Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
1.1 Belakang
Asma adalah kelainan berupa inflamasi kronik saluran napas yang
menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang dapat
menimbulkan gejala mengi, batuk, sesak napas dan dada terasa berat terutama pada
malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa
pengobatan (Depkes RI, 2009).
Hasil penelitian International Study on Asthma and Alergies in Childhood
pada tahun 2008 menunjukkan, di Indonesia prevalensi gejala 2 penyakit asma
melonjak dari sebesar 4,2 persen menjadi 5,4 persen di jawa tengah 1,5 persen
menjadi 2,5 persen dan di surakarta meningkat dari 1,5 persen menjadi 2 persen.
Selama 20 tahun terakhir, penyakit ini cenderung meningkat dengan kasus
kematian yang diprediksi akan meningkat sebesar 20 persen hingga 10 tahun
mendatang. WHO memperkirakan di tahun 2015 terdapat 255 ribu penderita
meninggal dunia karena asma. Penyakit asma di Indonesia termasuk dalam sepuluh
besar penyakit penyebab kesakitan dan kematian. Angka kejadian asma tertinggi
dari hasil survey Riskesdas di tahun 2013 mencapai 4.5% dengan penderita
terbanyak adalah perempuan yaitu 4.6% dan laki-laki sebanyak 4.4% (Kemenkes
RI, 2014).
Serangan asma bervariasi dari ringan sampai berat bahkan dapat bersifat
fatal atau mengancam jiwa. Seringnya serangan asma menunjukkan penanganan
asma sehari-hari yang kurang tepat dengan kata lain penanganan asma ditekankan
kepada penanganan jangka panjang dengan tetap memperhatikan serangan asma
akut atau perburukan gejala dengan memberikan pengobatan yang tepat. Penilaian
berat serangan merupakan kunci pertama dalam penanganan serangan akut.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan di atas, maka tatalaksana
anestesi pada ekserbasi asma penting untuk dibahas dalam suatu kajian ilmiah
dalam bentuk laporan kasus.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari laporan kasus ini adalah agar dokter muda dapat memahami
anestesi pada pasien dengan ekserbasi asma.
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
a. Bagi Institusi
Diharapkan laporan kasus ini dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan
dan sebagai tambahan referensi dalam bidang Anestesiologi dan Terapi
Intensif terutama tentang general anesthesia dengan pemasangan ETT.
b. Bagi Akademik
Dapat dijadikan landasan untuk penulisan laporan kasus selanjutnya.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Asma adalah kelainan berupa inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan
hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang dapat menimbulkan gejala
mengi, batuk, sesak napas dan dada terasa berat terutama pada malam dan atau dini hari
yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa pengobatan.5 Menurut PDPI
(2003) menyebutkan bahwa asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang
melibatkan sel dan elemennya, di mana dapat menyebabkan peningkatan hiperesponsif
jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada
terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Gejala tersebut
berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat
reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
A. Asma alergik
Dapat disebabkan oleh alergen, misal serbuk sari, binatang, makanan dan jamur.
Kebanyakan alergen terdapat di udara dan bersifat musiman, biasanya pasienjuga
memiliki riwayat keluarga yang alergik dan riwayat medis eczema atau rhinitis alergik.
Pajanan terhadap alergen mencetuskan asma. Anak-anak dengan asma alergik sering dapat
mengatasi kondisi sampai masa remaja.
C. Asma gabungan
Merupakan bentuk asma yang paling umum. Asma ini memiliki karakteristik dari
bentuk alergik maupun idiopatik/nonalergik. Dalam Pedoman Pengendalian Penyakit
Asma oleh Depkes RI (2009) dijelaskan klasifikasi derajat asma sebagai berikut:
2.3 Gambaran Klinis
Gejala asma bersifat episodik, berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada.
Gejala biasanya timbul atau memburuk terutama malam atau dini hari 1. Setelah
pasienasma terpajan alergen penyebab maka akan timbul dispnea, pasien merasa seperti
tercekik dan harus berdiri atau duduk dan berusaha mengerahkan tenaga lebih kuat untuk
bernapas. Kesulitan utama terletak saat ekspirasi, percabangan trakeobronkial melebar dan
memanjang selama inspirasi namun sulit untuk memaksa udara keluar dari bronkiolusyang
sempit karena mengalami edemadan terisi mukus. Akan timbul mengi yang merupakan
ciri khas asma saat pasien berusaha memaksakan udara keluar. Biasanya juga diikuti batuk
produktif dengan sputum berwarna keputih-putihan.(8)Tanda selanjutnya dapat berupa
sianosis sekunder terhadap hipoksia hebat dan gejala-gejala retensi karbon dioksida
(berkeringat, takikardi dan pelebarantekanan nadi). Pada pasienasma kadang terjadi reaksi
kontinu yang lebih berat dan mengancam nyawa, dikenal dengan istilah “status asmatikus”.
Status asmatikus adalah asma yang berat dan persisten yang tidak berespon terhadap terapi
konvensional, dan serangan dapat berlangsung lebih dari 24 jam. Asma dapat bersifat
fluktuatif (hilang timbul) yang berarti dapat tenang tanpa gejala tidak mengganggu
aktivitastetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat bahkan dapat
menimbulkan kematian.(6) Gejala asma dapat diperburuk oleh keadaan lingkungan seperti
perubahan temperatur, terpapar bulu binatang, uap kimia, debu, serbuk, obat-obatan,
olahraga berat, infeksi saluran pernapasan, asap rokok dan stress.(10) Pada awal serangan
sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, pada asma alergik biasanya disertai pilek
atau bersin. Meski pada mulanya batuk tidak disertai sekret, namun dalam
perkembangannya pasienasma akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih dan
terkadang purulen. Terdapat sebagian kecil pasienasma yang hanya mengalami gejala
batuk tanpa disertai mengi, yang dikenal dengan istilah cough variant
asthma(Sundaru,2009).
2.4 Patofisiologi
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan
terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor
lingkungan dan faktor lain berperan sebagai pencetus inflamasi saluran napas pada
pasien asma (PDPI, 2003). Inflamasi saluran napas pada pasien asma merupakan hal
yang mendasari gangguan fungsi yaitu terdapatnya obstruksi saluran napas yang
menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembali secara spontan atau setelah
pengobatan (Sundaru, 2009). Obstruksi pada pasien asma dapat disebabkan oleh
kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronkus yang menyempitkan jalan napas,
pembengkakan membran yang melapisi bronkus dan pengisian bronkus dengan mukus
yang kental (Smeltzer & Bare, 2002). Asma dapat terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur
imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE yang
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase
lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk
sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah yang besar, golongan ini disebut atopi.
Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada
interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila
seseorang menghirup alergen maka akan terjadi fase sensitisasi yang menyebabkan
antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi
IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan
berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin,
leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Ini akan menimbulkan efek
edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen
bronkiolus dan spasme otot polos bronkiolus yang menyebabkan inflamasi saluran
napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15
menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons
terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos
bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan
selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi
seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel
kunci dalam patogenesis asma (Rengganis, 2008). Pada jalur saraf otonom, inhalasi
alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan
mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus,
sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan
membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh
mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa
melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut
dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf
eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan pelepasan neuropeptid sensorik
senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida
itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi
plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi (Rengganis, 2008). Sistem
saraf otonom mempersarafi paru, tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf vagal
melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik, ketika ujung saraf pada jalan napas
dirangsang oleh faktor pencetus maka akan meningkatkan pelepasan jumlah asetilkolin.
Ini menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator
kimiawi.(9)
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang pada pasien asma. Berikut adalah pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan untuk mendukung diagnosis penyakit asma(9):
1) Spirometri
Pemeriksaan spirometri selain berguna dalam menegakkan diagnosis,juga penting
untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
2) Pemeriksaan Sputum
Sputum eosinofil sangat karakterristik untuk asma sedangkan neutrofil sangat
dominan pada bronkitis kronik.
3) Pemeriksaan Eosinofil Total
Jumlah eosinofil dalam darah sering meningkat pada pasien asma dan pada hal
ini dapat membantu dalam membedakan asma dan bronchitis. Pemeriksaan ini
juga dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup tidaknya dosis
kortikosteroid yang dibutuh kan.
4) Uji Kulit
Tujuan uji kulit adalah untuk menunjukkan adanya antibody IgE spesifik dalam
tubuh. Uji ini hanya menyokong anamnesis, karena uji allergen yang positif
tidak selalu merupakan penyebab asma, demikian pula sebaliknya.
5) Foto Rontgen Dada
Pemeriksaan ini terhadap proses patologi dilakukan untuk menyingirkan
penyebab lain obstruksi saluran nafas dan adanya kecurigaan diparu atau
komlikasi asma seperti pneumothoraks, dll.
6) Analisis Gas Darah
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma yang berat. Pada fase awal serangan,
terjadi hipoxemi dan hipokapnea ( PaCO2< 35 mmHg) kemudian pada stadium
yang lebih berat PaCO2 justru mendekati normal sampai normo-kapnia.
Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadinya hiperkapnia ( PaCO2< 35
mmHg), hipoksemia dan asidosis respiratorik.
2.6 Terapi
Penilaian berat serangan merupakan kunci pertama dalam penanganan serangan akut.
pengobatan, dan berikutnya memahami tindakan apa yang sebaiknya dilakukan pada
penderita (pulang, observasi, rawat inap, intubasi, membutuhkan ventilator, ICU, dan
dicermati hanyalah bagian pengobatan tanpa memahami kapan dan bagaimana sebenarnya
Penanganan serangan yang tidak tepat antara lain penilaian berat serangan di darurat
gawat yang tidak tepat dan berakibat pada pengobatan yang tidak adekuat, memulangkan
penderita terlalu dini dari darurat gawat, pemberian pengobatan (saat pulang) yang tidak
tepat, penilaian respons pengobatan yang kurang tepat menyebabkan tindakan selanjutnya
menjadi tidak tepat. Kondisi penanganan tersebut di atas menyebabkan perburukan asma
yang menetap, menyebabkan serangan berulang dan semakin berat sehingga berisiko jatuh
pengobatan. (1,3)
Pada serangan ringan obat yang diberikan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi dapat
berbentuk IDT, lebih dianjurkan dengan spacer, DPI atau nebulisasi. IDT dengan spacer
menghasilkan efek yang sama dengan nebulisasi, mempunyai onset yang lebih cepat, efek
samping lebih minimal dan membutuhkan waktu yang lebih cepat, sehingga lebih mudah
dikerjakan di rumah maupun di darurat gawat/rumah sakit. Walaupun pada beberapa keadaan
pemberian nebulisasi lebih superior misal pada penderita asma anak. Bila di rumah tidak
tersedia obat inhalasi, dapat diberikan agonis beta-2 kerja singkat oral, atau kombinasi oral
agonis kerja singkat dan teofilin. Dosis agonis beta-2 kerja singkat, inhalasi 2-4 semprot setiap
3-4 jam, atau oral setiap 6-8 jam. Terapi tambahan tidak dibutuhkan jika pengobatan tersebut di
atas menghasilkan respons komplet (APE > 80% nilai terbaik/ prediksi) dan respons tersebut
bertahan minimal sampai 3-4 jam. Lanjutkan terapi tersebut selama 24-48 jam. Pada penderita
dalam inhalasi steroid, selain terapi agonis beta-2 , tingkatkan dosis steroid inhalasi, maksimal
sampai dengan 2 kali lipat dosis sebelumnya. Anjurkan penderita untuk mengunjungi dokter.
Bila memberikan respons komplet, pertahankan terapi tersebut sampai dengan 5-7 hari bebas
serangan, kemudian kembali kepada terapi sebelumnya. Pada serangan asma sedang -berat,
bronkodilator saja tidak cukup untuk mengatasi serangan karena tidak hanya terjadi
bronkospasme tetapi juga peningkatan inflamasi jalan napas, oleh karena itu mutlak dibutuhkan
kortikosteroid. Dengan kata lain pada keadaan tidak ada respons dengan agonis beta-2 kerja
singkat inhalasi, atau bahkan perburukan, dapat dianjurkan menggunakan kortikosteroid oral
0,5-1 mg/kgBB dalam 24 jam pertama, dan segera ke dokter.(1,3)
Berikut adalah pengobatan diberikan bersamaan untuk mempercepat resolusi serangan akut:
A. Oksigen
Pada serangan asma segera berikan oksigen untuk mencapai kadar saturasi oksigen > 90%
dan dipantau dengan oksimetri.(1,2)
B. Agonis beta-2
Dianjurkan pemberian inhalasi dengan nebuliser atau dengan IDT dan spacer yang
menghasilkan efek bronkodilatasi yang sama dengan cara nebulisasi, onset yang cepat, efek
samping lebih sedikit dan membutuhkan waktu lebih singkat dan mudah di darurat gawat.
Pemberian inhalasi ipratropium bromide kombinasi dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi
meningkatkan respons bronkodilatasi dan sebaiknya diberikan sebelum pemberian aminofilin.
Kombinasi tersebut menurunkan risiko perawatan di rumah sakit dan perbaikan faal paru (APE
dan VEP1). Alternatif pemberian adalah pemberian injeksi (subkutan atau intravena), pada
pemberian intravena harus dilakukan pemantauan ketat (bedside monitoring). Alternatif agonis
beta-2 kerja singkat injeksi adalah epinefrin (adrenalin) subkutan atau intramuskular. Bila
dibutuhkan dapat ditambahkan bronkodilator aminofilin intravena dengan dosis 5-6 mg/ kg
BB/ bolus yang diberikan dengan dilarutkan dalam larutan NaCL fisiologis 0,9% dengan
perbandingan 1:1. Pada penderita yang sedang menggunakan aminofilin 6 jam sebelumnya
maka dosis diturunkan setengahnya dan untuk mempertahankan kadar aminofilin dalam darah,
pemberian dilanjutkan secara drip dosis 0,5-0,9 mg/ kgBB/ jam. (1,3,4)
C. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik diberikan untuk mempercepat resolusi pada serangan asma derajat
manapun kecuali serangan ringan, terutama jika. (1,4)
Pemberian agonis beta-2 kerja singkat inhalasi pada pengobatan awal tidak
memberikan respons
Serangan terjadi walau penderita sedang dalam pengobatan
Serangan asma berat
Kortikosteroid sistemik dapat diberikan oral atau intravena, pemberian oral lebih
disukai karena tidak invasif dan tidak mahal. Pada penderita yang tidak dapat
bermanfaat menurunkan dosis dalam waktu terlalu singkat ataupun terlalu lama
D.Antibiotik
Tidak rutin diberikan kecuali pada keadaan disertai infeksi bakteri (pneumonia,
bronkitis akut, sinusitis) yang ditandai dengan gejala sputum purulen dan demam.
Infeksi bakteri yang sering menyertai serangan asma adalah bakteri gram positif,
dan bakteri atipik kecuali pada keadaan dicurigai ada infeksi bakteri gram negatif
dan bahkan anaerob seperti sinusitis, bronkiektasis atau penyakit paru obstruksi
kronik.(1) Antibiotik pilihan sesuai bakteri penyebab atau pengobatan empiris yang
tepat untuk gram positif dan atipik yaitu makrolid, golongan kuinolon dan
Seorang wanita 35 tahun dengan asma berat yang persisten sedang terlihat di UGD. Pada
pengakuan sebelumnya, ia membutuhkan ventilasi mekanik dan dipindahkan ke unit
perawatan intensif (ICU) untuk pengobatan eksaserbasi asma. Selama seminggu terakhir, dia
telah meningkatkan penggunaan agonis B2-nya sebagai obat penyelamatan 6 sampai 8 kali
normal, dan memiliki eksaserbasi malam hari setiap malam. Pada pemeriksaan fisik dia
mengalami distres pernapasan akut dengan pembengkakan hidung dan dada yang tenang
dengan mengi sangat jauh. ABG yang digambar pada oksigen 30% menunjukkan pH 7,35,
PAco2 42 mm Hg, PAo2 89 mmHg, dan bikarbonat (HC03) sebesar23 mEqfL. Tingkat aliran
ekspirasi puncak semua di bawah 40% dari kisaran perkiraan pasien. Tingkat pernafasannya
adalah 30 kali nafas / menit, denyut jantung adalah 110 denyut / menit dan teratur, dan
tekanan darah 150/78 mmHg dengan pulsus paradoxicus 10 mm Hg.
Apa langkah selanjutnya yang paling penting dalam pengelolaan pasien ini?
Apa pilihan perawatan lain yang harus dilakukan secara bersamaan?
Prediktor apa yang ada yang menunjukkan kemungkinan intubasi yang tinggi?
Langkah manajemen selanjutnya yang paling penting adalah intubasi introduksi cepat dan
ventilasi mechamical.
Pilihan treament lainnya yaitu dosis tinggi dan sering menggunakan aerosolized bronchodilator
dengan albuterol dan ipratropium bromide. Kortikosteroid IV dan infus magnesium harus
dimulai. MV low-volume kemungkinan ideam. sedasi untuk kecemasan dan koordinasi yang
lebih baik dengan MV harus digunakan.
Berikut prediktor kemungkinan terjadinya intubasi episode asthmatik berat yang memerlukan
MV, dada yang tenang, penggunaan agen resque, eksaserbasi malam hari dan asidosis
pernafasan.
BAB IV
PEMBAHASAN
ANALISIS
Objektif
1. Untuk memahami patofisiologi eksaserbasi asma akut.
2. Untuk menggambarkan temuan klasik dan hubungannya dengan eksaserbasi asma akut.
3. Untuk memahami pengobatan bertahap yang benar dari eksaserbasi akut asma.
DIAGNOSIS
Pasien yang datang ke UGD dengan asma harus dievaluasi dan diprioritaskan dengan
cepat untuk menilai keparahan dan kebutuhan untuk intervensi mendesak, tetapi penilaian
tidak boleh menunda pengobatan. Dokter harus mencari tanda-tanda asma yang mengancam
jiwa dan mengidentifikasi pasien berisiko tinggi (Tabel 11-1). Kondisi seperti ini biasanya
mengharuskan masuk. Perhatian harus diberikan kepada faktor-faktor yang terkait dengan
peningkatan risiko kematian akibat asma, seperti intubasi sebelumnya atau masuk ke ICU, 2
atau lebih perawatan di rumah sakit untuk asma selama setahun terakhir, status sosial ekonomi
rendah, dan berbagai penyakit bersamaan.
MANAGEMENT
Semua pasien harus diterapi dengan oksigen untuk mencapai arteri 02Sat melebihi
90%, dengan SABA terhirup, dan kortikosteroid sistemik. Ipratropium bromida dosis tinggi
yang diberikan dalam kombinasi dengan SABAs telah terbukti meningkatkan bronkodilatasi.
Pasien dengan asma berat kronis dan hiperkarbia kronis harus dipantau dengan hati-hati,
karena oksigen yang berlebihan dapat menyebabkan hiperkarbia meningkat karena
hipoventilasi. Siku kurva disosiasi oxyhemoglobin terletak pada 90% saturasi, setara dengan
PAo2 60 mm Hg.
Agen Adrenergik
SABA harus diberikan segera ke pasien dengan eksaserbasi asma. Administrasi SABA
dapat diulang hingga 3 kali setiap 20 menit melalui aerosol atau dengan pengobatan nebuliser
volume tinggi terus menerus. Penyelamatan inhaler penggunaan agen SABA seperti albuterol
adalah obat pilihan. Levalbuterol, R-isomer albuterol, efektif pada setengah dosis albuterol,
tetapi uji coba belum secara konsisten menunjukkan keunggulan dibandingkan albuterol
rasemat. Penghirupan SABA dosis tinggi secara terus menerus untuk bronkodilatasi
penyelamatan akut dengan penambahan ipratropium bromide menambah bronkodilator kerja
pendek kedua tetapi berbeda. Jika pasien membutuhkan intubasi, menggandakan dosis yang
dianjurkan dari albuterol yang dihirup dan ipratropium disarankan, karena peningkatan
deposisi obat-obatan ini di ETT. Pemberian oral atau parenteral agonis B2-adrenergik tidak
dianjurkan, dan dikaitkan dengan peningkatan frekuensi efek samping. Dalam kasus yang berat,
penggunaan parenteral dari agonis B2 seperti epinefrin (1/1000 larutan) SC dapat digunakan
dengan sebanyak 3 dosis 20 menit terpisah. Ini umumnya diperuntukkan bagi pasien yang lebih
muda dengan anafilaksis berat dengan obstruksi jalan nafas bagian atas. Brethine dalam bentuk
SC atau epinefrin IV mungkin memiliki profil efek samping yang lebih baik dalam kasus ini.
Agen antikolinergik
Jika ditambahkan ke agonis ᵝ2-adrenergik yang dihirup, ipratropium bromide
memperbaiki gejala dan fungsi paru-paru setara dengan penambahan salmeterol, agonis
B2-adrenergik hirup panjang (LABA). Pada asmatik yang kurang terkontrol, penambahan
tiotropium dalam bentuk inhaler dosis sekali sehari (MDI) lebih unggul dari penggandaan dosis
glukokortikoid inhalasi dan setara dengan penambahan salmeterol inhalasi, LABA.
Ipratropium atau tiotropium yang ditambahkan ke SABA menyebabkan efek bronkodilator
yang lebih lama dan lebih tahan lama. Penggunaan ipratropium bersama dengan SABA dalam
obstruksi aliran udara yang parah, dibandingkan dengan SABA saja, mengurangi tingkat rawat
inap sebesar 25%. Manfaat ipratropium berkelanjutan setelah rawat inap terlihat pada perokok
atau pasien dengan bronkitis kronis atau COPD.
Glukokortikoid
Kortikosteroid sistemik adalah landasan untuk pengobatan yang berhasil pada sebagian
besar individu dengan eksaserbasi asma. Penggunaannya dikaitkan dengan peningkatan fungsi
paru yang lebih cepat, lebih sedikit rawat inap, dan tingkat kekambuhan yang lebih rendah
setelah dikeluarkannya ED. Meskipun dosis kortikosteroid yang optimal tidak diketahui, uji
klinis menunjukkan tidak ada kemanjuran tambahan dalam dosis prednisolon melebihi 100 mg
/ d. Pedoman terbaru merekomendasikan penggunaan 40 hingga 80 mg prednisolon setiap hari
dalam 1 atau 2 dosis terbagi.
Antagonis Leukotrien
Efikasi antagonis leukotrien (LTA) dalam pengaturan akut tidak jelas. Mereka adalah
agen yang sangat baik dengan profil efek samping aman yang menguntungkan pada kasus
asma sedang dan ringan. Peningkatan PFT dan PEFR sebesar 20% yang merupakan respons
yang sama yang diharapkan karena ritme diurnal normal, dapat ditekankan pada penderita
asma.
Magnesium
Magnesium (Mg +) berperan dalam fungsi neuromuskular, dan lebih efektif dalam
mengurangi eksaserbasi asma parah tapi kurang begitu ringan sampai sedang. Magnesium
menurunkan penyempitan otot melalui persaingan dengan kalsium dan pra, melepaskan
pelepasan asetilkolin, sehingga menurunkan GMP siklik. Pelepasan Histamin juga berkurang.
Magnesium adalah kofaktor penting dalam banyak reaksi enzimatik dan ada bukti bahwa
magnesium IV dapat menyebabkan bronkodilatasi dan mengurangi ledakan neutrofil dari
respons inflamasi. Efek magnesium IV cepat, dalam 5 hingga 10 menit tetapi durasi kerjanya
juga singkat. Ini memiliki rasio toksik terhadap toksisitas yang sangat baik pada dosis 2 sampai
4 g per jam sebagai infus IV kontinyu, dan banyak digunakan pada penderita asma yang tidak
tahan terhadap pengobatan standar. Pada anak-anak, magnesium sulfat intravena telah terbukti
secara signifikan meningkatkan fungsi paru-paru dan mengurangi tingkat masuk rumah sakit.
Efek menguntungkan dari magnesium sulfat nebulisasi kurang dibuktikan.
Anestesi Volatile
Anestesi volatil adalah bronkodilator kuat. Uji konvensional terhadap resistensi saluran
napas menunjukkan sedikit perbedaan antara halotan, isofluran, atau enfluran (Ethrane).
Halotan muncul menjadi bronkodilator yang lebih kuat daripada isoflurane. ETI dengan
sendirinya dapat menyebabkan bronkospasme berat. Anestesi volatil berguna dalam mengobati
status asthmaticus yang parah saat pasien tidak menanggapi pengobatan konvensional.
Isoflurane mungkin merupakan pilihan yang paling tepat untuk anestesi volatil karena
pengaruh depresifnya yang minimal pada potensi kardiovaskular dan aritmogenik.
Peningkatan aliran serebral, edema serebral, dan peningkatan tekanan intrakranial dapat
dikaitkan dengan penggunaan agen volatil pada pasien hypercapnic yang mungkin telah
mengalami tingkat cedera otak hipoksia.
Eksaserbasi asthmatic yang parah tetap merupakan tantangan besar. Dokter telah terbukti
sebagai hakim yang buruk dari tingkat keparahan serangan asma, dan penting untuk
menggunakan kriteria obyektif saat menguji pasien ke tempat tidur yang tidak terpantau atau
tempat tidur ICU. SABA dan pemberian awal kortikosteroid sistemik adalah pengobatan utama
sekarang dengan manfaat tambahan dari agen antikolinergik. Bila diperlukan dukungan
ventilasi, ventilasi noninvasif dapat dicoba tapi tidak menunda intubasi dan MY. Status
asthmaticus membawa komplikasi yang signifikan, termasuk kematian.
BAB VI
SOAL DAN JAWABAN
Case I
Seorang pria berusia 45 tahun yang diintubasi karena eksaserbasi asma yang parah mulai
menunjukkan penurunan yang signifikan pada BP, RR tinggi, penurunan waktu ekspirasi, dan
peningkatan tekanan saluran napas pada orang SAYA. Kejenuhan 02 membaca 95% pada
pengaturan saat ini. Apa yang harus dilakukan untuk mengesampingkan PEEP otomatis
sebagai penyebab kemerosotan?
A. Lakukan stat darah gas darah pada pengaturan ventilator saat ini.
B. Putuskan pasien dari ventilator dan lihat apakah ada perbaikan yang cepat.
C. Lakukan radiografi dada stat.
D. Mulailah penggunaan campuran heliox. Anton humu
Jawab:
11.1 B. SABA yang dihirup harus segera diberikan saat pasien penderita asma hadir dengan
eksaserbasi. SABA dapat diulang setiap 20 menit atau digunakan sebagai pengobatan nebulizer
berkelanjutan bervolume tinggi. SABA seperti albuterol adalah obat pilihan pertama untuk
menghilangkan bronkokonstriksi. Levalbuterol, R-enansiomer albuterol, efektif pada dosis
setengah albuterol; uji coba belum secara konsisten menunjukkan keuntungan klinis
levalbuterol dibandingkan albuterol rasemat. Inhalasi inhalasi dosis tinggi SABAs dan
ipratropium bromide merupakan kombinasi pengobatan yang sangat baik sebagai
bronkodilator penyelamatan akut.
Case II
Seorang wanita berusia 22 tahun hadir dengan eksaserbasi asma parah dan gangguan
pernafasan. Manakah dari berikut ini yang akan menjadi langkah pertama yang paling penting
dalam perawatannya?
A. Kombinasi ICS dan agonis inhalasi 2-adrenergik yang berlangsung lama (LABA)
B. Kortikosteroid intravena (IV)
C. Campuran Heliox
D. infus magnesium
E. Terapi SABA inhalasi
Jawab:
11.2 E. SABA yang dihirup harus segera diberikan saat pasien penderita asma hadir dengan
eksaserbasi. SABA dapat diulang setiap 20 menit atau digunakan sebagai pengobatan nebulizer
berkelanjutan bervolume tinggi. SABA seperti albuterol adalah obat pilihan pertama untuk
menghilangkan bronkokonstriksi. Levalbuterol, R-enansiomer albuterol, efektif pada dosis
setengah albuterol; uji coba belum secara konsisten menunjukkan keuntungan klinis
levalbuterol dibandingkan albuterol rasemat. Inhalasi inhalasi dosis tinggi SABAs dan
ipratropium bromide merupakan kombinasi pengobatan yang sangat baik sebagai
bronkodilator penyelamatan akut.
DAFTAR ISI
3. Supriyatno B. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada Anak. Maj Kedokt
Indon 2005;55(3):237-43.
7. Smeltzer., Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth Vol 2.
Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta.
10. Global Initiative for Asthma (GINA)., 2012. At-A-Glance Asthma Management
Reference.