Вы находитесь на странице: 1из 16

Uploaded by unhyharsul on Oct 03, 2014

erepo.unud.ac.id/17275/3/1014028111-3-BAB%202.pdf
14
eprints.ums.ac.id/18544/2/Microsoft_Word_-_BAB_I.pdf
oleh A Rahmadani - 2012
Barbara, CL., 1996, Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan proses
keperawatan),Bandung.Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih
bahasa: WaluyoAgung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta.Carpenito, L.J.,
2000, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis, alih bahasa: TimPSIK UNPAD Edisi-6, EGC,
JakartaDoenges,M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 1993, Rencana Asuhan Keperawatan
untuk perencanaan dan pendukomentasian perawatan Pasien, Edisi-3, Alih bahasa;Kariasa,I.M.,
Sumarwati,N.M., EGC, Jakarta
Kuliah ilmu penyakit dalam PSIK ± UGM, 2004, Tim spesialis dr. penyakit dalam RSUPdr.Sardjito,
Yogyakarta
Maurytania, A.R, 2003 buku saku ilmu bedah widya medika Jogjakarta

A.
B. KONSEP DASAR MEDIK
1. Defenisi
Empedu adalah sejenis organ tubuh yang berfungsi untuk melumatkan lemak
yang ada pada kolesterol. Ia terletak di bawah organ hati. Karena fungsinya itulah ia
sering disebut dengan kandung empedu. Organ kandung empedu inilah yang sering
kali mengonstruksi batu empedu. Batu empedu berbentuk lingkaran, oval, dan facet
ditemukan pada saluran empedu. Batu empedu mengandung kolesterol, kalium
bikarbonat, kalsium bilirubinat, atau gabungan elemen-elemen tersebut.
Batu empedu dikenal juga dengan sebutan Kolelitiasis. Kolelitiasis merupakan
adanya atau pembentukan batu empedu; batu ini mungkin terdapat dalam kandung
empedu (cholecystolithiasis) atau dalam ductus choledochus (choledocholithiasis).
Kolelitiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu keadaan dimana
terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesica fellea) yang memiliki
ukuran, bentuk dan komposisi yang bervariasi. Kolelitiasis lebih sering dijumpai pada
individu berusia diatas 40 tahun terutama pada wanita dikarenakan memiliki faktor
resiko,yaitu: obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak dan genetik.

Gambar Batu dalam kandung empedu.

2. Etiologi
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin
banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya
kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain:
a. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria.
Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi
kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga
meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon
(esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan
aktivitas pengosongan kandung empedu. Ia dapat pula disebabkan oleh pemakaian obat anti
kolesterol. Menggunakan obat antikolesterol tidak menyebabkan kolesterolnya menurun
drastis, tetapi malah kolesterol itu menghindar ke dalam empedu, sehingga kolesterol
empedunya terus meningkat. Penyebab munculnya batu empedu ini diperkirakan penderita
juga menderita kencing manis (diabetes mellitus). Penderita kencing manis biasanya kadar
lemak darahnya tinggi, yang mungkin saja menumpuk pada empedu sehingga turut
membuat batu empedu.

b. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang dengan
usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan
usia yang lebih muda.
c. Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi
kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu
pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/ pengosongan
kandung empedu.
d. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat
menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
e. Diet
Batu empedu ini juga diperkirakan bisa timbul karena diet (penurunan berat badan) secara
drastis. Penurunan yang dipaksakan ini akan mengakibatkan metabolisme lemak dalam tubuh
penderita semakin meningkat. Demikian pula suatu kandung empedu bisa saja terinfeksi, karena
dalam empedu sudah ada batu saluran empedu. Infeksi bisa tersulut karena batu empedu
sendiri, dan bisa pula disebabkan oleh masuknya kuman tifus atau bakteri yang mengambuhkan
batu empedu. Menurut hasil penelitian, masuknya kuman tifus ke dalam kandung empedu
dapat menyebabkan terjadinya komplikasi yang menyebabkan penderita amat menderita
f. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibandingn dengan
tanpa riwayat keluarga.
g. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini
mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
h. Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease, diabetes,
anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
i. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk
berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk
terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.

3. Patofisiologi
 Batu Kolesterol
Pembentukan batu Kolesterol melalui tiga fase:
a. Fase Supersaturasi
Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen yang tak
larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu membentuk micelle
yang mudah larut. Di dalam kandung empedu ketiganya dikonsentrasikan
menjadi lima sampai tujuh kali lipat. Pelarutan kolesterol tergantung dari rasio
kolesterol terhadap lecithin dan garam empedu, dalam keadaan normal antara 1 :
20 sampai 1 : 30. Pada keadaan supersaturasi dimana kolesterol akan relatif
tinggi rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti ini kolesterol akan
mengendap.
Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut:
 Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan
lecithin jauh lebih banyak.
 Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga terjadi
supersaturasi.
 Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet).
 Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan tinggi.
 Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada gangguan
ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan sirkulasi
enterohepatik).
 Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar
chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan
batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain
menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.
b. Fase Pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu
heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel yang
lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol
sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam empedu.
c. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu untuk bisa
berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi kandung
empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang sudah terbentuk
akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi kandung empedu
lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi akan melekat pada inti
batu tersebut. Hal ini mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus, kehamilan,
pada pemberian total parental nutrisi yang lama, setelah operasi trunkal
vagotomi, karena pada keadaan tersebut kontraksi kandung empedu kurang baik.
Sekresi mucus yang berlebihan dari mukosa kandung empedu akan mengikat
kristal kolesterol dan sukar dipompa keluar.

 Batu bilirubin/Batu pigmen


Batu bilirubin dibagi menjadi dua kelompok:
a. Batu Calcium bilirubinat (batu infeksi).
b. Batu pigmen murni (batu non infeksi).

Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase:


a. Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan eritrosit
yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada keadaan
infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin menjadi
unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b
glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal
cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja
glukuronidase.
b. Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga oleh
bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan bahwa 55
% batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing ascaris
lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti batu adalah
dari cacing tambang.

2.8.2 Patofisiologi Umum


Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigment dan batu campuran. Lebih dari 90% batu
empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol) atau batu campuran (batu
yang mengandung 20-50% kolesterol). Angka 10% sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana
mengandung < 20% kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah
keadaan statis kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan
konsentrasi kalsium dalam kandung empedu.
Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang terbentuk di dalam
kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid membantu dalam
menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi
berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus untuk
pembentukan batu. Kristal yang terbentuk terbagi dalam kandung empedu, kemudian lama-
kelamaan kristal tersebut bertambah ukuran, beragregasi, melebur dan membetuk batu. Faktor
mortilitas kandung empedu, biliary stasis, dan kandungan empedu merupakan predisposisi
pembentukan batu empedu.

4. Gambaran klinik
Batu empedu mungkin tidak menimbulkan gejala selama berpuluh tahun. Memang 70%
hingga 80% pasien tetap asimptomatik seumur hidupnya, sisanya memperlihatkan gejala
dengan kecepatan 1% hingga 3% per tahun. Penderita batu kandung empedu baru memberi
keluhan bila batu tersebut bermigrasi menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus,
sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari yang tanpa gejala (asimptomatik), ringan sampai
berat karena adanya komplikasi.
Dijumpai nyeri di daerah hipokondrium kanan, yang kadang-kadang disertai
kolik bilier yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri kadang-kadang dijalarkan
sampai di daerah subkapula disertai nausea, vomitus dan dyspepsia, flatulen dan lain-
lain. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan hipokondrium kanan, dapat
teraba pembesaran kandung empedu dan tanda Murphy positif. Dapat juga timbul
ikterus. Ikterus dijumpai pada 20 % kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0
mg/dl). Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran
empedu ekstra hepatic.
Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri viseral ini
berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus oleh batu. Dengan
istilah kolik bilier tersirat pengertian bahwa mukosa kandung empedu tidak
memperlihatkan inflamasi akut.
Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama antara 30 –
60 menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah epigastrium. Nyeri dapat
menjalar ke abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang ke abdomen kiri dan dapat
menyerupai angina pektoris. Kolik bilier harus dibedakan dengan gejala dispepsia
yang merupakan gejala umum pada banyak pasien dengan atau tanpa kolelitiasis.
Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi
yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu antara lain kolesistitis akut,
kolesistitis kronis, koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder,
ileus batu empedu, abses hepatik dan peritonitis karena perforasi kandung empedu.
Komplikasi tersebut akan mempersulit penanganannya dan dapat berakibat fatal.
Sebagian besar (90 – 95 %) kasus kolesititis akut disertai kolelitiasis dan keadaan ini
timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan peradangan organ
tersebut.
Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan telah sering
mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini menyebabkan
penebalan dan fibrosis kandung empedu dan pada 15 % pasien disertai penyakit lain
seperti koledo kolitiasis, panleneatitis dan kolongitis.
Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus melalui duktus
sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga terbentuk di dalam
saluran empedu (koledokolitiasis primer). Perjalanan penyakit koledokolitiasis sangat
bervariasi dan sulit diramalkan yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan
timbulnya ikterus obstruktif yang nyata.
Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa
menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri sehingga
timbul pankreatitis akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE
yang tidak keluar spontan akan tetap berada dalam saluran empedu dan dapat
membesar. Gambaran klinis koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus
obstruktif, kolangitis dan pankreatitis.

5. Pemeriksaan diagnostic
 Pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksaan darah lengkap, massa
protrombin, bilirubin serum, amylase serum, kultur darah, SGOT, dan SGPT
 Pemeriksaan ultrasonografi (USG) atau radiologi abdomen
 Skintigrafi kandung empedu
 Pemeriksaan koleksistogram (hanya untuk kolesistitis saja)
 Pemeriksaan radiologi dada (untuk mengetahui pneumonitis)

6. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin muncul
 Ikterik pada sclera dan kulit (jaundice)
 Dehidrasi
 Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
 Kecenderungan pendarahan (karena defisiensi vitamin K)
 Peritonitis umum bila terjadi rupture
 Gangren atau empiema kandung empedu
 Perforasi kandung empedu
 Fistula dan abses hati
 Kolesistitis kronik

7. Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilang-
timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak.
Pilihan penatalaksanaak antara lain:
a) Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis simtomatik.
Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi
pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%.
Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh
kolesistitis akut.
b) Kolesistektomi laparaskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut. Karena
semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada
pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis
keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi
perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri
menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan dari
prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi 6r seperti cedera duktus biliaris yang
mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi.
Gambar 8: Tindakan kolesistektomi

c) Disolusi medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah angka kekambuhan
yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk
batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah
mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika
obat ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien.
d) Disolusi kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten (metil-ter-butil-eter
(MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang diletakkan per kutan telah terlihat
efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien-pasien tertentu. Prosedur ini invasif dan
kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun).
e) Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pad saat ini
memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar
dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
f) Kolesistotomi
Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping tempat tidur
pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama untuk pasien yang sakitnya
kritis.
g) Penatalaksanaan diet
Pada kasus kolelitiasis jumlah kolesterol dalam empedu ditentukan oleh jumlah lemak yang
dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol dari metabolisme lemak, sehingga klien
dianjurkan/dibatasi dengan makanan cair rendah lemak. Menghindari kolesterol yang tinggi
terutama yang berasal dari lemak hewani. Suplemen bubuk tinggi protein dan karbohidrat dapat
diaduk ke dalam susu skim dan adapun makanan tambahan seperti: buah yang dimasak, nasi
ketela, daging tanpa lemak, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi/teh.

8. Pencegahan
Untuk mencegah tidak munculnya penyakit batu empedu ini tentu saja perlu dilakukan
berbagai tindakan. Tindakan utama tentulah hal-hal yang menyebabkan tidak munculnya
penyakit itu. Bagi mereka yang beresiko tinggi terkena penyakit batu emppedu diperlukan
mengonsumsi makanan yang mengandung lemak tak jenuh, dan mengutamakan makanan
yang mempunyai serat dan tidak lupa melakukan olahraga secara teratur setiap hari.
Disarankan malah agar terhindar dari penyakit batu empedu ini, agar calon penderita tidak
melupakan minum kopi. Minum kopi diperkirakan dapat menurunkan resiko terkena batu
empedu.

C. KONSEP DASAR KEPERAWATAN


1. Data dasar pengkajian
A. Pengkajian
 Aktifitas/Istirahat
Gejala : Kelemahan
Tanda : Gelisah
 Sirkulasi
Tanda : Takikardia, berkeringat
 Eliminasi
Gejala : Perubahan warna urine dan feses
Tanda : Distensi abdomen.
Teraba masa pada kuadran kanan atas.
Urine gelap, pekat.
Feses waran tanah liat,steatorea.
 Makanan / Cairan
Gejala : Anoreksia, mual/muntah.
Tidak toleraran terhadap lemak dan makanan “pembentukan gas” regurgitasi
berulang, nyeri epigastrium, tidak dapat makan, latus, dispepsia.
Bertahak.
Tanda : Kegemukan, adanya penurunan berat badan.
 Nyeri/Kenyamanan
Gejala :Nyeri abdomen atas berat, dapat menyebar kepunggung atau bahu kanan.
Kolik epigastrium tengah sehubungan dengan makan.
Nyeri mulai tiba-tiba dan biasanya memuncak dalam 30 menit.
Tanda :Nyeri lepas, otot tegang atau kaku biala kuadran kanan atas ditekan; tanda
murphy positif.
 Pernapasan
Tanda : Peningkatan frekuensi pernapasan.
Pernapasan tertekan ditandai oleh napas pendek, dangakal.

 Keamanan
Tanda : Demam, menggigil.
Ikterik, dengan kulit berkeringat dan gtal (Pruiritus).
Kecenderungan perdarahan (kekurangan vitamin K).
 Penyuluhan/Pembelejaran
Gejala : Kecenderungan keluarga untuk terjadi batu empedu.
Adanya kehamilan/melahirkan; riwayat DM, penyakit inflamasi usus,
diskrasias darah.
Pertimbangan : DRG menunjukan rerata lama dirawat: 3,4 hari.
Rencana pemulangan: Memerlukan dukungan dalam perubahan diet/penurunan berat
badan.
 Pemeriksaan Diagnostik
Darah lengkap: Leukositosis sedang (akut).
Bilirubin dan amilase serum: Meningkat.
Enzim hati serum-AST (SGOT): ALT (SGPT); LDH; agak meningkat alkaline fosfat
dan 5-nukletiase; Di tandai obstruksi bilier.
Kadar protrombin: Menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan
absorbsi vitamin K.
Ultrasound: Menyatakan kalkuli, dan distensi kandung empedu dan/atau ductus
empedu (sering merupakan prosedur diagnostik awal).
Kolangeopankreatografi retrograd endeskopik: Memperlihatkan percabangan bilier
dengan kanualasi duktus koledukus melalui deudenum.
Kolangiografi transhepatik perkutaneus: Pembedaan gambaran dengan flouroskopi
anatara penyakit kantung empedu dan kanker pankreas ( bila ekterik ada ).
Kolesistogram (untuk kolositisis kronis): Menyatakan batu pada sistem empedu.
Catatan: kontraindikasi pada kolesititis karena pasien terlalu lemah untuk menelan
zat lewat mulut.
Skan CT: Dapat menyatakan kista kandung empedu, dilatasi duktus empedu, dan
membedakan anatara ikterik obstruksi/non obstruksi.
Skan hati (dengan zat radioaktif): Menunjukan obstruksi percabangan bilier.
Foto abdomen (multiposisi): Menyatakan gambaran radiologi (kalsifikasi) batu
empedu, kalsifikasi dinding atau pembesaran kandung empedu.
Foto dada: Menunjukan pernapasan yang menyebapkan penyebaran nyeri.

2. Penyimpangan KDM

3. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan dari ASKEP kolelitiasis, diantaranya:
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis: obstruksi/spasme duktus, proses
inflamasi, iskemia jaringan/nekrosis.
2. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan penghisapan gaster berlebihan,
muntah, distensi, dan hipermotilitas gaster; pembatasan masukan secara medic; gangguan
proses pembekuan.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah,
dyspepsia, nyeri, gangguan pencernaan lemak sehubungan dengan obstruksi aliran empedu.
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan salah interpretasi informasi, tidak mengenal
sumber informasi.

4. Intervensi keperawatan
 Dx 1: Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis: obstruksi/spasme duktus,
proses inflamasi, iskemia jaringan/nekrosis.
Hasil yang diharapkan:
- Pasien akan melapor bahwa nyeri akan hilang.
- Pasien akan menunjukkan penggunaan ketrampilan relaksasi dan aktifitas hiburan sesuai
indikasi ubtuk situasi individual.
Intervensi Keperawatan:
 Observasi dan catet lokasi, beratnya (skala 0-10) dan karakter nyeri (menetap,hilang
timbul,kolik).
R/ Membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan informasi tentang kemajuan/
perbaikan penyakit, terjadinya komplikasi dan keefiktifan intervensi.
 Cataet respon terhadap obat, dan laporkan pada dokter bial nyeri hilang.
R/ Nyeri berat yang tidak hilang dengan tindakan rutin dapat menunjukkan terjadinya
komplikasi atau kebutuhan terhadap intervensi lebih lanjut.
 Tingkatkan tirah baring, biarkan pasien melakukan posisi yang nyaman.
R/ Tirah baring pada posisi fowler rendah menunjukkan tekanan intraabdomen, namun
pasien akan melakukan posisi yang menghilangkan nyeri secara alamiah.
 Gunakan sprei halus/katun; cairan kalamin; minyak mandi (Alpha keri); Kompres
dingin/lembab sesuai indikasi.
R/ Menurunkan iritasi/kulit kering dan sensasi gatal.
 Control suhu lingkungan.
R/ Dingin pada sekitar ruangan membantu meminimalkan ketidaknyamanan kulit.
 Dorong menggunakan tekhnik relaksasi, contoh bimbingan imajinasi, visualisasi, latihan
napas dalam.berikan aktifatas senggang.
R/ Meningkatkan istirahat,memusatkan kembali perhatian, meningkatkan koping.

 Dx 2: Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan penghisapan gaster


berlebihan, muntah, distensi, dan hipermotilitas gaster; pembatasan masukan secara
medic; gangguan proses pembekuan.
Hasil yang diharapkan:
- Pasien akan menunjukkan keseimbangan cairan adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil,
membrane mukosa lembab, turgor kulit baik, pengisien kapiler baik, secara individu
mengeluarkan urine cukup dan tak ada muntah.

Intervensi Keperawatan:
 Pertahankan masalah haluaran akurat, perhatikan haluaran kurang dari masukan,
peningkatan berat berat jenis urine. Kaji membram mukosa/kulit, nadi perifer dan pengisian
kapiler.
R/ Memberikan informasi tentang status cairan/volume sirkulasi dan kebutuhan
pengantian.
 Awasi tanda/gejala peningkatan berlanjutnya mual/muntah,kram abdomen, kelemahan,
kejang ringan, kecepatan jantung tak teratur, parestesia hipoaktif atau takadanya bising
usus, defresi pernafasan.
R/ Muntah berkepanjangan, aspirasi gaster, dan pembatasan pemasukan oral dapat
menimbulkan deficit natrium, kalium dan klorida.
 Hindarkan dari lingkungan yang berbau
R/ Menurunkan rangsangan pada pusat muntah
 Lakukan kebersihan oral dengan pencuci mulut; berikan minyak
R/ menurunkan kekeringan membrane mukosa, menurunkan resiko pendarahan oral.
 Gunakan jarum kecil untuk injeksi dan melakukan tekanan pada bekas suntikan lebih lama
dari biasanya.
R/ Menurunkan trauma, resiko perdarahan/ pembentukan hematoma.
 Kaji perdarahan yang tak biasanya,contoh perdarahan terus menerus pada sisi injeksi,
mimisan, perdarahan gusi,ekimosis,petikie, hematemesis /melena.
R/ Protombin darah menurunkan dan waktu koagulasi memanjang bila aliran empedu
terhambat, meningkatkn resiko perdarahan / hemoragi.

 Dx 3: Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual


muntah, dyspepsia, nyeri, gangguan pencernaan lemak sehubungan dengan obstruksi
aliran empedu.
Hasil yang diharapkan:
- Pasien akan melaporkan mual muntah hilang.
- Pasien akan menunjukkan kemajuan mencapai berat badan atau mempertahankan berat
badan individu yang tepat.
Intervensi Keperawatan:
 Kaji distensi abdomen, sering berdahak, berhati-hati, menolak bergerak.
R/ Tanda non vernal ketidaknyamanan berhubungan dengan gangguan pencernaan, nyeri
gas.
 Perkirakan atau hitung pemasukan kalori. Jaga komentar tentang nafsu makan sampai
minimal.
R/ Mengidentifikasi kekurangan/ kebutuhan nutrisi. Berfokus pada masalah membuat
suasana negative dan mempengaruhi masukan.

 Timbang sesuai indikasi.


R/ Mengawasi keefektifan rencana diet.
 Konsul tentang kesukaan/ketidaksukaan pasien, makanan yang menyebabkan distres, dan
jadwal makan yang disukai.
R/ Melibatkan pasien dalam perencanaan, memapukan pasien memiliki rasa control dan
mendorong untuk makan.
 Berikan suasana menyanangkan pada saat makan, hilangkan rangsangan berbau.
R/ Untuk meningkatkan nafsu makan/ menurunkan mual.
 Berikan kebersihan oral sebelum makan.
R/ Mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan.
 Tawarkan minuman seduhan saat makan, bila toleran.
R/ Dapat mengurangi mual dan menghilangkan gas. Catatan : Mungkin dikontraindikasikan
bila menyebabkan pembentukan gas/ ketidaknyamanan gaster.
 Ambulasi dan tingkatkan aktivitas sesuai toleransi
R/ Membantu dalam mengeluarkan flatus, penurunan distensi abdomen. Mempengaruhi
penyembuhan dan rasa sehat dan menurunkan kemungkinan masalah sekunder
sehubungan dengan imobilisasi (contoh: pneumonia, tromboplebitis).

Вам также может понравиться