Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan
YME. Di dalam hukum perkawinan adat dikenal adanya beberapa sistem perkawinan yaitu.
2. Perkawinan poligami adalah perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari
satu wanita ataupun perkawinan antara seorang wanita dengan lebih dari satu
pria. Berkaitan dengan poligami ini kita mengenal juga perkawinan poliandri
yaitu perkawinan antara seorang wanita dengan lebih dari satu pria.
3. Perkawinan eksogami adalah perkawinan antara pria dan wanita yang berlainan
suku dan ras.
4. Perkawinan endogamy adalah perkawinan antara pria dan wanita yang berasal
dari suku dan ras yang sama.
5. Perkawinan homogami adalah perkawinan antara pria dan wanita dari lapisan
sosial yang sama. Contohnya, pada zaman dulu anak bangsawan cenderung
kawin dengan anak orang bangsawan juga.
6. Perkawinan heterogami adalah perkawinan antara pria dan wanita dari lapisan
sosial yang berlainan.
7. Perkawinan cross cousin adalah perkawinan antara saudara sepupu, yakni anak
saudara laki-laki ibu (anak paman) atau anak dari saudara perempuan ayah.
8. Perkawinan parallel cousin adalah perkawinan antara anak-anak dari ayah
mereka bersaudara atau ibu mereka bersaudara.
Jikalau perkawinan yang putus itu semenda nunggu, dimana suami istri semula berkedudukan
ditempat kerabat istri hanya untuk waktu sementara menunggu guna membantu kehidupan
orang tua istri, maka kedudukan si anak di pihak suami.
Keadaan demikian akan lain sifaatnya jika terjadi perceraian dari bentuk perkawinan “ambil
anak” oleh suatu keluarga yang tidak punya anak laki-laki. Suami setelah perkawinan tinggal
ditempat sang istri, maka jika terjadi perceraian suami akan dikeluarkan begitu saja dari pihak
kerabat istri tanpa suatu hak atas harta perkawinan.
Jadi, akibat suatu perceraian terhadap harta bersama bagi setiap orang dapat berbeda-beda,
tergantung dari hukum apa dan mana yang akan digunakan para pihak untuk mengatur harta
bersama.
b. Lalu, dijelaskan Hilman (hlm. 193), bagi umat Katolik pada dasarnya tidak ada perceraian
dalam agama Katolik, karena agama Katolik menolak adanya perceraian. Namun dalam
praktiknya, pasangan Katolik tetap dapat bercerai secara perdata, walaupun secara Katolik
perceraian tersebut dianggap tidak sah. Lebih jauh simak artikel Perceraian Agama
Katolik dan Perceraian Agama Katolik (2). Dalam hal yang demikian, perceraian dan
pembagian harta bersama berpedoman pada ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (“KUHPer”).
Berdasarkan Pasal 126 KUHPer, harta bersama bubar demi hukum salah satunya
karena perceraian. Lalu, setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama mereka dibagi dua
antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dan pihak
mana asal barang-barang itu (Lihat Pasal 128 KUHPer).
Jadi, berdasarkan Pasal 37 UUP joPasal 126 dan 128 KUHPer, perceraian mengakibatkan
bubarnya harta bersama sehingga harta bersama tersebut harus dibagi diantara pasangan suami-
istri. Lebih lanjut mengenai pembagian harta bersama simak artikel Pembagian
Harta dan Pembagian Harta Gono Gini.