Вы находитесь на странице: 1из 4

Beda Antara Cinta Romantis dan Cinta Sejati

KONSULTASI PSIKOLOGI

Oleh Sawitri Supardi-Sadarjoen

CINTA romantis dapat dijabarkan sebagai sesuatu yang


imajinatif dan tidak praktis, misterius, dan fiktif. Cinta
romantis merangsang eksitasi petualangan emosional,
pemenuhan idealisme dan sering dilandasi keterikatan
emosional yang bisa berlanjut sepanjang hidup atau hanya
berlangsung dalam waktu singkat.

Cinta romantis diterima secara sosial, walaupun sering


terasa tidak lebih dari sebagai suatu delusi dan keadaan
tergila-gila. Padahal, cinta romantis hanya sekadar
merupakan "tipuan", karena ditandai sesuatu yang
menjanjikan lebih daripada apa yang sebenarnya bisa
diberikan.

Umumnya orang cenderung memberikan reaksi terhadap


situasi tersebut dengan dua cara yaitu: (a) penghayatan
pe-rasaan atau emosi secara menyeluruh. Penghayatan
perasaan tersebut didominasi oleh "bagaimana saya merasakan tentang dirimu" sebagai
suatu reaksi antara satu orang dengan orang lain. (b) Pelibatan aspek emosi lebih
merupakan reaksi emosi primer yang terkait dengan "bagaimana sa-ya merasa tentang
diriku".

Jadi, intensitas penghayatan perasaan dihubungkan dengan seseorang yang ada di luar
dirinya yang mampu menghin-darkan orang tersebut dari perasaan kekosongan yang ada
dalam dirinya sendiri. Dapat disimpulkan, fokus cinta romantis ada pada diri orang lain,
dalam hal ini pasangannya.

Cinta romantis terdiri dari elemen emosional kuat yang berasal dari fusi antara satu
orang dengan orang lain, sehingga hanya sedikit makna yang menyertakan kapan perasaan
itu mulai berkembang dan kapan perasaan itu berakhir karena tidak adanya ruang atau
jarak serta waktu antara diri sendiri dengan orang yang dicintainya.

Rasa sakit/terluka pada salah seorang pasangan merupakan rasa sakit/terluka pada diri
sendiri. Setiap hal dinilai dan dimaknakan personal, misalnya "apabila kamu pergi ke
bioskop sendiri, maka itu berarti kamu meninggalkan diri saya". Jadi, dalam hal ini
terbentuk perasaan kebersamaan dan saling memiliki satu sama lain secara sempurna
antara dua orang yang terlibat cinta romantis.

Di balik perasaan romantis itu terkandung fusi dari ketakutan akan kesepian dan
kegagalan dalam penerimaan diri seseorang. Makin rendah rasa percaya diri seseorang,
semakin tinggi harapan orang itu agar orang lain sama seperti dirinya. Semakin tinggi pula
upayanya mencoba dan ber-harap mendapatkan pemuasan kebutuhan akan keyakinan diri
agar dapat dibangkitkan keyakinan diri orang yang dicintainya. Kondisi cinta romantis
betul-betul merupakan harapan yang tidak realistis.

Harapan ada pada pasangan yang menjalin cinta kasih romantis justru cenderung
mendapatkan kekecewaan yang lebih besar di kemudian hari. Erich Fromm (1956)
berpendapat, cinta romantis merupakan bukti dari kondisi rasa kesepian yang sangat
mendalam. Segera setelah penerimaan cinta romantis menurun atau bahkan hilang, maka
pola dasar proses berpikir, perasaan, dan perilaku realistis akan muncul kembali.

Biasanya topik rasa tanggung jawab yang mengikuti ikatan kasih yang realistis menjadi
berbaur dengan kondisi saling menyalahkan pada dua orang yang sebelumnya terlibat
cinta romantis. Kondisi itu diikuti dengan runtuhnya harapan awal yang tidak realistis,
untuk kemudian menghadapi kenyataan yang ditandai argumen, ketidaksepakatan
terhadap rasa tanggung jawab masing-masing pasangan, peningkatan rasa marah yang
akumulatif, dan perlahan tetapi pasti kedua belah pihak akhirnya akan merasa terluka.
Kenyataan lanjut yang dihadapi pasangan adalah interrelasi mereka akhirnya menjadi
kabur dan tidak jelas bagi kedua belah pihak.

Transisi dari cinta romantis ke cinta sejati

Cinta romantisme merupakan bagian dari masa


muda yang penuh gairah. Serentak setelah
kedua pasangan tumbuh dan bertambah usia,
maka iklim emosional dalam diri kedua pasangan
akan ditandai oleh apa yang mereka inginkan, apa
yang mereka harapkan, hasrat apa yang ada pada
diri mereka, serta bagaimana mereka
menghayati diri mereka secara emosional.

Afeksi yang lembut dan kesetiaan menjadi aspek


dari cinta yang penuh kesabaran, yang secara simultan, dengan disertai atau tidak
disertai nilai-nilai romantisme. Serentak setelah cinta romantis sirna, maka cinta
romantis akan digantikan dengan upaya-upaya untuk menyimpannya dengan cara "saya
dapat merasakan bahwa saat ini saya harus menempatkan permasalahan-permasalahan
yang harus diatasi dalam hubungan saya dengan pasangan saya".

Dalam pada itu pasangan akan berupaya membantu istri/suaminya untuk bang-kit dari
perasaan terpuruk atau pasangan ikut merasakan keterpurukan suami/istrinya. Dengan
cara tersebut maka terjadi proses peningkatan pengaruh kendali secara obyektif. Maka
berkembanglah rasa cinta sejati yang merupakan upaya salah satu pasangan untuk tetap
memberikan pengaruh pada suami/istrinya, baik dalam imajinasi, keingintahuan satu sama
lain, serta kecenderungan satu sama lain.

Dengan demikian maka relasi yang terjalin antarkedua pasangan akan terbentuk berdasar
pada pola-pola kesabaran kedua belah pihak dan rasa toleransi diantara kedua belah pihak
yang semakin hari semakin kuat. Masa transisi dari fase cinta romantis ke cinta sejati
merupakan masa tersulit bagi kedua pasangan.
Cinta sejati

Untuk beberapa pasangan, matinya cinta romantis identik dengan hilangnya cinta kasih
secara menyeluruh. Jadi, apabila kedua pasangan mampu mengatasi kesulitan dalam masa
transisi, maka mereka akan mampu menjaga relasi yang ditandai cinta kasih sejati.

Cinta sejati menyertakan rasa hormat di antara pasangan, kadar toleransi antarpasangan
yang juga cukup bagi penerimaan kekurangan dan kelebihan masing-masing pasangan, dan
libatan afeksi yang bukan merupakan manifestasi rasa kesepian yang mendalam pada diri
kedua pasangan. Cinta tidak lagi merupakan eksistensi dari entitas yang diskrit, namun
merupakan atribut keikatan emosional yang direpresentasikan dalam bentuk khusus
keikatan emosi yang sempurna.

Ikatan emosional ini pun bukan merupakan benda konkret, namun lebih bersifat sikap
yang mengandung unsur kualitas. Cinta sejati lebih merupakan emosi dan bukan perasaan.
Cinta hakiki juga bukan terpusat dalam diri salah satu pasangan (self-centered) atau
terpusat pada pasangan (other-focused), namun terdiri dari penghargaan yang amat
sangat terhadap nilai diri dalam memberi.

Cinta sejati tidak berarti menyerahkan diri sepenuhnya dan bukan merupakan martir atau
alat mengabdi kepada orang lain. Juga tidak berarti merupakan latar untuk menyenangkan
orang lain, dalam hal ini menyenangkan suami/istri, namun cinta sejati datang dari
penerimaan tulus serta penghargaan untuk pasangan sesuai cara yang dimiliki
pasangannya.

Jadi, tidak juga sebagai self love. Pasangan harus mengembangkan sikap dan filosofi
bahwa segala hal tidak ada artinya namun yang paling berarti adalah keikatan emosional di
antara mereka. Seni dari cinta sejati menginginkan disiplin, konsentrasi, kesabaran, yang
juga menuntut kerendahan hati, keberanian, kesetiaan dengan berbagai alasan.

Cinta sejati akan menjadi aktivitas tidak melelahkan dan tidak berakhir (Erich Fromm,
1956). Ia merupakan awal sirnanya cinta romantis yang kabur, di mana seseorang merasa
kosong, sendirian, tidak berpengharapan, dan merasa tak mampu.

Seseorang yang menghendaki cinta sejati secara bertahap harus belajar bangkit dari
perasaan di atas sampai mereka belajar dan mengalami kebijaksanaan sikap terhadap
kehidupan dalam diri dan siap berada pada masa cinta sejati, karena cinta sejati memang
tidak mungkin berkembang tanpa pengalaman kekosongan yang menjadi salah satu aspek
cinta romantis.

Untuk itu mau tidak mau kedua pasangan perkawinan harus membuat definisi ulang
tentang cinta yang terkait dengan relasi dengan menghargai aspek ruang dan waktu, baik
bagi diri maupun bagi pasangannya, berupa kedekatan tanpa fusi, kebersamaan tanpa
upaya berada di dalam kulit orang lain. Cinta romantis lebih dilandasi fusi dan
ketidakrespekan masing-masing pasangan sebagai diri sendiri. *
Kompas, May 14th 2002

Вам также может понравиться