Вы находитесь на странице: 1из 21

Pneumotoraks

Oleh:

Elfandari Taradipa
Eriska Geriana
Melpa Yohana
Mutia Mustika
Thiarini Rahmawati
Siti Hanifahfurri Silverikova

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT DR. MOH. HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018

1
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Paru

Dinding Thorax
Dinding thorax terdiri atas kulit, fascia, saraf, otot, dan tulang. Kerangka
dinding thorax membentuk sangkar dada osteokartilaginous yang melindungi
jantung, paru-paru, dan beberapa organ rongga abdomen. Kerangka thorax
terdiri dari vertebra thoracica dan discus intervertebralis, costae dan cartilago
costalis, serta sternum. Beberapa otot pernafasan yang melekat pada dinding
dada antara lain:
 Otot-otot inspirasi: M. intercostalis externus, M. levator costae, M.
serratus posterior superior, dan M. scalenus
 Otot-otot ekspirasi: M. intercostalis internus, M. transversus thoracis, M.
serratus posterior inferior, M. subcostalis

Traktus Respiratorius
Traktus respiratorius dibedakan menjadi dua, yaitu traktus respiratorius bagian
atas dan bagian bawah. Traktus respiratorius bagian atas terdiri dari cavum
nasi, nasofaring, hingga orofaring. Sementara itu, traktus respiratorius bagian
bawah terdiri atas laring, trachea, bronchus (primarius, sekundus, dan tertius),
bronchiolus, bronchiolus respiratorius, ductus alveolaris, dan alveolus. Paru-

2
paru kanan terdiri atas 3 lobus (superior, anterior, inferior), sementara paru-
paru kiri terdiri atas 2 lobus (superior dan inferior). 2
Rongga thoraks atau cavitas thoracis berisi organ vital paru dan jantung.
Paru-paru dan pleura mengisi sebagian besar rongga thoraks dengan jantung di
antaranya, sedangkan aorta descendens serta oeshophagus terletak di belakang
jantung. Pleura terbagi atas 2 lapisan, yaitu: pleura parietalis dan pleura
visceralis. Pleura parietalis merupakan selaput tipis dari membrana serosa yang
melapisi rongga pleura. Pada daerah yang menghadap mediastinum, pleura ini
beralih meliputi paru-paru sehingga disebut pleura visceralis atau pleura
pulmonalis. Pleura visceralis ini membugkus paru-paru dan melekat erat pada
permukaannya. Ruangan potensial antara kedua lapisan pleura ini disebut
cavitas pleuralis yang hanya berisi lapisan tipis cairan untuk lubrikasi.2
Volume dan kapasitas paru-paru dapat diukur dengan menggunakan
alat yang disebut spirometer. Dengan menggunakan alat ini, volume paru
diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:
- Volume tidal adalah volume udara yang diinspirasi atau diekspirasi setiap
kali bernapas normal; besarnya kira-kira 500 mililiter pada laki-laki
dewasa.

- Volume cadangan inspirasi adalah volume udara ekstra yang dapat


diinspirasi setelah dan di atas volume tidal normal bila dilakukan inspirasi
kuat; biasanya mencapai 3000 mililiter.

- Volume cadangan ekspirasi adalah volume udara ekstar maksimal yang


dapat diekspirasi melalui ekspirasi kuat pada akhir ekspirasi tidak normal;
jumlah normalnya adalah sekitar 1100 mililiter.

- Volume residu yaitu volume udara yang masih tetap berada dalam paru
setelah ekspirasi paling kuat; volume ini besarnya kira-kira 1200 mililiter.

Pernapasan berlangsung dengan bantuan gerak dinding dada. Inspirasi


terjadi karena gerak otot pernapasan yaitu m.intercostalis dan diafragma yang
menyebabkan rongga dada membesar sehingga udara akan terhisap masuk
melalui trakea dan bronkus.3
Jaringan paru dibentuk oleh jutaan alveolus mengembang dan
mengempis bergantung pada membesar atau mengecilnya rongga dada.

3
Dinding dada yang membesar akan akan menyebabkan paru-paru
mengembang sehingga udara akan terhisap ke dalam alveolus. Sebaliknya bila
m.intercostalis melemas maka dinding dada akan mengecil sehingga udara
akan terdorong keluar. Sementara itu, karena adanya tekanan intraabdominal
maka diafragma akan terdorong ke atas apabila tidak berkontraksi. Ketiga
faktor ini yaitu lenturnya dinding thoraks, kekenyalan jaringan paru, dan
tekanan intraabdominal menyebabkan ekspirasi jika m.intercostalis dan
diafragma kendur dan tidak mempertahankan keadaan inspirasi. Dengan
demikian ekspirasi merupakan kegiatan yang pasif. 3
Jika pernapasan gagal karena otot pernapasan tidak bekerja, ventilasi
paru dapat dibuat dengan meniup cukup kuat agar paru mengembang di dalam
thoraks bersamaan dengan mengembangnya thoraks. Kekuatan tiupan harus
melebihi kelenturan dinding dada, kekenyalan jaringan paru, dan tekanan
intraabdominal. Hal ini dilakukan pada ventilasi dengan respirator atau pada
resusitasi dengan bantuan napas dari mulut ke mulut.
Adanya lubang di dinding dada atau di pleura viseralis akan
menyebabkan udara masuk ke rongga pleura sehingga pleura viseralis terlepas
dari pleura parietalis dan paru tidak lagi ikut dengan gerak napas dinding
thoraks dan diafragma. Hal ini terjadi pada pneumotoraks. Jika dipasang
penyalir tertutup yang diberikan tekanan negatif maka udara ini akan terhisap
dan paru dapat dikembangkan lagi.3

2.2 Pneumotoraks Spontan


2.2.1 Definisi
Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas
di dalam pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena.
Pneumotoraks spontan merupakan setiap pneumotoraks yang terjadi
secara tiba-tiba.3

2.2.2 Klasifikasi
Pneumotoraks spontan diklasifikasikan dalam dua jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks spontan primer (PSP), yaitu pneumotoraks yang
terjadi secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.

4
b. Pneumotoraks spontan sekunder (PSS), yaitu pneumotoraks yang
terjadi dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah
dimiliki sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru
obstruktik kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma, dan infeksi
paru.

2.2.3 Epidemiologi
Insidensi pneumotoraks spontan sama baik pada primer maupun
sekunder, namun pria lebih banyak terkena dibanding wanita dengan
perbandingan 6:1. Pada pria, resiko pneumotoraks spontan akan
meningkat pada perokok berat dibanding non perokok. Pneumotoraks
spontan primer sering terjadi pada usia muda, dengan insidensi puncak
pada dekade ketiga kehidupan (20-40 tahun).3

Sedangkan pada pneumotoraks spontan sekunder, puncak


kejadian di usia 60-65 tahun insidensi 6,3 kasus per 100.000 orang per
tahun pada laki-laki 2,0 kasus per 100.000 orang per tahun pada
perempuan 26 per 100.000 pasien dengan penyakit paru obstruktif
kronik per tahun.4

Antara tahun 1991 dan 1995 tingkat MRS di UK Hospital baik untuk
pneumotoraks spontan primer dan sekunder adalah 16,7 per 100.000
orang per tahun dan 5,8 per 100.000 perempuan per tahun. Rekurensi
akan terjadi pada sekitar 30% dari 45% primer dan sekunder
pneumotoraks. Hal ini sering terjadi dalam 6 bulan, dan biasanya dalam
waktu 3 tahun.4

2.2.4 Etiologi
Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan pneumotoraks spontan
sekunder, diantaranya yaitu:
Penyakit saluran pernafasan
 Penyakit paru obstruksi kronik
 Fibrosis kistik
 Asma akut

5
Infeksi parenkim paru
 Pneumonia pneumocystis carinii
 Infeksi necrotizing (anaerob, bakteri gram negatif, Staphylococcus
Aureus, species nacardia, Mycobacterium Tuberculosis, jamur)
 Malignancy
 Kanker paru
 Sarcoma
 Metastase
Penyakit paru intertisial
 Langerhans cell granulomatosis
 Sarcoidosis
 Connective tissue disease
 Tuberous Sclerosis
 Idhiopathic pulmonary fibrosis
Lainnya
 Thoracic endometriosis (catamenial)
 Lymphangiolelomyomatosis
 Marfan syndrom
 Ehler-danlos syndrom

Causa terbanyak PSS adalah COPD, khususnya COPD sedang-


berat. Apabila pneumotoraks terjadi pasien COPD gejala sesak napas
yang progresif muncul dan biasanya bersamaan dengan nyeri pleuritik.
PSS merupakan penanda signifikan untuk mortalitas pasien COPD.
Setiap kejadian pneumotoraks meningkatkan resiko kematian sampai
dengan empat kali lipat. Sekitar 40-50% pasien akan mengalami PSS
yang kedua apabila pleurodesis tidak dilakukan.5

2.2.5 Patofisiologi
Paru-paru dibungkus oleh pleura parietalis dan pleura
visceralis. Di antara pleura parietalis dan visceralis terdapat cavum
pleura. Cavum pleura normal berisi sedikit cairan serous jaringan.
Tekanan intrapleura selalu berupa tekanan negatif. Tekanan negatif

6
pada intrapleura membantu dalam proses respirasi. Proses respirasi
terdiri dari 2 tahap: fase inspirasi dan fase eksprasi. Pada fase inspirasi
tekanan intrapleura: -9 s/d -12 cmH2O; sedangkan pada fase ekspirasi
tekananintrapleura: -3 s/d -6 cmH2O. Pneumotoraks adalah adanya
udara pada cavum pleura. Adanya udara pada cavum pleura
menyebabkan tekanan negatif pada intrapleura tidak terbentuk.
Sehingga akan mengganggu pada proses respirasi.

Secara garis besar ke semua jenis pneumotoraks mempunyai


dasar patofisiologi yang hampir sama. Pneumotoraks spontan, closed
pneumotoraks, simple pneumotoraks, tension pneumotoraks, dan open
pneumotoraks. Pneumotoraks spontan terjadi karena lemahnya
dinding alveolus dan pleura visceralis. Apabila dinding alveolus dan
pleura viceralis yang lemah ini pecah, maka akan ada fistel yang
menyebabkan udara masuk ke dalam cavum pleura. Mekanismenya
pada saat inspirasi rongga dada mengembang, disertai pengembangan
cavum pleura yang kemudian menyebabkan paru dipaksa ikut
mengembang, seperti balon yang dihisap. Pengembangan paru
menyebabkan tekanan intraalveolar menjadi negatif sehingga udara
luar masuk. Pada pneumotoraks spontan, paru-paru kolaps, udara
inspirasi ini bocor masuk ke cavum pleura sehingga tekanan
intrapleura tidak negatif. Pada saat inspirasi akan terjadi hiperekspansi
cavum pleura akibatnya menekan mediastinal ke sisi yang sehat. Pada

7
saat ekspirasi mediastinal kembali lagi ke posisi semula. Proses yang
terjadi ini dikenal dengan mediastinal flutter.6,7,9

Pneumotoraks spontan biasanya terjadi pada satu sisi, sehingga


respirasi paru sisi sebaliknya masih bisa menerima udara secara
maksimal dan bekerja dengan sempurna. Terjadinya hiperekspansi
cavum pleura tanpa disertai gejala pre-shock atau shock dikenal
dengan simple pneumotoraks. Berkumpulnya udara pada cavum
pleura dengan tidak adanya hubungan dengan lingkungan luar dikenal
dengan closed pneumotoraks. Pada saat ekspirasi, udara juga tidak
dipompakan balik secara maksimal karena elastic recoil dari kerja
alveoli tidak bekerja sempurna. Akibatnya jika proses ini semakin
berlanjut, hiperekspansi cavum pleura pada saat inspirasi menekan
mediastinal ke sisi yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak pada
paru dan cavum pleura karena luka yang bersifat katup tertutup
terjadilah penekanan vena cava, shunting udara ke paru yang sehat,
dan obstruksi jalan napas. Akibatnya dapat timbulah gejala pre-shock
atau shock oleh karena penekanan vena cava. Kejadian ini dikenal
dengan tension pneumotoraks.2

Pneumotoraks spontan sekunder (PSS). PSS terjadi karena


pecahnya bleb viseralis atau bulla subpleura dan sering berhubungan
dengan penyakit paru yang mendasarinya. Patogenesis PSS
multifaktorial, umumnya terjadi akibat komplikasi penyakit PPOK
(penyakit paru obstruktif kronik), asma, fibrosis kistik, tuberkulosis
paru, penyakit-penyakit paru infiltratif lainnya (misalnya pneumonia
supuratif dan termasuk pneumonia P. carinii). PSS umumnya lebih
serius keadaanyya daripada PSP, karena pada PSS terdapat penyakit
paru yang mendasarinya. Pneumotoraks katamenial (endometriosis
pada pleura) adalah bentuk lain dari PSS yang timbulnya berhubungan
dengan menstruasi pada wanita dan sering berulang. Artritis
rheumatoid juga dapat menyebabkan pneumotoraks spontan karena
terbentuknya nodul rheumatoid pada paru.5

2.2.6 Gambaran Klinis

8
Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah:
1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali
sesak dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita
bernapas tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka.
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan
tajam pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih
nyeri pada gerak pernapasan.
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung meningkat.
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang
kurang.
6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10%
pasien, biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.6

Pada pneumothoraks spontan timbul manifestasi klinis seperti sesak


napas, nyeri dada, batuk, denyut jantung meningkat, dan mungkin
tampak kulit mengalami sianosis.

2.2.7 Diagnosis
a. Anamnesis
 Pneumotoraks spontan biasanya muncul saat tidak sedang
beraktivitas (istirahat)
 Tanyakan pada periksa faktor risiko: perokok, usia 18-40
tahun, bertubuh tinggi dan kurus, atau kehamilan
 Riwayat penyakit paru, baik akut maupun kronis. Tanyakan
juga mengenai ada tidaknya trauma untuk menyingkirkan
diagnosis banding.
 Tanyakan mengenai sesak napas dengan riwayat nyeri dada
sebelumnya, dan batuk-batuk.
 Nyeri dada yang dirasakan bersifat tajam seperti ditusuk dan
sangat sakit. Nyeri biasanya menjalar ke pundak ipsilateral dan
memberat pada saat inspirasi (pleuritik).

9
b. Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi :
- Rongga dada lebih besar daripada biasanya atau normal,
bagian dada yang terkena tertinggal dalam gerak pernapasan
(pada saat ekspirasi).
- Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit
(hiperekspansi dinding dada)
- Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat

 Palpasi :
- Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau
melebar
- Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
- Fremitus taktil berkurang di sisi yang terkena

 Perkusi :
- Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan
tidak menggetar
- Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila
tekanan intrapleura tinggi

 Auskultasi : suara pernapasan berkurang atau menghilang


pada daerah yang terkena.

c. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Rontgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto röntgen kasus
pneumotoraks antara lain8:
a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru
yang kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru.
Kadang-kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis,
akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru.

10
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa
radio opaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini
menunjukkan kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps
paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas
yang dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat,
spatium intercostals melebar, diafragma mendatar dan
tertekan ke bawah. Apabila ada pendorongan jantung atau
trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah
terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura
yang tinggi.
d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan
terjadi keadaan sebagai berikut:
1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam
pada tepi jantung, mulai dari basis sampai ke apeks.
Hal ini terjadi apabila pecahnya fistel mengarah
mendekati hilus, sehingga udara yang dihasilkan akan
terjebak di mediastinum.
2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga
hitam dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan
kelanjutan dari pneumomediastinum. Udara yang
tadinya terjebak di mediastinum lambat laun akan
bergerak menuju daerah yang lebih tinggi, yaitu
daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak jaringan
ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila
jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat
mendesak jaringan ikat tersebut, bahkan sampai ke
daerah dada depan dan belakang.
3) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura,
maka akan tampak permukaan cairan sebagai garis
datar di atas diafragma

11
Foto Rontgen pneumotoraks (PA), bagian yang
ditunjukkan dengan anak panah merupakan bagian
paru yang kolaps.9
2. Analisa Gas Darah
Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran
hipoksemi meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak
diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang berat secara
signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.
3. CT-scan thorax
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara
emfisema bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara

12
dengan cairan intra dan ekstrapulmoner dan untuk membedakan
antara pneumotoraks spontan primer dan sekunder.

4. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi (torakoskopi) merupakan pemeriksaan
invasif, tetapi memiliki sensitivitas yang lebih besar
dibandingkan pemeriksaan CT-scanning. Menurut Swierenga
dan Vanderschueren, berdasarkan analisa dari 126 kasus pada
tahun 1990, hasil pemeriksaan endoskopi dapat dibagi menjadi
4 derajat yaitu:
Derajat I : pneumotoraks dengan gambaran paru yang
mendekati normal (40%)
Derajat II : pneumotoraks dengan perlengketan diserati
hemotorak (12%)
Derajat III : pneumotoraks dengan diameter bleb atau bulla
< 2 cm (31%)
Derajat IV : pneumotoraks dengan banyak bulla yang besar,
diameter > 2 cm (17%).

2.2.8 Penatalaksaan
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk
mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan
kecenderungan untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya, penatalaksanaan
pneumotoraks adalah sebagai berikut :

13
1. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga
pleura telah menutup, maka udara yang berada didalam rongga
pleura tersebut akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan
meningkat apabila diberikan tambahan O2. Observasi dilakukan
dalam beberapa hari dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam
pertama selama 2 hari. Tindakan ini terutama ditujukan untuk
pneumotoraks tertutup dan terbuka.9

2. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus
pneumotoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini
bertujuan untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan membuat
hubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan cara:
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga
pleura, dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga
pleura akan berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar
melalui jarum tersebut.2,4
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil:
1) Dapat memakai infus set
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam
rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada
pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air.
Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung
udara yang keluar dari ujung infus set yang berada di dalam
botol.
2) Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari
gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada
posisi yang tetap di dinding toraks sampai menembus ke
rongga pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal.
Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus
set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang
berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak

14
gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set yang
berada di dalam botol.
3) Pipa water sealed drainage (WSD)
Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke
rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan
bantuan klem penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan
melalui celah yang telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di
sela iga ke-4 pada linea mid aksilaris atau pada linea aksilaris
posterior. Selain itu dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis
mid klavikula.
Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera
dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut,
sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di rongga
pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di dada dan
pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastik lainnya.
Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol sebaiknya berada
2 cm di bawah permukaan air supaya gelembung udara dapat
dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut.
Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan
intrapleura tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan
memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cm H2O, dengan
tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah
mengembang maksimal dan tekanan intra pleura sudah
negatif kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji
coba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk
selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura kembali
menjadi positif maka pipa belum bisa dicabut. Pencabutan
WSD dilakukan pada saat pasien dalam keadaan ekspirasi
maksimal.

15
3. Torakoskopi
Torakoskopi adalah suatu tindakan untuk melihat langsung
ke dalam rongga toraks dengan alat bantu torakoskop. Torakoskopi
dilakukan pertama kali oleh Dr. Hans Christian Jacobeus dari
Stockholm Swedia pada tahun 1919, dengan menggunakan alat
sistoskop. Pada waktu itu torakoskopi dilakukan untuk memotong
adhesi pleura (pneumolisis) dan menghasilkan pneumotoraks
artificial pada penderita tuberkulosis paru oleh karena belum ada
obat antituberkulosis (Embran, 2001). Torakoskopi yang dipandu
dengan video (Video Assisted Thoracoscopy Surgery = VATS)
memberikan kenyamanan dan keamanan baik bagi operator
maupun pasiennya karena akan diperoleh lapangan pandang yang
lebih luas dan gambar yang lebih bagus.
Tindakan ini sangat efektif dalam penanganan PSP dan
mencegah berulangnya kembali. Dengan prosedur ini dapat
dilakukan reseksi bulla atau bleb dan juga bisa dilakukan untuk
pleurodesis. Tindakan ini dilakukan apabila:
 Tindakan aspirasi maupun WSD gagal
 Paru tidak mengembang setelah 3 hari pemasangan tube
torakostomi

16
 Terjadinya fistula bronkopleura
 Timbulnya kembali pneumotoraks setelah tindakan
pleurodesis
 Pada pasien yang berkaitan dengan pekerjaannya agar tidak
mudah kambuh kembali seperti pada pilot dan penyelam.
Penderita dengan luas pneumotoraks > 20% biasanya
membutuhkan waktu > 10 hari untuk berkembangnya paru
kembali.12 Pada pasien PSP sekitar 50% akan mengalami
kekambuhan. Tindakan torakoskopi atau torakostomi yang
disertai dengan abrasi pleura akan mencegah kekambuhan hampir
100%. Pada hampir semua pasien PSS akhirnya diterapi dengan
torakostomi disertai pemberian obat sklerosing. Pasien-pasien
PSP maupun PSS yang diketahui ada udara yang persisten di
rongga pleura dan parunya belum mengembang setelah 6 hari
pemasangan pipa torakostomi, maka diharuskan torakotomi
terbuka.10
Jika didapatkan adanya bleb atau bulla, maka yang bisa
dilakukan adalah :
 Lesi ukuran kecil, bleb atau bulla < 2 cm, dikoagulasi dengan
pleurodesis talk.
 Bleb atau bulla > 2 cm, reseksi torakoskopi dengan suatu alat
EndoGIA, kemudian diikuti skarifikasi (electrocoagulation)
pada pleura parietalis. Pada 43 pasien yang dikerjakan
tersebut ternyata didapatkan 15 kasus (34%) tidak dijumpai
bleb/bulla, 6 kasus (14%) hanya bleb < 2 cm, 23 kasus (52%)
dijumpai bleb/bulla > 2 cm. Pada 44 kasus tersebut, 21 kasus
(48%) dikerjakan pleurodesis talk dan 23 kasus (52%)
dikerjakan bullektomi. Hasil semua tindakan di atas sebagian
besar tanpa komplikasi.9
4. Torakotomi
Tindakan pembedahan ini indikasinya hampir sama dengan
torakoskopi. Tindakan ini dilakukan jika dengan torakoskopi gagal

17
atau jika bleb atau bulla terdapat di apek paru, maka tindakan
torakotomi ini efektif untuk reseksi bleb atau bulla tersebut.
Pengobatan Tambahan
1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan
ditujukan terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB
paru diberi OAT, terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran
napas diberi antibiotik dan bronkodilator
2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat
3. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah
dapat dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi,
seperti emfisema.10

Rehabilitasi
1. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan
pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya.
2. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau
bersin terlalu keras.
3. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif,
berilah laksan ringan.
4. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan
batuk, sesak napas.10

Menurut Asril penatalaksanaan pneumotoraks spontan dibagi dalam :

1. PSP, yang terjadi pada usia muda dengan fungsi paru normal,
maka akan sembuh sendiri. Evaluasi selanjutnya perlu berhati-
hati sampai pengembangan paru sempurna. PSP ukuran besar,
bila pada aspirasi pipa kecil tidak mengembang dalam 24-48
jam, perlu dipasang pipa interkostal besar, dengan Water Sealed
Drainage (WSD) atau pengisapan secara perlahan-lahan
memakai katup flutter (continuous suction). Bila paru sudah
mengembang, biarkan pipa rongga pleura di tempatnya dengan
diklem alirannya dan dievaluasi selama 24 jam. Apabila udara

18
masih menetap dalam rongga pleura selama 1 minggu, perlu
dilakukan torakotomi.

2. PSS, sebelum melakukan pemasangan pipa rongga pleura,


perlu diyakini lagi adanya pneumotoraks pada pasien-pasien
emfisema, karena tindakan tersebut dapat berakibat fatal.
Pengeluaran udara biasanya secara terus-menerus (continuous
suction) sampai beberapa hari hingga fistula bronkopleura
(Broncho Pleural Fistel = BPF) menghilang. Bila gagal
mengembang sempurna, dapat dipasang pipa rongga pleura
kedua dan bila gagal juga mengembang setelah 1 minggu, perlu
operasi torakotomi. Untuk mengetahui adanya BPF dapat
dilakukan cara-cara sebagai berikut:
 Mengukur PO2 dan PCO2 gas yang berpindah. Bila PO2
> 50 torr dan PCO2 < 40 torr, tersangka ada BPF persisten.
Bila PO2 < 40 torr dan PCO2 > 45 torr, BPF menghilang.
 Mengukur tekanan udara intrapleura. Pada keadaan normal
tekanan udara pada rongga pleura adalah negatif dan pada
akhir ekspirasi tekanan udaranya masih di bawah atmosfir.
Bila ada BPF artinya tekanan intrapleura pada akhir
ekspirasi sama dengan tekanan dalam alveolar yang berarti
sama dengan tekanan atmosfir.
 Mengukur jumlah udara yang dikeluarkan selama aspirasi.
Pada keadaan normal BPF negatif artinya udara yang
keluar jumlahnya terbatas, BPS positif artinya udara yang
keluar jumlahnya tidak terbatas.

2.2.9 Prognosis
Pasien dengan pneumotoraks spontan hampir separuhnya akan
mengalami kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun
setelah pemasangan tube thoracostomy. Kekambuhan jarang terjadi
pada pasien-pasien pneumotoraks yang dilakukan torakotomi terbuka.
Pasien-pasien yang penatalaksanaannya cukup baik, umumnya tidak
dijumpai komplikasi. Pasien pneumotoraks spontan sekunder

19
tergantung penyakit paru yang mendasarinya, misalkan pada pasien
PSS dengan PPOK harus lebih berhati-hati karena sangat berbahaya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax (Collapsed Lung).


http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm. Diakses tanggal 15 Mei
2018
2. Berck, M. 2010. Pneumothorax.
http://nefrologyners.com/2010/11/03/pneumothorax-1/. . Diakses tanggal 17 Mei
2018
3. Berck, M. 2010. Pneumothorax.
http://nefrologyners.com/2010/11/03/pneumothorax-2/. . Diakses tanggal 17 Mei
2018
4. Korom S, Conyurt H, Missbach A, et al. 2011. Pneumothorax.
http://www.patient.co.uk/doctor/Pneumothorax.htm. . Diakses tanggal 18 Mei 2018
5. Heffner, JE and Huggins, JT. 2004. Management of Secondary Spontaneous
Pneumthorax: Thers’s Confusion in the Air. Chest Journal; 125; 190-1192.
6. Hisyam, B. Budiono, Eko. Pneumothoraks spontan. Dalam : Sudoyo, Aru, W.
Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata. Setiati, Siti (editor).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2006. P. 1063-1068.
7. Alsagaff H, Mukty HA. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Airlangga University Press
8. Alhameed, F.M. Pneumothorax imaging. www.emedicine.com. . Diakses tanggal
20 Mei 2018
9. Ekayuda, I. Pneumotoraks. Dalam : Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI. 2005. P.119-122.
10. Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata.
Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2006. p. 1063

20
21

Вам также может понравиться