Вы находитесь на странице: 1из 42

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ekowisata adalah bagian dari pariwisata yang mencakup potensi sumber daya

alam, lingkungan serta keunikan alam dan budaya. Bedanya dengan tipe pariwisata

lainnya adalah dalam ekowisata tercakup unsur konservasi dan edukasi (Samiaji,

2014). Ekowisata dapat menjadi salah satu sektor unggulan daerah yang belum

dikembangkan secara optimal pada saat ini. Beberapa daerah di Indonesia sudah

menjadikan ekowisata sebagai produk utama untuk memajukan daerahnya. Terbukti

dengan adanya ekowisata dapat menambah pendapatan asli daerah (PAD) seperti

provinsi-provinsi Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, Bali, Sulawesi Tenggara,

Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Tenggara,

Papua dan Sumatera Utara.

Ekowisata bahari adalah suatu kegiatan pariwisata berdasarkan aspek kelautan

yang berada pada kawasan perairan pantai dan laut. Ekowisata bahari bertujuan untuk

suatu usaha konservasi sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil termasuk di

permukaan laut dan di bawah laut. Menurut Yoswaty dan Samiaji (2013)

dikemukakan bahwa aktivitas yang dapat dilakukan dalam ekowisata bahari antara

lain berlayar, berselancar, memancing ikan, dayung, menyelam, berjalan menyusuri

pantai dan mempelajari budaya atau adat istiadat masyarakat lokal. Kegiatan

ekowisata bahari merupakan salah satu sektor pembangunan yang paling populer

dikembangkan di dunia saat ini. Australia, Maldives, Seychelles, Belize, Thailand,

1
dan negara-negara Karibia merupakan kelompok negara yang telah merasakan

manfaat yang sangat besar dari ekowisata bahari bagi devisa utama negara.

Sudah sering kali disebutkan bahwa Indonesia begitu kaya akan keindahan

alam sebagai potensi yang besar untuk objek wisata. Namun, besarnya potensi alam

Indonesia sebagai lahan ekowisata diakui belum optimal.

Saat ini timbul kekhawatiran baru ketika istilah ekowisata digunakan hanya

sebagai label dalam memasarkan produk wisata yang berbasis alam untuk

memanfaatkan peluang emas dan kecenderungan pasar yang ada. Dalam hal ini tidak

saja terjadi kesalahpahaman tentang istilah ekowisata, tetapi lebih dalam lagi telah

terjadi "pemanfaatan" istilah tersebut.

Istilah ekowisata bahari berbeda dengan istilah wisata bahari. Wisata bahari

dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata, misalnya wisata selam (diving),

wisata snorkling, wisata pantai, wisata mancing dan beberapa kegiatan lain yang

berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya kelautan. Diantara jenis kegiatan

wisata tersebut, kegiatan diving merupakan salah satu olah raga yang mengalami

pertumbuhan yang cepat.

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari banyak pulau. Selain lima pulau

utama, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, Indonesia juga

memiliki pulau-pulau kecil yang jumlahnya ribuan. Sebagai negara kepulauan, tentu

saja pantai yang terdapat di Indonesia ini berjumlah ribuan juga. Pantai dan laut

tersebut menyimpan berbagai potensi yang jika diolah dengan baik akan memberikan

berbagai keuntungan bagi penduduk sekitar.

2
Salah satu potensi dari laut Indonesia ialah hasil perikanan. Dengan panjang

garis pantai mencapai 95.181 km, dalam satu tahun Indonesia mampu menghasilkan

5,4 juta ton ikan. Tentu masih ada peluang lebih untuk mendapatkan ikan lebih

banyak lagi.

Potensi lain dari bahari adalah wisatanya. Hutan mangrove dapat menjadi

potensi wisata bahari yang menjanjikan bagi para wisatawan. Sebagai habitat biota

laut, hutan mangrove, juga dapat menjadi manfaat bagi masyarakat sekitar. Tidak

hanya pemasukan karena wisatawan, masyarakat juga dapat mempergunakan kayu

mangrove untuk menjadi bahan pembuat kertas.

Keindahan bawah laut Indonesia juga menjadi destinasi wisata bahari

berikutnya. Sebut saja Raja Ampat di Papua, Derawan di Kalimantan, dan Pulau Ora

di Maluku, pemandangan bawah lautnya sudah terdengar hingga mancanegara.

Ketiga tempat tersebut merupakan sedikit dari bagian laut Indonesia dengan

keindahan bawah laut yang mempesona. Pemandangan bawah laut yang dihasilkan

dari terumbu karang dan biota laut Indonesia menarik para wisatawan. Indonesia

memiliki luas terumbu karang terluas di dunia, yaitu 284.300 km2 yang akan

memuaskan hati para penyelam.

Selain pemandangan bawah laut yang indah, hampir seluruh pantai di

Indonesia juga memiliki pemandangan yang tak kalah mempesonanya. Para

wisatawan dapat membuktikan dengan mengunjungi pantai-pantai yang terdapat di

selatan pulau Jawa, Pantai Parai Tenggiri di Bangka Belitung, dan lain-lainnya.

Masih banyak laut dan pantai di Indonesia yang menyimpan potensi wisata sehingga

dapat menambah jumlah destinasi liburan untuk para wisatawan.

3
Dengan memiliki potensi wisata bahari yang begitu banyak dan indah, sudah

seharusnya pemerintah selaku stakeholder menjadi penggerak bagi masyrakat pesisir

dan pengusaha untuk mengelola potensi bahari yang dimiliki oleh Indonesia.

Sehingga dapat mendatangkan wisatawan baik lokal maupun mancanegara sehingga

pembangunan daerah terus merata diseluruh pelosok Indonesia. Karena pada

dasarnya berwisata di dalam negeri selain mendapatkan pemandangan yang sangat

mempesona, tentu juga dapat membantu perekonomian dan kesejahteraan masyarakat

sekitarnya.

1.2. Tujuan dan Manfaat

Tujuan pembuatan makalah adalah untuk mengetahui potensi wisata bahari

wilayah Indonesia sejauh mana sehingga kedepan Indonesia dapat menjadi salah satu

tujuan ekowisata bahari. Manfaat pembuatan makalah diharapkan mampu

memberikan informasi tentang potensi obyek wisata yang dimiliki Indonesia dalam

membangun kawasan tujuan ekowisata bahari yang memiliki nilai konservasi dan

edukasi, sehingga mampu menumbuhkan ekonomi masyarakat.

4
BAB II. PEMBAHASAN

2.1. Pariwisata dan Perkembangannya

Pariwisata semakin berkembang sejalan dengan perubahan-perubahan sosial,

budaya, ekonomi, teknologi dan politik. Runtuhnya sistem kelas dan kasta, semakin

meratanya ekonomi, ditemukan teknologi transportasi dan peningkatan waktu luang

yang didorong oleh penciutan jam kerja telah mempercepat mobilitas manusia,

daerah, negara dan benua, khususnya dalam hal pariwisata (Damanik dan Weber,

2006).

Beberapa peraturan perundangan yang telah disusun untuk menunjang

pengembangan kegiatan pariwisata dalam dan upaya konservasi sumber daya alam di

Indonesia adalah:

1. UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya.

2. UU No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan.

3. Keputusan Menhut No. 441/Kpts-II/1994 tentang Sarana Prasarana Pengusahaan

Pariwisata Alam.

4. Keputusan Menhut No. 447/Kpts-II/1996 tentang Pembinaan dan Pengawasan

Pengusahaan Pariwisata Alam.

Banyak negara telah bergantung dari industri pariwisata ini sebagai sumber

pajak dan pendapatan untuk perusahaan yang menjual jasa kepada wisatawan. Oleh

karena itu pengembangan industri pariwisata ini adalah salah satu strategi yang

dipakai oleh Organisasi Non-Pemerintah (N60) untuk mempromosikan wilayah

5
tertentu sebagai daerah wisata untuk meningkatkan perdagangan melalui penjualan

barang dan jasa kepada orang non-lokal. Menurut Undang-Undang No. 10 tahun

2009 tentang Kepariwisataan, yang dimaksud dengan pariwisata adalah berbagai

macam kegiatan wisata yang didukung oleh berbagai fasilitas serta layanan yang

disediakan masyarakat, pengusaha, pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Dahuri,

2013).

2.2. Ekowisata

Salah satu varian implementasi dari model pembangunan kepariwisataan

berlajut dan berwawasan lingkungan adalah Nature Tourism yang pada hakikatnya

merupakan konsep perpaduan antara pendekatan konservasi lingkungan dan

pengembangan kepariwisataan. Salah satu prinsip penting yang dituntut untuk selalu

konsisten dilaksanakan oleh model pengembangan ekowisata ini adalah adanya

kebijakan untuk memungut sejumlah persentase dari pendapatan yang diperoleh dari

industri pariwisata yang harus dikembalikan lagi kepada lingkungan sehingga perlu

dilestarikan demi peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat

(Sunaryo, 2013).

Ekowisata pada saat sekarang ini menjadi aktivitas ekonomi yang penting

yang memberikan kesempatan kepada wisatawan untuk mendapatkan pengalaman

mengenai alam dan budaya untuk dipelajari dan memahami betapa pentingnya

konservasi keanekaragaman hayati dan budaya lokal. Pada saat yang sama ekowisata

dapat memberikan generating income untuk kegiatan konservasi dan keuntungan

ekonomi pada masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi ekowisata. Pelaksanaan

6
ekowisata memerlukan perencanaan dan persiapan matang dengan hati-hati, agar

tidak mendatangkan kerugian. Hal itu mengingat karena pada dasarnya ekowisata

membuka peluang bagi para wisatawan untuk memasuki kawasan yang dilindungi

dan rawan, yang selama ini memang tidak dijamah oleh tangan-tangan manusia. Oleh

karena itu demi pelestarian kawasan tersebut perlu langkah-langkah guna melindungi

kondisi asli dan keunikan kawasan lindung tadi (Wahyu, 2008).

Salah satu sektor wisata yang sangat berpotensi untuk dikembangkan di

Indonesia adalah wisata bahari. Respon Indonesia untuk ikut mengembangkan wisata

bahari merupakan langkah yang sangat tepat, karena wilayah Indonesia yang terdiri

atas pulau-pulau yang mempunyai potensi alam maupun kekayaan budaya yang

sangat beragam untuk dapat dikembangkan sebagai kegiatan wisata bahari. Sebagai

negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki 17.504 pulau, dengan panjang

garis pantai 81.000 km dan luas perairan laut mencapai 5,8 juta km2 serta didukung

dengan keanekaragaman hayati terumbu karang yang mencapai sekitar 600 spesies.

Potensi ini menjadikan Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki potensi

pengembangan wisata bahari yang cukup besar di dunia (Dahuri, 2003).

Ekowisata pada saat sekarang ini menjadi aktivitas ekonomi yang penting

yang memberikan kesempatan kepada wisatawan untuk mendapatkan pengalaman

mengenai alam dan budaya untuk dipelajari dan memahami betapa pentingnya

konservasi keanekaragaman hayati dan budaya lokal. Pada saat yang sama ekowisata

dapat memberikan generating income untuk kegiatan konservasi dan keuntungan

ekonomi pada masyarakat yang tingal di sekitar lokasi ekowisata (Wahyu, 2008).

7
Menurut Yoeti (2000) dinyatakan bahwa ekowisata dikatakan mempunyai

nilai penting bagi konservasi dikarenakan ada beberapa hal antara lain:

1. Memberikan nilai ekonomi bagi daerah yang mempunyai tujuan kegiatan

konservasi pada daerah yang dilindungi.

2. Memberikan nilai ekonomi yang dapat digunakan untuk program konservasi di

daerah yang dilindungi.

3. Menimbulkan penambahan pendapatan secara langsung dan tidak langsung

kepada masyarakat disekitar lokasi ekowisata.

4. Dapat mengembangkan konstituen yang mendukung konservasi baik tingkat

lokal, nasional dan internasional.

5. Mendorong pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan.

6. Mengurangi ancaman terhadap keanekaragaman hayati.

Wisata bahari dapat menjadi tulang punggung pengembangan ekonomi

kelautan Indonesia, dan pengembangan wisata bahari selayaknya dapat dijadikan

salah satu prioritas untuk dikembangkan disamping potensi ekonomi kelautan lainnya

seperti jasa maritim, industri pengolahan perikanan, ESDM dan lainnya. Selain

itu, Pemerintah menjadikan wisata bahari sebagai kekuatan utama sektor pariwisata

yang mampu menyumbangkan konstribusi yang signifikan terhadap perekonomian,

terbukti dengan pendapatan bagi Industri kepariwisataan termasuk didalamnya

wisata bahari terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) 2013 yang mencapai 11% dari

PDB nasional, terdiri dari PDB kepariwisataan 7% atau Rp642 triliun dan PDB

ekonomi kreatif 4% atau Rp337 triliun.

8
Menurut Media Sekretaris Negara bahwa devisa negara yang diterima dari

sektor pariwisata menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat dari tahun ke

tahun, pada periode 2004 – 2012 devisa yang diperoleh meningkat dari US$ 5,5

miliar menjadi US$ 9,1 miliar, bahkan mencapai 10 miliar dollar AS pada tahun

2013 atau naik hampir 100% dibanding 2004.

Hal ini haruslah menjadi perhatian bagi pemerintah karena wisata bahari

mampu memberikan efek berganda (multiplier effect) dalam menarik tenaga kerja

kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, mendatangkan devisa bagi negara, dan

dapat mendorong konservasi lingkungan. Upaya lainnya adalah dukungan promosi

yang gencar untuk mendatangkan lebih banyak investor untuk menanamkan

modalnya di sektor pariwisata, terutama investasi yang padat karya, sehingga dapat

mengatasi penyerapan tenaga kerja di daerah sekaligus meningkatkan aktivitas

ekonomi daerah. Tentu saja ini memerlukan pembenahan infrastruktur pariwisata dan

penunjangnya, seperti fasilitas di objek wisata, bandara, pelabuhan, jalan raya,

akomodasi, dan ketersediaan akses internet.

2.3. Ekowisata dan Ruang Lingkupnya

Ekowisata berbeda dengan wisata konvensional, ekowisata merupakan

kegiatan wisata yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian sumberdaya

pariwisata. Masyarakat ekowisata internasional dapat diartikan sebagai perjalanan

wisata alam yang bertanggungjawab dengan cara mengkonversikan lingkungan dan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selaras dengan pendapat tersebut, Wood

(2002) mendefinisikan bahwa ekowisata adalah kegiatan wisata bertanggung jawab

9
yang berbasis utama pada kegiatan wisata alam dengan mengikutsertakan sebagian

kegiatan wisata pedesaan dan wisata budaya.

Gunn (1993) mengemukakan empat aspek perencanaan yang perlu

diperhatikan untuk menghasilkan suatu program wisata yang berkelanjutan yaitu:

1. Mempertahankan kelestarian lingkungan.

2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

3. Menjamin kepuasan wisatawan.

4. Meningkatkan keterpaduan.

Fennel (1999) mendefinisikan ekowisata sebagai wisata berbasis alam yang

berkelanjutan dengan fokus pengalaman dan pendidikan tentang alam, dikelola

dengan sistem pengelolaan tertentu dan memberi dampak negatif paling rendah pada

lingkungan, tidak bersifat konsumtif dan berorientasi lokal.

2.4. Prinsip dan Kriteria Ekowisata

Para pelaku dan pakar di bidang ekowisata sepakat untuk menekankan bahwa

pola ekowisata sebaiknya meminimalkan dampak yang negatif terhadap lingkungan

dan budaya setempat dan mampu meningkatkan pendapatan ekonomi bagi

masyarakat setempat dan bernilai konservasi (Ditjen PDP, 2009). Beberapa aspek

kunci dalam ekowisata adalah:

1. Jumlah pengunjung terbatas atau diatur supaya sesuai dengan daya dukung

lingkungan dan sosial-budaya masyarakat.

2. Pola wisata ramah lingkungan (nilai konservasi).

3. Pola wisata ramah budaya dan adat setempat (nilai edukasi dan wisata).

10
4. Membantu secara langsung perekonomian masyarakat lokal (nilai ekonomi).

5. Modal awal yang diperlukan untuk infrastruktur tidak besar (nilai partisipasi

masyarakat dan ekonomi).

Adapun prinsip-prinsip tentang pengembangan ekowisata berbasis masyarakat

dan konservasi pada dasarnya memperhatikan sebagai berikut (Ditjen PDP, 2009):

1. Keberlanjutan ekowisata dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan (prinsip

konservasi dan partisipasi masyarakat). Adapun kriterianya sebagai berikut:

a. Prinsip daya dukung lingkungan diperhatikan dimana tingkat kunjungan dan

kegiatan wisatawan pada sebuah daerah tujuan ekowisata dikelola sesuai dengan

batas-batas yang dapat diterima baik dari segi alam maupun sosial-budaya.

b. Sedapat mungkin menggunakan teknologi ramah lingkungan (listrik tenaga surya,

mikrohidro, biogas, dan lainnya).

c. Mendorong terbentuknya ecotourism conservancies atau kawasan ekowisata

sebagai kawasan dengan peruntukan khusus yang pengelolaannya diberikan

kepada organisasi masyarakat yang berkompeten.

2. Pengembangan institusi masyarakat lokal dan kemitraan (prinsip partisipasi

masyarakat). Adapun kriterianya sebagai berikut:

a. Dibangun kemitraan antara masyarakat dengan Tour Operator untuk memasarkan

dan mempromosikan produk ekowisata; dan antara lembaga masyarakat dan

Dinas Pariwisata dan UPT.

b. Adanya pembagian adil dalam pendapatan dari jasa ekowisata di masyarakat.

11
c. Organisasi masyarakat membuat panduan untuk turis. Selama turis berada di

wilayah masyarakat, turis/tamu mengacu pada etika yang tertulis di dalam

panduan tersebut.

d. Ekowisata memperjuangkan prinsip perlunya usaha melindungi pengetahuan serta

hak atas karya intelektual masyarakat lokal, termasuk: foto, kesenian,

pengetahuan tradisional, musik, dan lainnya.

3. Ekonomi berbasis masyarakat (Prinsip partisipasi masyarakat) memiliki kriteria

sebagai berikut:

a. Ekowisata mendorong adanya regulasi yang mengatur standar kelayakan

homestay sesuai dengan kondisi lokasi wisata.

b. Ekowisata mendorong adanya prosedur sertifikasi pemandu sesuai dengan kondisi

lokasi wisata ekowisata.

c. Ekowisata mendorong ketersediaan homestay.

d. Ekowisata dan tour operator turut mendorong peningkatan pengetahuan dan

keterampilan serta perilaku bagi para pelaku ekowisata terutama masyarakat.

4. Prinsip Edukasi memiliki kriteria sebagai berikut:

a. Kegiatan ekowisata mendorong masyarakat mendukung dan mengembangkan

upaya konservasi.

b. Kegiatan ekowisata selalu beriringan dengan aktivitas meningkatkan kesadaran

masyarakat dan mengubah perilaku masyarakat tentang perlunya upaya

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

c. Edukasi tentang budaya setempat dan konservasi untuk para turis/tamu menjadi

bagian dari paket ekowisata.

12
d. Mengembangkan skema di mana tamu secara sukarela terlibat dalam kegiatan

konservasi dan pengelolaan kawasan ekowisata selama kunjungannya.

5. Pengembangan dan penerapan rencana tapak dan kerangka kerja pengelolaan

lokasi ekowisata (prinsip konservasi dan wisata). Adapun kriterianya adalah

sebagai berikut:

a. Kegiatan ekowisata telah memperhitungkan tingkat pemanfaatan ruang dan

kualitas daya dukung lingkungan kawasan tujuan melalui pelaksanaan sistem

zonasi dan pengaturan waktu kunjungan.

b. Fasilitas pendukung yang dibangun tidak merusak atau didirikan pada ekosistem

yang sangat unik dan rentan.

c. Rancangan fasilitas umum sedapat mungkin sesuai tradisi lokal dan masyarakat

lokal terlibat dalam proses perencanaan dan pembangunan.

d. Ada sistem pengolahan sampah di sekitar fasilitas umum.

e. Kegiatan ekowisata medukung program reboisasi untuk menyimbangi

penggunaan kayu bakar untuk dapur dan rumah.

f. Mengembangkan paket-paket wisata yang mengedepankan budaya, seni dan

tradisi lokal.

g. Kegiatan sehari-hari termasuk panen, menanam, mencari ikan/melauk, berburu

dapat dimasukkan ke dalam atraksi lokal untuk memperkenalkan wisatawan pada

cara hidup masyarakat dan mengajak mereka menghargai pengetahuan dan

kearifan lokal.

Ekowisata memiliki tiga kriteria, yaitu memberi nilai konservasi yang dapat

dihitung, melibatkan masyarakat, menguntungkan dan dapat memelihara dirinya

13
sendiri. Ketiga kriteria tersebut dapat dipenuhi bilamana setiap kegiatan ekowisata

memadukan empat komponen, yaitu ekosistem, masyarakat, budaya dan ekonomi

(Tuwo, 2011).

2.5. Kebijakan dan Pengembangan Ekowisata

Ekowisata memerlukan fungsi pengendalian dan monitoring agar senantiasa

terpelihara kualitas aliran manfaat. Manfaat ekowisata dalam wujud konservasi

air dan habitat berguna untuk irigasi sektor pertanian, pemijahan sektor perikanan dan

usaha-usaha jasa lain. Perencanaan teknis menjadi daya tarik dan motivasi

pengelolaan dan pengembangan ekowisata. Atas dasar hubungan kelembagaan

tersebut, fungsi koordinasi menjadi penting. Landasan koordinasi yaitu Instruksi

Presiden Nomor 16 Tahun 2005 tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan

Pariwisata, yang menginstruksikan Menteri dan badan-badan pemerintah terkait serta

semua Gubernur dan Bupati/Walikota untuk mendukung dan berkoordinasi erat

bagi percepatan pembangunan pariwisata Indonesia.

Peran Kemenbudpar dalam kebijakan pengembangan ekowisata

menitikberatkan dalam aspek layanan, substansi dan promosi/pengembangan

kebudayaan. Standar mutu manajemen menjadi unsur penting untuk dipromosikan.

Tanpa mengurangi prinsip-prinsip kesederhanaan, hemat energi, konservasi atau

kemudahan pengendalian, aspek-aspek umum mutu manajemen perlu dipenuhi,

misalnya kebersihan, kecepatan layanan, teknologi informasi dan keamanan (Yurisal,

2013).

14
Adanya pengembangan wisata disuatu tempat akan memberikan berbagai

keuntungan baik bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Mackinnon et al (1990)

menyatakan bahwa pengembangan pariwisata di dalam dan disekitar kawasan yang

dilindungi merupakan salah satu cara terbaik untuk mendatangkan keuntungan

ekonomi kawasan terpencil, dengan cara menyediakan kesempatan kerja masyarakat

setempat, merangsang pasar setempat, memperbaiki sarana angkutan, dan

komunikasi.

2.6. Upaya Pengembangan

Pada hakekatnya pengembangan wisata bahari merupakan respon dari

perkembangan deman wisatawan pada skala dunia. Hal ini disebabkan karena adanya

pertumbuhan populasi dunia yang relatif cukup tinggi serta meningkatnya pendapatan

masyarakat dunia, sehingga berpengaruh terhadap adanya peningkatan jumlah

wisatawan international yang cukup besar. Disamping itu terjadi pula peningkatan

minat para wisatawan yang mengarah kepada “bahari”.

Saat ini kegiatan wisata bahari di Indonesia belum menggembirakan, dimana

jumlah kapal pesiar yang berlabuh di kawasan Asean masih didominasi oleh

Singapura (58,7%); Malaysia (16,3%); Thailand (16,1%); dan negara Asean lainnya

(7,5%). Indonesia hanya mampu menyerap sekitar 1,4%, padahal dengan keindahan

alam dan pulau-pulau kecil yang dimiliki oleh Indonesia.

Menurut beberapa ahli ada empat masalah utama yang kurang mendukung

pengembangan wisata bahari di Indonesia, yakni:

a. Belum adanya perencanaan terpadu antar berbagai sektor;

15
b. Belum tersedianya infrastruktur pelabuhan khusus untuk kapal pesiar;

c. Belum adanya tour operator yang khusus menangani wisata kapal pesiar,

d. Kurangnya promosi obyek wisata bahari, dan Prosedur birokrasi yang panjang

untuk mendapatkan “Cruising Approval for Indonesian Territory (CAIT) atau

izin menjelajah di wilayah Indonesia (political clearance/izin politik; security

clearance/izin keamanan; and sailing permit/izin berlayar).

Padahal di sisi lain, ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan

mengembangkan wisata bahari di Indonesia, dapat mendatangkan wisatawan dalam

jumlah besar, yang berarti mendatangkan devisa bagi negara. Selain itu juga dapat

mempromosikan Indonesia dengan memanfaatkan potensi wisata bahari. Membuka

akses ke objek-objek wisata dan dapat mengembangkan potensi ekonomi pulau-pulau

kecil. Khusus, terhadap aspek ekonomi akan dapat meningkatkan ekonomi lokal dan

nasional, terjadinya peningkatan kesempatan kerja; mempercepat pertumbuhan

kawasan di Indonesia. Karena memiliki potensi wisata bahari yang sangat besar; dan

pada umumnya tidak membutuhkan infrastruktur pendukung yang kompleks.

2.7. Langkah dan Kebijakan

Di masa lalu memang perkembangan kepariwisataan di suatu ruang kawasan

tertentu memang sering tanpa kiprah perencanaan. Perubahan lingkungan

hidup/sumber daya alam sebagai akibat dari suatu perkembangan kepariwisataan dan

merupakan dampak baik terhadap lingkungan hidup biogeofisik dan sumber daya

alam, maupun lingkungan hidup sosial ekonomi dan budaya penduduk setempat

memang tidak pernah secara metodologis dipertimbangkan sebagai bagian dari proses

16
perencanaan yang tak bisa terpisahkan. Apalagi menjadi bagian yang menyatu dengan

upaya pengelolaan kepariwisataan.

Apabila hal ini terus berlangsung dalam kecenderungan pariwisata pantai dan

laut yang makin cenderung menuju pairwisata-masal, dampak biogeofisik dan sosial

ekonomi dan budaya secara negatif dari kegiatan wisata pantai dan laut akan tak bisa

terhindarkan lagi. Yang patut diperhitungkan pula adalah kenyataan bahwa wisnus

bukan hanya bisa berkunjung secara masal, namun juga datang berbondong secara

bermusim saja. Biasanya wisnus datang berbondong-bondong secara masal hanya

dalam suatu musim (libur) yang relatif pendek sehingga upaya untuk mengatasi

peningkatan pelayanan dan pengelolaan wisata itu tak terhindarkan dan amat

melonjak dan serentak.

Namun kemudian semua upaya itu mereda secara mendadak pula untuk

keperluan pemenuhan gejala masal berjangka pendek. Sambil para wisatawan-masal

yang datang dan pergi secara singkat ini meninggalkan tapak dan jejak yang

mengotori, mencemarkan, merusak DTW karena kedatangannya yang berbondong

itu.

Karena itu, kewaspadaan terhadap dampak lingkungan dalam upaya

menghadapi pengembangan wisata pantai dan laut (Marine Ecotourism) untuk

menerima kunjungan wisatawan-masal menjadi sangat penting guna memelihara

keberlanjutan kualitas lingkungan hidup/sumber daya alam wisata tropika khususnya,

dan menjamin pembangunan (ekonomi) berkelanjutan umumnya.

Dari uraian tersebut di atas kewaspadaan terhadap dampak lingkungan dari

pengembangan wisata bahari tampak tidak hanya memerlukan pandangan tentang

17
perlunya proses perencanaan dan perancangan diperkenalkan dan digalakkan,

melainkan juga memerlukan cara pandang dan langkah-langkah strategis. Cara

pandang ini harus mampu mengantisipasi perkembangan wisata bahari ini sebagai

potensi nasional dan global yang bisa menerobos masalah lintas-sektor dan lintas-

budaya (bangsa) dalam perjalanan ruang dan waktu. Inilah tantangan berat yang akan

dihadapi Indonesia. Terlebih-lebih penghayatan terhadap pentingnya penataan ruang

kebaharian dimulai dari titik nadir yang masih memprihatinkan. Di ruang kawasan

daratan yang sudah berkembang pun makna tata ruang kawasan, kesulitan

memandang pariwisata sebagai kiprah lintas sektor belum bisa benar-benar

berlangsung secara optimal.

Strategi pengembangan Wisata Bahari Indonesia patut dipandang dari tiga

segi dasar pemikiran dan kenyataan yang kini berlangsung:

a. Tidak ada orang yang berani menyangkal bahwa potensi Wisata Bahari Indonesia

itu besar dan beraneka. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa Indonesia

memang berwujud Negara Kepulauan itu.

b. Namun juga tidak ada orang yang berani mengatakan betapa besar dan betapa

beranekanya kekayaan alam bahri ini bisa diangkat melalui pengembangan

Wisata Bahari Indonesia itu secara nyata dan kongkrit ? Hal ini berarti bahwa

penelitian dasar tentang kekayaan hayati dan nir-hayati bahari nusantara masih

pada tingkat minimum.

c. Inilah yang patut diperhatikan secara serius. Pada saat Bangsa Indonesia boleh

berbesar hati karena dianugerahi potensi Wisata Bahari Indoensia yang

berlimpah, hanya memang belum sempat mengkongkritkan limpahan potensi itu

18
guna mampu menarik manfaatnya yang nyata bagi bangsa dan negara. Pada saat

yang sama, kenyataan pahit membuktikan pula bahwa pencemaran dan perusakan

lingkungan dan pemborosan sumber daya alam bahari sudah dan sedang

berlangsung dalam proporsi yang telah memprihatinkan. Bahkan kenyataan ini

sudah menarik perhatian dunia secara regional dan global.

Karena itu, strategi pengembangan Wisata Bahari Indonesia harus memuat,

yakni:

a. Proses persiapan, perencanaan dan perancangan Wisata Bahari Indonesia yang

sesuai dengan arahan Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan

seperti ditetapkan dalam Tap MPR No. II/1993.

b. Dengan demikian, pengembangan Wisata Bahari Indonesia akan sudah

mengantisipasi secara terpadu kemungkinan terjadinya dampak lingkungan

hidup/sumber daya alam sejak dini, yang digarap sejak tahap pra-rencana,

sehingga upaya untuk mencegah dan mengurangi serta mengendalikan dampak

lingkungan hidup/sumber daya alam sebagai bagian dari pengembangan Wisata

Bahari Indonesia yang tak terpisahkan dapat dilaksanakan.

c. Studi pra-rencana untuk mendukung Wisata Bahari Indonesia dalam PBBL

(Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan) tersebut, sekaligus

akan memberikan data dasar dan masukan yang berharga atas potensi Wisata

Bahari Indonesia itu sendiri khususnya, dan menambah hanya pengetahuan alam

bahari Nusantara pada umumnya yang memang masih sangat kurang.

d. Pengembangan Wisata Bahri Indonesia lebih diarahkan dan dipacu guna menuju

upaya pengembangan Ekowisata/Wisata Ramah Lingkungan yang justru berpola

19
pada upaya pemanfaatan optimal yang sekaligus menyelamatkan lingkungan daya

alam bahari. Pengembangan Wisata Bahari Indonesia tidak ditujukan untuk

menambah parah pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dan pemborosan

sumber daya alam bahari.

e. Dalam rangka pengendalian dampak sosial ekonomi dan budaya, pengembangan

Wisata Bahari Indonesia harus ditujukan pada upaya meningkatkan pemerataan

kesempatan, pendapatan, peran serta dan tanggung jawab masyarakat setempat

yang terpadu dengan upaya pemerintah (Daerah) dan dunia usaha yang relevan,

dalam mengembangkan Wisata Bahari Indonesia maupun dalam pengelolaan

lingkungan hidup/sumber daya alam baharinya.

2.8. Contoh Tempat Wisata Bahari

2.8.1. Kepulauan Seribu, DKI Jakarta

Wisata bahari yang sangat ideal untuk di kepulauan Seribu adalah selancar,

cruise regional, memancing, dan olahraga bahari. Untuk itu program pengembangan

di kawasan ini antara lain perencanaan tata ruang yang sangat jelas antara arean

konservasi dan pengembangan yang disertai taman nasional. Serta pengembangan

untuk fasilitas air adalah marina, yacht, kapal phinisi dan sea plane untuk kegiatan

olah raga air.

Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) adalah kawasan pelestarian alam

bahari di Indonesia yang terletak kurang lebih 45 km sebelah utara Jakarta. Secara

administratif kawasan TNKpS terletak di Pulau Pramuka yang mulai difungsikan

20
sebagai pusat pemerintahan kabupaten sejak tahun 2003. Terdapat dua Kecamatan di

Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yakni:

a. Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan membawahi tiga kelurahan yaitu

Kelurahan Pulau Tidung, Kelurahan Pulau Pari dan Kelurahan Pulau Untung

Jawa.

b. Kecamatan Kepulauan Seribu Utara membawahi tiga kelurahan yaitu

Kelurahan Pulau Kelapa, Kelurahan Pulau Harapan dan Kelurahan Pulau

Panggang.

Kepulauan Seribu terdiri dari 342 pulau, termasuk pulau-pulau pasir dan

terumbu karang yang bervegetasi maupun yang tidak. Pulau pasir dan terumbu karang

itu sendiri berjumlah 158. Tidak semua pulau yang termasuk di dalam gugusan

Kepulauan Seribu didiami manusia. Sebagaimana banyak pulau-pulau lainnya di

Indonesia, sebagian besar pulau di Kepulauan Seribu tidak berpenghuni. Gugusan

Kepulauan Seribu memiliki potensi yang tidak kecil untuk pengembangan berbagai

macam industri, antara lain pertambangan, perikanan serta yang paling utama ialah

pariwisata.

Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu mempunyai jumlah penduduk

sebanyak lebih kurang 20.000 jiwa yang tersebar di sebelas pulau-pulau kecil

berpenghuni. Kesebelas pulau tersebut di antaranya Pulau Untung Jawa, Pulau Pari,

Pulau Lancang, Pulau Tidung Besar, Pulau Tidung Kecil, Pulau Pramuka, Pulau

Panggang, Pulau Harapan, Pulau Kelapa, dan Pulau Sebira. Selain pulau-pulau

berpenghuni, terdapat pula beberapa pulau yang dijadikan sebagai pulau wisata,

21
seperti Pulau Bidadari, Pulau Onrust, Pulau Kotok Besar, Pulau Puteri, Pulau

Matahari, Pulau Sepa, dan sebagainya.

Di wilayah kabupaten ini terdapat pula sebuah zona konservasi berupa taman

nasional laut bernama Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKS). Sebagai

daerah yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan di dalamnya juga

terdapat zona konservasi, maka tidaklah mengherankan bilamana pengembangan

wilayah kabupaten ini lebih ditekankan pada pengembangan budidaya laut dan

pariwisata. Dua sektor ini diharapkan menjadi prime-mover pembangunan

masyarakat dan wilayah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu.

2.8.2. Raja Ampat, Papua Barat

Kabupaten Raja Ampat merupakan kabupaten yang masih terbilang baru,

hasil pemekaran dari Kabupaten Sorong, resmi menjadi daerah otonom pada

tanggal 12 April 2013. Ibukotanya berada di Waisai, yang terletak di Pulau

Waigeo. Kabupaten kepulauan ini merupakan bagian dari bentangan laut daerah

kepala burung (bird head sea scape) yang termasuk pula kawasan Teluk

Cenderawasih, yaitu taman nasional laut terbesar di Indonesia. Batasan geografis

Raja Ampat yakni sebelah utara dengan Samudera Pasifik; sebelah selatan dengan

Laut Banda Provinsi Maluku; sebelah barat dengan Laut Seram Provinsi Maluku;

dan sebelah Timur dengan daratan Papua Barat, (Prayudha dkk, 2009).

Kabupaten Raja Ampat terdiri atas 4 Pulau Besar yaitu Waigeo, Batanta,

Salawati dan Misool, dan 1800 Pulau-Pulau Kecil. Luas wilayahnya 46,108 km2

(87 % – laut), dengan jumlah populasi sekitar 60.000 penduduk. Laut sekitar

22
Kepulauan Raja Ampat memiliki keragaman spesies laut terkaya di dunia. Hasil

Survey Marine RAP oleh CI tahun 2001 dan Survey Marine REA oleh TNC tahun

2002 menunjukan biodiversity yang tinggi dimana Raja Ampat memiliki sekitar

600 jenis karang termasuk 75% dari semua spesies karang yang dikenal. Memiliki

1427 jenis ikan karang, dan 700 spesies moluska serta jumlah tertinggi untuk

spesies udang kipas/barong. Memiliki ikan endemik 15 jenis, paus dan Lumba-

lumba 15 jenis, ikan duyung 1 jenis, penyu 5 jenis, berbagai jenis Pari (Manta) dan

berbagai jenis Hiu unik seperti Wobbegong dan Kalabia (Hiu berjalan), serta

berbagai jenis kuda laut, (Disbudpar, 2014).

Menapaki kawasan Kabupaten Raja Ampat, merupakan anugerah tersendiri

yang layak dibayar harganya oleh siapapun yang menyukai keindahan panorama

wisata bahari. Raja Ampat memang menjadi primadona wisata bahari dunia saat

ini. Mengunjungi lokasi wisata terbaik dunia belum lengkap tanpa melihat

keindahan Raja Ampat. Raja Ampat juga merupakan tempat peneluran penyu yang

besar, juga merupakan tempat hidup biota-biota besar seperti dugong, manta dan

hiu. Perairan Raja Ampat adalah tempat perlintasan 16 jenis paus dan lumba-

lumba. Terdapat mangrove dengan area yang luas pada pesisir Raja Ampat.

Selain wisata bahari, budidaya mutiara juga menjadi andalan kabupaten Raja

Ampat. Di salah satu kawasan Konservasi Perairan Daerah Misool, dengan luas:

343.200 Ha yang saat ini dikelola oleh Kabupaten Raja Ampat, diharapkan dapat

mendukung keberlanjutan sumberdaya ikan dan dimanfaatkan untuk tujuan wisata

bahari. Di perairan ini juga terdapat aktivitas budidaya mutiara nan canggih yang

telah memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat kampung di sekitar

23
kawasan konservasi. Selain wisata bahari juga terdapat wisata darat di Raja Ampat.

Terdapat Wisata Burung (watching bird) dengan berbagai jenis burung endemik

yang menawan seperti Cenderawasih Merah, Cenderawasih Wilson, Kakatua, Nuri,

Maleo, dan Kasuari, (Disbudpar, 2014).

Di Kabupaten Raja Ampat juga terdapat destinasi wisata sejarah dan budaya.

Raja Ampat memiliki banyak kekayaan sejarah dan budaya di antaranya wisata

sejarah peninggalan perang Dunia II, gambar tangan pada relief gua-gua jaman

purba. Terdapat pula manusia perahu (Kajang). Budaya sasi juga dikenal sebagai

kearifan lokal dalam mengelola alam wilayah Raja Ampat dan dijadikan sebagai

salah satu objek wisata budaya. Selain itu juga terdapat berbagai jenis tari dan lagu

daerah. Potensi budaya dan sejarah ini menjadi pelengkap khasanah wisata di Raja

Ampat dan menjadi satu kesatuan cerita menarik dan tak terlupakan yang akan

dibawa pulang oleh para pengunjung yang datang ke Raja Ampat. Situs sejarah dan

wisata budaya itu juga mengundang pengunjung bukan hanya peminat wisata

bahari tetapi juga para budayawan dan antropolog. Selain itu juga terdapat wisata

hutan berupa jelajah hutan, berkemah, pengamatan flora fauna (cenderawasih

merah, kuskus, cenderawasih wilson, maleo, kakatua, nuri, dan beragam anggrek,

(Disbudpar, 2014).

Model Perencanaan memperlihatkan umpan balik dari pengalaman kepada

teori, fakta-fakta, tujuan-tujuan dan kontrol yang membawa apa yang kita pelajari

dari pengalaman kepada model, kebijakan dan rencana (Ricardson, 2001).

Pariwisata bahari yang mengandalkan sumberdaya bahari sebagai daya tarik wisata

sudah seharusnya berbasis konservasi. Konservasi yang berarti pemanfaatan yang

24
bertanggungjawab sekaligus perlindungan untuk keberlanjutan sumberdaya.

Konservasi sering dikonotasikan dengan perlindungan, cenderung mengarahkan

pengelolaan agar sumberdaya terus bisa memberi manfaat kepada manusia dari

waktu ke waktu. Konservasi mulai dikenal masyarakat saat ini dengan bagian yang

familiarnya yakni sistem zonasi atau pembagian ruang pengelolaan, yang di

antaranya berisi zona inti atau no take zone, zona pemanfaatan dan sebagainya.

Termasuk dalam bagian konservasi adalah pengelolaan dengan menggunakan alat

yang ramah lingkungan atau tidak merusak. Progress yang terus didorong oleh

konservasi adalah bagaimana menemukan formulasi baru pengelolaan yang terus

meminimalkan dampak negatif dari upaya pemanfaatan. Sehingga jika konservasi

menjadi basis pengelolaan wisata bahari, maka besar harapan sumberdaya wisata

baik alam maupun sosial dan budaya akan berkelanjutan sehingga ekonomi

masyarakat setempat pun akan berkelanjutan.

Ciri pengelolaan pariwisata bahari berbasis konservasi juga terlihat pada

metode penangkapan ikan yang dilakukan masyarakat dalam rangka memenuhi

kebutuhan konsumsi ikan para pengunjung. Penangkapan ikan dengan

menggunakan pancing lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan penggunaan

jaring apalagi dengan jaring bermata kecil. Demikian pula halnya dengan upaya

melepaskan biota nontarget (bycatch) yang tertangkap pada alat tangkap nelayan

seperti penyu, lumba dan spesies lain yang bukan merupakan target tangkapan.

Nelayan berusaha menurunkan tingkat tangkapan ikan-ikan kecil yang nantinya

terbuang (discards) juga merupakan upaya konservasi sumberdaya. Nelayan tidak

membuang alat tangkap yang rusak ke perairan karena akan menjadi ghost fishing

25
(alat tangkap hantu) juga adalah kapasitas konservasi yang harus diterapkan

nelayan.

Ciri pengelolaan pariwisata bahari berbasis konservasi di pesisir juga

ditunjukkan dengan pencehagan penebangan mangrove untuk berbagai alasan,

bahkan sebaliknya menanam anakan mangrove untuk penghijauan dan penguatan

struktur pantai. Selain itu menghidupkan kearifan lokal berupa sasi juga menjadi

bagian pengelolaan berbasis konservasi. Pada tahap tertentu di beberapa daerah,

mangrove dan kearifan lokal manjadi salah satu aset atau spot wisata yang

dijadikan destinasi oleh pengunjung. Pemasangan papan informasi tentang

pelestarian lingkungan jga menjadi bagian penting upaya konservasi, termasuk di

antaranya penyediaan tempat sampah dan larangan membuang sampah

sembarangan.

Berbagai konsep konservasi tersebut telah diterapkan di Raja Ampat dalam

pengelolaan wisata bahari yang telah terkenal di dunia. Penerapan konsep tersebut

juga dalam rangka mengantisipasi dampak akibat banyaknya pengunjung yang

menyebabkan besarnya tekanan terhadap sumberdaya yang ada di sana. Seiring

dengan itu masyarakat Raja Ampat juga terus teredukasi dengan konsep pelestarian

sumberdaya tersebut sehingga dalam waktu yang lama konservasi benar-benar

tertanam di dalam benak masyarakat dari generasi ke generasi. Evaluasi konsep

pengelolaan juga terus dilakukan oleh pengelola, agar senantiasa selaras dengan

arah pengelolaan pembangunan ekonomi di Kabupaten Raja Ampat yang ditujukan

untuk mencapai 3 tujuan utama yani kesejahteraan masyarakat (menjamin

26
ketahanan pangan) mendukung pembangunan berkelanjutan melalui

pengembangan wisata bahari dan perlindungan biodiversity (Disbudpar, 2014).

Keindahan Raja Ampat tentu tidak hanya untuk dinikmati saat ini saja, tetapi

juga harus dipikirkan bagaimana keberlanjutannya bagi generasi mendatang.

“Potensi kawasan konservasi Raja Ampat tersebut masih sangat besar. Oleh sebab

itu untuk menjaganya, diperlukan langkah-langkah strategis yang mampu

mengawinkan antara pariwisata, keberlanjutan dan pertumbuhan ekonomi,” kata

Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif C. Sutardjo, pada saat kunjungan kerja di

kawasan konservasi Raja Ampat, Papua. (Sabtu 26/04). Sharif menegaskan, konsep

tersebut sudah diterapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui

program Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP), yang

sudah masuk tahap III atau COREMAP III dimulai pada tahun 2013 dan berakhir

pada 2017. Pada tahap II, Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang

pada kurun waktu tahun 2003 hingga 2011, salah satu lokasinya di Kabupaten Raja

Ampat. Melalui program ini, aktivitas pengelolaan kawasan konservasi perairan

dilakukan secara kolaboratif berbasis masyarakat, berbagai mata pencaharian

alternatif dikembangkan, monitoring kondisi kesehatan ekosistem terumbu karang

dilakukan secara berkala, serta meningkatkan kesadaran masyarakat dalam

memanfaatkan sumberdaya secara lestari dan berkelanjutan, (LittleKomhukum,

2013).

Wujud nyata program Coremap banyak dinikmati masyarakat. Dimana

kabupaten Raja Ampat meliputi 39 kampung. Di setiap kampung tersebut memiliki

suatu Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) dengan Rencana

27
Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK). LPSTK ini mengelola dana Village Grant

untuk pembangunan fisik di kampung, yang besarannya berkisar Rp. 50 juta-Rp

100 juta. Disamping itu terdapat Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang

mengelola dana Seed Fund (dana bergulir) di setiap kampung, yang besarannya

berkisar Rp. 50 juta – Rp. 100 juta. Dana ini dimanfaatkan masyarakat untuk

menunjang mata pencaharian alternatif masyarakat (Little Komhukum, 2013).

Selain itu, terdapat beberapa Kelompok Masyarakat (pokmas) di setiap

kampung, antara lain Pokmas Konservasi dan Pengawas, Pokmas Usaha dan

Produksi dan Pokmas Pemberdayaan Masyarakat. Saat ini, di 39 kampung lokasi

COREMAP II Raja Ampat terdapat 137 kelompok masyarakat. Di setiap kampung

lokasi COREMAP II didirikan Pondok informasi yang dimanfaatkan sebagai pusat

informasi dan kegiatan-kegiatan masyarakat. Di Sekolah-sekolah diajarkan Muatan

Lokal Pesisir dan Lautan. Masyarakat diberikan pelatihan-pelatihan dalam rangka

peningkatan kapasitas SDM, antara lain pelatihan tentang perikanan berkelanjutan,

selam dan monitoring kesehatan terumbu karang, sistem pengawasan berbasis

masyarakat dan teknik pengambilan data potensi perikanan dan tempat pendaratan

ikan.

Dalam rangka mendukung pengelolaan pesisir dan laut khususnya terumbu

karang di Raja Ampat telah ditetapkan Rencana Strategis Terumbu Karang dan

Peraturan Daerah Terumbu Karang No. 19 Tahun 2010. Peran masyarakat pada

program Coremap sangat besar. Bahkan, di setiap kampung lokasi COREMAP II

Raja Ampat ditetapkan Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang dikukuhkan dengan

Peraturan Kampung. Penetapan ini dilakukan masyarakat kampung setempat untuk

28
memberikan perlindungan terhadap kawasan terumbu karang dari kegiatan

penangkapan ikan dan aktifitas manusia lainnya yang bisa merusak kawasan

konservasi. Apalagi, kawasan terumbu karang yang kaya nutrisi menyediakan

tempat hidup dan makanan bagi ikan untuk hidup, makan, tumbuh dan berkembang

biak, (Little Komhukum, 2013).

Saat ini DPL di lokasi COREMAP II Raja Ampat mencakup luasan berkisar

2.179,9 Ha. Kondisi Terumbu Karang di DPL mengalami peningkatan 30% dalam

kurun waktu 4 tahun. Selain DPL, pemerintah bersama masyarakat dan lembaga

internasional lainnya menetapkan beberapa kawasan konservasi di Kabupaten Raja

Ampat. Di antaranya, Suaka Alam Perairan (SAP) Raja Ampat, luas 60.000 ha dan

SAP Waigeo sebelah Barat, luas 271.630 Ha. Kementerian Kelautan dan Perikanan

juga membentuk Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kepulauan Ayau

Asia, luas 101.400 Ha, KKPD Teluk Mayalibit luas 53.100 Ha, KKPD Selat

Dampier luas 303.200 Ha, KKPD Kepulauan Kofiau dan Boo luas 170.000 Ha

serta KKPD Misool seluas 343.200 Ha, (Disbudpar, 2014).

Pola ini merupakan bukti bahwa konservasi tidak hanya perlindungan semata,

namun upaya pemanfaatannya dapat menyejahterakan masyarakat. Kawasan

konservasi yang dikelola pusat tidak kalah menarik yaitu SAP Waigeo Sebelah

Barat. Kawasan ini merupakan konservasi perairan seluas 271.630 Ha yang

ditetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan melalui nomor Kep.65/MEN/2009

pada tanggal 3 September 2009. Kawasan konservasi ini merupakan kawasan yang

sebelumnya dikelola Kementerian Kehutanan dan kemudian diserahterimakan

pengelolaannya ke KKP. Waigeo Sebelah Barat merupakan ikon Raja Ampat yang

29
telah dikenal dunia. Demikian pula kemilau mutiaranya memancar indah dan selalu

menjadikan kenangan yang tak terlupakan sebagai penghias keindahan dunia,

(Little Komhukum, 2013).

Pengelolaan budidaya ikan dengan konsep keramba jaring apung yang ramah

lingkungan yang mulai banyak dilakukan di perairan Raja Ampat diharapkan dapat

mendukung keberlanjutan sumberdaya ikan dan dimanfaatkan untuk tujuan wisata

bahari. Dengan kemampuan membudidayakan ikan pada keramba jaring apung

maka akan mereduksi banyaknya kegiatan penangkapan ikan dengan pengeboman,

dan akan meningkatkan stok ikan serta memenuhi kebutuhan konsumsi ikan para

pengunjung.

Pariwisata bahari berbasis konservasi untuk pertumbuhan ekonomi perlu

didukung dengan keterpaduan peran berbagai pihak, yakni pemerintah pusat,

pemerintah daerah, LSM lokal maupun internasional, tokoh masyarakat,

masyarakat adat serta para pengusaha/investor. Mereka akan bekerjasama sekaligus

meningkatkan komitmen untuk melindungi dan melestarikan sumberdaya yang ada,

untuk dikelola secara lestari dan dimanfaatkan secara bertanggungjawab untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Seperti halnya di daerah lain, pembangunan wilayah pesisir dan laut di Raja

Ampat juga menghendaki adanya kerjasama dari para pihak atau stakeholders

pembangunan di kawasan pesisir dan laut, yaitu pemerintah pusat dan daerah,

masyarakat pesisir, pengusaha dan lembaga swadaya masyarakat. Para pihak yang

memiliki kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan pesisir

dan laut harus menyusun perencanaan pengelolaan terpadu yang dapat

30
mengakomodir segenap kepentingan mereka dengan menggunakan model

pendekatan dua arah yaitu pendekatan top down dan bottom up. Pembangunan

wilayah pesisir juga menghendaki adanya keterpaduan pendekatan sebab

pengelolaan wilayah pesisir dan laut memiliki keunikan wilayah dan beragamnya

sumberdaya yang mengisyaratkan pentingnya pengelolaan wilayah tersebut secara

terpadu.

Lima alasan yang mendasari pentingnya pengelolaan secara terpadu (Tuwo,

2011) yaitu: Satu, secara empiris, terdapat keterkaitan ekologis baik antar

ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan peisisir dengan lahan

atas dan laut lepas. Dengan demikian perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem

pesisir, misalnya hutan mangrove, cepat atau lambat akan mempengaruhi

ekosistem lainnya. Demikian pula halnya jika pengelolaan kegiatan pembangunan

misalnya industri, pertanian, dan pemukiman, di lahan atas suatu daerah aliran

sungai tidak dilakukan secara arif atau berwawasan lingkungan, maka dampak

negatifnya akan merusak tanaman dan fungsi ekologis kawasan pesisir. Dua, dalam

satu kawasan pesisir biasanya terdapat lebih dari satu jenis sumberdaya alamiah,

sumberdaya buatan dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk

kepentingan pembangunan. Tiga, dalam suatu kawasan pesisir biasanya terdapat

lebih dari suatu kelompok masyarakat yang memiliki kepeterampilan atau keahlian

dan kesenangan bekerja yang berbeda seperti petani sawah, nelayan, petani tambak,

petani rumput laut, pendamping pariwisata, industri dan kerajinan rumah tangga

dan sebagainya. Empat, baik secara ekologis maupun secara ekonomis,

pemanfaatan suatu kawasan pesisir secara monokultur atau single use sangat rentan

31
terhadap perubahan internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan

usaha. Lima, kawasan pesisir merupakan sumberdaya milik bersama yang dapat

digunakan oleh siapa saja dimana setiap pengguna sumberdaya pesisir biasanya

berprinsip memaksimalkan keuntungan. Hal ini menyebabkan kawasan pesisir

rawan terkena masalah pencemaran, over-eksploitasi sumberdaya alam dan konflik

pemanfaatan ruang.

Contoh keterpaduan tersebut adalah tindaklanjut dan dukungan upaya

pengelolaan kawasan konservasi perairan secara efektif melalui pemanfaatan

wisata bahari yang berkelanjutan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi

Kreatif. Sebagai daerah dengan potensi wisata bahari yang besar, maka pemerintah

daerah Raja Ampat menempatkan pengembangan pariwisata menjadi prioritas

pembangunan dan akan menopang sektor lain. Sehingga penataan ruang untuk

pengembangan juga mengacu pada kriteria-kriteria wisata. Disbudpar (2014),

menyatakan bahwa prioritas kegiatan wisata di Raja Ampat adalah Wisata Bahari

(diving, kayaking, lifeaboard, snorkeling, sport fishing) dan Wisata Darat (jelajah

hutan, bird watching, landscape, situs budaya, seni, kampung wisata).

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Raja Ampat (2014)

menyebutkan bahwa berdasarkan kekayaan keanekaragaman hayati laut, ada 4

kawasan potensial untuk pengembangan wisata bahari di Raja Ampat yaitu:

Kawasan Kepulauan Wayag Dsk; Kawasan Pulau Gam, Kri, Mansuar Wai

(Wilayah Selat Dampier); Kawasan Pulau Ketimkerio dsk (Wilayah Misool

Selatan); dan Kawasan Pulau Kofiau.

32
Berdasarkan kekayaan terumbu karang dan keanekaragaman hayati lautnya,

teridentifikasi 4 (empat) kawasan yang berpotensi besar untuk pengembangan

kegiatan wisata bahari, yaitu: Kawasan pulau Wayag hingga gugusan pulau Kawe

di bagian utara Waigeo; Kawasan pulau Gam – pulau Kri, Mansuar dan pulau Wai;

Kawasan pulau Ketimkerio – pulau Wagmab dan pulau Walib dibagian selatan

Misool; dan Kawasan gugusan pulau Kofiau dibagian timur kepulauan Raja

Ampat, (Disbudpar, 2014).

Dalam penataan ruang pesisir dan laut, secara ekonomis dibagi atas spot-spot

wisata dan upaya konservasi sekaligus. Zonasi tersebut lalu dibagi dalam tiga zona

yaitu Zona Intensif di sekitar Ibukota Waisai, Zona Semi Intensif di Perairan Selat

Dampier, Pulau Gam, dan sebagian Waigeo Barat, serta Zona Ekstensif di Perairan

Misool Timur Selatan, Kofiau, dan sekitar Pulau Wayag.

a. Pengembangan Pariwisata di Zona Intensif

Pembangunan sarana pariwisata diarahkan untuk dapat menerima

kunjungan wisatawan dalam skala lebih besar dengan berbagai aktivitas

wisata.

Pembangunan sarana yang bersifat permanen, seperti dermaga, hotel,

restoran, sarana rekreasi pantai dan daratan, sarana hiburan, sarana olah raga

dan area atraksi budaya

Usaha pariwisata lainnya dapat dikembangkan pada zona ini.

b. Pengembangan Pariwisata di Zona Semi Intensif

Pembangunan sarana pariwisata diarahkan untuk menerima kunjungan

wisatawan dalam skala lebih kecil.

33
Aktivitas wisata terbatas dan bersifat spesifik, seperti pengamatan satwa

liar (burung cenderawasih), jelajah hutan, menyelam, snorkeling, dan

kayaking.

Pembangunan akomodasi yang diperbolehkan seperti tipe resort, dengan

jumlah kamar terbatas dan pengembangan homestay (di kampung Wisata)

c. Arah Pengembangan Pariwisata di Zona Ekstensif

d. Arah Pengembangan Pariwisata di Zona Ekstensif

Kegiatan diarahkan khusus untuk kegiatan wisata dan penelitian

Kegiatan wisata yang dapat diselenggarakan di zona ini seperti menyelam,

snorkeling, kayaking, dan sebagainya.

Kawasan ini diprioritaskan untuk penelitian dan pendidikan

Untuk kebutuhan pengembangan kapasitas dalam membudidayakan ikan maka

salah satu stakeholder Raja Ampat yakni Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan

(BPPP) Ambon yang merupakan UPT Kementerian Kelautan dan Perikanan yang

membawahi Raja Ampat, telah melatih masyarakat Raja Ampat untuk

membudidayakan ikan pada Keramba Jaring Apung (KJA).

Dalam menjaga daya dukung lingkungan yang menjadi andalan pariwisata Raja

Ampat, masyarakat Raja Ampat juga dibekali dengan kapasitas konservasi

pengelolaan perikanan berkelanjutan yang berisi strategi pengelolaan perikanan

tangkap dengan pembatasan alat tangkap, pelarangan alat tangkap yang merusak,

penetapan kuota tangkap dan sebagainya. Masyarakat juga dilatih memahami fungsi

zona-zona perairan dan dilatih membentuk zonasi pada wilayah perairan mereka.

Masyarakat Raja Ampat juga dibangun kesadarannya akan pentingnya penegakan

34
aturan baik aturan nasional maupun aturan yang digali dari kearifan lokal daerah

mereka.

Masyarakat Raja Ampat juga dilatih mengolah ikan dan rumput laut agar lebih

bernilai ekonomis tinggi dengan mengubahnya menjadi abon, nuget, kerupuk, kaki

naga, dodol, manisan dan berbagai diversifikasi olahan lainnya. Untuk ikan

nonkonsumsi masyarakat juga dilatih membuat kerajinan kulit kerang dari kulit

kerang mutiara yang merupakan limbah budidaya kerang mutiara (blue economy)

agar menjadi hiasan yang layak jual dan bernilai tinggi, yang akan menjadi cindera

mata bagi para pengunjung dan menjadi tambahan pendapatan bagi masyarakat Raja

Ampat. Semua upaya itu dilakukan agar masyarakat tidak lagi terpaku pada pola pikir

bahwa hanya dengan penangkapan sumber keuangan satu-satunya bagi mereka.

Sehingga hal ini akan mencegah masyarakat melakukan eksploitasi sumberdaya alam

secara besar-besaran bahkan cenderung destruktif. Semua upaya itu dilakukan dalam

rangka menjaga keberlanjutan Raja Ampat baik dari segi ekologi, sosial budaya dan

menjaga pertumbuhan ekonomi masyarakat, dengan menjadikan pariwisata sebagai

ujung tombaknya.

Model pengelolaan yang telah diterapkan di Raja Ampat adalah adanya

entrance fee atau tarif masuk. Dalam perkembangannya, pengelolaan dengan tarif

masuk juga mengalami revisi sesuai tuntutan kondisi yang terjadi. Tarif masuk di

Raja Ampat telah ditetapkan sejak tahun 2004 oleh Bupati melalui Peraturan Bupati

(Perbup) No.53 tahun 2004 tentang Pajak Orang Asing dimana setiap turis dikenakan

tarif Rp.200.000/orang. Pembagian hasil tarif masuk untuk pengelolaan daerah

35
Rp.100.000, untuk PAD; Rp.25.000, untuk leges; Rp.40.000,- untuk pengawasan dan

Rp. 35.000, untuk kampung, (Disbudpar, 2014).

Timbul masalah di tahun-tahun awal penerapan tarif masuk karena pembagian

ke masyarakat tidak jelas sehingga masyarakat tidak puas dan menimbulkan

terjadinya pungli ke kapal-kapal wisata. Wisatawan diharuskan melapor ke kampung-

kampung. Hal tersebut juga disebabkan karena kurangnya sosialisasi ke masyarakat.

Maka pada tahun 2006 Dinas Pariwisata bersama CI dan TNC melakukan revisi

terhadap kebijakan tarif masuk, serta melakukan sosialisasi ke kampung tujuan wisata

dan sosialisasi aturan ke liveaboard/kapal wisata dan resort. Selain itu Disbudpar

melakukan training untuk kapasiti building tenaga pengelola dan training untuk kapal

wisata. Survey willingness to pay (kerelaan membayar) terhadap para wisatawan juga

dilakukan, (CI, 2014).

Hasil revisi terhadap Perbup Tahun 2004 menghasilkan Perbup No. 63 tentang

tarif masuk untuk pariwisata (250.000/orang untuk turis lokal dan 500.000,-/orang

untuk turis internasional) per tahun, Perbup No.64 tentang non retribusi dan No.65

tentang Pembentukan Tim Pengelola. Sejak tahun 2011 berlaku pembatasan jumlah

kapal pengunjung yakni maksimal 40 ijin untuk kapal yang rutin dan maksimal 10

ijin untuk kapal yang sekali kunjung. Perbup No.4 tahun 2011 juga menetapkan

aturan melarang kegiatan banana boat, jet ski, para sailing kecuali di Waisai (ibu kota

kabupaten); Memacing hanya boleh dilokasi tertentu dan dengan ijin dari kampung;

Konstruksi bangungan tidak boleh bangunan beton, harus ramah lingkungan, (CI,

2014).

36
Pengelolaan tarif masuk menggunakan mekanisme satu pintu sehingga

wisatawan hanya membayar tariff satu kali saja. Hasilnya kemudian dikelola bersama

oleh segenap stake holder dengan ketentuan 30% untuk PAD (Pendapatan Asli

Daerah) dan 70% dikelola oleh sebuah badan (perwakilan berbagai komponen

masyarakat sehingga tidak terjadi konflik) yang peruntukannya untuk masyarakat dan

konservasi, (CI, 2014).

Selain tarif masuk, pemilik resort juga memberi kontribusi bagi pertumbuhan

ekonomi Raja Ampat dengan menyumbangkan 10% dari keuntungan resortnya untuk

konservasi di Raja Ampat. Selain itu resort yang terdapat di Raja Ampat juga

mempekerjakan masyarakat lokal dengan gaji di atas upah minimum. Pada beberapa

kampung diperoleh keterangan bahwa pemilik resort di Raja Ampat juga

menanggung kebutuhan BBM masyarakat baik untuk penerangan maupun untuk

operasi penangkapan ikan dan transportasi laut.

Disbudpar (2014), menyebutkan bahwa aktivitas utama dari pariwisata bahari

di Raja Ampat adalah menyelam. Selain selam, hal yang bisa dilakukan pengunjung

adalah berenang, snorkeling, kayaking (bersampan), berjemur, mancing, memberi

makan ikan (di Resort Waiwo), menyaksikan hiu paus dan berlayar. Sumber-sumber

pendapatan masyarakat yang bisa digali dari kegiatan selam dan kegiatan lainnya di

antaranya membangun dive centre yang memberi layanan penyewaan alat, pemandu

dan instruktur yang memenuhi standar. Selain itu pengunjung sudah pasti

membutuhkan sarana transportasi yang baik berupa speed boat atau liveaboard/ kapal

ke lokasi wisata. Pengunjung juga membutuhkan media interpretasi dengan info yang

lengkap tentang site, arus, ombak, musim, lisensi, hal yang boleh dan tidak boleh

37
dilakukan di lokasi, maupun waktu yang baik untuk aktivitas tersebut. Pengunjung

juga sudah pasti membutuhkan fasilitas rekreasi berupa cottage, restoran, toko

cinderamata, marina, kolam, tempat bilas, toilet, klinik kesehatan, security, serta

aksesibilitas yang baik. Semua itu juga menjadi sumber-sumber pendapatan bagi

masyarakat Raja Ampat.

Semua hal yang dibutuhkan oleh wisatawan hampir telah disediakan oleh

pengelola wisata Raja Ampat. Selain menyiapkan sarana dan prasarana wisata,

pemerintah bersama stakeholder juga melakukan peningkatan kapasitas agar

masyarakat menjadi pelaku utama dari pengelolaan tersebut. Model pengelolaan yang

dilakukan tersebut dalam rangka memajukan perekonomian masyarakat Raja Ampat

dengan menjadikan pariwisata sebagai sektor andalan, dan upaya penyelamatan

sumberdaya yang ada dengan penerapan konsep konservasi dan peningkatan

kapasitas masyarakat.

Kawasan wisata bahari di kepulauan ini sangat ideal untuk kegiatan menyelam.

Pengembangan kawasan wisata bahari ini dengan pola partnership MNC (Multi

National Companies) yang melibatkan pelaku industri Wisata Bahari, pemerintahan

daerah dan masyarakat setempat.

Papua sangat dikenal dengan sumberdaya alamnya, salah satu di antaranya

yang memiliki potensi yang sangat terkenal di dunia yaitu Kabupaten Raja

Ampat. Kabupaten Raja Ampat, dengan Ibukota Waisai adalah daerah kepulauan

yang terdiri atas sekitar 1.800 pulau dengan empat pulau besar: Pulau Waigeo,

Batanta, Salawati, dan Misool. Luas wilayah Kabupaten ini adalah 46.108 km², luas

wilayah laut 87 % dari total luas area. Perairan yang berasa di kawasan Raja Ampat

38
dikenal dengan sebutan “Coral Triangle Area”, yang mempunyai keanekaragaman

hayati karang tertinggi di dunia, berupa aspek ikan, molusa, serta jenis dan kondisi

karangnya. Menurut The Nature Coservansy (TNC), Raja Ampat memiliki lebih dari

1427 spesies ikan karang, sehingga 75% dari seluruh jenis terumbu karang dunia

berada di Raja Ampat. Ada sekitar 450 jenis karang yang dapat ditemui di perairan

bawah laut di Raja Ampat.

Pelestarian dari keanakeragaman hayati, berupa terumbu karangnya ini

merupakan peluang Investasi yang sangat besar, selain itu, Raja Ampat menyimpan

sejuta keindahan alam bawah laut. Wisata bahari di Raja Ampat merupakan salah satu

dari 10 lokasi wisata menyelam terbaik di dunia, demikian dilansir oleh Menteri

Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono bahwa potensi pariwisata

di Raja Ampat sangat diminati wisatawan dalam negeri maupun luar negeri.

Tahun ini, Indonesia kembali menarik perhatian dunia internasional dengan

kegiatan Sail Raja Ampat 2014, yang ke 6, dimana sebelum telah dilaksanakan tahun

lalu Sail Komodo. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Pemerintahan Papua

merupakan upaya menggerakkan ekonomi kelautan guna pengembangan wisata

bahari Indonesia dengan diadakannnya event Sail Raja Ampat ini.

Penyelenggaraan event Sail seperti ini sudah dilakukan di beberapa wilayah

Indonesia seperti Bunaken, Banda, Wakatobi, Morotai, dan Komodo. Event ini

merupakan salah satu Implementasi dari MP3EI (Masterplan Percepatan dan

Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia).

39
BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

Banyaknya kendala yang akan menghadang kemajuan wisata bahari di

Indonesia. Sehingga untuk memajukan wisata bahari di Indonesia perlu langkah-

langkah dan strategi yang diharapkan secara garis besar dapat menciptakan dan

mendorong pertumbuhan ekonomi selain itu sebagai perwujudan untuk melestarikan

kekayaan alam sehingga tetap tercapai keseimbangan antara perlindungan,

pengawetan dan pemanfaatan yang lestari untuk diri kita, masyarakat, bangsa, dan

generasi penerus dimasa mendatang.

3.2. Saran

Distribusi peningkatan kapasitas masyarakat dan aparatur harus merata di

semua daerah di Raja Ampat, agar pertumbuhan ekonomi yang stabil dan menyeluruh

dapat terus dipertahankan. Selain itu pemerintah perlu mendorong masyarakat untuk

mengelola sumberdaya alam secara efisien melalui kreativitas dan inovasi teknologi

dan menjadikan prinsip konservasi sebagai screen untuk setiap konsep dan regulasi

yang akan diterapkan di Raja Ampat. Sinergitas stakeholder juga harus terus

dievaluasi dan diperbaharui agar senantiasa simultan mengawal dan mendorong

pertumbuhan pembangunan Raja Ampat.

40
DAFTAR PUSTAKA

Agussalim. 2014. Foto Praktek Lapang Program Studi Ilmu Kelautan di Waigeo

Raja Ampat, tahun 2014. PPS Unpatti, Ambon.

Ambo Tuwo. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut. Brilian Internasional,

Surabaya.

Bayu Prayudha, dkk. 2009. Monitoring Terumbu Karang Raja Ampat (Pulau-Pulau

Batangpele). COREMAP II-LIPI, Jakarta.

CI. 2014. Pengembangan Kawasan Konservasi Perairan dan Pariwisata Bahari Raja

Ampat. Conservation International, Raja Ampat.

Disbudpar. 2014. Pembangunan Pariwisata di Kabupaten Raja Ampat. Bahan

Presentase Kadis Budpar Kabupaten Raja Ampat di Waiwo Resort Februari

2014. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Raja Ampat.

Damanik, Janianton dan Weber, Helmut. (2006). Perencanaan Ekowisata dari Teori

ke Aplikasi. Yogyakarta: PUSPAR UGM dan Andi.

Edelina Folatfindu. 2014. Foto Praktek Lapang Program Studi Ilmu Kelautan di

Waigeo Raja Ampat, tahun 2014. PPS Unpatti, Ambon.

Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan; Teori dan Aplikasi.

Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia No. 51 Tahun

2004. 2004. Tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta.

Klasen, L.V and V.Miller. 2002. A New Wave of Power, People and Politics; The

Action Guide for Advocacy and Citizen Participation. World Neighbour.

41
LittleKomhukum. 2013. Raja Ampat, Padukan Konservasi, Pariwisata dan Ekonomi.

octaviack.blogspot.co.id

MCRMP. 2004. Petunjuk Pengelolaan Pesisir dan Laut. Proyek Pengelolan Pesisir

dan Laut. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Deperteman

Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

PPSPL UMRAH. 2009. Kajian Pengembangan Ekowisata Bahari Sebagai Mata

Pencaharian bagi Masyarakat di Kabupaten Bintan. Universitas Raja Ali Haji.

Tanjung Pinang.

Ricardson, 2001. Prinsip Pengelolaan Ekonomi Regional. Anonim, 2013 (Bahan

Kuliah Program Studi Ilmu Kelautan Program Pascasarjana Unpatti), Ambon.

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati.

Undang-Undang Nomor 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan.

Yoswati, D. dan J. Samiaji. 2013. Buku Ajar Ekowisata Bahari. UR Press, Riau. 111

hlm.

42

Вам также может понравиться