Вы находитесь на странице: 1из 29

BAB I

STATUS PASIEN

1.1 Identifikasi Pasien


Nama : Ny. Nurmalina binti Usman
Umur : 54 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Alamat : Jl. Mayor Ruslan, Ilir Timur I, Palembang
Kebangsaan : Indonesia
Pekerjaan : IRT
Pendidikan : SLTA
Ruangan : Yasmin
MRS : 13 Agustus 2017

1.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama: Pasien dikonsulkan dari bagian atau Departemen Ilmu Penyakit
Dalam RSMH untuk dilakukan pemeriksaan gigi dan mulut untuk mengevaluasi
dan tatalaksana gigi yang goyang dan bercak putih pada lidah serta adakah tanda-
tanda fokal infeksi.
b. Keluhan Tambahan: tidak ada
c. Riwayat Perjalanan Penyakit: Pasien dirawat di bagian penyakit dalam RSMH
dengan diagnosis Ketoacidosis diabetikum. Pasien mengeluhkan ada gigi yang
goyang sejak 1 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluh bercak putih kekuningan
pada permukaan atas lidahnya sejak ± 5 hari yang lalu. Pasien belum pernah ke
dokter gigi untuk mengobati kondisi gigi dan lidah tersebut. Pasien merasa tidak
nyaman karena lidah terasa kotor sehingga pasien ingin lidahnya diobati.

1
d. Riwayat Penyakit atau Kelainan Sistemi

Penyakit atau Kelainan Sistemik Ada Disangkal


Alergi : debu, dingin √
Penyakit Jantung √
Penyakit Tekanan Darah Tinggi √
Penyakit Diabetes Melitus √
Penyakit Kelainan Darah √
Penyakit Hepatitis A/B/C/D/E/F/G/H √
Kelainan Hati Lainnya √
HIV/ AIDS √
Penyakit Pernafasan/paru √
Kelainan Pencernaan √
Penyakit Ginjal √
Penyakit Rinosinusitis √
Epilepsi √
e. Riwayat Penyakit Gigi dan Mulut Sebelumnya
 Riwayat cabut gigi (-)
 Riwayat tumpat gigi (-)
 Riwayat membersihkan karang gigi (-)
 Riwayat trauma (-)
f. Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan menggosok gigi 2 kali sehari.

1.3 Pemeriksaan Fisik (Rabu, 15 Agustus 2017, pukul 13.00 WIB)


a. Status Umum Pasien
1. Keadaan Umum Pasien : Tampak sakit sedang.
2. Kesadaran : Compos mentis.
3. Vital Sign
- Tekanan Darah : 120/70 mmHg
- Nadi : 80x/menit
- Respiration rate : 19x/menit
- Temperatur : 36.70C

2
b. Pemeriksaan Ekstra Oral
Wajah : Simetris
Bibir : Sehat
Kelenjar getah bening submandibula
Kanan : tidak teraba dan tidak sakit
Kiri : tidak teraba dan tidak sakit

c. Pemeriksaan Intra Oral


Debris : ada di regio 1,2,3,4
Plak : ada di regio 1,2,3,4
Kalkulus : ada di regio 1,2
Perdarahan papila interdental : Tidak ada
Gingiva : Inflamasi dan abses pada regio 1, pocket pada
regio 1
Mukosa : T.A.K
Palatum : T.A.K
Lidah : Terdapat lesi berupa lapisan plak berwarna
putih kekuningan yang tersebar merata pada posterior dorsum lidah, bisa dikerok
dan meninggalkan dasar kemerahan serta sakit setelah dikerok.
Dasar mulut : T.A.K
Hubungan rahang : Orthognathi
Kelainan gigi : Tidak ada
Lain-lain : Gigi 13 goyang

d. Odontogram

3
e. Status Lokalis

Gigi Lesi CE Sondasi Perkusi Palpasi Diagnosis


11 Radix Tdk Tdk Tdk Tdk Gangren radix
dilakukan dilakukan dilakukan dilakukan
12 Radix Tdk Tdk Tdk Tdk Gangren radix
dilakukan dilakukan dilakukan dilakukan
23 Radix Tdk Tdk Tdk Tdk Gangren radix
dilakukan dilakukan dilakukan dilakukan
13 Tdk Tdk Tdk Tdk Periodontitis
dilakukan dilakukan dilakukan dilakukan kronis

f. Temuan
a. Plak dan kalkulus disemua regio
b. Gangren radix pada gigi 11,12,23
c. Periodontitis kronis pada gigi 13
d. Lidah terdapat plak berwarna putih kekuningan

g. Perencanaan
o Plak dan kalkulus gigi : pro scaling
o Gangren radix pada gigi 11,12,23 : pro ekstraksi
o Lidah terdapat plak berwarna putih kekuningan : dilakukan sweb
lidah untuk pemeriksaan mikrobiologi

4
h. Lampiran Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Rujukan normal Kesan


Hematologi
Hemoglobin 13,9 g/dL 12,3-15,3 g/dL Normal
Eritrosit 4,6 /mm3 4,5-5,9x106/mm3 Normal
Leukosit 21.300 /mm3 4.500-13.000/mm3 Leukositosis
Hematokrit 40 % 35-47% Normal
Trombosit 243.000/mm3 150.000-450.000/mm3 Normal
Hitung jenis Basofil = 0 % Basofil = 0-1% Normal
Leukosit Eosinofil = 2 % Eosinofil = 2-4%
Neutrofil Neutrofil
Batang = 5% Batang = 3-5%
Segmen = 40 % Segmen = 40-70%
Limfosit = 35 % Limfosit = 30-45%
Monosit = 6 % Monosit = 2-10%
BSS 408 < 200 Hiperglikemia
HbA1c 14,8 % 4 - 5,9 %
pO2 162,3 83-108
pCO2 17,6 35-45
HCO3 21 21-28
pH 7,3 7,3-7,4

i. Lampiran Foto Pasien

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. GANGRENG RADIX
1.1. DEFINISI
Gangren radiks adalah tertinggalnya sebagian akar gigi. Jaringan akar gigi yang
tertinggal merupakan jaringan mati yang merupakan tempat subur bagi
perkembangbiakan bakteri
1.2. ETIOLOGI
dapat disebabkan oleh karies, trauma, atau ekstraksi yang tidak sempurna
1.3. MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang didapat dari gangrene bisa terjadi tanpa keluhan sakit, dalam keadaan
demikian terjadi perubahan warna gigi, dimana gigi terlihat berwarna kecoklatan atau
keabu-abuan. Pada inspeksi sudah tidak terlihat lagi bagian dari mahkota gigi,. Pada
gangren radiks, tidak dilakukan pemeriksaan sondasi dan CE, pada perkusi tidak
menimbulkan nyeri.
1.4. PATOGENESIS
Karies dapat terjadi akibat pertumbuhan bakteri di dalam mulut yang
mengubah karbohidrat yang menempel pada gigi menjadi suatu zat bersifat asam
yang mengakibatkan demineralisasi email. Umumnya, proses remineralisasi dapat
dilakukan oleh air liur, namun jika terjadi ketidakseimbangan antara demineralisasi
dan remineralisasi, maka akan terbentuk karies (lubang) pada gigi. Karies kemudian
dapat meluas dan menembus lapisan dentin. Pada tahap ini, jika tidak ada perawatan,
dapat mengenai daerah pulpa gigi yang banyak berisi pembuluh darah, limfe dan
syaraf. Pada akhirnya, akan terjadi nekrosis pulpa, meninggalkan jaringan mati dan
gigi akan keropos perlahan hingga tertinggal sisa akar gigi.
Mahkota gigi dapat patah akibat trauma pada gigi, seperti terbentur benda
keras saat terjatuh, berkelahi, atau sebab lainnya. Seringkali mahkota gigi yang patah
menyisakan akar gigi yang masih tertanam dalam gusi, dengan pulpa gigi yang telah
mati. Pencabutan tidak sempurna juga sering menyebabkan gangren radiks. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain struktur gigi yang rapuh, akar gigi yang
bengkok, akar gigi yang menyebar, kalsifikasi gigi, aplikasi forceps yang kurang
tepat dan tekanan yang berlebihan pada waktu tindakan pencabutan.

6
Sisa akar gigi atau gangren radiks yang hanya dibiarkan saja dapat muncul
keluar gusi setelah beberapa waktu, hilang sendiri karena teresorbsi oleh tubuh, atau
dapat berkembang menjadi abses, kista dan neoplasma. Setiap sisa akar gigi juga
berpotensi untuk mencetuskan infeksi pada akar gigi dan jaringan penyangga gigi.
Infeksi ini menimbulkan rasa sakit dari ringan sampai hebat, terjadi pernanahan,
pembengkak pada gusi atau wajah hingga sukar membuka mulut (trismus). Pasien
terkadang menjadi lemas karena susah makan. Pembengkakan yang terjadi di bawah
rahang dapat menginfeksi kulit, menyebabkan selulitis atau flegmon, dengan kulit
memerah, teraba keras bagaikan kayu, lidah terangkat ke atas dan rasa sakit yang
menghebat. Perluasan infeksi ini sangat berbahaya, bahkan penanganan yang
terlambat dapat merenggut jiwa, seperti pada angina Ludwig.
Infeksi pada akar gigi maupun jaringan penyangga gigi dapat mengakibatkan
migrasinya bakteri ke organ yang lain melalui pembuluh darah. Teori ini dikenal
dengan fokal infeksi. Keluhan seperti nyeri, bengkak dan pembentukan pus (nanah)
adalah reaksi tubuh terhadap infeksi gigi. Bakteri yang berasal dari infeksi gigi dapat
meluas ke jaringan sekitar rongga mulut, kulit, mata, saraf, atau organ berjauhan
seperti otot jantung, ginjal, lambung, persendian, dan lain sebagainya.
Gigi atau sisa akar seperti ini sebaiknya segera dicabut (ekstraksi), namun
antibiotik umumnya diberikan beberapa hari sebelumnya untuk menekan infeksi
yang telah terjadi. Pencabutan tidak dapat dilakukan dalam keadaan gigi yang sedang
sakit, karena pembiusan lokal (anestesi lokal) seringkali tidak maksimal. Sisa akar
gigi yang tertinggal ukurannya bervariasi mulai dari kurang dari 1/3 akar gigi sampai
sebatas permukaan gusi. Gigi yang tinggal sisa akar tidak dapat digunakan untuk
proses pengunyahan yang sempurna. Gangguan pengunyahan menjadi alasan
masyarakat untuk membuat gigi tiruan. Masalahnya, sampai sekarang banyak yang
masih membuat gigi tiruan di atas sisa akar gigi. Keadaan ini bisa memicu infeksi
lebih berat.
1.5. TATALAKSANA
Penatalaksanaan sisa akar gigi ini tergantung dari pemeriksaan klinis akar gigi
dan jaringan penyangganya. Akar gigi yang masih utuh dengan jaringan penyangga
yang masih baik, masih bisa dirawat. Jaringan pulpanya dihilangkan, diganti dengan
pulpa tiruan, kemudian dibuatkan mahkota gigi. Akar gigi yang sudah goyah dan
jaringan penyangga gigi yang tidak mungkin dirawat perlu dicabut. Sisa akar gigi
dengan ukuran kecil (kurang dari 1/3 akar gigi) yang terjadi akibat pencabutan gigi
7
tidak sempurna dapat dibiarkan saja. Untuk sisa akar gigi ukuran lebih dari 1/3 akar
gigi akibat pencabutan gigi sebaiknya tetap diambil. Untuk memastikan ukuran sisa
akar gigi, perlu dilakukan pemeriksaan radiologi gigi. Pencabutan sisa akar gigi
umumnya mudah. Gigi sudah mengalami kerusakan yang parah sehingga jaringan
penyangga giginya sudah tidak kuat lagi. Untuk kasus yng sulit dibutuhkan tindakan
bedah ringan

8
2. PERIODONTITIS KRONIS
2.1. DEFINISI
Penyakit periodontal adalah suatu inflamasi kronis pada jaringan pendukung gigi
(periodontium). 9 Penyakit periodontal dapat hanya mengenai gingiva (gingivitis)
atau dapat menyerang struktur yang lebih dalam (periodontitis). Gambaran klinis
yang membedakan antara gingivitis dan periodontitis adalah ada tidaknya kerusakan
jaringan periodontal destruktif umumnya dihubungkan dengan keberadaan dan atau
meningkatnya jumlah bakteri patogen spesifik seperti Phorphyromonas gingivalis
(P.g), prevotella intermedia (P.i), bacteriodes forsytus (Bi) dan actinobacillus
actinomycetemcomitans (A.a).
2.2. ETIOLOGI
Penyebab primer dari penyakit periodontal adalah iritasi bakteri. Menurut teori non-
spesifik murni bakteri mulut terkolonisasi pada leher gingiva untuk membentuk plak
pada keadaan tidak ada kebersihan mulut yang efektif. Semua bakteri plak dianggap
mempunyai beberapa faktor virulensi yang menyebabkan inflamasi gingival dan
kerusakan periodontal keadaan ini menunjukkan bahwa plak akan menimbulkan
penyakit tanpatergantung komposisinya. Namun demikian, sejumlah plak biasanya
tidak mengganggu kesehatan gingiva dan periodontal dan beberapa pasien bahkan
mempunyai jumlah plak yang cukup besar yang sudah berlangsung lama tanpa
mengalami periodontitis yang merusak walaupun mereka mengalami gingivitis.
Faktor sekunder dapat lokal atau sistemik. Beberapa faktor lokal pada lingkungan
gingiva merupakan predisposisi dari akumulasi deposit plak dan menghalangi
pembersihan plak. Faktor ini disebut sebagai faktor retensi plak.
Faktor lainnya adalah restorasi yang kelir, kavitas karies, tumpukan sisa makanan,
Geligi tiruan sebagian yang desainnya tidak baik, Pesawat ortodonti, Susunan gigi
geligi yang tidak teratur, Kurangnya seal bibir atau kebiasaan bernapas melalui
mulut, Merokok tembakau, Groove perkembangan pada enamel servikal atau
permukaan akar.
2.3. FAKTOR RESIKO
Periodontitis merupakan penyakit yang disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor
utama terjadinya periodontitis adalah terdapatnya akumulasi plak pada gigi dan
gingiva.Ada beberapa faktor yang ikut berkontribusi dalam peningkatan resiko
terjadinya penyakit, antara lain:

9
1. Faktor lokal. Akumulasi plak pada gigi dan gingiva pada dentogingiva junction
merupakan awal inisiasi agen pada etiologi periodontitis kronis. Bakteri biasanya
memberikan efek lokal pada sel dan jaringan berupa inflamasi
2. Faktor sistemik. Kebanyakan periodontitis kronis terjadi pada pasien yang
memiliki penyakit sistemik yang mempengaruhi keefektivan respon host.
Diabetes merupakan contoh penyakit yang dapat meningkatkan keganasan
penyakit ini.
3. Lingkungan dan perilaku merokok dapat meningkatkan keganasan penyakit ini.
Pada perokok, terdapat lebih banyak kehilangan attachment dan tulang, lebih
banyak furkasi dan pendalaman poket. Stres juga dapat meningkatkan prevalensi
dan keganasan penyakit ini.
4. Genetik. Biasanya kerusakan periodontal sering terjadi di dalam satu keluarga, ini
kemungkinan menunjukkan adanya faktor genetik yang mempengaruhi
periodontitis kronis ini.
2.4. KARAKTERISTIK UMUM PADA PERIODONITIS KRONIS
Karakteristik yang ditemukan pada pasien periodontitis kronis yang belum
ditangani meliputi akumulasi plak pada supragingiva dan subgingiva, inflamasi
gingiva, pembentukan poket, kehilangan periodontal attachment, kehilangan tulang
alveolar, dan kadang-kadang muncul supurasi.
Pada pasien dengan oral hygiene yang buruk, gingiva membengkak dan
warnanya antara merah pucat hingga magenta. Hilangnya gingiva stippling dan
adanya perubahan topografi pada permukaannya seperti menjadi tumpul dan rata
(cratered papila).
Pada banyak pasien karakteristik umum seringkali tidak terdeteksi, dan
inflamasi hanya terdeteksi dengan adanya pendarahan pada gingiva sebagai respon
dari pemeriksaan poket periodontal.
Kedalaman poket bervariasi, dan kehilangan tulang secara vertikal maupun
horizontal dapat ditemukan. Kegoyangan gigi terkadang muncul pada kasus yang
lanjut dengan adanya perluasan hilangnya attachment dan hilangnya tulang.
Periodontitis kronis dapat didiagnosis dengan terdeteksinya perubahan
inflamasi kronis pada marginal gingiva, adanya poket periodontal dan hilangnya
attachment secara klinis.
2.5. PATOGENESIS

10
Penyakit periodontal yang disebabkan karena reaksi inflamasi lokal terhadap infeksi
bakteri gigi, dan dimanifestasikan oleh rusaknya jaringan pendukung gigi. Gingivitis
merupakan bentuk dari penyakit periodontal dimana terjadi inflamasi gingiva, tetapi
kerusakan jaringan ringan dan dapat kembali normal. Periodontitis merupakan respon
inflamasi kronis terhadap bakteri subgingiva, mengakibatkan kerusakan jaringan
periodontal irreversible sehingga dapat berakibat kehilangan gigi. Pada tahap
perkembangan awal, keadaan periodontitis sering menunjukkan gejala yangtidak
dirasakan oleh pasien. Periodontitis didiagnosis karena adanya kehilangan perlekatan
antara gigi dan jaringan pendukung (kehilangan perlekatan klinis) ditunjukkan
dengan adanya poket dan pada pemeriksaan radiografis terdapat penurunan tulang
alveolar. Penyebab periodontitis adalah multifaktor, karena adanya bakteri patogen
yang berperan saja tidak cukup menyebabkan terjadi kelainan. Respon imun dan
inflamasi pejamu terhadap mikroba merupakan hal yang juga penting dalam
perkembangan penyakit periodontal yang destruktif dan juga dipengaruhi oleh pola
hidup, lingkungan dan faktor genetik dari penderita.
2.6. KLASIFIKASI
1. Periodontitis dewasa kronis. Tipe ini adalah tipe periodontitis yang berjalan
lambat, terjadi pada 35 tahun keatas. Kehilangan tulang berkembang lambat dan
didominasi oleh bentuk horizontal. Faktor etiologi utama adalah faktor lokal
terutama bakteri gram negatif. Tidak ditemukan kelainan sel darah dan disertai
kehilangan tulang
2. Early Onset Periodontitis (EOP). Terdapat banyak macam yaitu; periodontitis
prepubertas, periodontitis juvenil (periodontosis), localised juvenil periodontitis
(ljp), dan periodontitis yang berkembang cepat.
3. Periodontitis yang berkaitan dengan penyakit sistemik

11
3. ORAL CANDIDIASIS
3.1. DEFINISI
Kandidiasis oral adalah infeksi jamur ragi dari genus Kandida pada membran
berlendir mulut. Hal ini sering disebabkan oleh Candida albicans, atau kadang oleh
Candida glabrata dan Candida tropicalis.
3.2. ETIOLOGI
Kandida telah muncul sebagai salahsatu infeksi nosokomial yang paling penting di
seluruh dunia dengan angka morbiditas, mortalitas dan pembiayaan kesehatan yang
bermakna. Penggunaan antijamur untuk profilaksis dan penatalaksanaan infeksi
Candida telah mengubah epidemiologi dan penatalaksanaan infeksi ini. Penggunaan
agen kemoterapeutik, imunosupresif, antibiotik spectrum luas, transplantasi organ,
nutrisi parenteral dan teknik bedah mutakhir juga telah berperan untuk mengubah
epidemiologi infeksi kandida. Infeksi jamur telah muncul sebagai ancaman yang
bermakna pada individu yang imunocompromised. Spesies Kandida adalah patogen
jamur yang paling sering.1
Lebih dari 95% Kandidiasis disebabkan oleh lima jenis spesies terbanyak yaitu:
Kandida albikan, kandida glabrata, kandida parapsilosis, kandida tropikalis dan
kandida krusei. Kandida parapsilosis lebih sering terjadi pada neonates premature
dan pasien dengan kateter vaskularisasi. Kandida glabrata jarang menginfeksi bayi
dan anak-anak, tetapi lebih sering pada orang dewasa. Kandida tropikalis sangat
penting sebagai penyebab penyakit invasive pada pasien dengan keganasan
hematologi.
3.3. FAKTOR RESIKO
Pada orang yang sehat, Kandida albikan umumnya tidak menyebabkan masalah
apapun dalam rongga mulut, namun karena berbagai faktor, jamur tersebut dapat
tumbuh secara berlebihan dan menginfeksi rongga mulut. Faktor-faktor tersebut
dibagi menjadi dua, yaitu :3
A. Patogenitas jamur
Beberapa faktor yang berpengaruh pada patogenitas dan proses infeksi Kandida
adalah adhesi, perubahan dari bentuk ragi ke bentuk hifa, dan produksi enzim
ekstraseluler. Adhesi merupakan proses melekatnya sel Kandida ke dinding sel
epitel host. Perubahan bentuk dari ragi ke hifa diketahui berhubungan dengan
patogenitas dan proses penyerangan Kandida terhadap sel host. Produksi enzim

12
hidrolitik ekstraseluler seperti aspartyc proteinase juga sering dihubungkan
dengan patogenitas Kandida albikan.3
B. Faktor Host
Faktor host dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor lokal dan faktor sistemik.
Termasuk faktor lokal adalah adanya gangguan fungsi kelenjar ludah yang dapat
menurunkan jumlah saliva. Saliva penting dalam mencegah timbulnya
kandidiasis oral karena efek pembilasan dan antimikrobial protein yang
terkandung dalam saliva dapat mencegah pertumbuhan berlebih dari Kandida, itu
sebabnya kandidiasis oral dapat terjadi pada kondisi Sjogren syndrome,
radioterapi kepala dan leher, dan obat-obatan yang dapat mengurangi sekresi
saliva. Pemakaian gigi tiruan lepasan juga dapat menjadi faktor resiko timbulnya
kandidiasis oral. Sebanyak 65% orang tua yang menggunakan gigi tiruan penuh
rahang atas menderita infeksi Kandida, hal ini dikarenakan pH yang rendah,
lingkungan anaerob dan oksigen yang sedikit mengakibatkan Kandida tumbuh
pesat. Selain dikarenakan faktor lokal, kandidiasis juga dapat dihubungkan
dengan keadaan sistemik, yaitu usia, penyakit sistemik seperti diabetes, kondisi
imunodefisiensi seperti HIV, keganasan seperti leukemia, defisiensi nutrisi, dan
pemakaian obat-obatan seperti antibiotik spektrum luas dalam jangka waktu
lama, kortikosteroid, dan kemoterapi.

3.4. GAMBARAN KLINIS


Gambaran klinis kandidiasis oral tergantung pada keterlibatan lingkungan dan
interaksi organisme dengan jaringan pada host. Adapun kandidiasis oral
dikelompokkan atas empat, yaitu :
1. Kandidiasis Pseudomembran
Kandidiasis pseudomembran yang disebut juga sebagai thrush, pertama sekali
dijelaskan kandidiasis ini tampak sebagai plak mukosa yang putih, difus,
bergumpal atau seperti beludru, terdiri dari sel epitel deskuamasi, fibrin, dan hifa
jamur, dapat dihapus meninggalkan permukaan merah dan kasar. Pada umumnya
dijumpai pada mukosa pipi, lidah, dan palatum lunak. Penderita kandidiasis ini
dapat mengeluhkan rasa terbakar pada mulut. Kandidiasis seperti ini sering
diderita oleh pasien dengan sistem imun rendah, seperti HIV/AIDS, pada pasien
yang mengkonsumsi kortikosteroid, dan menerima kemoterapi. Diagnosa dapat

13
ditentukan dengan pemeriksaan klinis, kultur jamur, atau pemeriksaan
mikroskopis secara langsung dari kerokan jaringan dan mukosa bukal pasien.3
2. Kandidiasis Hiperplastik
Infeksi jamur timbul pada mukosa bukal atau tepi lateral lidah berupa bintik-
bintik putih yang tepinya menimbul tegas dengan beberapa daerah merah.
Kondisi ini dapat berkembang menjadi displasia berat atau keganasan, dan
kadang disebut sebagai Kandida leukoplakia. Bintik-bintik putih tersebut tidak
dapat dihapus, sehingga diagnosa harus ditentukan dengan biopsi. Kandidiasis ini
paling sering diderita oleh perokok.3 Perbedaan kandidiasis hiperplastik dengan
leukoplakia adalah kandidiasis hiperplastik dapat sembuh dengan pemberian rutin
antijamur.

3. Kandidiasis EritomatuS
Jenis kandidiasis ini sering terjadi pada lidah dan palatum, terutama pada palatum
durum dan gusi di bawah gigi palsu
4. Keilitis Angular
Keilitis angularis merupakan infeksi Kandida albikan pada sudut mulut, dapat
bilateral maupun unilateral. Sudut mulut yang terkena infeksi tampak merah dan
pecah-pecah, dan terasa sakit ketika membuka mulut. Keilitis angularis ini dapat
terjadi pada penderita defisiensi vitamin B12 dan anemia defisiensi besi.

3.5. DIAGNOSIS
Genus jamur Candida merupakan flora normal yang hidup di dalam rongga
mulut, vagina dan saluran pencernaan manusia. Dalam rongga mulut spesies Candida
yang paling dominan adalah Candida albicans, yaitu sebesar 50% dari seluruh flora
normal mulut, tetapi dalam rongga mulut yang sehat dan bersih jamur ini hanya
ditemukan dalam jumlah kecil saja yaitu kurang dari 200 sel/ ml saliva. Jamur ini
bersifat saprofit tetapi dapat berubah menjadi patogen bila terdapat faktor-faktor
predisposisi antara lain, kebersihan mulut yang buruk, penyakit sistemik yang kronis,
kebiasaan merokok, memakai gigi tiruan yang kurang baik , sedang dalam
pengobatan antibiotik jangka panjang atau sedang menjalani terapi radiasi.

14
Pada keadaan-keadaan tersebut terjadi ketidakseimbangan pertumbuhan pada
flora normal mulut lain yang dapat menyebabkan Candida albicans tumbuh dengan
lebih cepat dan bertambah banyak untuk kemudian menginfeksi jaringan hospesnya.
Cara mengidentifikasi jamur Candida albicans dari lesi kelainan lidah adalah
bahan pemeriksaan diambil dari lesi kelainan lidah dengan cara dikerok dengan
cotton bud steril, dimasukkan ke dalam medium transport glukosa bulyon, simpan
dalam termos pendingin untuk dibawa ke laboratorium mikrobiologi.
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan pengecatan Gram pada bahan
pemeriksaan, lalu dilihat di bawah mikroskop, jamur ini memberikan warna ungu
karena bersifat Gram positif, bentuk oval dan pada beberapa sel jamur terlihat adanya
tunas.
Pemeriksaan isolasi dan identifikasi jamur dilakukan melalui perbenihan jamur
pada SDA yang dieramkan pada suhu kamar selama 24 jam, dari hasil perbenihan ini
didapat koloni berwarna putih, bulat agak cembung dengan bau khas ragi. Dilakukan
pemeriksaan Gram dan uji fermentasi terhadap bahan pemeriksaan pada perbenihan
karbohidrat (glukosa, maltosa, sakarosa, laktosa) yang telah ditambahkan fenol red
sebagai indikator. Perubahan warna merah dari indikator fenol red menjadi kuning
menunjukkan terbentuknya asam pada reaksi fermentasi tersebut. Untuk mengetahui
pembentukan gas digunakan tabung Durham yang diletakkan secara terbalik dalam
tabung reaksi. Gas yang terbentuk akan tampak sebagai ruang kosong pada tabung
Durham.
Identifikasi Candida albicans diambil berdasarkan reaksi fermentasi
karbohidrat dan terbentuknya gas dalam tabung Durham . Untuk spesies Candida
albicans memperlihatkan hasil reaksi fermentasi dan gas pada glukosa dan maltosa,
dan terjadi proses fermentasi tanpa menghasilkan gas pada sukrosa dan tidak terjadi
proses fermentasi pada medium laktosa.

3.6. TATALAKSANA
Kandidiasis pada rongga mulut umumnya ditanggulangi dengan menggunakan
obat antijamur,dengan memperhatikan faktor predisposisinya atau penyakit yang
menyertainya,hal tersebut berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan atau
penyembuhan.
Obat-obat antijamur diklasifikasikan menjadi beberapa golongan yaitu:
(Tripathi M.D 2001)
15
1. Antibiotik
a. Polyenes :amfotericin B, Nystatin, Hamycin, Nalamycin
b. Heterocyclicbenzofuran : griseofulvin
2. Antimetabolite: Flucytosine (5 –Fe)
3. Azoles
a. Imidazole (topical): clotrimazol, Econazol, miconazol (sistemik) :
ketokonazole
b. Triazoles (sistemik) : Flukonazole, Itrakonazole
4. Allylamine Terbinafine
5. Antijamur lainnya : tolnaftate, benzoic acid, sodiumtiosulfat.
Dari beberapa golongan antijamur tersebut diatas, yang efektif untuk kasus
pada rongga mulut, sering digunakan antara lain amfotericine B, nystatin, miconazole,
clotrimazole, ketokonazole, itrakonazole dan flukonazole. Amfoterisin B dihasilkan
oleh Streptomyces nodusum, mekanisme kerja obat ini yaitu dengan cara merusak
membran sel jamur. Efek samping terhadap ginjal seringkali menimbulkan nefrositik.
Sediaan berupa lozenges (10 ml ) dapat digunakan sebanyak 4 kali /hari.
Nystatin dihasilkan oleh streptomyces noursei,mekanisme kerja obat ini
dengan cara merusak membran sel yaitu terjadi perubahan permeabilitas membran sel.
Sediaan berupa suspensi oral 100.000 U / 5ml dan bentuk cream 100.000 U/g,
digunakan untuk kasus denture stomatitis.
Miconazole mekanisme kerjanya dengan cara menghambat enzim cytochrome
P 450 sel jamur, lanosterol 14 demethylase sehingga terjadi kerusakan sintesa
ergosterol dan selanjutnya terjadi ketidak normalan membrane sel. Sediaan dalam
bentuk gel oral (20 mg/ml), digunakan 4 kali /hari setengah sendok makan, ditaruh
diatas lidah kemudian dikumurkan dahulu sebelum ditelan.
Clotrimazole, mekanisme kerja sama dengan miconazole, bentuk sediaannya
berupa troche 10 mg, sehari 3 – 4 kali.
Ketokonazole (ktz) adalah antijamur broad spectrum.Mekanisme kerjanya
dengan cara menghambat cytochrome P450 sel jamur, sehingga terjadi perubahan
permeabilitas membran sel, Obat ini dimetabolisme di hepar. Efek sampingnya berupa
mual / muntah, sakit kepala, parestesia dan rontok. Sediaan dalam bentuk tablet
200mg Dosis satu kali /hari dikonsumsi pada waktu makan.
Itrakonazole, efektif untuk pengobatan kandidiasis penderita
immunocompromised. Sediaan dalam bentuk tablet ,dosis 200mg/hari. selama 3 hari,
16
bentuk suspensi (100-200 mg) / hari,selama 2 minggu. Efek samping obat berupa
gatal-gatal,pusing, sakit kepala, sakit di bagian perut (abdomen), dan hypokalemi
Flukonazole, dapat digunakan pada seluruh penderita kandidiasis termasuk pada
penderita immunosupresiv Efek samping mual, sakit di bagian perut, sakit
kepala,eritme pada kulit. Mekanisme kerjanya dengan cara mempengaruhi
Cytochrome P 450 sel jamur, sehingga terjadi perubahan membran sel. Absorpsi tidak
dipengaruhi oleh makanan. Sediaan dalam bentuk capsul 50mg, 100mg, 150mg dan
200mg Single dose dan intra vena. Kontra indikasi pada wanita hamil dan menyusui.

17
4. KETOASIDOSIS DIABETIKUM
a. DEFINISI
Ketoasidosis diabetikum (KAD) tidak memiliki suatu definisi yang disetujui secara
universal. Keterbatasan dalam ketersediaan pemeriksaan kadar keton darah membuat
American Diabetes Association menyarankan penggunaan pendekatan yang lebih
pragmatis, yakni KAD dicirikan dengan asidosis metabolik (pH 250 mg/dL dan hasil carik
celup plasma (≥ +) atau urin (++).American Diabetes Association (ADA) mendefinisikan
KAD sebagai suatu trias yang terdiri dari ketonemia, hiperglikemia dan asidosis.

Gambar . Trias Ketoasidosis Diabetikum

b. EPIDEMIOLOGI
Studi epidemiologi terbaru memperkirakan insidens total nampaknya mengalami
tren meningkat, terutama disebabkan oleh karena peningkatan kasus diabetes mellitus tipe
2 (T2DM).Laju insidens tahunan KAD diperkirakan antara 4,6 sampai 8 per 1000 pasien
dengan diabetes. Sedangkan insidens T2DM sendiri di Indonesia, diperkirakan berkisar
antara 6-8% dari total penduduk.Ketoasidosis diabetikum, walaupun lebih banyak
mengenai pasien T1DM yang awitannya timbul pada usia remaja, namun tetap lebih
banyak terjadi pada saat pasien tersebut menginjak usia dewasa.
Hospitalisasi oleh karena KAD juga nampaknya meningkat dari tahun ke tahun dan
kini meliputi 4% sampai 9% dari indikasi perawatan pasien diabetes mellitus. Jumlah
hospitalisasi pasien diabetes mellitus dengan KAD di Amerika Serikat meningkat dari
62.000 per tahun pada 1980 menjadi 115.000 pada tahun 2003.

18
c. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
Penelitian terbaru menunjukkan penghentian atau kurangnya dosis insulin dapat
menjadi faktor pencetus penting. Tabel memberikan gambaran mengenai faktor-faktor
pencetus penting untuk kejadian KAD. Patut diperhatikan bahwa terdapat sekitar 10-22%
pasien yang datang dengan diabetes awitan baru.Infeksi yang paling sering diketemukan
adalah pneumonia dan infeksi saluran kemih yang mencakup antara 30% sampai 50%
kasus.

Peningkatan penggunaan pompa insulin yang menggunakan injeksi insulin kerja


pendek dalam jumlah kecil dan sering telah dikaitkan dengan peningkatan insidens KAD
secara signifikan bila dibandingkan dengan metode suntikan insulin konvensional. Studi
Diabetes Control and Complications Trial menunjukkan insidens KAD meningkat kurang
lebih dua kali lipat bila dibandingkan dengan kelompok injeksi konvensional. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh penggunaan insulin kerja pendek yang bila terganggu tidak
meninggalkan cadangan untuk kontrol gula darah.

d. PATOGENESIS
Pada saat terjadi defisiensi insulin, peningkatan level glukagon, katekolamin dan
kortisol akan menstimulasi produksi glukosa hepatik melalui mekanisme peningkatan
glikogenolisis dan glukoneogenesis.

19
Gambar. Mekanisme produksi badan keton. (a) Peningkatan lipolisis
menghasilkan produksis asetil KoA dari asam lemak, sebagai substrat sintesis badan keton
oleh hati. Defisiensi insulin menyebabkan penurunan utilisasi glkosa dan penurunan
produksi oksaloasetat. (b) Jumlah oksaloasetat yang tersedia untuk kondensasi dengan
asetil KoA berkurang; dan (c) menyebabkan asetil KoA digeser dari siklusi TCA dan (d)
mengalami kondensasi untuk membentuk asetoasetat diikuti reduksi menjadi beta-
hidroksibutirat.

Pada KAD, kadar insulin rendah yang dikombinasikan dengan peningkatan kadar
katekolamin, kortisol dan hormon pertumbuhan akan mengaktivasi lipase sensitif hormon,

20
kemudian menyebabkan pemecahan trigliserida dan pelepasan asam lemak bebas. Asam
lemak bebas ini akan diubah oleh hati menjadi badan-badan keton yang dilepaskan ke
dalam sirkulasi. Proses ketogenesis distimulasi oleh peningkatan kadar glukagon, hormon
ini akan mengaktivasi palmitoiltransferase karnitin I, suatu enzim yang memampukan
asam lemak bebas dalam bentuk koenzim A untuk menembus membran mitokondria
setelah diesterifikasi menjadi karnitin. Pada pihak lain, esterifikasi diputarbalikkan oleh
palmitoiltransferase karnitin II untuk membentuk asil lemak koenzim A yang akan masuk
ke dalam jalur beta-oksidatif dan membentuk asetil koenzim A. Sebagian besar asetil
koenzim A akan digunakan dalam sintesi asam beta-hidroksibutirat dan asam asetoasetat,
dua asam kuat relatif yang bertanggungjawab terhadap asidosis dalam KAD (gambar 5).
Asetoasetat diubah menjadi aseton melalui dekarboksilasi spontan non-enzimatik secara
linear tergantung kepada konsentrasinya. Asam beta-hidroksibutirat, asam asetoasetat dan
aseton difiltrasi oleh ginjal dan diekskresi secara parsial di urin. Oleh karena itu,
penurunan volume progresif menuju kepada penurunan laju filtrasi glomerular akan
menyebabkan retensi keton yang semakin besar.

e. MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS


Ketoasidosis diabetikum biasanya timbul dengan cepat, biasanya dalam rentang
waktu. Pada pasien dengan KAD, nausea vomitus merupakan salah satu tanda dan gejala
yang sering diketemukan. Nyeri abdominal terkadang dapat diketemukan pada pasien
dewasa (lebih sering pada anak-anak) dan dapat menyerupai akut abdomen. Asidosis, yang
dapat merangsang pusat pernapasan medular, dapat menyebabkan pernapasan cepat dan
dalam.
Gejalagejala seperti poliuria, polidipsia dan polifagia yang khas sebagai bagian dari
diabetes tak terkontrol nampaknya sudah timbul selama tiga sampai empat minggu
sebelumnya dan pada beberapa kasus dua bulan sebelum. Begitu pula dengan penurunan
berat badan yang bahkan telah timbul lebih lama lagi, yakni tiga sampai enam bulan
sebelum dengan rata-rata penurunan 13 kilogram. Patut diperhatikan gejala-gejala akut
yang timbul dalam waktu singkat, seperti nausea vomitus dan nyeri 11 abdomen, di mana
dapat dijadikan sebagai peringatan untuk pasien bahwa dirinya sedang menuju ke arah
KAD.
Pemeriksaan fisis dapat menunjukkan temuan-temuan lain seperti bau napas seperti
buah atau pembersih kuteks (aseton) sebagai akibat dari ekskresi aseton melalui sistem
respirasi dan tanda-tanda dehidrasi seperti kehilangan turgor kulit, mukosa membran yang
21
kering, takikardia dan hipotensi. Status mental dapat bervariasi mulai dari kesadaran
penuh sampai letargi yang berat; meskipun demikian kurang dari 20% pasien KAD atau
KHH yang diperawatan dengan penurunan kesadaran.
Pendekatan pertama pada pasien-pasien ini terdiri dari anamnesa yang cepat namun
fokus dan hatihati serta pemeriksaan fisik dengan perhatian khusus kepada: Patensi jalan
napas, Status mental, Status kardiovaskular dan renal, Sumber infeks,dan Status hidrasi.

Evaluasi laboratorium awal pada pasien dengan kecurigaan KAD atau KHH harus
melibatkan penentuan segera analisa gas darah, glukosa darah dan urea nitrogen darah;
penentuan elektrolit serum,osmolalitas, kreatinin dan keton; dilanjutkan pengukuran darah
lengkap dengan hitung jenis. Kultur bakterial urin, darah dan jaringan lain harus diperoleh
dan antibiotika yang sesuai harus diberikan apabila terdapat kecurigaan infeksi.

22
f. DIAGNOSIS BANDING

i. KETOASIDOSIS ALKOHOL
Pasien dengan penyalahgunaan etanol kronik dan baru saja mendapatkan
intake alkohol eksesif (ie. Binge drinking) sehingga menyebabkan nausea
vomitus dan kelaparan akut dapat menderita ketoasidosis alkohol
(KAA).Variabel yang membedakan antara ketoasidosis diabetik dengan
alkoholik adalah kadar glukosa darah. Ketoasidosis diabetikum
dikarakteristikkan dengan hiperglikemia (glukosa plasma >250 mg/dL)
sedangkan ketoasidosis tanpa hiperglikemia secara khas merujuk kepada
ketoasidosis alkohol. Sebagai tambahan, pasien KAA seringkali mengalami

23
hipomagnesemia, hipokalemia dan hipofosfatemia serta hipokalsemia sebagai
akibat penurunan hormon paratiroid yang diinduksi oleh hipomagnesemia.
ii. KETOSIS KELAPARAN
Pada beberapa pasien dengan penurunan intake makanan (< 500 kkal/hari)
selama beberapa hari, dapat terjadi ketoasidosis ringan yang disebut sebagai
ketosis kelaparan. Meskipun demikian, subyek sehat dapat beradaptasi
terhadap puasa berkepanjangan dengan meningkatkan bersihan badan keton
pada jaringan perifer (otak dan otot) dan juga dengan meningkatkan
kemampuan ginjal dalam mengekresikan amonium sebagai kompensasi
peningkatan produksi asam ketoasid. Sehingga pasien dengan ketosis
kelaparan jarang datang dengan kadar konsentrasi bikarbonat.
iii. ASIDOSIS LAINNYA
Ketoasidosis diabetikum juga harus dibedakan dari penyebab-penyebab lain
asidosis metabolik gap anion tinggi, termasuk asidosis laktat, gagal ginjal
kronik stadium lanjut, dan keracunan obat-obatan seperti salisilat, metanol,
etilen glikol dan paraldehid. Pengukuran kadar laktat darah dapat dengan
mudah menentukan diagnosis asidosis laktat (>5 mmol/L) oleh karena pasien
KAD jarang sekali menunjukkan kadar laktat setinggi ini. Meskipun demikian,
status redoks yang terganggu dapat mengaburkan ketoasidosis pada pasien
dengan asidosis laktat.
iv. INTOKSIKASI AKUT
Overdosis salisilat dicurigai dengan adanya kelainan asam basa campuran
(alkalosis respiratorik primer dan asidosis metabolik gap anion meningkat)
tanpa disertai dengan peningkatan kadar keton. Diagnosis dapat dikonfirmasi
dengan kadar salisilat serum >80-100 mg/dL. Keracunan metanol
menyebabkan asidosis sebagai akibat dari akumulasi asam formiat dan asam
laktat. Intoksikasi metanol berkembang dalam waktu 24 jam setelah asupan,
dan pasien biasanya datang dengan nyeri abdominal sekunder dari gastritis
atau pankreatitis serta disertai dengan gangguan penglihatan yang bervariasi
mulai dari kekaburan sampai kebutaan (neuritis optik). Diagnosis ditegakkan
dengan adanya peningkatan kadar metanol.

24
g. TATALAKSANA
Penatalaksanaan KAD dan KHH yang baik memerlukan koreksi dehidrasi,
hiperglikemia dan gangguan elektrolit, dilanjutkan dengan identifikasi kejadian komorbid
pencetus dan di atas semuanya pemantauan pasien rutin.

i. TERAPI CAIRAN
Pasien dewasa (>20 tahun) Terapi cairan awal ditujukan kepada ekspansi
cairan intravskular dan ekstravaskular serta perbaikan perfusi ginjal. Pada
keadaan tanpa gangguan kardiak, salin isotonik (0,9%) dapat diberikan dengan
laju 15-20 ml/kgBB/jam atau lebih selama satu jam pertama (total 1 sampai
1,5 liter cairan pada dewasa rata-rata). Pemlihan cairan pengganti selanjutnya
bergantung kepada status hidrasi, kadar elektrolit serum dan keluaran urin.
Secara umum NaCl 0,45% dengan laju 4 sampai 14 ml/kgBB/jam mencukupi
apabila kadar natrium serum terkoreksi normal atau meningkat. Salin isotonik
dengan laju yang sama dapat diberikan apabila kadar natrium serum terkoreksi
rendah.
Setelah fungsi ginjal telah terjaga dengan baik, cairan infus harus
ditambahkan 20-30 mEq/L kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai keadaan

25
pasien stabil dan dapat menerima suplementasi oral. Kemajuan yang baik
untuk terapi pergantian cairan dinilai dengan pemantauan parameter
hemodinamik (perbaikan tekanan darah), pengukuran masukan/keluaran cairan
dan pemeriksaan klinis. Pergantian cairan harus memperbaiki defisit perkiraan
dalam waktu 24 jam pertama. Perubahan osmolalitas serum akibat terapi tidak
boleh melebihi 3 mOsm/kg H2O/jam. Pada pasien dengan gangguan ginjal
atau jantung, pemantauan osmolalitas serum dan penilaian rutin status jantung,
ginjal serta mental harus dilakukan bersamaan dengan resusitasi cairan untuk
menghindari overloading iatrogenik.
h. KOMPLIKASI
- Hipoglikemia dan hipokalemia
Sebelum penggunaan protokol insulin dosis rendah, kedua komplikasi ini dapat
dijumpai pada kurang lebih 25% pasien yang diterapi dengan insulin dosis
tinggi. Kedua komplikasi ini diturunkan secara drastis dengan digunakannya
terapi insulin dosis rendah. Namun, hipoglikemia tetap merupakan salah satu
komplikasi potensial terapi yang insidensnya kurang dilaporkan secara baik.
Penggunaan cairan infus menggunakan dekstrosa pada saat kadar glukosa
mencapai 250 mg/dL pada KAD dengan diikuti penurunan laju dosis insulin
dapat menurunkan insidens hipoglikemia lebih lanjut. Serupa dengan
hipoglikemia, penambahan kalium pada cairan hidrasi dan pemantauan kadar
kalium serum ketat selama fase-fase awal KAD dan KHH dapat menurunkan
insidens hipokalemia.
- Edema Serebral
Peningkatan tekanan intrakranial asimtomatik selama terapi KAD telah dikenal
lebih dari 25 tahun. Penurunan ukurnan ventrikel lateral secara signifikan,
melalu pemeriksaan eko-ensefalogram, dapat ditemukan pada 9 dari 11 pasien
KAD selama terapi. Meskipun demikian, pada penelitian lainnya, sembilan anak
dengan KAD diperbandingkan sebelum dan sesudah terapi, dan disimpulkan
bahwa pembengkakan otak biasanya dapat ditemukan pada KAD bahkan
sebelum terapi dimulai. Edema serebral simtomatik, yang jarang ditemukan pada
pasien KAD dan KHH dewasa, terutama ditemukan pada pasien anak dan lebih
sering lagi pada diabetes awitan pertama.
- Sindrom distres napas akut dewasa (adult respiratory distress syndrome)

26
Suatu komplikasi yang jarang ditemukan namun fatal adalah sindrom distres
napas akut dewasa (ARDS). Selama rehidrasi dengan cairan dan elektrolit,
peningkatan tekanan koloid osmotik awal dapat diturunkan sampai kadar
subnormal. Perubahan ini disertai dengan penurunan progresif tekanan oksigen
parsial dan peningkatan gradien oksigen arterial alveolar yang biasanya normal
pada pasien dengan KAD saat presentasi. Pada beberapa subset pasien keadaan
ini dapat 28 berkembang menjadi ARDS. Dengan meningkatkan tekanan atrium
kiri dan menurunkan tekanan koloid osmotik, infus kristaloid yang berlebihan
dapat menyebabkan pembentukan edema paru (bahkan dengan fungsi jantung
yang normal). Pasien dengan peningkatan gradien AaO2 atau yang mempunyai
rales paru pada pemeriksaan fisis dapat merupakan risiko untuk sindrom ini.
Pemantauan PaO2 dengan oksimetri nadi dan pemantauan gradien AaO2 dapat
membantu pada penanganan pasien ini. Oleh karena infus kristaloid dapat
merupakan faktor utama, disarankan pada pasien-pasien ini diberikan infus
cairan lebih rendah dengan penambahan koloid untuk terapi hipotensi yang tidak
responsif dengan penggantian kristaloid.
- Asidosis metabolik hiperkloremik
Asidosis metabolik hiperkloremik dengan gap anion normal dapat ditemukan
pada kurang lebih 10% pasien KAD; meskipun demikian hampir semua pasien
KAD akan mengalami keadaan ini setelah resolusi ketonemia. Asidosis ini tidak
mempunyai efek klinis buruk dan biasanya akan membaik selama 24-48 jam
dengan ekskresi ginjal yang baik. Derajat keberatan hiperkloremia dapat
diperberat dengan pemberian klorida berlebihan oleh karena NaCl normal
mengandung 154 mmol/L natrium dan klorida, 54 mmol/L lebih tinggi dari
kadar klorida serum sebesar 100 mmol/L
- Trombosis vaskular
Banyak karakter pasien dengan KAD dan KHH mempredisposisi pasien
terhadap trombosis, seperti: dehidrasi dan kontraksi volume vaskular, keluaran
jantung rendah, peningkatan viskositas darah dan seringnya frekuensi
aterosklerosis. Sebagai tambahan, beberapa perubahan hemostatik dapat
mengarahkan kepada trombosis. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada saat
osmolalitas sangat tinggi. Heparin dosis rendah dapat dipertimbangkan untuk
profilaksis pada pasien dengan risiko tinggi trombosis, meskipun demikian
belum ada data yang mendukung keamanan dan efektivitasnya.
27
BAB III
ANALISA KASUS
Diagnosa ditegakan berdasarkan anamnesa, pemeriksaa klinis dan pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan mikrobiologi. Anamnesis pasien didapatkan Ny. NU, 54
tahun dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSMH Palembang dengan diagnosis KAD. gigi
yang goyang sejak 1 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluh bercak putih kekuningan
pada permukaan atas lidahnya sejak ± 5 hari yang lalu
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak kompos mentis, denyut nadi
80x/m, laju pernapasan 19x/m, suhu 36,30 C dan tekanan darah 120/70 mmHg. Pada
pemeriksaan ekstraoral,dijumpai bentuk wajah simetris. Pada pemeriksaan intraoral
ditemukan debris di regio 1,2,3,4 dan kalkulus di regio 1 dan 2. Pada gingiva terdapat
inflamasi dan abses pada regio 1, pocket pada regio 1. Bagian mukosa bukal dalam batas
normal, gusi merah dan membengkak (-),pada lidah terdapat lesi berupa lapisan plak
berwarna putih kekuningan yang tersebar merata pada posterior dorsum lidah, bisa
dikerok dan meninggalkan dasar kemerahan serta sakit setelah dikerok, gigi 13 goyang
(+). Pada gigi 11,12,dan 13 ditemukan lesi pada radix sedangkan pada gigi 13
pemeriksaan perkusi (+).
Berdasarkan anamnesis. Pasien dengan KAD mempunyai riwayat Diabetes mellitus
yang merupakan faktor risiko menimbulkan perubahan yang terjadi di rongga mulut,
yaitu kandidiasis, pemeriksaan klinis didapatkan lidah terdapat lesi berupa lapisan plak
berwarna putih kekuningan, bisa dikerok dan meninggalkan dasar kemerahan. Dan
menyebabkan terjadinya kalklus sehingga menyebabkan periodontitis yang sudah
berlangsung lama. Maka Diagnosis lesi pada lidah pasien yaitu Suspek kandidiasis akut
e.c Diabetes Melitus tipe 2 dan periodontitis kronis.

28
DAFTAR PUSTAKA
1. Glick, Michael. Burket’s Oral Medicine, 12th edition. USA: People’s Medical
Publishing House; 2015:93(8):567-78.
2. Silverman, S.L, L Boy Eversole, Edmon L.T. Essentials of Oral Medicine.
London: BC Decker Inc; 2002: 93-5.
3. Pedersen, Anne M.L. Oral Infections and General Health. Denmark:
Springer;2016:65-70.
4. Waal, Isaac van der. Atlas of Oral Diseases. Amsterdam: Springer; 2016:23-4
5. Ghom, Anil Govindrao. Texbook of Oral Medicine, 2th edition. India: Jaypee
Brothers Medical Publishers (P) Ltd; 2010:901-3
6. Lewis, Michael A.O, Richard C. K Jordan. 2012. A Colour Handbook of Oral
Medicine, 2th edition London: Manson Publishing.
7. Lamster, I.B. Diabetes Mellitus and Oral Health an Interprofessional Approach.
India : Wiley Blackwell; 2014:3.
8. Mohan, Hars. Essentials Pathology for Dental Student. London: Jaypee Brothers
Medical Publishers (P) Ltd;2011:512.

29

Вам также может понравиться