Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Maternitanity of Nursing
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
Kelompok I
MALANG
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan YME karena atas rahmatnya
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada
Pasien dengan Inkontinensia Urine” tepat pada waktunya. Terima kasih kami
ucapkan kepada semua pihak yang terkait dalam penyusunan makalah ini,
khususnya kepada Ibu selaku dosen pengampu mata kuliah Maternity Of Nursing
II di STIKES Widyagama Husada.
Selain untuk memenuhi tugas, makalah ini juga disusun dengan tujuan
menambah pengetahuan terkait penatalaksanaan dan pencegahan dari
tidaknyamanan saat terjadi kelemahan otot dalam mengontrol ketika ingin buang
air kecil. Yang dimana keadaan tersebut akan sangat membuat tidak nyaman bagi
penderitanya. Maka dari itu masalah Inkontinensia Urine harus diatasi dengan
tetap. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya
Kami sadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik dari segi
penulisan maupun pemaparan isi materi. Maka dari itu kritik dan saran sangat
kami harapkan.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 TUJUAN
1. Tujuan umum
Menjelaskan Asuhan Keperawatan pasien dengan inkontnensia urin pada
ibu hamil.
2. Tujuan khusus
a. Untuk memahami pengertian dari inkontinesia urine
b. Untuk mengetahui klasifikasi dari inkontinensia urin
c. Untuk mengetahui etiologi inkontinensia urin
d. Untuk mengetahui patofisiologi inkontinensia urin
e. Untuk mengetahui maninfestasi klinis inkontinensia urin
f. Untuk mengetahui penatalaksanaan inkontinensia urin
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Inkontinensia Urine (IU) atau yang lebih dikenal dengan beser sebagai
bahasa awam merupakan salah satu keluhan utama pada penderita lanjut usia.
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan
frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan
dan sosial. Variasi dari inkontinensia urin meliputi keluar hanya beberapa
tetes urin saja, sampai benar-benar banyak, bahkan terkadang juga disertai
inkontinensia alvi (disertai pengeluaran feses) (brunner, 2011).
2.2 ETIOLOGI
Inkontinensia urin biasanya diklasifikasikan sebagai inkontinensia stress,
urgensi, inkontinensia overflow, inkontinensia fungsional. Inkontinensia stress
dimana urin keluar ketika tekanan intrabdominal meningkat seperti pada saat
batuk, bersin, tertawa atau latihan. Ini disebabkan karena melemahnya otot dasar
panggul. Inkontinensia urgensi merupakan akibat ketidakmampuan untuk
berkemih begitu sensasi untuk berkemih muncul. Ini bisa diakibatkan karena
aktifitas otot kemih meningkat dan adanya masalah neurologik. Inkontinensia
overflow atau aliran yang berlebihan, terjadi jika pengisian kandung kemih
melebihi kapasitas kandung kemih dan sebagian urin terlepas secara tidak
terkontrol. Ini disebabkan oleh sumbatan sepertihipertropi prostat, akibat faktor
saraf (pada diabetes) atau obat-obatan. Inkontinensia fungsional yang merupakan
inkontinensia tanpa gangguan pada sistem saluran kemih akibat dari dimensia
berat, gangguan muskuloskeletal, imobilisasi dan lingkungan yang tidak
mendukung (Catherine, 1995).
2.3 MANIFESTASI KLINIS
1. Inkontinensia stres: keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan
sebagainya, Gejala-gejala ini sangat spesifik untuk inkontinensia stres.
2. Inkontinensia urgensi: ketidakmampuan menahan keluarnya urin dengan
gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih.
3. Enuresis nokturnal: 10% anak usia 5 tahun dan 5% anak usia 10 tahun
mengompol selama tidur. Mengompol pada anak yang lebih tua
merupakan sesuatu yang abnormal dan menunjukkan adanya kandung
kemih yang tidak stabil.
4. Gejala infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia), obstruksi (pancara
lemah, menetes), trauma (termasuk pembedahan, misalnya reseksi
abdominoperineal), fistula (menetes terus-menerus), penyakit neurologis
(disfungsi seksual atau usus besar) atau penyakit sistemik (misalnya
diabetes) dapat menunjukkan penyakit yang mendasari.
2.4 KLASIFIKASI
Klasifikasi dibawah ini telah disetujui oleh ICS (International Continence
Society) Berdasarkan sifat reversibilitasnya inkontinensia urin dapat
dikelompokkan menjadi 2 yaitu:
2.6 PATIFISIOLOGI
Perubahan patofisologi yang berhubungan dengan inkontinesia berbeda
dengan tiap penyebab spesifik kelainannya. Pada inkontinensia tekanan,
peningkatan tekanan intra vesika biasanya timbul dari kegiatan seperti bersin,
batuk, tertawa dan ekrersi. Dapat terjadi disfungsi pada sphincter uretra atau
pada perempuan, perubahan pada pertemuan uretrovesika disebabkan karena
kelemahan otot periruretra kelemahan otot dari persalinan, menopause, atau
masalah lain yang melonggarkan lantai pelvis. Terlebih dari hilangnya tonus
otot yang menyangga pertemuan uretrovesika, terdapat bertambahnya
penurunan, dengan efek funneling pada leher kandung kemih pada saat
ekrersi. Pada laki-laki, perubahan patofisiologi biasanya timbul dari BPH
(tumor jinak pada prostart akibat sel prostart yang terus mengalami
pertumbuhan), yang menyebabkan retensi, overflow dan inkontinesia tekanan.
Jika inkontinensia tidak dikontrol, hal ini dapat menjadi masalah psikologis
dan fisik. Konsikuensi psikologis dari inkontinensia sangat serius. Klien-klien
dapat mengisolasikan diri dan rasa takut akan dipermalukan dan hal tersebut
akan menjurus pada depresi. Komplikasi fisik dari inkontinensia meliputi
infeksi, masalah kulit dan disfungsi berkemih permanen.
2.7 PATHWAY
INKONTINENsIA
URIN
2.9 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada inkontinensia urin secara non farmakologis bisa
dilakukan dengan latihan otot dasar panggul atau latihan Kegel, agar otot
dasar panggul menjadi lebih kuat dan uretra dapat tertutup dengan baik
(Setiati, 2001).
2.10 PENCEGAHAN
1. Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol
2. Menggurangi konsumsi kafein dan minuman bersoda
3. Mengontrol berat badan agar tidak obesitas
4. Jangan menahan BAK
5. Hidup sehat dan rutin berolah raga
6. Untuk para wanita jagan terlalu sering hamil
Pemeriksaan fisik
Diagnosa 1 :
1) Yakinkan apakah konseling dilakukan dan atau perlu diversi urinaria,
diskusikan pada saat pertama.
2) Dorong pasien / orang terdekat untuk mengatakan perasaan.
3) Perhatikan perilaku menarik diri, peningkatan ketergantungan,
manipulasi atau tidak terlibat pada asuhan.
4) Berikan kesempatan pada klien untuk menerima keadaannya melalui
partisipasi dalam perawatan diri.
Diagnosa 2 :
3.1 KASUS
Ny. X melaporkan bahwa masalahnya dimulai 5 bulan sebelumnya,
setelah kelahiran anak ketiganya. Dia menyatakan bahwa dia mengompol jika dia
bersin atau batuk dan telah mengurangi asupan cairan nya dalam upaya untuk
mencegah hal ini terjadi. Dia juga kencing lebih sering untuk memastikan
kandung kemihnya kosong. Dia mengungkapkan bahwa ia mulai mengenakan
panty-liner. Dia menyatakan bahwa saat batuk dia mengeluarkan beberapa tetes,
tidak ada cedera perineal dan tidak ada inkontinensia urin sebelumny. Paps smir
pada kehamilan terakhirnya dinyatakan normal dan dan tidak ada riwayat operasi
yang relevan sebelumnya , pasien tidak memiliki penyakit gaya hidup kronis. Saat
pemeriksaan fisik ditemukan episiotomi medialateral terlihat; Bekas luka itu kecil,
skala analog visual digunakan untuk menanyakan seberapa besar gangguan
Inkontinensia Urin ini mengganggu kualitas hidupnya dimulai dari skore 0 – 10
dan dia mengatakan 6.
3.2 PEMBAHASAN
Kasus diatas terjadi pada seorang ibu yang tidak memiliki riwayat
gangguan system urinary sebelum melahirkan anak ketiganya, dalam artikel kasus
ini tidak dijelaskan riwayat partus pasien, apakah disaat melahirkan anak
ketiganya terdapat gangguan yang bermakna seperti makrosomia, distorsia bahu
ataupun keadaan yang lain yang dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap
bladder pasien karena mengingat posisi uterus sangat dekat dengan bladder.
Begitu juga menurut Pribakti (2006) mengatakan lamanya persalinan dapat
mengakibatkan terjadinya kerusakan saraf, otot dasar panggul termasuk uterus dan
otot-otot kandung kemih.
Menurut artikel yang dikemukan oleh Ran Pang,dkk. tentang beberapa
terapi non farmakalogis untuk penderita inkontinensia urin, dimana pengobatan
non farmakologi ini juga memiliki mekanisme pengobatan yang sangat baik dan
efektifitas yang cukup tinggi dalam penerapannya. Dari tujuan peneliti tersebut
ada beberapa Penatalaksanaan Non Farmakologis yang peneliti kemukakan yang
dapat kita gunakan yaitu :
1. Pelatihan otot dasar panggul (PFMT)
Pelatihan otot dasar panggul (PFMT) adalah rejimen umum untuk pasien
dengan UI. Dalam hal prosedur PFMT, pasien biasanya diminta untuk
fokus pada kontraksi otot yang mereka gunakan untuk menghentikan
aliran urin. Setelah mereka dapat mengidentifikasi otot yang tepat, mereka
perlu tahan kontraksi selama 5 detik dan kemudian rileks selama 5 detik.
Untuk mendapatkan manfaat besar, program PFMT harus terdiri dari
setidaknya delapan kontraksi otot dasar panggul yang dilakukan tiga kali
per hari. Berkenaan dengan durasi, PFMT dianjurkan untuk dilakukan
setidaknya 8-12 minggu.
2. Bladder Training
Teknik pengendalian diri yang menekan dorongan untuk buang air kecil,
yang dapat mengurangi frekuensi buang air kecil. Teknik umum pelatihan
kandung kemih adalah pada saat terasa ingin berkemih. Latihan dilakukan
saat ingin berkemih, pasien harus menyelesaikan jadwal harian tersebut
selama 3 hari pertama. Secara teknik Bladder Training sama dengan
PFMT hanya saja PFMT dilakukan bukan pada saat ingin berkemih.
Metode ini telah dibuktikan sangat efektif untuk menurunkan UI seperti
yang diteliti oleh Elly (2015) bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
terapi Bladder Training terhadap penurunan inkontinensia urin pada ibu
post partum di RS Bhayangkara Kalbar.
3. Yoga
Yoga, serangkaian latihan yang berasal dari India kuno, dapat mengatur
fisik dan mental berfungsi secara spontan. Dilaporkan bahwa yoga dapat
memodulasi nada otot dasar panggul, yang berkontribusi untuk bantuan
LUTS. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa yoga dapat memperbaiki
gejala-gejala IU dan meningkatkan kualitas hidup. Dalam uji coba
terkontrol secara acak, 19 wanita dengan UI, UUI atau MUI dialokasikan
untuk terapi yoga atau kelompok kontrol. Setelah terapi 6 minggu, wanita
dalam yoga kelompok terapi memperlihatkan penurunan yang lebih
signifikan dalam episode harian IU daripada rekan-rekan dalam kelompok
kontrol. Dalam hal postur yoga tertentu, frog pose, fish pose, locust pose,
plank pose, sitting forward bend dan seated twist mungkin akan sangat
bermanfaat.
4. Massage
Pijat mengacu pada serangkaian tindakan pada tubuh dengan tekanan
yang tepat untuk membuat otot santai. Kassolik dkk. mencoba mengobati
wanita 50 tahun dengan SUI menggunakan pijatan. Perawatan dilakukan
selama 4 minggu, pasien melaporkan perbaikan 100% pada SUI. Meski
hanya Bukti terbatas tersedia, kami menemukan bahwa pijat efektif untuk
SUI, UUI dan MUI. Berbasis pada pengalaman klinis, mayoritas pasien
dapat memperoleh manfaat dari enam hingga delapan sesi pijat berfokus
pada otot-otot dasar panggul. Mekanisme yang mungkin termasuk
relaksasi otot dasar panggul diinduksi oleh pijat dan efek regulasi pijat di
pusat sistem saraf.
Sehingga dari beberapa terapi diatas dapat disimpulkan bahwa ke empat
terapi ini terbukti memeiliki tingkat efektifan yang cukup baik khususnya
dalam tahap awal manajemen penderita inkontinensia urin karena terapi
ini relatif bersifat non invasive. Namun, kelompok lebih
merekomendasikan untuk Bladder Training diterapkan pada ibu post
partum dengan gangguan Inkontinensia Urin menurut referensi beberapa
penelitian sebelumnya.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan kencing.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik, dengan beberapa prosedur
diagnostik yang diperlukan mempunyai hasil yang baik untuk menegakkan
diagnosis gangguan ini. Jenis inkontinensia urine yang utama yaitu
inkontinensia stres, desakan, luapan dan fistula urine. Penatalaksanaan
konservatif dilakukan pada kasus inkompetem sfingter uretra sebelum terapi
bedah. Bila dasar inkontinensia neurogen atau mental maka pengobatan
disesuaikan dengan faktor penyebab. Terapi Bladder Training dapat dijadikan
pilihan utama untuk penatalsanaan Inkontinensia urine.
4.2. Saran
Terapi non farmakologi dapat diaplikasikan untuk pencegahan
maupun terapi sehingga ibu hamil dengan inkontinensia urin dapat
mencobanya untuk mengurangi keluhan dari inkontinensia urin.
DAFTAR PUSTAKA
- Dewi, D., Lestari, S., & Ismail. (2013). Aspek Keperawatan Pada
Inkontinensia Urine. Journal Keperawatan , 1(1) 1-11.