Вы находитесь на странице: 1из 21

MAKALAH

Asuhan keperawatan pada pasien denga inkontinensia urine

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah

Maternitanity of Nursing

Dosen Pengampu:

Yuniar Angelina Puspa Dewi Amd.Keb

Disusun Oleh:

Kelompok I

 Asyifa A. R. Amansi : 1507. 14201. 389


 Auliyah Ulil Albab : 1507. 14201. 390
 Suwati : 1709. 14201.
 Farida D. P. Wilujeng : 1507. 14201. 406
 Kirstie A. P. Tuati : 1507. 14201. 420
 Novalia F. Dapa : 1507. 14201. 432
 Noviana Rambu Hamu : 1507. 14201. 433
 Rismilah Mazidatul K. : 1507. 14201. 438
 Siti Mariyamah : 1507. 14201. 444
 Wina Sriandini : 1507. 14201. 450
 Yulius N. S. Weras : 1507. 14201. 455

PROGRAM STUDI S-1 ILMU KEPERAWATAN

STIKES WIDYAGAMA HUSADA

MALANG

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan YME karena atas rahmatnya
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada
Pasien dengan Inkontinensia Urine” tepat pada waktunya. Terima kasih kami
ucapkan kepada semua pihak yang terkait dalam penyusunan makalah ini,
khususnya kepada Ibu selaku dosen pengampu mata kuliah Maternity Of Nursing
II di STIKES Widyagama Husada.

Selain untuk memenuhi tugas, makalah ini juga disusun dengan tujuan
menambah pengetahuan terkait penatalaksanaan dan pencegahan dari
tidaknyamanan saat terjadi kelemahan otot dalam mengontrol ketika ingin buang
air kecil. Yang dimana keadaan tersebut akan sangat membuat tidak nyaman bagi
penderitanya. Maka dari itu masalah Inkontinensia Urine harus diatasi dengan
tetap. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya

Kami sadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik dari segi
penulisan maupun pemaparan isi materi. Maka dari itu kritik dan saran sangat
kami harapkan.

Malang, Mei 2018

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Menurut data dari WHO, 200 juta penduduk di dunia yang mengalami
inkontinensia urin.Menurut National Kidney and Urologyc Disease Advisory
Board di Amerika Serikat, jumlah penderita inkontinensia mencapai 13 juta
dengan 85 persen diantaranya perempuan.Jumlah ini sebenarnya masih sangat
sedikit dari kondisi sebenarnya, sebab masih banyak kasus yang tidak
dilaporkan (Maas et al, 2011).
Di Indonesia jumlah penderita Inkontinensia urin sangat signifikan. Pada
tahun 2006 diperkirakan sekitar 5,8% dari jumlah penduduk mengalami
Inkontinensia urin, tetapi penanganannya masih sangat kurang. Hal ini di
sebabkan karena masyarakat belum tahu tempat yang tepat untuk berobat
disertai kurangnya pemahaman tenaga kesehatan tentang inkontinensia urin
(Depkes, 2012).
Banyak wanita mengalami kebocoran urine yang tidak dapat dikendalikan
akibat cedera saat melahirkan. Beberapa kondisi yang mengganggu
pengontrolan urine meliputi stress urinary incontinence, akibat peningkatan
tekanan intra abdomen yang tiba-tiba (misal: tekanan mendadak yang timbul
akibat bersin atau batuk), urge incontinence, yang disebabkan oleh gangguan
pada kandung kemih dan uretra (Bobak, Lawdermilk, dan Jansen, 2005).
Hampir 50% wanita yang pernah melahirkan akan menderita prolaps organ
genitourinaria dan 40% dari mereka disertai dengan inkontinensia urine
(Junizaf, 2007). Angka kejadian inkontinensia lebih sering terjadi pada wanita
multipara dibandingkan wanita nullipara, namun tidak terdapat perbedaan
tingkat inkontinensia pada wanita yang telah satu, dua atau tiga kali
melahirkan.
Menurut Newman & Smith, 1992; Taylor & Handerson, 1986, terdapat
cara yang digunakan untuk memperbaiki ketidakmampuan berkemih yaitu
dengan latihan otot dasar panggul (pelvic muscte exercise) atau sering disebut
dengan latihan Kegel. Latihan dasar panggul melibatkan kontraksi tulang otot
pubokoksigeus, otot yang membentuk struktur penyokong panggul dan
mengililingi pintu panggul pada vagina, uretra, dan rectum (Maas et al,2011).
Tingginya angka kejadian inkotinensia urin menyebabkan perlunya
penanganan yang sesuai, karena jika tidak segera ditangani inkontinensia
dapat menyebabkan berbagai komplikasi seperti infeksi saluran kemih, infeksi
kulit daerah kemaluan, gangguan tidur, dekubitus, dan gejala ruam. Selain itu,
masalah psikososial seperti dijauhi orang lain karena berbau pesing, minder,
tidak percaya diri, mudah marah juga sering terjadi dan hal ini berakibat pada
depresi dan isolasi sosial (Stanley & Beare, 2006)

1.2 RUMUSAN MASALAH


Bagaimana Asuhan Keperawatan Pasien dengan inkontinensia Urine pada ibu
hamil ?

1.3 TUJUAN
1. Tujuan umum
Menjelaskan Asuhan Keperawatan pasien dengan inkontnensia urin pada
ibu hamil.

2. Tujuan khusus
a. Untuk memahami pengertian dari inkontinesia urine
b. Untuk mengetahui klasifikasi dari inkontinensia urin
c. Untuk mengetahui etiologi inkontinensia urin
d. Untuk mengetahui patofisiologi inkontinensia urin
e. Untuk mengetahui maninfestasi klinis inkontinensia urin
f. Untuk mengetahui penatalaksanaan inkontinensia urin
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Inkontinensia Urine (IU) atau yang lebih dikenal dengan beser sebagai
bahasa awam merupakan salah satu keluhan utama pada penderita lanjut usia.
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan
frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan
dan sosial. Variasi dari inkontinensia urin meliputi keluar hanya beberapa
tetes urin saja, sampai benar-benar banyak, bahkan terkadang juga disertai
inkontinensia alvi (disertai pengeluaran feses) (brunner, 2011).

Inkontinensia urin disebut juga ketidakmampuan menahan air kencing.


Berdasarkan International Continence Society, inkontinensia urin adalah
keluhan berkemih tanpa disadari (involunter) akibat gangguan fungsi saluran
kemih bagian bawah yang dipicu oleh sejumlah penyakit sehingga
menyebabkan pasien berkemih pada situasi yang berbeda (Doughty, 2006).

2.2 ETIOLOGI
Inkontinensia urin biasanya diklasifikasikan sebagai inkontinensia stress,
urgensi, inkontinensia overflow, inkontinensia fungsional. Inkontinensia stress
dimana urin keluar ketika tekanan intrabdominal meningkat seperti pada saat
batuk, bersin, tertawa atau latihan. Ini disebabkan karena melemahnya otot dasar
panggul. Inkontinensia urgensi merupakan akibat ketidakmampuan untuk
berkemih begitu sensasi untuk berkemih muncul. Ini bisa diakibatkan karena
aktifitas otot kemih meningkat dan adanya masalah neurologik. Inkontinensia
overflow atau aliran yang berlebihan, terjadi jika pengisian kandung kemih
melebihi kapasitas kandung kemih dan sebagian urin terlepas secara tidak
terkontrol. Ini disebabkan oleh sumbatan sepertihipertropi prostat, akibat faktor
saraf (pada diabetes) atau obat-obatan. Inkontinensia fungsional yang merupakan
inkontinensia tanpa gangguan pada sistem saluran kemih akibat dari dimensia
berat, gangguan muskuloskeletal, imobilisasi dan lingkungan yang tidak
mendukung (Catherine, 1995).
2.3 MANIFESTASI KLINIS
1. Inkontinensia stres: keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan
sebagainya, Gejala-gejala ini sangat spesifik untuk inkontinensia stres.
2. Inkontinensia urgensi: ketidakmampuan menahan keluarnya urin dengan
gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih.
3. Enuresis nokturnal: 10% anak usia 5 tahun dan 5% anak usia 10 tahun
mengompol selama tidur. Mengompol pada anak yang lebih tua
merupakan sesuatu yang abnormal dan menunjukkan adanya kandung
kemih yang tidak stabil.
4. Gejala infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia), obstruksi (pancara
lemah, menetes), trauma (termasuk pembedahan, misalnya reseksi
abdominoperineal), fistula (menetes terus-menerus), penyakit neurologis
(disfungsi seksual atau usus besar) atau penyakit sistemik (misalnya
diabetes) dapat menunjukkan penyakit yang mendasari.

2.4 KLASIFIKASI
Klasifikasi dibawah ini telah disetujui oleh ICS (International Continence
Society) Berdasarkan sifat reversibilitasnya inkontinensia urin dapat
dikelompokkan menjadi 2 yaitu:

1. Inkontinensia urin akut ( Transient incontinence)


Inkontinensia urin ini terjadi secara mendadak, terjadi kurang dari
6 bulan dan biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut atau problem
iatrogenic dimana menghilang jika kondisi akut teratasi. Penyebabnya
dikenal dengan akronim DIAPPERS yaitu : delirium, infeksi dan
inflamasi, atrophic vaginitis, psikologi dan pharmacology, excessive urin
production (produksi urin yang berlebihan), restriksi mobilitas dan stool
impaction(impaksi feses).
2. Inkontinensia urin kronik ( Persisten)
Inkontinensia urin ini tidak berkaitan dengan kondisi akut dan
berlangsung lama ( lebih dari 6 bulan ). Ada 2 penyebab kelainan
mendasar yang melatarbelakangi Inkontinensia urin kronik (persisten)
yaitu : menurunnya kapasitas kandung kemih akibat hiperaktif dan karena
kegagalan pengosongan kandung kemih akibat lemahnya kontraksi otot
detrusor. Inkontinensia urin kronik ini dikelompokkan lagi menjadi
beberapa tipe (stress, urge, overflow, mixed). Berikut ini adalah
a. Stress urinary incontinence
Strees inkotinensia terjadi karena mekanisme spingter uretral yang
tidak adekuat untuk menahan urine pada saat keluar dari kandung
kemih. Pasien biasanya menggambarkan pengeluaran urin sedikit-
sedikit secara tidak sengaja pada saat melakukan aktivitas yang
meningkatkan tekanan intraabdominal, seperti batuk, tertawa, bersin
atau mengangkat beban. Seringkali stress inkontinensia urin terjadi
pada wanita dewasa (dengan riwayat hamil dan melahirkan
pervaginam), inkontinensia stress biasanya disebabkan oleh
kelemahan dasar panggul dan lemahnya sphincter vesikouretral. Pada
keadaan normal tekanan penutupan uretra merespon terhadap
pengisisan kandung kemih, perubahan posisi, stress seperti batuk dan
bersin. Spingter memiliki mekanisme sendiri untuk meningkatkan
resistensi uretra dengan demikian menghalangi perembesan urin.

Stress inkontinensia dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu:



Tipe 0 : pasien mengeluh adanya kebocoran namun tidak dapat
dibuktikan melalui pemeriksaan.

Tipe 1 : inkontinensia urin dapat terjadi dengan pemeriksaan
manuver stress dan ada sedikit penurunan uretra pada leher vesica
urinaria.

Tipe 2 : inkontinensia urin terjadi pada pemeriksaan dengan
penurunan uretra pada leher vesica urinaria 2 cm atau lebih.

Tipe 3 : uretra terbuka (lead peep) dan area leher vesica urinaria
tampak kontraksi.
b. Urge urinary incontinence
Yaitu inkontinensia yang berhubungan dengan aktivitas detrusor,
disebut juga instabilitas detrusor. Jenis inkontinensia ini
dikarakteristikan dengan tidak adanya pembatasan kontraksi kandung
kemih dan banyak terjadi pada orang tua. Pasien seringkali
menggambarkan gejalanya tidak dapat mengontrol keinginan untuk
mengosongkan kandung kemih. Simptom lainnya adalah
meningkatnya frekuensi brekemih dan terjadina nokturia.
c. Mixed urinary incontinence
Mixed urinary incontinence merupakan gabungan gejala inkontinensia
urgensi dan inkontinensia stress. Pada inkontinensia jenis ini terjadi
disfungsi detrusor (motorik atau sensorik)dan berhubungan dengan
aktivitas spingter uretra. Yang berarti terjadi pengeluaran urin yang
tidak disengaja yang berkaitan dengan urgensi dan juga dengan batuk
dan bersin.
d. Inkontinensia fungsional
Selain ketiga inkontinensia diatas juga terdapat inkontinesia
fungsional atau transien. Inkontinensia fungsional terkait dengan
gangguan kognitif, fisiologis, atau fisik yang membuatnya sulit untuk
mencapai toilet atau kencing dengan cara yang benar. Singkatan yang
berguna untuk mengingat penyebab inkontinensia urine fungsional
atau transien adalah DIAPPERS: Delirium, Infeksi, Atrofi,
Farmakologi, Psikologi, esccesive urin production, Retriksi Mobilitas
, dan Stool Impaksi.
e. Inkontinesia overflow
Overflow inkontinensia merupakan keluarnya urin secara tidak
terkendali yang dihubungkan dengan overdistensi dari kandung
kemih. Dua proses yang melibatkan yaitu retensi urin akibat obstruksi
kandung kemih atau tidak adekuatnya kontraksi kandung kemih. Hal
ini dapat terjadi secara sekunder dari kerusakan otot detrusor yang
memicu kelemahan otot detrusor. Selain itu obstruksi uretra juga dapat
memicu distensi kandung kemih.

2.5 FAKTOR RESIKO


Faktor resiko yang berperan memicu inkontinensia urin pada wanita adalah:
1. Faktor kehamilan dan persalinan
a. Efek kehamilan pada inkontinensia urin tampaknya bukan sekedar
proses mekanik inkontinensia urin pada perempuan hamil dapat terjadi
dari awal kehamilan hingga masa nifas.
b. Prevalensi inkontinensia urin meningkat selama kehamilan dan
beberapa minggu setelah persalinan.
c. Tingginya usia, paritas dan berat badan bayi tampaknya berhubungan
dengan inkontinensia urin.
d. Multipara mempunyai resiko yang tinggi untuk mengalami
inkontinensia urin. Karena Kekuatan otot-otot dasar panggul menjadi
lemah terutama otot kandung kemih, leher kandung kemih, uretra dan
uterus.
2. Usia atau menopouse
Peningkatan prevalensi pada wanita dewasa berhubungan dengan
kelemahan struktur otot pelvic dan jaringan penyokong uretra. Sebagai
tambahan faktor-faktor pada orang tua seperti kurangnya pergerakan dan
penurunan status mental dapat meningkatkan resiko terjadinya
inkotinensia urin.
3. Perokok
Beberapa penelitian menghubungkan inkotinensia urin stress dan
inkotinensia urin urgensi dengan merokok pada wanita. Bump dan
McClish meniliti pada 606 wanita yang memiliki riwayat merokok (sering,
kadang-kadang atau tidak pernah) dan setelah dilakukan serangkaian test
didapatkan bahwa 322 wanita mengalami inkotinensia urin. Inkotinensia
urin secara signifikan meningkat pada kelompok yang sering merokok
dibandingkan dengan yang tidak merokok. Bump dan McClish
menemukan bahwa pada perokok terjadi peningkatan resiko terjadinya
inkotinensia meskipun spingter uretranya masih kuat. Mereka berspekulasi
peningkatan dan lebih kuatnya kekuatan batuk berhubungan dengan
merokok.
4. Pecandu alkohol dan kafein
Alkohol dan kafein dalam makanan maun minuman dapat
menyebabkan inkontinensia urin. Karena alkohol dan kafein
bersifat mengiritasi kandung kemih. Selain dapat mengiritasi otot
kandung kemih kafein juga bersifat diuretik yang dapat
meningkatkan frekuensi berkemih. Sedangkan alkohol bersifat
menghambat hormon antidiuretik sehingga produksi urin
meningkat.(Goldman dan Vasavada, 2007)

2.6 PATIFISIOLOGI
Perubahan patofisologi yang berhubungan dengan inkontinesia berbeda
dengan tiap penyebab spesifik kelainannya. Pada inkontinensia tekanan,
peningkatan tekanan intra vesika biasanya timbul dari kegiatan seperti bersin,
batuk, tertawa dan ekrersi. Dapat terjadi disfungsi pada sphincter uretra atau
pada perempuan, perubahan pada pertemuan uretrovesika disebabkan karena
kelemahan otot periruretra kelemahan otot dari persalinan, menopause, atau
masalah lain yang melonggarkan lantai pelvis. Terlebih dari hilangnya tonus
otot yang menyangga pertemuan uretrovesika, terdapat bertambahnya
penurunan, dengan efek funneling pada leher kandung kemih pada saat
ekrersi. Pada laki-laki, perubahan patofisiologi biasanya timbul dari BPH
(tumor jinak pada prostart akibat sel prostart yang terus mengalami
pertumbuhan), yang menyebabkan retensi, overflow dan inkontinesia tekanan.
Jika inkontinensia tidak dikontrol, hal ini dapat menjadi masalah psikologis
dan fisik. Konsikuensi psikologis dari inkontinensia sangat serius. Klien-klien
dapat mengisolasikan diri dan rasa takut akan dipermalukan dan hal tersebut
akan menjurus pada depresi. Komplikasi fisik dari inkontinensia meliputi
infeksi, masalah kulit dan disfungsi berkemih permanen.
2.7 PATHWAY

Multiparitas Obtruksi Hambtan Lesi pembedahan


(penurunan otot kandung uretra spinal
dasar panggul) kemih inkoodinasi cord
Ketika batuk, antara dibawah
bersin, tertawa dan detrusor s2 Komplikasi post
mengejan. uretra op
Otot kelamin otot
detrusor detrusor
tidak Penuruna
Otot detrusor
Tekanan kandung stabil n otot
melemah
kemih > uretra. Kegagalan detrusor
pengeluaran
Tekanan urin
Peningkatan Tidak Inkontinensia
intravesia after trauma
tekanan intra dapat
meningkat
abdominal mengontr
Retensi
ol
kronis
keluarnya Penurunan
kandung
Inkontinensia Kebocoran urin fungsi otot
kemih
urin detrusor
involunter
distensia
Inkotinen
sia refleks
Inkontinensia
Intotinensia Fungsional
urgensi / dorongan

INKONTINENsIA
URIN

Urin yang bersifat Tubuh berbau Keluar malam /


asam mengiritasi pesing siang hari
kulit
Malu saat Ganggu
Menungg an pola
bersosialisasi
Gangguan u aktifitas, tidur
integritas kulit tidur
Ansietas
2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Urinallisis, digunakan untuk melihat apakan ada bakteri, darah dan
glukosa dalam urine.
2. USG : untuk melihat kelainan pada vesica urinaria
3. Uroflowmetry digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan
menunjukkan obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur
laju aliran ketika pasien berkemih.
4. Cysometri digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuscular kandung
kemih dengan mengukur efisiensi reflex otot detrusor, tekanan dan
kapasitas intravesikal dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan
panas.
5. Urografi ekskretorik, disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk
mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter, dan kandung kemih.
6. Volding cystourethrography digunakan untuk mendeteksi ketidaknormalan
kandung kemih dan uretra serta mengkaji hipertrofi lobus prostat, striktur
uretra, dan tahap gangguan uretra prostatic Jistenosis ( pada pria ).
7. Uretrografi retrograde, digunakan hampir secara ekslusif pada pria,
membantu diagnosis striktur dan obstruksi orifisium uretra.
8. Elektromiografi sfingter pada pasien pria dapat menunjukkan pembesaran
prostat atau nyeri, kemungkinan menanndakan hipertrofi prostat jinak atau
infeksi. Pemeriksaan tersebut juga dapat menunjukkan impaksi yang
mungkin menyebabkan inkontinensia.
9. Katerisasi residu pescakemih digunakan untuk menentukan luasnya
pengosongan kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam
kandung kemih setelah pasien berkemih.

2.9 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada inkontinensia urin secara non farmakologis bisa
dilakukan dengan latihan otot dasar panggul atau latihan Kegel, agar otot
dasar panggul menjadi lebih kuat dan uretra dapat tertutup dengan baik
(Setiati, 2001).

Secara farmakologis yaitu menggunakan obat-obatan untuk


merelaksasikan kandung kemih. Ini biasanya dilakukan bila terapi non
farmakologis tidak dapat menyelesaikan masalah inkontinensia urin (Setiati,
2001). Selain farmakologis dan non farmakologis yang menyangkut penyebab
inkontinensia urin karena sumbatan atau keadaan patologik dilakukan dengan
pembedahan. Sambil melakukan terapi dan masalah medik yang menyebabkan
inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu yang dapat
digunakan oleh lansia yang mengalamiinkontinensia urin seperti kateter,
pampers dan komod (Czeresna, 2001).

2.10 PENCEGAHAN
1. Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol
2. Menggurangi konsumsi kafein dan minuman bersoda
3. Mengontrol berat badan agar tidak obesitas
4. Jangan menahan BAK
5. Hidup sehat dan rutin berolah raga
6. Untuk para wanita jagan terlalu sering hamil

2.11 ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a) Identitas pasien
b) Riwayat kesehatan pasien
c) Keluhan utama pasien

Dalam pengkajian ditanyakan kapan inkontinensia urine muncul dan hal-


hal yang berhubungan dengan inkontinensia urine :

 Berapa kali inkontinensia terjadi


 Apakah ada kemerahan, lecet, bengkak pada daerah perineal
 Apakah klien mengalami obesitas
 Apakah urine menetes diantara waktu BAK, jika ada berapa
banyak
 Apakah inkontinensia terjadi pada saat yang bisa diperkirakan
sperti saat batuk, bersin dan mengangkat benda berat
 Apakah klien menyadari atau merasakan keinginan akan BAK
sebelum inkontinensia terjadi
 Apakah klien merasakan kandung kemih terasa penuh
 Apakah klien merasakan nyeri saat berkemih
 Bagaimana cara klien mengatasi inkontinensia

Pemeriksaan fisik

 Inspeksi : adanya kemerahan, iritasi, atau bengkak pada


perineal. Adanya benjolan, adanya obesitas dan kurang gerak
 Palpasi : adanya distensi kandung kemih atau nyeri tekan
 Perkusi : terdengar suara redup pada daerah kandung kemih
2. Diagnosa
1) Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang
penyakit
2) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan iritasi pada kulit
3) Gangguan pola tidur berhubungan dengan frekuensi berkemih
3. Intervensi

Diagnosa 1 :
1) Yakinkan apakah konseling dilakukan dan atau perlu diversi urinaria,
diskusikan pada saat pertama.
2) Dorong pasien / orang terdekat untuk mengatakan perasaan.
3) Perhatikan perilaku menarik diri, peningkatan ketergantungan,
manipulasi atau tidak terlibat pada asuhan.
4) Berikan kesempatan pada klien untuk menerima keadaannya melalui
partisipasi dalam perawatan diri.

Diagnosa 2 :

1) Kaji kelembapan kulit.


2) Bersihkan kulit saat terkena kotoran.
3) Minimalkan pajanan kulit terhadap kelembapan.
4) Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian obat-obatan.
Diagnosa 3 :
BAB III
PEMBAHASAN JURNAL

3.1 KASUS
Ny. X melaporkan bahwa masalahnya dimulai 5 bulan sebelumnya,
setelah kelahiran anak ketiganya. Dia menyatakan bahwa dia mengompol jika dia
bersin atau batuk dan telah mengurangi asupan cairan nya dalam upaya untuk
mencegah hal ini terjadi. Dia juga kencing lebih sering untuk memastikan
kandung kemihnya kosong. Dia mengungkapkan bahwa ia mulai mengenakan
panty-liner. Dia menyatakan bahwa saat batuk dia mengeluarkan beberapa tetes,
tidak ada cedera perineal dan tidak ada inkontinensia urin sebelumny. Paps smir
pada kehamilan terakhirnya dinyatakan normal dan dan tidak ada riwayat operasi
yang relevan sebelumnya , pasien tidak memiliki penyakit gaya hidup kronis. Saat
pemeriksaan fisik ditemukan episiotomi medialateral terlihat; Bekas luka itu kecil,
skala analog visual digunakan untuk menanyakan seberapa besar gangguan
Inkontinensia Urin ini mengganggu kualitas hidupnya dimulai dari skore 0 – 10
dan dia mengatakan 6.

3.2 PEMBAHASAN
Kasus diatas terjadi pada seorang ibu yang tidak memiliki riwayat
gangguan system urinary sebelum melahirkan anak ketiganya, dalam artikel kasus
ini tidak dijelaskan riwayat partus pasien, apakah disaat melahirkan anak
ketiganya terdapat gangguan yang bermakna seperti makrosomia, distorsia bahu
ataupun keadaan yang lain yang dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap
bladder pasien karena mengingat posisi uterus sangat dekat dengan bladder.
Begitu juga menurut Pribakti (2006) mengatakan lamanya persalinan dapat
mengakibatkan terjadinya kerusakan saraf, otot dasar panggul termasuk uterus dan
otot-otot kandung kemih.
Menurut artikel yang dikemukan oleh Ran Pang,dkk. tentang beberapa
terapi non farmakalogis untuk penderita inkontinensia urin, dimana pengobatan
non farmakologi ini juga memiliki mekanisme pengobatan yang sangat baik dan
efektifitas yang cukup tinggi dalam penerapannya. Dari tujuan peneliti tersebut
ada beberapa Penatalaksanaan Non Farmakologis yang peneliti kemukakan yang
dapat kita gunakan yaitu :
1. Pelatihan otot dasar panggul (PFMT)
Pelatihan otot dasar panggul (PFMT) adalah rejimen umum untuk pasien
dengan UI. Dalam hal prosedur PFMT, pasien biasanya diminta untuk
fokus pada kontraksi otot yang mereka gunakan untuk menghentikan
aliran urin. Setelah mereka dapat mengidentifikasi otot yang tepat, mereka
perlu tahan kontraksi selama 5 detik dan kemudian rileks selama 5 detik.
Untuk mendapatkan manfaat besar, program PFMT harus terdiri dari
setidaknya delapan kontraksi otot dasar panggul yang dilakukan tiga kali
per hari. Berkenaan dengan durasi, PFMT dianjurkan untuk dilakukan
setidaknya 8-12 minggu.
2. Bladder Training
Teknik pengendalian diri yang menekan dorongan untuk buang air kecil,
yang dapat mengurangi frekuensi buang air kecil. Teknik umum pelatihan
kandung kemih adalah pada saat terasa ingin berkemih. Latihan dilakukan
saat ingin berkemih, pasien harus menyelesaikan jadwal harian tersebut
selama 3 hari pertama. Secara teknik Bladder Training sama dengan
PFMT hanya saja PFMT dilakukan bukan pada saat ingin berkemih.
Metode ini telah dibuktikan sangat efektif untuk menurunkan UI seperti
yang diteliti oleh Elly (2015) bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
terapi Bladder Training terhadap penurunan inkontinensia urin pada ibu
post partum di RS Bhayangkara Kalbar.
3. Yoga
Yoga, serangkaian latihan yang berasal dari India kuno, dapat mengatur
fisik dan mental berfungsi secara spontan. Dilaporkan bahwa yoga dapat
memodulasi nada otot dasar panggul, yang berkontribusi untuk bantuan
LUTS. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa yoga dapat memperbaiki
gejala-gejala IU dan meningkatkan kualitas hidup. Dalam uji coba
terkontrol secara acak, 19 wanita dengan UI, UUI atau MUI dialokasikan
untuk terapi yoga atau kelompok kontrol. Setelah terapi 6 minggu, wanita
dalam yoga kelompok terapi memperlihatkan penurunan yang lebih
signifikan dalam episode harian IU daripada rekan-rekan dalam kelompok
kontrol. Dalam hal postur yoga tertentu, frog pose, fish pose, locust pose,
plank pose, sitting forward bend dan seated twist mungkin akan sangat
bermanfaat.
4. Massage
Pijat mengacu pada serangkaian tindakan pada tubuh dengan tekanan
yang tepat untuk membuat otot santai. Kassolik dkk. mencoba mengobati
wanita 50 tahun dengan SUI menggunakan pijatan. Perawatan dilakukan
selama 4 minggu, pasien melaporkan perbaikan 100% pada SUI. Meski
hanya Bukti terbatas tersedia, kami menemukan bahwa pijat efektif untuk
SUI, UUI dan MUI. Berbasis pada pengalaman klinis, mayoritas pasien
dapat memperoleh manfaat dari enam hingga delapan sesi pijat berfokus
pada otot-otot dasar panggul. Mekanisme yang mungkin termasuk
relaksasi otot dasar panggul diinduksi oleh pijat dan efek regulasi pijat di
pusat sistem saraf.
Sehingga dari beberapa terapi diatas dapat disimpulkan bahwa ke empat
terapi ini terbukti memeiliki tingkat efektifan yang cukup baik khususnya
dalam tahap awal manajemen penderita inkontinensia urin karena terapi
ini relatif bersifat non invasive. Namun, kelompok lebih
merekomendasikan untuk Bladder Training diterapkan pada ibu post
partum dengan gangguan Inkontinensia Urin menurut referensi beberapa
penelitian sebelumnya.
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan kencing.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik, dengan beberapa prosedur
diagnostik yang diperlukan mempunyai hasil yang baik untuk menegakkan
diagnosis gangguan ini. Jenis inkontinensia urine yang utama yaitu
inkontinensia stres, desakan, luapan dan fistula urine. Penatalaksanaan
konservatif dilakukan pada kasus inkompetem sfingter uretra sebelum terapi
bedah. Bila dasar inkontinensia neurogen atau mental maka pengobatan
disesuaikan dengan faktor penyebab. Terapi Bladder Training dapat dijadikan
pilihan utama untuk penatalsanaan Inkontinensia urine.

4.2. Saran
Terapi non farmakologi dapat diaplikasikan untuk pencegahan
maupun terapi sehingga ibu hamil dengan inkontinensia urin dapat
mencobanya untuk mengurangi keluhan dari inkontinensia urin.
DAFTAR PUSTAKA
- Dewi, D., Lestari, S., & Ismail. (2013). Aspek Keperawatan Pada
Inkontinensia Urine. Journal Keperawatan , 1(1) 1-11.

- Riyady, meigha. (2018) Laporan pendahuluan inkontenensia urin.


http://www.academia.edu/32452643/Laporan_Pendahuluan_Inkotenensia_Uri
ne. di akses tanggal 24 Mei 2018
- Enny Melania , 2015, EFEKTIFITAS KEGEL EXERCISE TERHADAP
PENCEGAHAN INKONTINENSIA URIN PADA IBU POSTPARTUM
PERVAGINAM DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA POLDA
KALBAR.
- Pribakti, B., 2006, Tinjauan Kasus Retensio Urin Postpartum di RSUD Ulin
Banjarmasin 2002 – 2003, Dexa Media, vol. 19 Januari – Maret 2006: 10-13.
- Lina Herida Pinem dkk (2012). Pencegahan inkontenensia urin pada ibu nifas
dengan paket latihan mandiri. Jurnal keperawatan indonesia, vol 15 no 1,
maret 2012 hal 47-52
- Ni ketut alit dkk, senam kegel menurunkan inkontenensia urinpada ibu
postpartum. Jurnal ners vol 3 no 1 April 2008 hal 49-53

Вам также может понравиться