Вы находитесь на странице: 1из 14

Topik Utama_________________________________________________________ 33

KEMISKINAN & UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


Oleh : Puji Hadiyanti*)

ABSTRAK

Sedikitnya ada dua alasan mengapa masalah kemiskinan dan upaya


pemberdayaan masyarakat masih relevan dibahas. Pertama, kendati dalam dua
dasawarsa terakhir perkembangan pembangunan maju dengan amat pesat,
namun ternyata masih banyak terdapat masyarakat miskin baik di daerah
perkotaan maupun daerah pedesaan. Persoalan kemiskinan dan kesenjangan
masih menjadi masalah krusial terutama di daerah pedesaan. Persoalan ini
tidak dapat diabaikan karena dapat menjadi pemicu pelbagai konflik politik
atau gerakan-gerakan politik yang berkepanjangan. Karena itu persolan ini
harus dicarikan alternatif pemecahannya supaya tidak mengganggu stabilitas.
Kedua, usaha pemberdayaan serta penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan
menjadi fenomena yang semakin kompleks. Oleh karena itu dengan spektrum
kegiatan yang menyentuh pemenuhan berbagai macam kebutuhan sehingga
segenap anggota masyarakat dapat mandiri, percaya diri, tidak bergantung
dan dapat lepas dari belenggu struktural yang membuat hidup sengsara
merupakan sebuah keharusan.

Kata Kunci : Kemiskinan, Pemberdayaan

PENDAHULUAN

Kemiskinan merupakan gambaran kehidupan di banyak negara


berkembang, mencakup lebih dari satu milyar penduduk dunia, terutama
di daerah pedesaan (masyarakat petani). Kemiskinan merupakan
permasalahan yang diakibatkan oleh kondisi nasional suatu negara dan
situasi global. Globalisasi ekonomi dan bertambahnya ketergantungan
antar negara, tidak hanya merupakan tantangan dan kesempatan bagi
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan suatu negara, tetapi juga

*)
Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta, Magister Penyuluhan
Pembangunan Institut Pertanian Bogor
34 Volume 2, Nomor 1, Juni 2006

mengandung resiko dan ketidakpastian masa depan perekonomian


dunia.
Indonesia menghadapi masalah yang cukup besar di berbagai
bidang, baik bidang sosial ekonomi, kependudukan maupun lingkungan
hidup. Semuanya ini akibat dari berbagai kebijakan pemerintah yang
tidak berpihak pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Dampak dari
berbagai kebijakan tersebut adalah semakin banyaknya penduduk miskin
di Indonesia.
Masyarakat petani merupakan jumlah terbanyak dari kelompok
masyarakat miskin. Data statistik sosial ekonomi Indonesia tahun 2004
menunjukkan bahwa 25,9 juta penduduk Indonesia adalah penduduk
miskin. Penduduk miskin di kantong-kantong kemiskinan daerah
perkotaan sekitar 8,7 juta orang (Jawa 71,3% dan Sumatera15%), dan di
pedesaan sekitar 17,2 juta orang (Jawa 48% dan Sumatera 21,9%). Jika
indikator kemiskinan ini lebih diperluas, dalam arti tidak hanya dilihat
dari tingkat pendapatan, kemungkinan akan diperoleh angka yang jauh
lebih tinggi. Kondisi ini selain disebabkan oleh faktor penduduk desa yang
terpuruk kelembah kemiskinan akibat dampak ketidakmerataan
pendistribusian hasil-hasil pembangunan juga oleh sikap mental
penduduknya yang mengalami kemiskinan secara alamiah dan kultural,
ini ditunjukkan oleh situasi lingkaran ketidakberdayaan mereka yang
bersumber dari rendahnya tingkat pendidikan, pendapatan, kesehatan
dan gizi, produktivitas, penguasaan modal, ketrampilan dan teknologi
serta hambatan infrastruktur maupun etnis sosial lainnya. Hal ini
diperparah lagi dengan naiknya berbagai kebutuhan pokok akibat dari
naiknya harga bahan bakar minyak (BBM), belum lagi akan adanya
kenaikan taraf dasar listrik (TDL), kenaikan tarif dasar telepon dan
berbagai kenaikan lainnya.

KEMISKINAN DALAM PERSPEKTIF


Secara ekonomistik kemiskinan dikaitkan dengan masalah
pendapatan. Karena pengertian ini tidak mampu menjelaskan masalah
kemiskinan secara tuntas maka kemiskinan harus didefinisikan secara
plural. John Friendman mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi
tidak terpenuhinya kebutuhan dasar (esensial) individu sebagai manusia,
sementara Chambers menggambarkan kemiskinan, terutama di pedesaan
mempunyai lima karakteristik yang saling terkait: kemiskinan material,
kelemahan fisik, keterkucilan dan keterpencilan, kerentanan, dan
ketidakberdayaan. Lebih jauh dikatakan dari kelima karakteristik tersebut
yang perlu mendapat perhatian adalah kerentanan dan

Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam PUJI HADIYANTI


Topik Utama_________________________________________________________ 35

ketidakberdayaan. Kerentanan menurut Chambers dapat dilihat dari


ketidakmampuan keluarga miskin untuk menyediakan sesuatu guna
menghadapi situasi darurat seperti datangnya bencana alam, kegagalan
panen, atau penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga miskin itu
(Chambers, 1983:13). Kerentanan dapat juga dikatakan merupakan
kondisi dimana suatu keluarga miskin tidak memiliki kesiapan baik mental
maupun material dalam menghadapi situasi sulit yang dialaminya.
Kerentanan ini sering menimbulkan kondisi memprihatinkan yang
menyebabkan keluarga miskin harus menjual harta benda dan aset
produksinya sehingga mereka makin rentan dan tidak berdaya.
Sedangkan ketidakberdayaan keluarga miskin salah satunya tercermin
dalam kasus dimana elit desa dengan seenaknya memfungsikan diri
sebagai oknum yang menjaring bantuan yang sebenarnya diperuntukkan
untuk orang miskin. Ketidakberdayaan keluarga miskin di kesempatan
yang lain mungkin dimanifestasikan dalam hal seringnya keluarga miskin
ditipu dan ditekan oleh orang yang memiliki kekuasaan.
Ketidakberdayaan sering pula mengakibatkan terjadinya bias bantuan
untuk si miskin kepada kelas di atasnya yang seharusnya tidak berhak
memperoleh subsidi, seperti kasus dana Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Sedangkan menurut Schiller menjelaskan bahwa kemiskinan adalah
ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan-
pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan sosial yang
terbatas (Soetrisno, 2001:40), dan dengan nada yang sama Salim
mendefinisikan kemiskinan sebagai kurangnya pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan hidup yang pokok (Andre Bayo Ala, 1981:92).
Di mata sebagian ahli -terutama para ekonom- kemiskinan
acapkali didefinisikan semata sebagai fenomena ekonomi, dalam arti
rendahnya penghasilan atau tidak dimilikinya mata pencaharian yang
cukup untuk tempat bergantung hidup. Pendapat seperti ini untuk
sebagian mungkin benar, tetapi diakui atau tidak kurang mencerminkan
kondisi riil yang sebenarnya dihadapi keluarga miskin. Kemiskinan
sesungguhnya bukan semata-mata kurangnya pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan hidup pokok atau standar hidup yang layak, namun
lebih dari itu esensi kemiskinan adalah menyangkut kemungkinan orang
atau keluarga miskin untuk melangsungkan dan mengembangkan
kegiatan perekonomian dalam upaya meningkatkan taraf kehidupannya.
(Soetrisno, 2001:78) . Keluarga miskin pada umumnya selalu lemah dalam
kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi
sehingga seringkali makin tertinggal jauh dari masyarakat lain yang
memiliki potensi lebih tinggi. Mereka umumnya tidak banyak berdaya,
ruang geraknya terbatas, dan cenderung kesulitan untuk terserap dalam

KEMISKINAN DAN UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


36 Volume 2, Nomor 1, Juni 2006

sektor-sektor yang memungkinkan mereka dapat mengembangkan


usahanya. Hal ini dapat terwujud apabila mereka ditopang oleh jaringan
dan pranata sosial di lingkungannya.
Secara teoritis kemiskinan dapat dipahami melalui akar
penyebabnya yang dibedakan menjadi dua kategori :
1. Kemiskinan Natural atau alamiah
Yakni, kemiskinan yang timbul sebagai akibat terbatasnya jumlah
sumber daya dan/atau karena tingkat perkembangan teknologi yang
sangat rendah. Artinya faktor-faktor yang menyebabkan suatu
masyarakat menjadi miskin adalah secara alami memang ada, dan bukan
bahwa akan ada kelompok atau individu di dalam masyarakat tersebut
yang lebih miskin dari yang lain. Mungkin saja dalam keadaan
kemiskinan alamiah tersebut akan terdapat perbedaan-perbedaan
kekayaan, tetapi dampak perbedaan tersebut akan diperlunak atau
dieliminasi oleh adanya pranata-pranata tradisional, seperti pola
hubungan patron-client, jiwa gotong royong dan sejenisnya yang
fungsional untuk meredam kemungkinan timbulnya kecemburuan sosial.

2. Kemiskinan struktural
Yakni, kemiskinan yang terjadi karena struktur sosial yang ada
membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana
ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata. Dengan demikian sebagian
anggota masyarakat tetap miskin walaupun sebenarnya jumlah total
produksi yang dihasilkan oleh masyarakat tersebut bila dibagi rata dapat
membebaskan semua anggota masyarakat dari kemiskinan. Kemiskinan
struktural ini dapat diartikan sebagai suasana kemiskinan yang dialami
oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber,dan oleh
karena itu dapat dicari pada strukur sosial yang berlaku dalam masyarakat
itu sendiri. Oleh karena struktur sosial yang berlaku adalah sedemikan
rupa keadaannya sehingga mereka yang termasuk ke dalam golongan
miskin tampak tidak berdaya untuk mengubah nasibnya dan tidak
mampu memperbaiki hidupnya. Struktur sosial yang berlaku telah
mengurung mereka kedalam suasana kemiskinan secara turun temurun
selama bertahun-tahun. Sejalan dengan itu, mereka hanya mungkin
keluar dari penjara kemelaratan melalui suatu proses perubahan struktur
yang mendasar.
Kemiskinan struktural, biasanya terjadi di dalam suatu
masyarakat di mana terdapat perbedaan yang tajam antara mereka yang
hidup melarat dengan mereka yang hidup dalam kemewahan dan kaya
raya. Mereka itu, walaupun merupakan mayoritas terbesar dari

Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam PUJI HADIYANTI


Topik Utama_________________________________________________________ 37

masyarakat, dalam realita tidak mempunyai kekuatan apa-apa untuk


mampu memperbaiki nasib hidupnya. Sedangkan minoritas kecil
mayarakat yang kaya raya biasnya berhasil memonopoli dan mengontrol
berbagai kehidupan, terutama segi ekonomi dan politik. Selama golongan
kecil yang kaya raya itu masih menguasai berbagai kehidupan
masyarakat, selama itu pula diperkirakan struktur sosial yang berlaku
akan bertahan. Akibatnya terjadilah apa yang disebut dengan kemiskinan
struktural.
Golongan yang menderita kemiskinan struktural itu misalnya
terdiri dari para petani yang tidak memiliki tanah sendiri, atau para petani
yang tanah miliknya kecil sehingga hasilnya tidak mencukupi untuk
memberi makan kepada dirinya sendiri dan keluarganya. Termasuk
golongan miskin lain adalah kaum buruh yang tidak terpelajar dan
terlatih, atau apa yang dengan kata asing disebut unskilled labors. Golongan
miskin ini meliputi juga para pengusaha tanpa modal dan tanpa fasilitas
dari pemerintah - yang sekarang dapat dinamakan golongan ekonomi
sangat lemah.
Ciri utama dari kemiskinan struktural ialah tidak terjadinya -
kalaupun terjadi sifatnya lamban sekali - apa yang disebut sebagai
mobilitas sosial vertikal. Struktur sosisl yang berlaku telah melahirkan
berbagai corak rintangan yang menghalangi mereka untuk maju. Ciri
lain dari kemiskinan struktural adalah timbulnya ketergantungan yang
kuat antara pihak si miskin terhadap kelas sosial-ekonomi di atasnya.
Menurut Mas’oed adanya ketergantungan inilah yang selama ini
berperan besar dalam memerosotkan kemampuan si miskin untuk
bargaining dalam dunia hubungan sosial yang sudah timpang antara
pemilki tanah dan penggarap, antara majikan dan buruh. Buruh tidak
mempunyai kemampuan untuk menetapkan upah, petani tidak bisa
mendapatkan harga hasil taninya (Soetrisno, 2001:38). Dengan kata lain
pihak yang miskin relatif tidak dapat berbuat banyak atas eksploitasi
dan proses marginalisasi yang dialaminya karena mereka tidak memiliki
alternatif pilihan untuk menentukan nasib ke arah yang lebih baik.

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Seiring dengan adanya era reformasi maka istilah pemberdayaan
masyarakat kerap kali muncul mengiringi. Arti pemberdayaan masyarakat
itu sendiri adalah suatu proses yang mengembangkan dan memperkuat
kemampuan masyarakat untuk terus terlibat dalam proses pembangunan
yang berlangsung secara dinamis sehingga masyarakat dapat
menyelesaikan masalah yang dihadapi serta dapat mengambil keputusan

KEMISKINAN DAN UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


38 Volume 2, Nomor 1, Juni 2006

secara bebas (independent) dan mandiri (Sumaryo, 1991). Senada dengan


itu Margono mengemukakan pemberdayaan masyarakat adalah
mengembangkan kondisi dan situasi sedemikian rupa hingga masyarakat
memiliki daya dan kesempatan untuk mengembangkan kehidupannya
tanpa adanya kesan bahwa perkembangan itu adalah hasil kekuatan
eskternal, masyarakat harus dijadikan subyek bukan obyek (Margono
Slamet, 2000:123). Sedangkan menurut Vidhyandika Moeljarto
menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat banyak ditentukan oleh
akses dan kontrol yang dimiliki subyek pembangunan itu pada berbagai
sumber daya (Vidhyandika Moeljarto, 2000:50). Sumberdaya
pembangunan yang utama adalah modal, termasuk didalamnya
kepintaran, ketrampilan, informasi dan teknologi di samping dana dan
tanah. Pemberdayaan masyarakat dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal. Sementara Harry Hikmat menjelaskan ada beberapa faktor
internal yang menghambat pemberdayaan antara lain, kurang bisa untuk
saling mempercayai, kurang daya inovasi/kreativitas, mudah pasrah/
menyerah/putus asa, aspirasi dan cita-cita rendah, tidak mampu
menunda menikmati hasil kerja, wawasan waktu yang sempit, familisme,
sangat tergantung pada bantuan pemerintah, sangat terikat pada tempat
kediamannya dan tidak mampu/tidak bersedia menempatkan diri sebagai
orang lain (Harry Hikmat, 2001:81).
Bagaimana memberdayakan masyarakat merupakan suatu
masalah tersendiri yang berkaitan dengan hakikat dari power atau daya
(mengandung pengertian “kemampuan”, “kekuatan” ataupun ,
“kekuasaan”), serta hubungan antar individu atau lapisan sosial yang
lain. Pada dasarnya setiap individu dilahirkan dengan daya. Hanya saja
kadar daya itu akan berbeda antara satu individu dengan individu yag
lain. Kondisi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait
(interlinking factors) antara lain seperti pengetahuan, kemampuan, status,
harta, kedudukan dan jenis kelamin. Faktor-faktor yang saling terkait
tersebut pada akhirnya membuat hubungan antar individu, dengan
dikotonomi subyek (penguasa) dan obyek (yang dikuasai) yang meliputi
kaya- miskin, laki-laki-perempuan, guru-murid, pemerinah-warganya,
antar agen pembangunan dan si miskin dan lain sebagainya. Bentuk relasi
sosial yang dicirikan dengan dikotomi subyek dan obyek tersebut
merupakan relasi yang ingin “diperbaiki” melalui proses pemberdayaan.
Pemberdayaan merupakan proses pematahan atau break-down
dari hubungan atau relasi antara subyek dengan obyek. Proses ini
mementingkan adanya ‘pengakuan’ subyek akan “kemampuan” atau
“daya” (power) yang dimiliki obyek. Secara garis besar, proses ini melihat

Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam PUJI HADIYANTI


Topik Utama_________________________________________________________ 39

pentingnya mengalirnya daya (flow of power) dari subyek ke obyek dengan


memberinya kesempatan untuk meningkatkan hidupnya dengan
memakai sumber yang ada merupakan salah satu manifestasi dari
mengalirnya daya tersebut. Pada akhirnya, kemampuan individu miskin
untuk dapat mewujudkan harapannya dengan diberinya “pengakuan”
oleh subyek merupakan bukti bahwa individu tersebut mempunyai daya.
Dengan kata lain, mengalirnya daya ini dapat berwujud suatu upaya
dari obyek untuk meningkatkan hidupnya dengan memakai daya yang
ada padanya serta dibantu juga dengan daya yang dimiliki subyek. Dalam
pengertian yang lebih luas, mengalirnya daya ini merupakan upaya atau
cita-cita untuk mengintegrasikan masyarakat miskin ke dalam aspek
kehidupan yang lebih luas. Hasil akhir dari proses pemberdayaan adalah
beralihnya fungsi individu yang semula obyek menjadi subyek (yang
baru), sehingga relasi sosial yang ada nantinya hanya dicirikan dengan
relasi antar subyek dengan subyek yang lain. Dengan kata lain, proses
pemberdayaan mengubah pola relasi lama subyek-obyek menjadi subyek-
subyek.
Hal ini merupakan prasyarat krusial dalam mewujudkan makna
pemberdayaan masyarakat secara utuh. Hubungan yang timpang atau
yang menghalalkan bentuk hubungan yang subordinat atau asimetris
cenderung mengabadikan penindasan dan kemiskinan. Peralihan fungsi
obyek menjadi subyek baru merupakan tantangan dalam segala macam
implementasi kebijakan. Masih banyak ditemukan kebijakan dengan dalih
pemberdayaan dan membantu yang miskin, tetapi masih menempatkan
obyek pada posisinya semula. Artinya, ia tetap sebagai pihak yang
“dikontrol dan dikuasai” oleh subyek.
Seringkali, mengalirnya daya untuk mengalihfungsikan individu
miskin yang semula obyek menjadi subyek ini tidak dapat terwujud
dengan baik. Kondisi tersebut dapat memunculkan countervailing power
dari obyek yang dipakai untuk “menantang” konfigurasi daya (power )
yang sudah mapan. Obyek bisanya akan dibantu oleh pihak luar yang
berkepentingan sama, misalnya LSM. Proses tersebut juga berkaitan
dengan penciptaan aset, yaitu menciptakan suatu dasar ekonomi
minimum untuk kelompok yang selama ini tersingkir. Asumsinya dengan
peningkatan taraf hidup melalui penciptaan asset tersebut, lapisan miskin
akan memiliki means to intervene yang lebih kuat di dalam proses
pembangunan.
Selanjutnya Sayogyo mengemukakan bahwa untuk merangsang
lahirnya gerakan masyarakat yang bermula pada kumunitas lokal, ada

KEMISKINAN DAN UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


40 Volume 2, Nomor 1, Juni 2006

sejumlah syarat yang terlebih dahulu harus dipenuhi. Tiga syarat


terpenting adalah :
* Restrukturisasi kelembagaan komunitas. Tatanan dasar yang mengatur
kehidupa komunitas perlu direorientasi (UU politik dan pemerintahan),
dari yang pola feodalistik dan kolonial (pemerintahan yang kuat dan
paternalistik) ke pola pemerintahan yang lebih profesional dan
masyarakat yang dinamis. Tatanan baru perlu menjamin kebebasan
masyarakat berekspresi dan mengembangkan inisiatif lokal untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan azasinya. Masyarakat harus menjadi
subyek dan penentu utama dari segala kegiatan pembangunan dalam
arti yang sesungguhnya.
* Meninjau kembali segala kebijakan yang memperlemah kebudayaan
masyarakat dan menggantinya dengan kebijakan yang lebih memihak
pada upaya peningkatan keberdayaan masyarakat desa untuk
memperbaiki nasib sendiri.
* Pada aras program, pendekatan top-down harus segera diganti
pendekatan bottom up, yang tercermin dari mekanisme pengambilan
keputusan dan penyelenggaranaan program. Istilah program
pengembangan masyarakat seharusnya tidak lagi berkonotasi program
masuk desa, melainkan program dari desa. Artinya, dalam segala
kegiatan pembangunan desa masyarakat desa itulah yang menjadi subyek
dan pelaku utama. Mulai dari penjajakan masalah dan kebutuhan,
perencanaan, pelaksanaan, pegawasan, evaluasi sampai pemanfaatan
hasil-hasilnya. Dalam keadaan demikian, masyarakat akan menerima
kegagalan maupun keberhasilan program secara bertanggung jawab
(Sayogyo, 1999: 17).
Pembangunan yang memberdayakan hanya bisa tercapai melalui
sikap intristik “memanusiakan manusia’, melalui penggalian dan
penghargaan pada nilai-nilai luhur kemanusiaan dan melalui
pengembangan prakarsa dan partisipasi masyarakat menolong diri
sendiri untuk “berdiri di atas kaki sendiri”. Pemberdayaa merupakan
proses belajar yang produktif dan reproduktif. Produktif dalam
pengertian mampu mendayagunakan potensi diri dan lingkungan.
Kerjasama untuk memperoleh kemanfaatan material dan immaterial bagi
masyarakat pada suatu jangka waktu tertentu. Reproduktif dalam
pengertian mampu mewariskan nilai-nilai kearifan. Setiap generasi yang
berdaya harus bisa mewarisi nilai-nilai pembebasan dari dari
keterbelangan dan kemiskinan. Ketidakberdayaan dalam berbagai istilah
mengacu pada ketidakmampuan untuk mengakses kebutuhan
masyarakat menurut ukuran tertentu. Ketidakberdayaan hampir selalu
berkonsekuensi pada aspek ekonomi, seperti pendapatan. Peningkatan
pendapatan sarat dengan ukuran-ukuran yang bersifat ekonomis, namun
Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam PUJI HADIYANTI
Topik Utama_________________________________________________________ 41

dalam prosesnya seringkali terlebih dahulu harus mengatasi aspek-aspek


non ekonomis.

UPAYA PEMBEBASAN KEMISKINAN MELALUI PEMBERDAYAAN


Merujuk pada berbagai konsepsi seperti dijelaskan di atas, maka
pemberdayaan merupakan suatu sistem pembangunan yang berorientasi
pada manusia, dengan mengedepankan azas partisipasi (participatory),
jaringan kerja, kemandirian dan keadilan (equality) yang dalam prosesnya
memberikan sesuatu kemudahan (akses) sehingga pada akhirnya dicapai
kemajuan dan kemandirian. Proses pemberdayaan memerlukan tindakan
aktif subyek untuk mengakui daya yang dimiliki obyek dengan
memberinya kesempatan untuk mengembangkan diri sebelum akhirnya
obyek akan beralih fungsi menjadi subyek yang baru. Karena proses
tersebut didukung oleh faktor atau stimulus dari luar, maka subyek disebut
sebagai faktor eksternal. Selain itu, faktor internal yang mementingkan
tindakan aktif obyek atau masyarakat miskin sendiri juga merupakan
prasyarat penting yang dapat mendukung proses pemberdayaan yang
efektif.
Proses pemberdayan dapat dilakukan secara individual maupun
kelompok (kolektif). Tetapi karena proses ini merupakan proses wujud
perubahan sosial atau status hirarkhi lain yang dicirikan dengan adanya
polarisasi ekonomi, maka kemampuan individu “senasib’’ untuk saling
berkumpul dalam suatu kelompok cenderung dinilai sebagai bentuk
pemberdayaan yang paling efektif (Freidmeann, 1993:3). Di dalam
kelompok terjadi suatu dialogical encounter yang menumbuhkan dan
memperkuat kesadaran dan solidaritas kelompok. Anggota kelompok
menumbuhkan identitas seragam dengan mengenali kepentingan mereka
bersama.
Dalam pendekatannya, pemberdayaan terdapat antara lain dua
aspek penting, yaitu partisipatif dan terdesentralisasi. Aspek partisipatif
melibatkan masyarakat, khususnya kelompok sasaran dalam
pengambilan keputusan sejak dari perencanaan, pelaksanaan,
pengendalian, hingga pemanfaatan hasil-hasilnya. Sedangkan aspek
terdesentralisasi mementingkan penurunan wewenang pembuatan
keputusan perencanaan dan pelaksana pembangunan kepada
pemerintah desa yang terdekat dengan penduduk miskin. Penduduk
miskinlah yang paling mengetahui usaha yang dapat mereka lakukan
dan kebutuhan mana yang paling mendesak. Di samping itu pembentukan
kelompok merupakan fase awal pemberdayaan. Artinya masyarakat
miskin diberi kebebasan untuk membentuk dan beraktivitas dalam
kelompok yang diinginkan. Pembentukan kelompok menekankan pada

KEMISKINAN DAN UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


42 Volume 2, Nomor 1, Juni 2006

prinsip kebersamaan demi mewujudkan semangat dan kegiatan


kooperatif. Dalam kebersamaan, tiap-tiap anggota ikut bertanggung
jawab, saling mempercayai dan saling melayani. Kondisi ini merupakan
prasyarat yang penting di dalam proses koniestentisasi. Kelompok dapat
juga dipakai sebagai alat bagi para anggota untuk mengembangkan
aspirasi dan potensi mereka. Pembentukan kelompok menyediakan Suatu
dasar (platform) bagi terciptanya kohesi sosial anggota kelompok. Kohesi
sosia akan terbentuk setelah diadakannya pertemuan rutin untuk
membahas aktivitas kelompok dan permasalahannya. Adanya kedekatan
dan mutual intersts dari anggota kelompok membantu kelompok untuk
membentuk semangat sukarela. Kondisi ini akan membantu kelompok
untuk mengurangi kerentanan individu dalam menghadapi goncangan
yang mendadak dan kesengsaraan. Akibat sinergestik dari ikatan
kelompok ini nantinya akan membantu mengatasi masalah mereka.
Namun demikian sudah banyak bukti adanya pemberdayaan
melalui kelompok-kelompok swadaya di pedesaan hanya sebatas slogan
dan jargon yang di paksakan, bahkan terkesan hanya untuk memenuhi
target pembangunan dan yang seringkali terjadi adalah pemerataan
bentuk-bentuk program yang seragam dimana bukan merupakan
kebutuhan masyarakat setempat. Jadi pembentukan karakter kelompok
yang mengikat seperti sistem interaksi, norma, kontinuitas, identitas sosial
dan motif atau tujuan yang sama mengalami kegagalan. Akibatnya
kelompok tersebut hanya berfungsi sebagai kumpulan orang-orang tanpa
ikatan yang diperalat oleh orang yang mempunyai kepentingan pribadi
dan daya yang lebih kuat. Idealnya suatu kelompok adalah terbentuknya
solidaritas kelompok yang secara bersama-sama dapat melawan
ketidakadilan dan tekanan yang dilakukan pihak lain. Mekanisme
perlawanan tersebut dapat mempunyai bentuk atau wujud yang
bermacam-macam, yang disesuaikan dengan konteks sosial, politik, dan
budaya suatu negara. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan
keberadaan kelompok-kelompok swadaya di masyarakat dapat berjalan
dengan efektif sesuai dengan tujuan pemberdayaan masyarakat asalkan
ditangani secara profesional dan adanya pengakuan atas perubahan dari
tadinya obyek menjadi subyek. Di samping itu program-program yang
bergulir memang merupakan prioritas kebutuhan dari masing-masing
anggota kelompok dengan tidak mengabaikan kepentingan individu dan
mempertimbangkan kesesuaian potensi, kondisi, dan permasalahan yang
terdapat di masing-masing daerah.
Selain dilakukan dengan pendekatan kelompok dalam bentuk
usaha bersama, diperlukan arah baru kebijaksanaan pembangunan yang

Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam PUJI HADIYANTI


Topik Utama_________________________________________________________ 43

memadukan pertumbuhan dan pemerataan guna menunjang eksistensi


kelompok tersebut, yaitu suatu proses transformasi dalam hubungan
sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat. Perubahan sruktur yang
diharapkan adalah proses yang berlangsung secara alamiah, yaitu yang
menghasilkan harus menikmati. Begitu pula sebaliknya yang menikmati
haruslah yang menghasilkan. Proses ini diarahkan agar setiap upaya
penanggulangan kemiskinan dapat meningkatkan kapasitas masyarakat
(capacity building) melalui penciptaan akumulasi modal yang bersumber
dari surplus yang dihasilkan dan pada gilirannya dapat menciptakan
pendapatan yang dinikmati oleh rakyat. Proses transformasi ini harus
digerakkan oleh masyarakat sendiri.
Kebijaksanaan penanggulangan kemiskinan secara umum dapat
dipilah dalam 3 (tiga) kelompok , yaitu :
* Pertama kebijaksanaan yang secara tidak langsung mengarah pada
sasaran tetapi memberikan dasar tercapainya suasana yang mendukung
kegiatan sosial ekonomi. Kebijaksanaan tidak langsung diarahkan pada
penciptaan kondisi yang menjamin kelangsungan setiap upaya
peneingkatan pemerataan pembangunan dan penaggulangan
kemiskinan, penyediaan sarana dan prasarana, penguatan kelembagaan
serta penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang menunjang
kegiatan sosial-ekonomi masyarakat. Dalam kerangka kebijaksanaan ini
pula termasuk penciptaan ketentraman suasana sosial dan politik,
penciptaan iklim usaha dan stabilitas ekonomi melalui pengelolaan
ekonomi makro yang berhati-hati, pengendalian pertumbuhan penduduk
dan pelestarian lingkangan hidup.
* Kedua kebijaksanaan yang secara langsung mengarah pada
peningkatan ekonomi kelompok sasaran. Kebijaksanaan langsung
diarahkan pada peningkatan akses terhadap prasarana dan sarana yang
mendukung penyediaan kebutuhan dasar berupa pangan, sandang dan
perumahan, kesehatan dan pendidikan, peningkatan produktivitas dan
pendapatan, khususnya masyarakat berpendapat rendah. Dalam
hubungan ini, pendekatan pengembangan ekonomi rakyat yang paling
tepat adalah melalui bentuk usaha bersama dalam wadah koperasi.
Upaya peningkatan kemampuan sehingga menghasilkan nilai tambah
setidak-tidaknya harus diadakan perbaikan akses, yaitu (1) akses terhadap
sumber daya; (2) akses terhadap teknologi, yaitu suatu kegiatan dengan
cara dan alat yang lebih baik dan lebih efisien, (3) akses terhadap pasar.
Produk yang dihasilkan harus dapat dijual untuk mendapatkan nilai
tambah. Ini berarti bahwa penyediaan sarana produksi dan peningkatan

KEMISKINAN DAN UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


44 Volume 2, Nomor 1, Juni 2006

keterampilan harus diimbangi dengan tersedianya pasar secara terus


menerus; dan (4) akses terhadap sumber pembiayaan.
* Ketiga kebijaksanaan khusus menjangkau masyarakat miskin melalui
upaya khusus. Kebijaksanaan khusus diutamakan pada penyiapan
penduduk miskin untuk dapat melakukan kegiatan sosial ekonomi sesuai
dengan budaya setempat. Upaya ini pada dasarnya mendorong dan
memperlancar proses transisi dari kehidupan subsisten menjadi kehidupan
pasar. Penyiapan penduduk bersifat situasional sesuai dengan tingkat
permasalahan dan kesiapan masyarakat itu sendiri. Peran tokoh
masyarakat, termasuk aparat daerah yang paling dekat dengan
masyarakat, menjadi amat penting dalam proses transisi. Bagian dari
kebijaksanaan khususnya adalah peraturan perundang-undangan yang
secara khusus mengatur perlindungan terhadap kegiatan usaha
penduduk miskin berupa jaminan kepastian usaha dan kemudahan akses,
serta pembentukan lembaga yang memberi layanan kepada penduduk
miskin. Kebijaksanaan ini dilaksanakan secara terpilih sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
Sedangkan misi pemberdayaan yang diemban demi membuahkan
suatu program pemberdayaan masyarakat antara lain :
1. Penyadaran. Penyadaran berlangsung dalam proses pengenalan diri
akan potensi diri dan lingkungan sebagai kekuatan yang bisa
digerakkan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan sendiri dalam
kontek sosio-budaya dan struktur sosial. Penyadaran akan
kemampuan diri, sumber daya yang mereka miliki, peluang baru yang
bersumber dari dalam dan luar komunitas untuk memperbaiki kondisi,
dan arti solidaritas antar warga dalam memenuhi kebutuhan
merupakan misi pendampingan yang utama.
2. Pengorganisasian. Penguatan organisasi masyarakat mutlak diperlukan
dalam upaya memberdayakan diri mereka, mengacu pada prinsip
memanfaatkan potensi kelembagaan yang berakar kuat dalam
struktur masyarakat lokal. Penilaian masyarakat terhadap kondisi
kelembagaan yang dimiliki merupakan dasar bagi suatu tindakan
penguatan organisasi yang memungkinkan masyarakat dan
organisasinya dapat hidup dan berdaya (mandiri, tangguh) dalam
berinteraksi dengan kekuatan lain dalam konteks kehidupan yang libih
luas, mampu menghadapi pengaruh berbagai perubahan.
3. Kaderisasi. Setiap program pada hakekatnya memiliki keharusan
mempersiapkan kader-kader pengembangan keswadayaan lokal yang
akan mengabil alih tugas pendampingan setelah program berakhir.

Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam PUJI HADIYANTI


45

4. Dukungan Teknis. Pembaharuan masyarakat setempat umumnya


memerlukan bantuan suatu lembaga dari luar yang menguasai
sumberdaya informasi dan teknologi yang dapat membantu
mempercepat pembaharuan itu menjadi kenyataan. Organisai
pendudkung teknis adalah aparat pemerintah, mungkin juga
perusahan swasta.
5. Pengelolaan sistem. Pengelolaan sistem menpunyai sejumlah peranan
penting : Koordinasi diperlukan dalam penjadwalan tahapan
kegiatan, yaitu menyangkut fungsi penyadaran, pelatihan,
pengorganisasian dan penyediaan sumberdaya pendukung. Untuk itu
pelu mempertemukan kepentingan beragam pihak. Fungsi pengelolaan
sistem memastikan kemampuan pelayan, yakni menjamin kapasitas
pelayan yang mencukupi pada jalur penyedia sumberdaya.
Pengelolaan sistem harus mampu mengadakan penyesuaian-
penyesuaian diambil menjalan proses pemberdayaan dan mampu
menemukan pentahapan dalam menampilkan komponen-komponen
sistem.

PENUTUP

Berbagai sudut dapat digunakan untuk menelaah masalah


kemiskinan dan langkah pemecahannya. Dari segi normatif,
penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu tujuan pembangunan
nasional yang harus dicapai. Dari segi teoritis, kajian terhadap faktor
penyebab kemiskinan tidak dapat dipisahkan dari paradigma
pembangunan yang menjadi acuan pelaksanaan pembangunan.
Paradigma pembangunan itu juga menawarkan berbagai rumusan upaya
penanggulangan kemiskinan yang paling sesuai atau paling tidak
mendekati kondisi kemiskinan yang sebenarnya. Program
penanggulangan kemiskinan yang dijabarkan dalam program
pembangunan sektoral, regional dan khusus, baik secara langsung
maupun tidak langsung di rancang untuk memecahkan tiga masalah
utama pembangunan yakni, pengangguran, ketimpangan distribusi
pendapatan dan kemiskinan. Selama ini model-model pembangunan yang
dirancang oleh pemerintah, cenderung menggunakan pola- pola seragam
dan bersifat instruksi dari atas yang harus dilaksanakan sesuai dengan
Petunjuk Pelaksana (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis). Pemberdayaan
masyarakat merupakan solusi dalam program pembangunan, karena
konsep pemberdayaan yang mengacu pada prinsip kemandirian yang

KEMISKINAN DAN UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


46 Volume 2, Nomor 1, Juni 2006

bersifat egaliter sangat relevan digunakan untuk memberdayakan


masyarakat.

DAFTAR RUJUKAN

Andre Bayo Ala. 1996. Kemiskinan dan Strategi memerangi Kemiskinan.


Liberti Yogyakarta.
Chambers Robert. 1983. Pembangunan Desa (Mulai dari belakang). LP3ES.
Jakarta.
Freidmeann, 1993. EMPOWERMENT (The Politics of Alternative
Development). Blackwell Publishers Three Cambridge Center USA.
Harry Hikmat. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama
Press Bandung.
Margono Slamet. 2000. Memantapkan Posisi dan meningkatkan Peran
Penyuluhan Pembangunan dalam Pembangunan. Dalam Proseding
Seminar IPB Bogor: Pemberdayaan Sumberdaya Manusia Menuju
Terwujudnya Masyarakat Madani. Pustaka Wira Usaha Muda.
Sayogyo.1999. Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia. (Prof
Sajogyo 70 Tahun). Kerja sama Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor, Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI) Cabang Bogor,
dan PT Grasindo.
Sumaryo.1991. Implementasi Participatory Rural Appraisal (PRA) dalam
Pemberdayaan Masyarakat. Disampaikan dalam Pelatihan
Pengorganisasian Masyarakat dalam rangka Peningkatan Mutu
Pengabdian pada Masyarakat, di IAIN Raden Intan Bandar
Lampung, 26 November 2005.
Supriyatna Tjahya. 1997. Birokorasi Pemberdayaan dan Pengentasan
Kemiskinan. Humaniora Utama Press Bandung.
Sutrisno R. 2001. Pemberdayaan Masyarakat dan Upaya Pembebasan
Kemiskinan. Philosophy Press bekerja sama Fakultas filsafat UGM.
Yogyakarta.
Vidhyandika Moeljarto. 2000. Pemberdayaan Kelompok Miskin Melalui
Program Inpres Desa Tertinggal. Centre For Strategic And
International Studies Jakarta.

Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam

Вам также может понравиться