Вы находитесь на странице: 1из 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Belakang
Asma adalah kelainan berupa inflamasi kronik saluran napas yang
menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang dapat
menimbulkan gejala mengi, batuk, sesak napas dan dada terasa berat terutama pada
malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa
pengobatan (Depkes RI, 2009).
Hasil penelitian International Study on Asthma and Alergies in Childhood
pada tahun 2008 menunjukkan, di Indonesia prevalensi gejala 2 penyakit asma
melonjak dari sebesar 4,2 persen menjadi 5,4 persen di jawa tengah 1,5 persen
menjadi 2,5 persen dan di surakarta meningkat dari 1,5 persen menjadi 2 persen.
Selama 20 tahun terakhir, penyakit ini cenderung meningkat dengan kasus
kematian yang diprediksi akan meningkat sebesar 20 persen hingga 10 tahun
mendatang. WHO memperkirakan di tahun 2015 terdapat 255 ribu penderita
meninggal dunia karena asma. Penyakit asma di Indonesia termasuk dalam sepuluh
besar penyakit penyebab kesakitan dan kematian. Angka kejadian asma tertinggi
dari hasil survey Riskesdas di tahun 2013 mencapai 4.5% dengan penderita
terbanyak adalah perempuan yaitu 4.6% dan laki-laki sebanyak 4.4% (Kemenkes
RI, 2014).
Serangan asma bervariasi dari ringan sampai berat bahkan dapat bersifat
fatal atau mengancam jiwa. Seringnya serangan asma menunjukkan penanganan
asma sehari-hari yang kurang tepat dengan kata lain penanganan asma ditekankan
kepada penanganan jangka panjang dengan tetap memperhatikan serangan asma
akut atau perburukan gejala dengan memberikan pengobatan yang tepat. Penilaian
berat serangan merupakan kunci pertama dalam penanganan serangan akut.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan di atas, maka tatalaksana
anestesi pada ekserbasi asma penting untuk dibahas dalam suatu kajian ilmiah
dalam bentuk laporan kasus.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari laporan kasus ini adalah agar dokter muda dapat memahami
anestesi pada pasien dengan ekserbasi asma.
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
a. Bagi Institusi
Diharapkan laporan kasus ini dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan
dan sebagai tambahan referensi dalam bidang Anestesiologi dan Terapi
Intensif terutama tentang general anesthesia dengan pemasangan ETT.
b. Bagi Akademik
Dapat dijadikan landasan untuk penulisan laporan kasus selanjutnya.

1.3.2 Manfaat Praktis


Diharapkan agar dokter muda dapat mengaplikasikan laporan kasus ini
dalam kegiatan kepaniteraan klinik senior (KKS) dan dapat diterapkan di
kemudian hari dalam praktik klinik.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Asma adalah kelainan berupa inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan
hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang dapat menimbulkan gejala
mengi, batuk, sesak napas dan dada terasa berat terutama pada malam dan atau dini hari
yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa pengobatan.5 Menurut PDPI
(2003) menyebutkan bahwa asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang
melibatkan sel dan elemennya, di mana dapat menyebabkan peningkatan hiperesponsif
jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada
terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Gejala tersebut
berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat
reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

2.2 Klasifikasi Asma

Terdapat jenis-jenis asma menurut Smeltzer & Bare (2002) yaitu:

A. Asma alergik
Dapat disebabkan oleh alergen, misal serbuk sari, binatang, makanan dan jamur.
Kebanyakan alergen terdapat di udara dan bersifat musiman, biasanya pasienjuga
memiliki riwayat keluarga yang alergik dan riwayat medis eczema atau rhinitis alergik.
Pajanan terhadap alergen mencetuskan asma. Anak-anak dengan asma alergik sering dapat
mengatasi kondisi sampai masa remaja.

B. Asma idiopatikatau nonalergik


Jenis asma ini tidak berhubungan dengan alergen spesifik. Faktor seperti common
cold infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi dan polutan lingkungan dapat
mencetuskan serangan. Selain itu beberapa agen farmakologi juga dapat menjadi faktor
seperti aspirin dan agen antiinflamasi nonsteroid lain, pewarna rambut, antagonis
beta-adrenergik dan pengawet makanan. Serangan pada asma ini menjadi lebih berat dan
sering, kemudian dapat berkembang menjadi bronkitis kronis dan emfisema.

C. Asma gabungan
Merupakan bentuk asma yang paling umum. Asma ini memiliki karakteristik dari
bentuk alergik maupun idiopatik/nonalergik. Dalam Pedoman Pengendalian Penyakit
Asma oleh Depkes RI (2009) dijelaskan klasifikasi derajat asma sebagai berikut:
2.3 Gambaran Klinis

Gejala asma bersifat episodik, berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada.
Gejala biasanya timbul atau memburuk terutama malam atau dini hari 1. Setelah
pasienasma terpajan alergen penyebab maka akan timbul dispnea, pasien merasa seperti
tercekik dan harus berdiri atau duduk dan berusaha mengerahkan tenaga lebih kuat untuk
bernapas. Kesulitan utama terletak saat ekspirasi, percabangan trakeobronkial melebar dan
memanjang selama inspirasi namun sulit untuk memaksa udara keluar dari bronkiolusyang
sempit karena mengalami edemadan terisi mukus. Akan timbul mengi yang merupakan
ciri khas asma saat pasien berusaha memaksakan udara keluar. Biasanya juga diikuti batuk
produktif dengan sputum berwarna keputih-putihan.(8)Tanda selanjutnya dapat berupa
sianosis sekunder terhadap hipoksia hebat dan gejala-gejala retensi karbon dioksida
(berkeringat, takikardi dan pelebarantekanan nadi). Pada pasienasma kadang terjadi reaksi
kontinu yang lebih berat dan mengancam nyawa, dikenal dengan istilah “status asmatikus”.
Status asmatikus adalah asma yang berat dan persisten yang tidak berespon terhadap terapi
konvensional, dan serangan dapat berlangsung lebih dari 24 jam. Asma dapat bersifat
fluktuatif (hilang timbul) yang berarti dapat tenang tanpa gejala tidak mengganggu
aktivitastetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat bahkan dapat
menimbulkan kematian.(6) Gejala asma dapat diperburuk oleh keadaan lingkungan seperti
perubahan temperatur, terpapar bulu binatang, uap kimia, debu, serbuk, obat-obatan,
olahraga berat, infeksi saluran pernapasan, asap rokok dan stress.(10) Pada awal serangan
sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, pada asma alergik biasanya disertai pilek
atau bersin. Meski pada mulanya batuk tidak disertai sekret, namun dalam
perkembangannya pasienasma akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih dan
terkadang purulen. Terdapat sebagian kecil pasienasma yang hanya mengalami gejala
batuk tanpa disertai mengi, yang dikenal dengan istilah cough variant
asthma(Sundaru,2009).

2.4 Patofisiologi
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan
terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor
lingkungan dan faktor lain berperan sebagai pencetus inflamasi saluran napas pada
pasien asma (PDPI, 2003). Inflamasi saluran napas pada pasien asma merupakan hal
yang mendasari gangguan fungsi yaitu terdapatnya obstruksi saluran napas yang
menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembali secara spontan atau setelah
pengobatan (Sundaru, 2009). Obstruksi pada pasien asma dapat disebabkan oleh
kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronkus yang menyempitkan jalan napas,
pembengkakan membran yang melapisi bronkus dan pengisian bronkus dengan mukus
yang kental (Smeltzer & Bare, 2002). Asma dapat terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur
imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE yang
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase
lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk
sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah yang besar, golongan ini disebut atopi.
Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada
interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila
seseorang menghirup alergen maka akan terjadi fase sensitisasi yang menyebabkan
antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi
IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan
berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin,
leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Ini akan menimbulkan efek
edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen
bronkiolus dan spasme otot polos bronkiolus yang menyebabkan inflamasi saluran
napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15
menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons
terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos
bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan
selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi
seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel
kunci dalam patogenesis asma (Rengganis, 2008). Pada jalur saraf otonom, inhalasi
alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan
mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus,
sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan
membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh
mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa
melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut
dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf
eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan pelepasan neuropeptid sensorik
senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida
itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi
plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi (Rengganis, 2008). Sistem
saraf otonom mempersarafi paru, tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf vagal
melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik, ketika ujung saraf pada jalan napas
dirangsang oleh faktor pencetus maka akan meningkatkan pelepasan jumlah asetilkolin.
Ini menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator
kimiawi.(9)

2.5 Pemeriksaan Penunjang

Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang pada pasien asma. Berikut adalah pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan untuk mendukung diagnosis penyakit asma(9):

1) Spirometri
Pemeriksaan spirometri selain berguna dalam menegakkan diagnosis,juga penting
untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
2) Pemeriksaan Sputum
Sputum eosinofil sangat karakterristik untuk asma sedangkan neutrofil sangat
dominan pada bronkitis kronik.
3) Pemeriksaan Eosinofil Total
Jumlah eosinofil dalam darah sering meningkat pada pasien asma dan pada hal
ini dapat membantu dalam membedakan asma dan bronchitis. Pemeriksaan ini
juga dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup tidaknya dosis
kortikosteroid yang dibutuh kan.
4) Uji Kulit
Tujuan uji kulit adalah untuk menunjukkan adanya antibody IgE spesifik dalam
tubuh. Uji ini hanya menyokong anamnesis, karena uji allergen yang positif
tidak selalu merupakan penyebab asma, demikian pula sebaliknya.
5) Foto Rontgen Dada
Pemeriksaan ini terhadap proses patologi dilakukan untuk menyingirkan
penyebab lain obstruksi saluran nafas dan adanya kecurigaan diparu atau
komlikasi asma seperti pneumothoraks, dll.
6) Analisis Gas Darah
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma yang berat. Pada fase awal serangan,
terjadi hipoxemi dan hipokapnea ( PaCO2< 35 mmHg) kemudian pada stadium
yang lebih berat PaCO2 justru mendekati normal sampai normo-kapnia.
Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadinya hiperkapnia ( PaCO2< 35
mmHg), hipoksemia dan asidosis respiratorik.

2.6 Terapi
Penilaian berat serangan merupakan kunci pertama dalam penanganan serangan akut.

Langkah berikutnya adalah memberikan pengobatan tepat, selanjutnya menilai respons

pengobatan, dan berikutnya memahami tindakan apa yang sebaiknya dilakukan pada

penderita (pulang, observasi, rawat inap, intubasi, membutuhkan ventilator, ICU, dan

lain-lain) Langkah-langkah tersebut mutlak dilakukan, sayangnya seringkali yang

dicermati hanyalah bagian pengobatan tanpa memahami kapan dan bagaimana sebenarnya

penanganan serangan asma.(1,2)

Penanganan serangan yang tidak tepat antara lain penilaian berat serangan di darurat

gawat yang tidak tepat dan berakibat pada pengobatan yang tidak adekuat, memulangkan

penderita terlalu dini dari darurat gawat, pemberian pengobatan (saat pulang) yang tidak

tepat, penilaian respons pengobatan yang kurang tepat menyebabkan tindakan selanjutnya

menjadi tidak tepat. Kondisi penanganan tersebut di atas menyebabkan perburukan asma

yang menetap, menyebabkan serangan berulang dan semakin berat sehingga berisiko jatuh

dalam keadaan asma akut berat bahkan fatal. (1,2)


Tabel berikut ini adalah rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan dan tempat

pengobatan. (1,3)

Pada serangan ringan obat yang diberikan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi dapat
berbentuk IDT, lebih dianjurkan dengan spacer, DPI atau nebulisasi. IDT dengan spacer
menghasilkan efek yang sama dengan nebulisasi, mempunyai onset yang lebih cepat, efek
samping lebih minimal dan membutuhkan waktu yang lebih cepat, sehingga lebih mudah
dikerjakan di rumah maupun di darurat gawat/rumah sakit. Walaupun pada beberapa keadaan
pemberian nebulisasi lebih superior misal pada penderita asma anak. Bila di rumah tidak
tersedia obat inhalasi, dapat diberikan agonis beta-2 kerja singkat oral, atau kombinasi oral
agonis kerja singkat dan teofilin. Dosis agonis beta-2 kerja singkat, inhalasi 2-4 semprot setiap
3-4 jam, atau oral setiap 6-8 jam. Terapi tambahan tidak dibutuhkan jika pengobatan tersebut di
atas menghasilkan respons komplet (APE > 80% nilai terbaik/ prediksi) dan respons tersebut
bertahan minimal sampai 3-4 jam. Lanjutkan terapi tersebut selama 24-48 jam. Pada penderita
dalam inhalasi steroid, selain terapi agonis beta-2 , tingkatkan dosis steroid inhalasi, maksimal
sampai dengan 2 kali lipat dosis sebelumnya. Anjurkan penderita untuk mengunjungi dokter.
Bila memberikan respons komplet, pertahankan terapi tersebut sampai dengan 5-7 hari bebas
serangan, kemudian kembali kepada terapi sebelumnya. Pada serangan asma sedang -berat,
bronkodilator saja tidak cukup untuk mengatasi serangan karena tidak hanya terjadi
bronkospasme tetapi juga peningkatan inflamasi jalan napas, oleh karena itu mutlak dibutuhkan
kortikosteroid. Dengan kata lain pada keadaan tidak ada respons dengan agonis beta-2 kerja
singkat inhalasi, atau bahkan perburukan, dapat dianjurkan menggunakan kortikosteroid oral
0,5-1 mg/kgBB dalam 24 jam pertama, dan segera ke dokter.(1,3)

Berikut adalah pengobatan diberikan bersamaan untuk mempercepat resolusi serangan akut:

A. Oksigen

Pada serangan asma segera berikan oksigen untuk mencapai kadar saturasi oksigen > 90%
dan dipantau dengan oksimetri.(1,2)

B. Agonis beta-2

Dianjurkan pemberian inhalasi dengan nebuliser atau dengan IDT dan spacer yang
menghasilkan efek bronkodilatasi yang sama dengan cara nebulisasi, onset yang cepat, efek
samping lebih sedikit dan membutuhkan waktu lebih singkat dan mudah di darurat gawat.
Pemberian inhalasi ipratropium bromide kombinasi dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi
meningkatkan respons bronkodilatasi dan sebaiknya diberikan sebelum pemberian aminofilin.
Kombinasi tersebut menurunkan risiko perawatan di rumah sakit dan perbaikan faal paru (APE
dan VEP1). Alternatif pemberian adalah pemberian injeksi (subkutan atau intravena), pada
pemberian intravena harus dilakukan pemantauan ketat (bedside monitoring). Alternatif agonis
beta-2 kerja singkat injeksi adalah epinefrin (adrenalin) subkutan atau intramuskular. Bila
dibutuhkan dapat ditambahkan bronkodilator aminofilin intravena dengan dosis 5-6 mg/ kg
BB/ bolus yang diberikan dengan dilarutkan dalam larutan NaCL fisiologis 0,9% dengan
perbandingan 1:1. Pada penderita yang sedang menggunakan aminofilin 6 jam sebelumnya
maka dosis diturunkan setengahnya dan untuk mempertahankan kadar aminofilin dalam darah,
pemberian dilanjutkan secara drip dosis 0,5-0,9 mg/ kgBB/ jam. (1,3,4)

C. Kortikosteroid

Kortikosteroid sistemik diberikan untuk mempercepat resolusi pada serangan asma derajat
manapun kecuali serangan ringan, terutama jika. (1,4)

 Pemberian agonis beta-2 kerja singkat inhalasi pada pengobatan awal tidak
memberikan respons
 Serangan terjadi walau penderita sedang dalam pengobatan
 Serangan asma berat
Kortikosteroid sistemik dapat diberikan oral atau intravena, pemberian oral lebih

disukai karena tidak invasif dan tidak mahal. Pada penderita yang tidak dapat

diberikan oral karena gangguan absorpsi gastrointestinal atau lainnya maka

dianjurkan pemberian intravena.Kortikosteroid sistemik membutuhkan paling tidak

4 jam untuk tercapai perbaikan klinis. Penelitian menunjukkan Kortikosteroid

sistemik metilprednisolon 60-80 mg atau 300-400 mg hidrokortison atau

ekivalennya adalah adekuat untuk penderita dalam perawatan. Bahkan 40 mg

metilprednisolon atau 200 mg hidrokortison sudah adekuat. Kortikosteroid oral

(prednison) dapat dilanjutkan sampai 10-14 hari. Pengamatan menunjukkan tidak

bermanfaat menurunkan dosis dalam waktu terlalu singkat ataupun terlalu lama

sampai beberapa minggu .(1,4)

D.Antibiotik

Tidak rutin diberikan kecuali pada keadaan disertai infeksi bakteri (pneumonia,

bronkitis akut, sinusitis) yang ditandai dengan gejala sputum purulen dan demam.

Infeksi bakteri yang sering menyertai serangan asma adalah bakteri gram positif,

dan bakteri atipik kecuali pada keadaan dicurigai ada infeksi bakteri gram negatif

dan bahkan anaerob seperti sinusitis, bronkiektasis atau penyakit paru obstruksi

kronik.(1) Antibiotik pilihan sesuai bakteri penyebab atau pengobatan empiris yang

tepat untuk gram positif dan atipik yaitu makrolid, golongan kuinolon dan

alternatifnya yaitu amoksisilin/ amoksisilin dengan asam klavulanat (1,3).


Berikut ini adalah tabel dan sediaan beberapa obat saat eksaserbasi. (1,3,4)
BAB III
LAPORAN KASUS

Seorang wanita 35 tahun dengan asma berat yang persisten sedang terlihat di UGD. Pada
pengakuan sebelumnya, ia membutuhkan ventilasi mekanik dan dipindahkan ke unit
perawatan intensif (ICU) untuk pengobatan eksaserbasi asma. Selama seminggu terakhir, dia
telah meningkatkan penggunaan agonis B2-nya sebagai obat penyelamatan 6 sampai 8 kali
normal, dan memiliki eksaserbasi malam hari setiap malam. Pada pemeriksaan fisik dia
mengalami distres pernapasan akut dengan pembengkakan hidung dan dada yang tenang
dengan mengi sangat jauh. ABG yang digambar pada oksigen 30% menunjukkan pH 7,35,
PAco2 42 mm Hg, PAo2 89 mmHg, dan bikarbonat (HC03) sebesar23 mEqfL. Tingkat aliran
ekspirasi puncak semua di bawah 40% dari kisaran perkiraan pasien. Tingkat pernafasannya
adalah 30 kali nafas / menit, denyut jantung adalah 110 denyut / menit dan teratur, dan
tekanan darah 150/78 mmHg dengan pulsus paradoxicus 10 mm Hg.

 Apa langkah selanjutnya yang paling penting dalam pengelolaan pasien ini?
 Apa pilihan perawatan lain yang harus dilakukan secara bersamaan?
 Prediktor apa yang ada yang menunjukkan kemungkinan intubasi yang tinggi?

Langkah manajemen selanjutnya yang paling penting adalah intubasi introduksi cepat dan
ventilasi mechamical.

Pilihan treament lainnya yaitu dosis tinggi dan sering menggunakan aerosolized bronchodilator
dengan albuterol dan ipratropium bromide. Kortikosteroid IV dan infus magnesium harus
dimulai. MV low-volume kemungkinan ideam. sedasi untuk kecemasan dan koordinasi yang
lebih baik dengan MV harus digunakan.

Berikut prediktor kemungkinan terjadinya intubasi episode asthmatik berat yang memerlukan
MV, dada yang tenang, penggunaan agen resque, eksaserbasi malam hari dan asidosis
pernafasan.
BAB IV
PEMBAHASAN

ANALISIS
Objektif
1. Untuk memahami patofisiologi eksaserbasi asma akut.
2. Untuk menggambarkan temuan klasik dan hubungannya dengan eksaserbasi asma akut.
3. Untuk memahami pengobatan bertahap yang benar dari eksaserbasi akut asma.

Pertimbangan Pasien berada dalam status asthmaticus dengan kegagalan pernafasan


hypercarbic. Dia memiliki riwayat episode asma yang parah membutuhkan endotrakeal tube
(ETT) dan MV. RSI dengan MV untuk menghilangkan insufisiensi pernapasan ditunjukkan.
ETT besar-borok ( 8 mm) harus digunakan untuk memfasilitasi penyedotan sekresi dan
menurunkan resistensi aliran udara selama MV pasien asma. Agen bronkodilator,
kortikosteroid, dan magnesium sulfat harus segera dimulai. NIV akan berguna pada pasien
yang lebih stabil, dan kemungkinan tidak efektif pada pasien ini.

PENDEKATAN KE PASIEN ASMA PASIEN ASMA


Untuk asma refrakter berkisar dari 2% hingga 20%, sedikit terpengaruh oleh kepatuhan
terhadap protokol praktik terbaik. Ketika terapi protokol digunakan, penerimaan ICU turun
sebesar 41%; Sebaliknya, ketika sekelompok dokter baru mengambil tanggung jawab untuk
DE, penerimaan biasanya meningkat. Bronkodilatasi agresif dengan inhalasi short-acting
2-adrenergic agonists (SABA) seperti albuterol dan baru-baru ini penambahan ipratropium
bromide baik dalam bentuk aerosol yang bervolume tinggi atau melalui terapi aerosol yang
sering ditunjukkan. Kortikosteroid IV untuk menghilangkan peradangan dan bronkodilatasi
juga digunakan. Steroid meningkatkan jumlah situs reseptor 2 yang tersedia, sehingga
meningkatkan efektivitas 2 agonis dan menghindari tachyphylaxis ke agen-agen ini. Perawatan
aerosol pada pasien intubasi harus dua kali lipat jumlah yang biasanya direkomendasikan; ini
mengatasi peningkatan deposisi di ETI. Sedasi dengan IV propofol menambah kenyamanan
pasien dan mengurangi tekanan yang diperlukan untuk secara efektif ventilasi mekanis.
Propofol menyebabkan relaksasi otot-otot pernapasan, meningkatkan kepatuhan dinding dada;
itu juga menurunkan curah jantung dan menyebabkan vasodilatasi, yang dapat menurunkan
tekanan darah. Ini membutuhkan peningkatan pemberian cairan. Penggunaan tekanan aman
untuk MV mungkin memerlukan penerimaan hiperkapnia pasif. Sedasi membantu pasien
menoleransi perasaan PAC02 yang meningkat • Sulfat magnesium intravena juga dapat
membantu kekuatan otot pernafasan. Perhatian yang cermat terhadap MV dan ventilasi pasien
dengan tekanan saluran udara paling aman diperlukan untuk menghindari barotrauma dan
pneumotoraks. Volume MV rendah dengan volume tidal (V) 6 hingga 8 mL / kg berat badan
ideal diperlukan untuk menghindari tekanan tinggi yang tidak aman. PH harus dipertahankan
di atas 7.20 tanpa memandang tingkat PAC02 selama tidak ada hipoksia. Secara keseluruhan,
tingkat prevalensi asma nasional adalah 10%, dan telah meningkat sebesar 61% dalam 20 tahun
terakhir. Pasien cenderung mengalami eksaserbasi berat dari berbagai sumber: alergen,
olahraga, infeksi (baik virus dan bakteri), udara dingin, stres emosional, gastroesophageal
reflux (GERD), sinusitis, dan post nasal drip. Penyebab asma yang mendasarinya masih belum
diketahui. Asma menyumbang sekitar 2 juta kunjungan ED, 500.000 penerimaan, dan 5000
kematian per tahun di Amerika Serikat dan merupakan penyebab utama ketiga yang dapat
dicegah. Asma bertanggung jawab atas 10 juta hari sekolah yang hilang setiap tahun dengan
biaya> $ 12 miliar / tahun.
Kematian akibat asma tidak menurun selama 20 tahun terakhir bahkan dengan
kemajuan dalam pengobatan. Proses inflamasi menyebabkan obstruksi jalan napas,
peningkatan produksi lendir, dan hipertrofi otot polos; perubahan ini menyebabkan
penyempitan saluran napas dan obstruksi aliran udara selama fase ekspirasi. Jika tidak
terkontrol, remodeling jalan nafas dan penyumbatan saluran napas ireversibel berkembang.
Tahap awal dan akhir dari respons alergi berkontribusi terhadap peradangan saluran napas dan
peningkatan produksi lendir. Respon awal, terjadi dalam waktu 1 jam setelah paparan alergen,
ditandai dengan histamin dan mediator lain yang dilepaskan dan gejala alergi seperti bersin,
mata gatal, dan hidung meler, dan gejala pernafasan seperti mengi, batuk, dan sesak napas.
Respon fase akhir, terjadi 3 sampai 10 jam setelah terpapar, dapat berlangsung selama 24 jam,
dan memperpanjang serangan asma dan menyebabkan kemacetan dan pembengkakan yang
lebih parah.

DIAGNOSIS
Pasien yang datang ke UGD dengan asma harus dievaluasi dan diprioritaskan dengan
cepat untuk menilai keparahan dan kebutuhan untuk intervensi mendesak, tetapi penilaian
tidak boleh menunda pengobatan. Dokter harus mencari tanda-tanda asma yang mengancam
jiwa dan mengidentifikasi pasien berisiko tinggi (Tabel 11-1). Kondisi seperti ini biasanya
mengharuskan masuk. Perhatian harus diberikan kepada faktor-faktor yang terkait dengan
peningkatan risiko kematian akibat asma, seperti intubasi sebelumnya atau masuk ke ICU, 2
atau lebih perawatan di rumah sakit untuk asma selama setahun terakhir, status sosial ekonomi
rendah, dan berbagai penyakit bersamaan.
MANAGEMENT
Semua pasien harus diterapi dengan oksigen untuk mencapai arteri 02Sat melebihi
90%, dengan SABA terhirup, dan kortikosteroid sistemik. Ipratropium bromida dosis tinggi
yang diberikan dalam kombinasi dengan SABAs telah terbukti meningkatkan bronkodilatasi.

Oksigen, Udara Tekan, dan Heliox Oksigen harus diberikan.


FAKTOR BERISIKO TINGGI PADA EKSERBASI ASMA

• Perubahan status mental (AMS)


• Gerakan dada atau perut yang paradoks
• Tidak adanya dada yang mengi atau sepi
• Intubasi sebelumnya atau penerimaan sebelumnya ke unit perawatan intensif (ICU)
• Terlalu banyak menggunakan agen penyelamatan
• Sering terbangun dan eksaserbasi malam hari
• Frekuensi darurat yang tinggi kunjungan departemen (ED)
• Kondisi komorbidif seperti gagal jantung kongestif (CHF), penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK). penyakit arteri koroner (CAD)
• Kunjungan kedua ke ED pada hari yang sama

Pasien dengan asma berat kronis dan hiperkarbia kronis harus dipantau dengan hati-hati,
karena oksigen yang berlebihan dapat menyebabkan hiperkarbia meningkat karena
hipoventilasi. Siku kurva disosiasi oxyhemoglobin terletak pada 90% saturasi, setara dengan
PAo2 60 mm Hg.

FAKTOR BERISIKO TINGGI PADA EKSERBASI ASMA

• Perubahan status mental (AMS)


• Gerakan dada atau perut yang paradoks
• Tidak adanya dada yang mengi atau sepi
• Intubasi sebelumnya atau penerimaan sebelumnya ke unit perawatan intensif (ICU)
• Terlalu banyak menggunakan agen penyelamatan
• Sering terbangun dan eksaserbasi malam hari
• Frekuensi darurat yang tinggi kunjungan departemen (ED)
• Kondisi komorbidif seperti gagal jantung kongestif (CHF), penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK). penyakit arteri koroner (CAD)
• Kunjungan kedua ke ED pada hari yang sama
Penurunan kecil di bawah titik ini menyebabkan turunnya oksigen secara dramatis. PEEP,
yang sudah meningkat secara intrinsik karena berkurangnya waktu ekspirasi, sebaiknya
dihindari. Penggunaan oksigen inspirasi 100% (Fro2) tidak jarang. Oksigen dapat menjadi
racun dan merupakan agen pengoksidasi yang ampuh bila digunakan pada konsentrasi tinggi
dalam jangka waktu yang lama. Heliox, yang merupakan campuran helium dan oksigen dengan
kepadatan sekitar sepertiga dari udara, mengurangi hambatan aliran udara di pohon bronkial di
mana aliran turbulen mendominasi. Heliox mengurangi hambatan aliran udara, memudahkan
kerja pernapasan, dan meningkatkan pengiriman obat-obatan aerosol. Campuran heliox dapat
digunakan dalam kasus yang parah. Karena helium menempati sebagian volume yang diilhami,
semakin tinggi persentase helium yang digunakan, semakin rendah Fro2 maksimum yang
dapat dicapai. Peran magnesium sulfat magnesium dan heliox kontroversial. Manfaat utama
dalam penggunaannya mungkin menghindari kebutuhan untuk intubasi.

Agen Adrenergik
SABA harus diberikan segera ke pasien dengan eksaserbasi asma. Administrasi SABA
dapat diulang hingga 3 kali setiap 20 menit melalui aerosol atau dengan pengobatan nebuliser
volume tinggi terus menerus. Penyelamatan inhaler penggunaan agen SABA seperti albuterol
adalah obat pilihan. Levalbuterol, R-isomer albuterol, efektif pada setengah dosis albuterol,
tetapi uji coba belum secara konsisten menunjukkan keunggulan dibandingkan albuterol
rasemat. Penghirupan SABA dosis tinggi secara terus menerus untuk bronkodilatasi
penyelamatan akut dengan penambahan ipratropium bromide menambah bronkodilator kerja
pendek kedua tetapi berbeda. Jika pasien membutuhkan intubasi, menggandakan dosis yang
dianjurkan dari albuterol yang dihirup dan ipratropium disarankan, karena peningkatan
deposisi obat-obatan ini di ETT. Pemberian oral atau parenteral agonis B2-adrenergik tidak
dianjurkan, dan dikaitkan dengan peningkatan frekuensi efek samping. Dalam kasus yang berat,
penggunaan parenteral dari agonis B2 seperti epinefrin (1/1000 larutan) SC dapat digunakan
dengan sebanyak 3 dosis 20 menit terpisah. Ini umumnya diperuntukkan bagi pasien yang lebih
muda dengan anafilaksis berat dengan obstruksi jalan nafas bagian atas. Brethine dalam bentuk
SC atau epinefrin IV mungkin memiliki profil efek samping yang lebih baik dalam kasus ini.

Agen antikolinergik
Jika ditambahkan ke agonis ᵝ2-adrenergik yang dihirup, ipratropium bromide
memperbaiki gejala dan fungsi paru-paru setara dengan penambahan salmeterol, agonis
B2-adrenergik hirup panjang (LABA). Pada asmatik yang kurang terkontrol, penambahan
tiotropium dalam bentuk inhaler dosis sekali sehari (MDI) lebih unggul dari penggandaan dosis
glukokortikoid inhalasi dan setara dengan penambahan salmeterol inhalasi, LABA.
Ipratropium atau tiotropium yang ditambahkan ke SABA menyebabkan efek bronkodilator
yang lebih lama dan lebih tahan lama. Penggunaan ipratropium bersama dengan SABA dalam
obstruksi aliran udara yang parah, dibandingkan dengan SABA saja, mengurangi tingkat rawat
inap sebesar 25%. Manfaat ipratropium berkelanjutan setelah rawat inap terlihat pada perokok
atau pasien dengan bronkitis kronis atau COPD.

Glukokortikoid
Kortikosteroid sistemik adalah landasan untuk pengobatan yang berhasil pada sebagian
besar individu dengan eksaserbasi asma. Penggunaannya dikaitkan dengan peningkatan fungsi
paru yang lebih cepat, lebih sedikit rawat inap, dan tingkat kekambuhan yang lebih rendah
setelah dikeluarkannya ED. Meskipun dosis kortikosteroid yang optimal tidak diketahui, uji
klinis menunjukkan tidak ada kemanjuran tambahan dalam dosis prednisolon melebihi 100 mg
/ d. Pedoman terbaru merekomendasikan penggunaan 40 hingga 80 mg prednisolon setiap hari
dalam 1 atau 2 dosis terbagi.

Kortikosteroid inhalasi, Hydration


Bukti tidak mendukung penggunaan kortikosteroid inhalasi (ICS) untuk eksaserbasi akut
asma. Hidrasi agresif atau agen mukolitik tidak direkomendasikan, diperbaiki pada eksaserbasi
asma. Otopsi penderita asma menunjukkan mukosa yang terkena dampak di saluran udara.
Ketinggian kepala tempat tidur (HOB) pada 45 derajat penting untuk mencegah aspirasi.

Antagonis Leukotrien
Efikasi antagonis leukotrien (LTA) dalam pengaturan akut tidak jelas. Mereka adalah
agen yang sangat baik dengan profil efek samping aman yang menguntungkan pada kasus
asma sedang dan ringan. Peningkatan PFT dan PEFR sebesar 20% yang merupakan respons
yang sama yang diharapkan karena ritme diurnal normal, dapat ditekankan pada penderita
asma.

Magnesium
Magnesium (Mg +) berperan dalam fungsi neuromuskular, dan lebih efektif dalam
mengurangi eksaserbasi asma parah tapi kurang begitu ringan sampai sedang. Magnesium
menurunkan penyempitan otot melalui persaingan dengan kalsium dan pra, melepaskan
pelepasan asetilkolin, sehingga menurunkan GMP siklik. Pelepasan Histamin juga berkurang.
Magnesium adalah kofaktor penting dalam banyak reaksi enzimatik dan ada bukti bahwa
magnesium IV dapat menyebabkan bronkodilatasi dan mengurangi ledakan neutrofil dari
respons inflamasi. Efek magnesium IV cepat, dalam 5 hingga 10 menit tetapi durasi kerjanya
juga singkat. Ini memiliki rasio toksik terhadap toksisitas yang sangat baik pada dosis 2 sampai
4 g per jam sebagai infus IV kontinyu, dan banyak digunakan pada penderita asma yang tidak
tahan terhadap pengobatan standar. Pada anak-anak, magnesium sulfat intravena telah terbukti
secara signifikan meningkatkan fungsi paru-paru dan mengurangi tingkat masuk rumah sakit.
Efek menguntungkan dari magnesium sulfat nebulisasi kurang dibuktikan.

Methylxathines dan Antibiotics


Methylxanthines, sekali perawatan standar untuk asma di UGD, sekarang jarang
digunakan karena efek sampingnya (rasio terapeutik-beracun yang sempit) dan kurangnya
kemanjuran yang terbukti. Agen ini (teofilin, aminofilin) tidak lagi direkomendasikan untuk
penggunaan rutin. Teofilin masih digunakan dalam kasus yang paling parah dimana ada
perbaikan yang disambut baik. Efek samping utama methylxanthines meliputi takikardia,
aritmia jantung, dan mual dan muntah. Tingkat serum harus ditargetkan sekitar 8) lg / dL
karena tingkat ini terkait dengan efek bronkodilator maksimum dan efek samping minimum.
Antibiotik tidak boleh digunakan secara rutin, namun dicadangkan untuk pasien yang
infeksi bakteri (misalnya pneumonia atau sinusitis) tampaknya mungkin terjadi. Mayoritas
eksaserbasi asma disebabkan oleh infeksi virus, yang dapat menyebabkan superinfeksi bakteri
sekunder. Antibiotik yang dipilih harus diarahkan ke arah patogen yang paling mungkin
(pneumococcus, Haemophilus influenzae.

Anestesi Volatile
Anestesi volatil adalah bronkodilator kuat. Uji konvensional terhadap resistensi saluran
napas menunjukkan sedikit perbedaan antara halotan, isofluran, atau enfluran (Ethrane).
Halotan muncul menjadi bronkodilator yang lebih kuat daripada isoflurane. ETI dengan
sendirinya dapat menyebabkan bronkospasme berat. Anestesi volatil berguna dalam mengobati
status asthmaticus yang parah saat pasien tidak menanggapi pengobatan konvensional.
Isoflurane mungkin merupakan pilihan yang paling tepat untuk anestesi volatil karena
pengaruh depresifnya yang minimal pada potensi kardiovaskular dan aritmogenik.
Peningkatan aliran serebral, edema serebral, dan peningkatan tekanan intrakranial dapat
dikaitkan dengan penggunaan agen volatil pada pasien hypercapnic yang mungkin telah
mengalami tingkat cedera otak hipoksia.

Intubasi dan Ventilasi Mekanis


Penggunaan dukungan ventilasi invasif dapat menyelamatkan jiwa pada pasien dengan
eksaserbasi asma. Sekitar 30% (kisaran 2% -70%) dari individu yang dirawat di ICU
membutuhkan intubasi. Keputusan untuk MV didasarkan pada penilaian klinis. Hypercapnia
progresif, kemunduran status mental, kelelahan, dan penangkapan kardiopulmoner yang akan
datang sangat menyarankan perlunya dukungan ventilasi. Pihak berwenang setuju bahwa
intubasi harus dipertimbangkan sebelum tanda-tanda ini berkembang. Seorang dokter yang
memiliki pengalaman dengan intubasi dan manajemen saluran napas idealnya mengelola MV.
Tekanan tinggi yang ditemui oleh MV harus dicapai dengan volume tidal rendah 6 sampai 8
mL / kg berat badan ideal dan dimulai pada mode kontrol bantuan pada tingkat rendah 8 sampai
10 napas / menit untuk menghindari tekanan tinggi dan auto- tekanan ekspirasi akhir positif
(auto-PEEP). Tekanan pada dataran tinggi harus dijaga <30 em H20 bila memungkinkan untuk
menghindari barotrauma. Hiperkapnia pasif dengan pH 7,20 atau lebih tinggi mungkin
diperlukan untuk mencapai tekanan ventilasi yang aman. Sedasi dengan agen short-acting
seperti propofol akan membantu pasien dalam menoleransi pengobatan ini. Terapi bikarbonat
harus disediakan untuk pasien dengan pH arteri lebih rendah dari 7,20. Permisif hiperkkapnia
tidak seragam efektif, dan konsultasi dengan atau comanagement oleh dokter yang memiliki
keahlian dalam manajemen ventilator adalah tepat untuk menghindari risiko. Akses cepat ke
penempatan tabung dada dalam kasus pneumotoraks harus tersedia. Strategi untuk mengurangi
auto-PEEP sering mengakibatkan hipoventilasi. Hypercapnia berikutnya, yang disebut
hiperkapnia permisif, dapat ditoleransi dengan baik asalkan berkembang perlahan dan
ketegangan dioksida tetap pada suhu 90 mmHg atau kurang. Bila perlu, pH dapat dikelola
secara farmakologis. ABG setiap hari dan rontgen dada harus dilakukan. Sedasi mungkin
diperlukan untuk menjaga agar pasien tetap nyaman dan bernapas selaras dengan MV. Hal ini
biasanya dapat dicapai dengan benzodiazepin dikombinasikan dengan opioid atau propofol.
Ketamin adalah agen yang menarik karena sifat bronkodilasinya; Namun, efek eNS, takikardia,
dan hipertensi membatasi penggunaannya. Beralih ke ePAP dengan PSV bila memungkinkan
akan membantu pasien mentolerir MV melalui koordinasi yang lebih baik dengan MV. Pasien
harus dijaga di ketinggian kepala tempat tidur 45 derajat untuk menghindari aspirasi.
Auto-PEEP adalah masalah umum pada pasien yang menerima dukungan ventilasi penuh atau
sebagian, terutama yang memerlukan tekanan tinggi untuk ventilasi atau mengalami masa
kadaluwarsa singkat. Dokter harus waspada terhadap perangkap udara dan mengambil
tindakan untuk menguranginya, karena hal itu dapat menimbulkan konsekuensi serius. Klinisi
perlu memahami fisiologi auto-PEEP sehingga dapat memilih pengaturan ventilator yang tepat.
Beberapa manuver ini harus mencakup pengaturan waktu ekspirasi terpanjang yang mungkin
dan menghindari tingkat pernapasan dan volume tidal yang tinggi. Pengaturan yang disarankan
untuk ventilasi awal adalah sebagai berikut: volume tidal 6 sampai 8 mL / kg, laju pernafasan
11 sampai 14 napas / menit, laju alir 100 L / menit, dan PEEP dari 5. Biarkan waktu maksimal
untuk penghembusan dengan menggabungkan volume tidal kecil dengan tingkat pernapasan
lambat dan waktu inspirasi pendek. Tekanan tekanan endapan statis (tekanan tinggi) tingkat 30
em H2 0 atau lebih berkorelasi dengan hiperinflasi dan auto-PEEP. Auto-PEEP naik secara
langsung dengan ventilasi menit. Paru-paru dan dinding dada menjadi kurang elastis dan
pekerjaan bernapas meningkat. Vena kembali, tekanan darah, dan curah jantung menurun.
Agen yang melumpuhkan berhubungan dengan miopati, yang memperpanjang rawat inap 1
hari, dan intubasi meningkat sampai 4,5 hari. Kematian karena asma di IeU rata-rata 2. 7%.
Pada pasien yang diintubasi, tingkatnya meningkat menjadi 8,1%. Kematian akibat eksaserbasi
akut asma pada umumnya dilaporkan pada <0,5% pasien. Paru paru melalui bronkoskop
fleksibel digunakan untuk menghilangkan sumbat mukosa yang sering ditemukan pada
penderita asma berat. Prosedur ini membawa beberapa risiko.

KRITERIA PENDAFTARAN / DISCHARGE


Keputusan untuk menerima atau mengeluarkan pasien harus dilakukan dalam waktu 4 jam
setelah presentasi ke IGD. Pasien mungkin dipulangkan jika FEV 1 atau PEF setelah perawatan
adalah 70% atau lebih dari nilai terbaik atau perkiraan pribadi. Inisiasi terapi dengan res pada
saat pelepasan mengurangi risiko kambuh. Mengosongkan pasien yang menggunakan steroid
oral dan merapikan jadwal dosis diperlukan hanya jika steroid digunakan pada dosis tinggi dan
untuk jangka waktu lebih dari 2 minggu. Pasien harus bebas dari gejala pada waktu tidur
dengan kebutuhan minimal untuk pengobatan penyelamatan di siang hari. Pasien harus dididik
tentang pengobatan, teknik inhaler, dan mengurangi paparan pemicu reaksi alergi; mereka
harus memiliki rencana tindakan asma dan menerima instruksi untuk memantau gejala mereka
dan menerapkan rencana mereka di rumah. Penunjukan tindak lanjut harus dijadwalkan dengan
dokter yang merawat 1 minggu setelah keluar.
Untuk mencegah masuknya kembali, perawatan debit harus mencakup penggunaan
penyelamatan 2 agonis sesuai kebutuhan, penggunaan pemeliharaan res dan kombinasi LABA,
dan penggunaan LTA seperti monteleukast pada waktu tidur. Selain itu, jika pasien memiliki
riwayat merokok atau bronkitis kronis, ipratropium bromida atau steroid oral, atau azitromisin
(Zithromax) harus dipertimbangkan saat terjadi eksaserbasi akut yang akan terjadi. Instruksi
penggunaan MDI yang tepat dan mesin aerosol rumah harus disediakan. Imunisasi dengan
vaksin influenza dan pneumokokus harus diberikan.
BAB V
KESIMPULAN

Eksaserbasi asthmatic yang parah tetap merupakan tantangan besar. Dokter telah terbukti
sebagai hakim yang buruk dari tingkat keparahan serangan asma, dan penting untuk
menggunakan kriteria obyektif saat menguji pasien ke tempat tidur yang tidak terpantau atau
tempat tidur ICU. SABA dan pemberian awal kortikosteroid sistemik adalah pengobatan utama
sekarang dengan manfaat tambahan dari agen antikolinergik. Bila diperlukan dukungan
ventilasi, ventilasi noninvasif dapat dicoba tapi tidak menunda intubasi dan MY. Status
asthmaticus membawa komplikasi yang signifikan, termasuk kematian.
BAB VI
SOAL DAN JAWABAN

Case I
Seorang pria berusia 45 tahun yang diintubasi karena eksaserbasi asma yang parah mulai
menunjukkan penurunan yang signifikan pada BP, RR tinggi, penurunan waktu ekspirasi, dan
peningkatan tekanan saluran napas pada orang SAYA. Kejenuhan 02 membaca 95% pada
pengaturan saat ini. Apa yang harus dilakukan untuk mengesampingkan PEEP otomatis
sebagai penyebab kemerosotan?
A. Lakukan stat darah gas darah pada pengaturan ventilator saat ini.
B. Putuskan pasien dari ventilator dan lihat apakah ada perbaikan yang cepat.
C. Lakukan radiografi dada stat.
D. Mulailah penggunaan campuran heliox. Anton humu

Jawab:
11.1 B. SABA yang dihirup harus segera diberikan saat pasien penderita asma hadir dengan
eksaserbasi. SABA dapat diulang setiap 20 menit atau digunakan sebagai pengobatan nebulizer
berkelanjutan bervolume tinggi. SABA seperti albuterol adalah obat pilihan pertama untuk
menghilangkan bronkokonstriksi. Levalbuterol, R-enansiomer albuterol, efektif pada dosis
setengah albuterol; uji coba belum secara konsisten menunjukkan keuntungan klinis
levalbuterol dibandingkan albuterol rasemat. Inhalasi inhalasi dosis tinggi SABAs dan
ipratropium bromide merupakan kombinasi pengobatan yang sangat baik sebagai
bronkodilator penyelamatan akut.

Case II
Seorang wanita berusia 22 tahun hadir dengan eksaserbasi asma parah dan gangguan
pernafasan. Manakah dari berikut ini yang akan menjadi langkah pertama yang paling penting
dalam perawatannya?
A. Kombinasi ICS dan agonis inhalasi 2-adrenergik yang berlangsung lama (LABA)
B. Kortikosteroid intravena (IV)
C. Campuran Heliox
D. infus magnesium
E. Terapi SABA inhalasi

Jawab:
11.2 E. SABA yang dihirup harus segera diberikan saat pasien penderita asma hadir dengan
eksaserbasi. SABA dapat diulang setiap 20 menit atau digunakan sebagai pengobatan nebulizer
berkelanjutan bervolume tinggi. SABA seperti albuterol adalah obat pilihan pertama untuk
menghilangkan bronkokonstriksi. Levalbuterol, R-enansiomer albuterol, efektif pada dosis
setengah albuterol; uji coba belum secara konsisten menunjukkan keuntungan klinis
levalbuterol dibandingkan albuterol rasemat. Inhalasi inhalasi dosis tinggi SABAs dan
ipratropium bromide merupakan kombinasi pengobatan yang sangat baik sebagai
bronkodilator penyelamatan akut.
DAFTAR ISI

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Konsensus Asma : Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Jakarta, 2008.

2. Global Initiative for Asthma. At a Glance Asthma : Management Reference. 2009.

3. Supriyatno B. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada Anak. Maj Kedokt
Indon 2005;55(3):237-43.

4. Fanta CH. Drug Therapy : Asthma. N Engl J Med 2009;360:1002-14.

5. Depkes Litbang. Riset Kesehatan Dasar.2009.Jakarta

6. Riskesdas.2013.Rise Kesehatan Dasar. Diakses tanggal 23 April


2014.http://www.Rikesdas2013.pdf

7. Smeltzer., Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth Vol 2.
Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta.

8. Price, S. A. dan Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis ProsesProses


Penyakit, Edisi 6, Volume 1. Jakarta: EGC.

9. Sudoyo, A. W., Alwin, I, Setiyohadi, B, Simadribata, K. M., Setiati, S. (2006). Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 4, Jilid 1. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.

10. Global Initiative for Asthma (GINA)., 2012. At-A-Glance Asthma Management
Reference.

Вам также может понравиться