Вы находитесь на странице: 1из 158

Diterbitkan Oleh

Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP)
Redaksi menerima artikel/essay
SME Tower Lt. 8 yang relevan dengan Dunia Pengadaan.
Jl. Jendral Gatot Subroto Kav. 94 Untuk petunjuk penulisan dapat dilihat
Jakarta 12780 Indonesia di halaman 115-Panduan Penulisan

Communication Center
Kirimkan ke: humas@lkpp.go.id.
021. 7167 3000

Telp. 021. 799 1025 (hunting),


Fax. 021. 799 6033 / 799 1125
www.lkpp.go.id

Pelindung
Agus Raharjo

Redaktur Ahli
Eiko Whismulyadi, Himawan Adinegoro,
Bima Haria Wibisana, Agus Prabowo,
Djamaludin Abubakar

Pemimpin Umum
Salusra Widya

Pemimpin Redaksi
R Adha Pamekas

Redaksi
Mudji Santosa, M. Firdaus, Suharti,
Ratna Ayu Maruti, Mustika Rosalina,
Gigih Pribadi, Himawan Giri Dahlan
DAFTAR ISI

Sistem Pengadaan Berkelanjutan


1-17 Dadan Umar Daihani

Porsi Anggaran
Pengadaan Barang/Jasa pada APBN
18-37 M. Trisno Hadisaputra

The Imperative for a National Public


Procurement that is Credible
39-48 Erlangga Admadja

Mengapa Korupsi (Tetap) Ada


49-61 Nanang Priyatna

Optimalisasi Peran Aturan


Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
dalam Reformasi Birokrasi
62-68 Mustofa Kamal

Report:
Compliance Performance Indicator
70-109 Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

110-114 Para Penulis

115-118 Panduan untuk Penulis

119-123 Indeks
PENGANTAR REDAKSI
Dari Redaksi November 2012/Vol. 2 - No. 2 i

Pengantar Redaksi

Pengadaan yang kredibel, dan tidak mengada-ada akan berujung pada pemanfaatan
APBN/APBD (Anggaran Negara) secara lebih tepat guna dan efektif. Para pelaku
Pengadaan Barang/Jasa memiliki fungsi yang sangat strategis dalam upaya mewu-
judkan Indonesia yang lebih baik.

Memasuki usianya yang ke-67, bukanlah usia hinggapi seluruh rakyat tanpa terkecuali. Di
yang bisa dikatakan muda lagi bagi bangsa ini. tengah keadaan yang membuat rakyat kian
Di usia yang seharusnya merupakan usia ma- frustasi, muncul anak-anak Bangsa yang se-
tang, sudah sepatutnya Indonesia telah men- perti kembali menyulut semangat, sebuah asa,
jadi bangsa yang semakin besar, berdaulat, bahwa Indonesia masih ada, belum habis, dan
dan mampu menyejahterakan rakyatnya. masih ada harapan untuk menjadikan Indo-
nesia yang lebih baik. Mereka yang ikut me-
Namun, kenyataannya negara ini masih ter- warnai Jurnal Pengadaan LKPP kali ini ada-
papar oleh banyak masalah. Masalah yang be- lah bagian dari anak bangsa yang ikut kembali
rakar pada masih maraknya praktik korupsi, ‘menghidupkan’ mimpi dan harapan tersebut.
kolusi dan nepotisme. Banyak pelaku korupsi
yang masuk persidangan, namun hukuman Para pelaku pengadaan barang/jasa di ling-
yang lemah tidak juga membuat jera--sampai kungan pemerintah, adalah orang-orang
tercipta anekdot, “Di penjara tak apa, selama yang diharapkan dapat menjadi pelopor, para
harta tidak pergi kemana”. Hal ini karena hu- pemberani yang berdiri di garis terdepan,
kuman yang mereka dapatkan terlalu ringan sosok-sosok ini berani bersuara lantang ke-
dibandingkan jumlah uang yang dapat mere- tika melihat adanya penyimpangan, semata
ka kumpulkan. demi menyelamatkan Bangsa. Berani untuk
bilang “Tidak!” kepada berbagai tawaran
Pemimpin silih berganti, namun tampaknya yang menyimpang, mengemban tugas dengan
Negara ini masih berkubang di masalah yang baik, untuk mendukung institusi/lembaganya
sama. Pesimis, tidak lagi mau berharap, dan menjadi lebih bermartabat, profesional dan
pasrah adalah sikap yang kemudian meng- menjunjung tinggi etika.
ii JURNAL PENGADAAN

Jurnal Pengadaan LKPP kali ini berisikan be- Di samping itu, kami juga menyajikan tulisan
ragam karya tulisan yang diharapkan dapat karya M. Trisno Hadisaputro yang meng-
menggugah, inspiratif dan sangat mungkin angkat porsi anggaran pengadaan barang/
untuk diaplikasikan dalam keseharian. Lewat jasa dalam APBN 2012. Untuk kembali
tulisan yang beragam diharapkan dapat mem- mengingatkan akan arti penting dan strategis-
perkaya ilmu dan wawasan para pembaca. nya proses pengadaan barang/jasa yang kre-
Gaya bahasa yang bertutur dengan dialogis dibel bagi berjalannya proses pembangunan
disajikan tanpa ingin terkesan menggurui. yang berkelanjutan. Sekaligus Trinso juga in-
gin berbagi tentang upaya-upaya konkrit yang
Topik seperti Sustainable Procurement bisa disumbangkan agar proses pengadaan
(SP) atau Proses Pengadaan yang Berkelan- berjalan sesuai dengan apa yang diamanatkan
jutan, misalnya ingin menginspirasi dan me- oleh regulasi yang berlaku.
nyadarkan kita bahwa ternyata erat sekali hu-
bungannya antara sumber daya alam dengan Jurnal kali ini juga ingin bertutur tentang
proses pengadaan. Dadan Umar Daihani, fenomena korupsi, dari kacamata budaya dan
Guru Besar Universitas Trisakti yang seka- teori. Sebuah tulisan karya Nanang Priyatna
rang juga aktif di LEMHANAS mencoba yang secara runtun mencoba membuat para
berbagi kepada para pembaca seputar SP ini. pembaca tersadar akan bahaya penyakit ko-
rupsi itu, berikut hal-hal yang bisa dilakukan
Dalam karya yang sama, Dadan juga ingin untuk mencegahnya sehingga dapat meng-
mengungkapkan bahwa keseimbangan ling- akhiri fenomena korupsi yang mewabah se-
kungan serta keharmonisan kehidupan sosial, perti saat ini.
sering tidak menjadi bahan pertimbangan
dalam proses pengadaan. Kesadaran akan Lebih jauh, Erlangga Atmadja yang menyu-
pentingnya konservasi sumber daya alam sun paper dengan judul : ‘The Imperative
inilah yang mendorong dikembangkannya for a National Public Procurement Pro-
konsep SP. Di Indonesia, kajian dan pemba- cess that is Credible: A Challenge for the
hasan mendalam mengenai SP belum banyak Academic Community to Provide Con-
dilakukan, sementara di dunia internasional vincing Demonstrative Effects of the
topik ini sudah menjadi bagian tidak terpisah- Economic Benefits of Having a Cutting
kan dalam merumuskan kebijakan procurement Edge Country Procurement System,”
dunia yang dikaitkan dengan program pem- mencoba mengingatkan kita bahwa sesung-
bangunan berkelanjutan. guhnya Indonesia memiliki kemampuan dan
Dari Redaksi November 2012/Vol. 2 - No. 2 iii

potensi yang luar biasa, sehingga kita mam- Redaksi juga menghadirkan hasil survei
pu bertahan di tengah badai krisis ekonomi “Compliance and Performance Indica-
dunia yang hingga kini masih dirasakan aki- tors of Public Procurement in Indonesia”
batnya. Salah satu upaya yang bisa dilakukan yang digelar pada tahun 2011. Survei yang
adalah dengan mengemas proses pengadaan diselenggarakan oleh LKPP ini bertujuan un-
yang lebih efektif dan efisien yakni dengan tuk memberikan gambaran tentang kemajuan
e-procurement. implementasi reformasi sistem pengadaan di
Indonesia yang disertai dengan berbagai re-
Sementara tulisan dengan judul “Optimal- komendasi aspek apa saja yang masih harus
isasi Peran Aturan PBJP dalam Refor- dibenahi dalam rangka memperkuat refor-
masi Birokrasi” karya Mustofa Kamal, masi sistem pengadaan di Indonesia.
menjabarkan hubungan antara Pengadaan
Barang/Jasa yang optimal seiring dengan Akhirnya Redaksi ingin memberikan peng-
berjalan baiknya proses Reformasi Birokrasi. hargaan setinggi-tingginya kepada para penu-
Beragam ilustrasi digambarkan dalam tu- lis yang telah berbagi dengan pembaca Jur-
lisan ini, memudahkan para pembaca untuk nal Pengadaan LKPP, semoga para pembaca
memahami konteks pengadaan barang/jasa dapat memetik ilmu dan menambah wawasan
serta Reformasi Birokrasi. Lewat ilustrasi khususnya dalam aspek pengadaan/procure-
dan pejabaran yang komprehensif Mustofa ment. Sehingga dapat menjadi bekal dalam
mencoba untuk mempermudah pembaca un- mengemban tugas di lingkup Pengadaan Ba-
tuk memahami proses pengadaan yang kredi- rang/Jasa Pemerintah.
bel sejalan dengan proses reformasi birokrasi
yang tengah berjalan. Selamat Membaca
Redaksi
SISTEM
PENGADAAN
BERKELANJUTAN
Sistem Pengadaan Berkelanjutan November 2012/Vol. 2 - No. 2 1

Sistem Pengadaan Berkelanjutan

Abstract

Kesetimbangan lingkungan serta keharmonisan kehidupan sosial, sering

tidak dipertimbangkan dalam proses pengadaan. Padahal bencana alam

yang berdampak pada bencana sosial pada dasarnya dimuai dari kebija-

kan pengadaan yang tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan.

Kesadaran akan pentingnya konservasi sumber daya alam inilah yang men-

dorong dikembangkannya konsep Sustainable Procurement (SP).

DADAN UMAR DAIHANI


Di Indonesia, kajian dan pembahasan mendalam mengenai SP belum ba-

nyak dilakukan, padahal di dunia internasional topik ini sudah menjadi ba-

gian tidak terpisahkan dalam merumuskan kebijakan procurement dunia

yang dikaitkan dengan program pembangunan berkelanjutan, dan sudah

menjadi agenda berbagai kongres internasional. Oleh karena nya kami ter-

tarik untuk melakukan penelusuran literatur dan kajian ilmiah mengenai hal
ini yang kami tuangkan dalam tulisan ini. Paper singkat ini tentu tidak di-

maksudkan untuk membahas secara mendalam mengenai knowledge dan

know how tentang SP. Pada paper ini baru akan dikemukakan ide dasar

serta pengalaman praktis berbagai negara maju dalam mempraktekan

prinsip-prinsip tersebut.

Kata kunci: Sustainable procurement, Pembangunan berkelanjutan,

Konservasi sumber daya alam


2 JURNAL PENGADAAN

I su mengenai lingkungan, kini semakin


mengemuka. Pemanasan global, ano-
mali perubahan cuaca, krisis energi, krisis
berkelanjutan didefinisikan sebagai proses
pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat,
dsb) yang di dasarkan atas prinsip “memenuhi
pangan, krisis ekonomi sampai kebangkrutan kebutuhan sekarang tanpa mengorban-
suatu negeri ditenggarai sebagai akibat dari kan pemenuhan kebutuhan generasi masa
eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) dan depan” (Brundtland Report dari PBB, 1987).
sumber daya sosial yang tidak menghormati Salah satu faktor yang harus dihadapi un-
prinsip-prinsip pembangunan berkelanju- tuk mencapai pembangunan berkelanjutan
tan. Sebagaimana diketahui istilah pembang- adalah bagaimana memperbaiki kehancuran

Konsep ini muncul sebagai jawaban terhadap


kesewenangan proses pembangunan yang tidak
memperhatikan kesinambungan lingkungan
unan berkelanjutan adalah terjemahan dari lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan
Bahasa Inggris, sustainable development. Pada pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
tahun 1980, istilah ini mulai diperkenalkan Dengan kata lain, bagaimana memenuhi ha-
oleh United Nations Environment Programme jat hidup manusia saat ini tanpa mengorban-
(UNEP), International Union for Conservation kan masa depan. Inilah yang disebut prinsip
of Nature and Natural Resources (IUCN), dan berkeadilan untuk semua umat di semua ja-
World Wide Fund for Nature (WWF) dalam man.
naskahnya yang berjudul “World Conservation
Strategy” (Strategi Konservasi Dunia). Konsep Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor publik
ini muncul sebagai jawaban terhadap kese- maupun swasta dalam melakukan aktifitas
wenangan proses pembangunan yang tidak ekonominya sangat bersinggungan dengan
memperhatikan kesinambungan lingkungan. ekploitasi sumber SDA. Di samping eksploi-
Akibat dari ulah manusia ini, maka bermun- tasi SDA secara vulgar tanpa mempertim-
culan bencana, baik berupa bencana alam bangkan masa depan, kedua sektor tersebut
maupun bencana sosial. Seorang budayawan sering memperburuk lingkungan dengan lim-
pernah berkata, “jika kita tidak pandai meng- bah yang dihasilkannya. Melihat fenomena
hormati alam, maka alam akan balik menam- ini, maka kini, sektor publik maupun swas-
par kehidupan manusia”. ta dituntut untuk lebih bertanggung jawab
dalam mengeksploitasi SDA dengan tetap
Menurut berbagai ahli, pembangunan menjaga kelestarian dan keberlanjutan SDA
Sistem Pengadaan Berkelanjutan November 2012/Vol. 2 - No. 2 3

tersebut, baik secara kuantitas maupun kuali- curement di negeri ini. Paper singkat ini tentu
tasnya. tidak dimaksudkan untuk membahas secara
mendalam mengenai knowledge dan know how
Sehubungan dengan itu, paper ini akan men- tentang SP. Pada paper ini baru akan dike-
coba membahas satu topik menarik yang mukakan ide dasar serta pengalaman praktis
akhir-akhir ini sedang a la mode dibidang berbagai negara maju dalam mempraktekan
procurement yaitu “Sustainable Procurement” (SP). prinsip-prinsip tersebut. Mudah-mudahan
Ada beberapa ahli yang menamakan konsep hal ini akan menggugah kita untuk men-
ini dengan sebutan “Green Procurement”. Pada dalami dan mempraktekan prinsip-prinsip
prinsipnya kedua konsep di atas mencoba keberlanjutan dalam proses procurement seba-
mengintegrasikan prinsip efisiensi ekonomi gai pertanggung jawaban kita bagi generasi
dengan prinsip kemanfaatan yang memper- selanjutnya di masa depan.
timbangkan kelestarian lingkungan alam dan
sosial. Sebagaimana didefinisikan oleh Helen 2. Sustainable Procurement:
(2009) bahwa SP secara sederhana adalah “ ... Konsep Dasar dan Pengalaman Praktis
is procurement that is consistent with the principles of
sustainable development, such as ensuring a strong, 2.1 Konsep Dasar
healthy and just society, living within environmental Sustainable Procurement
limits, and promoting good governance...” (Walker Munculnya konsep SP bermula dari keprihati-
Helen, et al, 2009). nan banyak pihak terhadap lambatnya pem-
bangunan berkelanjutan yaitu pembangunan
Di Indonesia bidang ini belum banyak di- yang mempertimbangkan daya dukung alam
sentuh oleh para peneliti, ilmuwan maupun terhadap kemanfaatan kebutuhan manusia
praktisi. Oleh karena itu kami tertarik untuk saat ini dan masa depan. Secara sederhana SP
menjelajahi berbagai tulisan, ide serta hasil dapat didefinisikan pula sebagai suatu proses
penelitian di mancanegara mengenai SP dan pemenuhan barang/jasa yang bermanfaat
selanjutnya berbagi dengan para pegiat pro- bagi pelaku, lingkungan sosial (masyarakat)

Secara sederhana SP dapat didefinisikan pula


sebagai suatu proses pemenuhan barang/jasa yang
bermanfaat bagi pelaku, lingkungan sosial (masyarakat)
serta lingkungan perekonomiannya dengan cara
meminimalkan kerusakan pada lingkungan (DEFRA, 2006)
4 JURNAL PENGADAAN

serta lingkungan perekonomiannya dengan secara langsung akan mengakibatkan banjir.


cara meminimalkan kerusakan pada ling- Secara jangka panjang cadangan air tanahpun
kungan (DEFRA, 2006). Dengan kata lain akan berkurang, karena setiap datang hujan,
SP tidak saja ditujukan untuk mewujudkan air yang turun akan langsung dialirkan. De-
kebutuhan pelaku secara efisien, tetapi juga mikian pula fungsi hutan sebagai paru-paru
mengemban misi kepedulian sosial, lingkung- duniapun akan terganggu, akibatnya terjadi
an dan ekonomi secara umum. perubahan iklim yang tidak teramalkan. Ke-
semua gangguan tersebut pada akhirnya akan
Praktik SP sebenarnya bukan sesuatu hal yang berpengaruh pada keharmonisan kehidupan
baru. Sebagaimana diketahui bahwa pada manusia.
setiap proyek pembangunan harus disertai
“analisis mengenai dampak lingkungan”. Jika Dari contoh kecil ini saja terlihat apa yang
proyek tersebut ternyata diperkirakan akan harus dilakukan dalam menyusun regulasi
merusak lingkungan baik fisik maupun sosial rantai pasok produk-produk yang berkaitan
maka sejatinya proyek tersebut harus dihenti- dengan bahan baku kayu dari mulai hulu sam-
kan. Atau kalaupun akan terus dilaksanakan pai hilir.
maka harus dilengkapi dengan berbagai upaya
untuk mengatasi kerusakan lingkungan fisik Di berbagai negara sudah dibatasi pemakaian
dan atau sosial yang ditimbulkannya. Keru- kayu dari hutan alam. Kebutuhan kayu seba-
sakan fisik biasanya berkaitan dengan gai bahan baku bangunan, furniture, kertas,
kesetimbangan ekosistem dan berkurangnya dan lain-lain hendaknya di pasok dari hasil
daya dukung alam. Sedangkan kerusakan so- budi daya. Kesemua pertimbangan tersebut
sial dapat mengakibatkan terjadinya dishar- sudah harus diintegrasikan pada sistem peng-
monis pada kehidupan masyarakat. Kerusa- adaan, baik secara nasional maupun interna-
kan lingkungan fisik dan lingkungan sosial sional. Dengan berpedoman pada SP, maka
dapat terjadi secara bersamaan atau saling kebutuhan manusia saat ini dapat dipenuhi,
berkorelasi. Misalnya penebangan hutan yang dan kebutuhan di masa depanpun dapat tetap
dilakukan secara vulgar dan tidak sistematis terjamin. Kebijakan yang mengatur rantai
serta tidak disertai dengan program pere- pasok bahan-bahan alamiah ini sering di isti-
majaan hutan (reboisasi) dapat merusak eko- lahkan juga sebagai “green policy” atau kebija-
sistem sekitarnya. Pertama areal penyerapan kan yang ”manusiawi”.
dan penampungan air hujan akan menjadi
berkurang. Jika terjadi hujan yang lebat, maka Kasus lain yang menarik untuk dikaji adalah
Sistem Pengadaan Berkelanjutan November 2012/Vol. 2 - No. 2 5

Untuk dapat melakukan konservasi energi


dan mendorong terwujudnya pemakaian energi
terbarukan secara berkelanjutan, maka proses
pengadaan energi harus sudah dilaksanakan
dengan mengadopsi prinsip-prinsip SP
mengenai pengadaan energi. Sampai saat ini dan mendorong terwujudnya pemakaian
tidak dapat dipungkiri, bahwa kita masih energi terbarukan secara berkelanjutan, maka
sangat bergantung pada energi yang berbasis proses pengadaan energi harus sudah dilak-
fosil. Padahal energi ini termasuk unrenewable sanakan dengan mengadopsi prinsip-prinsip
energy. Selain habis sekali pakai dalam pro- SP. Misalnya dalam penyediaan energi listrik
ses eksploitasinya pun sering kali merusak perlu ditegaskan bahwa di masa depan, energi
lingkungan. Selain itu, energi yang ber- primer untuk pembangkit listrik harus meng-
basis fosil ini, dalam proses transformasinya gunakan energi primer terbarukan seperti pa-
seringkali menghasilkan pencemaran udara. nas bumi, bio fuel, angin, air dan tenaga alam
Oleh karena itu dengan berpedoman pada lainnya. Dengan demikian maka produksi e-
SP, maka kini didorong untuk menggunakan nergi listrik pun akan mendukung konservasi
energi yang lebih ramah lingkungan dan ber- energi serta tidak mencemari lingkungan.
basis pada SDA yang bersifat renewable, se-
perti bio fuel, energi surya, energi air serta Kasus lain yang juga menarik untuk dibahas
energi angin. Usaha untuk mengendalikan adalah industri otomotif. Industri ini me-
dan membatasi pemakaian energi berba- narik untuk dikaji karena prosesnya sangat
sis fosil ini memang tidak mudah, karena kompleks serta membutuhkan banyak sekali
menyangkut investasi yang cukup besar. Di- bahan baku dan akan melibatkan banyak
samping itu juga berkaitan dengan kebiasaan industri lainnya. Melihat kompleksitas dan
yang selama ini dilakukan serta faktor-faktor banyaknya industri yang terlibat, maka akan
non teknis lainnya. Tetapi walau bagaimana- sangat menarik jika pada industri ini sudah
pun usaha kearah ini harus terus dilakukan diterapkan prinsip-prinsip SP. Misalnya un-
untuk menghindarkan dunia dari krisis tuk berbagai komponen dipersyaratkan mem-
energi serta kerusakan lingkungan yang se- pergunakan bahan-bahan yang bersifat ramah
makin parah. lingkungan serta bisa didaur ulang. Dengan
adanya kewajiban ini, maka konservasi SDA
Untuk dapat melakukan konservasi energi pun dapat dilakukan serta akan mendorong
6 JURNAL PENGADAAN

berbagai inovasi yang membuka peluang al, 2005). Di Inggris, misalnya, pada tahun
lapangan kerja baru. 2007, transaksi pengadaan di sektor publik
telah mencapai sekitar £ 150 miliar. Oleh ka-
2.2 Apa dan Siapa Promotor rena itu di era modern ini, sangat tepat kalau
Sustainable Procurement istilah procurement diterjemahkan ke dalam ba-
Setelah membahas secara singkat meng- hasa Indonesia menjadi “PENGADAAN”,
enai konsep dasar SP, selanjutnya dua pertan- karena tidak hanya berkaitan dengan proses
yaan dasar yang akan dicoba untuk dijawab. pembelian tapi juga menyangkut seluruh
Pertama mengapa SP perlu dilakukan? Kedua siklus proses penguasaan barang/jasa dimulai
dimulai dari mana SP harus dilakukan ? dari Information gathering, Supplier contact:, Back-
ground review, Negotiation, Fulfillment, Consump-
Tidak hanya di Indonesia, kegiatan procurement tion, maintenance, disposal, Renewal, and Tender
yang kalau diterjemahkan secara harfiah ada- Notification (Ardent Partners Research).
lah proses “pembelian”, pada mulanya sering
dianggap hanya merupakan bagian kecil dari Dari gambaran singkat di atas, dapat diba-
kegiatan manajemen. Hal ini tercermin dari yangkan berapa banyak ekploitasi SDA yang
kebanyakan struktur organisasi suatu institusi dilakukan oleh umat manusia setiap tahunnya.
usaha yang hanya menempatkan bagian pem- Dari mulai energi, mineral, hasil hutan, san-
belian pada posisi yang tidak strategis dan dang, papan serta bahan pangan. Untuk sek-
tidak termasuk pada aras manajemen pun- tor energi saja, jutaan barel minyak bumi
cak. Bahkan hasil penelitian Ellegard di ta- setiap tahunnya dipompa dari perut bumi,
hun 2006 di Inggris memperlihatkan bahwa demikian juga jutaan metrik ton batu bara
banyak perusahaan khususnya SME (Small dan mineral lainnya di gali dari perut bumi,
and Medium Enteprise) masih mengkategori- untuk dibakar menjadi energi dan jangan lupa
kan kegiatan procurement, hanya sebagai aktifi- menghasilkan efek samping berupa gas kar-
tas pelengkap dan bukan merupakan aktifitas bon yang mencemari udara. Hutan, yang juga
kunci manajemen (Ramsay John, 2008). Pa- merupakan paru-paru dunia, digunduli setiap
dahal kalau dilihat dari volume transaksinya saat untuk dijadikan berbagai bahan baku
secara akumulatif sangat besar. Di berbagai baik untuk bangunan, furnitur, kertas, dll. Ini
negara OECD, aktifitas procurement barang/ semua menguras sumber daya alami sekali-
jasa di sektor publik bisa mencapai 8 sampai gus menghasilkan polusi. Dengan demiki-
25 % dari GDP. Sedangkan di negara-negara an kesetimbangan lingkungan terganggu
Uni Eropa bisa mencapai 16 %. (Alfonso et dan inilah yang memicu terjadinya berbagai
Sistem Pengadaan Berkelanjutan November 2012/Vol. 2 - No. 2 7

bencana. Tentunya sangat tidak adil dan akan pu mempengaruhi perilaku pihak swasta
berdampak pada keberlanjutan lingkung- (Helen, et al, 2009). Di samping itu, peng-
an sosial dimasa depan, jika berbagai SDA adaan barang/jasa sektor publik sesung-
tersebut, khususnya yang termasuk pada non guhnya merupakan belanja yang dibiayai dari
renewable resources dihabiskan begitu saja. Inilah uang para pembayar pajak. Oleh karenanya
salah satu pertimbangan yang mendorong prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas
untuk mengembangkan ide bahwa faktor ke- harus benar-benar ditegakkan. Pengadaan
setimbangan dan keberlanjutan lingkungan barang/jasa publik sesungguhnya juga dapat
harus masuk dan menjadi bagian strategis dijadikan faktor pengungkit (leverage factor)
dalam proses pengadaan. pencapaian misi pemerintah lainnya seper-
ti merangsang munculnya berbagai inovasi,
Sebagaimana di uraikan di atas dari hasil mendorong terwujudnya pemeliharaan ling-
pengamatan diberbagai negara, terlihat bahwa kungan, menciptakan kehidupan sosial yang
aktor terbesar dalam proses pengadaan ada- sejahtera serta menghidupkan pasar domestik
lah pemerintah. Demikian pula di Indonesia, yang berdaya saing (McCrudden, 2004).
pada tahun 2012 ini volume pengadaan
barang/jasa di Indonesia kira-kira menca- Oleh karenanya di berbagai negara maju
pai 45 s/d 50% dari APBN, belum terma- (OECD), kegiatan pengadaan yang berba-
suk APBD dan BUMN. Mengingat besarnya sis pada prinsip SP terlebih dahulu dimulai
volume transaksi pengadaan di sektor pub- dari sektor publik. Pada tahun 2005, bahkan
lik, maka tidak berlebihan kalau dikatakan Inggris menyatakan dirinya ingin menjadi
bahwa proses pengadaan barang/jasa publik pelopor gerakan SP di Eropa Pemerintah di-
sesungguhnya merupakan titik picu kegiatan anggap layak untuk mempelopori gerakan SP
ekonomi suatu negara. Di samping men- karena pada dasarnya pemerintah memiliki
jadi titik picu, sektor publik pun merupakan dua peran yaitu “berpartisipasi dalam pasar
penggerak dan lokomotif berbagai kegiatan sebagai pembeli dan pada saat yang sama,
ekonomi sektor swasta. Dari berbagai peneli- melalui penggunaan daya belinya dapat
tianpun terbukti bahwa sektor publik sangat berperan sebagai regulator untuk memajukan
mendominasi lalu lintas pengadaan barang/ konsep keadilan sosial” (McCrudden, 2004)
jasa. Jika di sektor publik konsep SP dapat diber-
lakukan, maka sektor lainnya (swasta) akan
Karena besarnya volume transaksi sektor terkena imbasnya secara langsung maupun
publik, maka sektor ini sesungguhnya mam- tidak langsung.
8 JURNAL PENGADAAN

2.3 Kunci Sukses Kedua adalah faktor Efisiensi/Biaya. Sam-


Sustainable Procurement pai saat ini banyak pihak yang menganggap
Mengacu pada model yang dikembangkan bahwa implementasi SP sangat tidak efisien
oleh Geldeman et al, ditengarai bahwa ada dan membutuhkan biaya yang sangat besar.
empat faktor utama yang mempengaruhi Kalau dilihat secara sempit, pendapat terse-
tingkat kesuksesan implementasi SP. Keem- but tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Karena
pat faktor tersebut adalah: untuk mengintegrasikan kepentingan pemeli-
haraan lingkungan pada operasional pen-
1) Penguasaan konsep, gadaan barang/jasa tentunya membutuhkan
2) Efisiensi/biaya, biaya tambahan. Sehingga terasa biaya yang
3) Insentif organisational/faktor penekan harus ditanggung menjadi bertambah ma-
4) Keberadaan pemasok. hal. Disamping itu ditinjau dari segi waktu
proses biasanya juga bertambah lama. Selain
Hubungan keempat faktor penentu tersebut membutuhkan biaya dan waktu yang lebih
secara diagramatis dapat digambarkan seba- besar juga kompleksitas prosesnya akan se-
gai berikut: makin tinggi. Pandangan tersebut sebenarnya
Penguasaan konsep, faktor pertama keber- bisa dipatahkan oleh argumen yang didasar-
hasilan implentasi SP adalah berkaitan dengan kan atas analisis kepentingan jangka pan-
sosialisasi dan ketersediaan informasi menge- jang. Sebagaimana diketahui seringkali biaya
nai SP itu sendiri. Untuk meningkatkan efek- penanggulangan kerusakan lingkungan akan
tifitas pelaksaan SP di sektor publik, tentu- mengakibatkan biasa sosial yang jauh lebih
nya organisasi/birokrasi pemerintahan harus
betul-betul memahami konsep SP. Dengan
demikian secara kelembagaan, berbagai in-
strument dan kebijakan untuk merealisasikan
SP dapat terformulasikan dengan baik. Tan-
pa penguasaan mengenai filosofi dasar serta
hakekat pentingnya SP bagi keberlangsungan
kehidupan masyarakat yang sejahtera, maka
komitmen pemerintah dalam merealisasikan
Gambar 1.
SP tidak akan terwujud dengan baik.
Faktor penentu tingkat kesuksesan implentasi SP.
Sistem Pengadaan Berkelanjutan November 2012/Vol. 2 - No. 2 9

Tanpa penguasaan mengenai filosofi dasar serta


hakekat pentingnya SP bagi keberlangsungan
kehidupan masyarakat yang sejahtera, maka
komitmen pemerintah dalam merealisasikan SP
tidak akan terwujud dengan baik.
besar dibandingkan pengintegrasian kepent- masa mendatang. Budaya perusahaan seperti
ingan lingkungan pada proses pengadaan. demikian biasanya membutuhkan dukungan
Misalnya kalau kita mewajibkan semua pihak pimpinan yang visioner. Langkah lain untuk
untuk mempergunakan kemasan dari bahan mendorong kepedulian para birokrat untuk
yang bisa didaur ulang, maka akan mengu- mengintegrasikan kepentingan lingkungan
rangi volume sampah yang dihasilkan. Den- pada proses pengadaannya adalah dengan
gan tertanggulanginya persoalan sampah, pemaksaan yang diikat oleh satu aturan yang
maka biaya untuk pengelolaan sampahpun ketat. Misalnya dalam pengadaan energi, jika
menjadi berkurang, dan lingkungan fisik serta ada satu aturan yang tegas yang mewajibkan
sosial pun akan semakin nyaman. Pandangan seluruh pemakaian energi harus mempergu-
jangka panjang yang komprehensif dan holis- nakan energi ramah lingkungan, maka mau
tik inilah yang perlu dikemukakan, sehingga tidak mau seluruh usaha akan diarahkan un-
dalam menghitung biaya tidak hanya didasar- tuk memenuhi kewajiban tersebut.
kan analisis biaya sektoral secara parsial dan
jangka pendek saja. Faktor terakhir yang akan mendorong sukses
tidaknya penerapan SP adalah keberadaan
Faktor ketiga yang sangat berpengaruh pemasok itu sendiri. Untuk menciptakan
pada sukses tidaknya pelaksanaan SP ada- pemasok yang mampu mendukung kebu-
lah kepedulian dari organisasi. Kepedulian tuhan ini, merupakan tantangan tersendiri.
terhadap penyelamatan lingkungan serta Saat sekarang tidak semua pemasok memi-
kepentingan dimasa depan harus menjadi liki visi yang sama terhadap penyelamatan
bagian dari budaya organisasi. Sehingga ge- lingkungan. Oleh karena itu usaha ini harus
rak langkah proses pengadaan apapun akan merupakan usaha bersama dari seluruh pihak
mengintegrasikan kepentingan konservasi yang terkit dalam satu rantai pasok secara in-
lingkungan dan kemanfaatan yang tinggi bagi tegratif. Pelibatan pemasok harus dimulai dari
kehidupan sosial masyarakat dimasa kini dan tahap perencanaan terutama pada saat me-
10 JURNAL PENGADAAN

nentukan spesifikasi suatu produk. Sehing- bahwa gagasan implementasi SP di Inggris


ga dari tahap awal sudah diketahui apakah tidak terlepas dari himbauan “World Summit
bahan untuk membuat produk tersebut dapat on Sustainable Development” pada tahun 2002.
disediakan atau tidak. Dengan kata lain apa- Salah satu rekomendasi yang dihasilkan dari
kah pemasoknya sudah ada atau tidak. Pada pertemuan puncak ini adalah mendorong di-
pengadaan barang publik yang mensyaratkan masukannya pertimbangan aspek lingkung-
tender terbuka, kadang-kadang prinsip kemi- an dalam merumuskan kebijakan pengadaan
teraan seperti tersebut di atas sulit untuk di- di sektor publik. Sebagaimana di uraikan di
laksanakan. atas, sektor publik menjadi tumpuan harapan
untuk dapat menerapkan prinsip SP, karena
3. Berbagai Pengalaman Praktis volumenya sangat besar dan juga merupa-
Internasional kan sentral aktivitas ekonomi. Sehingga
Setelah memahami konsep dasar SP, hal me- dampak penyelamatan lingkungannya juga
narik untuk dibahas selanjutnya adalah pen- akan signifikan. Disamping itu, pemerintah
galaman praktis penerapan SP. Dari berbagai selain mengemban misi untuk meningkatkan
literatur yang ada, belum banyak kajiadan pe- efisiensi, pengurangan biaya, dan meningkat-
nelitian yang mencoba memetakan pelaksan- kan nilai pada proses pengadaannya juga me-
aan SP secara komprehensif dan mendasar. miliki tambahan kewajiban yaitu memelihara
Walaupun demikian, ada beberapa hasil kaji- lingkungan fisik dan sosial sebagai tang-
an yang menarik untuk dikemukakan dianta- gung jawab pemerintah kepada masyarakat.
ranya hasil penelitian Walker Helen, Bram- Beberapa perusahaan swasta juga melaksana-
mer Stephen yang dipublikasikan pada tahun kan SP, akan tetapi sifatnya bukan merupakan
2009. Best practises lainnya yang juga menarik kewajiban melainkan kesadaran yang bersifat
untuk dipelajari adalah informatisasi proses volunteer.
pengadaan yang dilakukan oleh General
Electric sebagai usaha untuk meningkatkan Dalam rangka mengemban misi mensuk-
efisiensi yang juga berdampak pada penghe- seskan pembangunan yang berkelanjutan,
matan pemakaian energi dan kertas. mitigasi pada dampak perubahan iklim, serta
3.1 Pengalaman Praktik Implementasi SP untuk konservasi SDA, pemerintah Inggris
di Inggris telah mencanangkan implementasi SP yang
Dalam laporan penelitiannya, Helen Walker dimulai dari sektor publik. Target awal dari
dan Stephen Brammer mengisyaratkan komitmen ini difokuskan pada tiga hal yaitu :
Sistem Pengadaan Berkelanjutan November 2012/Vol. 2 - No. 2 11

sektor publik menjadi tumpuan harapan untuk dapat


menerapkan prinsip SP, karena volumenya sangat
besar dan juga merupakan sentral aktivitas ekonomi.
1). Memberikan bantuan pada berbagai usaha tan);
pengurangan emisi carbon, pemakaian e- 3). Makanan;
nergi dan air, pengurangan serta pendaur 4). Pakaian dan tekstil lainnya;
ulangan sampah. 5). Limbah;
2). Membantu untuk melindungi keanekara- 6). Pulp, kertas dan percetakan;
gaman hayati (biodiversity), dan 7). Energi;
3). Melarang penggunaan produk-produk 8). Barang-barang konsumabel (mesin kan-
kayu ilegal atau yang tidak sesuai dengan tor dan komputer);
program pembangunan berkelanjutan. 9). Mebel; serta
10). Sektor transportasi/kendaraan bermo-
Selanjutnya ada 10 sektor yang mulai di- tor.
dorong untuk melaksanakan SP yaitu ; Selanjutnya penelitian ini mengemukakan
1). Konstruksi (bangunan dan mereparasi bahwa dari survey terhadap 106 responden di
jalan raya dan jalan lokal, operasi dan sektor pelayanan umum, kesehatan, pendidi-
pemeliharaan); kan dan sektor lainnya, respons terhadap im-
2). Perawatan Kesehatan dan Sosial (biaya plementasi SP dapat dipetakan sebagai beri-
operasional rumah sakit, rumah pera- kut (lihat tabel1 ).
watan sosial dan penyediaan perawa-
Tabel 1 : . Hasil penelitian Implementasi SP di Inggris. (Walker et al, 2009)

RATA-RATA NILAI VARIABEL


DENGAN MEMPERGUNAKAN SKALA LIKERT (5)

VARIABEL SP PELAYANAN KESEHATAN PENDIDIKAN LAINNYA TOTAL


PUBLIK

41 28 21 16 106
Menggunakan analisis siklus hidup un-
tuk mengevaluasi tingkat keramahan 2.71 2.71 3.00 2.87 2.79
lingkungan dari produk dan kemasan
Memiliki pemasok MWBE program
2.17 2.07 2.19 2.33 2.17
pembelian resmi
12 JURNAL PENGADAAN

Berpartisipasi dalam desain produk


2.24 2.46 2.71 2.20 2.39
yang berbasis pada prinsip daur ulang
Memastikan kemanan pergerakan
3.22 3.50 3.71 3.53 3.44
produk pada fasilitas yang dimiliki
Melakukan pembelian dari pemasok
2.49 2.29 2.86 2.67 2.53
MWBE
Berpartisipasi pada badan amal lokal 2.83 2.33 2.90 2.47 2.66
Meminta pemasok untuk berkomit-
ment pada program pengurangan 2.88 2.75 3.62 2.87 2.99
waste (sampah)
Melakukan pembelian dari pemasok
4.27 3.54 4.05 3.80 3.96
kecil
Melakukan kunjungan ke pabrik
pemasok untuk memastikan bahwa
2.49 2.04 2.90 2.80 2.50
mereka tidak menggunakan tenaga
kerja “sweatshop”
Berpartisipasi dalam desain produk
2.34 2.07 2.33 2.33 2.27
untuk proses “disassembly”
Meminta pemasok untuk membayar
"upah layak" lebih besar dari suatu 2.78 2.29 2.90 2.80 2.50
negara atau upah minimum regional
Menyumbang kepada organisasi
2.61 2.14 2.48 2.60 2.46
filantropi
Memastikan bahwa lokasi pemasok
3.39 2.93 3.67 3.40 3.32
dioperasikan dengan cara yang aman
Memastikan bahwa pemasok mema-
3.34 3.32 3.67 3.27 3.39
tuhi hukum pekerja anak
Melakukan pembelian dari pemasok
4.23 3.50 3.71 3.40 3.81
lokal
Mengurangi pemakaian kemasan 3.24 3.25 3.67 3.07 3.30

Catatan: 1. Sangat Tidak Setuju ; 5. Sangat Setuju

Dari tabel di atas, terlihat bahwa respon sek- masok kecil (3,96) dan pemasok lokal (3,81)
tor publik pada implementasi SP sangat ba- dalam memenuhi kebutuhan barang/jasanya.
gus terlihat dari semua rata nilai variabelnya Hal ini memperlihatkan adanya komitmen
> 2, bahkan ada yang mencapai 3,6 hampir 4. keberpihakan pada industri kecil. Kebijakan
Hal yang menarik lainnya adalah, bahwa se- ini tentunya akan meningkatkan stabilitas dan
mua sektor sangat setuju untuk memilih pe- sosial ekonomi seluruh masyarakat. Hal me-
Sistem Pengadaan Berkelanjutan November 2012/Vol. 2 - No. 2 13

narik lainnya adalah adanya kemauan untuk pengadaannya.


mengurangi bahan-bahan kemasan yang pada
dasarnya tidak berguna. Dengan demikian GE lighting adalah salah satu divisi dari GE
efisiensi akan meningkat dan jumlah sampah yang memproduksi bola lampu. Jumlah pabrik
yang dihasilkanpun akan berkurang. Selan- yang dimilikinya pada tahun 1994 saja sudah
jutnya dari tabel di atas terlihat pula adanya mencapai 46 pabrik yang tersebar diseluruh
komitmen untuk merajut jejaring kerja anta- dunia. Dalam memproduksi lampunya, GE
ra pemakain (user) dan pemasok (supplier) lighting membutuhkan beragam material yang
yang lebih erat. Hal ini terlihat adanya ide dipasok tidak kurang dari 25.000 pemasok
untuk berpartisipasi dengan pemasok dimulai yang juga tersebar diseluruh dunia. Dengan
dari proses design dan juga telah mempertim- kondisi ini salah satu biaya yang cukup besar
bangkan penggunaan bahan-bahan yang bisa adalah biaya proses pengadaannya, karena
didaur ulang. jika GE akan memproduksi suatu produknya,
maka dia harus mengirimkan dokumen spesi-
Dari gambaran singkat ini terlihat bahwa fikasi produk (part drawing) serta RFQs (Re-
di Inggris implementasi SP sudah mulai di- quesst for Quates) yang biasanya cukup tebal
laksanakan. Kata kuncinya adalah adanya keseluruh pemasok diseluruh dunia. Dari
kemauan yang kuat dari semua pihak, khu- satu aspek ini saja sudah dapat dibayangkan
susnya pemerintah serta adanya konsistensi biaya yang dibutuhkannya yang mencakup; 1)
dalam melaksanakan seluruh kebijakan SP. biaya fotokopi (penggandaan), 2) biaya pem-
beliaan kertas, amplop dll, 3) biaya pengiri-
3.2 Pengalaman Praktik Implementasi man (ekspedisi).
di sektor Swasta
Banyak anggapan bahwa untuk melaksanakan Di samping kebutuhan bahan-bahan un-
SP di sektor swasta biasanya membutuhkan tuk pengadaan dokumen spesifikasi produk,
biaya yang sangat tinggi dan prosesnya tidak juga dibutuhkan sejumlah tenaga kerja un-
efisien. Oleh karena itu SP sering dianggap tuk mengerjakan proses tersebut. Proses ini
tidak feasible untuk dilaksanakan oleh pihak cukup memakan waktu yang panjang karena
swasta. Peryataan tersebut tidak sepenuhnya harus mengirim dan menunggu jawaban, pal-
benar, ada kasus menarik yang ingin kami ke- ing tidak dibutuhkan waktu sekitar 1 bulan,
mukakan disini yaitu usaha dari General Elec- belum ditambah untuk analisis penawaran
tric (GE) untuk meningkatkan efisiensi proses dari pemasok dan keputusan untuk menen-
14 JURNAL PENGADAAN

tukan siapa pemenangnya. Jika GE lighting ini tuk mengerjakan pekerjaan teknis seperti
membutuhkan ratusan material dari ribuan fotokopi, mengirimkan dokumen, meng-
pemasok, maka dapat dibayangkan kesibukan adiminstrasikan ekspedisi dll, kini dapat
proses pengadaan setiap tahunnya dan be- dialihkan pada pekerjaan yang lebih stra-
sarnya biaya yang dibutuhkannya. tegis, dan memikirkan pengembangan pe-
rusahaan. Dengan demikian para pekerja
Untuk meningkatkan efisiensi waktu dan dapat menggunakan kapasitas intelektu-
biaya pada proses pengadaan di GE lighting, alnya lebih intensif dibandingkan peng-
maka pada tahun 1996 dibangunlah suatu gunaan ototnya.
aplikasi berbasis WEB yang dinamakan GE 4). Menghemat waktu kerja. Proses peng-
Trading Process Network. Pada saat ini aplika- adaan yang dilakukan secara manual bi-
si tersebut barangkali dapat dikategorikan asanya membutuhkan waktu sekitar 8
sebagai e-procurement. Melalui sistem inilah sampai 23 hari kerja dimulai dari identi-
komunikasi dan koordinasi antara GE dan fikasi pemasok, mengirimkan dokumen
pemasoknya serta antar pabrik GE dilaku- penawaran, menganalisis hasil sampai me-
kan. Dengan adanya sistem ini ternyata efek nentukan pemenang dan melakukan kon-
dominonya sangat panjang dan meningkat- trak. Kini melalui sistem ini hanya dibu-
kan manfaat serta pengurangan biaya yang tuhkan waktu kerja antara 9 sampai 11
luar biasa besarnya. hari kerja. Dengan adanya pengurangan
waktu tentunya akan menurunkan biaya
Beberapa tangible dan intangibel benefit-nya di- serta meningkatkan produktifitas proses
antaranya adalah sebagai berikut : produksi itu sendiri. Dengan demikian ka-
1). Keterlibatan pekerja dalam proses pen- pasitas produksi dapat tingkatkan.
gadaan menurun sebanyak 30%.
2). 60 % dari pekerja yang sudah tidak terlibat Dari kasus ini banyak pelajaran yang dapat
pada proses pengadaan dapat dipindah- dipetik (lesson learned) diataranya adalah
kan dan didayagunakan pada bagian lain, melalui sistem elektronik tidak dibutuhkan
sehingga produktifitas tenaga kerjapun kertas yang banyak, tinta mesin fotokopi,
semakin meningkat. energi listrik maupun bahan bakar, kemasan
3). Kualitas hasil kerja para tenaga pun dapat serta bahan habis lainnya. Dengan demiki-
ditingkatkan karena 6 sampai 8 hari ker- an tujuan perusahaan untuk meningkatkan
janya yang biasanya hanya digunakan un- efisiensi (mengurangi biaya), meningkatkan
Sistem Pengadaan Berkelanjutan November 2012/Vol. 2 - No. 2 15

Untuk menjawab tantangan dunia dalam rangka


menyelamatkan lingkungan serta meningkatkan
konservasi SDA, maka prinsip pembangunan
berkelanjutan serta berkeadilan sudah selayaknya
dilakukan secara konsisten dan konsekuen.
produktifitas (menaikkan utilitas jam kerja) karena volume pengadaan barang/jasa yang
serta meningkatkan kinerja pekerja dapat ter- paling besar adalah disektor publik. Disam-
capai dengan baik. Disamping itu ada dam- ping itu pemerintah memilki peran ganda yai-
pak ikutannya adalah konservasi SDA berupa tu sebagai aktor ekonomi dan sekaligus juga
kertas, energi serta material lain yang biasanya sebagai regulator. Pemerintah dalam hal ini
menimbulkan pencemaran (tinta, dll). Mela- harus menjadi role model bagi pelaku ekonomi
lui sistem ini pula terjalin rantai nilai (value lainnya (sektor swasta) dengan menetapkan
chain) dari rantai pasok (supply chain) yang SP menjadi kebijakan utama bagi proses
kokoh dan saling menguntungkan. Dari gam- pengadaan barang/jasa publik.
baran kasus kecil ini, pada hakekatnya solusi
efisiensi pengadaan yang dikembangkan oleh Sesuai dengan model yang dikembangkan
GE dapat dikategorikan sebagai praktik SP di Geldeman et al, maka langkah-langkah yang
sektor swasta yang cukup sukses. harus diambil diantaranya adalah, pertama
mengintesifkan sosialisasi filosofis SP kepada
5. Penutup semua pihak sehingga konsep tersebut dapat
Untuk menjawab tantangan dunia dalam dipahami secara cermat. Kedua meningkat-
rangka menyelamatkan lingkungan serta kan pemahaman bahwa implementasi SP me-
meningkatkan konservasi SDA, maka prinsip mang seringkali terlihat membutuhkan biaya
pembangunan berkelanjutan serta berkeadi- yang cukup besar, akan tetapi manfaat jangka
lan sudah selayaknya dilakukan secara kon- panjangnya pun sangat besar. Sehingga dana
sisten dan konsekuen. Salah satu langkah yang dikeluarkan dalam rangka mengim-
yang dapat dilakukan adalah dengan mengim- plementasikan SP ini sejatinya digolongkan
plementasikan konsep SP pada berbagai akti- pada investasi. Faktor ketiga yang harus men-
fitas pengadaan khususnya di sektor publik. dapat perhatian adalah pengembangan sistem
reward and punishment. Bagi yang mengem-
Pemerintah harus menjadi promotor utama, bangkan SP diberi insentif sedangkan yang
16 JURNAL PENGADAAN

melanggar tentunya diberi teguran. Dalam Pelaksanaan SP memang kompleks, akan


hal ini penegakan hukum harus benar-benar tetapi kalau tidak dimulai maka tidak akan
dilaksanakan. Faktor penting lainnya adalah pernah terwujud. Mengutip kata-kata bijak
pembinaan pemasok. Implementasi SP akan dari Walter Aigner “A mind is like a parachute, it
berjalan dengan baik jika ada kerjasama yang works when it’s open”. Apapun tidak akan terjadi
harmonis atara pengguna dan pemasok. kalau kita tidak berani memulai.
Kemitraan ini harus sudah dimulai dari tahap
disain suatu produk atau jasa. Sehingga sp-
esifikasi teknisnya dapat dirumuskan bersama
antara pengguna dan pemasok.
Sistem Pengadaan Berkelanjutan November 2012/Vol. 2 - No. 2 17

DAFTAR PUSTAKA

Alfonso, A., Schuknecht, L. and Tanzi, (2005) Preuss Lutz, (2009), “Addressing sustainable
‘Public Sector Efficiency: An International Com- development through public procurement: the case
parison’, Public Choice, Vol 123 no 3/4, pp of local government”, Supply Chain Manage-
321-347 ment: An International Journal, Vol 14
No 3, pp 213–223.
Ardent Partners Research - CPO 2011: “In-
novative Ideas for the Decade Ahead”. Ramsay John, (2008), “Purchasing theory and
practice: an agenda for change”, The Business
Brammer Stephen, Walker Helen, (2011), School, Staffordshire University, Stoke-
“Sustainale procurement in the public sector : an on-Trent, UK, European Business Review
international comparative study”, Internation- Vol. 20 No. 6, 2008 pp. 567-569, Emerald
al Journal of Operations & Production Group Publishing Limited 0955-534X
Management Vol 31 No 4, pp 452-476.
United Nations Commission on Sustainable
Conner S David, Nowak Andrew, Berken- Development, the 1987 Brundtland Re-
kamp JoAnne, Feenstra Gail W, Van Soe- port, “Our Common Future”.
len Kim Julia, Liquori Toni,e and Hamm
Michael W, 2011, “Value chains for sustaina- US Gouverment Accountability Office, 2007,
ble procurement in large school districts: Fostering “District of Columbia : Public Procurement Sys-
partnerships” Journal of Agriculture, Food tem Needs Mayor Reform”, Journal of Public
Systems, and Community Development. Procurement, V olume 7 Issue 2, p 229-
279.
Dadan U D, 2000, “Cyber Communities”, hands
out kuliah Magister Teknik Industri. Walker Helen, Brammer Stephen, (2009),
“Sustainable procurement in the United King-
HM Treasury (2000), “Government accounting dom public sector” Supply Chain Manage-
2000”. ment: An International Journal Voluma
14/2, pp 128–137.
Mc Crudden, C. (2004), “Using public procure-
ment to achieve social outcomes”, Natural Re-
sources Forum, Vol. 28 No. 4, pp. 257-67.
PORSI ANGGARAN PENGADAAN
BARANG/JASA PADA APBN
18 JURNAL PENGADAAN

Porsi Anggaran Pengadaan


Barang/Jasa pada APBN

Tujuan suatu negara pada dasarnya adalah memajukan kesejahteraan

dan melindungi rakyatnya, serta mencukupi kepentingan-kepentingan

lain rakyatnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah memiliki

tugas yang sekaligus melekat pada fungsi negara yang dapat dikatego-

rikan sebagai fungsi utama negara dan fungsi sebagai agen pembang-

unan.

M. TRISNO HADISAPUTRA
Fungsi utama negara adalah melaksanakan tugas yang membawa aki-

bat yang langsung dirasakan oleh masyarakat. Sedangkan dalam men-

jalankan fungsi sebagai agen pembangunan, pemerintah bertindak

sebagai pendorong inisiatif atau pendorong motivasi rakyat dalam usa-

hanya untuk mengadakan perubahan dan pembangunan masyarakat

menuju ke arah kehidupan yang lebih baik, berupa pemberian fasilitas-


fasilitas fisik, dan lain-lain.
Porsi Anggaran Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada APBN November 2012/Vol. 2 - No. 2 19

S elain menjalankan kedua fungsi tersebut,


pemerintah memiliki tugas lain yaitu se-
bagai pengelola keuangan negara. Berdasar-
yang diperlukan bila diperkirakan akan terjadi
defisit atau surplus.

kan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003, APBN yang disetujui oleh DPR terinci sam-
Keuangan Negara adalah semua hak dan pai dengan organisasi, fungsi, program/keg-
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan iatan, dan jenis belanja. Dengan disahkannya
uang, serta segala sesuatu baik berupa uang APBN, berarti DPR telah memberikan oto-
maupun berupa barang yang dapat dijadikan risasi kepada Kementerian Negara/Lembaga
milik negara berhubungan dengan pelaksan- untuk melaksanakan program/kegiatan deng-
aan hak dan kewajiban tersebut. an pagu anggaran yang dimilikinya. APBN
yang telah disetujui oleh DPR dan disahkan
Hak negara untuk memungut pajak, menge- Presiden menjadi UU APBN dan selanjutnya
luarkan dan mengedarkan uang, dan mela- dimuat dalam Lembaran Negara. UU APBN
kukan pinjaman. Kewajiban negara untuk dilengkapi dengan rincian APBN yang ditu-
menyelenggarakan tugas layanan umum angkan dalam Peraturan Presiden tentang
pemerintahan negara dan membayar tagi- Rincian APBN.
han kepada pihak ketiga. Semua penerimaan
yang menjadi hak dan pengeluaran yang men- Postur APBN Tahun Anggaran 2012
jadi kewajiban negara dalam tahun anggaran APBN memiliki fungsi strategis sebagai salah
bersangkutan harus dimasukkan ke dalam satu instrumen kebijakan fiskal dalam mem-
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pengaruhi perekonomian nasional. APBN
(APBN). diupayakan dapat berfungsi secara optimal
untuk meredam siklus bisnis atau fluktuasi
APBN merupakan rencana keuangan tahu- ekonomi, atau dengan kata lain bersifat kon-
nan pemerintahan negara yang disetujui oleh tra-siklis. Hal tersebut berarti bahwa dalam
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). APBN kondisi perekonomian yang lesu, pengeluar-
pada hakekatnya merupakan dokumen for- an pemerintah yang bersifat autonomous, khu-
mal hasil kesepakatan antara eksekutif dan susnya belanja barang/jasa serta modal, dapat
legislatif tentang belanja yang ditetapkan un- memberikan stimulasi kepada perekonomian
tuk melaksanakan kegiatan pemerintah dan untuk tumbuh lebih tinggi. Sebaliknya dalam
pendapatan yang diharapkan untuk menutup kondisi perekonomian yang tengah memanas
keperluan belanja tersebut atau pembiayaan akibat terlalu tingginya permintaan agregat,
20 JURNAL PENGADAAN

dalam kondisi perekonomian yang tengah


memanas akibat terlalu tingginya permintaan
agregat, kebijakan fiskal dapat didayagunakan
untuk berperan dalam mendinginkan roda kegiatan
ekonomi dengan menyeimbangkan kondisi
permintaan dan penyediaan sumber-sumber
perekonomian melalui dampak konstraksi APBN.
kebijakan fiskal dapat didayagunakan untuk dapatan negara, meningkatkan efisiensi dan
berperan dalam mendinginkan roda kegiatan efektivitas belanja negara, serta mengopti-
ekonomi dengan menyeimbangkan kondisi malkan pengelolaan pembiayaan secara hati-
permintaan dan penyediaan sumber-sumber hati dan meningkatkan pemanfaatannya un-
perekonomian melalui dampak konstraksi tuk kegiatan produktif.
APBN.
Alokasi anggaran belanja pemerintah pusat
Dalam nota keuangan yang disampaikan pada RAPBN tahun 2012 akan difokuskan
pemerintah kepada DPR dapat dilihat kebi- untuk memberikan dukungan terhadap: (1)
jakan alokasi anggaran belanja negara dalam peningkatan belanja infrastruktur; (2) pelak-
RAPBN tahun 2012 diarahkan kepada upaya sanaan klaster 4, yang terdiri dari 6 program
mendorong pertumbuhan di daerah melalui utama, dan 3 prioritas utama; (3) program per-
pengembangan koridor ekonomi, membang- lindungan sosial dalam bentuk program Jam-
un infrastruktur yang mendukung terwujud- kesmas, program keluarga harapan (PKH),
nya keterhubungan wilayah, mendorong per- program nasional pemberdayaan masyarakat
cepatan pembangunan Papua, Papua Barat, (PNPM), BOS, dan raskin; (4) peningkatan
dan Nusa Tenggara Timur, memperluas par- belanja untuk bidang perekonomian yang
tisipasi seluruh pemangku kepentingan, ter- ditujukan untuk perluasan dan percepatan
masuk melibatkan unsur swasta, serta men- pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan
dorong pelaksanaan program perlindungan berkualitas; (5) implementasi anggaran ber-
sosial yang berpihak kepada masyarakat basis kinerja oleh K/L dengan pendekatan
lemah dan tertinggal. Di samping itu, kebi- pencapaian output dan outcome; (6) pe-
jakan alokasi anggaran juga tetap diarahkan ningkatan kemampuan pertahanan menuju
untuk mengoptimalkan sumber-sumber pen- minimum essential force; (7) perbaikan kese-
Porsi Anggaran Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada APBN November 2012/Vol. 2 - No. 2 21

jahteraan aparatur negara dan perluasan ke- hibah yang direncanakan sebesar Rp 825,1
bijakan reformasi birokrasi; (8) pengendalian miliar.
pengangkatan PNS pusat dan daerah dengan b. Belanja negara direncanakan sebesar Rp
mengarahkan kepada kebijakan zero growth; 1.435,4 triliun. Jumlah ini, berarti me-
(9) pengalokasian anggaran subsidi agar lebih nunjukkan peningkatan sebesar Rp 114,6
tepat sasaran; (10) peningkatan efisiensi dan triliun atau 8,68 persen dari pagu angga-
efektivitas belanja negara; serta (11) penga- ran belanja negara dalam APBN-P 2011
lokasian anggaran pendidikan 20 persen dari sebesar Rp 1.320,8 triliun. Anggaran be-
APBN dan mengarahkan pemanfaatan ang- lanja negara terdiri atas anggaran belanja
garannya untuk meningkatkan aksesibilitas pemerintah pusat dan anggaran transfer
serta kualitas sarana dan prasarana pendidi- ke daerah. Belanja pemerintah pusat dalam
kan. tahun 2012 direncanakan sebesar Rp 965
triliun. Sementara itu, anggaran transfer
Dalam UU Nomor 22 tahun 2011 tentang ke daerah dalam APBN tahun 2012 diren-
APBN Tahun Anggaran 2012 yang telah di- canakan sebesar Rp 470,4 triliun.
sahkan DPR, postur APBN 2012 meliputi c. Defisit anggaran diperkirakan sebesar Rp
pokok-pokok besaran sebagai berikut : 124 triliun.
a. Pendapatan negara dan penerimaan hibah d. Pembiayaan defisit APBN 2012 diren-
direncanakan mencapai Rp1.311,4 triliun. canakan berasal dari sumber-sumber
Anggaran pendapatan negara dan hibah pembiayaan dalam negeri sebesar Rp
diperoleh dari sumber-sumber; (a) pene- 125,9 triliun, dan pembiayaan luar negeri
rimaan perpajakan yang direncanakan (netto) yang diperkirakan sebesar negatif
sebesar Rp 1.032,6 triliun; (b) penerimaan Rp 1,9 triliun.
negara bukan pajak yang direncanakan
sebesar Rp 278 triliun; (c) penerimaan

Tabel 1
STRUKTUR APBN 2012
(dalam jutaan rupiah)
A PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH 1,311,386,679.47
I PENERIMAAN DALAM NEGERI 1,310,561,587.88
1 Penerimaan Perpajakan 1,032,570,205.00
2 Penerimaan Negara Bukan Pajak 277,991,382.88
22 JURNAL PENGADAAN

II HIBAH 825,091.59
B BELANJA NEGARA 1,435,406,720.00
I BELANJA PEMERINTAH PUSAT 964,997,261.41
II TRANSFER KE DAERAH 470,409,458.59
1 Dana Perimbangan 399,985,581.06
2 Dana Otsus dan Penyesuaian 70,423,877.53
C KESEIMBANGAN PRIMER (1,802,430.53)
D SURPLUS/DEFISIT (124,020,040.53)

E PEMBIAYAAN 124,020,040.53
1 PEMBIAYAAN DALAM NEGERI 125,912,297.44
2 PEMBIAYAAN LUAR NEGERI (1,892,256.91)
Sumber : APBN 2012

Komposisi Belanja Negara dalam APBN jenis belanja terbagi atas 8 jenis belanja, yaitu:
Anggaran belanja negara dipergunakan untuk belanja pegawai, belanja barang, belanja mo-
keperluan penyelenggaraan tugas pemerin- dal, pembayaran bunga utang, subsidi, hibah,
tahan pusat (belanja pemerintah pusat) dan bantuan sosial, dan belanja lain-lain. Angga-
pelaksanaan perimbangan keuangan antara ran transfer ke daerah dalam rangka menda-
pemerintah pusat dan daerah (transfer ke nai pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa
daerah). Belanja pemerintah pusat dirinci dana perimbangan (dana bagi hasil, dana
menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja. alokasi umum, dan dana alokasi khusus),
  Rincian belanja pemerintah pusat menurut dana otonomi khusus, dan dana penyesuaian.
Grafik 1
Komposisi Belanja Pemerintah Pusat TA 2012
(":;$<$1$%'=>$%)'
!"#$%&$'678$#' 2,-??0'
29-/90'
!"#$%&$'!$1$%)'
23-450'

@A;B+8+'
,2-?90'
!"#$%&$'(")$*$+'
,,-./0'

!"#$%&$'C+;$D'
E-230'
!"#$%&$'@7B+$#'
!"#$%&$'F$+%GF$+%'
4-390'
,-390'
Porsi Anggaran Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada APBN November 2012/Vol. 2 - No. 2 23

Tabel 2

Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Tahun 2012


(dalam triliun rupiah)
Jenis belanja Pagu %
Belanja Pegawai 215.90 22.37%
Belanja Barang 188.00 19.48%
Belanja Modal 152.00 15.75%
Pembayaran Utang 122.20 12.66%
Subsidi 208.90 21.65%
Belanja Hibah 1.80 0.19%
Belanja Sosial 47.80 4.95%
Belanja Lain-Lain 28.50 2.95%
Total Belanja 965.10 100.00%
Sumber : Kemenkeu

Dari alokasi anggaran belanja pemerintah pu- barang, sekitar Rp 152,0 triliun atau 15,75
sat dalam APBN 2012 sebesar Rp 965 triliun, persen untuk belanja modal, sekitar Rp
sekitar Rp 215,9 triliun atau 22,37 persen di- 122,2 triliun atau 12,66 persen untuk pem-
alokasikan untuk belanja pegawai, sekitar Rp bayaran bunga utang, sekitar Rp 208,9 trili-
188,0 triliun atau 19,48 persen untuk belanja un atau 21,65 persen untuk subsidi, sekitar

Grafik 2

Komposisi Transfer ke Daerah TA 2012

!"#"$0*12")'$3454$
67-+,/$

!"#"$%"&'$(")'*$
+,-+./$

!"#"$=>#?>)5"'"#$
,+-<@/$

!"#"$0*12")'$895)5)$
!"#"$:;)5)$ 6-66/$
+-6</$
A54B>C$D$$0=%E$+F,+$

 
24 JURNAL PENGADAAN

Rp 1,8 triliun atau 0,19 persen untuk belanja dalam rangka pembentukan modal/investasi
hibah, sekitar Rp 47,8 triliun atau 4,95 per- dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin,
sen untuk bantuan sosial, dan sekitar Rp 28,5 gedung dan bangunan, jaringan, serta dalam
triliun atau 2,95 persen untuk belanja lain- bentuk fisik lainnya. Belanja modal dialokasi-
lain.Dari alokasi anggaran transfer ke daerah kan untuk mendukung pembiayaan bagi
dalam APBN 2012 sebesar Rp 470,41 triliun, kegiatan-kegiatan pembangunan infrastruk-
sekitar Rp 100,06 triliun atau 21,27 persen di- tur yang dapat meningkatkan pertumbuhan
alokasikan untuk dana bagi hasil, sekitar Rp ekonomi, menciptakan kesempatan kerja,
273,81 triliun atau 58,21 persen untuk dana dan mengentaskan kemiskinan.
alokasi umum, sekitar Rp 26,12 triliun atau
5,55 persen untuk dana alokasi khusus, sekitar Dari total belanja pemerintah pusat TA 2012
Rp 11,95 triliun atau 2,54 persen untuk dana sebesar Rp 965 triliun, sekitar Rp 340 triliun
otonomi khusus, dan sekitar Rp 58,47 triliun atau 35,23% merupakan pengeluaran dalam
atau 12,43 persen untuk dana penyesuaian. rangka pengadaan/pembelian barang/jasa
non investasi melalui belanja barang dan in-
Porsi Pengadaan Barang/Jasa vestasi melalui belanja modal. Angka tersebut
dalam APBN TA 2012 belum termasuk sebagian belanja bantuan so-
Pengadaan barang/jasa pemerintah memiliki sial berbentuk barang dan belanja terkait pro-
peran yang sangat penting dalam pelaksa- gram PNPM Mandiri sebesar Rp 8,47 triliun
naan APBN. Hampir sebagian besar belanja yang dibelanjakan oleh Kementerian negara/
pemerintah yang dialokasi dalam APBN di- Lembaga (K/L).
laksanakan melalui proses pengadaan ba-
rang/jasa, seperti belanja barang, belanja Di samping itu terdapat belanja hibah sebesar
modal, sebagian belanja bantuan sosial, dan Rp 1,8 triliun melalui Kementerian Keuangan
belanja hibah. selaku Bendaharawan Umum Negara (BUN)
kepada daerah dalam upaya mendukung pe-
Belanja barang yang dialokasikan merupa- ningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam
kan pengeluaran pemerintah dalam rangka menyediakan layanan dasar umum dalam
pengadaan/pembelian barang/jasa non in- bidang perhubungan, pendidikan, irigasi,
vestasi guna mendukung kegiatan operasional perkebunan kelapa sawit, dan eksplorasi geo-
pemerintah. Sedangkan belanja modal adalah thermal dengan rincian yaitu: Mass Rapid Tran-
belanja pemerintah pusat yang dilakukan sit (MRT) Project sebesar Rp 1,53 triliun, Pro-
Porsi Anggaran Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada APBN November 2012/Vol. 2 - No. 2 25

gram Local Basic Education Capaciity (L-BEC) System Management Project APL 2 (WISMP-2)
sebesar Rp 11,5 miliar, Development of Seula- sebesar Rp 147,78 miliar, dan Simeuleu Physical
wah Agam Geothermal in NAD Province sebesar Infrastructure Project-Phase 2 sebesar Rp 81,16
Rp 23,16 miliar, Water Resources and Irrigation miliar.

Tabel 3

Komposisi Anggaran Transfer ke Daerah Tahun 2012


(dalam triliun rupiah)
Jenis Transfer Pagu %
Dana Bagi Hasil 100.06 21.27%
Dana Alokasi Umum 273.81 58.21%
Dana Alokasi Khusus 26.12 5.55%
Dana Otsus 11.95 2.54%
Dana Penyesuaian 58.47 12.43%
Jumlah Total 470.41 100.00%
Sumber : Kemenkeu

Grafik 3

Porsi Pengadaan Barang / Jasa Melalui Belanja K/L dan BUN

!)((%$$!!
!#$$%$$!!
!)($%$$!! !)>#%$$!!
!)'$%$$!!
!)&$%$$!!
!)#$%$$!!
!)$$%$$!!
!($%$$!!
!'$%$$!!
!(%&?!! !)%($!!
!&$%$$!!
!#$%$$!!
!"!!
*+,-./-!0-1-.2! *+,-./-!345-,! *+,-./-!*-.646!78983! *+,-./-!<:0-=!
3-.5:1:;!
26 JURNAL PENGADAAN

Selanjutnya dalam pelaksanaan desentralisasi perikanan, pertanian, lingkungan hidup, kelu-


fiskal, sebagai salah satu sumber pendanaan- arga berencana, kehutanan, sarana prasarana
nya, dalam APBN 2012 dialokasikan transfer daerah tertinggal, perdagangan, listrik pede-
ke daerah sebesar 470,41 triliun. Sebagian be- saan, perumahan dan permukiman, transpor-
sar merupakan dana yang bersifat block grant tasi perdesaan, sarana dan prasarana kawasan
mencapai kisaran 79, 48% atau Rp 337,87 perbatasan, dan keselamatan transportasi
triliun dari total keseluruhan dana transfer ke darat.
daerah yang berasal dari Dana Alokasi Umum
(DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Alokasi dana otonomi khusus sebesar Rp
11,95 triliun, dialokasikan untuk dana oto-
Jenis transfer ke daerah lainnya yang sudah nomi khusus Provinsi Papua dan Provinsi
ditentukan penggunaannya adalah Dana Papua Barat untuk pendanaan pendidikan
Alokasi Khusus (DAK) yang bersifat specific dan kesehatan, dana otonomi khusus Aceh
grant untuk membantu mendanai kegiatan untuk pendanaan pembangunan dan pemeli-
khusus yang merupakan urusan daerah dan haraan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi
sesuai dengan prioritas nasional. Dana DAK rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pen-
sebesar Rp 26, 12 triliun untuk membiayai danaan pendidikan, sosial, dan kesehatan, se-
kegiatan di bidang pendidikan, kesehatan, dangkan dana tambahan infrastruktur dalam
infrastruktur jalan, infrastruktur irigasi, in- rangka otonomi khusus Provinsi Papua dan
frastruktur air minum, infrastruktur sanitasi, Provinsi Papua Barat ditujukan untuk pen-
prasarana pemerintahan daerah, kelautan dan danaan pembangunan infrastruktur.
Tabel 4

Alokasi Dana Otonomi Khusus TA 2012

Uraian Pagu

Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua 3,833,402,135,000

Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua Barat 1,642,886,629,000

Dana Otonomi Khusus Aceh 5,476,288,764,000

Dana Tambahan Infrastruktur Otsus Provinsi Papua 571,428,571,000

Dana Tambahan Infrastruktur Otsus Provinsi Papua Barat 428,571,429,000

Jumlah Total 11,952,577,528,000.00

Sumber : APBN 2012


Porsi Anggaran Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada APBN November 2012/Vol. 2 - No. 2 27

Grafik 4

Porsi Pengadaan Barang/Jasa Melalui Transfer


Daerah (DAK & Otsus)
(dalam Milyar)

Perkembangan Anggaran sosial dan belanja hibah dari tahun 2008 hing-
Belanja Pemerintah, 2008-2011 ga 2011 mengalami kenaikan. Untuk alokasi
Perkembangan kebijakan belanja pemeritah belanja barang pada tahun 2009 sebesar Rp
pusat dari tahun ke tahun mengalami ke- 85,46 triliun mengalami kenaikan sebesar
naikan. Salah satu kebijakan belanja peme- Rp 17,98 triliun dibandingkan alokasi tahun
rintah yaitu dapat meningkatkan dampak 2008. Kemudian meningkat di tahun 2010
anggaran (multiplier effect) dari setiap penge- menjadi Rp 112,59 triliun. Dan pada tahun
luaran, agar APBN semakin efektif dalam 2011 mengalami kenaikan sebesar Rp 30,21
memberikan stimulus kepada perekonomi- triliun menjadi Rp 142,80 triliun dari alokasi
an. Belanja pemerintah melalui belanja ba- yang dianggarkan pada tahun 2010 sebesar
rang dan belanja modal mendapat perhatian Rp 112,59 triliun.
yang cukup besar karena dapat menstimulasi
perekonomian. Hal ini menunjukkan proses Untuk belanja modal pada tahun 2009 di-
pengadaan barang/jasa memiliki peran yang alokasikan sebesar Rp 73,38 triliun mengala-
sangat penting untuk menggerakkan aktivitas mi penurunan dibandingkan alokasi tahun
ekonomi dilihat dari alokasi anggaran yang 2008 sebesar Rp 85,07 triliun. Kemudian
dilaksanakan melalui pengadaan barang/jasa meningkat di tahun 2010 menjadi Rp 95,02
mengalami peningkatan setiap tahunnya. triliun, dan pada tahun 2011 mengalami ke-
naikan sebesar Rp 45,98 triliun menjadi Rp
Pada Tabel 5 dapat kita lihat bahwa alokasi 141,0 triliun dari alokasi yang dianggarkan
pagu belanja barang, belanja modal, bantuan pada tahun 2010 sebesar Rp 95,02 triliun.
28 JURNAL PENGADAAN

proses pengadaan barang/jasa


memiliki peran yang sangat penting untuk
menggerakkan aktivitas ekonomi dilihat dari
alokasi anggaran yang dilaksanakan melalui
pengadaan barang/jasa mengalami
peningkatan setiap tahunnya.
Tabel 5

Perkembangan Realisasi Belanja Pemerintah Pusat

(dalam Triliun Rupiah)

Uraian 2008 2009 2010 2011


Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi

Belanja Barang 67.48 55.96 85.46 80.67 112.59 97.60 142.80 121.00

Belanja Modal 85.07 72.77 73.38 75.87 95.02 80.29 141.00 115.90

Belanja Bantuan Sosial 59.70 57.74 77.93 73.81 71.17 68.61 81.80 70.90

Belanja Hibah - - 0.03 - 0.24 0.07 0.40 0.30

Sumber : LKPP Audited 2008-2010, Kemenkeu


Grafik 5

Tren Pagu Belanja 2008 - 2011


(Dalam Trilyun Rupiah)

 
(&!"!!#

(%$"'!# (%("!!#
(%!"!!#

($!"!!#
(($"+)#
(!!"!!# '+"!*# '+"%&# **"),#
)+"!$# '("'!#
'!"!!# +)"*!#*,",'#
*("(*#
&*"%'#
&!"!!#

!"!!#
%!"!!# !"!,#
!"$%#
!"%!#

$!"!!#

!"!!#
$!!'#
$!!)#
$!(!#
$!((#

-./0120#-03014# -./0120#5670/# -./0120#-018901#:6;<0/# -./0120#=<>0?#


Porsi Anggaran Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada APBN November 2012/Vol. 2 - No. 2 29

Realisasi belanja memiliki kecenderungan men pencairan. Hal ini yang perlu mendapat
meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun perhatian dari K/L agar alokasi belanja yang
2008, realisasi belanja barang mencapai 55,96 disediakan dalam APBN dapat memberikan
triliun, dan pada tahun 2009 sebesar Rp dampak bagi pertumbuhan ekonomi nasional
80,67 triliun dari yang dianggarkan sebesar dan kesejahteraan masyarakat melalui kon-
Rp 85,46 triliun. Kemudian meningkat di ta- sumsi dan investasi dari belanja pemerintah.
hun 2010 menjadi Rp 97,60 triliun. Dan pada
tahun 2011, realisasi penyerapan mencapai Untuk transfer ke daerah terkait dengan Dana
sebesar Rp 121,0 triliun. Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Otono-
mi Khusus untuk periode tahun 2008-2011
Untuk realisasi belanja modal juga memiliki mengalami perubahan alokasi anggaran seba-
kecenderungan meningkat dari tahun ke ta- gaimana pada tabel 4. Alokasi DAK pada ta-
hun. Pada tahun 2008, realisasi belanja modal hun 2009 sebesar Rp 24,82 triliun mengalami
mencapai 72,77 triliun, dan pada tahun 2009 kenaikan sebesar Rp 3,62 triliun dibanding-
sebesar Rp 75,87 triliun dari yang dianggar- kan tahun sebelumnya. Untuk alokasi tahun
kan sebesar Rp 73,38 triliun. Kemudian me- 2010 mengalami penurunan dengan alokasi
ningkat di tahun 2010 menjadi Rp 80,29 trili- sebesar Rp 21,14 triliun. Dan pada tahun
un, dan pada tahun 2011, realisasi penyerapan 2011 alokasi DAK mengalami kenaikan sebe-
mencapai sebesar Rp 115,90 triliun. sar Rp 4,06 triliun menjadi Rp 25,20 triliun.

Namun baik realisasi belanja pegawai maupun Sedangkan alokasi Dana Otsus pada tahun
belanja modal belum mengalami penyerapan 2008 dialokasikan sebesar Rp 7,51 triliun. Se-
secara maksimal dari pagu dana yang disedia- dangkan pada tahun 2010 dialokasikan sebe-
kan. Hal yang terjadi selama ini menunjuk- sar Rp 9,10 triliun yang berarti mengalami
kan kurang optimalnya penyerapan anggaran penurunan sebesar Rp 0,43 triliun dari dana
belanja dan cenderung menumpuk di akhir yang dialokasikan pada tahun 2009 sebesar
tahun. Salah satu kendala yang ditengarai Rp 9,53 triliun. Dan pada tahun 2011 dana
menjadi penyebab kurang optimalnya penye- otsus dialokasikan sebesar Rp 10,40 triliun.
rapan anggaran belanja adalah kesiapan ke-
menterian negara/lembaga dalam melaksana- Realisasi Transfer DAK ke daerah dari ta-
kan prosedur pengadaan barang/jasa serta hun 2008-2011 rata-rata mencapai 98% dari
kesiapan dalam menyediakan berbagai doku- jumlah pagu dana, sedangkan realisasi trans-
30 JURNAL PENGADAAN

fer dana otsus dari tahun 2008-2011 men- dari tahun sebelumnya. Sedangkan untuk ta-
capai 100% dari jumlah dana otsus yang di- hun 2011, realisasi mencapai Rp 24,80 triliun,
anggarkan. Realisasi DAK pada tahun 2008 yang berarti mengalami kenaikan sebesar Rp
mencapai Rp 20,79 triliun. Pada tahun 2009 3,84 triliun dibandingkan realisasi pada tahun
mengalami kenaikan sebesar Rp 3,92 triliun 2010 sebesar Rp 20,96 triliun.

Tabel 6

Perkembangan Realisasi Transfer Ke Daerah Dana DAK & Otsus


(dalam Triliun Rupiah)

Uraian 2008 2009 2010 2011


Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi

Dana Alokasi Khusus 21.20 20.79 24.82 24.71 21.14 20.96 25.20 24.80

Dana Otonomi Khusus 7.51 7.51 9.53 9.53 9.10 9.10 10.40 10.40

Jumlah 28.71 28.30 34.35 34.24 30.24 30.06 35.60 35.20

Sumber : LKPP Audited 2008-2010, Kemenkeu

Grafik 6

Tren Realisasi Transfer Ke Daerah 2008 - 2011


 
(Dalam Trilyun Rupiah)

&$"!!# &!")(# &*")%#

&!"!!# &!"(+# &*"'!#


)"$%# ("$,#
%$"!!# ("%!#
%!"*!#
%!"!!#

$"!!#

!"!!#

&!!'#
&!!(#

&!%!#

&!%%#

-./.#0123.45#678484# -./.#9:2/2;5#678484#
Porsi Anggaran Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada APBN November 2012/Vol. 2 - No. 2 31

5 Kementerian Negara/Lembaga pengendalian pengangkatan PNS pusat dan


dengan Alokasi Terbesar daerah dengan mengarahkan kepada kebija-
Alokasi anggaran belanja pemerintah pusat kan zero growth; (9) pengalokasian anggaran
pada APBN tahun 2012 ini akan difokuskan subsidi agar lebih tepat sasaran; (10) pening-
untuk memberikan dukungan terhadap: (1) katan efisiensi dan efektivitas belanja negara;
peningkatan belanja infrastruktur; (2) pelak- serta (11) pengalokasian anggaran pendidikan
sanaan klaster 4, yang terdiri dari 6 program 20 persen dari APBN dan mengarahkan pe-
utama, dan 3 prioritas utama; (3) program per- manfaatan anggarannya untuk meningkatkan
lindungan sosial dalam bentuk program Jam- aksesibilitas serta kualitas sarana dan prasa-
kesmas, program keluarga harapan (PKH), rana pendidikan.
program nasional pemberdayaan masyarakat
(PNPM), BOS, dan raskin; (4) peningkatan be- Berdasarkan arah kebijakan dan prioritas pem-
lanja untuk bidang perekonomian yang dituju- bangunan tersebut, maka alokasi anggaran
kan untuk perluasan dan percepatan pertum- belanja pemerintah pusat dalam APBN 2012
buhan ekonomi yang inklusif dan berkualitas; mengalami peningkatan terutama berkaitan
(5) implementasi anggaran berbasis kinerja dengan alokasi anggaran belanja pegawai, be-
oleh K/L dengan pendekatan pencapaian out- lanja modal, dan pembayaran bunga utang.
put dan outcome; (6) peningkatan kemampuan
pertahanan menuju minimum essential force; (7) Selanjutnya, terdapat 5(lima) K/L yang mem-
perbaikan kesejahteraan aparatur negara dan peroleh alokasi anggaran untuk belanja mo-
perluasan kebijakan reformasi birokrasi; (8) dal terbesar sebagai berikut:

Tabel 7

5 Alokasi Belanja Modal Terbesar Kementerian


(dalam miliar rupiah)

Kementerian Negara / Lembaga Belanja modal Total

Kementerian Pekerjaan Umum 48,809.30 48,809.30

Kementerian Pertahanan 26,225.16 26,225.16

Kementerian Perhubungan 20,583.31 20,583.31

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 11,357.89 11,357.89

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaaan 7,316.32 7,316.32

Sumber : DSP, Ditjen Perbendaharaan


32 JURNAL PENGADAAN

Grafik 7
 

Porsi Belanja Modal 5 K/L Terbesar


!"#"$%"&'($)>('$)
051) !"#"$%"&'($)*"+"&,(($)-#.#)
/01)

!"#"$%"&'($))
;$"&9')2($)<.#3"&)=(4()81)

!"#"$%"&'($)*"&6.3.$9($)
7:1)
!"#"$%"&'($)*"&%(6($($)) !"#"$%"&'($))
781) *"$2'2'+($)2($)!"3.2(4((())
51)

Dari total belanja modal dalam APBN 2012 yang direhabilitasi, 23.746 ha jaringan
sebesar Rp 152 triliun, 5 K/L terbesar dengan rawa yang dibangun, dan 98.750 ha jaring-
alokasi belanja modal adalah sebagai berikut: an rawa yang direhabilitasi; terbangunnya
infrastruktur pedesaan (PPIP) di 3.000
(1) Kementerian Pekerjaan Umum dengan desa tertinggal; serta terlaksananya pen-
alokasi Rp 48,81 triliun atau sebesar 52% dampingan pemberdayaan sosial (P2KP/
dari total belanja modal APBN. Alokasi PNPM) di 10.948 desa.
tersebut untuk mendukung pencapaian
prioritas-prioritas pembangunan, yang (2) Kementerian Pertahanan dengan alokasi
diharapkan menghasilkan output: terbang- belanja modal sebesar Rp 26,23 triliun
unnya jalan baru sepanjang 127 km, jem- atau sebesar 17%. Alokasi anggaran be-
batan sepanjang 7.682 m, flyover/underpass lanja Kementerian Pertahanan diarahkan
sepanjang 2.256 m, jalan strategis di lintas untuk mendukung pelaksanaan perumu-
Selatan Jawa, perbatasan, terpencil dan san, penetapan, dan pelaksanaan kebija-
terluar sepanjang 292 km dan jalan tol kan di bidang pertahanan Republik In-
yang dibangun sepanjang 10 km; terbang- donesia. Pagu alokasi anggaran tersebut
unnya waduk dan embung/situ sebanyak akan dimanfaatkan untuk melaksanakan
9 waduk yang dibangun baru; 24 waduk berbagai program, antara lain: program
yang direhabilitasi dan 87 embung/situ penyelenggaraan manajemen dan opera-
yang dibangun baru, dan 62 waduk sele- sional matra darat, program modernisasi
sai direhabilitasi; terbangunnya 79.337 ha alutsista dan non alutsista serta pengem-
jaringan irigasi baru, 425.563 ha jaringan bangan fasilitas dan sarana dan prasarana
Porsi Anggaran Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada APBN November 2012/Vol. 2 - No. 2 33

matra udara, matra laut, matra darat, dan bandar udara di daerah perbatasan dan
program penggunaan kekuatan perta- rawan bencana.
hanan integratif.
4) Kementerian ESDM dengan alokasi be-
3) Kementerian Perhubungan dengan alokasi lanja modal sebesar Rp 11,36 triliun atau
belanja modal sebesar Rp 20,58 triliun sebesar 7%. Dalam rangka mendukung
atau sebesar 14%. Anggaran belanja terse- visi kementerian Energi dan Sumber Daya
but direncanakan menghasilkan output Mineral (ESDM) yaitu “Terwujudnya Ke-
dari berbagai kegiatan, antara lain berupa: tahanan dan Kemandirian Energi Serta
terlaksananya pembangunan terminal Peningkatan Nilai Tambah Energi dan
transportasi jalan di 29 lokasi dan jem- Mineral yang Berwawasan Lingkung-
batan timbang di 7 lokasi; terlaksananya an Untuk Memberikan Manfaat 2012
pembangunan prasarana 60 dermaga yang Sebesar-besarnya Bagi Kemakmu-
penyeberangan, pembangunan dermaga ran Rakyat”, alokasi anggaran Kemen-
penyeberangan lanjutan 16 dermaga, 30 terian ESDM diharapkan menghasilkan
dermaga sungai dan danau, dan 4 lokasi output dari berbagai kegiatan diantaranya :
breakwater dermaga penyeberangan; ter- terselenggaranya listrik murah dan hemat
laksananya rehabilitasi 33,39 km jalur melalui penyambungan listrik 1.500 RTS
kereta api dan 39 unit jembatan kereta nelayan on grid dan 81.500 pelanggan off
api; terlaksananya pembangunan jalur grid; pembangunan PLTS terpusat untuk
KA baru termasuk jalur ganda sepanjang listrik perdesaan sebanyak 240 unit; terse-
149,99 km; terlaksananya pembangunan dianya perangkat sistem monitoring kegu-
jalur ganda lintas Cirebon-Tegal sepan- nungapian hasil rancang bangun sendiri di
jang 75,94 km dan jalur ganda lintas Se- 20 gunung api sebanyak empat perangkat
marang–Surabaya sepanjang 280 km; sistem.
tersedianya 4 (empat) unit kapal inspeksi
kenavigasian, 17 unit kapal patroli KPLP, (5) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
6 unit kapal marine surveyor dan dua derma- dengan alokasi belanja modal sebesar Rp
ga kapal kenavigasian yaitu di Sibolga dan 7,32 triliun atau sebesar 5%. Alokasi ang-
Sorong; serta terlaksananya pembangunan garan tersebut untuk mendukung program
14 bandar udara baru, pengembangan dukungan manajemen dan pelaksanaan
116 bandar udara dan pengembangan 41 tugas teknis lainnya Kementerian Pendi-
34 JURNAL PENGADAAN

dikan Nasional; program pengawasan dan Pendidikan Nasional; program pendidi-


peningkatan akuntabilitas aparatur Ke- kan menengah; program pengembangan
menterian Pendidikan Nasional; program dan pembinaan bahasa dan sastra; serta
pendidikan dasar; program pendidikan program pengembangan profesi pendidik
tinggi; program pendidikan anak usia dini, dan tenaga kependidikan (PTK) dan pen-
nonformal dan informal; program pe- jaminan mutu pendidikan.
nelitian dan pengembangan Kementerian

Tabel 8

5 Alokasi Belanja Barang Terbesar Kementerian


(dalam miliar rupiah)

Kementerian Negara / Lembaga Belanja barang Total

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaaan 43,014.00 43,014.00

Kementerian Kesehatan 13,095.00 13,095.00

Kementerian Pertahanan 11,485.00 11,485.00

Kementerian Agama 11,438.80 11,438.80

Kementerian PU 9,169.04 9,169.04

Sumber : DSP, Ditjen Perbendaharaan


 

Grafik 8

Porsi Belanja Barang 5 K/L Terbesar

!"#"$%"&'($);('$) !"#"$%"&'($)*"$+'+',($)+($)
:12) !"-.+(/((($)
012)

!"#"$%"&'($)!"3"4(%($)
52)
!"#"$%"&'($)*"&%(4($($))
!"#"$%"&'($)*9) !"#"$%"&'($)78(#() 62)
:2) 62)
Porsi Anggaran Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada APBN November 2012/Vol. 2 - No. 2 35

Pengadaan barang/jasa pemerintah


memiliki peran yang sangat penting
dalam pelaksanaan APBN.
(6) Sisanya terbagi ke dalam 79 kemente- pemerintah yang dibelanjakan oleh satuan
rian lembaga dengan alokasi total belanja kerja Kementerian Negara/Lembaga (K/L)
modal sebesar Rp 37,71 triliun. Sedang- maupun Bendahara Umum Negara (BUN)
kan untuk belanja barang, dari total be- dilaksanakan melalui proses pengadaan ba-
lanja barang dalam APBN 2012 sebesar rang jasa dan diperuntukkan untuk kegiatan
Rp 188 triliun, 5 K/L terbesar dengan yang dilakukan dengan pengadaan barang/
alokasi belanja barang adalah sebagai jasa. Belanja pemerintah pusat pada K/L
berikut: 1) Kementerian Pendidikan dan yang dialokasi dalam APBN yang dilaksana-
Kebudayaan dengan alokasi belanja ba- kan melalui proses pengadaan barang/jasa,
rang sebesar Rp 43,01 triliun atau sebesar seperti belanja barang dan belanja modal. Se-
23%; 2) Kementerian Kesehatan dengan lain itu terdapat sebagian belanja bantuan so-
alokasi belanja barang sebesar Rp 13,10 sial, dan belanja hibah berbentuk barang yang
triliun atau sebesar 7%; 3) Kementerian dibelanjakan oleh K/L yang pelaksanaannya
Pertahanan dengan alokasi belanja barang melalui pengadaan barang/jasa.
sebesar Rp 11,49 triliun atau sebesar 6%;
4) Kementerian Agama dengan alokasi Pelaksanaan anggaran pada transfer daerah
belanja barang sebesar Rp 11,44 triliun seperti Dana Alokasi Khusus dan Dana Oto-
atau sebesar 6%; 5) Kementerian Peker- nomi khusus diperuntukkan untuk membi-
jaan Umum dengan alokasi Rp 9,17 triliun ayai kegiatan di bidang pendidikan, keseha-
atau sebesar 5% dari total belanja barang tan, infrastruktur jalan, infrastruktur irigasi,
APBN; 6)sisanya terbagi ke dalam 79 ke- infrastruktur air minum, infrastruktur sani-
menterian lembaga dengan alokasi total tasi, prasarana pemerintahan daerah, kelautan
belanja barang sebesar Rp 99,80 triliun. dan perikanan, pertanian, lingkungan hidup,
keluarga berencana, kehutanan, sarana prasa-
Penutup rana daerah tertinggal, perdagangan, lis-
Pengadaan barang/jasa pemerintah memiliki trik pedesaan, perumahan dan permukiman,
peran yang sangat penting dalam pelaksan- transportasi perdesaan, sarana dan prasarana
aan APBN. Hampir sebagian besar belanja kawasan perbatasan, dan keselamatan trans-
36 JURNAL PENGADAAN

portasi darat. Seluruh kegiatan pelaksanaan yang diperuntukkan untuk membiayai sebagi-
anggaran tersebut tidak lepas dari proses an besar kegiatan infrastruktur di daerah yang
pengadaan barang/jasa pemerintah. pelaksanaan dilaksanakan oleh pemerintah
daerah provinsi/kabupaten/kota.
Tercatat kurang lebih Rp 350,27 triliun dana
yang dialokasikan pada APBN TA 2012 un- Dengan demikian pengelolaan pengadaan
tuk keperluan belanja barang, belanja modal, barang/jasa pemerintah yang baik serta
bantuan sosial pada program PNPM Man- mengedepankan prinsip-prinsip dan etika
diri serta hibah pemerintah yang mencapai pengadaan terhadap belanja pemerintah di-
kira-kira 36,30% dari keseluruhan belanja harapkan dapat memberikan dampak bagi
pemerintah pusat. Dan dari dana transfer ke pertumbuhan ekonomi nasional dan kese-
daerah tercatat sebesar Rp 38,07 triliun yang jahteraan masyarakat.
dialokasikan dalam DAK dan Dana Otsus
Porsi Anggaran Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada APBN November 2012/Vol. 2 - No. 2 37

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2011. Kementerian Keuangan, Laporan Keuangan


Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Pusat Tahun 2009 (Audited)
Negara Tahun Anggaran 2012
Kementerian Keuangan, Laporan Keuangan
Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pemerintah Pusat Tahun 2008 (Audited)
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2012

Kementerian Keuangan, Laporan Keuangan


Pemerintah Pusat Tahun 2010 (Audited)
THE IMPERATIVE FOR A NATIONAL
PUBLIC PROCUREMENT PROCESS
THAT IS CREDIBLE
The Imperative for A National Public Procurement... November 2012/Vol. 2 - No. 2 39

The Imperative for a National


Public Procurement Process that is Credible:
A Challenge for the Academic Community to Provide
Convincing Demonstrative Effects of the Economic Benefits of
Having a Cutting-Edge Country Procurement System

ERLANGGA ATMADJA
40 JURNAL PENGADAAN

I ndonesia was in the past described as a


nation in waiting, a nation where its vast
resources and human potentials when tapped
bal economy in recession mentioned by the
economist article, the Indonesian economy is
still not fully unleashing its potentials and risk
correctly through a stable and credible sys- undermining the momentum of economic
tem can develop exponentially and become growth due to the less than ideal rate of pub-
one of Asia’s resilient economic drivers (see lic expenditure. Public expenditure, meaning
Schwartz, 1999). It was described as such due procurement through public finances is an
to the wealth of potential it has was being important part to ensure that procurements
hampered by a lack of stability. made using public finances become wise
public investment of goods and services that
Well, frankly it is shedding-off this percep- increase national competitiveness and create
tion of instability and uncertainty as it is in- equitable prosperity – especially to the outly-
creasingly being acknowledged as one of the ing provinces.
few bastions of stable, sustained economic
development in a world plagued by economic The Economist mentioned that the Govern-
malaise. Forbes magazine in April 2012 pre- ment of Indonesia has “often struggled to
dicts that Indonesia’s potential would start to spend the money it has budgeted, even for
raise even more eyebrows across the globe worthwhile projects. In 2008-10 the central
by being a trillion dollar economy when the government spent less than three-quarters
year 2013 begins. Consider this on top of the of the money it had allocated for public in-
endearing analysis by The Economist, which vestment” and continues that “part of the
in its February 2012 edition published an ar- improvement in Indonesia’s public finances,
ticle celebrating the virtues of the Indonesian therefore, reflects fiscal constipation more
economy. than it does budget conservatism.”

What’s interesting is that amongst the virtues Conscious of this concern, the Government
of resilient sustained growth amidst a glo- of Indonesia has taken concrete steps so that

Forbes magazine in April 2012 predicts that


Indonesia’s potential would start to raise even more
eyebrows across the globe by being a trillion dollar
economy when the year 2013 begins.
The Imperative for A National Public Procurement... November 2012/Vol. 2 - No. 2 41

Indonesian economy is still not


fully unleashing its potentials and risk
underminingthe momentum of economic
growth due to the less than ideal rate
of public expenditure.
such ‘constipation’ is relieved by prescrib- lection (before the relevant fiscal year)
ing de-bottlenecking policies that act as an upon approval by the relevant legislating
antacid to ensure that the procurement pro- body;
cess is made to support faster absorption of 4. Increase of budget ceiling for tenders
state budgets in anaccountable manner that (goods and construction works below
also creates equitable business opportunities IDR 5 billion or equivalent to USD
across the vast archipelagic nation. 550,000, and for projects related to pub-
lic housing and utilities for the poor) can
To this end, the Government has enacted a qualify, for single selection;
new public procurement regulatory frame- 5. Temporarily relaxing the certification
work the Presidential Decree No.70 of the and competency requirements for pro-
year 2012 which replaces the Presidential De- curement officials pending a deliberate
cree No.54/2010 to this effect based on best process of professionalizing the field of
practices learnt in the field. The new re- gula- procurement;
tion highlights the following policy initiatives 6. Provision for multi-year projects using
(please have a read of Khalid Mustafa’s blog state budgets for priority areas;
on the new decree http://www.khalidmustafa. 7. Revised provisions on owner estimates;
info/2012/08/08/matriks-perpres-no-70-tahun- 8. Revised provisions on complaints han-
2012-dan-perpres-no-54-tahun-2010.php): dling service standards;
9. Revised provisions on domestic content
1. Provision on the procurement of inter- 10. Recognition of Presidential Instruction
national consulting services; No.17 of theYear 2012 regarding the
2. Provision for the transparency and ad- compulsory use of e- Government Pro-
vance public announcement of public curement systems (LPSE).
procurement plans;
3. Provision for advance tendering and se- It should also be mentioned that even the
42 JURNAL PENGADAAN

To this end, the Government has enacted


a new public procurement regulatory framework
the Presidential Decree No.70 of the year 2012 which
replaces the Presidential Decree No.54/2010
previous regulation has introduced innova- better; more efficiently administered and ab-
tive public procurement policies, such as the sorbed public investments and expenditures.
structural creation of dedicated procurement This is how the public as the end consumer
service units (ULPs) in every government of government services would benefit from a
procuring entity and recognizing that green properly regulated and efficient country pro-
procurement may be linked to better energy curement system; and how through a supply
efficiency and longer term savings. chain management point of view, credible
national procurement processes create pros-
This paradigm to shift the view that procure- perity to its peoples.
ment activities are cost centers into value-cre-
ation centers are also based on the increasing The diligent but little-known National Public
recognition by the private sector as proven Procurement Agency (NPPA) is the respon-
through the six decades of best practices de- sible national regulatory authority mandated
velopment from Indonesia’s oil and gas in- not only to reinstalling confidence in the
dustry; that when planned and managed country procurement system, but to also rev-
proportionately through a good system, olutionize the system through the following
goods and services procured can be better critical elements:
investments that also create savings and ef- 1. Full e-Government Procurement auto-
ficiency throughout the entire supply chain. mation;
This would in turn ultimately be felt by the 2. Professionalize public procurement offi-
consumer (see Djokopranoto et al, 2012). cials with defined competency standards
and promising career deve- lopment
In the public procurement context, this val- throughout all procuring units (ULPs);
ue-driven process of shifting procurement 3. Set best practices in public financial man-
processes from an ad-hoc laxly regulated agement-Strike a fine balance between
function to a value-creation oriented go- facilitation towards greater budget ab-
vernment procurement process will result in sorption and more stringent regulations
The Imperative for A National Public Procurement... November 2012/Vol. 2 - No. 2 43

to prevent misappropriation of public Electronic Government Procurement has


funds in the procurement processes; been recognized to enhance good governance
4. Harmonize into a single country system through more efficient, effective, transparent,
that complies to the regulatory standards and accountable public sector expenditure
set by the NPPA and mo- nitor its com- and open a non-discriminatory and competi-
pliance and performance against inter- tive marketplace for public procurement. The
national benchmarks; and current national e-Government Procurement
5. Provide technical guidance and com- system and has received international rec-
plaints handling services. ognition through the technology leadership
award from FutureGov 2012 for developing
“Mainstreaming the agenda of supporting the system and by a combination of Presi-
NPPA to create a cutting-edge country pro- dential directive and systems readiness, was
curement system is a development theme of able to implement the system to 500 units of
the Post-reform era for Indonesia. the 600 government procuring entities na-
tionwide in an archipelago of 17,000 islands
Strategic partners that the NPPA needs to co- spanning more than 5,000 KMs across the
ordinate with in order to establish the desired equator. The award recognizes the vision and
cutting-edge country procurement system, project management excellence in the tech-
still hold the old paradigm that procurement nology’s effective deployment. Furthermore,
is a cost center as opposed to a savings and the national electronic government procure-
value-creation center.” ment services (LPSE) according to NPPA
estimates have a savings potential of up to
Allow the author to go through the critical el- USD 585 million in FY 2011. This estimate is
ements of NPPA’s desired design that defines only a conservative estimate on the legacy e-
a cutting-edge country procurement system Government Procurement system operating
for Indonesia: now not the whole systemic reform contain-

The diligent but little-known


National Public Procurement Agency (NPPA)
is the responsible national regulatory authority
mandated not only to reinstalling confidence in the
country procurement system,
44 JURNAL PENGADAAN

Electronic Government Procurement has been


recognized to enhance good governance
through more efficient, effective, transparent,
and accountable public sector expenditure and
open a non-discriminatory and competitive
marketplace for public procurement.
ing the above critical elements potentially can se, to include the complete range of activi-
bring. ties that constitute the whole process of pro-
curement from e-tendering until e-contract
In addition, the allure of e-procurement is in management therefore creating a platform
its market- creation effects; it is an enabling where businesses regardless of their size
technology that opens a single national public can compete for government contracts, and
procurement market through a single portal when asset management becomes an added
(Inaproc portal) to any vendor in across the functionality to the fully automated system,
archipelago, thus promoting domestic indus- then it can be said that full automation of the
try competitiveness. entire supply chain management of the gov-
ernment is within reach.
“The integration of the national e-Govern-
ment Procurement system to become a uni- Professionalization of Public Procurement
fied single market is aligned to the future Officials–Indonesia’s public procurement of-
government strategy in e-Government that ficials are sequentially upgraded from prone
envisions an Indonesia that is locally integrat- ad-hoc positions before the NPPA was estab-
ed and globally connected. lished; to positions that require understand-
ing to regulatory compliance; and finally to
But such lofty visions can only be substan- performance-based competency standards
tiated if the e-Government Procurement development. The NPPA is at the forefront
processes are fully automated and adopted in developing the Indonesian professional as-
nation-wide.” sociation for procurement specialists (IAPI)
and to develop the field’s professionalization
Full automation entails expanding the current as competent procurement specialists ad-
usage and functionality from e-tendering per ministering the public procurement practice
The Imperative for A National Public Procurement... November 2012/Vol. 2 - No. 2 45

is key to develop efficiency and credibility to rate of state budgets.


the system.
“NPPA’s mandates and efforts need to be
Fresh blood is needed to rejuvenate the coun- supported by the public at large and not
try system and this can be supported only if pushed aside as being technical with very few
the public is aware of procurement as a vi- tangible demonstrated effects”
able profession with sound and competitive
remuneration and career development path- Harmonized system adoption – NPPA’s man-
ways that match private sector standards. dates and efforts need to be supported by the
public at large and not pushed aside as be-
Such awareness is not forthcoming as strate- ing technical with very few tangible demon-
gic partners that the NPPA needs to coordi- strated effects that can be seen not only by
nate with in order to establish a competent the public but by otherwise strategic partners
and professional workforce behind the coun- within the government it needs to foster to
try procurement system, still hold the old enable the harmonized country system of
paradigm that procurement is a cost center its design (one that is cutting-edge with the
as opposed to a savings and value-creation mentioned elements) to be implemented and
center. adopted nation-wide. The merit of a harmo-
nized system is that there is a single standard
Best Practices in public financial manage- that everyone adheres to. In the past a prolif-
ment - The NPPA’s efforts to mainstream eration of standards causes inefficiency and
public procurement into the state budgeting creates loopholes where public funds can be
by including procurement planning into the misappropriated.
existing applications for budget and work
plan of ministries and agencies (RKA-KL) “The National Public Procurement Agency
and requiring all mi- nistries and agencies to (NPPA) deserves to receive greater support
report their procurement planning making to implement their idealized harmonized
reference to the NPPA developed guidelines country system”.
for procurement planning, as reflected by the
current regulation is a policy example on how Numerous other policy and services
accountability can meet with better planning, products of the NPPA could be mentioned,
coordination, and therefore better absorption such as innovations in complaints- handling,
46 JURNAL PENGADAAN

whistleblower system, et cetera can be men- curement of goods and services using public
tioned however, faced with its relative obscu- funds with credibility and full accountabil-
rity compared to other cabinet-level minis- ity. Its vision and mission is to be “reliable
tries, institutions, and agencies with a direct in creating a credible procurement system”
reporting line to the President, the National by “Creating clear procurement regulations,
Public Procurement Agency (NPPA) deserves reliable monitoring and evaluation systems,
to receive greater support to implement their professional human resources, and sound le-
idealized harmonized country system which gal basis in public procurement of goods and
includes the aforementioned elements. services.”

It is a herculean task for the NPPA in terms “It is therefore an interesting and urgent area
of resources to go in it all alone to harmo- for further research, especially for economists,
nize the system, such an irony when consid- to convincingly support NPPA’s mandates by
ering that effective and credible procurement demonstrating the inherent benefits of hav-
may be the key to unlocking the nation’s vast ing a harmonized comprehensive country
potentials to truly manifest into a sustainable system in place and also the opportunity cost
reality. of not having it. Such research would prove
seminal in mainstreaming the agenda of a
The NPPA was established through the Kep- credible public procurement process.”
pres 106/2007, almost five years ago in De-
cember 2007 which specifically mandates the There is a danger that if the desired cutting-
NPPA to become the regulator for the na- edge design proposed by the NPPA consist-
tional public procurement process complete ing the aforementioned critical elements, are
with monitoring and evaluation functions. It not effectively implemented or loses steam
empowers the NPPA to become independ- due to the anemic support shown to NPPA
ent and report directly to the pre- sident for implementing its mandates – Indonesia
with the responsibility to reform the public risks not deriving any economic benefit from
procurement processes that include strate- the desired country procurement system.
gies, policies, regulations, development of
procurement institutions and systems, and It is therefore an interesting area for further
building the capacity of central and regional research, especially for economists, to con-
government human resources to handle pro- vincingly support NPPA’s mandates by dem-
The Imperative for A National Public Procurement... November 2012/Vol. 2 - No. 2 47

onstrating the inherent benefits of having a Such research would prove seminal in main-
harmonized comprehensive country system streaming the agenda of a credible public
in place and also the opportunity cost of not procurement process. NPPA’s fifth anniver-
having it. I dare the reader to be challenged in sary of its founding on 6 December 2012
providing such academic support that is cru- may be the right timing for a birthday present
cially needed to justify and strengthen sup- for such a hard working agency that deserves
port for the NPPA’s mandate of building a to be known better.
credible national public procurement process.
48 JURNAL PENGADAAN

DAFTAR PUSTAKA

Schwartz, Adam (1999) A Nation in Waiting: Khalid Mustafa (2012) Khilid Mustafa’s
Indonesia’s Search for Stability. Second Edi- Blog: Matriks Perpres No.70 tahun 2012
tion. dan Perpres No.54 tahun 2010 http://
www.khalidmustafa.info/2012/08/08/
Rapoza, Kenneth (2012) Forbes Magazine matriks-perpres-no- 70-tahun-2012-dan-
Article “Where are the Next Economic Mira- perpres-no-54-tahun-2010.php
cles?” cited at http://www.forbes.com/
sites/kenrapoza/2012/04/10/where- For Statistics on the current usage and sav-
are-the-next-economic-miracles/ ings of the Indonesian LPSE system.
Please access http://report- lpse.lkpp.
The Economist (February 2012 edition) The go.id/v2
Komodo Economy: Workers Protest Damp-
en News of Ratings Upgrade, cited at http://
www.economist.com/node/21547866

Djokopranoto, R; Endropoetro, S.; Widharto,


S (2012) Merajut Karya Mengukir Sejarah:
Memoar Alumni Pendidikan Ahli Minyak
dan Sumbangsihnya Dalam Pengembangan
Industri Minyak dan Gas di Indonesia Pub-
lished by: Pertamina
MENGAPA KORUPSI (TETAP) ADA
Mengapa Korupsi (Tetap) Ada November 2012/Vol. 2 - No. 2 49

Mengapa Korupsi (Tetap) Ada

Sudah kurang lebih empat belas tahun reformasi bergulir, namun tidak ada

perkembangan yang menggembirakan (jika istilah lebih parah, terlalu ber-

lebihan) terhadap upaya memerangi korupsi di negeri ini. Kalau dulu berita

kasus korupsi bisa dihitung dengan jari, sekarang hampir setiap hari ada

berita kasus korupsi. Bahkan tidak jarang bermunculan kasus-kasus baru.


NANANG PRIYATNA
Belum selesai suatu kasus diinvestigasi oleh aparat penegak hukum, sudah

muncul lagi berita tertangkap-tangannya aparatur pemerintah yang diduga

menerima suap. Berita-berita mengenai kasus cek pelawat, Wisma Atlit,

Hambalang, dan yang terbaru pengadaan Al-Quran menunjukkan betapa

seriusnya permasalahan korupsi di negeri ini. Bahkan di lingkungan birokrasi

dan pegawai negeri pada umumnya, belakangan muncul pula sinyale-

men adanya upaya pembocoran keuangan negara dalam kaitannya dengan

perjalanan dinas yang direkayasa.


50 JURNAL PENGADAAN

D ata hasil survei tahun 2011 Transpar-


ency International, Indeks Persepsi Ko-
rupsi (Corruption Perception Index/CPI),
upaya memeranginya tidak kurang pula
peningkatannya? Mulai dari kiprah lembaga
KPK yang oleh sebagian orang disebut su-
menunjukkan Indonesia berada di peringkat perbody, peningkatan peran lembaga penegak
100 dari 183 negara yang disurvei. Indonesia hukum lainnya dalam memerangi korupsi,
menempati skor CPI sebesar 3,0, naik 0,2 sampai upaya preventif dan edukasi dengan
dibanding tahun sebelumnya (2010) sebesar sosialisasi anti korupsi, atau dengan mener-
2,8. "Namun, lompatan skor Indonesia dari bitkan peraturan-peraturan di bidang peng-
2,8 pada tahun 2010 dan 3,0 tahun 2011 bu- adaan, standar biaya umum dan lain-lain. Apa-
kanlah pencapaian yang signifikan karena kah masih kurang upaya tersebut atau justru
Indonesia sebelumnya telah menargetkan malah ‘oknum’ nya yang selalu mencari-cari
mendapatkan skor 5,0 dalam CPI 2014 men- celah untuk melakukan korupsi?
datang," menurut Transparency International
(TI) Indonesia.
Mengapa Orang Melakukan Korupsi?
"Tetapi Indonesia tetap dipersepsikan sebagai Pengaruh Lingkungan
negara dengan tingkat korupsi yang tinggi," Banyak teori dari para ahli kriminologi dan
ungkap Indonesia Corruption Wacth (ICW). Pada sosiologi yang menjelaskan tentang latar be-
tahun 2011 banyak skandal korupsi yang ter- lakang yang mendorong seseorang berperi-
ungkap seperti kasus Muhammad Nazarudin laku menyimpang, termasuk juga fraud (baca:
dan kasus suap di Kementerian Tenaga Kerja korupsi). Salah satunya sebagaimana yang
dan Transmigrasi (Kemenakertrans). "Kasus diungkapkan oleh Edwin H. Sutherland. Ia
lain yang banyak menyita publik juga seperti mengembangkan teori yang dikenal dengan
Badan Anggaran DPR," katanya. “theory of differential association”. Dalam teori-
nya lebih jauh ia berpandangan bahwa sifat
Yang menjadi pertanyaan, mengapa korupsi kriminal pada diri seseorang merupakan sifat
masih terus terjadi? Walaupun dari sisi lain yang diturunkan, hal ini berdasarkan ob-

Data hasil survei tahun 2011 Transparency


International, Indeks Persepsi Korupsi
(Corruption Perception Index/CPI), menunjukkan
Indonesia berada di peringkat 100 dari 183 negara
Mengapa Korupsi (Tetap) Ada November 2012/Vol. 2 - No. 2 51

servasi yang ia lakukan terhadap para pelaku yang memiliki pegawai tidak jujur, dipastikan
street crime, dan sifat ini akan semakin kuat akan memberikan pengaruh kepada pegawai
jika lingkungan tempat tinggal mendukung. yang jujur. Sebaliknya, pegawai yang jujur
Ia menjelaskan bagaimana lingkungan bisa juga pasti mempengaruhi para pegawai lain-
mempengaruhi sifat-sifat kriminal seseorang nya yang memiliki sifat tidak jujur.
menjadi semakin kuat adalah melalui proses
belajar. Melalui proses ini lambat laun orang Coba - coba
akan mempelajari keadaan di lingkungannya Filsuf dari Inggris Jeremy Bentham, penemu
dan membentuk sikap mental serta perilaku Classical Criminological Theory pada abad ke-18,
seseorang. Misalnya, dalam lingkungan kerja menyatakan bahwa kemungkinan seseorang
yang terbiasa merekayasa bukti-bukti perjala- untuk melakukan tindak fraud (baca: korupsi)
nan dinas akan mempengaruhi pegawai lain ditentukan oleh hasil perhitungan dan per-
untuk melakukan hal yang sama. timbangan dia terhadap untung-rugi atas
perbuatan tersebut. Jika menurutnya resiko
Sutherland yakin proses belajar perilaku terdeteksi, berarti rugi, lebih besar, maka ke-
kriminal seseorang terjadi melalui proses mungkinan dia tidak akan melanjutkan niat
komunikasi antara satu orang dengan lain- jahatnya untuk menyimpang dari ketentuan.
nya. Ia beralasan bahwa kejahatan seseorang Jadi hal yang paling ditakutkan oleh para
tidak akan terjadi tanpa adanya bantuan dari fraudster adalah kejahatannya akan terungkap
orang lain. Hal yang dipelajari meliputi dua dan akhirnya ditangkap, dia tidak berpikir
area, yaitu cara-cara melakukan tindak krimi- tentang internal control yang ada pada satu in-
nal dan perilaku, dorongan, rasionalisasi dan stitusi. Inilah konsep yang dikenal dengan is-
motif yang ada di benak pelaku. Organisasi tilah the perception of detection.
52 JURNAL PENGADAAN

kemungkinan seseorang untuk


melakukan tindak fraud (baca : korupsi)
ditentukan oleh hasil perhitungan dan pertimbangan
dia terhadap untung-rugi atas perbuatan tersebut
Gambar di atas mengilustrasikan proses ber- yang lain, atau membatalkan tindakan fraud-
pikir seseorang yang berpotensi untuk mela- nya tersebut.
kukan tindakan fraud. Adanya tekanan, bi-
asanya bersifat finansial, pada diri seseorang Fraud Triangle Theory
menumbuhkan motivasi pada dirinya untuk Fraud Triangle Theory dikembangkan berdasar-
segera memenuhi tekanan tersebut. Kemu- kan hipotesis Donald R. Cressey. Teori ini
dian dia membuat rencana tindakan jahat beranggapan bahwa seseorang melakukan
yang akan diambilnya sekaligus juga bagaima- fraud (baca: korupsi) adalah didorong oleh tiga
na cara menyembunyikan kejahatannya agar hal, yaitu adanya non-shareable financial problems

tidak diketahui oleh orang lain. Selanjutnya (pressure), perceived opportunity dan rationaliza-
pada tahap penentuan, dia menimbang- tion. Pressure (tekanan) bisa dalam bentuk fi-
nimbang, memperhitungkan kemungkinan nansial bisa juga non finansial. Kebanyakan
terbongkar (atau tidak) penyimpangan yang pressure merupakan kebutuhan finansial dari
dia lakukan. Jika menurut hasil perhitungan- pelaku, walaupun tekanan non finansial juga
nya tidak akan terbongkar, maka kecurangan (seperti dorongan untuk menyajikan laporan
akan dilanjutkan. Tapi jika dia melihat ke- yang salah, rasa frustasi terhadap pekerjaan,
mungkinan sebaliknya yang lebih besar, maka masalah keluarga, atau tantangan untuk men-
dia akan berupaya mengembangkan modus dobrak sistem) bisa menjadi motivasi sese-
Mengapa Korupsi (Tetap) Ada November 2012/Vol. 2 - No. 2 53

orang melakukan korupsi. Pressure


Fraud dilakukan dengan maksud untuk mem-
Opportunity merupakan kondisi seseorang peroleh manfaat atau keuntungan bagi pelaku
yang memiliki kesempatan/akses terha- atau organisasinya, atau keduanya. Employee
dap pengeluaran uang, misalnya apakah ia fraud, kondisi dimana seseorang melakukan
berkedudukan sebagai bendahara, pemimpin penggelapan atau manipulasi dari pemberi
proyek atau kepala kantor. Kesempatan atau kerjanya, biasanya memberikan manfaat bagi
peluang terjadinya korupsi juga bisa muncul pelaku saja. Di sisi lain management fraud, yaitu
dikarenakan peraturan perundang-undangan kondisi dimana anggota organisasi melaku-
yang belum sempurna sehingga masih bisa kan penipuan terhadap investor atau kredi-
ditemukan celah untuk mengelabuinya. Atau tor (biasanya dengan memanipulasi laporan
juga karena lemahnya sistem pengendalian keuangan), adalah sering dilakukan untuk
yang ada di institusi tersebut. memberikan keuntungan bagi organisasi dan
pelaku yang bersangkutan. Para peneliti fraud
Rasionalisasi atau pembenaran adalah upaya membagi jenis-jenis pressure ke dalam klasifi-
yang dipakai oleh pelaku untuk mengang- kasi sebagai berikut:
gap bahwa penyimpangan yang dilakukannya
seolah-olah dapat dibenarkan. Pelaku fraud 1) Pressure/tekanan keuangan
mencari cara untuk membuat seolah-olah Beberapa contoh tekanan keuangan yang
penyimpangan yang dilakukannya adalah wa- biasanya berkaitan dengan fraud dan mem-
jar. Biasanya ada dua tipe rasionalisasi, yaitu: berikan keuntungan bagi pelakunya, yaitu:
(1) ia merasa tidak yakin bahwa yang dilaku- • Serakah,
kannya adalah illegal, walau ia tahu mungkin • Gaya hidup di luar kepatutan,
tidak etis, (2) ia merasa yakin dapat mengem- • Tingginya tagihan atau hutang pribadi,
balikan uang yang diambilnya segera alias • Kerugian keuangan pribadi,
hanya meminjamnya. • Kebutuhan keuangan mendesak.

Rasionalisasi atau pembenaran adalah upaya yang


dipakai oleh pelaku untuk menganggap bahwa
penyimpangan yang dilakukannya
seolah-olah dapat dibenarkan.
54 JURNAL PENGADAAN

Daftar tersebut di atas bisa saja bertam- melakukan employee fraud. Demikian juga
bah, namun secara umum daftar itulah dengan management fraud, perusahaan bisa
yang seringkali dikait-kaitkan dengan jadi meng-overstate asetnya di dalam neraca
terjadinya fraud yang dilakukan oleh dan pendapatan bersihnya di dalam lapo-
seseorang. Sudah nyata akhir-akhir ini sia- ran rugi-laba, hal ini dilakukan untuk me-
pa saja pelaku fraud yang sudah terung- nutupi kondisi posisi kas yang lemah, piu-
kap. Kebanyakan ciri-ciri mereka adalah tang yang tidak tertagih, pelanggan yang
orang-orang yang secara materi berke- bangkrut, persediaan yang usang, kondisi
cukupan, namun memiliki lifestyle yang pasar yang menurun, atau karena pelang-
tidak sebanding jika dibandingkan dengan garan perjanjian kredit dengan bank.
penghasilan rata-rata mereka di tempat
kerjanya. Ketika seorang pelaku korupsi 2) Vice
ditangkap, investigator menemukan fakta Vice didefinisikan sebagai perilaku/sifat
bahwa yang bersangkutan banyak menge- buruk seseorang seperti kecanduan atau
luarkan uang untuk jalan-jalan ke luar ketagihan terhadap judi, narkoba, dan al-
negeri, membeli pakaian mahal dengan kohol. Vices dan hubungan perkawinan
kancing emas, memiliki koleksi mobil me- yang mahal, misalnya sering ganti pasan-
wah, villa mahal, kondominium di pinggir gan atau punya pacar lagi, juga bisa men-
pantai, cincin berlian, dan perhiasan lain dorong orang untuk melakukan tindakan
untuk istrinya, mobil baru untuk sanak penyimpangan.
famili dan lain-lain. Mungkin bisa saja
orang berpandangan bahwa pelaku fraud 3) Tekanan lingkungan kerja
itu tidak dalam tekanan keuangan, kare- Seperti sudah diuraikan dimuka, tekanan
na melihat kondisi serba berkecukupan keuangan dan vice merupakan faktor uta-
tersebut, tetapi bagi pelaku pressure terse- ma yang mendorong seseorang melaku-
but adalah nafsu atau keinginannya untuk kan fraud. Disamping itu, orang melaku-
memiliki segala macam kemewahan itulah kan fraud juga karena dorongan untuk
yang mendorongnya untuk melakukan membalas tindakan manajemen/perusa-
fraud. haan. Faktor-faktor seperti tidak adanya
pengakuan yang cukup terhadap prestasi
Financial pressure merupakan tekanan yang kinerja, perasaan tidak puas terhadap
paling mungkin bisa membuat seseorang pekerjaan yang dibebankan, kekhawatiran
Mengapa Korupsi (Tetap) Ada November 2012/Vol. 2 - No. 2 55

Elemen yang paling penting


dalam komponen lingkungan pengendalian
adalah peran dan teladan dari manajemen.
akan kehilangan satu pekerjaan, merasa 1) Faktor-faktor pengendalian
tidak pernah mendapat kesempatan un- Memiliki sistem pengendalian yang efek-
tuk promosi, dan merasa dibayar terlalu tif bisa jadi merupakan satu-satunya jalan
rendah atau tidak sebanding dengan be- bagi organisasi supaya dapat mencegah
ban pekerjaan yang diberikan dapat men- dan mendeteksi terjadinya employee fraud.
dorong seseorang untuk melakukan pe- Terdapat tiga komponen dalam struktur
nyimpangan. pengendalian organisasi, yaitu: 1) ling-
kungan pengendalian, 2) sistem akuntansi,
4) Tekanan lain dan 3) aktivitas atau prosedur pengenda-
Faktor-faktor lain yang bisa memotivasi lian. The Committee of Sponsoring Organisa-
orang untuk melakukan penyimpangan tions (COSO) merinci sistem pengendalian
misalnya karena pengaruh pasangan (sua- ini menjadi lima komponen. Untuk lem-
mi/istri) yang memaksa untuk bergaya baga pemerintah di Indonesia, COSO ini
hidup mewah atau sifat seseorang yang pula yang mendasari terbitnya peraturan
cenderung ingin selalu melawan sistem. pemerintah (PP) tentang Sistem Pengen-
dalian Intern Pemerintah (SPIP). Kelima
Opportunity unsur pengendalian tersebut adalah:
Anggapan adanya kesempatan/peluang un-
tuk berbuat fraud, kemudian menyembunyi- • Lingkungan pengendalian,
kannya, atau berupaya agar terhindar dari • Penilaian risiko,
penghukuman merupakan unsur kedua dari • Aktivitas pengendalian,
fraud triangle. Terdapat dua klasifikasi besar • Informasi dan komunikasi,
yang terkait dengan opportunity ini, yang per- • Pemantauan pengendalian intern.
tama berhubungan dengan lemahnya pe-
ngendalian (control) yang ada di organisasi Elemen yang paling penting dalam kom-
sehingga meningkatkan peluang orang untuk ponen lingkungan pengendalian adalah
melakukan fraud dan yang kedua tidak ada peran dan teladan dari managemen. Ke-
kaitannya secara langsung dengan pengenda- tika manajemen menunjukkan perilaku
lian. yang tidak baik, maka hal ini akan dicon-
56 JURNAL PENGADAAN

Pelaku fraud sering merupakan orang terpandang


di lingkungannya, di tempat kerja,tempat ibadah,
atau di keluarganya.
toh dan ditiru oleh bawahannya, sehing- walaupun pengendalian yang lain sudah
ga lingkungan pengendalian dikatakan baik.
sudah terkontaminasi. Demikian juga,
ketika manajemen penunjukkan perilaku Elemen keempat dalam lingkungan peng-
yang tidak konsisten dengan prosedur endalian yang harus dipertimbangkan
pengendalian, maka efektivitas sistem dalam upaya pencegahan fraud adalah
pengendalian yang ada menjadi terkikis. struktur organisasi yang jelas. Setiap orang
Teladan dari manajemen merupakan ele- dalam organisasi harus mengetahui secara
men yang paling critical dalam lingkungan tepat siapa yang memiliki tanggungjawab
pengendalian dalam upaya mencegah ter- atas pekerjaan tertentu, sehingga diharap-
jadinya fraud. Perilaku yang tidak tepat dari kan kecil kemungkinan fraud akan dilaku-
manajemen akan dijadikan justifikasi oleh kan. Dengan struktur organisasi dan job
bawahan dalam mengesampingkan dan description yang jelas, akan lebih mudah
mengabaikan prosedur pengendalian. untuk menelusuri aset yang hilang dan
mempersulit seseorang untuk melaku-
Elemen lain yang juga penting dalam ling- kan penggelapan tanpa risiko terdeteksi.
kungan pengendalian adalah komunikasi Akuntabilitas yang ketat atas kinerja ma-
manajemen dan rekrutmen pegawai yang sing-masing pegawai menjadi hal yang cri-
tepat. Manajemen harus mampu secara tical untuk terwujudnya suatu lingkungan
efektif mengkomunikasikan kebijakan pengendalian yang baik.
organisasi/perusahaan kepada bawahan-
nya sehingga diperoleh pemahaman yang Komponen kedua dalam stuktur peng-
sama. Organisasi juga harus memiliki ke- endalian adalah sistem akuntansi. Setiap
bijakan tentang rekrutmen pegawai dan fraud terdiri dari tiga elemen, yaitu: 1) pen-
mekanisme seleksi yang tepat. Jika or- curian, diambilnya aset secara tidak sah,
ganisasi tidak melaksanakan seleksi atas 2) penyembunyian, upaya pelaku untuk
lamaran kerja secara hati-hati dan meng- membuat fraud-nya tidak diketahui orang
hire orang yang tidak jujur, maka orga- lain, dan 3) konversi, yaitu pelaku membe-
nisasi akan menjadi korban perilaku fraud, lanjakan uangnya atau mengkonversi aset
Mengapa Korupsi (Tetap) Ada November 2012/Vol. 2 - No. 2 57

yang dicurinya menjadi uang untuk kemu- 2) Faktor non pengendalian


dian membelanjakannya. Fraud seringkali Di samping faktor pengendalian, terdapat
disembunyikan dalam catatan akuntansi. juga faktor-faktor yang tidak terkait lang-
Suatu sistem akuntansi yang efektif akan sung dengan sistem pengendalian internal
meninggalkan audit trail, memberikan ja- suatu organisasi yang bisa memberikan
lan untuk menemukan tindak fraud dan celah untuk terjadinya fraud, sehingga or-
membuat upaya penyembunyian fraud ganisasi perlu menetapkan kebijakan khu-
menjadi sulit. sus untuk mengantisipasi terjadinya hal-
hal non pengendalian ini.
Komponen ketiga dalam struktur pen- a. Tidak mampu menilai performance
gendalian adalah aktivitas (atau prosedur) Jika organisasi/perusahaan mem-
pengendalian. Organisasi yang melibat- pekerjakan tenaga-tenaga ahli seperti
kan banyak karyawan harus memiliki lawyer, dokter, dentist, akuntan, engi-
prosedur pengendalian sehingga kegiatan neer, ahli mekanik, seringkali sulit un-
yang dilaksanakan oleh seluruh unsur or- tuk dapat menetapkan apakah jumlah
ganisasi sejalan dengan tujuan organisasi. uang yang kita bayarkan sepadan
Dengan adanya prosedur pengendalian, dengan prestasi kerja yang telah mere-
maka peluang untuk melakukan penyim- ka berikan, apakah kita bayar berlebih
pangan dan/atau menyembunyikan per- ataukah tenaga ahli tersebut memberi-
buatannya menjadi berkurang atau dimini- kan jasanya dibawah standar. Untuk
mize. Secara umum, terdapat lima aktivitas kontrak jasa seperti ini, kadang terjadi
atau prosedur pengendalian, yaitu: overcharge, melakukan pekerjaan yang
tidak diperlukan, memberikan jasa di
• Pemisahan tugas dan tanggung- bawah standar, atau pembebanan bi-
jawab, aya atas pekerjaan yang tidak dilaku-
• Sistem otorisasi, kan.
• Adanya independent checks,
• Pengamanan fisik aset, b. Gagal dalam penerapan sanksi
• Dokumentasi dan catatan yang Ahli kriminologi sepakat bahwa
memadai. perkosaan memiliki tingkat tertinggi
dalam jenis kejahatan yang berulang
(residivis) dari seluruh jenis kejahatan.
58 JURNAL PENGADAAN

Kategori berikutnya dari pelaku yang rusahaan). Ini biasanya terjadi dalam
berulang adalah fraudster yang tidak management fraud skala besar yang di-
dituntut secara pidana ataupun pen- lakukan perusahaan untuk menipu
genaan sanksi disiplin. Seseorang yang para pemegang saham, investor, dan
melakukan tindak fraud dan tidak dihu- pemberi pinjaman. Para pelaku me-
kum atau prosesnya berakhir dengan nahan informasi yang dibutuhkan kor-
tidak ada pengenaan penalti, seringkali ban saat melakukan evaluasi. Untuk
akan mengulang lagi perbuatan fraud- mencegah terjadinya fraud ini, maka
nya. perlu diminta agar perusahaan bersi-
fat terbuka (full disclosure), termasuk
Pelaku fraud sering merupakan orang laporan keuangan audited, sejarah bis-
terpandang di lingkungannya, di tem- nis, dan informasi lain yang dapat
pat kerja, tempat ibadah, atau di ke- mengungkap penyimpangan yang di-
luarganya. Jika ia dihukum secara lakukan.
marjinal (tidak dimumkan), mereka
jarang memberikan informasi peng- d. Tidak ada jejak audit
hukuman ini kepada keluarganya ten- Organisasi sadar betul tentang pen-
tang alasan penghukuman atau peng- tingnya dokumentasi/pencatatan yang
hentian hukumannya. Tetapi jika ia dapat memberikan jejak audit sehing-
dituntut sesuai prosedur hukum yang ga transaksi dapat direkonstruksi dan
berlaku, mereka biasanya akan merasa dimengerti pada waktu mendatang. Ba-
malu jika keluarga, teman sejawat, re- nyak fraud melibatkan pembayaran kas
kan bisnisnya mengetahui tindak keja- atau manipulasi pencatatan yang tidak
hatannya. Memang, penghinaan/rasa dapat ditelusuri. Pelaku fraud mengerti
malu seringkali menjadi faktor yang bahwa tindakannya harus disembunyi-
paling kuat untuk mencegah terjadinya kan, dan penyembunyian ini biasanya
aktivitas fraud yang akan datang. dilakukan dengan memanipulasi cata-
tan keuangan. Ketika dihadapkan pada
c. Kurangnya akses terhadap informasi pilihan, catatan keuangan mana yang
Banyak fraud terjadi karena korban akan direkayasa, pelaku biasanya me-
tidak memiliki akses terhadap infor- milih income statement, karena pos-pos
masi yang dimiliki oleh pelaku (pe- income statement pada akhir periode akan
Mengapa Korupsi (Tetap) Ada November 2012/Vol. 2 - No. 2 59

di-nol-kan, sehingga mereka yakin je- GONE Theory


jak auditnya akan segera dihapus pada GONE Theory dikemukakan oleh Jack Bolog-
akhir tahun buku. na bahwa faktor-faktor seseorang melakukan
fraud (baca: korupsi) meliputi Greeds, Oppor-
Rasionalisation tunities, Needs dan Exposures. Greeds (serakah)
Rasionalisasi merupakan upaya pembenaran, berkaitan dengan adanya perilaku serakah
mencoba memuaskan dirinya sendiri tetapi yang secara potensial ada di dalam diri setiap
dengan mencari-cari alasan yang tidak benar orang. Opportunities (kesempatan) berkaitan
atas perilakunya. Setiap pelaku penyim- dengan keadaan organisasi atau instansi
pangan, apalagi yang baru pertama kali, di- atau masyarakat yang sedemikian rupa se-
pastikan memiliki alasan pembenaran atau hingga terbuka kesempatan bagi seseorang
rasionalisasi. Dengan rasionalisasi membantu untuk melakukan kecurangan. Needs (kebu-
mereka untuk menutupi perilaku dishonest- tuhan) berkaitan dengan faktor-faktor yang
nya. Beberapa rasionalisasi yang biasa digu- dibutuhkan oleh individu untuk menunjang
nakan oleh pelaku antara lain: hidupnya yang menurutnya wajar. Exposures
(pengungkapan) berkaitan dengan tindakan
• Organisasi/perusahaan telah berutang ke- atau konsekuensi yang akan dihadapi oleh
padaku, pelaku kecurangan apabila pelaku ditemukan
• Aku hanya meminjam uang itu, nanti akan melakukan kecurangan.
aku kembalikan,
• Tidak akan orang ada yang bakal terluka, Jadi, suatu perbuatan korupsi akan dapat
• Seharusnya aku memperoleh lebih dari muncul apabila terdapat keadaan GONE
yang sekarang, yang kondusif untuk korupsi. Misalnya, pada
• Aku melakukan perbuatan itu adalah un- situasi dimana seseorang tidak bisa mengen-
tuk tujuan yang mulia, dalikan diri sehingga sifat serakahnya muncul
• Kami akan sesuaikan catatan dan per- dan didukung dengan kebutuhan hidup yang
tanggungjawaban segera setelah kesulitan mengikuti gaya hidup yang boros. Bersamaan
finansial ini teratasi, dengan itu, keadaan organisasi tempat dia be-
• Memang harus ada yang dikorbankan, in- rada tidak memiliki perangkat kendali yang
tegritas saya atau reputasi saya. memadai. Ditambah lagi pelaksanaan sanksi
hukum yang berkaitan dengan perbuatan ko-
rupsi juga tidak tegas. Dalam keadaan GONE
60 JURNAL PENGADAAN

seperti itu, maka sangat besar kemu ngkinan yang mempengaruhi seseorang untuk mela-
bahwa seseorang akan melakukan korupsi. kukan fraud. Bisa juga kecurangan tersebut
terjadi karena adanya 3 (tiga) unsur yang
Kesimpulan saling mendukung pada diri seseorang yaitu
Demikianlah beberapa pandangan mengenai pressure, opportunity dan razionalization. Dan
sebab musabab munculnya perbuatan fraud jika menurut pelaku perbuatannya tersebut
atau korupsi. Bahwa perbuatan fraud tersebut tidak akan diketahui oleh orang lain ataupun
bisa dipelajari oleh seseorang dari lingkung- jika menurutnya akan lebih besar keuntungan
annnya, lingkungan yang terbiasa membiar- yang ia peroleh dengan melakukan perbuatan
kan perilaku menyimpang akan membentuk korupsi dibandingkan dengan konsekuen-
seseorang untuk melakukan penyimpangan sinya.
juga, atau dengan bahasa lain lingkungan
Mengapa Korupsi (Tetap) Ada November 2012/Vol. 2 - No. 2 61

DAFTAR PUSTAKA

Joseph T. Wells. Principles of Fraud Examina- Indonesia Peringkat ke-100 Indeks Persepsi Korupsi
tion. 2011, Kompas.com

Albrecht & Albrecht. Fraud Examinations. Pemerintah akui Indeks Persepsi Korupsi Indonesia
Rendah, DetikNews
Joseph T. Wells. Selected writings. Indeks Korupsi Indonesia 2011 Meningkat, Lipu-
tan6.com
Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, BPKP

Nanang Priyatna. Belajar dari Korupsi untuk


Tidak Korupsi.
OPTIMALISASI PERAN ATURAN
PENGADAAN BARANG/JASA
PEMERINTAH DALAM
REFORMASI BIROKRASI
62 JURNAL PENGADAAN

Optimalisasi Peran Aturan


Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
dalam Reformasi Birokrasi

Pendahuluan

Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan perbaikan,

penyempurnaan, penataan ulang, pembaharuan, dan perubahan mendasar terhadap

sistem penyelenggaraan pemerintahan, terutama menyangkut aspek kelembagaan (or-

ganisasi), ketatalaksanaan (proses bisnis) dan sumber daya manusia (SDM). Reformasi

MUSTOFA KAMAL birokrasi merupakan tuntutan perbaikan manajemen birokrasi yang entry point-nya

melalui kelahiran 3 (tiga) paket UU yaitu UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan

Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU Nomor

15 tentang Pemeriksaan terhadap pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan

Negara. Aturan terkait yang merupakan anak dari 3 (tiga) paket UU tersebut adalah

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2008 (PP 60/2008) tentang

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). SPIP menjadi trigger gelora sekaligus

pijakan reformasi birokrasi.


Optimalisasi Peran Aturan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah... November 2012/Vol. 2 - No. 2 63

Benang Merah Andil Aturan mekanisme yang berbasis aturan dan best prac-
PBJP dalam Reformasi Birokrasi tice akan menjadi bagian inherent perancang-
an dan pelaksanaan SPIP. Perpres 70/2012
Posisi Perpres 70 tahun 2012 merupakan bagian motor penggerak refor-
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah masi birokrasi. Semakin nyata, terasa, mudah
(Pepres70/2012) dalam reformasi birokrasi dan nyaman implementasinya semakin nyata

P
erpres 70/2012 menjadi bagian yang dan membumi rancangan SPIP. Semakin
melesakkan gelora reformasi birokrasi membumi SPIP berarti kian terasa hasil
dan menjadi aksi nyata di lautan mana- reformasi birokrasi.
jemen pemerintahan. Kehadirannya meru-
pakan bagian melekat dari internal control Peran Strategis Perpres 70/2012
(SPIP). Koneksi 3 paket UU, SPIP dan Per- dalam pencapaian tujuan organisasi
pres 70/2012 (dan aturan yang lainnya) dalam Dalam PP 60/2008 disebutkan bahwa “Sis-
reformasi birokrasi dapat divisualisasikan se- tem Pengendalian Intern adalah proses yang
bagai berikut: integral pada tindakan dan kegiatan yang
Dari gambar tersebut terlihat bahwa seluruh dilakukan secara terus menerus oleh pimpi-
64 JURNAL PENGADAAN

nan dan seluruh pegawai untuk memberikan kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan
keyakinan memadai atas tercapainya tujuan laporan keuangan, pengamanan aset dan keta-
organisasi melalui kegiatan yang efektif dan atan pada aturan merupakan jalan kenisca-
efisien, keandalan pelaporan keuangan, peng yaan yang harus dilalui untuk mencapai tu-
amanan aset negara, dan ketaatan terhadap juan organisasi.
peraturan perundang-undangan”. Uraian ini
dapat divisualisasikan sebagai berikut: Perpres 70/2012 mengungkapkan bahwa
Dari gambar diatas dapat diurai bahwa untuk “Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP)

Gambar 2. Definisi SPIP


Optimalisasi Peran Aturan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah... November 2012/Vol. 2 - No. 2 65

“Sistem Pengendalian Intern


adalah proses yang integral pada tindakan
dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus
oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk
memberikan keyakinan memadai atas tercapainya
tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan
efisien, keandalan pelaporan keuangan,
pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap
peraturan perundang-undangan”.
yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan kannya menjadi jembatan pencapaian tujuan
Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memper- tapi malah menghambat dengan praktik yang
oleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lem- menyimpang. Sebagai contoh, ada sebuah in-
baga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Insti- formasi fakta praktik PBJP, “Kasus korupsi
tusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan di tingkat pemerintahan daerah masih dido-
kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh minasi proses pengadaan barang/jasa men-
kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa”. cakup 70% dari keseluruhan kasus korupsi.
Selanjutnya pengadaan Barang/Jasa me- Diperkirakan kasus tersebut merupakan pe-
nerapkan prinsip efisien, efektif, transpar- langgaran proses penerimaan barang/jasa”.
an, terbuka, bersaing, adil/tidak diskrimi- Contoh ini seharusnya menjadi warning seka-
natif, dan akuntabel. Sehingga dapat ditarik ligus trigger kreasi kepada birokrat agar lebih
hubungan bahwa peran PBJP sangat strategis peduli terhadap risiko-risiko yang akan meng-
dalam pencapaian tujuan yaitu kegiatan PBJP hambat pencapaian tujuan sekaligus mengop-
yang efektif, efisien, akuntabel dan taat atu- timalkan implementasi peran strategis aturan
ran serta sekaligus menjadi salah satu ‘syarat/ PBJP dalam reformasi birokrasi.
jalan/langkah antara’ menuju pencapaian tu-
juan organisasi. Peraturan yang telah dibuat dan dikembang-
kan sampai dengan lahirnya Perpres 70 tahun
Optimalisasi peran Aturan PBJP 2012 merupakan upaya perbaikan dan bukti
dalam reformasi birokrasi keseriusan pemerintah untuk terus mengan-
Jika ditengok dari kenyataan, praktik bi- tisipasi dan mengendalikan risiko yang ada.
rokrasi menampilkan fragmen sinyal peran Pengendalian melalui aturan tersebut ada yang
PBJP yang kurang menggembirakan. Bu- telah jelas dan mudah dipraktikkan namun
66 JURNAL PENGADAAN

tidak menutup kemungkinan ada yang kurang puter yang legal yang akan diterima? Praktik
jelas dan butuh kreativitas untuk membuat yang selama ini adalah dengan verifikasi data
mekanisme berikutnya sebagai rincian sekali- spesifikasi di kontrak dibandingkan dengan
gus panduan langkah best practice-nya. kondisi riil komputer. Hal ini masih belum
memadai karena di pasar beredar computer legal
Perpres 70/2012 telah mengungkapkan tu- market dan black market (BM) dengan kompo-
gas dan kewenangan tiap pelaku pengadaan. sisi spesifikasi yang persis sama. Komputer
Panduan ini seharusnya menjadi alat yang yang BM tentu lebih murah dan mensupport
ampuh untuk mengantisipasi dan mengen- peningkatan profit yang menggiurkan bagi
dalikan risiko penyimpangan yang mungkin rekanan. Jika komputer ini di kemudian hari
terjadi di tahap/proses PBJP, termasuk pe- rusak maka agen resminya yang ada di In-
langgaran proses penerimaan barang/jasa donesia sudah pasti tidak akan berani mem-
seperti contoh fragmen diatas. Jika ditengok perbaikinya. Konsekuensinya adalah barang
tugas pokok dan kewenangan dari Panitia/ tidak dapat digunakan. Muara tragisnya ada-
Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) di lah menjadi temuan auditor bahkan masalah
Perpres 70/2012, maka dapat diungkap anta- di meja hijau. Oleh karena itu PPHP membu-
ra lain “melakukan pemeriksaan hasil peker- tuhkan panduan kerja yang mendetailkan kata
jaan Pengadaan Barang/Jasa sesuai dengan “pemeriksaan di Perpres 70/2012” dengan
ketentuan yang tercantum dalam Kontrak”. uraian langkah verifikasi dan konfirmasi ke
Bagaimana langkah pemeriksaannya? Per- agen resminya serta menjadi bagian melekat
pres 70/2012 belum memberikan panduan dari SK tim PPHP.
detailnya dan tentu wajar karena Perpres
70/2012 di launching untuk umum/nasional. Banyak faktor potensial yang menjadi pe-
Bermacam-macam bentuk pengadaan ba- nyebab PPHP tidak optimal dalam mengawal
rang/jasa dengan segala lika-likunya membu- kualitas BJP yang diterima. Dan sebaliknya
tuhkan langkah pemeriksaan hasil pengadaan banyak pula sesi-sesi proses PBJP yang akan
barang/jasa yang berbeda-beda pula. Dan men-support pengawalan kualitas BJP, misal-
inilah ladang PBJP yang sangat butuh krea- nya di evaluasi teknis penawaran oleh Pokja
tivitas birokrat dalam wujud panduan kerja ULP dan lain-lain. Namun contoh kecil dia-
bagi PPHP. tas setidaknya menampilkan fragmen yang
sangat potensial terjadi, apalagi dalam PBJP
Sebagai contoh kecil, bagaimana PPHP akan yang menjadi peserta dalam proses pelelangan
melakukan pemeriksaan spesifikasi kom- adalah para penyedia barang jasa bukan para
Optimalisasi Peran Aturan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah... November 2012/Vol. 2 - No. 2 67

Perpres 70 tahun 2012 merupakan upaya perbaikan


dan bukti keseriusan pemerintah untuk terus
mengantisipasi dan mengendalikan
risiko yang ada.
agen resmi. Tentu fenomenanya akan lebih praktis berbasis aturan belum bisa menjadi
seru lagi jika pengadaanya adalah pekerjaan bekal yang memadai untuk mencapai tujuan
konstruksi, jasa lainnya dan jasa konsultansi. organisasi, maka birokrat K/L/D/I harus
Pasti sangat bervariasi bentuk teknik peme- merancang, melegalkan dan mengimplemen-
riksaannya dan tentu membutuhkan “langkah tasikan mekanisme berbasis best practice.
pemeriksaan oleh PPHP yang jelas”. Legali- Tiap lekuk proses PBJP di tiap para pelaku
tas kreativitas langkah-langkah pemeriksaan PBJP yang kemungkinan menimbulkan bias
dalam SK tim PPHP merupakan langkah praktiknya harus diidentifikasi dan dibuat-
nyata dalam optimalisasi peran aturan PBJP kan legalitas langkah detailnya. Optimalisasi
dalam reformasi birokrasi. kreativitas ini akan menjawab dan meruntuh-
kan stigma yang beredar (bahkan beberapa
Penutup telah menjadi fakta) bahwa mayoritas kasus
Keberhasilan Reformasi birokrasi sangat korupsi dari PBJP. Dampak nyata dan strat-
membutuhkan internal control (SPIP) yang egisnya adalah reformasi birokrasi akan kian
kuat di pemerintahan. SPIP akan menjadi membumi. Dan birokrat pun telah menyaji-
wadah bagi peran seluruh aturan formal kan fragmen sebagai katalis (pemberi arah)
dalam mengendalikan segala risiko yang akan dan reformis (pembaharu) sejati. Think glob-
menghambat pencapaian tujuan organisasi. ally act locally, sentuhan aktivitas lokal (meran-
Birokrat harus kreatif dalam membaca, me- cang panduan kerja) akan berdampak global
mahami dan mengimplementasikan aturan (tujuan K/L/D/I tercapai).
termasuk aturan PBJP. Jika fakta mekanisme
68 JURNAL PENGADAAN

DAFTAR RUJUKAN

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor Pendopo, Sistem Pengendalian Intern Pemerintah


17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. sebagai Fondasi Reformasi Birokrasi, edisi VI,
Perwakilan BPKP Jawa Tengah, Sema-
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor rang, 2011
1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Ne-
gara. Kamal Mustofa, Mencermati Arah Perubahan
Aturan PBJ, Majalah BPKP “Warta Pen-
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor gawasan” volume XVIII/No.3/Septem-
15 tentang Pemeriksaan terhadap pengelolaan ber 2011, Jakarta, 2011
dan pertanggungjawaban keuangan Negara.
http://www.lkpp.go.id/v2/berita-detail.
Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 php?id=6214472140 diakses tanggal 15
Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. oktober 2012

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Kamal Mustofa, Konstruksi Temuan, Majalah


Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pen- Pengawasan Inspektorat Jenderal Kemen-
gendalian Intern Pemerintah. trian Perindustrian “SOLUSI” no. 3 vol-
ume 2 September 2012, Jakarta 2012
COMPLIENCE AND
PERFORMANCE INDICATOR
OF PUBLIC PROCUREMENT
IN INDONESIA
2011 Pilot Survey Findings
70 JURNAL PENGADAAN

Compliance and Performance Indicators


of Public Procurement in Indonesia:
2011 Pilot Survey Findings

Introduction

NPPA has just completed a pilot survey which is based on the OECD/DAC tool of

Compliance and Performance Indicators (CPI). This is a valuable tool and simply
NATIONAL PUBLIC
using it as it stands would bring benefits to an understanding of the way in which
PROCUREMENT
public procurement is implemented in Indonesia. However, NPPA has sought to
AGENCY
improve on the basic CPI tool and to enhance it in a way which will provide the
www.lkpp.go.id
country with a tailored means of assessing the level of implementation and iden-

tifying systemic weaknesses in the overall system with a view to improving that

system.
Complience and Performance Indicator November 2012/Vol. 2 - No. 2 71

1.1 The OECD/DAC CPI Tool (MAPS) of February 2010. The CPI tool re-
The CPI tool was developed under the ae- mains unchanged from its 2006 version.
gis of the OECD Development Assistance
Committee (DAC). Under the joint World Together, these tools are intended to provide
Bank/DAC Procurement Round Table ini- a common mechanism to assess the quality
tiative, developing countries and bilateral and and effectiveness of national procurement
multilateral donors worked together to devel- systems. The understanding among the par-
op a set of tools and standards that provide ticipants of the Round Table initiative was
guidance for improvements in procurement that the assessment will provide a basis upon
systems and the results they produce. which a country can formulate a capacity
development plan to improve its procure-
The Round Table initiative culminated in ment system. Similarly, donors could use the
2006 with the adoption of two tools: the common assessment to develop strategies
Baseline Indicator (BLI) tool and the CPI for assisting the capacity develop plan and
tool. The BLIs deal with the formal and to mitigate risks in the individual operations
functional features of the existing system that they decide to fund. The long term goal
and provide a comparison of the actual sys- is that countries will improve their national
tem against the international standards that procurement systems to meet internationally
the BLIs represent. The CPIs, on the other recognized standards enabling greater effec-
hand, deal with monitoring performance data tiveness in the use of funds to meet country
to determine level of compliance with the obligations.
formal system and thus with how the system
actually operates. Whilst the BLIs are more From the outset then, the goal is to assess
like a “snapshot” of the system design at a the performance of the system in order to
given time, the CPIs look at what is happen- improve it, where necessary. It has a national
ing on the ground by examining a sample of perspective in that it can be used by a Gov-
procurement transactions and other relevant ernment to improve its own system. It also
information that is deemed representative has an international perspective in that it can
of the performance of the system. The BLI be used by donors when assessing country
tool has been amended several times with the procurement systems.
latest iteration being contained in the Meth-
odology for Assessing Procurement Systems In 2007, Indonesia carried out a baseline In-
72 JURNAL PENGADAAN

dicator (BLI) self-assessment which not only the national system. In the first place, they are
provided the first snapshot of the formal limited by their reference to the BLIs which
aspects of the Indonesian procurement sys- represent an ‘ideal’ procurement system but
tem but also informed a process of improve- which are not linked to any particular nation-
ment and amendment. As a result, significant al system. This means that, when considering
changes have been made to the Indonesian a specific system, the local context will need
procurement system. Building on the early to be taken into account, making some of
achievements of Keppres 80 of 2003 and the data requirements redundant. Similarly,
Perpres 106 of 2007 which introduced major because if the advances already made in In-
reforms into the system, NPPAhas been in- donesia, the standard CPIs are incomplete in
strumental in developing Perpres 54 of 2010 some respects for NPPAs purposes. NPPA
which makes further improvements to the would wish, for example, to assess compli-
national procurement system. ance and performance of additional legal re-
quirements so that it can obtain a fuller pic-
What has been missing to date is the second ture of the local situation. The ‘ideal’ nature
part of the overall system assessment which of the reference point (the BLIs) also means
concerns compliance and performance. That that not all of the compliance and perfor-
has been the purpose of the present exercise. mance data is readily available, especially
Its primary objective is to complete the pic- where an electronic monitoring system is not
ture so that, armed with a snapshot of the yet fully operational as is the case so far in
formal legal framework and, after this CPI Indonesia. This has implications for the data
Survey, with a good understanding of how gathering methodology. Further, the stand-
that legal framework works in practice, NPPA ard CPIs are often limited to addressing the
will be able to identify any weaknesses in the level of compliance but fail, where the level
system and, consequently, make recommen- of performance is insufficient, to identify the
dations for improvement. causes of poor compliance, i.e. they do not
addresses the weaknesses in implementation,
1.2 The Indonesian CPI only the results of such weaknesses. In order
The CPIs of the OECD/DAC provide a very to improve the system, NPPA needs to un-
useful starting point but it was felt that they derstand why, if that is the case, performance
would not, on their own, provide the informa- is poor in order to be in a position to propose
tion needed by NPPA to assess and improve appropriate improvement measures. Finally,
Complience and Performance Indicator November 2012/Vol. 2 - No. 2 73

the CPIs themselves are, in some cases, mis- country’s needs. There are a number of spe-
leadingly drafted. NPPA has decided to take cific objectives:
these further and seek additional information
in order to provide meaningful results. First, the CPIs will show what has been
achieved to date and what remains to be done.
As a result, the CPIs to be used in Indone- Second, it will pinpoint weaknesses in the
sia are a little different to the standard CPIs implementation of the national procurement
of the OECD/DAC. Some of the CPIs have system.
been amended in light of the Indonesian
context in order to provide meaningful data, Third, it will enable NPPA to make informed
i.e. they have been reworded according to the choices as to areas in need of improvement
Indonesian legal context with a view to ob- and provide a basis for recommendations for
taining the data envisaged under the original the required improvements.
CPI tool. Some of the CPIs have been sup-
plemented in order to provide better results, Fourth, it will provide information to donors
again taking into account the specificities of on the functioning of the national procure-
the Indonesian context. NPPA has also add- ment system and feed in to current initiatives
ed some new CPIs designed to provide data in respect of the use of country procurement
on implementation issues which are relevant systems.
in Indonesia but which do not figure in the
standard CPI tool. In consequence, NPPA 1.3 Data Collection Methodology
has used an enhanced set of CPIs based on Given the absence of a comprehensive elec-
the above process which will provide a more tronic management system which is able to
appropriate tool for Indonesia. capture the information required under the
CPI exercise, NPPA has chosen to engage
This process has been undertaken with spe- directly with the various stakeholders with a
cific purposes in mind. In general terms, the view to obtaining the relevant information. It
purposes of the Indonesian CPIs do not dif- has not, as has been the case in some coun-
fer from those of the OECD/DAC. How- tries, simply asked stakeholders to provide
ever, as will be appreciated from the above data without evidence; that is clearly not suffi-
description, the original CPIs have been ciently rigorous where meaningful results and
adapted to the Indonesian context and to the consequential actions are envisaged. Rather,
74 JURNAL PENGADAAN

NPPA has, in consultation with a number of alistic reflection of the current state of play.
stakeholders developed a series of question-
naires designed to elicit relevant information As indicated above, NPPA is seeking to un-
from the appropriate sources. Recognizing derstand the underlying problems with the
that not all the required information is avail- system, where there are any, and to address
able from a single source, the CPIs have been them in a concrete and meaningful way. It
broken down into a series of questionnaires was not enough, therefore, in NPPA’s opin-
destined for four key groups of stakeholders, ion, to simply collect a series of figures which
namely: indicate whether compliance or performance
is good or bad. What matters understands
• Procuring entities why compliance or performance is good or
• Procurement staff within those entities bad. When the reasons for poor performance
• Goods and services providers can be identified (and not just the fact that
• Government auditors performance is poor), then it will be possible
to provide practical support or recommenda-
In this way, the data will be collected from tions for corrective measures of whatever na-
those most likely to be in possession of the ture (additional guidance; legislative amend-
relevant data. ments; capacity building) which will have the
effect of improving implementation. This is
The questionnaires were not simply distrib- not a cosmetic exercise but a concrete means
uted to the stakeholders but were used rather of improving the system. The interview pro-
as the main data collection tool by teams cess adopted enabled broader information to
of reviewers, who are mostly procurement be collected relating to particular difficulties
specialist,while visiting the stakeholders in with implementation and with the reasons
order to elicit responses based on the ques- for the level of compliance and performance
tionnaires and review the available documen- achieved.
tation which supported the answers given.
Though not an audit, the process borrowed tIn addition, NPPA provided a Manual of
some techniques from the field of audit in Procedures for the survey exercise which
order to ensure the validity of the responses explained in detail to the survey teams what
given. This provides NPPA with some guar- was required under each of the questions and
antee that the resulting statistics provide a re- what information should be elicited orally and
Complience and Performance Indicator November 2012/Vol. 2 - No. 2 75

through documentary evidence. The Manual document assessment, and field management.
also explained appropriate interview tech- The training was held in an open and partici-
niques so that the teams would be prepared patory forum. It was also enriched by prac-
to collate and assess the information and data tice sessions with practitioners who included
provided in preparation for input into the the review of actual documents. During this
analytical database. Given the importance of session, team members played several roles in
the way in which data is to be collected, those the mock survey includinginterviewer, docu-
engaged in obtaining the data from stake- ment reviewer,and liaisonmember and team
holders underwent specific training to assist leader. This session provided a good flavor
them in the data collection exercise. of what would happen in the field and how
the survey team should deal with the likely
For the most part, the team members were situation on the ground.
taken from among NPPA staff to ensure that
those conducting the interviews were familiar In general, the training participants were very
with the legal framework and those broader active and critical. As a result, it was possible
lessons from the exercise would be absorbed to further explain the indicators listed in the
within NPPA. These teams were assisted by questionnaires and in the manual with a view
procurement analysts and statisticians. For to capturing accurately the issues of compli-
the most part, the teams consisted of 5-7 ance with Presidential Decree (Keppres) No
persons led by NPPA staff, all of whom had 80 of 2003. In addition, some issues were
expert knowledge of procurement. raised with regard to differences between
what is stated in the Keppres and what actu-
In order to check prior assumption in the ally happens in the field. Some heated discus-
targeted area of respondents, a fact finding sions clarified the issues and led to significant
program was held. This activity was also in- inputs to the improvement of the question-
tended to introduce this pilot survey to of- naires, manuals and field management. De-
ficials to prepare them forarranging a smooth tailed practical inputs were incorporated
execution of the survey. into a revised version of questionnaires and
manual.
Prior to the data collection, all team members
were trained on details of CPI background, 1.4 Piloting the Survey
sampling procedures, interview techniques, Given the size of Indonesia and the num-
76 JURNAL PENGADAAN

ber of contracting entities operating in the that it enables NPPA to review the question-
country under the procurement system, it naires and the data collection methodology
was decided toconduct a survey, rather than a with a view to making any necessary adjust-
census. Before conducting a national survey, ments for the future.
it is important to test the planned methodol-
ogy and questionnaires in a smaller scale on In the event, the CPI Pilot Survey was con-
a pilot basis. ducted in three line ministries, three provinc-
es, two cities, and two districts. These were the
The selection was made on the basis of a Ministries of Public Works, National Educa-
random sampling method which has never- tion and Health; the provinces of West Java,
theless provided a series of representative Southeast Sulawesi and East Nusa Tenggara;
entities and locations (of entities, e.g. central, the cities of Manado and Balikpapan; and the
regional) providing the possibility of collect- districts of West Sumbawa and East Belitung.
ing data across a range of entities. Ultimately,
it is intended to roll out the surveyover the The pilot survey was divided into three batch-
whole, or a large proportion, of the country es. The first batch was conducted on 25-30
but the pilot stage was expected to provide a July 2011 covering Southeast Sulawesi, West
flavor of the expected results which may be Java, and Manado. The second batch was con-
used as indicative results for the country. ducted on 31 July – 6 August 2011 covering
East Nusa Tenggara, Balikpapan, Ministry of
As a limited pilot, the results cannot, by defini- Health, Ministry of Public Works, and Min-
tion, be a true reflection of the national situa- istry of National Education. The third batch
tion but will give an indication of trends. It is was conducted on 7-12 August 2011 covering
important not to draw final conclusions from Balikpapan, West Sumbawa, and East Beli-
this pilot survey which will be used more to tung. By 13 August, the CPI Pilot survey was
indicate areas where the current techniques completed in 7 respondent provinces, cities,
and methodologies can be improved and to and districts. In respect of the Ministries,
indicate the potential areas of weakness al- additional bureaucratic requirements meant
lowing the survey team to focus on these in that there was some delay and those surveys
the future roll-out of the survey. were still being completed in early October.

The additional benefit of this piloting stage is The results of the interviews were collated
Complience and Performance Indicator November 2012/Vol. 2 - No. 2 77

using the CSPro database system and later 2.1 Overall Reception of Survey
statistically analyzed using the Stata software. It has to be said that, overall, most of the
This allows for the collection, collation and stakeholders interviewed were very recep-
analysis of the data and the resulting analy- tive to the pilot survey and willing to provide
sis has produced a series of tables providing access to their staff and facilities. Indeed, in
the data necessary to respond to the various keeping with the spirit of consultation and
indicators. Given the scope of the questions with the intention of identifying areas in need
asked and the data collected, it has been pos- of improvement, the majority of stakehold-
sible to provide more results than suggested ers were also very keen to know the results of
by the indicators but which provide more the pilot survey and its consequences. This
accurate findings. These are indicated in the is a positive response, especially since great
matrix contained in section 3 below. care was taken from the outset to ensure that
the whole pilot survey exercise would not be
2 Results for Methodology and Data seen as any form of audit. In a few cases,
Collection there appeared initially to be a degree of ‘au-
Before turning to the substantive results of dit fatigue’ in the sense that there was initial
the CPI pilot survey, it is clear that the pilot reluctance to engage in what appeared to be
survey has provided valuable lessons in re- yet another fact finding exercise. However,
spect of the methodology adopted. This has once the purpose of the exercise was prop-
consequences for the future roll-out of the erly explained, the pilot survey team received
survey to a broader group of stakeholders. It the willing cooperation of the respondents
should also be pointed out that these lessons concerned. From this point of view, the gen-
arise out of the methodology chosen, i.e. the eral approach of the pilot survey appears to
face to face interview method which enables have been successful.
the survey team to obtain direct experience
of the working environment of those inter- In several cases, it appears that the relevant
viewed so that they were able to experience information about the whole CPI exercise
first-hand the difficulties faced in the con- had not filtered down to the appropriate
ducting such a survey. These are not lessons people so that those who were being inter-
that would have been learned through indi- viewed did not initially know too much about
rect information gathering and in itself dem- the purpose of the survey. Again, once the
onstrates the value of the method chosen. purpose was properly explained and commu-
78 JURNAL PENGADAAN

nicated, there was full cooperation. This may in respect of, for example, the goods and
have been the result of the relatively tight services providers whose inputs were largely
time lines involved in the conduct of the sur- limited to responding to the questionnaires,
vey but suggests that, in terms of broader but finding and making appointment with
roll-out, care will need to be taken to ensure the selected providers were time consuming.
that the scope and purpose of the survey is Also in the case of procuring entities, one
properly communicated to the right people in week proved largely insufficient. Some of
a timely manner. the difficulty arises from section2.1. Where
formalities were not properly followed or
One further issue in this regard concerns the where sufficient information had not perco-
bureaucratic nature of government. Whilst lated down to the relevant interviewees, this
cooperation was evident at all levels when led to delay both in holding meetings and in
it came to those actually interviewed, some getting to substance of the survey, with much
delay was occasioned by the failure to issue time being used for explanations that could
formal letters and requests to the proper au- have been provided more efficiently earlier.
thorities in advance of the surveys. This was The bureaucracy and need for following the
again not evidence of any reluctance on the proper channels does restrict the time avail-
part of the stakeholders but an issue of the able for the survey.
formalities which need to be followed. As
with communication, above, care will need There are also other reasons for the insuf-
to be taken in future that the proper formali- ficiency of time, some of which were exac-
ties are followed. This includes such things erbated by the bureaucratic delays. A survey
as informing the appropriate authorities of such as this requires appropriate staff to be
the sampling methods, training and interview mobilized and made available at specific times.
schedule and documents to be reviewed. Not all the relevant staff could be made avail-
able at the arranged times and some staff who
2.2 Timing had been responsible for certain procedures
One unsurprising finding is that the one week had since moved on. This is not unusual and
set aside for the conduct of the survey at is to be expected in such a survey, although it
each stakeholder was, for the most part, not does mean that record keeping then needs to
enough, especially to assess the procurement be well done so that others can subsequently
documents. Of course, it might be sufficient follow the ‘paper trail’. In one case, one of
Complience and Performance Indicator November 2012/Vol. 2 - No. 2 79

the units randomly selected for the survey been stated that records relating to different
was found no longer to exist. Whilst former aspects of the procedure are often kept in
officers remained within the organization and different locations. That is, to some extent,
could be traced, the formalities required to inevitable, although it would be more sensi-
interview them meant that there was further ble, from a practical point of view of course,
delay and wasted time in making the journey for those responsible for the contract award
to visit them. procedures to at least maintain copies of all
documents relating to a single procedure in
As well as conducting interviews, the survey one place so that a complete and comprehen-
teams were also required to review the rel- sive file can be easily located and retrieved.
evant documentation in order to supplement This was not, however, the major problem.
the information received in the interviews. More of an obstacle was the level of incom-
Procurement records are by their nature rath- plete records maintained. In some cases, there
er voluminous and, in those entities which were no records at all to be found but, in the
conduct significant amounts of procure- majority of cases, the records were simply in-
ment; this can make it a lengthy task. As the complete. This, of course, made it very dif-
survey teams found, all relevant documenta- ficult as well as time consuming (to the extent
tion was not always contained in one location that the lack of documentation necessitated
with, as an example, financial information re- further research and interviews) for the sur-
lating to contracts (in terms of invoicing and vey team to collect data and verify informa-
payments) often processed by and, therefore, tion received. This also has an effect on the
kept by different officers to those responsible reliability of the data obtained. Where pos-
for conducting the pre-contractual procure- sible, this is indicated in the results matrices.
ment award procedure. It thus took more
time than anticipated to locate and review the It seems that, where records are kept, is done
relevant records. might be more to satisfy the auditors than
to provide an internal file which allows for
2.3 Records contract administration. The files that are
One of the major obstacles faced by the sur- maintained are often bound in book form for
vey teams was the poor state of the documen- presentation to the authorities, thus giving
tation found to exist in respect of individual the superficial appearance of adequacy. How-
contract award procedures. It has already ever, they will contain only what is thought to
80 JURNAL PENGADAAN

be of interest to auditors and are thus selec- ments or reporting requirements in the legal
tive (by definition, incomplete). They, gener- framework in respect of the basic procure-
ally, as was discovered during the survey, only ment documents.
contain the information relevant to the win-
ning bidder but not to the others (other than Whilst it does mean the data obtained will
in respect of providing an indication of the also be incomplete since there are incomplete
competition that took place). As a statement records, the solution lies in improving record
of what happened, that may suffice; as a re- keeping procedures in general so that any fu-
cord of proceedings for internal purposes, ture CPI survey will have the benefit of more
it does not. By definition, a bound volume complete records. The purpose of proper
is finite and it is not possible to add further record keeping is not primarily to do with
documents to it as and when they arrive. The CPI surveys, of course, and is an element of
records are, therefore, fixed at a certain point professionalization of the procurement func-
of time and are useless as a continuing record tion. It is the only means that a procurement
of the process and thus not useable for the procedure can be adequately and efficiently
purposes of contract administration. managed and then monitored internally.

The conclusion to be drawn from this, how- 2.4 Persons Interviewed


ever, is not necessarily that procuring entities There were two issues raised in this regard.
are failing to maintain records as they are re- First, in respect of the procuring entities, it
quired to do. The legal framework is rather was discovered that not all procuring entities
weak in respect of record keeping and refers were staffed in the same way. This is again not
merely to what is translated as the ‘procure- surprising given the differing levels of pro-
ment implementation document’. This ap- curement activity and functions at the differ-
pears to refer to a collection of documents ent levels of government and in the various
relevant to the procurement process such as sectors. However, the main concern was that
planning, announcement, aanwijzing (pre- the number of certified personnel (i.e. those
bid meeting), evaluation report, contract, who have achieved the NPPA certification)
workexecution and handover, concerning was not always sufficient for the procurement
procurement as well as all financial (payment) needs, notably at the regional level. In some
documents but there is no formal definition. cases at the regional level, same persons assist
There are no specific record keeping require- the procurement committee in several differ-
Complience and Performance Indicator November 2012/Vol. 2 - No. 2 81

ent institutions. This indicates a capacity issue and terminology.


which will need to be addressed.
The questionnaires themselves were devel-
Second, in respect of the goods and services oped through an iterative process using the
providers, the survey teams found it difficult matrix as a starting point. In seeking to de-
to identify a sufficiently broad range of ten- sign questions to match the matrix indica-
derers. This was mainly due to the poor re- tors, some of the questions have veered off
cord keeping since records of tenderers were course and, ultimately, answer questions dif-
generally not kept. Where records were kept, ferent to those set out in the original indica-
only information relating to successful ten- tors. To the extent possible, these difficulties
derers was available. Whilst this again high- have been highlighted in the commentary on
lights the issue of record keeping, the con- the matrix below. To some extent, this has
cern of the survey teams was that they may simply led to additional information of lesser
not be receiving the representative opinion or greater value. In some cases, however, it
of tenderers since they could obtain informa- has resulted in a failure to provide relevant
tion only from those who had been success- data for the specific indicators. It is thus im-
ful. These, of course, are less likely to have portant for the teams to review the question-
any negative opinions to air than those who naires and the matrix to ensure (i) that there
have been unsuccessful. Caution thus needs is consistency between the two tools and (ii)
to be exercised in assessing the response of that the questions set out in the question-
tenderers since that response is quite possibly naires do indeed address the issues raised by
one-sided. the indicators.

2.5 Questionnaires In addition, the way in which questions are


For the most part, the questionnaires ap- asked based on the questionnaires may need
pear to have worked well as a survey tool. It to be adjusted. For example, clearer indica-
is clear from the matrix set out in section 3 tions could be provided on those cases where
below, however, that some of the questions questions can be ‘skipped’, i.e. where the an-
need to be amended and some other ques- swer to one question allows the respondent
tions added in order to obtain a clearer pic- to ‘skip’ some of the subsequent questions
ture of the situation. In some cases, there has related to the first. Naturally, any subsequent
also been some debate concerning language changes to the questionnaires will need to be
82 JURNAL PENGADAAN

reflected by consequential adjustments to the not sufficiently clear


Manual. • providing a clear and thorough explana-
tion of the indicators to stakeholders
Following on from comments related to the • taking care that random sampling will be
persons interviewed in section 2.4, it may be effective by providing advance warning
necessary to amend (and make more flexible) and ensuring the availability of data
the detailed identification and number of re- • coordinating then timetables and avail-
spondents written into the Manual since the ability of respondents, especially where
current descriptions do not always reflect re- the appropriate officers may have moved
ality of the respondents on the ground, e.g. on
different local makeupof the entity or non- • foreseeing the likely locations of relevant
availability of personnel). documentation
• ensuring, where feasible, the participation
2.6 Organizational issues of high level NPPA staff to facilitate ac-
There were a number of additional organi- cess to people and documents
zational and logistical issues which were
brought up, some of which are the result of 3. CPI Pilot Survey Results
the issues discussed above. These will need The results of the CPI Pilot Survey are pre-
to be addressed in the further roll-out of the sented in tabular format below. This provides
survey. They include: the figures required by the various indicators.
• the need to ensure that the list of selected This table also contains a commentary, how-
respondents is updated and continuously ever, explaining the relevance and significance
revised of these findings and highlighting any issues
• managing the timetables of the survey of further concern raised by the exercise.
teams so that all are available when re-
quired and not diverted to other tasks The tables will be showing the comparison
• making sure that the interviewers are of the two indicators, the original OECD/
trained extensively on the purpose and DAC CPIs and the Indonesian CPIs. Some
background of the questions and the indicators can be figured based on the data
OECD indicators – this will help in en- collected but some of them have not. This
suring consistency between the matrix gap will surely be another notification for
and questionnaires, even where the text is NPPA develop the survey methodology,
Complience and Performance Indicator November 2012/Vol. 2 - No. 2 83

questioners, and involving more respondents ed were based on the pilot survey which is
to broaden data resources and complete in- collected from very limited samples compare
formation to the country size.

Again we would like to rise that the results However, it is considered as a valuable data
shown on below matrix are only an example that shows the silhouette of the country’s
of the survey findings. Those figures present- procurement performance.
84 JURNAL PENGADAAN

Amended
OECD/DAC CPI Result 1 Result 2 Commentary
Indonesian CPI
1. The Public Procurement Legistive and Regulatory Framework
c) Advertising rules c) Advertising rules and- It should be noted that

andtime limits time limits the legal framework

(i) Percentage of 80 (i) Percentage of public 80% provides for a minimum

invitations for open bid processes that are As in column 2 number of 8 days only.

tenders publicly publicly advertised However, the ‘aver-

advertised (ii) Average number of days As in column 2 age’ result does not

(ii) Average number of between bid invitation provide the full picture.

days between invita- (announcement) and bid Additional statistics are,

tion to tender adver- opening, by category therefore, useful: the

tisement and tender of procurement (goods, distribution of days actu-

opening by type of works, consulting and ally given is instructive.

procurement: other services) In 25% of cases, the

Goods 11 days given were 3 on

Works 10 (iii) Average number of days average. The distribu-


n.a.
Services 6 between bid invitation tion (incorporating all

Consulting services 12 and bid opening for: procedures other than

- simple procurements consulting services) as

- complex procurements follows:

(as defined in Keppres Less than 8 days

80) 40.1%

8-11 days

24.7%

More than 11 days

34.2%

1. This column provides the result to the OECD/DAC CPI question described in the previous column.
2. This column provides the result to the Amended Indonesian CPI question, where different, described in the previous column.
3. The numbering follows the OECD/DAC numbering system. Indicator 1(a), for example, is relevant only to the BLIs and not the CPIs;
it is, therefore, excluded, so the first relevant indicator is 1(b). The same process will be followed throughout with all indicators
relevant only to the BLI being deleted from this table.
Complience and Performance Indicator November 2012/Vol. 2 - No. 2 85

Amended
OECD/DAC CPI Result 1 Result 2 Commentary
Indonesian CPI
1. The Public Procurement Legistive and Regulatory Framework
e) Tender documenta- e) Tender documentation 65.8% Procedural comment: it

tion and technical and technical specifica- would be useful to know

specifications. tions 34.2% how many tenderers

there were on average

Percentage of ten- (i) Percentage of bids ex- in each procedure. This

ders rejected in each cluded for administrative would give us an indica-

process. non-compliance tion of the percentage

rejected. Currently the

Note: only those (ii) Percentage of bids statistics provide us only

participating in open excluded for technical with the percentage of

tendering were non-compliance times bidders were re-

canvassed. jected. This is important

given the survey teams’

comments on numbers

of participants and

abuse of direct appoint-

ment.

An appropriate question

should be added to the

questionnaires. This is

already an OECD/DAC

indicator but has not

been addressed (see

indicator 7(b) below).


86 JURNAL PENGADAAN

Amended
OECD/DAC CPI Result 1 Result 2 Commentary
Indonesian CPI
1. The Public Procurement Legistive and Regulatory Framework
f) Tender evaluation f) Tender evaluation and These figures are surpris-
and award criteria award criteria ingly low. This may well

be explained, how-

(i) Percentage of 3.9% (i) Percentage of procure- 0% ever, by the incomplete

tenders including ment processes where records kept and by the

non-quantifiable or non-quantifiable/ fact that this exercise

subjective evaluation subjective criteria were was not an investigation/

or post qualification included audit so that any assess-

criteria. ment of the existence of

(a) in any bid advertisement/ 3.9% extraneous non-quanti-

(ii) Public perception 58.7% documentation fiable criteria would, at

of confidentiality of best, have been superfi-

tender evaluation (b) in procedures after bid 58.7% cial. Without changing

process. submission the whole nature of the

survey exercise, it would

(ii) Percentage of bidders be inadvisable to seek to

who believe the procure- obtain further evidence

ment entity does not on this indicator from

retain the appropriate the procuring entities

level of confidentiality for and their documenta-

their information tion.

The solution may well be

to ensure that providers

are asked this question

in the same was as they


Complience and Performance Indicator November 2012/Vol. 2 - No. 2 87

Amended
OECD/DAC CPI Result 1 Result 2 Commentary
Indonesian CPI
1. The Public Procurement Legistive and Regulatory Framework
were asked about the
incidence of non-

quantifiable qualification

criteria (indicator 2(d)

above). Though this

may become opinion

evidence rather than

documentary evidence,

providers will probably

be in a better position

to answer this question.

The questionnaire for

providers should thus be

amended to reflect this

indicator.

h) Complaints system h) Complaints system struc- These statistics provided

structure and se- ture and sequence by the survey are mis-

quence. (i) Percentage of sup- 17.6% leading since there is

plier complaints/protests no figure for the total

Percentage of cases 78.3% resolved within the number of complaints

resolved within the terms established in legal actually made.

terms established in framework*

the legal framework. An additional question

based on theadditional ques- asked to providers dur-

Note: ‘terms established tion: Percentage of providers ing the survey was the

in the legal framework’ having submitted complaints percentage of providers

has been interpreted which received responses having submitted com-

as meaning ‘within the plaints which received

timeframe’ responses.
88 JURNAL PENGADAAN

Amended
OECD/DAC CPI Result 1 Result 2 Commentary
Indonesian CPI
1. The Public Procurement Legistive and Regulatory Framework
The second question
was to determine, out of

those, how many were

satisfactorily resolved

within the legal frame-

work. The response to

the first question was

22.6%. The percentage

of 21.3% is the response

to the second question.

As a result of this ad-

ditional question, we

can estimate (this is

an assumption) that

77.4%of complaints

received no response at

all. The satisfactory con-

clusion of 78.3% should

be applied only to the

22.6% of the responses

received. This percent-

age is 17.6%

This wouldbe a poor

result and the actual

percentage may well be

somewhere between

17.6% and 78.3%.


Complience and Performance Indicator November 2012/Vol. 2 - No. 2 89

Amended
OECD/DAC CPI Result 1 Result 2 Commentary
Indonesian CPI
1. The Public Procurement Legistive and Regulatory Framework
The problem again
is that the additional

question has conflated

two separate questions.

Following the pilot, the

questionnaire should

be amended to ask two

separate questions: (i)

how many complaints

were made and (ii)

of those, how many

received responses. Cur-

rently, whilst the con-

flated question might

be assumed to reach the

same result, that is not

certain.

(ii) Percentage of procure- 41.0% This was based on a

ment entities with series of additional ques-

systems to record the tions put to procuring

receipt, handling and entities. The results need

outcome of bid protests/ to be read in conjunction

complaints. with indicator 10.

This again shows rather

(a) Of those systems, how weak record keeping but

many had complete also demonstrates that,

records containing:
90 JURNAL PENGADAAN

Amended
OECD/DAC CPI Result 1 Result 2 Commentary
Indonesian CPI
1. The Public Procurement Legistive and Regulatory Framework
- complaints received 81.3% where records are kept,

- responses to complaints 75% they usually contain


- results 78.1% fairly complete informa-

tion. However, this

should also be read with

the results for question

(b) of these additional

questions.

(b) How many procurement 1.9% The figures here are very

files contained: different from those

- a record of receiving a 0.4% under (a) above. The

complaint probable reason is that

- evidence of the com- procuring entities keep

plaint (copy letter) two sets of files: one

for the procurement

procedure and one for

any complaints. This

may explain why very

few records of com-

plaints are found in the

main procurement files.

Even if this explains it,

however, t would be

preferable for there to

be at least a reference to

complaints in the main

procurement file and this

should be part
Complience and Performance Indicator November 2012/Vol. 2 - No. 2 91

Amended
OECD/DAC CPI Result 1 Result 2 Commentary
Indonesian CPI
1. The Public Procurement Legistive and Regulatory Framework
of any guidance issued

subsequent to this
survey.
2. Implementing Regulations and Documentation
c) Procedures for pre- c) Procedures for pre- 69% The additional question

qualification qualification (68.4%) asked by the survey

(i) Percentage of cases 56% teams indicates that

for which prequali- (59.3%) additional question: there is a very high

fication was used percentage or procurements incidence of prequalifica-

appropriately as using pre-qualification tion – much more than

prescribed in the (i) Percentage of pro- 56% would be expected if it

legal framework. curements for which (59.3%) were used in appropriate

prequalification was circumstances. It seems

(ii) Percentage of cases 52.7% used appropriately as that it is used almost

that used objective (55%) prescribed in the legal as matter of course as

pass/fail prequalifica- framework. the basis for qualifying

tion criteria as op- bidders. Comments have

posed to subjective (ii) Percentage of procure- 52.7% been made that there is a

qualitative ones. ments that used objec- (55%) tendency to invite 3 bid-

Note: As with Indicator tive pass/fail prequalifica- ders in almost all cases,

1(b), the statistics relat- tion criteria as opposed whatever the method

ing to open tendering to subjective qualitative adopted. This apparently

also cover consultancy criteria. excessive use of prequali-

services. The figures fication may provide an

which contain con- explanation.

sultancy services are

retained here in paren-

thesis. The emboldened

figures do not cover

consultancy
92 JURNAL PENGADAAN

Amended
OECD/DAC CPI Result 1 Result 2 Commentary
Indonesian CPI
2. Implementing Regulations and Documentation
It may be that the
number of bidders is

always whittled down to

a small.

Curiously, the statistics

relating to consultancy

services tend to conceal

the true picture. It seems

that the procedures are

compliant in 95.2%

of cases in respect of

consultancy services. In

the case of other pro-

curements, the average

prevails.

It is again curious that

pass/fail criteria are

used in more than 90%

of cases in respect of

consultancy services.

Additionally, it appears

from a further question

asked during the survey

that in 95% of cases,

the pass/fail criteria

adopted was capable of

objective assessment.
Complience and Performance Indicator November 2012/Vol. 2 - No. 2 93

Amended
OECD/DAC CPI Result 1 Result 2 Commentary
Indonesian CPI
3. Integration and mainstreaming of the public procurement system into the public
sector governance system
b) Budget law and b) Budget law and financial Note: the statistics here

financial procedures procedures support are based on the dates

support timely pro- timely procurement, set out in the contract.

curement, contract contract execution, and However, this does not

execution, and payment take into account any

payment legitimate delays in

(i) Percentage of occasions 73.8% contract commencement

(i) Percentage of late 73.8% contractual payment is (e.g. inclement weather)

payments (e.g. made later than the con- which could have a

exceeding the con- tractually specified date knock-on effect on such

tractually specified deadlines. Nonetheless,

payment schedule). (ii) Average number of days 1-2 days the questionnaire asked

contractual payment is in an additional question,

(ii) Average number of 1-2 days arrears namely the percentage

days in arrears. of delayed contracts

to which the answer is

Note: statistics were also 66.7% 66.7% 5.3%. This is sufficiently

collected on the basis of 33.3% 33.3% low to have only a mar-

percentages. Thus, pay- ginal effect on the late

ment delays of payment results.

One month or less

More than one month


94 JURNAL PENGADAAN

Amended
OECD/DAC CPI Result 1 Result 2 Commentary
Indonesian CPI
3. Integration and mainstreaming of the public procurement system into the public
sector governance system
Despite the apparent

range of late payments

indicated by looking at

the spread, the average

number of days for late

payment is no more than

1-2 days.

These percentages belie

the fact that the vast

majority of payments are

only 1-2 days late.

d) Systematic comple- 60.2% d) Systematic completion

tion reports are reports are prepared for

prepared for certi- certification of budget

fication of budget execution and for recon-

execution and for ciliation of delivery with

reconciliation of budget programming.

delivery with budget

programming (i) Percentage of complex* 60.2%

(i) Percentage of major contracts with comple-

contracts* with com- tion reports.

pletion reports.

* ‘complex’ was removed

* ‘major’ taken to from the questionnaire.

mean awarded by

open bidding
Complience and Performance Indicator November 2012/Vol. 2 - No. 2 95

Amended
OECD/DAC CPI Result 1 Result 2 Commentary
Indonesian CPI
3. Integration and mainstreaming of the public procurement system into the public
sector governance system
(ii) Average time after (ii) Average time after Same day: These figures are unex-

final contract liquida- contract completion 78.4% pected since one would

tion within which within which completion More than 1 expect more days in the

completion reports reports are finalized for: day: 21.6% case of works between

are finalized Goods 6-7 days contractors statement

Works 0 (same day) of completion and

Services 0-1 day employer’s acceptance

Consultancy services 4-5 days and no days in the case

of goods which would

normally be done upon

delivery (and inspection).

This suggests a need

for capacity building on

contract administration

issues.

5. Institutional development capacity

c) Strategy and train- c) Strategy and training Given the scale of Indo-

ing capacity to pro- capacity to provide nesia’s public sector, the

vide training, advice training, advice and as- numbers trained (at least

and assistance to sistance to develop the in terms of officers per

develop the capacity capacity entity – overall country

(i) Number of procure- Not (i) Evidence of strategy and figures are not available),

ment officers in the available training capacity to pro- whilst relative low, are

central government vide training, advice and probably no more than

that receives formal assistance to develop the can be expected. It is a

training in the year. capacity. huge task


96 JURNAL PENGADAAN

Amended
OECD/DAC CPI Result 1 Result 2 Commentary
Indonesian CPI
5. Institutional development capacity

(ii) Average waiting 2-3 (ii) Percentage of procure- 47.6% These data indicate the

time to get in a for- months ment personnel provided prevalence of fairly short

mal training event with programmed learn- term, compliance based

ing opportunities. training provided either

in-house or by other

(iii) Average duration of to- 2-4 Government institutions.

tal learning programmer Experience elsewhere has

per person per year shown that longer-term,

competence based train-

(iv) Percentage of entities 39.7% ing provided by profes-

with quality control sional and academic

standards and staff per- organizations generally

formance evaluation for have greater impact.

capacity development.

(v) Percentage of procure- 40%

ment personnel having

attended non-procure-

ment specific training

(vi) Whether training is 45.2%

focused on Compliance 16.7%

or Competence or Equal 38.1%

distribution

(vii) Percentage of training

that is

- provided in-house 42.9%

- by academic, 4.8%
Complience and Performance Indicator November 2012/Vol. 2 - No. 2 97

Amended
OECD/DAC CPI Result 1 Result 2 Commentary
Indonesian CPI
5. Institutional development capacity

viii) Number of procurement 2-3 per entity There is no general figure

officers that receive for- for this but comments of

mal training in the year. the survey teams and re-

ix) Average waiting time to 2-3 months sults under other indica-

get in a formal training tors (15.2.1.) suggest that

event. records are incomplete in

most cases.

This is a low figure which

needs to be addressed.

It is to be recalled, even

though, that there is legal

obligation to maintain

such systems.
6. Efficiency of procurement operations and practices
a) Adequacy of procure-

ment competence

among government

officials

(i) Percentage of staff 75.6%

involved in procurement

who hold procurement

certificates at Levels 2,

4 or 5
98 JURNAL PENGADAAN

Amended
OECD/DAC CPI Result 1 Result 2 Commentary
Indonesian CPI
6. Efficiency of procurement operations and practices

iii) Percentage of procure- 81.9%


ment staff who have

competency-based job

roles

(iv) Percentage of providers 36.6%

satisfied with the com-

petence of procurement

committee
NA as CPI b) Procurement train-

under ing and information

OECD/ programs

DAC

(i) Percentage of procure- 34.1%

ment personnel satisfied

with content and

availability of procure-

ment training, includ-

ing relevance to career

progression

(ii) Percentage of the total 32.4%

supply base that have

received assistance by

procurement entities on

how to be successful in

winning government

contracts.
Complience and Performance Indicator November 2012/Vol. 2 - No. 2 99

Amended
OECD/DAC CPI Result 1 Result 2 Commentary
Indonesian CPI
6. Efficiency of procurement operations and practices

(iii) Percentage of suppliers 71% Note: ‘briefing’ refers to


satisfied with content guidance materials, not

and availability of brief- ‘debriefing’ in the sense

ing/training of communication to

providers reasons for the

failure to win bids.

7. Functionality of the public procurement market


a) Effective mechanisms a) Effective mechanisms for Relatively few of the

for partnerships partnerships between entities surveyed engage

between the public the public and private in any meaningful way

and private sector sector with the private sector.

However, when it does

Percentage of favorable (i) Percentage of procure- 28.2% happen, providers ap-

opinion on effective- ment entities that have pear to be satisfied.

ness of mechanisms by an ongoing formal dia-

relevant organizations or logue process with their This should be a lesson

agenciest supply markets, learned and thought

should be given to

(ii) Percentage of supplier 27.5% encouraging greater use

population involved in of dialogue with the bid-

the dialogue process ding community.

(iii) Percentage of surveyed 87%

providers who consider

the supplier ...


100 JURNAL PENGADAAN

Amended
OECD/DAC CPI Result 1 Result 2 Commentary
Indonesian CPI
7. Functionality of the public procurement market

dialogue processes with


procurement entities is

worthwhile.

(iv) Percentage of providers 31.4%

having joined a debrief-

ing exercise

NA as CPI c) Systemic constraints Payment terms: These are relatively sig-

under inhibiting the private sec- 41.5% nificant problems being

OECD/ tor’s capacity to access Access to faced by bidders.

DAC the procurement market credit: 36.6% Consideration should

Other: 21.9% also be given to iden-

Percentage of surveyed tifying the problems

contract suppliers that connected to payment

consider opportunities to terms in case there is

access bid opportunities are a possibility of amend-

limited by factors such as ing standard contract

access to credit, government terms to remedy such

procurement procedures and problems.

payment terms

Improving access to

credit is less straightfor-

ward but thought should

be given to identifying

any provisions of the

legal rules which require

to seek loans...
Complience and Performance Indicator November 2012/Vol. 2 - No. 2 101

Amended
OECD/DAC CPI Result 1 Result 2 Commentary
Indonesian CPI
7. Functionality of the public procurement market

unnecessarily (e.g. for


securities and guaran-

tees).

It would be useful to

consider finding out

what the ‘other’ prob-

lems are.

8. Existence of contract administration and dispute resolution provisions


a) Procedures are a) Procedures are clearly These figures are rela-

clearly defined for defined for undertaking tively poor indicating, as

undertaking contract contract administration elsewhere, that contract

administration responsibilities administration is not yet

responsibilities a common practice in

(i) Existence of a contract 32.1% Indonesia.

Percentage of satisfac- 80% management manual

tory opinions on perfor- to guide relevant staff Most providers assume


mance of the system in their responsibilities that contract manage-

after a contract has been ment plan will be very

established effective.

(ii) Percentage of contracts 16.2%

for which procuring

entities have established

contract management

plans
102 JURNAL PENGADAAN

Amended
OECD/DAC CPI Result 1 Result 2 Commentary
Indonesian CPI
8. Existence of contract administration and dispute resolution provisions

(iii) Percentage of contracts No data These figures are rela-

awarded where there tively poor indicating, as

is evidence of compli- elsewhere, that contract

ance with operational administration is not yet

procedural manuals and/ a common practice in

or contract management Indonesia.

plans

Most providers assume

(iv) Percentage of contracts 42.3% that contract manage-

that have a nominated ment plan will be very

contract manager re- effective.

sponsible for monitoring

compliance with the

contract by suppliers & t

users.

(v) Percentage of providers 80%

that consider contract

management is effective

10. Efficiency of appeals mechanism


b) Capacity of the com- b) Capacity of the com- Note: it must be noted

plaint review system plaint review system and that records on com-

and enforcement of enforcement of decisions plaints exist in only 41%

decisions of the survey sample,

meaning that the

situation is unknown for

almost...
Complience and Performance Indicator November 2012/Vol. 2 - No. 2 103

Amended
OECD/DAC CPI Result 1 Result 2 Commentary
Indonesian CPI
10. Efficiency of appeals mechanism

i) Percentage of com- 78.3% i) Percentage of complaints 24.4% ...60% of cases (indica-

plaints processed processed within the tor 1(h) above). The fig-

within the time limits time limits posted or set ures here are, therefore,

posted or set out in out in the legal frame- limited to those 41% of

the legal framework. work. reported cases. Whilst

it may be that there are

ii) Percentage of 78.1% ii) Percentage of decisions 15.8% positive results which

decisions taken that taken that has been have not been recorded,

has been actually actually enforced. that is not an assump-

enforced. tion that can be made.

c) Fairness of the com- c) Fairness of the complaints Note: As above, there-

plaints system system sults on the perception

of providers also related

Percentage of favorable (i) Percentage of favorable 40% only to the recorded

opinions by the par- opinions (by the partici- cases.

ticipants in the system pants in the system) on

on the fairness of the the fairness of the bid

process protest system.

See column 4 for a more (ii) Percentage of complain- 33.3%

accurate breakdown. ants satisfied with the

results of the process


104 JURNAL PENGADAAN

4. Issues Arising
As indicated in the Section 3, the pilot survey gave rise to a series of valuable findings and
conclusions. These are summarized for ease of reference in this section.

The detailed commentary is contained in the matrix set out above. However, the main find-
ings, both in terms of improving the survey following this pilot and in terms of improving the
national procurement system are summarized as follows:
Relevant
Issues Arising
Indicator

1(c) There is clearly a need to enforce the minimum time periods provided for. There seems little doubt that

this provision of the rules is being breached extensively. One possibility would be to improve capacity

in this area, i.e. to emphasize this as part of ongoing training. Another option would be for NPPA to

issue instructions (made public) requiring compliance. By making the instruction public, bidders will

be aware of this requirement and would be in a better position to bring complaints where breaches of

the rules have a negative effect on their chances of success.

1(e), 7(b) No data is currently available on the number of bidders participating in each process. The OECD/DAC

indicator 7(b) needs to be reinstated.

1(e) It appears that better training is required for bidders which would permit them to prepare better bids

for the benefit of procuring entities. At the same time, better training for evaluation committees is also

required.

1(f ) To provide a more complete picture of the use of qualification criteria, the questionnaire destined for

providers should include questions relating to the use of non-quantifiable qualification criteria.

1(h) This is a record keeping issue. Ideally, a procurement file should contain all information relating to

each procurement process, including complaints and contract administration. If separate files are kept

(by different people or in different locations) there should at least be a cross-reference ion the file or a

copy of essential information.

2(c) There is a high incidence of prequalification being used as a consequence of ambiguity of Keppres 80

of 2003. Thought should be given to clarifying the direction on using this method, in the legal rules

where appropriate, but otherwise by way on instructions from NPPA. If the legal rules are not inad-

equate, then this would need to be remedied by way of improved capacity development and better

enforcement.
Complience and Performance Indicator November 2012/Vol. 2 - No. 2 105

3(b) To provide accurate data, the dates used for calculating late payments need to be amended to provide

a more accurate picture.

3(d) The results indicate some weakness in the completion (inspection) activities which may need to be
addressed through improved capacity building in respect of contract administration.
5, 6(c) There is currently no requirement collecting procurement information and data which would enable

contract administration to take place. Together with the poor record keeping identified in this survey,

it is clear procuring entities are handicapped by lack of information.

5(c), 6(a), The capacity building efforts that were surveyed are clearly seen to be inadequate. The emphasis ap-

6(b) pears to be on short-term, compliance based training provided by primarily by Government institu-

tions.

7(a) There seems to be insufficient communication between the public and private sectors and a need to

encourage further dialogue between the partners in the procurement equation.

7(c) Whilst many of the problems faced by bidders in doing business with the Government are outside the

scope of procurement regulation, the possibility should be considered that the procurement rules may

contribute to the difficulties (e.g. payment terms) and it may be useful to see what can be done about

easing problems of bidders.

8(a) The absence of any regulatory provisions indicates a strong need to address lack of guidance on

contract administration.

10(b), (c) Due to limited number of providers who submit complaints consequently the complaint mechanism

cannot be assessed clearly.

5 Preliminary Conclusions and relating to possible improvement in the sys-


Recommendations tem, these must necessarily be only prelimi-
The pilot survey provides NPPA with signifi- nary and indicative since they are based on
cant information both on the future conduct a pilot survey only. Whilst the findings can
of the survey itself and on the areas of ap- indicate the trends and tendencies, they can-
parent weakness which are in need of im- not provide a definitive view of the country
provement. In respect of the first series of situation. However, they certainly indicate the
conclusions, namely the conduct of a broad- areas on which NPPA needs to focus and,
er roll-out of the survey, the conclusions where they are the result of clearly identifi-
and recommendations can be fairly robust. able deficiencies, may be addressed even at
In respect of the broader recommendations this stage since the results are likely to be rep-
106 JURNAL PENGADAAN

licated elsewhere, e.g. lack of legal provisions In terms of the content:


relating to record keeping. • Review the questions in the question-
naires for consistency with the original
With this in mind, we make two series of rec- matrix
ommendations, the first related to the survey • Revise the matrix accordingly
design, the second to the broader system re- • Provide clearer instructions in respect of
sults. For current purposes, they are provided issues raised in 2.5 above
in bullet form. • Make consequential amendments to Man-
ual
5.1 Survey Design • Make changes to questions, including:
In terms of the organization of the surveys: o new question relating to reasons used
• Improve clarity of purpose of survey for for resorting to procedures other than
respondents to emphasize that this is not open bidding (1(b))
an audit o reintroduce question relating to num-
• Improve communications between survey ber of bidders per procedures (1(e)
teams and respondents and 7(b))
• Complete bureaucratic formalities in a o new question for providers on use of
timely fashion non-quantifiable qualification criteria
• Provide more time for surveys (1 weeks is (1(f))
not sufficient where documentation is not o refine questions relating to total num-
readily available) ber of complaints (1(h))
• Coordinate availability of survey team o change details of dates used for calcu-
and respondents more effectively lation of late payments (3(b))
• Identify the correct respondents
• Seek to identify a greater number of bid-
ders (losers as well as winners)
• Train the surveyors to understand the
background of OECD indicators
Complience and Performance Indicator November 2012/Vol. 2 - No. 2 107

Problem Area Possible Actions

Low level of open It may well be necessary to provide clearer guidance/instruction on contract splitting. This would
bidding need to be enforced.

Minimum time Instructions should be issued on the need to comply with the minimum periods and on the

periods need to provide however many days that are sufficient to enable bidders to prepare bids.

The minimum periods must be enforced.

Improve training components relating to bid preparation requirements.

Record Keeping Consider amending the legal framework to require adequate record keeping commensurate

with contract administration needs.

Provide guidance on how best to maintain records and, where possible, provide tools to facili-

tate this.

In addition, develop and provide software for the electronic recording of project specific pro-

curement data.

Private sector Encourage further dialogue between procuring entities and the private sector.

dialogue Ideally, seek to create national and regional fora between contractor and supplier organizations

and the procuring entities which should be based on regular meetings/workshops.

Consider amending current approach to capacity building. Look towards longer-term solutions

using professional and academic institutions to provide long term, competence based training.

Even without improving the overall approach, consider introducing/improving training compo-

nents related to:

• contract administration, including inspection and completion

• duties of evaluation committees and the criteria to be applied

• bid preparation for the providers

Complaints Consider introducing improved complaints mechanism


108 JURNAL PENGADAAN

6. The National Pilot Survey Team


NPPA

1. Sarah Sadiqa, Director of the Business Climate 9. Ebrinda Daisy G, Staff of Dir. Business Cli-
and International Cooperation mate and International Cooperation
2. TB. AchmadChoesni, Director of Procure- 10. Widya Prima Sari F, Staff of Dir. Business
ment Planning of State Budtget Climate and International Cooperation
3. R. AdhaPamekas, Division Head of Public 11. Natasha Saskia, Staff of Dir. Business Cli-
Relations mate and International Cooperation
4. Tjipto P. Nugroho, Head of Sub-Directorate 12. M. DwiSumanto, Staff of Dir. Business Cli-
of Institutions, Enterprises & KPS mate and International Cooperation
5. M. Iskandarsyah, Head of Sub-Directorate of 13. Ihsan Sidik, Staff of Directorate of Settlement
Expert Witness of Complaints
6. Hermawan, a.i. Head of sub-Directorate Busi- 14. Sri AdityaNur Primary, Staff of Dir. Pro-
ness Climate curement Planning State Budget
7. Fanni Sufiandi, Section Head of Multilateral
Cooperation
8. Samudera Gunadarma, Section Head Com-
plaints, Java and Bali area

Ministries, Provinces And Districts


/Cities

15. Mardi Parnowiyoto, Ministry of Public tional Education and Culture


Works 21. Sugiarto, ST, Ministry of Health
16. NurdienAji, ST, Ministry of Public Works 22. Djarot Darsono WH, M. Epid, Ministry of
17. RochadiMasyhadi, Ministry of Public Works Health
18. Khalid Mustafa, Ministry of National Edu- 23. Hendra Gunawan, S. IP, MM, West Java
cation and Culture Province
19. Firmansyah, ST, Ministry of National Edu- 24. Rispiaga, ST, West Java Province
cation and Culture 25. DidingDjunaedi, ST., MM, West Java Prov-
20. Ben AnomHaryoSuseto, Ministry of Na- ince
Complience and Performance Indicator November 2012/Vol. 2 - No. 2 109

26. DR. Drs. Ron Jacob L, M. Si, Southeast 32. Tarso, Balikpapan City
Sulawesi Province 33. Ferry A. Woy, ST, Manado City
27. Ir. H. Samaruddin, Southeast Sulawesi Prov- 34. Drs. Boyke Robot, Manado City
ince 35. Kurniawan, S. IP, East Belitung District
28. Suprin, S. Sos, Southeast Sulawesi Province 36. Agusseno, West Sumbawa District
29. Nday Ibrahim, SE, East Nusa Tenggara 37. Hj. SitiMaesarah, SIP, West Sumbawa Dis-
Province trict
30. Stanislaus K. Jawan, S. Sos., M. AP, East 38. Laksana Jaya, SE, West Sumbawa District
Nusa Tenggara Province
31. EkaLaydayani C, S.Si., Apt, Balikpapan
City

Technical Experts / Consultants

39. FransVos, AusAID – ISP3 45. Farid MN, ADB


40. Peter Trepte, AusAID – ISP3 46. EllminYuliasri, A4DES
41. NurBaharuddin, AusAID – ISP3 47. RahmiKasri , ADB
42. NenengWidiastuti, AusAID – ISP3 48. Barmen Simatupang, ADB
43. Sorta S. Nainggolan, AusAID – ISP3
44. Maria Tri Wahyuari, A4DES
PARA PENULIS
110 JURNAL PENGADAAN

Tentang Penulis

Dadan Umar Daihani. Setelah lulus dari jurusan Teknik Industri ITB tahun
1979, langsung mengabdikan dirinya di almamater tercinta selama dua tahun se-
bagai pengajar Pendidikan Ahli Teknik Jurusan Penggunaan Komputer dan juga
merangkap sebagai staf di Pusat Komputer ITB. Pada tahun 1981 Dadan hijrah ke
Universitas Trisakti dan menjadi dosen tetap hingga saat ini.

Pada tahun 1989 Dadan mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Perancis untuk
melanjutkan studi master dan doktoral di bidang teknik produksi otomatis yang
diselesaikannya pada tahun 1994.

Sepulang dari Perancis, Dadan mendapat kepercayaan untuk menjadi direktur


Lembaga Penelitian Universitas Trisakti dan kini menjabat sebagai Ketua Program
Magister Teknik Industri serta Program MBA dan DBA Trisakti International
Business School dan Program Dual Degree Trisakti International Business School
bekerjasama dengan Rotterdam Business Scholl pada bidang Logistik.

Jabatan sebagai Guru Besar untuk kajian Sistem Produksi diperolehnya pada ta-
hun 2000. Jabatan ini menjadi pembuka pintu untuk terus berkarya baik pada
bidang industri maupun bidang lainnya khususnya yang berkaitan dengan strategi
kebijakan publik. Langkah ini membawa dirinya untuk mengikuti Program Pen-
didikan Singkat Angkatan XVI Lemhannas RI pada tahun 2009 dan pada tahun
2010 bergabung di Lemhannas menjadi Tenaga Profesional dan anggota Tenaga
Ahli pada Laboratorium Ketahanan Nasional.
Para Penulis November 2012/Vol. 2 - No. 2 111

M. Trisno Hadisaputra. Lahir di Cirebon, 29 Juni 1975. Sejak tahun 2006 Trisno
menjabat sebagai Staf Bidang Pembinaan Pembedaharaan, di Kantor Wilayah X
Direktorat Jenderal Pembedaharaan Serang, Provinsi Banten.

Bermula di tahun 2008, Trisno senantiasa mengembangkan dirinya dengan mengi-


kuti beragam program sertifikasi tentunya dalam bidang pengadaan, pada tahun
tersebut Trisno mengikuti Program Trainer of Trainer (ToT) PPAKP di Sekretar-
iat Jenderal Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Sementara di tahun 2011
Trisno mengikuti dua pelatihan yakni ToT Pengadaan Barang/jasa Tingkat Dasar
LKPP dan ToT Penyuluhan Pembedaharaan, BPPK Kementerian Keuangan Re-
publik Indonesia. Kegigihannya untuk terus mengembangkan diri akhirnya men-
gantarkan Trisno sebagai salah seorang Ahli Pengadaan dan tercatat sebagai ang-
gota Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia (IAPI).

Menempuh pendidikan dasarnya di Cirebon, hingga akhirnya di tahun 1994 Tris-


no hijrah ke Jakarta dan berhasil menamatkan pendidikan Diploma III Bidang
Pembedaharaan Negara dari STAN-PRODIP Departemen Keuangan RI tiga ta-
hun kemudian, tak berhenti disitu Trisno kemudian pada tahun 2004 di sela-sela
kesibukannya di Unit Kerja KPPN Majene Kanwil XXIII Ditjen Pembedaharaan
berhasil menyelesaikan pendidikan dari STIE YAPMAN Majene Sulawesi Selatan.
Dan di tahun 2008 berhasil menyelesaikan studinya dari STIE IPWIJA Jakarta.
112 JURNAL PENGADAAN

Erlangga S. Atmadja. Lahir di Jakarta, 8 Agustus 1980. Sejak Mei 2011 hingga
sekarang Erlangga bekerja untuk Asian Development Bank (ADB) sebagai Co-
Team Leader ADB Technical Assistance (TA) 7653-INO, dimana tugas utamanya ada-
lah untuk memperkuat proses pengadaan publik, di antaranya dengan menyeleng-
garakan program bantuan teknis yang bertujuan untuk mengembangkan kapasitas
insititusi LKPP, agar LKPP dapat menjalankan dan mengatur proses Pengadaan
Barang/jasa yang kredibel.

Pada tahun 2001 Erlangga memperoleh gelar Sarjana Bisnis Internasional dari
Murdoch University, Australia, Erlangga langsung melanjutkan pendidikan Pasca
Sarjananya di universitas yang sama, kali ini untuk bidang Electronic Commerce dan
lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2010, Erlangga kembali menyandang gelar
Master of Diplomacy and Trade dari Monash University, Melbourne, Australia.
Para Penulis November 2012/Vol. 2 - No. 2 113

Nanang Priyatna. Lahir di Jakarta, 3 Pebruari 1966, sejak 2009 menjabat sebagai
Kepala Bagian Keuangan LKPP setelah sebelumnya bertanggung jawab sebagai
Kepala Layanan Audit BRR NAD-Nias. Ia menyelesaikan studi bidang akuntansi
dari STIE INABA Bandung pada tahun 1998. Nanang juga pernah tercatat sebagai
Fungsional di Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kurun waktu 2004 - t2005.

Nanang juga mengantongi sertifikasi Certified Fraud Examiners yang dikeluarkan


oleh Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) pada tahun 2002.
114 JURNAL PENGADAAN

Mustofa Kamal, dilahirkan di Pekalongan 1 Juni 1972. Saat ini Mustofa mengem-
ban amanah sebagai Widyaiswara Muda di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Peng-
awasan (Pusditlatwas) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
Kabupaten Bogor.

Setelah manamatkan studi D III di STAN Jakarta di tahun 1994, Mustofa melan-
jutkan studi Strata-1 di STIE Mahardhika Surabaya, dan berhasil menyelesaikan
masa studinya di bidang akuntansi pada tahun 2001. Sementara untuk pendidikan
non formal, Mustofa terus mengembangkan dirinya dengan mengikuti berbagai
pelatihan seputar pengadaan dan pengawasan. Terakhir di tahun 2012 Mustofa
mengikuti dua pelatihan yakni Diklat Asesor Kompetensi Widyaiswara, yang
dise-lenggarakan oleh Ikatan Widyasiwara Indonesia (IWI), dan Diklat Sertifikasi
Peng- adaan Barang/jasa internasional yang diselenggrakan oleh LKPP. Sementara
Program Sertifikasi Pengadaan Barang/jasa Pemerintah yang diselenggrakan oleh
Pusdiklatwas BPKP telah ia peroleh pada tahun 2009.
PANDUAN UNTUK PENULIS
Panduan Untuk Penulis November 2012/Vol. 2 - No. 2 115

Petunjuk Untuk Penulisan Jurnal

1. Penulisan naskah. sudah termasuk catatan kaki; tetapi belum


Naskah yang dikirim ke Jurnal Pengadaan terhitung didalamnya jika ada gambar, ilus-
belum pernah diterbitkan atau tidak sedang trasi, bagan dan tabel. Panjang Esai maksimal
dalam proses pengajuan untuk diterbitkan di 12.000 karakter dengan spasi (tidak perlu
media lain. Naskah berisi tulisan ilmiah popu- di sertai catatan kaki). Tinjauan Buku tediri
ler bisa berasal dari ringkasan hasil penelitian, dari dua versi; tinjauan pendek sekitar 12.000-
survei, hipotesis, atau gagasan orisinal yang 14.000 karakter dengan spasi dan tinjauan
kritis, mencerahkan dan membuka wawasan. panjang sekitar 24.000.-29.000 karakter
dengan spasi.
2. Topik.
Isi naskah disesuaikan dengan rubrik Topik 4. Abstrak.
Utama yang ditetapkan redaksi dan bisa juga Setiap naskah harus disertai abstrak dalam
berisi topik bebas di luar Topik Utama. Tu- bahasa Indonesia. Panjang asbtrak maksimal
lisan dalam rubrik Esai berisi pendalaman 800 karakter dengan spasi dan hanya terdiri
dan pergulatan pemikiran. Rubrik Survei dari satu paragraf yang menggambarkan es-
berisi hasil penelitian tentang segala macam ensi isi tulisan secara gamblang, utuh dan
persoalan sosial ekonomi yang aktual. Rubrik lengkap.
Laporan Daerah berisi hasil pengamatan atau
penelitian tentang satu daerah tertentu di In- 5. Catatan kaki.
donesia. Rubrik Buku berisi tinjauan buku- Semua rujukan pada tubuh tulisan, baik sum-
buku baru atau lama yang masih relevan ber yang merujuk langsung maupun tidak
dengan kondisi sekarang. langsung, harus diletakkan dalam Catatan
Kaki dengan urutan nama lengkap penga-
3. Panjang. rang, judul lengkap sumber, tempat terbit,
Panjang tulisan untuk rubrik Topik Utama, penerbit, tahun terbit, dan nomor hala-
Survei dan Laporan Daerah, kecuali atas ke- man, kalau perlu. Rujukan dari internet
sepakatan dengan redaksi, maksimal 29.000 harap mencantumkan halaman http secara
karakter dengan spasi (sekitar 4.000 kata) dan lengkap serta tanggal pengaksesannya.
116 JURNAL PENGADAAN

Contoh-contoh
Buku dengan Satu Penulis Prakata, Kata Pengantar, atau
Weny Doniger, Splitting the Difference (Chicago: Pendahuluan dari Sebuah Buku
University of Chicago Press, 1999), hal 65. James Rieger,”Kata Pengantar” untuk Mary
Wollstonecraft Sheley, Frankenstein; or,
Buku dengan Dua atau Tiga Penulis The Modern Prometheus (Chicago: University
Guy Cowlishaw dan Robin Dunbar, Primate of Chicago Press, 1982) hal. XX-XXI
Conservation Biology (Chicago: University of
Chicago Press, 2000) Buku Elektronik
Phillip B Kurland dan Ralph Lerner (eds),
Buku dengan Empat Penulis atau Lebih The Founders’ Constitution (Chicago: Univer-
Edward O Laumann et.al., The Social Or- sity of Chicago Press, 1987), atau http://
ganization of Sexuality: Sexual Pratices in press-ubs. uchicago.edu/founders/ (di-
the United States (Chicago: University of akses tanggal 27 Juni 2006).
Chicago Press, 1994), hal. 225-262.
Artikel Jurnal, Majalah, atau
Buku Terjemahan atau Suntingan Surat Kabar Cetak
Srintil, The Iliad of Homer, diterjemahkan oleh John Maynard Smith,”The Origin of Altruism”,
Richmond Lattimore (Chicago: University dalam Nature 393 (1998), hal. 639
of Chicago Press, 1951) William S Niederkorn, A Scholar Recants on His
Yves Bonnefoy, New and Selected Poems, dis- ‘Shakespeare’ Discovery”, dalam New York
unting oleh John Naughton and Anthony Times, 20 Juni 2002 (Rubrik Seni Sastra).
Rudolf (Chicago: University of Chicago
Press, 1995) Tesis atau Disertasi
M Amundin,”Click Repetition Rate Patterns in
Bab atau Bagian dari Sebuah Buku Communicative Sounds from the Harbour Purpoise,
Andrew Wiese,”The House I Live In’:Race, Class, Phocoena phocoena” (Disertasi Phd, Stockholm
and African American Subruban Dreams in University,1991), hal. 22-29,35.
the Postwar United States,” dalam Kevin M
Kruse dan Thomas J Sugrue (eds), The Makalah
New Suburban History (Chicago: Univer- Brian Doyle,”Howling Like Dogs: Metaphori-
sity of Chicago Press, 2006), hal. 101-102. cal Languange in Psalm 59” (Makalah diajukan
Panduan Untuk Penulis November 2012/Vol. 2 - No. 2 117

pada pertemuan internasional the Society of Surat Elektronik


Biblical Literature, Berlin, Jerman, 19-22 Juni Surat elektronik Ibu Pengetahuan kepada Penu-
2002). lis, 31 Oktober 2005

Laman Item dalam Basis Data Maya


Evanston Public Library Board of Pliny the Elder, The Natural History, John Bos-
Trustees,”Evanston Public Library Strategic Plan, tock dan HT Riley (eds.), dalam the Perseus Digi-
2000-2010: A Decade of Outreach,” Evanston tal Library, http:// www.perseus.tufts.edu/
Public Library, dalam http://www.epl.org/ cgi-bin/ptext?lookup= Plin.+Nat.+1.dedica-
library/strategic-plan-00. html (diakses tang- tion (diakses tanggal 17 November 2005)
gal 1 Juni 2005)
Wawancara
Jurnal, Majalah atau Surat Kabar Maya Wawancara dengan Bapak Sukailmu, Jakarta,
Mark A Hlatky et.al.,”Quality- Of-Life and 1 Januari 2010.
Depressive Symptoms in Postmenapausal Women
after Receiving Hormone Therapy: Result from the 6. Tabel.
Heart and Estogen/ Progestin Replacement Study Tabel, gambar, bagan dan ilustrasi harus
(HERS) Trial”, dalam Journal of the Ameri- mencantumkan dengan jelas nomor tabel/
can Medical Association 287, No. 5 (2002), gambar/bagan/ilustrasi secara berurutan,
atau http://jama.ama-assn. org/issues/ judul serta sumber data. Keterangan ta-
v287n5/rfull/joc10108.html#aainfo (diakses bel/gambar/bagan/ilustrasi diletakkan
tanggal 7 Januari 2004). persis di bawah tabel/gambar/bagan/ilus
trasi bersangkutan.
Komentar Weblog
Komentar Peter Pearson tentang “The New 7. Biodata.
American Dilemma: Illegal Immigration,” The Penulis wajib menyertakan curriculum vitae
Becker-Posner Blog, diposting 6 Maret dan foto diri
2006,dalam http;//www.becker-posner-blog.
com/archives/2006/03/ t h e _ n ew _ amer 8. Pengiriman.
ica.html#c080052 (diakses tanggal 28 Maret Tulisan dikirim dalam dua bentuk, yaitu
2006) 1) file elektronik dan
2) naskah tercetak (2 kopi)
118 JURNAL PENGADAAN

ditujukan kepada : abstrak, tabel, gambar, bagan, ilustrasi)


a. File elektronik : kepada Jurnal Pengadaan, termasuk hak
humas@lkpp.go.id; menerbitkan ulang dalam semua bentuk
gigih.pribadi@lkpp.go.id media.

b. Naskah tercetak :
Pemimpin Redaksi
Jurnal Pengadaan, Kantor LKPP
SME Tower lt.8, Jl Gatot Subroto
Kav 94, Jakarta 12780 Indonesia

9. Nomor bukti.
Setiap penulis akan menerima nomor
bukti penerbitan

10. Hak cipta.


Dengan publikasi lewat Jurnal Pengadaan,
maka penulis menyerahkan hak cipta
(copyright) artikel secara utuh (termasuk
Indeks November 2012/Vol. 2 - No. 2 119

Indeks

a la mode 3 Belanja pegawai 22, 23, 29, 31


Agen pembangunan 18 Bendaharawan Umum 24
Negara (BUN)
Agregat 19
Bio fuel 5
Akuntabilitas 7, 34, 56
Block grant 26
Alutsista 32
BOS 20, 31
Anggaran Pendapatan dan i, ii, 7, 19, 20,
Breakwater 33
Belanja Negara (APBN) 21, 22, 23, 24,
Budaya organisasi 9
26, 27, 29, 31,
BUMN 7
32, 35, 36
Cirebon-Tegal 33
APBD i, 7
Classical Criminological 51
APBN 2012 ii, 21-24, 26,
Theory
31, 32, 35
Consumption 6
Audit Trail 57
Dana alokasi khusus 22, 24-26, 29,
Autonomous 19
30, 36
Background review 6
Dana Alokasi Umum 22, 24-26
Badan Anggaran DPR 50
Dana bagi hasil (DBH) 22, 24-26
Bantuan Sosial 22, 24, 27, 28
Dana otonomi Khusus 22, 24, 26, 29,
35, 36
30, 35
Belanja Bantuan Sosial 24, 28, 35,
Dana Otonomi khusus 26
Belanja barang 19, 22-24,
Aceh
27-29, 34-36
Dana perimbangan 22
Belanja hibah 23, 24, 27,
Daya dukung alam 3, 4
28, 35
Defisit 19, 21, 22
Belanja lain-lain 22-24
Defisit Anggaran 21
Belanja modal 23, 24, 27-29,
Desentralisasi fiskal 22, 26
30-33, 35, 36
Belanja Negara 21, 22, 23, 32,
120 JURNAL PENGADAAN

Development of Seulawah 25 GE lighting 13, 14


Agam Geothermal in GE Trading Process 14
NAD Province Network
General Electric (GE) 10, 13
Dewan Perwakilan Rakyat 19, 20,
Greeds 59
(DPR) 21, 50
Green policy 4
Disharmonis 4
Disposal 6
Green procurement 3, 42
Dokumen spesifikasi 13
Hibah 21-24, 27, 28,
produk (part drawing)
35, 36
Efektivitas 20, 21, 31, 56
Hutan alam 4
Efisiensi 3, 8, 10,
Illegal 11, 53
13-15, 20,
Income Statement 58
21, 31
Indeks Persepsi Korupsi 50
Ekosistem 4
(Corruption Perception
Employee Fraud 53-55
Index/CPI)
Energi air 5
Industri otomotif 5
Energi angin 5
Information gathering 6, 77
Energi primer 5
Infrastruktur 20, 24, 26, 31
Energi surya 5
32, 35, 36
ESDM 33
Infrastruktur air minum 26, 35
Exposures 59
Infrastruktur irigasi 26, 35
(Pengungkapan)
Infrastruktur jalan 26, 35
Feasible 13, 82
Infrastruktur Pedesaan 32
Finansial 52, 59
(PPIP)
Fluktuasi ekonomi 19
Infrastruktur sanitasi 26, 35
Fraud 50-60
International Union for 2
Fraud Triangle 52, 55
Conversion of Nature and
GDP 6
Natural Resources (IUCN)
Jeremy Bentham 51
Indeks November 2012/Vol. 2 - No. 2 121

Job Description 56
Lingkungan Pengendalian 55, 56
Kehutanan 26, 35
Lingkungan sosial 3, 4
Kelautan dan perikanan 26, 35
Listrik perdesaan 33
Keluarga berencana 26, 35
Maintenance 6
Kementerian Agama 34, 35
Management Fraud 53, 54, 58
Kementerian Negara/ 19, 24, 29, 31,
Marine Surveyor 33
Lembaga 34, 35,
Kementerian Pekerjaan 31, 32, 35, Mass Rapid Transit (MRT) 24
Umum Matra Darat 32, 33
Kementerian Pendidikan 31, 32-35 Matra Laut 33
dan Kebudayaan Matra Udara 33
Kementerian Pertahanan 31, 32, 34 Mengentaskan kemiskinan 24
Kementerian Tenaga 50 Minimum essential force 20, 31
Kerja dan Transmigrasi Mitigasi 10
(Kemenakertrans) Muhammad Nazarudin 50
Kementerian Kesehatan 34, 35 Multiplier effect 27
Kesehatan 11, 26, Needs 43, 45, 59, 72,
Keselamatan transportasi 26 73, 78, 80,
darat 81, 105
Kesempatan kerja 24 Non renewable resources 7
Kesetimbangan ekosistem 4 Non-shareable financial 52
Konservasi energi 5 problems (pressure)
Kontra-siklis 19 Nota keuangan 20
Konversi 56 OECD 6, 7, 71-73,
Korupsi i, ii, 49, 51-54, 82, 106
59, 60, 65, 113 Off grid 33
KPK 50 On grid 33
Kriminologi 50, 57 Opportunities 41, 59
Lembaran Negara 19 Opportunity 47, 52, 53,
Leverage factor 7 55, 60
Lingkungan hidup 26, 35 Outcome 20, 31
Output 20, 31-33
122 JURNAL PENGADAAN

Pasar Domestik 7 Procurement ii, iii, 1, 3, 6,


Pembangunan ii, 2, 3, 14,
berkelanjutan 11, 15 40-47, 71-76,
Pembayaran bunga utang 22, 23, 31 78-80, 83
Pembelian 6, 24 Program Keluarga 20, 31
Pemberdayaan Sosial 32 Harapan (PKH)
(P2KP/PNPM) Program Local Basic Edu- 25
Pembiayaan defisit 21 cation Capacity (L-BEC)
Pendapatan negara dan 22 Provinsi Papua 20, 26
penerimaan hibah Provinsi Papua Barat 20, 26
Pendidikan 11, 21, 24, 26, Rantai nilai (value chain) 15
31, 34, 35 Rantai pasok (supply 4, 9, 15
Pengelola keuangan 19 chain)
negara RAPBN 20
Perceived Opportunity 52 Raskin 20, 31
Perdagangan 26, 35 Rasionalisasi 51, 53, 59
Perlindungan Sosial 20, 31 Reboisasi 4
Permukiman 26, 35 Reformasi birokrasi iii, 21, 31, 63,
Pertahanan Integratif 33 65, 67
Pertanian 26, 35 Renewable 5, 7
Pertumbuhan ekonomi 20, 24, 29, Renewal 6
31, 36 RFQs (Request for Quates) 13
Perubahan iklim 4, 10 Sarana dan prasarana 26, 35
Perumahan 25, 36 kawasan perbatasan
PLTS 26, 35 Sarana prasarana daerah 26, 35
PNPM 20, 24, 31, tertinggal
32, 36 SDA i, 2, 5, 6,
PNS 21, 31 7, 10, 15,
Pressure 52, 53, 54, 60 Sektor publik 2, 6-8, 10,
Pressure/Tekanan 53, 54 12, 15
keuangan Siklus bisnis 19
Simeuleu Physical Infra- 25
structure Project-Phase
Indeks November 2012/Vol. 2 - No. 2 123

Sektor publik 2, 6-8, 10, Uni Eropa 6


12, 15 Unit Kapal Patroli KPLP 33
Siklus bisnis 19 United Nations 2
Simeuleu Physical Infra- 25 Environment (UNEP)
structure Project-Phase Unrenewable energy 5
Sistem Akuntansi 55-57 User 13
Sistem reward and 15 Vice 54
punishment Water Resources and 25
SME (Small and Medium 6 Irrigation System Man-
Enterprise) agement Project APL 2
Sosiologi 50 (WISMP-2)
Specific grant 26 World Conservation 2
Street Crime 51 Strategy
Subsidi 21, 22, 23, 31 World Summit on 10
Supplier 6, 13 Sustainable Development
Surplus 19 World Wide Fund for 2
Sustainable development 2, 3, 10 Nature (WWF)
Sustainable 3, 10, 46 Zero growth 22, 32
Procurement (SP) ii, 3, 6
Tender notification 6
The Committee of 55
Sponsoring Organisations
(COSO)
The Perception of 51
Detection
Theory of Differential 50
Association
Tidak etis 53
Titik picu 7
Transparansi 7
Transparency 50
International

Вам также может понравиться