Вы находитесь на странице: 1из 4

TUGAS HUKUM ADAT LANJUTAN

Nama: Haganta Tarigan


NIM: 1604551109
Kelas: B
No. Absen : 13

A. Sistem Perkawinan dalam Hukum Adat

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan
YME. Di dalam hukum perkawinan adat dikenal adanya beberapa sistem perkawinan yaitu.

1. Perkawinan monogami adalah perkawinan antara seorang pria dan seorang


wanita. Bentuk perkawinan ini paling ideal dan sesuai dengan ajaran agama
serta Undang-Undang perkawinan.

2. Perkawinan poligami adalah perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari
satu wanita ataupun perkawinan antara seorang wanita dengan lebih dari satu
pria. Berkaitan dengan poligami ini kita mengenal juga perkawinan poliandri
yaitu perkawinan antara seorang wanita dengan lebih dari satu pria.

3. Perkawinan eksogami adalah perkawinan antara pria dan wanita yang berlainan
suku dan ras.

4. Perkawinan endogamy adalah perkawinan antara pria dan wanita yang berasal
dari suku dan ras yang sama.

5. Perkawinan homogami adalah perkawinan antara pria dan wanita dari lapisan
sosial yang sama. Contohnya, pada zaman dulu anak bangsawan cenderung
kawin dengan anak orang bangsawan juga.

6. Perkawinan heterogami adalah perkawinan antara pria dan wanita dari lapisan
sosial yang berlainan.

7. Perkawinan cross cousin adalah perkawinan antara saudara sepupu, yakni anak
saudara laki-laki ibu (anak paman) atau anak dari saudara perempuan ayah.
8. Perkawinan parallel cousin adalah perkawinan antara anak-anak dari ayah
mereka bersaudara atau ibu mereka bersaudara.

9. Perkawinan Eleutherogami adalah seseorang bebas untuk memilih jodohnya


dalam perkawinan, baik itu dari klen sendiri maupun dari klen lainnya.

B. Akibat – akibat perceraian


Putusnya perkawinan sendiri dapat terjadi akibat dari beberapa hal, yaitu kematian,
perceraian dan atas keputusan pengadilan. Menurut Pasal 37 Undang-undang No. 1 Tahun
1974 perkawinan yang putus karena perceraian, maka harta bersama yang diperoleh selama
perkawinan diatur menurut hukumnya masing-masing, dan baik ibu atau bapak tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya yang semata-mata berdasar
kepentingan anak.

I. Akibat perceraian bagi anak-anak dan kekerabatan

a. Di lingkungan masyarakat patrilineal


Dimasyarakat patrilineal yang melakukan bentuk perkawinan jujur, apabila putus perkawinan
karena kematian atau perceraian maka anak-anak tetap berada dalam kekerabatan suami.
Yang bertanggung jawab atas pemeliharaan dan pendidikan anak dimana saja meraka berada
adalah ayah kandungnya atau semua keturunan lelaki (kerabat) ayah kandungnya, walaupun
dalam kenyataannya ibu dan kerabat ibunya yang memelihara dan mendidiknya.

b.Dilingkungan masyarakat matrilineal


Dalam masyarakat kekerapatan matrilineal apabila terjadi perceraian, maka anak-anak
berkedudukan dalam kekerabatan istri. Seorang anak bisa ikut bersama ayahnya, jika
perkawinan ayah dan ibunya semula adalah berbentuk “semenda”. Tetapi pada dasarnya si
anak tetap berkedudukan di pihak ibu dan kerabat ibunya bukan di pihak ayahnya.

Jikalau perkawinan yang putus itu semenda nunggu, dimana suami istri semula berkedudukan
ditempat kerabat istri hanya untuk waktu sementara menunggu guna membantu kehidupan
orang tua istri, maka kedudukan si anak di pihak suami.

c. Di lingkungan masyarakat bilateral


Jika perceraian tersebut timbul akibat perceraian dalam masyarakat bilateral biasanya
kedudukan si anak tergantung pada keadaan. Biasanya anak yang sudah besar mengikuti
ayahnya dan yang masih kecil mengikuti sang ibu

II. Akibat Perceraian bagi harta perkawinan

a. Dilingkungan masyarakat patrilineal


Bila terjadi perceraian, istri boleh meninggalkan rumah tangga suami tanpa sesuatu hak untuk
mendapatkan pembagian harta perkawinan, kecuali yang merupakan hak milik pribadinya.

Keadaan demikian akan lain sifaatnya jika terjadi perceraian dari bentuk perkawinan “ambil
anak” oleh suatu keluarga yang tidak punya anak laki-laki. Suami setelah perkawinan tinggal
ditempat sang istri, maka jika terjadi perceraian suami akan dikeluarkan begitu saja dari pihak
kerabat istri tanpa suatu hak atas harta perkawinan.

b. Dilingkungan masyarakat matrilineal


Jika putusnya perkawinan karena perceraian, maka yang berhak atas harta perkawinan adalah
istri atau kerabat istri. Namun jika kedua suami isri dalam usaha mereka bermata pencaharian
berimbang maka harta tersebut dibagi bersama.

c. Dilingkungan masyarakat bilateral/parental


Jika terjadi perceraian, maka akibat bagi harta perkawinan adalah sebagai berikut:
Harta bawaan suami atau istri kembali kepada pihak yang membawanya kedalam perkawinan.
Harta penghasilan sendiri suami atau istri kembali kepada yang menghasilkannya.
Harta pencaharian dan barang hadiah ketika upacara perkawinan dibagi antara suami dan istri
menurut rasa keadilan masyarakat setempat.

III. Akibat Perceraian dalam UU Perkawinan dan KUH Perdata


Konsekuensi atau akibat hukum perceraian terhadap harta bersama diatur dalam Pasal 37 UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) yang menyatakan “Bila perkawinan putus
karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.” Lebih jauh
daam Penjelasan Pasal 37 UU Perkawinan disebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan
"hukumnya" masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.”

H. Hilman Hadikusuma menjelaskan dalam buku “Hukum Perkawinan Indonesia Menurut:


Perundangan Hukum Adat Hukum Agama” (hlm. 189), akibat hukum yang menyangkut harta
bersama berdasarkan Pasal 37 UU Perkawinan ini diserahkan kepada para pihak yang bercerai
tentang hukum mana dan hukum apa yang akan berlaku, dan jika tidak ada kesepakatan antara
mantan suami-istri, hakim dapat mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya.

Jadi, akibat suatu perceraian terhadap harta bersama bagi setiap orang dapat berbeda-beda,
tergantung dari hukum apa dan mana yang akan digunakan para pihak untuk mengatur harta
bersama.

Penjelasan lebih jauh mengenai frasa “hukumnya masing-masing” dalam Pasal 37 UU


Perkawinan ini kami tidak akan membahasnya satu-persatu, karena jumlahnya dan ragamnya
banyak sekali. Tapi sebagai contoh dapat kami jelaskan beberapa hal sebagai berikut:
a. Untuk yang beragama Islam, ada ketentuan mengenai pembagian harta bersama
dalam Kompilasi Hukum Islam (“KHI”). Pasal 97 KHImengatur “janda atau duda cerai hidup
masing-masing berhak seperdua dari harta bersamasepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan.”. Selengkapnya simak Warisan Dan Harta Gono Gini.

b. Lalu, dijelaskan Hilman (hlm. 193), bagi umat Katolik pada dasarnya tidak ada perceraian
dalam agama Katolik, karena agama Katolik menolak adanya perceraian. Namun dalam
praktiknya, pasangan Katolik tetap dapat bercerai secara perdata, walaupun secara Katolik
perceraian tersebut dianggap tidak sah. Lebih jauh simak artikel Perceraian Agama
Katolik dan Perceraian Agama Katolik (2). Dalam hal yang demikian, perceraian dan
pembagian harta bersama berpedoman pada ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (“KUHPer”).

Berdasarkan Pasal 126 KUHPer, harta bersama bubar demi hukum salah satunya
karena perceraian. Lalu, setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama mereka dibagi dua
antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dan pihak
mana asal barang-barang itu (Lihat Pasal 128 KUHPer).

Jadi, berdasarkan Pasal 37 UUP joPasal 126 dan 128 KUHPer, perceraian mengakibatkan
bubarnya harta bersama sehingga harta bersama tersebut harus dibagi diantara pasangan suami-
istri. Lebih lanjut mengenai pembagian harta bersama simak artikel Pembagian
Harta dan Pembagian Harta Gono Gini.

Вам также может понравиться