Вы находитесь на странице: 1из 12

Etika Lingkungan Hidup

A. Pengertian dan Definisi Etika Lingkungan Hidup


Etika merupakan pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika
lingkungan hidup dipahami sebagai refleksi kritis atas norma-norma atau nilai moral dalam
komunitas manusia untuk diterapkan secara lebih luas dalam komunitas biotis dan komunitas
ekologis.

Etika lingkungan hidup merupakan petunjuk atau arah perilaku praktis manusia dalam
mengusahakan teruwujudnya moral dan upaya untuk mengendalikan alam agar tetap berada pada
batas kelestarian. Etika lingkungan hidup juga berbicara mengenai relasi di antara semua
kehidupan alam semesta, yaitu antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada
alam dan antara manusia dengan makhluk lain atau dengan alam secara keseluruhan.

B. Paradigma Lingkungan Hidup


Yang dimaksud dengan paradigma adalah suatu pandangan dasar yang dianut atau diikuti
pada kurun waktu tertentu, diakui kebenarannya serta berpengaruh terhadap perkembangan ilmu
dan kehidupan. Harvey dan Holly (1981) mengutip batasan pengertian paradigma yang
dikemukakan oleh Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolution (1970) yang mengartikan
paradigma sebagai “keseluruhan kumpulan (konstelasi) kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai,
cara-cara (teknik) mempelajari, menjelaskan, cakupan dan sasaran kajian, dan sebagainya yang
dianut oleh warga suatu komunitas tertentu”.

Kebutuhan manusia selalu berkembang, seiring dengan berkembangnya kebutuhan. Dalam


menjawab kebutuhannya, manusia mulai memanfaatkan alam secara intensif. Bersamaan dengan
itu, ada perubahan dalam melihat hubungan manusia dengan alam. Perubahan hubungan manusia
dengan alam tersebut mulai dari antroposentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme.
Antroposentrisme (antropos=manusia), adalah suatu etika yang memandang manusia
sebagai pusat dari alam semesta. Dalam antroposentrisme, etika nilai dan prinsip moral hanya
berlaku bagi manusia. Kepentingan manusia mempunyai nilai tertinggi dibandingkan makhluk
hidup yang lainnya. Manusia dianggap paling berpengaruh dalam tatanan ekosistem. Segala
sesuatu yang ada di alam semesta dianggap mempunyai nilai sepanjang berfungsi dan berguna
bagi kebutuhan manusia. Alam hanya sebagai objek dan sarana sebagai pemenuh kebutuhan
manusia tanpa memperhatikan keadaan alam, dan akibat yang ditimbulkan karena
pemanfaatannya. Yang menjadi masalah adalah apabila antroposentrisme mengakibatkan manusia
mengeksploitasi alam secara berlebihan di luar batas toleransi ekosistem. Krisis lingkungan hidup
bukan diakibatkan oleh pendekatan antroposentrisme, tetapi oleh antroposentrisme yang
berlebihan.

Biosentrisme memandang bahwa semua makhluk hidup dalam ekosistem mempunyai


nilai dan berharga, sehingga pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral. Semua
kehidupan di alam semesta adalah kesatuan moral. Segala keputusan penggunaannya harus
mempertimbangkan aspek moral. Etika dipahami tidak hanya terbatas pada manusia, namun juga
bagi seluruh makhluk hidup.

Ekosentrisme memandang makhluk hidup (biotik) dan makhluk tak hidup (abiotik)
lainnya saling terkait satu sama lainnya. Etika diperluas untuk mencakup komunitas ekologis
seluruhnya, baik yang hidup maupun tidak. Menurut ekosentrisme, hal yang paling penting adalah
tetap bertahannya semua yang hidup dan yang tidak hidup sebagai komponen ekosistem yang
sehat. Setiap individu dalam ekosistem diyakini terkait satu dengan yang lain secara mutual.
Keseluruhan organisme saling membutuhkan, saling menopang dan saling memerlukan. etika ini
mengusahakan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan keseluruhan dalam
ekosistem.

C. Prinsip-prinsip Etika Lingkungan


Prinsip etika lingkungan hidup dirumuskan dengan tujuan untuk dapat dipakai sebagai
pegangan dan tuntutan bagi perilaku manusia dalam berhadapan dengan alam. Keraf memberikan
minimal ada Sembilan prinsip dalam etika lingkungan hidup, yaitu:
1. Prinsip sikap hormat terhadap alam (respect for nature)

Manusia mempunyai kewajiban menghargai hak semua makhluk hidup untuk berada,
hidup, tumbuh, dan berkembang secara alamiah sesuai dengan tujuan penciptanya. Untuk
itu manusia perlu merawat, menjaga, melindungi, dan melestarikan alam beserta seluruh
isinya serta tidak diperbolehkan merusak alam tanpa alasan yang dapat dibenarkan secara
moral.

2. Prinsip tanggung jawab (moral responsibility for nature)

Sejatinya alam adalah milik kita bersama. Jika alam dihargai sebagai bernilai pada dirinya
sendiri, maka rasa tanggung jawab akan muncul dengan sendirinya pada diri manusia.

3. Prinsip solidaritas kosmis (cosmic solidarity)

Solidaritas kosmis pada hakekatnya adalah sikap solidaritas manusia dengan alam.
Solidaritas kosmis berfungsi untuk mengontrol perilaku manusia dalam batas-batas
keseimbangan kosmis, serta mendorong manusia untuk mengambil kebijakan yang pro
alam dan tidak setuju terhadap tindakan yang merusak alam.

4. Prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam (caring for nature)

Prinsip ini merupakan prinsip moral satu arah yang artinya tanpa mengharap balasan serta
tidak didasarkan pada pertimbangan kepentingan pribadi melainkan untuk kepentingan
alam.

5. Prinsip tidak merugikan (no harm)

Prinsip ini merupakan prinsip tidak merugikan alam secara tidak perlu. Bentuk minimal
berupa tidak perlu melakukan tindakan yang mrugikan atau mengancam eksistensi
makhluk hidup lain di alam semesta.

6. Prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam

Prinsip ini menekankan pada nilai, kualitas, cara hidup, dan bukan kekayaan,
sarana,standard material. Bukan rakus dan tamak mengumpulkan harta dan memiliki
sebanyak-banyaknya,mengeksploitasi alam, tetapi yang lebih penting adalah mutu
kehidupan yang baik. Prinsip moral hidup sederhana harus dapat diterim oleh semua pihak
sebagai prinsip pola hidup yang baru agar kita dapat berhasil menyelamatkan lingkungan
hidup.
7. Prinsip keadilan

Prinsip keadilan sangat berbeda dengan prinsip-prinsip sebelumnya, Prinsip keadilan lebih
ditekankan pada bagaimana manusia harus berperilaku adil terhadap yang lain dalam
keterkaitan dengan alam semesta juga tentang sistem social yang harus diatur agar
berdampak positif bagi kelestarian lingkungan hidup. Prinsip keadilan terutama berbicara
tentang peluang dan akses yang sama bagi semua anggota masyarakat dalam ikut
menentukan kebijakan pengelolaan sumbar daya alam, dan dalam ikut menikmati
pemanfaatannya.

8. Prinsip demokrasi

Demokrasi justru memberi tempat seluas-luasnya bagi perbedaan, keanekaragaman, dan


pluralitas. Oleh karena itu setiap orang yang peduli dengan lingkungan adalah orang yang
demokratis, sebaliknya orang yang demokratis sangat mungkin bahwa dia seorang
pemperhati lingkungan. Pemperhati lingkungan dapat berupa multikulturalisme,
diverivikasi pola tanam, diversivikasi pola makan, dan sebagainya.

9. Prinsip integritas moral

Prinsip ini terutama ditujukan untuk pejabat, misalnya orang yang diberi kepercayaan
untuk melakukan analissi mengenai dampak lingkungan merupakan orang-orang yang
memiliki dedikasi moral yang tinggi karena diharapkan dapat menggunakan akses
kepercayaan yang diberikan dalam melaksanakan tugasnya dan tidak merugikan
ingkungan hidup fisik dan non fisik atau manusia.

D. Perilaku Manusia terhadap Lingkungan Hidup


Perilaku manusia terhadap lingkungan hidup telah dapat dilihat secara nyata sejak manusia
belum berperadaban, awal adanya peradaban, dan sampai sekarang pada saat peradaban itu
menjadi modern dan semakin canggih setelah didukung oleh ilmu dan teknologi. Ironisnya
perilaku manusia terhadap lingkungan hidup tidak semakin arif tetapi sebaliknya.

Kekeringan dan kelaparan berawal dari pertumbuhan penduduk yang tinggi, penggundulan
hutan, erosi tanah yang meluas, dan kurangnya dukungan terhadap bidang pertanian, bencana
longsor, banjir, terjadi berbagai ledakan bom, adalah beberapa contoh kelalaian manusia terhadap
lingkungan.
Sebenarnya kemajuan ilmu dan teknologi diciptakan manusia untuk membantu
memecahkan masalah tetapi sebaliknya malapetaka menjadi semakin banyak dan kompleks, oleh
karena itu dianjurkan untuk dapat berperilaku menjadi ilmuwan dan alamiah melalui amal yang
ilmiah. Sekecil apapun perilaku manusia terhadap lingkungan hidupnya harus segera diperbuat
untuk bumi yang lebih baik, bumi adalah warisan nenek moyang yang harus dijaga dan diwariskan
terhadap anak cucu kita sebagai generasi penerus pembangunan yang berwawasan lingkungan
berkelanjutan.

Lingkungan hidup terbagi menjadi tiga yaitu lingkungan alam fisik (tanah, air, udara) dan
biologis (tumbuhan - hewan), Lingkungan buatan (sarana prasarana), dan lingkungan manusia
(hubungan sesama manusia). Perilaku manusia terhadap lingkungan yang tepat antara lain tidak
merusak tanah, tidak menggunakan air secara berlebih, tidak membuang sampah sembarangan.
Dalam rangka usaha manusia untuk menjaga lingkungan hidup, telah banyak bermunculan
perilaku nyata berupa gerakan-gerakan peduli lingkungan hidup baik bersifat individu, kelompok,
swasta, maupun pemerintah. Tapi yang terpenting dari itu semua adalah bentuk konkrit yang harus
dilakukan oleh semua pihak dalam berinteraksi dengan lingkungan hidup.

E. Etika Keutamaan dan Etika Kewajiban


Dalam mencari dan memahami etika lingkungan hidup perlu diperhatikan dua macam
etika, yaitu etika keutamaan dan etika kewajiban. Manakah dari keduanya yang lebih baik atau
lebih “etis” dijadikan sebagai pola etika lingkungan hidup?

a. Etika Keutamaan

Etika keutamaan tidak berhubungan dengan benar atau salahnya tindakan manusia
menurut prinsip-prinsip moral tertentu, melainkan dengan baik dan buruknya perilaku atau
watak manusia (B. Williams, 1985:1). Etika ini bertujuan mengarahkan manusia kepada
pengenalan akan tujuan hidupnya sendiri. Maksudnya, tujuan hidup akan dicapai melalui
keutamaan berupa keluhuran watak dan kualitas budi pekerti yang dipraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari. Fokus perhatian utama etika keutamaan ini adalah watak dan mutu
pribadi setiap manusia, dan bukan pada apakah orang sudah melaksanakan semua
kewajiban yang ditentukan baginya. Penganjur etika ini adalah Aristoteles. Menurutnya
keutamaan arete-lah yang menjadi keunggulan atau keberhasilan dalam menjalankan
fungsi khas sesuatu.
Berdasarkan etika itu, maka dalam konteks lingkungan hidup, manusia mempunyai
keutamaan, bila ia mampu memelihara, mengelola dan melestarikan lingkungan hidupnya
dengan baik. Sarana pencegahan pencemaran atau pengelolaan limbah dikatakan
mempunyai arete, jika dapat bekerja dengan semestinya dalam mencegah atau
menanggulangi pencemaran (rupanya di sini tidak hanya manusia yang butuh etika,
melainkan juga sarana atau alat?), bahkan juga norma hukum lingkungan dikatakan
mempunyai keutamaan, jika dapat berfungsi dengan baik dalam penegakkannya. Jadi baik
atau buruknya lingkungan hidup kita tergantung pada mutu manusia atau kualitas pribadi
yang unggul. Yang terutama paling ditekankan oleh Aristoteles itu adalah manusia bukan
sekedar alat atau bahkan ajaran moral. Bagaimana ini semua dapat dicapai, menurut
Aristoteles orang harus mewujudkan kemungkinan-kemungkinan manusia yang positif,
termasuk membuat sarana menjadi berfungsi secara baik.

Etika keutamaan tersebut juga menuntut dimensi yang lain. Selain praksis
keutamaan dengan mewujudkan yang paling baik bagi lingkungan hidup, juga dibutuhkan
rasionalitas manusia dan dimensi spritual. Yang dimaksud adalah bahwa orang perlu
menjamin fungsi manusiawi pengelolaan lingkungan hidup menurut kehendak-Nya, sebab
Dialah Pencipta yang memelihara, bukan perusak (Pierre Leroy, 1966: 13-14).

b. Etika Kewajiban

Etika ini disebut etika peraturan atau etika normatif (K. Bertens, 2000: 17), yaitu
etika yang mengacu kepada kewajiban moral yang mengikat manusia secara mutlak. Baik
buruknya perilaku atau benar dan salahnya tindakan secara moral diukur (dinilai) dari
sesuai tidaknya dengan prinsip moral yang wajib dipatuhi tanpa syarat. Fokus perhatian
etika ini diletakkan pada ajaran atau prinsip-prinsip moral tindakan (J. Sudarminta, Basis,
1991:163). Maka, etika ini berhubungan dengan pertanyaan: “apa yang harus atau wajib
dilakukan, yang boleh dan tidak boleh dilakukan”. Karena itu pengetahuan atau pengenalan
akan ajaran-ajaran moral penting untuk etika ini. Sifatnya lalu menjadi praktis, dapat
diharapkan bagi suatu perilaku atau untuk persoalan-persoalan konkret (etika terapan/
applied ethics). Sekedar contoh untuk bidang lingkungan hidup: “jangan mencemari
sungai, laut, dll”; buanglah sampah pada tempatnya; peliharalah lingkungan hidup; tidak
boleh membuang limbah melebihi ketentuan BML,” dan seterusnya.
Menurut Imanuel Kant, tokoh utama etika ini, tindakan seseorang adalah baik
menurut ajaran moral, bukan karena tindakan itu dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu,
melainkan demi memenuhi kewajiban semata-mata tanpa maksud yang lain. Namun yang
sulit adalah usaha untuk mengetahui motivasi apa yang mendorong orang melakukan
kewajibannya itu. Boleh jadi, orang melakukannya supaya mendapat hadiah atau sekedar
takut akan hukuman, bukan karena ia punya keunggulan perilaku untuk itu, oleh Kohlberg
disebut prakonvensional (Bertens: 2000: 81).

F. Unsur Etika atau Moral Lingkungan


Beberapa unsur etika atau moral lingkungan yang perlu dipertimbangkan (H. Rhiti: 1996:11-
18) adalah sebagai berikut:

a. Pertama, etika lingkungan hidup sebaiknya etika keutamaan atau kewajiban? Etika
keutamaan itu perlu karena yang kita butuhkan adalah manusia-manusia yang punya
keunggulan perilaku. Sementara itu etika kewajiban, dalam arti pelaksanaan kewajiban
moral, tidak bisa diabaikan begitu saja. Idealnya ialah, bahwa pelaksanaan keutamaan
manusia Indonesia, bukan hanya demi kewajiban semata-mata, apalagi sesuai kewajiban.
Rumusan-rumusan moral itu di satu pihak memang penting, namun di lain pihak yang
lebih penting lagi ialah bahwa orang mengikutinya karena keunggulan perilaku.

b. Kedua, bila etika lingkungan hidup adalah etika normatif plus etika terapan, maka ada
faktor lain yang mesti ikut dipertimbangkan, yaitu sikap awal orang terhadap lingkungan
hidup, informasi, termasuk kerja sama multidisipliner dan norma-norma moral lingkungan
hidup yang sudah diterima masyarakat (ingat akan berbagai) kearifan lingkungan hidup
dalam masyarakat kita, yang dapat dikatakan sebagai “moral lingkungan hidup” (Bertens,
2000:295-300). Dari sini pula muncul pertanyaan apakah perlu disusun semacam kode etik
pengelolaan lingkungan hidup?
c. Ketiga, etika lingkungan hidup tidak bertujuan menciptakan apa yang disebut sebagai eco-
fascism (fasis lingkungan, pinjam istilah Ton Dietz, 1996). Artinya, dengan dan atas nama
etika seolah-olah lingkungan hidup adalah demi lingkungan hidup itu sendiri. Dengan
risiko apapun lingkungan hidup perlu dilindungi. Dari segi etika yang bertujuan
melindungi lingkungan dari semua malapetaka bikinan manusia, hal itu tentu saja baik.
Namun buruk secara etis, bila akibatnya membuat manusia tidak dapat menggunakan
lingkungan hidup itu lagi karena serba dilarang. Etika lingkungan tidak hanya mengijinkan
suatu perbuatan yang secara moral baik, melainkan juga melarang setiap akibat buruknya
terhadap manusia.

d. Keempat, ciri-ciri etika lingkungan hidup yang perlu diperhatikan adalah sikap dasar
menguasai secara berpartisipasi, menggunakan sambil memlihara, belajar menghormati
lingkungan hidup dan kehidupan, kebebasan dan tanggung jawab berdasarkan hati nurani
yang bersih, baik untuk generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang. Yang
juga penting adalah soal oreintasi dalam pembangunan, yakni tidak hanya bersifat
homosentri, yang sering tidak memperhitungkan ecological externalities, melainkan juga
ekosentris. Pembangunan tidak hanya mementingkan manusia, melainkan kesatuan antara
manusia dengan keseluruhan ekosistem atau kosmos.

Nilai-nilai etika lingkungan sangat mudah dipahami oleh segenap lapisan masyarakat,
melalui penerapan konsep lingkungan hidup melalui pendidikan formal yang terintegrasi dengan
mata pelajaran lain misalnya PPKn, Pendidikan Agama, Pendidikan Biologi, Pendidikan Geografi
serta mata pelajaran lainnya yang relevan. Kementerian Pendidikan Nasional melalui Biro
Perencanaan ke Luar Negeri merupakan institusi pemerintah yang sangat apresiasi dalam menjaga
kualitas lingkungan hidup, melalui peningkatan sumber daya manusia. Hal ini dilakukan agar
tercipta intelektual-intelektual muda yang lebih bermartabat, bersaing dan berdaya guna dalam
menyongsong era globalisasi transformasi, menuju Indonesia yang lebih baik, adil dan makmur.

G. Undang-Undang Tentang Etika Lingkungan Hidup


Undang-undang tentang lingkungan hidup terdapat pada “UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.”
Pada bab X dibahas tentang hak, kewajiban, dan larangan tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Bagian pertama membahas tentang hak, kemudian bagian kedua
membahas tentang kewajiban yaitu:

Pasal 67

Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Pasal 68

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:

a. Memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan


hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;

b. Menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan

c. Menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup.

Bagian ketiga menjelaskan tentang larangan yaitu:

Pasal 69

Setiap orang dilarang:

a. Melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan


hidup.

b. Memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah


Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. Memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia;

d. Memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

e. Membuang limbah ke media lingkungan hidup;

f. Membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup;

g. Melepaskan produk rekayasa genetic ke media lingkungan hidup yang bertentangan


dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan;

h. Melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;


i. Menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau

j. Memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi,


atau memberikan keterangan yang tidak benar.

Pada bab XII dibahas tentang pengawasan dan sanksi administratif. Pada bagian pertama
dibahas tentang pengawasannya. Kemudian pada bagian kedua dibahas tentang sanksi
administratif yaitu:

Pasal 76

(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada


penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran
terhadap izin lingkungan.

(2) Sanksi administratif terdiri atas:

a. Teguran tertulis;

b. Paksaan pemerintah;

c. Pembekuan izin lingkungan; atau

d. Pencabutan izin lingkungan.

Pasal 77

Menteri dapat menerapkan sanksi administrative terhadap penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi
administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.

Pasal 78

Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 tidak membebaskan penanggung


jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana.

Pasal 79

Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan apabila penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan pemerintah.
Pasal 80

(1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b berupa:

a. Penghentian sementara kegiatan produksi;

b. Pemindahan sarana produksi;

c. Penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;

d. Pembongkaran;

e. Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran;

f. Penghentian sementara seluruh kegiatan; atau

g. Tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan


memulihkan fungsi lingkungan hidup.

(2) Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila
pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:

a. Ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup;

b. Dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran
dan/atau perusakannya; dan/atau

c. Kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya.

Pasal 81

Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah
dapat dikenai denda atas setiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah.

Pasal 82

(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang untuk memaksa penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya.

(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang atau dapat menunjuk pihak ketiga
untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang dilakukannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan.
Pasal 83

Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Daftar pustaka

https://www.google.co.id/

Вам также может понравиться