang bagian bawahnya konveks dan
bagian atasnya konkaf dan mempunyai sepasang pelampung yang terletak
pada sebelah lateral. Stadium larva Anopheles yang di tempat perindukan
tampak mengapung sejajar dengan permukaan air, mempunyai bagian-
bagian badan yang bentuknya khas, yaitu spirakel pada bagian posterior
abdomen, tergal plate pada bagian tengah bagian dorsal abdomen dan bulu
palma pada bagian lateral abdomen. Stadium pupa mempunyai tabung
pernapasan yang bentuknya lebar dan pendek dan digunakan untuk
pengambilan O2 dari udara.
Pada stadium dewasa palpus nyamuk jantan dan nyamuk betina
mempunyai panjang hampir sama dengan panjang probosisnya.
Perbedaanya adalah pada nyamuk jantan ruas palpus bagian apikal
berbentuk gada, sedangkan pada nyamuk betina ruas tersebut mengecil.
Sayap pada bagian pinggir (kosta dan vena I) ditumbuhi sisik-sisik sayap
yang berkelompok membentuk gambaran belang-belang hitam dan putih. Di
samping itu, bagian ujung sisik sayap membentuk lengkung (tumpul). Bagian
posterior abdomen sedikit melancip.
C. Siklus Hidup

Gambar siklus hidup Anopheles


Nyamuk Anopheles mengalami metamorphosis sempurna. Telur yang
diletakkan oleh nyamuk betina, menetas menjadi larva yang kemudian
melakukan pengelupasan kulit sebanyak 4 kali, lalu tumbuh menjadi pupa
dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa jantan atau betina. Waktu yang
diperlukan untuk pertumbuhan sejak telur diletakkan asampai menjadi
dewasa bervariasi antara 2-5 minggu, tergantung kepada spesies, makanan
yang tersedia dan suhu udara. Tempat perindukan nyamuk Anopheles
bermacam-macam tergantung kepada spesies dan dapat dibagi menurut 3
kawasan (zone) yaitu kawasan pantai, kawasan pedalaman, dan kawasan
kaki gunung dan gunung. Di kawasan pantai atau laguna (lagoon), rawa
dan empang sepanjang pantai, ditemukan Anopheles sundaicus. Di samping
Anopheles sundaicus juga Anopheles subpictus menggunakan tempat-
tempat perindukan tersebut terutama di danau, di pantai dan empang. Di
kawasan pedalaman yang ada sawah, rawa, empang dan saluran air irigasi
ditemukan Anopheles aconicus, Anophelesbarbirostis, Anopheles subpictus
Anopheles nigerrimus, Anopheles sinensis. Di kawasan kaki gunung dengan
perkebunan atau hutan ditemukan Anopheles balabacensis, sedangkan di
daerah gunung ditemukan Anopheles maculatus.D. Epidemiologi dan
Distribusi Geografis
Penentuan vector malaria didasarkan atas penemuan sporozoit
malaria di kelenjar air liur nyamuk Anopheles yang hidup di alam bebas.
Cara yang digunakan adalah pembedahan nyamuk betina. Berbagai faktor
yang perlu diketahui dalam rangka menentukan faktor di suatu daerah
endemik malaria adalah kebiasaan nyamuk Anopheles menghisap darah
manusia, lama hidup nyamuk betina dewasa lebih dari sepuluh hari,
nymauk Anopheles dengan kepadatan yang tinggi mendominasi spesies lain
yang ditemukan, hasil infeksi percobaan di laboratorium yang menunjukkan
kemampuan untuk mengembangkan Plasmodium menjadi stadium sporozoit.
Prevalensi kasus malaria di suatu daerah endemi malaria lainnya
tidak sama, tergantung pada perilaku spesies nyamuk yang menajadi vector.
Di daerah Cilacap misalnya yang vektor malarianyaAnopheles sundaicus,
kasus malaria ditemukan lebih banyak dimusim kemarau daripada musim
penghujan, karena pembentukan tempat perindukan di muara sungai
untuk Anopheles sundaicusmeningkat. Sebaliknya untuk daerah Jawa Barat
yang vektor malarianya Anopheles aconitus kasus malaria meningkat
jumlahnya pada musim hujan, di sawah-sawah terbemtuk tempat-tempat
perindukan untuk Anopheles aconitus. Kedua kejadian tersebut terjadi akibat
kurangnya perhatian terhadap pengaturan air atau tidak teraturnya
pengadaan saluran irigasi.
E. Patogenesis
Demam mulai timbul saat pecahnya scizon darah yg nenegeluarkan
bermacam-macam antigen. Antigen akan merangsang makrofag, monosit,
atau limfosit yang mengeluarkan berbagai sitokin (al: tumor nekrosis faktor-
TNF). TNF akan dibawa ke hipotalamus (pusat pengatur suhu) dan terjadi
demam. Lama proses scizogoni:
1. Plasmodium falciparum: 36 – 48 jam, demam dapat terjadi setiap hari
2. Plasmodium vivax/ovale: 48 jam, demam selang waktu satu hari
Anemi terjadi karena pecahnya sel darah merah yg terinfeksi maupun
yg tidak terinfeksi.Plasmodium falciparum menginfeksi semua jenis sel darah
merah, sehingga anemi dapat terjadi pada infeksi akut maupun
kronis. Plasmodium vivax/ovale menginfeksi sel darah merah yg masih muda
(2%), sehingga anemi terjadi pada infeksi kronis. Terjadi
splenomegali (pembesaran limfa) terjadi akibat penghancuran
plasmodium oleh sel-sel makrofag dan limfosit.
F. Pencegahan dan Pengendalian
Pemberantasan malaria dapat dilakukan dengan berbagai
cara diantaranya dengan mengobati penderita malaria, mengusahakan agar
tidak terjadi kontak natara nyamuk anophelini dengan manusia yaitu dengan
memasang kawat kasa di bagian-bagian terbuka di rumah (jendela dan
pintu), penggunaan kelambu dan repellent, mengadakan penyuluhan tentang
sanitasi lingkungan dan pendidikan kesehatan masyarakat yang berkaitan
degan upaya memusnahkan tempat-tempat perindukan nyamuk dan
menempatkan kandang ternak di antara tempat perindukan dan rumah
penduduk.

2.4 Lalat Tse tse


A. Klasifikasi
1. Kingdom : Animalia
2. Filum : Arthropoda
3. Class : Insecta
4. Ordo : Diptera
5. Famili : Glossinidae
6. Genus : Glossina
B. Morfologi

Gambar lalat tsetse


Tsetse adalah lalat raksasa dari Afrika, panjang tubuhnya dapat
mencapai 1,6 cm dari ujung kepala hingga ekor. Warna tubuhnya bervariasi
antara coklat muda dan coklat tua dan mempunyai dua antena di bagian
kepalanya, sehingga perbedaanya akan tampak mencolok dibandingkan
dengan lalat biasa. Saat tidak terbang kedua sayapnya dilipat secara
bertumpuk diatas tubuhnya ataumenutup berbentuk gunting. Lalat betina dan
jantan keduanya menghisap darah mamalia baik hewan maupun manusia.
Lalat Tse tse bersifat pupiparous, yaitu mengeluarkan larva yang sudah
berkembang pada setiap periode, dengan memproduksi 8-20 larva. Pada
waktu masih dalam oviduct larva memakan sekresi dari kelenjar susu yang
khusus. Larva diletakkan pada tempat yang bebas, tanah yang kering dan
biasanya terlindung. Larva mempunyai alat gerak dan segera menggali tanah
mengubur diri sekitar beberapa cm dari permukaan tanah. Lalat dewasa
keluar setelah 2-4 minggu.
C. Siklus Hidup
Lalat Tsetse betina tidak bertelur tapi menghasilkan larva, satu per
satu. Larva berkembang di dalam rahim selama 10 hari dan kemudian
diendapkan dewasa pada tanah lembab atau pasir di tempat teduh, biasanya
dibawah semak semak, batu besar dan akar penopang tanaman. Ia segera
mengubur sendiri dan berubah menjadi sebuah kepompong.Sayap muncul
22 60 hari kemudian, tergantung pada suhu. Lalat betina hanya sekali kawin
dalamhidup mereka dan dengan ketersediaan makanan dan habiat optimum,
bisa menghasilkan larva setiap10 hari.
D. Epidemiologi dan Distribusi Geografis
Lalat yang termasuk genus ini disebut lalat “Tse tse” dari Afrika bagian
Selatan Sahara. Walaupun sampai sekarang hidupnya terbatas pada daerah
tersebut, mereka pernah ditemukan di Oigocen daerah Colorado
Amerika. Fosil tertua dari lalat jenis ini pernah ditemukan di Colorado, dan
setelah dianalisa usianya lebih dari 30 juta tahun yang lalu,
sehingga Tsetse tergolong binatang purba yang masih eksis hingga saat ini.
Namun mengingat Tsetse adalah makhluk yang berbahaya dan dapat
berkembang biak dengan pesat, maka tidak diperlukan adanya upaya untuk
melestarikan binatang ini.
E. Patogenesis
Tsetse adalah carrier (pembawa) bagi parasit Trypanosomiasis,
jadi Tsetse tidak menghasilkan racun dan tidak berbahaya sebelum ia sendiri
tertular Trypanosomiasis. Lalat ini suka menghisap darah. Apabila darah
korbannya telah terinfeksi Trypanosomiasis maka Tsetseakan tertular parasit
tersebut dan dapat menyebarkan ke korban-korban berikutnya yang dihisap
darahnya, karena air liur dari lalat ini ikut masuk kedalam lubang gigitan saat
ia menghisap darah.
Parasit Trypanosomiasis, menyebabkan demam, migrain dan
menimbulkan kantuk yang luar biasa. Korban dapat tertidur (biasanya
disebut Sleeping Sickness), dan bila tidak segera disembuhkan maka
korbannya tidak akan pernah bangun lagi (meninggal). Binatang ataupun
manusia dapat terinfeksi parasit ini dan juga dapat saling menularkan
dengan perantara Tsetse.
Lalat tsetse merupakan vektor bagi penyakit tripanosomiasis. Gejala
dan tanda penyakit yang disebabkan tripanosomiasis ini dapat bervariasi dan
umumnya dibagi atas 3 fase :
1. Fase awal (Initial stage)
Ditandai dengan timbulnya reaksi inflamasi lokal pada daerah gigitan
lalat tsetse. Reaksi inflamasi dapat berkembang menjadi bentuk ulkus
atau parut ( primary chancre). Reaksi inflamasi ini biasanya mereda
dalam waktu 1-2 minggu.
2. Fase penyebaran (Haemoflagellates stage)
Setelah fase awal mereda, parasit masuk ke dalam darah dan
kelenjar getah bening (parasitemia). Gejala klinis yang sering muncul
adalah demam yang tidak teratur, sakit kepala, nyeri pada otot dan
persendian. Tanda klinis yang sering muncul antara lain :
Lymphadenopati, lymphadenitis yang terjadi pada bagian posterior
kelenjar cervical (Winterbotton’s sign), papula dan rash pada kulit.
Pada fase ini juga terjadi proses infiltrasi perivascular oleh sel-sel
endotel, sel limfoid dan sel plasma, hingga dapat menyebabkan terjadinya
pelunakan jaringan iskemik dan perdarahan di bawah kulit (ptechial
haemorhagic). Parasitemia yang berat (toksemia) dapat mengakibatkan
kematian pada penderita.
3. Fase kronik (Meningoencephalitic stage)
Pada fase ini terjadi invasi parasit ke dalam susunan saraf pusat dan
mengakibatkan terjadinya meningoenchepalitis difusa dan
meningomyelitis. Demam dan sakit kepala menjadi lebih nyata. Terjadi
gangguan pola tidur, insomnia pada malam hari dan mengantuk pada
siang hari. Gangguan ekstrapiramidal dan keseimbangan otak kecil
menjadi nyata. Pada kondisi yang lain dijumpai juga perubahan mental
yang sangat nyata. Gangguan gizi umumnya terjadi dan diikuti dengan
infeksi sekunder oleh karena immunosupresi. Jumlah lekosit normal atau
sedikit meningkat. Bila tercapai stadium tidur terakhir, penderita sukar
dibangunkan. Kematian dapat terjadi oleh karena penyakit itu sendiri atau
diperberat oleh penyakit lain seperti malaria, disentri, pneumonia atau juga
kelemahan tubuh.
F. Pencegahan dan Pengendalian
Cara pencegahan yang utama adalah berusaha agar tidak tergigit
oleh Tsetse, menghindari wilayah yang merupakan habitat Tsetse, kemudian
berusaha agar tubuh senantiasa sehat. Trypanosomiasis secara natural dapat
terbasmi oleh kekebalan tubuh yang baik. Akan tetapi korban gigitan baik yang
selamat karena memiliki kekebalan tubuh yang baik atau yang berhasil
diobatipun telah menjadi carrier bagi Trypanosomiasis, sehingga berpotensi
menularkan penyakitnya melalui transfusi atau perantara Tsetse.
Pengobatan tripanosomiasis dapat bervariasi dan biasanya berhasil bila
dimulai pada permulaan penyakit. Bila susunan saraf pusat telah terlibat,
biasanya pengobatan kurang baik hasilnya. Obat-obat yang sering digunakan
antara lain :
1. Eflornithine dengan dosis 400 mg/kg/hari IM atau IV dalam 4 dosis bagi,
selama 14 hari dan dilanjutkan dengan pemberian oral 300 mg/kg/hari
sampai 30 hari.
2. Suramin dengan dosis 1 gr IV pada hari ke 1,3,7,14,21 dimulai dengan
200 mg untuk test secara IV. Dosis diharapkan memcapai 10 gram.
Obat ini tidak menembus blood-brain barrier dan bersifat toksis pada
ginjal.
3. Pentamadine, dengan dosis 4 mg/kg/hari/hari IM selama 10 hari.
4. Melarsoprol, dengan dosis 20 mg/kg IV dengan pemberian pada hari ke
1,2,3,10,11,12,19,20,21 dan dosis perharinya tidak lebih dari 180 mg.
Enchephalopati dapat muncul sebagai efek pemberian obat ini . Hai ini
terjadi oleh karena efek langsung dari arsenical (kandungan dari
melarsoprol) dan juga oleh karena reaksi penghancuran dari
Trypanosma (reactive enchepalopathy). Bila efek tersebut muncul,
pengobatan harus dihentikan. Eflornithine, Suramin dan Pentamine
digunakan pada pasien pada fase awal dan penyebaran. Sementara
Melarsoprol dapat digunakan pada ketiga fase tersebut.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Vektor merupakan arthropoda yang dapat menularkan, memindahkan


atau menjadi sumber penularan penyakit pada manusia. Di Indonesia,
penyakit – penyakit yang ditularkan melalui serangga merupakan penyakit
endemis pada daerah tertentu, seperti Demam Berdarah. Beberapa vector
penyakit protozoa ialah Vektor Malaria, Vektor Tripasonomiasis Afrika,
Vektor Leismaniasis
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2004. Teori Parasitologi. Semarang: Akademi Analisis Kesehatan.


Universitas Muhamadiyah Semarang.

Entjang, Indan, Ilmu Kesehatan Masyarakat, PT. Citra Aditya Bakti,

Jakarta, 2000

Wikipedia.2018. https://id.wikipedia.org/wiki/Artropoda (diakses pada 19


februari 2018)

Вам также может понравиться