Вы находитесь на странице: 1из 19

SEMINAR KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN STEMI ANTERIOR PADA Tn.S DI UNIT


INSTALASI GAWAT DARURAT RS ISLAM GONDANGLEGI

Oleh :

KELOMPOK 20

1. Nike Wahyu Laraswati (17.30.041)

2. Afrudita Nurhidayati (17.30.003)

3. Aan Dwi Masruroh (17.30.001)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TAHUN AJARAN 2017/2018
LEMBAR PENGESAHAN SEMINAR

ASUHAN KEPERAWATAN STEMI ANTERIOR PADA Tn.S DI UNIT


INSTALASI GAWAT DARURAT RS ISLAM GONDANGLEGI
Tanggal,……………………………………

Oleh :
Mahasiswa Profesi Ners STIKes Kepanjen

Anggota :

1. Nike Wahyu Laraswati (17.30.041)

2. Afrudita Nurhidayati (17.30.003)

3. Aan Dwi Masruroh (17.30.001)

Malang,…………………………….

Mengetahui,

Pembimbing Institusi Pembimbing Lahan

(……….…………………) (……………..…….………)
PROPOSAL PELAKSANAAN KEGIATAN
SEMINAR

A. Latar Belakang Kegiatan


World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada tahun 2012
penyakit kardiovaskuler lebih banyak menyebabkan kematian dari pada
penyakit lainnya. Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu penyakit
kardiovaskuler terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit negara-negara
industri (Antman dan Braunwald, 2010). Infark miokard adalah kematian sel
miokard akibat iskemia yang berkepanjangan. Menurut WHO, infark miokard
diklasifikasikan berdasarkan dari gejala, kelainan gambaran EKG, dan enzim
jantung. Infark miokard dapat dibedakan menjadi infark miokard dengan
elevasi gelombang ST (STEMI) dan infark miokard tanpa elevasi gelombang
ST (NSTEMI) (Thygesen et al., 2012).
ST elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan salah satu
spektrum sindroma koroner akut (SKA) yang paling berat (Kumar dan Canon,
2009). Pada pasien STEMI, terjadi penurunan aliran darah koroner secara
mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vaskuler. Injuri vaskuler dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok,
hipertensi, dan akumulasi lipid (Alwi, 2014). Karakteristik gejala iskemia
miokard yang berhubungan dengan elevasi gelombang ST persisten yang
dilihat berdasarkan EKG dapat menentukan terjadinya STEMI. Saat ini,
kejadian STEMI sekitar 25-40% dari infark miokard, yang dirawat di rumah
sakit sekitar 5-6% dan mortalitas 1 tahunnya sekitar 7-18% (O’Gara et al.,
2013). Sekitar 865.000 penduduk Amerika menderita infark miokard akut per
tahun dan sepertiganya menderita STEMI (Yang et al., 2008).
Tanda dan gejala yang sering muncul pada pasien dengan STEMI antara
lain nyeri dada sentral seperti diremas, seperti terbakar, tertindih bendah
berat,seperti ditusuk-tusuk, tertekan berlangsung ≥ 20 menit, nyeri pada
bagian tengah dada dan epigastrium menyebar ke daerah lengan. gejala lain
seperti pucat, berkeringat, takikardi, mual, sesak baik saat beraktifitas
maupun beristirahat, dan lemas. STEMI terjadi karena adanya sumbatan oleh
plak atherosclerosis pada pembuluh darah,, plak tersebut mempersempit alirah
darah coroner, sehingga suplai darah ke jantung berkurang. Pada sebuah kasus
plak menutupi 50-70 % lumen, pasien akan mengalami nyeri dada terutama
pada saat kebutuhan oksigen pada miokard meningkat (olahraga atau
beraktifitas berat). (budiana,2012)
Ada beberapa permasalahan yang pernah terjadi kasus STEMI di IGD RSI
Gondanglegi sebanyak …%, kami ingin membahas mengenai apa itu STEMI,.
Dan asuhan keperawatan pada pasien dengan STEMI.

B. Nama Kegiatan
Seminar Kasus Tentang ST ElEVATION MYOCARDIAL INFARCTION
(STEMI)

C. Tema Kegiatan
“Asuhan Keperawatan ST ElEVATION MYOCARDIAL INFARCTION
(STEMI) Pada Tn.S Di UGD RS Islam Gondanglegi”

D. Tujuan Pelaksanaan Kegiatan


1. Untuk mengatahui apa itu STEMI penyebab, tanda gejala,

pemeriksaan hingga komplikasi yang timbul.

2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan kepada pasien yang mengalami

STEMI.

E. Petugas
1. Pemateri :
2. Moderator :
3. Notulen :
F. Bentuk Kegiatan
Adapun bentuk kegiatan yang akan dijalankan yaitu seminar dan
tanya jawab

G. Waktu dan Tempat


Hari, tanggal :
Waktu :
Tempat :

H. Peserta Kegiatan
1. Pembimbing Institusi :
2. Pembimbing Lahan :

I. Materi, Jurnal dan ASKEP Terlampir


J. Daftar Pustaka
Ackley BJ, Ladwig GB. 2011. Nursing Diagnosis Handbook an Evidence-
Based Guide to Planning Care. United Stated of America :
Elsevier.
Amin dan Hardhi “Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Medis dan
NANDA NIC-NOC”Jilid-1 : 2013
Firdaus I. 2012. Strategi Farmako-invasif pada STEMI Akut. J Kardiol
Indones; 33: 266-71.
Myrtha R. 2011. Perubahan Gambaran EKG pada Sindrom Koroner Akut
(SKA). CDK 188; 38 (7): 541-542.
Nurarif AH, Hardhi K. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosis Medis dan Nanda Nic Noc. Jilid 1. Yogyakarta:
Mediaction.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
LAMPIRAN
MATERI STEMI ANTERIOR

A. PENGERTIAN
ST elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan salah satu spektrum
sindroma koroner akut yang paling berat. Sindroma koroner akut (SKA)
merupakan satu subset akut dari penyakit jantung koroner (PJK) (Firdaus I,
2012). SKA merupakan spektrum klinis yang mencakup angina tidak stabil,
infark mikard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) dan infark miokard akut
dengan elevasi segmen ST (STEMI) (Myrtha R, 2011).
ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) adalah rusaknya bagian otot
jantung secara permanen akibat insufisiensi aliran darah koroner oleh proses
degeneratif maupun dipengaruhi oleh banyak faktor dengan ditandai keluhan
nyeri dada, peningkatan enzim jantung dan ST elevasi pada pemeriksaan
EKG. STEMI adalah cermin dari pembuluh darah koroner tertentu yang
tersumbat total sehingga aliran darahnya benar-benar terhenti, otot jantung yang
dipendarahi tidak dapat nutrisi-oksigen dan mati. Selain itu STEMI merupakan
Infark yang terjadi diseluruh dinding miokard, dari endocardium ke epicardium
dengan lokasi di anterior, inferior, maupun lateral. Karakteristiknya antara
lain terdapat elevasi gelombang ST dan Q pada ECG, adanya isoenzime
CK-MB 3-6 jam setelah onset dan terus meningkat hingga 12-24 jam
(Huswar, 2014).
ST Elevasi Miokard Infark (stemi) merupakan rusaknya bagian otot
jantung secara permanen akibat insufisiensi aliran darah koroner oleh
proses degeneratif maupun dipengaruhi oleh banyak faktor dengan tanda
nyeri dada, peningkatan enzim jantung dan ST elevasi pada pemeriksaan
EKG. Gambaran EKG pada Stemi menggambarkan tersumbatnya aliran
darah, otot jantung yang dipendarahi tidak dapat nutrisi-oksigen dan mati
/nekrosis (Smeltzer & Bare, 2002). Infark miokard dengan elevasi segmen
ST akut (stemi) merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah
arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk
mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara
medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intevensi
koroner perkutan primer (PERKI, 2014; dalam Ongko & Indrianti, 2014).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa stemi merupakan infark pada jantung
yang diakibatkan tersumbatnya arteri coronaria yang memperdarahi jantung
karena ateresklerosis. Infark ini ditandai dengan perubahan segmen ST pada
EKG, yaitu elevasi.

B. ETIOLOGI
Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner setelah terjadinya
ruptur ,penyumbatan total atau sebagian oleh emboli dan atau thrombus. Terdapat
faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya IMA, (Kumat, et al, 2007)
diantaranya;
a. Faktor yang dapat dirubah;
1) Hiperlipidemia
Peningkatan kolestrerol dan/atau trigliserida serum di atas batas
normal. Kadar kolesterol di atas 180 mg/dl beresiko penyakit arteri
koronaria, dan lebih cepat terjadi jika kadarnya melebihi 240 mg/dl.
2) Hipertensi
Hipertensi dapat beresiko IMA sekitar 60 %.
3) Merokok
Penggunaan rokok dalam jangka waktu yang lama meningkatkan
kematian karena IHD sekitar 200 %. Berhenti merokok dapat
menurunkan resiko secara substansial.
4) Diabetes melitus
Insiden infark miokard dua kali lebih tinggi pada seseorang
yang menderita diabetes dari pada tidak.
5) Stress psikologik.
Stress menyebabkan peningkatan katekolamin yang bersifat
aterogenik.
b. Faktor yang tidak dapat dirubah;
1) Usia
Akumulasi plak merupakan proses yang progressif, manifestasi
klinis tidak akan muncul sampai lesi mencapai ambang kritis,
dan mulai menimbulkan kerusakan organ pada usia menengah
maupun usia lanjut. Pada usia 40-60 tahun , insidens IMA meningkat
lima kali lipat.
2) Jenis kelamin
IMA jarang ditemukan pada wanita premenopause, kecuali jika
diabetes, hiperlipidemia, dan hipertensi berat. Setelah menopause
insiden plak meningkat lebih besar, karena pengaruh hormon
estrogen.
3) RAS
Amerika-Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis daripada
orang kulit putih.
4) Riwayat Keluarga
c. Berkurangnya suplai oksigen ke miokard, disebabkan tiga faktor;
1) Pembuluh darah
Berkaitan dnegan kepatenan pembuluh darah sebagai jalan darha
mencapai sel-sel jantung. Beberapa hal yang mempengaruhi
kepatenan pembuluh darah yaitu; athelerosclerosis, spasme, arteritis.
2) Spasme pembuluh darah
Dipengaruhi pengkonsumsian obat-obatan tertentu, stress
emosional atau nyeri, terpapar suhu dingin yang ekstrim, dan
merokok.
3) Sirkulasi
Berkaitan dengan faktor pemompaan dan volume darah yang
dipompakan, stenosis atau insufisiensi yang terjadi pada beberapa
bagian katup jantung menyebabkan suplasi oksigen tidak adekuat.
4) Darah
Jika daya angkut darah berkurang, maka suplai oksigen tetap tidak
cukup walaupun pembuluh darah dan pemompaan jantung bagus.
d. Meningkatnya kebutuhan oksigen
Pada orang yang mengidap penyakit jantung, mekanisme kompensasi
(meningkatnya denyut jantung untuk meningkatkan COP saat
meningk atnya kebutuhan oksigen) dapat memicu terjadinya infark, karena
kebutuhan oksigen meningkat sedangkan suplay oksigen tidak
bertambah. Hipertrofi miokard dapat memicu terjadinya infark, karen
apemompaan jantung tidak efektif.
C. PATOFISIOLOGIS
STEMI terjadi ketika aliran darah koroner menurun secara tiba-tiba
setelah oklusi trombotik dari arteri koroner yang sebelumnya mengalami
atherosclerosis. STEMI terjadi ketika thrombus pada arteri koroner
berkembang secara cepat pada tempat terjadinya kerusakan vaskuler. Faktor
penyebab kerusakan ini, seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.
STEMI terjadi ketika permukaan plak atherosclerotic mengalami ruptur dan
terbentuklah trombus, sehingga terjadi oklusi pada arteri koroner arteri koroner
sering kali mengalami thrombus yang terdiri dari agregat platelet, dan
benang-benang fibrin. Pada sebagian kecil kasusnya, penyebab lain dari STEMI
yaitu karena emboli arteri koroner, abnormalitas congenital, spasme coroner, dan
berbagai penyakit sistemik, terutama inflasmasi (Zainal, 2008)
D. MANIFESTASIKLINIS
TRIAS INFARK MIOKARD (Wagyu, 2010)
a. Nyeri dalam dan visceral seperti diremas, ditusuk, atau terbakar dan
terjadi pada saat istirahat, lebih berat dan berlangsung lebih lama.
Nyeri pada bagian tengah dada dan/atau epigastrium dan menyebar ke
daerah lengan. Nyeri disertai kelemahan, berkeringat, mual, muntah,
sesak nafas, pucat, dingin, dan ansietas. Pasien dengan diabetes melitus
tidak akan mengalami nyeri yang hebat.
b. Laboratorium
Pemeriksaan enzim jantung
1) Peningkatan troponin.
2) CPK-MB/CPK. Isoenzim ditemukan pada otot jantung meningkat
antara 4-6 jam, memuncak dalam 12-24 jam, kembali normal
dalam 36-48 jam.
3) LDH meningkat dalam 12-24 jam
4) AST/SGOT meningkat dalam 6-12 jam
c. EKG
Kelainan pada lead.
1) Lead II, III, aVF : infark inferior
2) Lead V1-V3 : infark anteroseptal
3) Lead V2-V4 : infark anterior
4) Lead I, aVL, V5-V6 : infark anterolateral
5) Lead I, aVL : infark high lateral
6) Lead I, aVL, V1-V6 : infark anterolateral luas
7) Lead II,III,aVF, V5-V6: infark inferolateral
Adanya Q valve patologis pada sadapan tertentu

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana
pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi terapi reperfusi.
Pemeriksaan petanda kerusakan jantung yang dianjurkan adalah creatinin kinase
(CK) MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I, yang dilakukan
secara serial. cTn digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang
disertai kerusakan otot skeletal karena pada keadaan ini juga akan diikuti
peningkatan CKMB (Sudoyo AW dkk, 2010).
Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien dengan elevasi ST dan
gejala IMA serta tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan
nilai enzim diatas dua kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis
jantung (Sudoyo AW dkk, 2010).
1. CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi
jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
2. cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam
bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T
masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin, creatinine kinase
(CK), Lactic dehydrogenase (LDH). Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard
adalah leukositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam
setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai
12.000-15.000/ul (Sudoyo AW dkk, 2010).
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan
nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu 10 menit sejak
kedatangan di IGD sebagai landasan dalam menentukan keputusan terapi
reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi
pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serian
dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu
harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST.
EKG sisi kanan harus diambil pada pasien dengan STEMI inferior, untuk
mendeteksi kemungkinan infark ventrikel kanan (Sudoyo AW dkk, 2010).

F. PENATALAKSANAN
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi
yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat
penunjang. Terdapat beberapa pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA
dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2009 dan ESC tahun 2008, tetapi
perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan
kemampuan ahli yang ada (Sudoyo AW dkk, 2010; Fauci et al, 2010).
1. Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi
oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan
oksigen selama 6 jam pertama.
2. Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan
dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit.
a. Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan
dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit
sampai dosis total 20 mg.
b. Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi cepat
siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan
A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis 160-325 mg di
ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan dosis 75-162 mg.
c. Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,
pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa
diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis,
dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan darah
sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari
10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir
dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam
selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam (Sudoyo AW
dkk, 2010).
LAMPIRAN

PEMBAHASAN KASUS CHF

Berdasarkan temuan kasus CHF di IGD RS Islam Gondanglegi, penulis


ingin menguraikan tentang upaya penatalaksanaan pola nafas tidak efektif pada
pasien congestive heart failure pada tanggal 30 April 2018, penulis akan
membahas tentang resume pengkajian, pemeriksaan ABCDE, analisa data,
diangnosa prioritas, intervensi, implementasi dan evaluasi.

Pasien bernama Ny.S berumur 85 tahun beragama islam. Anak pasien


mengatakan jika Selama 7 hari Ny.S sesak nafas, kemudia Ny.S dibelikan obat di
warung tetapi tidak kunjung sembuh. Kemudian pada hari ke 8 tepatnya tanggal
30 April 2018 pukul 09.30 WIB Ny.S dibawa ke IGD RS Islam Gondanglegi,
karena anak pasien mengeluhkan jika sejak pagi Ny.S sesaknya ngongsrong dan
Ny.S sempat tidak sadarkan diri di rumah. Setiba di IGD Ny.S mengalami
penurunan kesadaran 3,4,5 dan pasien langsung ditaruh di P2. Diperiksa vital sign
dan tekanan darah 161/121 mmHg, suhu 36,9 oC, nadi 83 x/m, dan respirasi 30
kali/menit, akral keringat dingin, SPO2 91 %. Saat di IGD keadaan pasien
menutup mulutnya rapat dan menggigit giginya, pasien gelisah dan pasien masih
menghindari rangsangan, dan kata-kata pasien tidak bisa dimengerti. Tidak ada
lesi, ada oedem di kaki, rambut beruban, konjungtiva anemis, terdapat pernapasan
cuping hidung, pernafasan dalam, saat diauskultasi terdapat bungi mengi atau
wheecing.

Kemudian pasien dilakukan tindakan meposiskan semifowler, memasang


infuse Ns 20 tpm, Nebulezer farbivent, injeksi furosemid 40mg, pemasangan
kateter, dan pemasangan NRBM 12Lpm untuk memenuhi kebutuhan oksigenasi
pasien.

A. Pengkajian
Keluhan yang biasanya muncul pada pasien dengan gagal jantung
kongesif adalah munculnya edema di bagian tubuh terutama kaki dan bagian
sakrum,dypsneu atau sesak nafas karna terganggunya pertukaran oksigen dan
karbondioksida dalam alveoli yang berisi cairan, ortopneu yaitu kesulitan
bernafas apabila berbaring telentang, batuk produktif dengan banyak sputum
berbuih, kelelahan disebabkan oleh otot-otot yang tidak menerima cukup
darah karna curah jantung yang kurang, anorexia (Baradero, Dayrit, dan
Siswadi, 2008). Pada Ny.S muncul masalah RR 30kali/menit, kelelahan dan
oedem di kedua kaki.
B. Diagnosa
Diagnosa yang muncul pada Ny.S adalah ketidakefektifan pola nafas b/d
hiperventilasi (Nanda, 2015-2017). Dengan data penunjang pasien menutup
mulut rapat dan menggigit giginya dan kesadaran Ny.S menurun saat tiba di
IGD RS islam Gondanglegi GCS 3,4,5 (, RR : 30 kali/menit, Suhu 36,9 oc,
tekanan darah 161/121 mmHg, SPO2 91%., dan keluarga juga mengatakan
sesak mulai tadi pagi memberat dan Ny.S sempat ridak sadarkan diri di
rumah.
C. Rencana Keperawatan
Dalam kasus ini penulis merencanakan tindakan berdasarkan buku Nanda
(2015-2017), dengan intervensi terapi oksigen NRBM yang tujuannya untuk
membantu memenuhi kebutuhan oksigen dakam tubuh (Nugroho, 2016),
memposisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi dengan posisi semi
fowler dan menggunakan nebulizer unuk melonggarkan pernafasan.
Pemantauan EKG untuk mengetahui ada tidaknya kelainan sistem kelistrikan
jantung. Auskultasi suara nafas, memonitoring respirasi dan status O2,
monitor TTV, dan berkolaborasi dengan dokter untuk terapi farmakologis.
D. Implementasi
Implementasi yang dilakukan kepada Ny.S pada pukul 09.35-09.42 WIB,
melakukan terapi oksigen, memposisikan pasien untuk memaksimalkan
ventilasi atur posisi semi fowler dan pemberian nebulizer untuk melonggarkan
pernafasan, mengauskultasi suara nafas tambahan, pemasangan infuse Ns 20
tpm, pemasangan NRBM 12 Lpm, pemeriksaan EKG, Pemasangan kateter,
dan injeksi furosemid 40 mg sesuai anjuran dokter untuk membuang cairan
berlebih dalam tubuh.
E. Evaluasi
Dalam kasus ini, tindakan untuk pemenuhan kebutuhan oksigen pada Ny.S
kurang mencapai tujuan. Keluarga Ny.S mengatakan kalau Ny.S gelisah dan
masih sesak, tekanan darah 158/120 mmHg, suhu 36,7 oC, RR 28 kali/menit,
SPO2 90%. Masalah belum teratasi pada pukul 09.48 WIB Ny.S dirawat
inapkan di Ruang Instalasi Care Unir RS Islam Gondanglegi, intervensi
dilanjutkan obsevasi TTV, observasi pola nafas dan monitoring adanya tanda-
tanda hipoventilasi.
LAMPIRAN

ANALISA JURNAL

1. Analisis Pengaruh Sudut Posisi Tidur Terhadap Kualitas Tidur dan


Tanda Vital Pada Pasien Gagal jantung Di Ruang Rawat RSUP
Dr.Hasan Sadikin Bandung
(Ritha dan Melani 2016, STIKes Jenderal A.Yani Cimahi)
Aktivitas intervensi keperawatan yang dilakukan untuk pasien gagal
jantung diantaranya menempatkan tempat tidur yang terapeutik, mendorong
pasien meliputi perubahan posisi, memonitor status oksigen sebelum dan
sesudah perubahan posisi, tempatkan dalam posisi terapeutik, posisikan
pasien dalam kondisi body alignment, posisikan untuk mengurangi dyspnea
seperti posisi semi-fowler, tinggikan 20˚ atau lebih di atas jantung untuk
memperbaiki aliran balik.
Salah satu faktor yang berhubungan dengan gangguan tidur pada pasien
dengan gagal jantung adalah ketidakmampuan untuk mengambil posisi
tidur yang disukai karena nocturnal dyspnea (Wilkinson ,2007). Tindakan
keperawatan yang tepat dapat mengatasi gangguan tidur jangka pendek
dan panjang. Tindakan perawat Nursing Diagnosis Handbook with
NIC Interventions and NOC Outcomes menjelaskan terapi keperawatan
positioning dengan posisi tidur semi-fowler untuk mengatasi gangguan
tidur pada pasien gagal jantung karena sesak napas.
Tujuan dari tindakan memberikan posisi tidur adalah untuk menurunkan
konsumsi oksigen dan meningkatkan ekspansi paru yang maksimal, serta
untuk mengatasi kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan
perubahan membran kapiler alveolus (Amin dan Hardhi, 2013). Memperoleh
kualitas tidur terbaik adalah penting untuk peningkatan kesehatan yang baik
dan pemulihan pasien yang sakit.
2. DEEP BREATHING EXERCISE dan ACTIVE RANGE OF MATION
EFEKTIF MENURUNKAN DYSPNEA PADA PASIEN CONGESTIVE
HEART FAILURE
(Novita, 2017Prodi Ners STIKes Jenderal Achmad Yani Yogyakarta)
Dsypnea merupakan manifestasi klinis congestive heart failure (CHF) akibat
kurangnya suplai oksigen karena penimbunan cairan di alveoli. Merupakan faktor
penting yang memengaruhi kualitas hidup pasien. Penimbunan tersebut membuat
jantung tidak mampu memompa darah dengan maksimal. Dampak perubahan terjadi
peningkatan sensasi dyspnea pada otot respiratori. Penatalaksanaan non farmakologi
berupa tindakan bertujuan menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat
memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung.
Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh deep breathing exercise dan active range
of motion terhadap dyspnea pada pasien CHF. Penelitian menggunakan desain quasi
experimental pre-post test dengan kelompok kontrol melibatkan 32 responden
dengan teknik stratified random sampling.
Alat ukur penelitian menggunakan modified Borg scale. Intervensi dengan
memberikan deep breathing exercise sebanyak 30 kali dilanjut dengan active range
of motion masingmasing gerakan 5 kali. Intervensi sebanyak 3 kali sehari selama 3
hari. Waktu penelitian bulan April-Juni 2017 di RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta dan RS PKU Muhammadiyah Gamping. Analisis data menggunakan
paired t-test menunjukkan p<0,001 pada kelompok intervensi dan p=0,001 pada
kelompok kontrol. Analisis dengan Mann Withney menunjukkan hasil intervensi
deep breathing exercise dan active range of motion lebih efektif daripada intervensi
standar rumah sakit atau semi fowler dalam menurunkan dyspnea (p=0,004,
alfa=0,05). Peneliti merekomendasikan penerapan deep breathing exercise dan
active range of motion sebagai bentuk pilihan intervensi dalam fase inpatient untuk
mengurangi dyspnea pada pasien CHF.

Вам также может понравиться