Вы находитесь на странице: 1из 8

Dislokasi pada Sendi Bahu Kanan

Inge Kurniawan
102017228
Kelompok: F4
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
Email: INGE.2017fk228@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak

Ekstremitas atas merupakan ekstremitas yang paling sering digunakan manusia hampir
untuk semua aktifitas yang dilakukan. Sebuah sendi yang pernah mengalami dislokasi, ligamen-
ligamennya biasanya menjadi longgar, akibatnya sendi itu akan mudah mengalami dislokasi
kembali. Dislokasi adalah keluarnya kepala sendi dari mangkuknya. Dislokasi pada bahu bisa
terjadi karena cedera traumatik atau lepasnya ligamen. Disfungsi pada bagian tersebut dapat
menghambat seseorang dalam melakukan aktifitasnya sehari-hari Sendi bahu terdiri dari bonggol
sendi dan mangkok sendi. Cavitas sendi bahu sangat dangkal, ,memungkinkan seseorang dapat
menggerakkan lengannya secara leluasa dan melaksanakan aktifitas sehari-hari.
Kata kunci : ekstremitas atas, dislokasi

Abstract

The upper limb is the most commonly used human extremity for almost any activity
performed. A joint that has experienced a dislocation, its ligaments usually become loose,
consequently the joint will easily re-dislocate. Dislocation is the discharge of the joints from the
bowl. Dislocation of the shoulder may occur due to a traumatic injury or ligament loss.
Dysfunction in that part can prevent a person from doing his or her daily activities The shoulder
joint consists of joints and joints. Cavitas shoulder joint is very shallow,, allowing a person can
move his arms freely and carry out daily activities.
Keywords: upper limb, dislocation
Pendahuluan
Disfungsi dari ekstremitas atas merupakan hal yang tidak akan pernah diharapkan oleh
siapapun dan dimanapun. Namun kecelakaan merupakan kejadian yang tidak dapat terhindarkan
dalam kehidupan manusia dan dapat menyebabkan akibat yang bermacam-macam. Salah satunya
adalah disloksi. Dislokasi adalah keluarnya (Bercerainya) kepala sendi dari mangkuknya.
1
Sebuah sendi yang pernah mengalami dislokasi, ligamen-ligamennya biasanya menjadi longgar,
akibatnya sendi itu akan mudah mengalami dislokasi kembali. Apabila dislokasi itu disertai patah
tulang, pembetulannya menjadi lebih sulit dan harus dikerjakandi rumah sakit. Semakin awal
usaha pengembalian sendi itu dikerjakan, semakin baik penyembuhannya. Tetapi apabila setelah
dikirim ke rumah sakit dengan sendi yang cidera sudah dibidai.

Anatomi Sendi Bahu

Secara anatomi sendi bahu merupakan sendi peluru (ball and socket joint) yang terdiri atas
bonggol sendi dan mangkuk sendi. Cavitas sendi bahu sangat dangkal, sehingga memungkinkan
seseorang dapat menggerakkan lengannya secara leluasa dan melaksanakan aktifitas sehari-hari.
Namun struktur yang demikian akan menimbulkan ketidakstabilan sendi bahu dan
ketidakstabilan ini sering menimbulkan gangguan pada bahu.2

Sendi bahu merupakan sendi yang komplek pada tubuh manusia dibentuk oleh tulang-
tulang yang terdiri dari: scapula (shoulder blade), clavicula (collar bone), humerus (upper arm
bone), dan sternum. Sendi bahu merupakan sendi yang komplek pada tubuh manusia dibentuk
oleh tulang-tulang yaitu : scapula (shoulder blade),clavicula (collar bone), humerus (upper arm
bone), dan sternum. Daerah persendian bahu mencakup empat sendi, yaitu sendi

Gambar 1. Tulang-tulang bahu1


sternoclavicular, sendi glenohumeral, sendi acromioclavicular, sendi scapulothoracal. Empat
sendi tersebut bekerjasama secara secara sinkron. Pada sendi glenohumeralsangat luas lingkup
geraknya karena caput humeri tidak masuk ke dalam mangkok karena fossa glenoidalis dangkal.3
. Gangguan gerakan dalam sendi bahu sering mempunyai konsekuensi untuk sendi-sendi yang
lain di gelang bahu dan sebaliknya. Sendi bahu dibentuk oleh kepala tulang humerus dan
mangkok sendi, disebut cavitas glenoidalis. Sendi ini menghasilkan gerakan fungsional sehari-
hari seperti menyisir, menggaruk kepala, mengambil dompet, dan sebagainya atas kerjasama
yang harmonis dan simultan dengan sendi-sendi lainnya.
Sendi glenohumeral dibentuk oleh caput humeri yang bulat dan cavitas
glenoidalisscapula yang dangkal dan berbentuk buah pir. Permukaan sendi meliputi oleh rawan
hyaline, dan cavitas glenoidalis diperdalam oleh adanya labrum glenoidale.
Dibentuk oleh caput humerrus dengan cavitas glenoidalisscapulae, yang diperluas dengan
adanya cartilago pada tepi cavitas glenoidalis, sehingga rongga sendi menjadi lebih dalam.
Kapsul sendi longgar sehingga memungkinkan gerakan dengan jarak gerak yang lebih luas.
Proteksi terhadap sendi tersebut diselenggarakan oleh acromion, procecus coracoideus, dan
ligamen-ligamen. Tegangan otot diperlukan untuk mempertahankan agar caput humerus selalu
dipelihara pada cavitas glenoidalisnya.
Ligamen-ligamen yang memperkuat sendi glenohumeral antara lain ligamen glenoidalis,
ligamen humeral tranversum, ligamen coraco humeral dan ligamen coracoacromiale, serta
kapsul sendi melekat pada cavitas glenoidalis dan collum anatomicum humeri.
Sendi sternoclaviculare dibentuk oleh extremitas glenoidalis clavicularis, dengan incisura
clavicularis sterni. Menurut bentuknya termasuk articulation sellaris, tetapi fungsionalnya
glubiodea. Diantara kedua facies articularisnya ada suatu discus articularis sehingga lebih
dapat menyesuaikan kedua facies articularisnya dan sebagai cavum articulare. Capsula
articularis luas, sehingga kemungkinan gerakan luas.
Sendi acromioclaviculare dibentuk oleh extremitas acromialisclavicula dengan tepi
medial dari acromion scapulae. Facies articularisnya kecil dan rata dan dilapisi oleh fibro
cartilago. Diantara facies articularis ada discus artucularis. Secara morfologis termasuk
ariculatio ellipsoidea, karena facies articularisnya sempit, dengan ligamentum yang longgar. 2

Gambar 2. Ligamen-Ligamen pada sendi acromioclavicular4


Ligamentum yang memperkuatnya:
1) Ligament acromio claviculare, yamg membentang antara acromion dataran ventral
sampai dataran caudal clavicula.
2) ligament coraco clavicuculare, terdiri dari 2 ligament yaitu:
a) Ligamentum conoideum, yang membentang antara dataran medial
procecuscoracoideus sampai dataran caudal claviculare.
b) Ligamentum trapezoideus, yang membentang dari dataran lateral
procecuscoraoideus sampai dataran bawah clavicuare.
Gerak osteokinematika sendi acromioclavicularis selalu berkaitan dengan gerak pada sendi
scapulothoracalis saat elevasi diatas kepala maka terjadi rotasi clavicula mengitari sumbu
panjangnya. Rotasi ini menyebabkan elevasi clavicula, elevasi tersebut pada sendi sterno
clavicularis kemudian 30% berikutnya pada rotasi clavicula. 2
Sendi scapulothoracic bukan sendi yang sebenarnya, hanya berupa pergerakan scapula
terhadap dinding thorax. Gerak osteokinematika sendi ini meliputi gerakan kearah medial lateral
yang dalam klinis disebut down ward-up, wardrotasi juga gerak kearah cranial-caudal yang
dikenal dengan gerak elevasi-depresi. Pada sendi ini, skapula bergerak menggelincir pada
dinding thoraks. Gerakannya ada dua tipe, yaitu translasi (gerak dari skapula ke atas, ke bawah,
ke depan dan ke belakang) dan gerak rotasi melalui sumbu tegak lurus. Biasanya gerak skapula
adalah gerak kombinasi daripada kedua gerak ini.
Beberapa peneliti mengatakan bahwa antara sendi glenohumeral dan scapulothoracicus
terdapat perbandingan saat melakukan gerakan abduksi dan fleksi bahu. Mereka menemukan
bahwa dua pertiga dari gerakan tersebut dilakukan oleh sendi glenohumeral (sekitar 1200)
sedangkan sepertiganya oleh sendi scapulothoracius (sekitar 600). Jadi perbandingannya 2:1,
yang merupakan hasil yang konstan.
Selain banyaknya sendi yang mempengaruhi seberapa luas bahu bisa bergerak, juga ada
otot-otot yang bekerja. Otot-otot tersebut dibagi menjadi dua bagian besar yaitu otot yang
merupakan penggerak sendi bahu dan otot yang merupakan penggerak dari sendi pergelangan
bahu. Berikut merupakan otot-otot penggerak sendi bahu:2

1. M. Deltoid

2. M. Suprasipnatus

3. M. Infraspinatus

4. M. Subskalpularis
5. M. Teres minor.

6. M. Teres major

7. M. Lattisimus dorsi

8. M. Coracobrachialis

9. M. Pectoralis mayor
 Pars klavikularis
 Pars manubrialis
 Pars Sternokostalis

Otot-otot yang merupakan penggerak dari pergelangan bahu:

1. M. Serratus anterior

2. M. Rhomboideus mayor
3. M. Rhomboideus minor

4. M. Levator Scapula

5. M. Pectoralis minor

6. M. Subclavia

7. M. Trapezius

Mekanisme kerja otot

Sebelumnya ke tahap mekanisme kontraksi dan relaksasi, masing-masing heliks dari


miosin memiliki sebuah bagian kepala yang globular. Miosin apabila dicerna oleh enzim tripsin
akan menghasilkan dua bagian miosin yang disebut meromiosin ringan (light meromyosin) dan
meromisoin berat (heavy meromyosin). Meromiosin ringan berbentuk serabut heliks dan tidak
dapat larut. Pada meromiosin ringan ini, tidak ditemukan adanya aktivitas katalitik, yaitu ATPase
dan tidak mengikat F-aktin. Meromiosin berat, terdiri atas 2 bagian, bagian 1 yang berbentuk
globuler dan bagian lainnya yang berbentuk serabut heliks. Meromiosin berat apabila dicerna
lebih lanjut oleh enzim papain dan akan terbagi lagi menjadi 2 fragmen, yaitu fragmen S-1 yang
merupakan bagian globulernya dan fragmen S-2 yang merupakan bagian serabut
heliksnya.Fragmen S-1 inilah yang menunjukkan adanya aktivitas ATPase dan akan berikatan
dengan F-aktin, sedangkan fragmen S-2 tidak menunjukkan adanya aktivitas ATPase dan juga
tidak dapat berikatan dengan F-aktin.5
Kontraksi pada otot, pada dasarnya merupakan mekanisme perlekatan dan pembebasan
ikatan antara kepala S-1 miosin yang globuler dengan filamen milik F-aktin. Perlekatan dan
pembebasan tersebut dilakukan dalam bentuk jembatan silang (cross-bridge).
Kontraksi otot terjadi karena adanya rangsangan. Rangsangan berasal dari asetilkolin
(neurotransmitter) yang dilepaskan akibat adanya potensial aksi motor neuron. Asetilkolin
disintesis di ujung terminal neuron motorik dari asetil koA dengan bantuan kolin asetil
transferase; dapat dihambat dengan kolinesterase dan kurare dengan cara menempel pada
reseptor asetilkolin pada motor end plate karena bentuknya yang cocok dengan reseptor
asetilkolin, kolinesterase dan kurare disebut juga inhibitor kompetitif.6
Asetilkolin dilepaskan ke ruang antara saraf dan otot (celah sinaps) dan ketika asetilkolin
menempel pada reseptor asetilkolin di motor end plate dari otot akan menyebabkan perubahan
permeabilitas di serat otot (depolarisasi), menghasilkan potensial aksi yang dihantarkan di
seluruh permukaan membrane sel otot. Sehingga menyebabkan depolarisasi dalam tubulus T
sehingga retikulum sarkoplasma bereksitasi melepaskan sejumlah besar ion kalsium ke dalam
miofibril. Ion-ion kalsium mengikat troponin C, membentuk kompleks TpC 4 Ca 2+ kemudian
berinteraksi dengan troponin T dan tropomiosinkemudian berinteraksi dengan F-aktin sehingga
sisi aktif aktin yang akan berikatan dengan miosin terbuka.7
Setelah proses-proses diatas selesai, kepala S-1 dari miosin berikatan dengan ATP dan
menghidrolisis ATP menjadi ADP dan P, namun produk hasil hidrolisis ini tidak dapat dilepaskan
oleh myosin. Ketika otot menerima stimulus atau respon, ion Ca 2+ (yang berikatan dengan
troponin C) dibebaskan dari retikulum sarkoplasma, dan membuka jalan agar kepala S-1 miosin
dapat berikatan dengan F-aktin. Semula, tempat terbentuknnya jembatan silang ditutupi oleh
kompleks troponin-tropomiosin, tetapi ketika ion Ca2+ dibebaskan maka ion ini berfungsi untuk
menarik kompleks tersebut agar tempat pengikatan jembatan silang antara kepala S-1 miosin
dengan F-aktin dapat terbuka. Akibatnya, aktin dapat diakses dan terjadi lah ikatan antara aktin-
miosin-ADP-P. Kemudian kompleks ikatan antara aktin dan miosin yang terbentuk sekaligus
mendorong pembebasan P hasil hidrolisis ATP sebagai sumber energi untuk melakukan power
stroke. Hal ini pun sekaligus juga melepaskan ikatan ADP dari ikatan aktin-miosin. Setelah ADP
juga lepas, terbentuk protein aktomiosin yang menyebabkan kontraksi. Power stroke yang terjadi
menarik aktin ke arah pusat sarkomer, sehingga filamen tipis dengan filamen tebal saling
bertumpang tindih, terjadilah kontraksi.5
Setelah kontraksi, ATP baru kembali datang ke kepala myosin sehingga menyebabkan F-
aktin lepas dari kepala miosin. Kompleks miosin-ATP memiliki afinitas yang rendah terhadap
aktin sehingga aktin terlepas.Proses kontraksi juga dihentikan ketika Ca 2+ dikembalikan ke
plasma sel saat aktivitas listrik lokal berhenti. Retikulum sarkoplasma memiliki molekul
pembawa, pompa Ca2+ -ATPase, yang memerlukan energi dan secara aktif mengangkut Ca2+ dari
sitosol untuk memekatkannya di dalam plasma sel. Ketika potensial aksi lokal tidak lagi terdapat
di tubulus T untuk memicu pelepasan Ca2+, aktivitas pompa Ca2+ retikulum sarkoplasma
mengembalikan Ca2+ yang dilepaskan ke plasma sel. Hilangnya Ca 2+ memungkinkan kompleks
troponin-tropomiosin bergeser kembali ke posisinya yang menghambat sehingga aktin dan
miosin tidak lagi berikatan di jembatan silang. Filamen tipis setelah dibebaskan dari siklus
perlekatan dan penarikan jembatan silang kembali secara pasif ke posisi istirahatnya. Serat otot
kembali melemas. Dalam kondisi inilah, terjadi relaksasi.5

Kesimpulan
Dislokasi pada bahu bisa terjadi karena cedera traumatik atau lepasnya ligamen.
Dislokasi yang terjadi pada sendi bahu dapat terjadi karena gerakan yang berlebihan sehingga
membuat humerus berpindah tempat. Humerus memiliki caput humeri yang melekat pada cavitas
glenoidalis sehingga caput tersebut keluar dari tempatnya dan menyebabkan nyeri akibat
beberapa serabut ligamen yang putus yaitu corracoacromiale.

Daftar Pustaka

1. Snell RS. Anatomi klinis berdasarkan sistem. Jakarta: EGC; 2012.

2. Nord M and Victor FH. Basic biomechanic of the musculoskeletal system. London: Lea and
Febriger Philadelphia, 2005. h. 225-234.

3. Shidarta Priguna. Sakit muskuloskeletal dalam praktek klinik. Jakarta: PT Dian Rakyat: 1984.
hal 80-102.
4. Downloaded from: http://www.britannica.com/EBchecked/media/119225/Muscles-of-the-
shoulder, 27 Maret 2018.
5. Murray RK, Graner DK, Rodwell VW. Biokimia Harper. Ed.27. Jakarta: EGC; 2009.
6. Neal MJ. At a glance farmakologi medis. Jakarta: Erlangga; 2006. h.18-20.
7. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2011.

Вам также может понравиться