Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan Rahmat taufik dan hidayah – Nya sehingga Penulisan Makalah ini dapat
terselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah saya ini berjudul “MUNAKAHAT “, didalam Makalah saya ini terdapat
beberapa pembahasan diantaranya, Pengertian Perkawinan, Hukum Pernikahan, Rukun dan
Syarat Sah Nikah, Wanita yang Haram dinikahi, serta Hikmah Pernikahan atau Perkawinan.
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, itu dikarenakan
kemampuan penulis yang terbatas. Namun berkat bantuan dan dorongan serta bimbingan dari
Dosen Pembimbing serta berbagai bantuan dari berbagai pihak, akhirnya pembuatan makalah ini
dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis berharap dengan penulisan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis
sendiri dan bagi para pembaca pada umumnya serta semoga dapat menjadi bahan pertimbangan
dan meningkatkan prestasi dimasa yang akan datang.
Wassalam,
Penulis
DAFTAR ISI
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 14
B. Saran ................................................................................................................. 14
BAB I
Pendahuluan
Latar Belakang
Munakahat berarti pernikahan atau perkawinan. Kata dasar pernikahan adalah nikah.
Menurut kamus bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Pernikahan adalah
suatu lembaga kehidupan yang disyariatkan dalam agama Islam. Pernikahan merupakan suatu
ikatan yang menghalalkan pergaulan laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga
yang bahagia dlan mendapatkan keturunan yang sah. Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal
dan pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Tujuan pernikahan adalah untuk
mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah, serta bahagia di dunia dan
akhirat.
Dalam usaha meleburkan suatu bentuk hukum dalam dunia hukum Islam Indonesia. Tentunya
kita ingin mengetahui lebih dalam darimana asal konsep hukum yang diadopsi oleh Departemen
Agama RI tersebut yang kemudian menjadi produk hukum yang lazim disebut Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, dan diantara materi bahasannya adalah rukun dan syarat perkawinan yang
akan coba kita pelajari perbandingannya dengan fikih munakahat.
Berawal dari garis perbandingan antara kedua produk hukum tersebut, pemakalah mencoba
membahas perbandingan antara keduanya sehingga dapat diketahui lebih dalam hubungan antara
keduanya.
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Perkawinan
Secara bahasa : kumpulan, bersetubuh, akad secara syar’i : dihalalkannya seorang lelaki dan
untuk perempuan bersenangg-senang, melakukan hubungan seksual, dll .
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang didalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan
dengan perkawinan. Nikah menurut istilah syariat Islam adalah akad yang menghalalkan
pergaulan antara laki - laki dan perempuan yang tidak ada hubungan Mahram sehingga dengan
akad tersebut terjadi hak dan kewjiban antara kedua insan.
Hubungan antara seorang laki - laki dan perempuan adalah merupakan tuntunan yang telah
diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan hubungan ini maka disyariatkanlah akad
nikah. Pergaulan antara laki - laki dn perempuan yang diatur dengan pernikahan ini akan
membawa keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki - laki maupun perempuan,
bagi keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada disekeliling kedua insan
tersebut.
Berbeda dengan pergaulan antara laki - laki dan perempuan yang tidak dibina dengan sarana
pernikahan akan membawa malapetaka baik bagi kedua insan itu, keturunannya dan masyarakat
disekelilingnya. Pergaulan yang diikat dengan tali pernikahan akan membawa mereka menjadi
satu dalam urusan kehidupan sehingga antara keduanya itu dapat menjadi hubungan saling
tolong menolong, dapat menciptkan kebaikan bagi keduanya dan menjaga kejahatan yang
mungkin akan menimpa kedua belah pihak itu. Dengan pernikahan seseorang juga akan
terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya.
Allah SWT berfirman dalam surat An - Nisa Ayat 3 sebagai berikut :
” Maka kawinilah wanita - wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan brlaku adil maka (kawinilah) seorang saja .” (An - Nisa : 3).
Ayat ini memerintahkan kepada orang laki - laki yang sudah mampu untuk melaksanakan
nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil didalam memberikan kepada istri
berupa pakaian, tempat, giliran dan lain - lain yang bersifat lahiriah. Ayat ini juga menerangkan
bahwa islam memperbolehkan poligami dengan syarat - syarat tertentu.
B. Hukum Nikah
Para fuqaha mengklasifikasikan hukum nikah menjadi 5 kategori yang berpulang kepada
kondisi pelakunya :
Wajib, bila nafsu mendesak, mampu menikah dan berpeluang besar jatuh ke dalam zina.
Sunnah, bila nafsu mendesak, mampu menikah tetapi dapat memelihara diri dari zina.
Mubah, bila tak ada alasan yang mendesak/mewajibkan segera menikah dan/atau alasan yang
mengharamkan menikah.
Makruh, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah tetapi tidak merugikan
isterinya.
Haram, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah sehingga merugikan isterinya.
Pertama karena nasab, kedua haram mushaharah (ikatan perkawinan) dan ketiga karena
penyusuan.
1. Ibu
2. Anak perempuan
3. Saudara perempuan
4. Bibi dari pihak ayah (saudara perempuan ayah)
5. Bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu)
6. Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan)
7. Anak perempuan saudara perempuan).
1. Ibu istri (ibu mertua), dan tidak dipersyaratkan tahrim ini suami harus dukhul ”bercampur” lebih
dahulu. Meskipun hanya sekedar akad nikah dengan puterinya, maka sang ibu menjadi haram
atau menantu tersebut.
2. Anak perempuan dari isteri yang sudah didukhul (dikumpul), oleh karena itu, manakala akad
nikah dengan ibunya sudah dilangsungkan namun belum sempat (mengumpulinya), maka anak
perempuan termasuk halal bagi mantan suami ibunya itu. Hal ini didasarkan pada firman Allah,
”Tetapi kalian belum bercampur dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian campur), maka tidak
berdosa kalian menikahinya.” (An-Nisaa:23).
3. Isteri anak (menantu perempuan), ia menjadi haram dikawini hanya sekedar dilangsungkannya
akad nikah.
4. Isteri bapak (ibu tiri) diharamkan ats anak menikahi isteri bapak dengan sebab hanya sekedar
terjadinya akad nikah dengannya.
Allah SWT berfirman yang artinya, ”Ibu-ibu kalian yang pernah menyusui kalian; saudara
perempuan sepersusuan.” (an-Nisaa’:23).
Nabi saw. bersabda, ”Persusuan menjadikan haram sebagaimana yang menjadi haram
karena kelahiran.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:139 no:5099, Muslim II:1068 no:1444,
Tirmidzi II:307 no:1157, ’Aunul Ma’bud VI:53 no:2041 dan Nasa’i VI:99). Hal.570
Oleh karena itu, ibu sepersusuan menempati kedudukan ibu kandung, dan semua orang yang
haram dikawini oleh anak laki-laki dari jalur ibu kandung, haram pula dinikahi bapak
sepersusuan, sehingga anak yang menyusui kepada orang lain haram kawin dengan:
Dari Aisyah r.anha bahwa Rasulullah saw. Bersabda, ”Tidak bisa menjadikan haram, sekali
isapan dan dua kali isapan.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2148, muslim II: 1073 no:1450,Tirmidzi
II: 308 no: 1160’Aunul Ma’bud VI: 69 no: 2049, Ibnu Majah I: 624 no:1941, Nassa’i VI:101).
Dari Aisyah r.anha berkata, ”Adalah termasuk ayat Qur’an yang diwahyukan. Sepuluh
kali penyusuan yang tertentu menjadi haram. Kemudian dihapus (ayat) ayat yang menyatakan
lima kali penyusuan tertentu sudah menjadi haram. Kemudian Rasulullah saw wafat, dan ayat
Qur’an itu tetap di baca sebagai bagian dari al-Qur’an.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no:879m
Muslim II:1075 no:1452, ’Aunul Ma’bud VI:67 no:2048, Tirmidzi II:308 no:1160, Ibnu Majah
II:625 no:1942 sema’na dan Nasa’i VI:100). Dipersyaratkan hendaknya penyusuan itu
berlangsung selama dua tahun, berdasar firman Allah, ”Para Ibu hendaklah menyusui anak-
anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS. al-
Baqarah :233)
Dari Ummu Salamah r.anha bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Tidak menjadi haram
karena penyusuan, kecuali yang bisa membelah usus-usus di payudara dan ini terjadi sebelum
disapih.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2150 dan Tirmidzi II:311 no:1162).
2. Mengumpulkan seorang isteri dengan bibinya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibunya.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, ”Tidak boleh dikumpulkan (dalam
pernikahan) antara isteri bibinya dari pihak ayah dan tidak (pula) dari ibunya.” (Muttafaqun
’alaih: II:160, Tirmidzi II:297 no:11359 Ibnu Majah I:621 no:1929 dengan lafadz yang sema’na
dan Nasa’i VI:98).
Yaitu diharamkan bagi kalian mengawini wanita-wanita yang berstatus sebagai isteri orang lain,
terkecuali wanita yang menjadi tawanan perang. Maka ia halal bagi orang yang menawannya
setelah berakhir masa iddahnya meskipun ia masih menjadi isteri orang lain. Hal ini mengacu
pada hadits dari Abu Sa’id bahwa Rasulullah saw. pernah mengutus pasukan negeri Authas. Lalu
mereka berjumla dengan musunya, lantar mereka memeranginya. Mereka berhasil menaklukkan
mereka dan menangkap sebagian di antara mereka sebagai tawanan. Sebagian dari kalangan
sahabat Rasulullah saw merasa keberatan untuk mencampuri para tawanan wanita itu karena
mereka berstatus isteri orang-orang musyrik. Maka kemudian Allah SWT pada waktu itu
menurunkan ayat, ”Dan (diharamkan pula kamu mengawini) wanita-wanita bersuami kecuali
budak-budak yang kamu miliki. ’Yaitu mereka halal kamu campuri bila mereka selesai menjalani
masa iddahnya. (Shahih: Mukhtashar Muslim no:837, Muslim II:1079 no:1456, Trimidzi IV: 301
no:5005, Nasa’i 54 VI:110 dan ’Aunul Ma’bud VI:190 no:2141).
Dari Amr bin Syu’aib, dari ayanya dari datuknya bahwa Martad bin Abi Martad al-Ghanawi
pernah membawa beberapa tawanan perang dari Mekkah dan di Mekkah terdapat seorang
pelacur yang bernama ’Anaq yang ia adalah teman baginya. Ia (Martad) berkata, ”Saya datang
menemui Nabi saw. lalu kutanyakan kepadanya ”Ya Rasulullah bolehkah saya menikah dengan
’Anaq Mak Beliau diam, lalu turunlah ayat, ”Dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.” Kemudian Beliau memanggilku
kembali dan membacakan ayat itu kepadaku, lalu bersabda, ”Janganlah engkau menikahinya.”
(Hasanul Isnad: Shahih Nasa’i no:3027, ’Aunul Ma’bud VI:48 no: 2037, VI:66 dan Tirmidzi
V:10 no:3227).
B. Saran
Pernikahan merupakan suatu ikatan yang menghalalkan pergaulan laki-laki dengan seorang
wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia dalam mendapatkan keturunan yang sah.
Maka dari itu, kita harus mengetahui segala sesuatu, mulai dari hukum nikah, rukun
nikah, kewajiban suami istri setelah menikah, hikmah menikah, agar kita tidak sekali-kali bila
ada kesalah pahaman di dalam keluarga jangan terus membuat keputusan untuk bercerai,
karena bercerai itu tidak disukai oleh Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Dewantoro Sulaiman, SE, Agenda Pengantin, Hidayatul Insan, Solo, 2002
Rasjid, Sulaiman, H., Fikh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 1996
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana: Jakarta. 2007
Al-Hamdani, Risalah an-Nikah, Pustaka Amani: Jakarta. 2002
http://www.kosmaext2010.com/makalah-fiqih-makalah-munakahat-perkawinan.php