Вы находитесь на странице: 1из 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis (MTb).Kumaninibiasanya menyerang paru (TB paru) namun juga
dapat menyerang organ lain (TB ekstra paru).
Penyakit tuberkulosis sudah dikenal sejak ribuan tahun
sebelum Masehi. Hal ini terbukti dari adanya sisa-sisa penyakit
yang didapatkan pada mummi dari zaman Mesir kuno dan
adanya tulisan tentang penyakit ini dalam Pen Tsao yakni medika
China yang sudah berumur 5000 tahun. Bakteri penyebab
tuberkulosis untukpertama kali ditunjukkan oleh Robert Koch
pada tahun 1882 yang menyebabkan penyakit ini juga sering
disebut pneumonia Koch. Kemudian Erlich membuktikan bahwa
bakteri tuberkulosis adalah gram positif dan bersifat tahan asam,
sehingga ketika diberikan pewarnaan Ziechl Nielsen akan
berwarna merah (Bahar, 1990).
Sejak tahun 1995, Program Pemberantasan Tuberkulosis
Paru telah dilaksanakan dengan srategi DOTS (Directly Observed
Treatment Shortcourse chemotherapy) yang direkomendasi oleh
WHO. Semanjak saat itu, TB secara perlahan menurun setiap tahun dan
diperkirakan bahwa 37 juta jiwa diselamatkan antara tahun 2000 dan 2013 melalui
diagnosis dan pengobatan yang efektif. Namun, mengingat bahwa sebagian besar
kematian akibat TB dapat dicegah, angka kematian akibat penyakit ini masih
tergolong tinggi sehingga upaya untuk menurunkan angka kematian tersebut harus
dipercepat karena tahun 2015 merupakan target global yang ditetapkan dalam
konteks Millennium Development Goals (MDGs)(WHO,2014).
TB dijumpai hampir di semua wilayah dunia. Global Tuberculosis Report
2014telah mengumpulkan data TB dari 202 negara dan wilayah, dimana sebagian
besar dari perkiraan jumlah kasus pada tahun 2013 terjadi di Asia (56%) dan

7
Afrika (29%); 3 proporsi yang lebih kecil dari kasus terjadi di Mediterania Timur
(8%), Eropa (4%) dan Amerika (3%). 22 negara dengan beban tinggi (High
Burden Countries) sejak tahun 2000 menyumbang 82% dari semua perkiraan
kasus TB di dunia. Enam negara yang menonjol dengan jumlah terbesar kasus TB
pada tahun 2013 adalah India (2,0 juta-2,3 juta), Cina (900.000 - 1.100.000),
Nigeria (340 000 - 880 000), Pakistan (370 000 - 650 000), Indonesia (410 000 -
520 000) dan Afrika Selatan (410 000 - 520 000).
Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang
utama di negara-negara berkembang. Seperti yang kita ketahui, sebagian besar
masyarakat di negara berkembang memiliki tingkat pendidikan rendah dan
penghasilan rata-rata di bawah upah minimum regional. Sebagian besar pasien
dengan TB adalah TB paru. Namun, 25% dari orang dewasa dapat disertai dengan
TB ekstra paru, yang terutama melibatkan kelenjar getah bening dan pleura,
namun juga bisa mempengaruhi sistem organ, termasuk Sistem Saraf Pusat (SSP),
sistem kardiovaskular, dan saluran gastrointestinal. TB ekstra paru paling sering
dijumpai pada seseorang dengan imunitas yang buruk, seperti pada penderita
dengan status gizi buruk, terinfeksi HIV, ataupun menderita penyakit kronik.
Bentuk yang paling umum dari TB ekstra paru adalah efusi pleura TB. Pada
pasien yang datang dengan efusi pleura yang belum diketahui penyebabnya maka
diagnosis efusi pleura TB harus dipertimbangkan. Efusi pleura yang terjadi
sebagai manifestasi dari TB dapat sembuh sendiri, sering tidak terlalu
diperhatikan, dan tidak diobati, sehingga dapat menyebabkan penyakit yang serius
beberapa tahun kemudian(WHO, 2014).

2.2. Efusi pleura


Efusi pleura dapat terjadi sebagai komplikasi dari berbagai penyakit. Pendekatan
yang tepat terhadap pasien efusi pleura memerlukan pengetahuan insidens dan
prevalens efusi pleura. Distribusi penyakit penyebab efusi pleura tergantung pada
studi populasi. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Mangunnegoro dkk. di
rumah sakit Persahabatan pada Juli 1994 sampai dengan Juni 1995 mendapatkan
penyebab efusi pleura terbanyak adalah keganasan sebesar 52,4% diikuti oleh TB

8
sebesar 32,3% dan empiema toraks sebesar 13,1%. Rita Khairani dkk. pada
September 2012 sampai dengan Desember 2011 meneliti karakteristik efusi pleura
di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta dengan hasil sebagian besar subjek
penelitian (87%) bersifat eksudat dengan penyebab terbesar infeksi dan
malignansi. Sisanya sebanyak 13% pasien bersifat transudat. Tuberkulosis
menjadi penyebab infeksi paling besar yaitu 42% dan sisanya infeksi bukan
tuberkulosis. (Khairani, 2012).
Efusi pleura merupakan akumulasi cairan pleura yang abnormal yang
disebabkan oleh karena pembentukan cairan pleura lebih cepat dari proses
absorpsinya.Sebagian besar efusi pleura terjadi Karena adanya peningkatan
pembentukan cairan pleura dan penurunan kecepatan absorpsi cairan pleura
tersebut.Pada pasien dengan daya absorpsi normal, pembentukan cairan pleura
harus meningkat 30 kali lipat secara terus menerus agar dapat menimbulkan suatu
efusi pleura. Di sisi lain, penurunan daya absorpsi cairan pleura saja tidak akan
menghasilkan penumpukan caian yang signifikan dalam rongga pleura mengingat
tingkat normal pembentukan cairan pleura sangat lambat (Lee, 2013). Efusi pleura
bisa disebabkan oleh penyakit yang berasal dari paru, pleura ataupun penyakit di
luar paru (Light, 2011).

Gambar 2.1. Anatomi pleura (Charalampidis C, 2014)

9
2.2.1. Klasifikasi
Efusi pleura dibedakan menjadi eksudat dan transudat berdasarkan penyebabnya
(Light, 2011). Berdasarkan kriteria Light, dikatakan efusi pleura eksudat jika
memenuhi satu atau lebih kriteria berikut :
(1) Rasio kadar protein cairan pleura/kadar protein serum lebih besar dari 0,5.
(2) Rasio kadar LDH cairan pleura/kadar LDH serum lebih besar dari 0,6 atau
(3) Kadar LDH cairan pleura dua pertiga lebih besar dari batas atas normal
LDH serum (Mayse, 2008)
Efusi pleura transudat terjadi karena tekanan hidrostatik dan onkotik di pleura
berubah, sehingga laju pembentukan cairan pleura melebihi reabsorpsinya. Hal ini
ditandai dengan sel dan protein konten yang rendah. Gagal jantung kongestif
adalah penyebab paling umum dari efusi pleura transudat (Kinasewitz, 1997).
Biasanya efusi pleura yang disebabkan oleh TB selain bersifat eksudatif
juga bersifat limfositik (Mason, 2005). Penelitian yang dilakukan di negara
dengan prevalensi TB tinggi mendapatkan efusi pleura eksudatif jauh lebih tinggi
dibandingkan efusi pleura transudatif. Sebaliknya di negara dengan prevalensi TB
rendah mendapatkan efusi pleura eksudatif sekitar 75% dibandingkan efusi pleura
transudatif seperti yang dilaporkan oleh Leers dkk. yang mendapatkan 74% efusi
pleura eksudatif, Romero dkk yang mendapatkan 75% efusi pleura eksudatif dan
Metintas dkk yang mendapatkan 77% pasien dengan efusi pleura eksudatif(WHO,
2014)

2. 3. Efusi pleura tuberkulosis


Efusi pleura TB adalah efusi pleura yang disebabkan oleh M.Tb yang dikenal juga
dengan nama pleuritis TB (Mason, 2005).Secara global, TB masih menjadi salah
satu penyebab efusi pleura yang paling sering. Awalnya, patogenesis penyakit ini
murni dianggap sebagai hasil dari reaksi hipersensitivitas tipe lambat namun
sekarang juga diyakini sebagai akibat dari infeksi langsung ke dalam rongga
pleura melalui rangkaian kejadian termasuk respon imunologi (Vorster, 2015).

10
Efusi pleura TB paling banyak disebabkan oleh infeksi TB primer paru.
Peradangan pada pleura umumnya berhubungan dengan berkembangnyareaksi
hipersensitivitas tipe lambat melawan tubercle bacilli yang terdapat pada atau
dekat dengan permukaan pleuradan biasanya sembuh dengan sendirinya(Iseman
MD dan Madsen LA, 1991).Pada tuberkulosis post primer, efusi pleura terjadi
karena kumanM. Tbmasuk secara langsung kedalam rongga pleura melalui lesi
kavitas paru, aliran darah dan sistem limfatik. Hal ini disebut juga fenomena
reaktivasi dengan ditemukan adanya infiltrat atau kavitas di parenkim paru
(Chakrabarti B, Davies PDO, 2006)
Pemeriksaan sputum untuk mendeteksi BTA yamg sebelumnya diyakini untuk
diagnostik efusi pleura TB dirasa kurang bermanfaat mengingat sensitifitinya yang hanya
50%(Vorster, 2015).
Di daerah dengan prevalensi TB yang tinggi, pasien yang datang dengan efusi
pleura eksudatif yang didominasi oleh limfosit dan kadar ADA yang tinggi seringkali
disimpulkan sebagai efusi pleura TB, hal ini merupakan tambahan yang berharga dalam
evaluasi diagnostik. Kadar ADA umumnya mudah diperoleh, dengan dominasi limfosit
pada cairan pleura membenarkan pengobatan TB pada pasien-pasien terduga TB(Vorster,
2015).
Sulitnya menegakkan diagnosa efusi pleura TB mendorong para peneliti
untuk mencari metode yang mengoptimalkan efusi pleurapada pasien yang diduga
terinfeksi TB. Salah satunya adalah dengan pemeriksaan kadar Adenosine
Deaminase (ADA) dalam cairan pleura yang menunjukkan proses inflamasi yang
dipicu oleh M. Tb (Duran, 2014).
Penelitian terbaru, sebuah meta-analisis oleh Lian QL dan kawan-kawan,
menunjukkan bahwa pengukuran kadar ADA pada efusi pleura sangat akurat
untuk mendiagnosa efusi pleuraTB. Namun demikian patokan terbaik yang
mereka temukan adalah 40 U/L yang memberikan Likelihood ratio (LH)ratio
positif 9,03 dan LH rationegatif 0,01 yang merupakan nilai penting untuk
dipertimbangkan. Namun, di Argentina nilai patokan yang diajukan untuk ADA
pada cairan pleura adalah 60 U/L (Duran, 2014).

11
2.3.1. Patofisiologi efusi pleura tuberkulosis
Efusi pleura TB paling banyak disebabkan oleh infeksi TB primer paru.
Peradangan pada pleura umumnya berhubungan dengan berkembangnya reaksi
hipersensitiviti tipe lambat melawan tubercle bacilli yang terdapat pada atau dekat
dengan permukaan pleuradan biasanya sembuh dengan sendirinya (Iseman MD
dan Madsen LA, 1991). Efusi pleura tuberkulosis biasanya terjadi setelah yang
disebut periode laten 3-6 bulan setelah infeksi awal akibat pecahnya fokus Ghon
ke dalamrongga pleura(Chakrabarti B dan Davies PDO, 2006).
Protein mikrobakterium masuk ke rongga pleura 6-12 minggu setelah
infeksi primer dan jarang berasal dari penyebaran secara langsung dari lesi pada
vertebra, antigen ini biasanya masuk melalui robeknya fokus subpleura kemudian
terjadi reaksi lokal hipersensitiviti tipe lambat yang diperantarai oleh sel CD4+
(Rodriguez ES dan Light RW, 2008).Proses ini dapat terjadi selama tuberkulosis
primer atau tuberkulosis postprimer dengan atau tanpa adanya keterlibatan kuman
Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam rongga pleura. Antigen
mikobakterium yang masuk ke dalam rongga pleura, akan menimbulkan respon
kekebalan tubuh, dimulai dengan neutrofil dan makrofag kemudian oleh
interferon gamma dihasilkan oleh sel T- helper (Th) tipe I limfosit mengakibatkan
efusi pleura eksudat didominasi oleh limfosit. Reaksi hipersensitivitas tipe lambat
ini merupakan reaksi imunologi, bukan merupakan infeksi kuman mikobakterium
secara langsung pada rongga pleura. Pada keadaan ini hasil pemeriksaan
pewarnaan langsung bakteri tahan asam dan kultur cairan pleura rendah
(Chakrabarti B dan Davies PDO, 2006).
Pada tuberkulosis postprimer, efusi pleura terjadi karena kuman
mikobakterium tuberkulosis masuk secara langsung kedalam rongga pleura
melalui lesi kavitas paru, aliran darah dan sistem limfatik. Hal ini disebut juga
fenomena reaktivasi dengan ditemukan adanya infiltrat atau kavitas di parenkim
paru. Ketika sejumlah besar material kaseus yang berasal dari kavitas di parenkim,
kelenjar paratrakea, atau abses paravertebra yang berjalan langsung ke rongga

12
pleura menyebabkan efusi pleura atau empiema (Chakrabarti B dan Davies PDO,
2006).
2.3.2. Immunologi
Sampai saat ini efusi pleura TB diduga terjadi terutama sebagai akibat dari reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Penyuntikan tuberkulin ke rongga pleura marmut
yang sudah tersensitisasi oleh M.Tb, akan menghasilkan efusi pleura yang kaya
protein selama periode 24jam, yang seluruhnya ditekan oleh serum antilimfosit
(Vorster 2015).
Berdasarkan percobaan ini dan fakta bahwa peneliti tidak menemukan
M.Tb dari kultur cairan pleura, patogenesis efusi pleura TB diduga disebabkan
oleh hipersensitivitas tipe lambat daripada infeksi langsung dari rongga pleura.
Berkembangnya media untuk kultur saat ini memungkinkan untuk kultur M.Tb
baik dari cairan pleura maupun jaringan pleura samapai 70% dari kasus-kasus
yang ada, dan mengikuti postulat Koch untuk infeksi, ini menunjukkan suatu
hubungan kausal. Suatu efusi pleura kemungkinan akibat manifestasi dari
paucibacillary mikobakterium di dalam rongga pleura, yang diperoleh dari lesi
awal pada parenkim serta respon imunologi yang kemudian meningkatkan
produksi cairan pleura dan mengurangi absorpsi cairan pleura (Vorster, 2015).
Pada awalnya, terjadi respon inflamasi dengan peningkatan neutrofil yang
cepat dalam rongga pleura dan menimbulkan gejala. Hal ini perlahan-lahan diikuti
oleh limfosit dan dengan reaksi imunologi yang menyebabkan pembentukan
granuloma pleura dan pelepasan ADA. Oleh karena itu masuk akal jika
kemungkinan kultur cairan pleura yang positif semakin berkurang seiring
berjalannya waktu, kemudian efusi pleura akan didominasi oleh limfosit dan
mikobakterium yang masih tersisa. Serupa dengan TB paru, hipotesis patogenesis
efusi pleura TB menunjukkan bahwa sel T-helper tipe 1 (Th-1) yang kuat seperti
imunitas (dominan interferon) sangat penting untuk menahan M.Tbsedangkan
efek protektif ini diantagonis oleh sel T-helper tipe 2 sitokin, terutama interleukin
(IL)-4. CD3+ dan CD4+ diaktifkan Th-1 sel melalui pelepasan interferon gamma
(IFN-γ) dan sitokin Th-1 lainnya mengaktifkan makrofag untuk membunuhM.Tb,
sedangkan sitokin Th-2mengantagonis efek ini (Voster, 2015).

13
Dominasi sel Th-1 imunitas pada efusi pleura TB ditandai dengan
tingginya kadar IFN-γ dan sitokin inflamasi lainnya (misalnya IL-12), dimana
proporsi sel T-helper dalam cairan pleura lebih tinggi dibandingkan sel T-helper
dalam serum atau darah perifer. Frekuensi IL-4 sel T yang mewakili kekebalan
Th2, secara signifikan lebih rendah dalam cairan pleura dibandingkan di dalam
darah perifer. Compartmentalisation ini mungkin tidak terjadi segera setelah
infeksi, seperti yang ditunjukkan hewan-hewan penelitian. Leukosit
polimorfonuklear adalah sel pertama yang merespon dan mendominasi dalam 24
jam pertama, kemudian diikuti oleh makrofag yang puncaknya pada 96 jam
pertama, dan kemudian akan didominasi oleh limfosit. Tampaknya masuknya
leukosit polimorfonuklear adalah respon spesifik untuk cedera pleura baik
polimorfonuklear sendiri atau interaksinya dengan makrofag, keduanya berperan
dalam mekanisme pertahanan host melawan basil tuberkulosis(Vorster, 2015).

Gambar 2.2. Respon imunologi terjadinya efusi pleura tuberkulosis.( Ferreiro L, San jose E,
Valdes L, 2014)

14
2.3.3. Manifestasi klinis
Gejala klinis yang paling sering adalah batuk (70%), nyeri dada (75%) dan
demam dengan derajat yang rendah hingga tinggi (86%). Gejala TB lain
seperti penurunan berat badan, malaise, keringat malam hari dapat terjadi. Gejala
klinis yang berat berupa demam tinggi yang menetap lebih dari 2 minggu
atau kondisi gagal napas dilaporkan terjadi pada 7% kasus. Pleuritis TB
hampir selalu melibatkan salah satu hemitoraks saja (90-95%)(Kementerian
Kesehatan RI 2013, 2013).Kadang-kadang efusi pleura TB asimptomatik jika
cairan efusinya masih sedikit dan sering terdeteksi pada pemeriksaan radiologi
yang dilakukan untuk tujuan tertentu (Iseman MD dan Madsen LA, 1991).Namun
jika cairan efusi dalam jumlah sedang sampai banyak maka akan memberikan
gejala dan kelainan dari pemeriksaan fisik (Marel, 1993).
Efusi pleura TB dapat hilang secara spontan tanpa pengobatan, tetapi
kebanyakan pasien akan mengalami TB aktif di kemudian hari. Di daerah endemis
TB yang non-HIV dimana reaktivasi adalah mekanisme dominan penyakit TB,
keterlibatan pleura dilaporkan terjadi pada 4% kasus. Pasien tersebut memiliki
onset yang lebih berbahaya, menyerang usia tua dan pasien-pasien
yangimmunocompromise. Pasien immunocompromise telah terbukti memiliki
hasil kultur positif yang lebih tinggi. Empiema yang disebabkan TB kronis jarang
terjadi, berbeda dengan infeksi kronis biasanya,pada empiema infeksi aktif di
dalam rongga pleura. Hal ini ditandai dengan adanya cairan purulen, di mana
hampir semua sel-sel darah putih berinti adalah neutrofil, dan dapat terjadi pada:
(I) perkembangan dari pleuritis TB primer; (II) perluasan langsung, infeksi ke
dalam rongga pleura dari kelenjar getah bening dada atau fokus gohn
subdiaphragmatic; (III) tersebar secara hematogen; atau (IV) setelah
pneumonectomy. Kebanyakan empiema akan hilang dengan sendirinya, dan
meninggalkan penebalan pleura, sekuel, dan kalsifikasi pleura.Namun, proses ini
dapat menjadi rumit bila terjadi dekompresi melalui dinding dada (Empiema
necessitans). Pneumotoraks sekunder dari TB paru sering terjadi akibat parahnya

15
keterlibatan paru oleh proses infeksi dan timbulnya bronkopleural fistul dan
empiema. Fibrotoraks (Gambar 2.3.) merupakan komplikasi dari efusi pleura TB.
Namun, prevalensi yang tepat,masih belum pasti karena laporan yang bervariasi
antara 5% sampai 55%. Selanjutnya, fibrosis pleura mungkin merupakan
manifestasi klinis jangka panjang, beberapa penelitian melaporkan, penurunan
penebalan pleura sebanyak ≥10 mm berhubungan dengan morbiditas yang
signifikan, termasuk nyeri dada kronis, sesak napas dan penurunan fungsi
paru(Vorster, 2015)

Gambar 2.3.Fibrotoraks sebagai komplikasi dari efusi pleura TB yang kronik.(Vorster MJ,
Allwoodd BW, Diacon AH, et al, 2015)

Walaupun TB merupakan suatu penyakit yang kronis akan tetapi efusi


pleura TB sering manifestasi klinisnya sebagai suatu penyakit yang akut.Sepertiga
penderita efusi pleura TB memberikan gejala sebagai suatu penyakit akut yang
gejalanya kurang dari 1 minggu (Mayse M.L, 2008). Pada suatu penelitian
terhadap 71 penderita ditemukan 31% mempunyai gejala kurang dari 1 minggu
durasinya dan 62% dengan gejala kurang dari satu bulan (Mason, 2005).Umur
penderita efusi pleura TB lebih muda daripada penderita TB paru. Pada suatu
penelitian yang dilakukan di Qatar dari 100 orang yang menderita usia rata-rata
31.5 tahun, sementara di daerah industri seperti Amerika Serikat usia ini
cenderung lebih tua sekitar 49.9 tahun (Mason, 2005).
Kelainan yang dapat dijumpai pada pemeriksaan fisik sangat tergantung
pada banyaknya penumpukan cairan pleura yang terjadi. Pada inspeksi dada bisa

16
dilihat kelainan berupa bentuk dada yang tidak simetris, penonjolan pada dada
yang terlibat, sela iga melebar, pergerakan tertinggal pada dada yang terlibat. Pada
palpasi stem fremitus melemah sampai menghilang, perkusi dijumpai redup pada
daerah yang terlibat, dari auskultasi akan dijumpai suara pernafasan vesikuler
melemah sampai menghilang, suara gesekan pleura (Mason, 2005).

2.3.4. Foto Toraks


Efusi pleura TB paling sering unilateral dan biasanya efusi yang terjadi biasanya
ringan sampai sedang dan jarang massif (Iseman MD dan Madsen LA, 1991).
Pada penelitian yang dilakukan Valdes dkk pada tahun 1989 sampai 1997 terhadap
254 penderita efusi pleura TB, ditemukan jumlah penderita yang mengalami efusi
pleura di sebelah kanan 55,9%, di sebelah kiri 42,5% dan bilateral efusi 1,6%
penderita serta 81,5% penderita mengalami efusi pleura kurang dari dua pertiga
hemitoraks (Valdes, 1998).

Gambar 2.4. foto toraks pasien efusi pleura TB terkonfirmasi. Tidak ada terlihat kelainan
signifikan pada parenkim.(Voster MJ, Allwoodd BW, Diacon AH, 2015)

Berdasarkan pemeriksaan radiologis toraks menurut kriteria American


Thoracic Society (ATS), TB paru dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu lesi
minimal, lesi sedang, dan lesi luas (Rook, 2001).Sedangkan efusi pleura TB pada
pemeriksaan radiologis toraks posisi Posterior Anterior(PA) akan menunjukkan
gambaran konsolidasi homogen dan meniscus sign, dengan sudut costophrenicus

17
tumpul, pendorongan trakea dan mediastinum ke sisi yang berlawanan (Mason,
2005).
2.3.5. Ultrasonografi (USG) toraks
USG toraks kini diterima sebagai standar untuk dilakukannya torakosentesis dan
biopsi pleura tertutup. Deteksi penebalan pleura di daerah tertentu dan kelainan
pleura lainnya dapat mengarahkan operator untuk melakukan biopsi ditempat
yang tepat. Selain kinerjanya yang non invasif untuk prosedur diagnostik, USG
toraks juga dapat membantu dalam menggambarkan sifat efusi pleura itu sendiri.
Penampilan ultrasonografi (USG) toraks untuk efusi pleura TB adalah berupa
gambaran anechoic disertai septated atau nonseptated sampai gambaran echoic
yang homogen(Vorster, 2015).

Gambar 2.5. Gambaran efusi pleura pada USG toraks (Lee YCG, 2013)

2.3.6. Computed Tomography (CT)scantoraks


CT scan toraks saat ini merupakan alat terbaik untuk memvisualisasikan
kedua pleura dan parenkim paru pada efusi pleura TB (Gambar 2.6.). Terlepas
dari memvisualisasikan luasnya penyakit, CT scan toraks dapat digunakan untuk
menilai empiema TB yang dapat dibagi menjadi tiga fase. Fase eksudatif
merupakan fase awal efusi pleura yang tidak rumit, kemudian diikutioleh fase
fibrinopurulen, di mana CT scan toraks biasanya menunjukkan penebalan pleura
viseral dan parietal yang dipisahkan oleh cairan, dikenal sebagai "pleural split "
sign. Pada tahap organisasi, CT scan toraks dapat menunjukkan efusi pleura

18
terlokalisir dengan pleural peel dan derajat kalsifikasi yang bervariasi dengan atau
tanpa proliferasi lemak ekstrapleura. CT scan toraks lebih sensitif dalam
mendiagnosis kelainan di parenkim dibandingkan dengan foto toraks
konvensional. Pada penelitian terbarudikatakan bahwa lebih dari 80% pasien
memiliki kelainan parenkim paru ketika CT scan toraks dilakukan. Temuan CT
scan toraks yang paling umum adalah mikronodul baik di subpleural maupun
interstisial peribronkovaskular, dengan penebalan septum interlobular yang
menunjukkan penyebaran limfatik TB. Menariknya, temuan dari CT scan toraks
ini, biasanya diikuti respon yang baik pada pasien-pasien efusi pleura TB yang
diberi Obat Anti Tuberkulosis, tercatat terutama pada usia muda sebelumnya
sehat, laki-laki, dengan nodul subpleural pada CT scan awal(Vorster, 2015).

Gambar 2.6. CT scan toraks, visualisasi kedua pleura dan parenkim paru pada efusi
pleura TB(Vorster MJ, Allwoodd BW, Diacon AH, et al, 2015)

2.4. Diagnosis
Presentasi klinis non spesifik dan sifat pausibasiler pada TB pleuritis merupakan
tantangan diagnosis(Kementerian Kesehatan RI 2013, 2013).Gold Standard untuk
diagnosis efusi pleura TB tetap dengan terdeteksinya BTA pada apusan maupun
kultur sputum, cairan pleura, spesimen biopsi pleura, atau terdapatnya granuloma
pada spesimen biopsi pleura (Duran, 2014).

19
Namun, karena sulitnya efusi pleura TB ditegakkan berdasarkan Gold standard,
berdasarkan penelitian sebelumnya di Buenos Aires, argentina, diagnosis efusi pleura TB
ditegakkan berdasarkan reference standard dan dinyatakan positif bila ditemukan satu
dari empat kriteria dibawah ini:
1. Apusan positif untuk BTA dan atau kultur positif untuk BTA baik dari cairan pleura
dan atau dari histologi jaringan pleura dan atau dari kelenjar getah bening mammaria
interna.
2. Terdapat granuloma TB baik dari jaringan pleura dan atau kelenjar getah bening
mammaria interna, yang disertai makrofag epiteloid dan sel-sel giant langerhans
bersamaan dengan limfosit, sel-sel plasma, mungkin juga disertai sedikit leukosit
polimorfonuklear, fibroblas dengan kolagen, dan biasanya terdapat caseous necrosis di
tengahnya.
3. Apusan positif untuk BTA atau kultur M. TBpositif dari sputum dan atau cairan
Broncho Alveolar Lavage (BAL).
4. Respon klinis yang membaik setelah diberikan OAT pada pasien dengan efusi pleura
yang tidak terbukti disebabkan oleh penyakit lain selain TB dalam dua sampai empat
bulan pengobatan, dan pasien menjadi afebris pada beberapa minggu pertama
pengobatan (Duran, 2014).
Penelitian lainnya membagi dua kriteria yang termasuk kedalam diagnosis
efusi pleura TB yaitu:
1) Efusi Pleura TB terkonfirmasi (Confirmed Tuberculous pleural Effusion) yaitu
dijumpai M. Tb pada apusan atau kultur sputum, cairan pleura atau jaringan
pleura atau ditemukannya granuloma pada biopsi jaringan pleura.
2) TerdugaEfusi Pleura Tuberkulosis (Probable Tuberculous Pleural Effusion)
yaitu secara klinis dan radiologis terbukti Efusi Pleura TB dan tidak
ditemukannya penyebab lain yang jelas terkait dengan efusi pleura tersebut
dan respon positif terhadap pengobatan lengkap dengan antituberkulosis.
(Garcia-Zamalloa A dan Taboada-Gomez J, 2012).

2.4.1. Sputum
Kultur sputum positif pada 30-50% pasien penderita TB paru dan efusi pleura TB,
hanya4% pasien efusi pleura TB dengan kultur sputum positif. Untuk diagnosis

20
efusi pleura TB, sensitivitas kultur cairan pleuraadalah 10-35%, biopsi jarum pada
pleuraantara 56-82%, dan kultur biopsi jarum pada pleura antara 39-65%. Dan
ternyatakultur mikobakterium dengan menggunakan mesin BACTECbisa
mengatasi masalah keterlambatan hasil kultur. Kultur positif bisa diperoleh dalam
18 hari, sedangkan dengan metode konvensional didapat dalam 33 hari. Selain itu,
sensitivitas kultur mikobakteriumdengan mesin BACTEC bisa mencapai 50%
(Vorster, 2015).
Sekurang-kurangnya haruslah diperoleh empat spesimen biopsy pleura
parietal terpisah. Tiga harus dikirimkan untuk pemeriksaan histologi dan satu
lainnya harus dikultur untuk mikobakterium, karena terkadang kultur biopsi
pleura ada kalanya positif bila tidak ditemukan granuloma pada pleura. Pernah
dilaporkan bahwa dengan pemeriksaan histologi dan mikrobiologi pleura, akurasi
diagnostik mencapai 86%. Thoracoscopyjarang digunakan untuk menetapkan
diagnosis efusi pleura TB. Dalam sebuah penelitian, hasil diagnostik dari biopsi
jarum Abram dan thoracoscopy dievaluasi secara prospektif pada 40 pasien
penderita efusi pleura TB, dengan hasil sensitivitas biopsi jarum Abrams, yang
dikombinasikan denganpemeriksaan histologi dan kultur adalah 86%, sementara
untuk thoracoscopysendiri adalah 98%. Terdapat tujuh pasien dengan biopsi
jarum Abram negatif, namun positif dengan thoracoscopy (Trajman, 2008).

2.4.2. Torakosentesis
1. Mikroskopik dan kultur
Penampilan makroskopik cairan adalah berwarna kekuningan pada lebih dari 80%
kasus. Mikroskop dapat mengidentifikasi M. Tb pada cairan pleura pada kurang
dari 10% kasus. Kecuali pada pasien empiema karena tuberkulosis dengan HIV, di
mana hasilnya mungkin akan lebih tinggi (> 20%). Kultur cairan pleura dapat
dilakukan baik pada media padat maupun cair seperti seperti yang sering
digunakan yaitu sistem semiotomatis BACTEC MGIT (Becton Dickinson-
Franklin Lakes, NJ, USA), atau dengan metode kultur manual yang mungkin
memungkinkan tes resistansi pada saat yang sama seperti the microscopic-
observation drug susceptibility (MODS) assay(Vorster, 2015).

21
Ketika menggunakan media kultur padat, kepekaan dilaporkan rendah
yaitu sekitar 12% sampai 30%. Namun, media kultur cair menampilkan kepekaan
yang lebih baik, yakni sampai 70%. Manfaat lebih lanjut dari menggunakan media
cair adalah waktu kultur yang diperlukan secara signifikan lebih pendek untuk
mendapatkan hasil, menjadi 2 minggu sedangkan dengan media padat 6 minggu
(Vorster, 2015).
Pada penelitian Von Groote-Bidlingmaier et al. yang membandingkan hasil
kultur positif dari pemeriksaan cairan pleura dengan volume banyak (100 ml)
dengan yang volume rendah (5 ml) pada media kultur cair pada pasien-pasien
dengan probabilitas TB tinggi. Hasil yang didapat adalah mutlak tidak signifikan
lebih tinggi untuk volume yang lebih besar yaitu 53,5% dan 50% masing-masing;
(P = 0,75). Pada penelitian yang sama, orang HIVpositif memiliki kultur cairan
pleura positif M. Tb lebih sering dibandingkan pasien HIV negatif. Kombinasi
antara kultur cairan pleura dan kultur sputum dalam menegakkan efusi pleura TB
sangat beralasan untuk pemeriksaan awal, dengan hasil diagnostik gabungan
hampir 80%. Pada penelitian terbaru hasil diagnostik yang dilaporkan adalah 63%
untuk kultur cairan pleura, 48% untuk kultur sputum dan 79% untuk kombinasi
kultur cairan pleura dan sputum dengan menggunakan media kultur cair(Vorster,
2015).

2. Analisa Kimia cairan Pleura


Efusi pleura eksudatif memiliki konsentrasi protein selalu kurang dari 50 g/L, dan
kurang dari 30 g / L pada 50% sampai 77% kasus. Kadar Laktat Dehidrogenase
(LDH) cairan pleura meningkat pada sekitar 75% kasus, yaitu lebih dari 500 IU /
L. pH cairan pleura biasanya kurang dari 7,40 dengan nilai-nilai kurang dari 7,30
pada sekitar 20% kasus. pH yang rendah dan kadar glukosa cairan pleura yang
rendah dapat juga dicurigai, namun lebih mengarah ke empiema karena
tuberkulosis kronis daripada TB. Bahkan pH cairan pleura kurang dari 7.20 biasa
terjadi pada empiema, dan membantu dokter untuk mempertimbangkan drainase
cairan. Kadar glukosa cairan pleura pada TB biasanya antara 3,3 dan 5,6 mmol /
L, kadar glukosa cairan pleura kurang dari 2,8 mmol / L terlihat pada 7-20% kasus

22
efusi, sedangkan kadar glukosa yang sangat rendah (<1,7 mmol / L) jarang
dijumpai(Vorster, 2015).

3. Biomarker
a. Adenosine Deaminase
Pemeriksaan histologi pleura dengan biopsi jarum Abram tidak memberikan
kesimpulan pada 20-40% pasien penderita efusi pleura TB. Bila biopsi pleura
negatif, mikobakterium bisa dikultur melalui cairan pleura pada kurang dari 10%
pasien, dan ini biasanya memakan waktu sekurang-kurangnya 3 minggu.
Beberapa biomarker baru untuk cairan pleura mulai dikembangkan dalam
menetapkan diagnosis dini efusi pleura TB, antara lain pemeriksaan kadar ADA,
IFN-, konsentrasi antibodi anti mikobakterium, dan PCR(Vorster, 2015).
Sebagian besar perhatian fokus pada Adenosine Deaminase (ADA). ADA
pertama sekali ditemukan tahun 1970 sebagai penanda kanker paru dan pada tahun 1978
Piras dkk menemukan ADA sebagai penanda efusi pleura TB. ADAadalah enzim yang
mengubah adenosine menjadi inosine dan deoxyadenosine menjadi deoxyinosine pada
jalur katabolisme purin. ADA berperan pada proliferasi dan differensiasi limfosit,
terutamalimfositT,dan juga berperan pada pematangan/maturasi monosit dan
mengubahnya menjadi makrofag. Kondisi yang memicu sistem imun seperti infeksi M.
TB(bakteri penyebab TB) dapat meningkatkan jumlah produksi ADA di area infeksi.
Kadar ADA meningkat pada tuberkulosis karena stimulasi limfosit T oleh antigen-antigen
mikobakteria (Ferrer, 1997).
Untuk interpretasi yang adekuat dari ADA pada cairan pleura, penting untuk
mengetahui bahwa ADA memiliki dua isoenzim yaitu ADA1 dan ADA2. Keduanya
mengubah adenosine menjadi inosine dan deoxyadenosine menjadi deoxyinosine pada
jalur katabolisme purin. ADA1 ditemukan pada semua sel dengan pH optimal 7-7,5 dan
memiliki afinitas yang sama untuk adenosine dan deoxyadenosine. ADA2 tidak terdapat
pada semua sel, ADA2 hanya terdapat pada monosit dan makrofag, dengan pH optimal
6,5 dan memiliki afinitas yang lemah untuk deoxyadenosine. ADA2 adalah isoform yang
dominan pada efusi pleura TB, sedangkan ADA1 meningkat pada empiema. Ini akan
menunjukkan bahwa ADA2 adalah biomarker yang lebih efisien untuk efusi pleura TB.
pemeriksaan kadar ADA total dan kemudian pemeriksaan isoenzimnya (ADA1 dan
ADA2) dalam kasus tertentu memberikan spesifisitas dan sensitivitas yang sangat tinggi.

23
Ada beberapa penelitian yang tidak merekomendasikan pemeriksaan kadar ADA2 untuk
diagnostik efusi pleura TB, yaitu pada negara-negara dengan prevalensi TB yang rendah
seperti Amerika Serikat. Tingginya biaya pemeriksaan dan sulitnya mendapat reagensia
untuk pemeriksaan ini merupakan alasan lain untuk tidak menjadikan pemeriksaan
isoenzim dari ADA sebagai pemeriksaan rutin (Mohammadtaheri, 2005).
Efusi pleura TB mengandung ADA dalam konsentrasi yang lebih tinggi
daripada sebagian besar eksudat lainnya. Kegunaan ADA dalam diagnosis efusi
pleura TB tergantung pada prevalensi TB di suatu negara. Pada populasi dengan
prevalensi TB yang tinggi seperti, sensitivitas dan spesifisitas ADA masing-
masing sekitar 95% dan 90%. Sebaliknya, di negara-negara dengan prevalensi
efusi pleura TB rendah, spesifisitas ADA bisa lebih rendah secara berarti(Garcia-
Zamalloa A dan Taboada-Gomez J, 2012). Namun spesifisitas ADA yang rendah
pada negara dengan prevalensi TB yang rendah ini dapat meningkat mencapai
98,3% apabila dikombinasikan dengan pemeriksaan persentase limfosit cairan
pleura. Hal ini sesuai dengan penelitian Alberto Garcia Zamalloa, dkk di Spanyol,
yang dalam penelitiannya di dapat bahwa pemeriksaan kadar ADA pada cairan
pleura yang dikombinasikan dengan persentase limfosit pada cairan pleura >50%
dapat menjadi alat diagnostik efusi pleura TB yang berguna pada negara-negara
dengan prevalensi TB rendah dan menengah(Garcia-Zamalloa A, Taboada-Gomez
J, 2012).
Aktivitas ADA cenderung meningkat pada kasus infeksi tuberkulosis.
Namun pada kasus-kasus infeksi non TB juga terkadang memiliki aktivitas ADA
yang tinggi. Perbandingan nilai relatif sel limfosit dengan neutrofil (L/N rasio)
dapat digunakan untuk membedakan antara dua kasus ini. Dalam kasus efusi
pleura TB, biasanya dijumpai jumlah limfosit yang dominan, sehingga L/N rasio
adalah 0,75 atau lebih, sedangkan pada kasus efusi infeksi non TB, jumlah
neutrofil biasanya lebih dominan (L/N ratio <0,75). Efusi pleura ganas terkadang
juga dapat dikaitkan dengan tingginya jumlah sel limfosit. Perbedaan antara efusi
pleura ganas dan TB biasanya dapat dilakukan dengan alasan aktivitas ADA.
Secara umum, efusi pleura ganas memiliki kadar ADA yang lebih rendah daripada
yang ditemukan pada TB. Namun ternyata efusi pleura sekunder untuk limfoma

24
dan leukemia yang merupakan keganasan hematologi memiliki kadar ADA yang
tinggi dibandingkan dengan keganasan nonhematologi, hal ini menyebabkan
keganasan hematologi sulit dibedakan dengan efusi pleura tuberkulosis. Penelitian
yang dilakukan oleh Lesley J. Burgess, MB, BCh, dkk selama tahun 1993 pada
303 pasien efusi pleura eksudatif di Rumah Sakit Tygerberg, Afrika Selatan
menyimpulkan bahwa, kombinasi nilai ADA dan rasio L/N cairan pleura sangat
bermakna dalam menentukan: (1) eksudat limfositik (rasio L/N > 0,75) dengan
kadar ADA (> 50 U/L) sangat sugestif pleuritis TB; (2) eksudat limfositik dengan
kadar ADA rendah (<50 U/L) sangat sugestif ke arah keganasan nonhematologi;
dan (3) eksudat neutrofil (L/N <0,75) dengan kadar ADA tinggi (> 50 U/L) sangat
sugestif dari efusi infeksi non TB (MB, BCh Burgess, 1996).
Penjelasan diatas menunjukkan peningkatan kadar ADA bermanfaat dalam
menentukan diagnosis efusi pleura TB. Beberapa peneliti menggunakan berbagai
tingkat cut-off untuk ADA efusi pleura TB antara 30-70 U/I. Pada kadar ADA
cairan pleura yang lebih tinggi cenderung pasien efusi pleura TB. Kebanyakan
pasien dengan efusi pleura TB mempunyai kadar ADA > 40 U/I. Pada pasien
dengan gangguan kekebalan tubuh dengan efusi pleura TB kadar ini lebih tinggi
lagi. Efusi pleura limfositik yang bukan disebabkan oleh TB biasanya
mengandung kadar ADA < 40 U/I (MB, BCh Burgess, 1996).
J. Ferrer pada tulisannya mengenai efusi pleura TB yang diterbitkan oleh
European Respiratory Journal mengatakan bahwa sebuah penelitian di Galicia,
Spanyol, melaporkan data yang menarik. Enam puluh tiga persen efusi pleura
pada pasien berusia di bawah 35 tahun adalah efusi pleura TB, sementara itu
hanya 7% yang merupakan efusi pleura ganas. Dengan mengeksklusikan
emphyema, semua pasien dengan konsentrasi ADA lebih tinggi dari 47 U/L
menderita TB. Dengan hasil-hasil dari penelitian ini, pengobatan anti tuberkulosis
dapat dimulai pada pasien berusia di bawah 35 tahun dengan efusi pleura
eksudatif dan kadar ADA cairan pleura lebih tinggi dari 47 U/L, jika empyema
dikesampingkan. Biopsi pleural bisa dihapuskan pada kasus ini, karena
probabilitas keganasan sangat rendah (Ferrer J, 1997)

25
Pada pasien yang berusia di atas 35 tahun, probabilitas keganasan
meningkat secara berarti, dan diagnosis efusi pleura TB haruslah ditetapkan
dengan mikrobiologi atau histologi. Akan tetapi, dokter sering harus memutuskan
apakahpengobatan antituberkulosis dapat diberikan atau tidak jika pasien tidak
mempunyai diagnosis yang pasti, tetapi klinis mendukung, efusi pleura yang
limfositik dan mantoux test yang positif. Baru-baru ini dilaporkan bahwa dari 19
pasien yang tidak diobati dengan efusi pleura yang tidak terdiagnosa, mantoux test
yang positif dan ADA lebih rendah dari 45 U/L, tak satupun terdeteksi sebagai
penderita TB setelah diikuti selama rata-rata 69 bulan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pengobatan antituberkulosis tidak boleh dimulai pada pasien
immunokompeten dengan efusi pleura idiopatik dan mantoux test positif, jika
kadar ADA pada cairan pleura di bawah 45 U/L. Akan tetapi, jika pasien
sedemikian mempunyai kadar ADA pada cairan pleura di atas 47 U/L, pengobatan
anti tuberkulosis dianjurkan(Ferrer J, 1997).
b. IFN-
Dari semua biomarker lainnya untuk diagnosis efusi pleura TB yang sedang
dikembangkan, IFN- adalah satu-satunya yang memiliki hasil yang sebanding
dengan ADA dalam mendiagnosis efusi pleura TB. Akan tetapi, karena
pemeriksaanIFN-lebih mahal daripada ADA, tidak ada alasan untuk
merekomendasikan penggunaannya. Manfaat pemeriksaan konsentrasi antibodi
antimikobakteriumpada cairan pleura untuk diagnosis efusi pleura TB baru-baru
ini juga ada diteliti. Konsentrasi antibodi anti mikobakterium lebih tinggi pada
cairan pleura tuberkulosis daripada padaefusi pleura eksudatif lainnya.
Sayangnya, sensitivitas dan spesifisitas test ini tidak cukup untuk
merekomendasikan penggunaannya (Ferrer J, 1997).

c. Polymerase Chain Reaction(PCR)


Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) dilakukan berdasarkan
Deoxyribonucleic Acid (DNA) mikobakterium. PCR bisa dilakukan dengan cepat
dan mempunyai hasil diagnostik yang sebanding dengan kultur. PCR juga

26
digunakan untuk mendeteksi DNA mikobakterium pada cairan pleura.
Sensitivitasnya dalam diagnosis efusi pleura TB berada dalam kisaran 20-81%,
tergantung pada rangkaian genom dan prosedur yang digunakan dalam ekstraksi
DNA, dengan spesifisitas dalam kisaran 78-100%. Parameter yang menentukan
sensitivitas PCR mungkin adalah jumlah basil dalam sampel cairan pleura yang
dianalisa. Suatu penelitian serial yang menyatakan sensitivitas kultur cairan pleura
69% melaporkan bahwa sensitivitas PCR adalah 80%. PCR positif pada 100%
efusi pleura TB dengan kultur cairan pleura positif, dan hanya pada 30-60% pada
cairan pleura dengan kultur cairan pleura negatif. Karena itu ternyata bahwa PCR
mungkin mempunyai kegunaan diagnostik dalam kasus yang diseleksi, tetapi
penggunaan rutinnya tidak bisa direkomendasikan sekarang ini (Ferrer J, 1997).

2.5 Gene Xpert/Rif Assay


Gene Xpert MTB/Rif assay adalah alat pemeriksaan terbaru yang
revolusioner dalam pengendalian TB dengan berkontribusi dalam diagnosis cepat
infeksi TB dan resistensinya terhadap rifampisin. Pemeriksaan ini mampu
mendeteksi MTb dan resistensinya terhadap rifampisin dalam waktu kurang dari 2
jam. Dibandingkan dengan kultur standar yang memakan waktu 2 sampai 6
minggu untuk menumbuhkan MTb dan tambahan 3 minggu lagi untuk
pemeriksaan resistensi, pemeriksaan ini lebih menghemat waktu dan tenaga untuk
pemilihan tatalaksana dan kontrol infeksi MTb (CDC, 2013).
Xpert MTB/Rif Assay bekerja secara otomatis dengan menggunakan
catridge sekali pakai dan Gene Xpert Instrument System dalam melakukan
amplifikasi asam nukleat MTb. Bila mungkin, spesimen harus diangkut dan
disimpan pada 2-8 ° C sebelum pengolahan (waktu maksimum untuk
penyimpanan dan pengolahan adalah 7 hari). Contoh sampel dicampurkan dalam
reagen yang disertakan provider, lalu campuran tersebut dimasukkan dalam
catridge dan ditempatkan dalam mesin GeneXpert (CDC, 2013).
Masing-masing instrumen GeneXpert berisi 4 modul yang dapat diakses
secara individu. Ukuran instrumen yang lain berisi antara 1-72 modul. Masing-
masing modul terdiri dari jarum suntik untuk mengambil atau mengeluarkan

27
cairan, sebuah ultrasonik untuk melisiskan sel, sebuah thermocycler, dan optical
sign untuk mendeteksi komponen. Single use catridge berisi a) chamber untuk
menyimpan sampel dan reagen, b) valve body berisi sebuah plunger dan syringe
barrel, c) sebuah sistem rotary valve untuk mengendalikan pergerakan diantara
chamber, d) sebuah ruang untuk menangkap, menyatukan, mencuci, dan melisis
sel, e) reagen lyophilized real-time PCR dan buffer pencuci dan f) tabung reaksi
PCR yang terintegrasi yang secara automatis diisi instrument Uji GeneXpert
MTB/RIF berdasarkan prinsip multipleks, semi-nested quantitative real-time PCR
dengan amplifikasi gen target rpoB dan untuk meningkatkan sensitivitas,
GeneXpert MTB/RIF menggunakan molecular beacon dengan target gen rpoB.
GeneXpert mendeteksi 81 bp core region dari gen rpoB yang dikode oleh lokasi
aktif enzim. Core region rpoB terletak di samping M. tuberculosis-urutan DNA
spesifik. Oleh karena itu, sangat memungkinkan untuk mendeteksi M.
tuberculosis dan resistensi rifampisin secara bersamaan dengan menggunakan
teknologi PCR. Molecular beacon merupakan urutan oligonukleotida yang berisi
urutan probe yang terdapat diantara dua tangkai urutan DNA. Molecular beacon
digunakan untuk mendeteksi keberadaan M. tuberculosis dan mendiagnosa
resistensi rifampisin sebagai tanda pengganti untuk TB MDR secara bersamaan.
Molecular beacon menggunakan fluorophor dan quencher untuk mendeteksi
hibridisasi pada masing-masing dari lima region target amplifikasi gen. Salah satu
dari molecular beacon probes dibuat untuk mendeteksi DNA pada sampel kontrol
Bacillus globigi, suatu organisme tanah yang berspora, bertindak sebagai penguji
kualitas untuk perangkap bakteri, lisis bakteri, ekstraksi DNA, amplifikasi dan
deteksi probe. Lima molecular beacon lainnya dibuat untuk hibridisasi pada
region core rpoB-amplikon. Lima warna berbeda yang digunakan pada hibridisasi
probe, masing-masing menutup sequence asam nukleat secara terpisah diantara
amplifikasi gen rpoB (Steingart et al, 2013).
Deteksi MTb di sampel sputum dari subjek yang diduga terinfeksi MTb
memiliki peningkatan yang signifikan oleh Xpert MTB/Rifdikarenakan
menggunakan tekhnik real-time PCR dan probe suar molekuler untuk mendeteksi
MTb DNA kompleks, serta gen rpoB mutasi resistansi terhadap rifampisin secara

28
cepat dan dengan tingkat akurasi yang tinggi. Pemeriksaan ini dapat dilakukan
dengan sampel selain sputum seperti cairan serebrospinal, kelenjar getah bening,
jaringan atau efusi (cairan) dari berbagai tempat , namun masih sangat jarang
dilakukan (CDC,2013).

Gambar 2.7. Gene Xpert System (CDC, 2013)

TB pleura adalah bentuk yang paling sering kedua TB di luar paru dan
penyebab paling sering dari efusi pleura eksudatif di daerah dengan prevalensi
tinggi infeksi HIV, ditemukan pada pasien di semua usia dengan bentuk unilateral
atau bilateral efusi pleura baik akut maupun subakut dengan manifestasi klinis
timbulnya nyeri dada, demam, penurunan berat badan, sesak napas, dan batuk.
Hasil bentuk pemeriksaan diagnostik meliputi aspirasi cairan pleuradan biopsi
pleura sebagai smear cairan pleura dan kultur sering didapati negatif karena sifat
paucibacillary dari TB pleuranamun dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Friederich dkk menemukan bahwa penggunaan uji Xpert di sampel cairan pleura
layak tetapi memiliki sensitivitas rendah dan terkait dengan kultur cairan pleura
yang bernilai positif. Ada indikasiuntuk spesifisitas tinggi, yang harus diverifikasi
dengan studi yang lebih besar, termasuk lebih banyak sampel pasien dengan efusi
pleura karena penyebab lain dibandingkan dengan yang disebabkan TB. Dan juga
sebelum melakukan uji coba metode untuk pengumpulan, penyimpanan, dan
persiapan sampel cairan pleuraperlu dioptimalkan dalam rangka meningkatkan
sensitivitas Xpert assay pada cairan pleura (WHO, 2015).

29
2.6. Kerangka Teori

Usia Jenis Kelami Pendidikan Pekerjaan Pendapatan

Efusi Pleura TB

30
Torakosintesis

Adenosine Gene Xpert


Deaminase

Enzim yang mengubah alat pemeriksaan terbaru


adenosine menjadi inosine yang revolusioner dalam
dan deoxyadenosine menjadi pengendalian TB dengan
deoxyinosine pada jalur berkontribusi dalam
katabolisme purin, berperan diagnosis cepat infeksi TB
pada proliferasi dan
dan resistensinya terhadap
differensiasi limfositT.
rifampisin melalui deteksi
Kondisi yang memicu sistem
imun seperti infeksi M. DNA kuman.
TB(bakteri penyebab TB)
dapat meningkatkan jumlah
produksi ADA di area
infeksi.

Adjuvan terapi dengan OAT fase intensif


untuk menilai perbaikan klinis TB Pleura
Gambar 2.8. Kerangka teori

2.7. Kerangka Konsep

Karakteristik Penderita TB Pasien dari


anamnesis, pemeriksaan fisik, foto toraks
mengarah efusi pleura TB

31
Anamnesis Pemeriksaan Fisik Foto toraks
dan status gizi
usia, Jenis
Kelamin,
Pendidikan,
Pekerjaan , Terduga Efusi Pleura TB
Pendapatan

Torakosintesis
Analisa kimia cairan pleura:
Analisa kimia cairan pleura: bukan
eksudat
inklusi

Eksklus
Reference Standard

Apusan Apusan Sitologi Respon klinis yang


dan kultur cairan cairan membaik setelah
sputum pleura pleura diberikan OAT Fase
Intensif

Adenosine Deaminase

Gene Xpert
Perbaikan Tidak Perbaikan
Pemeriksaan Fisik & Foto Gambar 2.9.
TB Non TB
toraks Ulangan pasca
Kerangka konsep OAT Fase Intensif

32

Вам также может понравиться