Вы находитесь на странице: 1из 28

BAGIAN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA APRIL 2016

LAPORAN KASUS UJIAN


FIMOSIS

OLEH :
Andi Anugerah Suci (110 209 0142)

PEMBIMBING :
Dr. dr. Azwar Amir, Sp.U

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2016

1
BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. A
Tanggal lahir : 08-11-2005
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Sugitanga Kab. Gowa
Agama : Islam
No. RM : 751260
Tanggal masuk : 26/3/2016

II. ANAMNESIS : Alloanamnesis


Keluhan Utama : Nyeri pada saat buang air kecil
Anamnesis Terpimpin :
 Pasien datang dengan keluhan nyeri pada saat buang air kecil sejak kurang
lebih 2 tahun yang lalu. Menurut keluarga, pasien mengeluh susah untuk
memulai buang air kecil dan pancaran berkemih melemah, serta mengeluh
terdapat gelembung setiap buang air kecil di ujung penisnya. Selama ini
pasien berobat di Puskesmas apabila merasa nyeri ketika buang air kecil.
Riwayat trauma tidak ada.
 Ada demam.
 BAB kesan biasa.

Riwayat Penyakit Sebelumnya:


- Riwayat buang air kecil berdarah ada
- Riwayat buang air kecil yang disertai batu atau berpasir ada
- Riwayat buang air kecil keruh ada

2
Riwayat Keluarga:
- Riwayat keluarga yang menderita penyakit dengan keluhan yang sama
tidak ada
-
III. STATUS PRESENT
Sakit Sedang / Gizi cukup / compos mentis
Tanda vital :
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi : 88 x/menit reguler
Pernapasan : 26 x/menit
Suhu : 36,6 oC (axilla)

IV. PEMERIKSAAN FISIS


Status Generalisata
 Kepala
Ekspresi : Biasa

Simetris muka : simetris kiri = kanan

Deformitas : tidak ada

Rambut : Hitam lurus, alopesia tidak ada

 Mata
Eksoptalmus/Enoptalmus : tidak ada
Gerakan : ke segala arah

Tekanan bola mata : dalam batas normal

Kelopak Mata : edema palpebra tidak ada

Konjungtiva : anemis tidak ada

Sklera : ikterus tidak ada

3
Kornea : jernih

Pupil : bulat, isokor 2,5mm/2,5mm

Reflex cahaya kiri dan kanan ada

 Telinga
Pendengaran : dalam batas normal
Tophi : tidak ada
Nyeri tekan di prosesus mastoideus : tidak ada
 Hidung
Perdarahan : tidak ada
Sekret : tidak ada
 Mulut
Bibir : pucat tidak ada, kering tidak ada
Lidah : kotor tidak ada, tremor tidak ada,
hiperemis tidak ada
Tonsil : T1 – T1, hiperemis tidak ada
Faring : hiperemis tidak ada
Gigi geligi : caries tidak ada
Gusi : perdarahan gusi tidak ada
 Leher
Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran
Kelenjar gondok : tidak ada pembesaran
DVS : R+0 cm H2O 30º dengan bidang
datar.
Kaku kuduk : tidak ada
Tumor : tidak ada
 Dada
Inspeksi :
Bentuk : normochest, simetris kiri = kanan
Pembuluh darah : tidak ada kelainan

4
Buah dada : simetris kiri = kanan
Sela iga : dalam batas normal
 Paru
Palpasi :
Nyeri tekan : kiri dan kanan tidak ada

Massa tumor : kiri dan kanan tidak ada

Fremitus raba : vocal fremitus menurun pada kedua

basal paru

Perkusi :
Paru kiri : sonor (beralih pekak pada basal)
Paru kanan : sonor (beralih pekak pada basal)
Batas paru-hepar : ICS V-VI

Batas bawah paru belakang kanan : setinggi CV Th X


Batas bawah paru belakang kiri : setinggi CV Th XI
Auskultasi :
Bunyi pernapasan : Vesikuler, bunyi pernapasan
menurun di regio basal

Bunyi tambahan : Rh Wh
- - - -
- -
- - - -
 Jantung - -
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : dalam batas normal

batas atas jantung : ICS II sinistra


batas kanan jantung : ICS III-IV linea parasternalis dextra
batas kiri jantung : ICS V linea midclavicularis sinistra

5
Auskultasi : bunyi jantung I/II murni regular,
bunyi tambahan tidak ada
 Perut
Inspeksi : cembung, ikut gerak napas

Auskultasi : Peristaltik ada, kesan normal

Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, massa tekan


tidak ada

 Hepar : tidak teraba


 Lien : tidak teraba
 Ginjal : tidak teraba
Perkusi : timpani

Alat kelamin : Skrotum edema tidak ada

 Ekstremitas
Edema kanan dan kiri tidak ada

Status Lokalis
Regio Costovertebralis sinistra :
- Inspeksi : warna kulit sama dengan sekitarnya, tidak hematom, tidak
ada massa tumor.
- Palpasi : ballotement ginjal teraba, tidak teraba massa tumor, tidak
ada nyeri tekan.
- Perkusi : tidak ada nyeri ketok
Regio Costovertebralis Dextra :
- Inspeksi : warna kulit sama dengan sekitarnya, tidak hematom,
tidak ada massa tumor.
- Palpasi : ballotement ginjal tidak teraba, tidak teraba massa tumor,
tidak ada nyeri tekan.
- Perkusi : tidak ada nyeri ketok

6
Regio suprapubis
- Inspeksi : Terdapat rambut pubis, tidak ada benjolan
- Palpasi : nyeri tekan tidak ada, teraba buli-buli berisi
- Perkusi : timpani

Regio Genitalia eksterna


a. Penis :
- Inspeksi : Tampak fimosis, tidak ada hiperemis pada frenulum.
Palpasi : Tidak ada massa tumor
b. Scrotum
- Inspeksi : Tampak warna kulit lebih gelap dari sekitarnya, tidak ada
hematom, tidak tampak massa tumor
- Palpasi : Teraba 2 buah testis dalam kantong scrotum ukuran dan
konsistensinya kesan normal massa tumor tidak teraba.
c. Perineum :
- Inspeksi : Tampak warna kulit lebih gelap dari sekitarnya, tidak ada
hematom, tidak tampak massa tumor
- Palpasi : massa tumor tidak teraba, tidak ada nyeri tekan

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Laboratorium

Jenis Pemerikaan Hasil (18/4/2016) Nilai Rujukan


WBC 14.3 4 - 10 x 103/uL
RBC 4,11 4–6 x 106/uL
HGB 11,3 12 - 18 g/dL
PLT 555 150-400x103/uL
Ureum 22 10-50 mg/dL
Creatinin 0,57 L(<1.3), P(<1.1)

7
SGOT 24 38 U/L
SGPT 32 41 U/L
GDS 94 70-110 mg/dL
Kalium 3,8 3.5-4.5 mmol
Natrium 143 136-145 mmol
Klorida 103 97-111 mmol

Kesan : Anemia
Trombositosis
Leukositosis

 Pemeriksaan Penunjang Lainnya :

 Urinalisis tanggal 18-4-2016

Jenis Pemerikaan Hasil Nilai Rujukan


Warna Kuning keruh Kuning muda
Nitrit Positif Negatif
Sedimen Epitel : 2 negatif
Sedimen Eritrosit : 20 <5
Sedimen Lekosit : penuh <5
BLD Neg RBC/ul
Lekosit +++/500 Negatif
Ph/Reaksi 6,5 4,5 – 8,0
BJ 1,010 1.005 – 1.035
Protein ++/100 Negatif
Reduksi Neg Negative
Urobilin Normal Normal
Keton Neg Negatif
Bilirubin Neg Negatif

8
 Kesan : Leukosituria
 CT Scan abdomen (26/3/2016)

 Kesan : Hidronefrosis bilateral


 Foto Thorax (28/3/2016)

 Kesan : Normal

9
VI. ASSESMENT :
 Fimosis + hidronefrosis bilateral

VII. PLANNING
Rencana sirkumsisi

VIII. PROGNOSIS
 Quad ad functionam : Dubia et bonam
 Quad ad sanationam : Dubia et bonam
 Quad ad vitam : Dubia et bonam

Resume

 Pasien anak laki-laki umur 10 tahun datang dengan keluhan nyeri pada
saat buang air kecil sejak kurang lebih 2 tahun yang lalu. Menurut
keluarga, pasien mengeluh susah untuk memulai buang air kecil dan
pancaran berkemih melemah, serta mengeluh terdapat gelembung setiap
buang air kecil di ujung penisnya. Selama ini pasien berobat di Puskesmas
apabila merasa nyeri ketika buang air kecil. Riwayat trauma tidak ada.
Ada demam. Riwayat hematuria, buang air kecil berbatu atau berpasir,
buang air kecil keruh ada.
 Pada pemeriksaan fisis, didapatkan ballotement ginjal pada regio
costovertebralis sinistra dan dextra. Pada regio genitalia eksterna,
didapatkan tampak fimosis, tidak ada hiperemis pada frenulum, dan
preputium tidak dapat ditarik ke proksimal

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan

Fimosis adalah suatu kelainan dimana preputium penis yang tidak dapat
di retraksi (ditarik) ke proksimal sampai ke korona glandis. Preputium penis
merupakan lipatan kulit yang menutupi glans penis. Normalnya, kulit preputium
selalu melekat erat pada glans penis dan tidak dapat ditarik ke belakang pada saat
lahir, namun seiring bertambahnya usia dan pertumbuhan terjadi proses
keratinisasi lapisan epitel dan deskuamasi antara glans penis dan lapis bagian
dalam preputium sehingga akhirnya kulit preputium terpisah dari glans penis. 1,2
Di Jepang, fimosis ditemukan pada 88% bayi yang berusia 1 hingga 3
bulan dan 35% pada balita berusia 3 tahun. Insidens fimosis adalah sebesar 8%
pada usia 6 sampai 7 tahun dan 1% pada laki-laki usia 16 sampai 18 tahun.
Beberapa penelitian mengatakan kejadian Phimosis saat lahir hanya 4% bayi yang
preputiumnya sudah bisa ditarik mundur sepenuhnya sehingga kepala penis
terlihat utuh. Selanjutnya secara perlahan terjadi desquamasi sehingga perlekatan
itu berkurang. Sampai umur 1 tahun, masih 50% yang belum bisa ditarik penuh.
Berturut-turut 30% pada usia 2 tahun, 10% pada usia 4-5 tahun, 5% pada umur 10
tahun, dan masih ada 1% yang bertahan hingga umur 16-17 tahun. Dari kelompok
terakhir ini ada sebagian kecil yang bertahan secara persisten sampai dewasa bila
tidak ditangani.1,2

11
2.1 Anatomi Dan Fisiologi Penis

Gambar 1. Anatomi penis

Penis terdiri dari corpus penis, glans penis, sulcus coronal glans penis, dan
preputium. Preputium penis merupakan lipatan kulit seperti kerudung yang
menutupi glans penis. Normalnya, kulit preputium selalu melekat erat pada glans
penis dan tidak dapat ditarik ke belakang pada saat lahir, namun seiring
bertambahnya usia serta diproduksinya hormon dan faktor pertumbuhan, terjadi
proses keratinisasi lapisan epitel dan deskuamasi antara glans penis dan lapis
bagian dalam preputium sehingga akhirnya kulit preputium terpisah dari glans
penis.3,4
Bila dilihat dari penampang horizontal, penis terdiri dari 3 rongga yakni 2
batang korpus kavernosa di kiri dan kanan atas, sedangkan di tengah bawah
disebut korpus spongiosa. Kedua korpus kara kavernosa ini diliputi oleh jaringan
ikat yang disebut tunica albuginea, satu lapisan jaringan kolagen yang padat dan
di luarnya ada jaringan yang kurang padat yang disebut fascia buck.3
Korpus kavernosa terdiri dari gelembung-gelembung yang disebut
sinusoid. Dinding dalam atau endothel sangat berperan untuk bereaksi kimiawi

12
untuk menghasilkan ereksi. Ini diperdarahi oleh arteriol yang disebut arteria
helicina. Seluruh sinusoid diliputi otot polos yang disebut trabekel. Selanjutnya
sinusoid berhubungan dengan venula (sistem pembuluh balik) yang
mengumpulkan darah menjadi suatu pleksus vena lalu akhirnya mengalirkan
darah kembali melalui vena dorsalis profunda dan kembali ke tubuh.4,5
Penis dipersyarafi oleh 2 jenis syaraf yakni syaraf otonom (para simpatis
dan simpatis) dan syaraf somatik (motoris dan sensoris). Syaraf-syaraf simpatis
dan parasimpatis berasal dari hipotalamus menuju ke penis melalui medulla
spinalis (sumsum tulang belakang). Khusus syaraf otonom parasimpatis ke luar
dari medulla spinalis (sumsum tulang belakang) pada kolumna vertebralis di S2-4.
Sebaliknya syaraf simpatis ke luar dari kolumna vertebralis melalui segmen Th 11
sampai L2 dan akhirnya parasimpatis dan simpatis menyatu menjadi nervus
kavernosa. Syaraf ini memasuki penis pada pangkalnya dan mempersyarafi otot-
otot polos Syaraf somatis terutama yang bersifat sensoris yakni yang membawa
impuls (rangsang) dari penis misalnya bila mendapatkan stimulasi yaitu rabaan
pada badan penis dan kepala penis (glans), membentuk nervus dorsalis penis yang
menyatu dengan syaraf-syaraf lain yang membentuk nervus pudendus. Syaraf ini
juga berlanjut ke kolumna vertebralis (sumsum tulang belakang) melalui kolumna
vertebralis S2-4. Stimulasi dari penis atau dari otak secara sendiri atau bersama
sama melalui syaraf-syaraf di atas akan menghasilkan ereksi penis.1-5
Vaskularisasi untuk penis berasal dari arteri pudenda interna lalu menjadi
arteria penis communis yang bercabang 3 yakni 2 cabang ke masing-masing yakni
ke korpus kavernosa kiri dan kanan yang kemudian menjadi arteria kavernosa atau
arteria penis profundus yang ketiga ialah arteria bulbourethralis untuk korpus
spongiosum. Arteria memasuki korpus kavernosa lalu bercabang-cabang menjadi
arteriol-arteriol helicina yang bentuknya berkelok-kelok pada saat penis lembek
atau tidak ereksi. Pada keadaan ereksi, arteriol-arteriol helicina mengalami
relaksasi atau pelebaran pembuluh darah sehingga aliran darah bertambah besar
dan cepat kemudian berkumpul di dalam rongga-rongga lakunar atau sinusoid.
Rongga sinusoid membesar sehingga terjadilah ereksi. Sebaliknya darah yang
mengalir dari sinusoid ke luar melalui satu pleksus yang terletak di bawah tunica

13
albugenia. Bila sinusoid dan trabekel tadi mengembang karena berkumpulnya
darah di seluruh korpus kavernosa, maka vena-vena di sekitarnya menjadi tertekan.
Vena-vena di bawah tunica albuginea ini bergabung membentuk vena dorsalis
profunda lalu ke luar dari Corpora Cavernosa pada rongga penis ke sistem vena
yang besar.6

2.2 Definisi Fimosis


Fimosis adalah suatu kelainan dimana preputium penis yang tidak dapat
di retraksi (ditarik) ke proksimal sampai ke korona glandis. Pada fimosis,
preputium melekat pada bagian glans dan mengakibatkan tersumbatnya lubang
saluran kencing, sehingga bayi dan anak menjadi kesulitan dan rasa kesakitan
pada saat buang air kecil. 1,2

2.3 Klasifikasi Fimosis2-4


a. Fimosis kongenital (fimosis fisiologis, fimosis palsu, pseudo phimosis)
timbul sejak lahir. Fimosis ini bukan disebabkan oleh kelainan anatomi
melainkan karena adanya faktor perlengketan antara kulit pada penis
bagian depan dengan glans penis sehingga muara pada ujung kulit
kemaluan seakan-akan terlihat sempit. Sebenarnya merupakan kondisi
normal pada anak-anak, bahkan sampai masa remaja. Kulit preputium
selalu melekat erat pada glans penis dan tidak dapat ditarik ke belakang
pada saat lahir, namun seiring bertambahnya usia serta diproduksinya
hormon dan faktor pertumbuhan, terjadi proses keratinisasi lapisan epitel
dan deskuamasi antara glans penis dan lapis bagian dalam preputium
sehingga akhirnya kulit preputium terpisah dari glans penis.

14
b. Fimosis didapat (fimosis patologik, fimosis yang sebenarnya, true
phimosis) timbul kemudian setelah lahir. Fimosis Patologis didefinisikan
sebagai ketidakmampuan untuk menarik preputim setelah sebelumnya
yang dapat ditarik kembali. Fimosis ini disebabkan oleh sempitnya muara
di ujung kulit kemaluan secara anatomis. Hal ini berkaitan dengan
kebersihan (higiene) yang buruk, peradangan kronik glans penis dan kulit
preputium (balanoposthitis kronik), atau penarikan berlebihan kulit
preputium (forceful retraction) pada fimosis kongenital yang akan
menyebabkan pembentukkan jaringan ikat (fibrosis) dekat bagian kulit
preputium yang membuka.4
Rickwood mendefinisikan fimosis patologis adalah kulit distal penis
(preputium) yang kaku dan tidak bisa ditarik, yang disebabkan oleh
Balanitis Xerotica Obliterans (BXO).5

15
Fimosis Fisiologis Fimosis Patologis

2.4 Patofisiologi
Fimosis yang fisiologis merupakan hasil dari adhesi lapisan-lapisan epitel
antara preputium bagian dalam dengan glans penis. Adhesi ini secara spontan
akan hilang pada saat ereksi dan retraksi preputium secara intermiten, jadi seiring
dengan bertambahnya usia (masa puber) phimosis fisiologis akan hilang.
Higienitas yang buruk pada daerah sekitar penis dan adanya balanitis atau
balanophostitis berulang yang mengarah terbentuknya scar pada orificium
preputium, dapat mengakibatkan fimosis patologis. Retraksi preputium secara

16
paksa juga dapat mengakibatkan luka kecil pada orificio preputium yang dapat
mengarah ke scar dan berlanjut phimosis. Pada orang dewasa yang belum
berkhitan memiliki resiko fimosis secara sekunder karena kehilangan elastisitas
kulit.6

Pada kasus fimosis lubang yang terdapat di prepusium sempit sehingga


tidak bisa ditarik mundur dan glans penis sama sekali tidak bisa dilihat. Kadang
hanya tersisa lubang yang sangat kecil di ujung prepusium. Pada kondisi ini, akan
terjadi fenomena “balloning” dimana preputium mengembang saat berkemih
karena desakan pancaran urine yang tidak diimbangi besarnya lubang di ujung
prepusium. Bila fimosis menghambat kelancaran berkemih, seperti pada balloning
maka sisa-sisa urin mudah terjebak di dalam preputium. Hal ini bisa menyebabkan
terjadinya infeksi.6,7
Fimosis juga terjadi jika tingkat higienitas rendah pada waktu BAK yang
akan mengakibatkan terjadinya penumpukan kotoran-kotoran pada
glans penis sehingga memungkinkan terjadinya infeksi pada daerah glans penis
dan prepusium (balanitis) yang meninggalkan jaringan parut sehingga prepusium
tidak dapat ditarik kebelakang.7
Pada lapisan dalam prepusium terdapat kelenjar sebacea yang
memproduksi smegma. Cairan ini berguna untuk melumasi permukaan prepusium.
Letak kelenjar ini di dekat pertemuan prepusium dan glans penis yang membentuk
semacam “lembah” di bawah korona glans penis (bagian kepala penis yang
berdiameter paling lebar). Di tempat ini terkumpul keringat, debris/kotoran, sel
mati dan bakteri. Bila tidak terjadi fimosis, kotoran ini mudah
dibersihkan. Namun pada kondisi fimosis, pembersihan tersebut sulit dilakukan
karena prepusium tidak bisa ditarik penuh ke belakang. Bila yang terjadi adalah
perlekatan prepusium dengan glans penis, debris dan sel
mati yang terkumpul tersebut tidak bisa dibersihkan.4
Ada pula kondisi lain akibat infeksi yaitu balanopostitis. Pada infeksi ini
terjadi peradangan pada permukaan preputium dan glans penis. Terjadi
pembengkakan kemerahan dan produksi pus di antara glans penis dan prepusium.
5,6

17
2.5 Manisfestasi Klinis1,2
1. Penis membesar dan menggelembung akibat tumpukan urin (“balloning” )
2. Kadang-kadang keluhan dapat berupa ujung kemaluan menggembung saat
mulai buang air kecil yang kemudian menghilang setelah berkemih. Hal
tersebut disebabkan oleh karena urin yang keluar terlebih dahulu tertahan
dalam ruangan yang dibatasi oleh kulit pada ujung penis sebelum keluar
melalui muaranya yang sempit.
3. Biasanya bayi menangis dan mengejan saat buang air kecil karena timbul
rasa sakit.
4. Kulit penis tak bisa ditarik kearah pangkal ketika akan dibersihkan

5. Air seni keluar tidak lancar. Kadang-kadang menetes dan kadang-kadang


memancar dengan arah yang tidakdapat diduga
6. Bisa juga disertai demam
7. Iritasi pada penis.

2.6 Diagnosis2,7
Untuk menegakkan diagnosis didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Pada anamnesis didapatkan keluhan berupa ujung kemaluan menggembung
saat mulai buang air kecil yang kemudian menghilang setelah berkemih dan
Biasanya bayi menangis dan mengejan saat buang air kecil karena timbul rasa
sakit.

18
Pada pemeriksaan fisik kasus fimosis, dapat ditemukan kulit yang tidak
dapat diretraksi melewati gland penis. Pada fimosis fisiologis, bagian preputial
orifice tidak ada luka dan terlihat sehat, sedangkan pada fimosis patologis terdapat
jaringan fibrus berwana putih yang melingkar.5,6

2.7 Penatalaksanaan 1,4,6


Sebagai pilihan terapi konservatif dapat diberikan salep kortikoid (0,05-
0,1%) dua kali sehari selama 20-30 hari. Terapi ini tidak dianjurkan untuk bayi
dan anak-anak yang masih memakai popok, tetapi dapat dipertimbangkan untuk
usia sekitar tiga tahun.

Tidak dianjurkan melakukan dilatasi atau retraksi yang dipaksakan pada


penderita fimosis, karena akan menimbulkan luka dan terbentuk sikatriks pada
ujung prepusium sebagai fimosis sekunder. Indikasi medis utama dilakukannya
tindakan sirkumsisi pada anak-anak adalah fimosis patologik. Pada kasus dengan
komplikasi, seperti infeksi saluran kemih berulang atau balloning kulit prepusium
saat miksi, sirkumsisi harus segera dilakukan tanpa memperhitungkan usia pasien.

Sirkumsisi adalah membuang preputium penis sehingga glans penis


menjadi terbuka. Sirkumsisi ini bertujuan sebagai pelaksanaan ibadah
agama/ritual atau bertujuan medis, yaitu untuk menjaga higiene penis dari
smegma dan sisa-sisa urin, mencegah terjadinya infeksi pada glans atau preputium
penis, dan mencegah terjadinya karsinoma penis. Indikasi medis tindakan
sirkumsisi adalah : fimosis atau parafimosis, balanitis rekuren, kondiloma
akuminata, karsinoma skuamosa pada preputium.
Prinsip dasar melakukan sirkumsisi yang harus diingat adalah : 1.
Asepsis, 2. Pengangkatan kulit preputium secara adekuat, 3. Hemostasis yang
baik, 4. Kosmetik.
Persiapan :
Alat-alat yang diperlukan pada sirkumsisi adalah :
1. Kain kasa steril
2. Cairan disinfektan (povidon iodin)

19
3. Duk steril untuk mempersempit daerah operasi
4. Spoit steril beserta jarumnya serta obat anestesi lokal (prokain/lidokain
0,5-1 %)
5. Satu set peralatan pembedahan minor

Teknik

1. Disinfeksi lapangan operasi dengan povidon iodin secara sentrifugal (dari


sentral ke perifer, membentuk lingkaran ke arah luar), dengan batas atas
tepi pusar dan batas bawah meliputi seluruh skrotum

2. Daerah operasi ditutup dengan duk steril yang tengahnya berulang


3. Anestesi lokal dengan lidokain 2%
a. Anestesi blok pada cabang saraf dorsalis penis
b. Penis dipegang dengan tangan kiri operator. Jarum diarahkan ke
proksimal batang penis (0,5-1cm dari pangkal penis). Jarum
ditusukkan ke kulit dan masukkan 0,25 mL larutan anestesi di
bawah kulit. Jarum diteruskan hingga menembus fasia Buck
(seperti menembus kertas), kemudian diarahkan ke lateral garis

20
tengah, dan masukkan 0,5-1 mL larutan anestesi. Prosedur yang
sama dilakukan sisi kontralateral.

c. Perhatian, penyuntikkan larutan anestesi harus didahului dengan


tindakan aspirasi untuk mengetahui apakah ujung jarum berada
dalam pembuluh darah atau tidak. Apabila terdapat darah yang
teraspirasi, posisi jarum dipindahkan, kemudian dilakukan aspirasi
kembali. Bila tidak ada darah yang teraspirasi, penyuntikan larutan
anestesi boleh dilakukan.
d. Anestesi infiltrasi di lapisan subkutis ventral penis 0,5-0,75 mL
untuk kedua sisi.
4. Mengevaluasi apakah anestesi lokal sudah efektif. Dilakukan dengan
menjepit ujung kulit preputium dengan klem dan memperhatikan mimik
pasien.

21
5. Pembersihan glans penis
Glans penis dibuka hingga sulkus koronarius terpapar. Bila ada
perlengketan preputium ke glans, bebaskan dengan klem arteri atau dengan
kassa steril. Bersihkan smegma yang terdapat di sekitar sulkus koronarius
glans penis dengan menggunakan kassa yang mengandung larutan
sublimat. Alat-alat yang digunakan untuk membersihkan glans penis tidak
boleh digunakan untuk prosedur selanjutnya karena sudah tidak steril.

6. Pengguntingan dan penjahitan :


a. Lakukan pemasangan 2 buah klem lurus pada preputium bagian
dorsal, masing-masing pada posisi jam 1 dan 11 dengan ujung
klem mencapai jarak 0,5 cm dari sulkus koronarius glans penis.
b. Lakukan pemasangan klem ketiga pada frenulum penis (posisi jam
6)
c. Tujuan pemasangan ketiga klem ini adalah sebagai pemandu
tindakan dorsumsisi dan sarana hemostasis
d. Lakukan prosedur dorsumsisi dengan menggunakan pisau atau
gunting jaringan pada posisi jam 12, menyusur dari distal ke
proksimal hingga mencapai 0,5 cm dari sulkus koronarius glans
penis.
e. Pada batas ujung dorsumsisi (titik 0,5cm dari sulkus koronarius
glans penis), dilakukan jahitan yang bertujuan sebagai kendali

22
(jahitan teugel/jahitan kendali) agar pemotongan kulit selanjutnya
lebih mudah dan simetris.

f. Gunting secara melingkar, dimulai dengan jahitan kendali pada


arah jam 12, ke arah frenulum (jam 6) pada satu sisi, mencakup
kulit bagian luar dan dalam preputium. Sisakan 0,5 cm mukosa
atau 0,5 cm dari sulkus koronarius. Prosedur yang sama dilakukan
pada sisi konralateral. Bila setelah pengguntingan masih terdapat
mukosa berlebih, dapat dilakukan pemotongan kembali agar
bentuk menjadi lebih baik.
g. Lakukan penjahitan aproksimasi kulit dengan mukosa pada posisi
jam 3 dan 9, masing-masing 2-3 simpul. Prinsipnya adalah
mempertemukan pinggir kulit dan pinggir mukosa.
h. Lakukan penjahitan mukosa distal frenulum (posisi jam 6) dengan
jahitan angka 8 atau 0.

23
i. Setelah selesai penjahitan, mukosa frenulum di sebelah distal
digunting dari jahitan sebelumnya, dibersihkan dengan povidon
iodin 10 % dan diberikan salep antibiotik.

24
7. Pembalutan, dengan menggunakan kassa yang sudah diolesi salep
antibiotik. Hati-hati, jangan sampai penis terpuntir saat pembalutan. Dapat
pula dilakukan perawatan luka terbuka tanpa balutan.

8. Pemberian obat-obatan (analgesik dan antibiotik oral)

Anjuran pasca prosedur

 Perhatikan adanya infeksi, pus, hematom, atau luka yang belum menutup.
 Jika dibalut, balutan dibuka 4-5 hari kemudian setelah membasahi verban
dengan rivanol.
 Balutan jangan terkontaminasi urin. Bila terkontaminasi, lakukan
penggantian balutan.

25
2.8 Komplikasi5

 Ketidaknyamanan/nyeri saat berkemih


 Akumulasi sekret dan smegma di bawah preputium yang kemudian terkena
infeksi sekunder dan akhirnya terbentuk jaringan parut.
 Pada kasus yang berat dapat menimbulkan retensi urin.
 Pembengkakan/radang pada ujung kemaluan yang disebut ballonitis.
 Infeksi saluran kemih
Bila fimosis menghambat kelancaran berkemih seperti pada ballooning maka
sisa-sisa urin mudah terjebak pada bagian dalam preputium dan kandungan
glukosa pada urin menjadi tempat yang baik untuk pertumbuhan bakteri,
maka berakibat terjadi infeksi saluran kemih.
 Hidronefrosis
Pada fimosis terjadi penyempitan atau perlengketan preputium sehingga glans
penis tidak bisa terbuka sepenuhnya dan menyebabkan pasien sulit buang air
kecil (obsturuksi saluran kemih). Pada hidronefrosis, terjadi pelebaran dari
saluran-saluran yang terdapat di dalam ginjal sehingga ginjal akan tampak
membesar atau membengkak. Pembengkakan ini terjadi akibat adanya
obstruksi aliran normal urin yang menyebabkan urin mengalir balik sehingga
tekanan di ginjal meningkat. Hidronefrosis dapat mengakibatkan penimbunan
cairan bertekanan dalam pelviks ginjal dan ureter yang dapat mengakibatkan
absorpsi hebat pada parenkim ginjal.

2.9 Diagnosis Banding3,4,5

Parafimosis adalah suatu keadaan dimana preputium penis yang diretraksi


sampai di sulkus koronarius tidak dapat dikembalikan pada keadaan semula dan
menimbulkan jeratan pada penis dibelakang sulkus koronarius. Warna gland penis
akan semakin berwarna pucat dan bengkak. Seiring perjalanan waktu keadaan ini
akan mengakibatkan nekrosis sel di gland penis, warnanya akan menjadi biru atau
hitam dan gland penis akan terasa keras saat di palpasi.5,6

26
Gambar Parafimosis

2.9 Prognosis
Prognosis dari fimosis akan semakin baik bila cepat didiagnosis dan
ditangani.1

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Basuki B Purnomo. Dasar-dasar Urologi. Edisi Kedua. Jakarta: Sagung


Seto; 2009.
2. Santoso A. Fimosis dan Parafimosis. Tim Penyusun Panduan
Penatalaksanaan Pediatric Urologi di Indonesia. Jakarta: Ikatan Ahli
Urologi Indonesia; 2005.
3. Sjamsuhidajat, R , Wim de Jong. Saluran kemih dan Alat Kelamin Lelaki.
Buku-Ajar Ilmu Bedah.Ed.2. Jakarta : EGC, 2004. p 801
4. Tanagho, EA and McAninch, JW. Smith’s General Urology. Sixteen
edition. USA: Appleton and Lange; 2004.
5. Spilsbury K, Semmens JB, Wisniewski ZS, Holman CD. "Circumcision
for phimosis and other medical indications in Western Australian boys".
Med. J. Aust. 178 (4): 155–8; 2003. Diunduh dari URL:
http://www.mja.com.au/public/issues/178_04_170203/spi10278_fm.html
6. Hina Z, Ghory MD. Phimosis and Paraphimosis. Diunduh dari URL:
(http://emedicine.medscape.com/article/777539-overview)
7. Brunicardi FC, et al. Schwartz’s Principle of Surgery Eight Edition
Volume 2. USA: Mc Graw Hill.

28

Вам также может понравиться