Вы находитесь на странице: 1из 126

PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN PATIN

(Pangasius sp) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DAN FOSFOR


DALAM PEMBUATAN BISKUIT

ADRIANUS ORIAS WILLEM KAYA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Pemanfaatan Tepung Tulang


Ikan Patin (Pangasius sp) sebagai Sumber Kalsium dan Fosfor dalam Pembuatan
Biskuit” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi telah
dinyatakan secara jelas dan menyebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini

Bogor, Januari 2008

Adrianus Orias Willem Kaya


NRP C351050091
ABSTRACT

ADRIANUS ORIAS WILLEM KAYA. Utilization of Patin Fishbone Powder as


Calcium and Phosphorus Sources in Making of Biscuit. Supervised by JOKO
SANTOSO and ELLA SALAMAH.

The utilization of fisheries resources in fisheries processing industries has not


been conducted yet optimally, mainly to utilize their waste such as bone, viscera,
and skin. Patin fishbone is a main waste product from patin filleting industry.
From the viewpoint of foodstuffs, it’s contains a high number of mineral
especially Ca and P. These experiments were carried out to study the effect of
fishbone powder producing methods i.e. dry and wet methods in correlation to
their physicochemical characteristics including the solubility of Ca and P. The
physicochemical characteristics of patin fishbone powder were not affected
significantly by producing method; however, dry method produced higher percent
solubility of Ca and P than wet method. Based on organoleptic test through
scoring test, adding 2% (formula A) and 4% (formula B) of patin fishbone powder
into biscuit products gave the high average values of appearance, color, flavor,
texture and taste; and they also had the higher values of appearance and color in
comparison to commercial product. The physicochemical characteristics of
biscuit formula A and B were almost same to the commercial product. The
highest percent solubility of Ca and P were found in biscuit formula A and control
(without adding patin fishbone powder) with values were 95.06% and 74.24%
respectively. Consuming 7 pieces of biscuit formula A will contribute Ca and P
requirements are 9.01% and 8.34% respectively, whereas biscuit formula B are
14.92% and 18.43%; with assumption all of Ca and P can be absorbed well by
human body.

Key words: biscuit, calcium, fishbone powder, mineral solubility, phosphorus


RINGKASAN

ADRIANUS ORIAS WILLEM KAYA. Pemanfaatan Tepung Tulang Ikan Patin


(Pangasius sp) sebagai Sumber Kalsium dan Fosfor dalam Pembuatan Biskuit.
Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan ELLA SALAMAH.

Pemanfaatan sumberdaya perikanan dalam industri pengolahan belum dilakukan


secara optimal, utamanya dalam memanfaatkan limbah yang dihasilkan seperti
tulang, jeroan dan kulit. Tulang patin merupakan limbah utama yang dihasilkan
industri pemfiletan ikan patin. Dari sudut pandang bahan bagan, limbah tersebut
mempunyai kandungan mineral tinggi terutama Ca dan P. Penelitian ini
dilakukan untuk mempelajari pengaruh metode pembuatan tepung tulang ikan
patin yaitu metode kering dan basah dalam kaitannya dengan karakteristik fisiko-
kimianya termasuk kelarutan Ca dan P. Karakteristik fisiko-kimia tepung tulang
ikan patin tidak dipengaruhi secara nyata oleh metode pembuatannya, tetapi
metode kering menghasilkan persen kelarutan Ca dan P lebih tinggi dibandingkan
metode basah. Berdasarkan uji organoleptik dengan uji skoring, penambahan 2%
(formula A) dan 4% (formula B) tepung tulang ikan patin kedalam produk biskuit
memberikan nilai rata-rata tinggi terhadap parameter penampakan, warna, aroma,
tekstur dan rasa; dan juga mempunyai nilai penampakan dan warna lebih tinggi
dibandingkan dengan produk komersial. Karakteristik fisiko-kimia biskuit
formula A dan B menyerupai produk komersial. Persen kelarutan Ca dan P
tertinggi diperoleh pada formula A dan kontrol (tanpa penambahan tepung tulang
ikan patin) dengan nilai berturut-turut sebesar 95,06% dan 74,24%.
Mengkonsumsi 7 keping biskuit formula A dapat menyumbangkan kebutuhan Ca
dan P masing-masing sebesar 9,01% dan 8,4%; sedangkan biskuit formula B
sebesar 14,92% dan 18,43% dengan asumsi semua Ca dan P dapat diserap dengan
baik oleh tubuh.

Kata kunci: biskuit, kalsium, tepung tulang ikan, kelarutan mineral, fosfor
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan Karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan Kritik
atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN PATIN
(Pangasius sp) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DAN FOSFOR
DALAM PEMBUATAN BISKUIT

ADRIANUS ORIAS WILLEM KAYA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
anugerahNya sehingga penulisan tesis dengan judul ”Pemanfaatan Tepung Tulang
Ikan Patin (Pangasius sp) sebagai Sumber Kalsium dan Fosfor dalam Pembuatan
Biskuit” dapat terselesaikan.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan secara
khusus kepada Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si sebagai ketua komisi pembimbing dan
Dra. Ella Salamah, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing atas segala
kebijaksanaan dan kesabaran serta masukan mulai dari rencana judul penelitian
hingga penulisan tesis ini.
Penyusunan tesis ini tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu
penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Rektor Universitas Pattimura yang telah memberikan ijin kepada penulis
untuk melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB.
2. Pemda Propinsi Maluku atas bantuan dana bagi penulis untuk kelancaran
proses penelitian.
3. Yayasan Satyabhakti Widya atas bantuan dana yang sangat membantu
penulis dalam proses penelitian.
4. Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (DAMANDIRI) atas bantuan dana bagi
pelaksanaan penulisan tesis.
5. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc, selaku dosen penguji yang telah memberikan
banyak masukan guna penyempurnaan tesis ini.
6. Papa (alm) dan mama tercinta, serta semua kakakku (Nane dan Bung John,
Yanni, Heri dan Bung Hengki) dan ketiga keponakanku (Econ, Papit,
Ece): terima kasih atas semua doa dan bantuan yang tak putus-putusnya
bagi penulis.
7. Teman-teman S2 THP angkatan ’05 atas semangat dan kebersamaan yang
terjalin erat selama ini.
8. Teman-teman dari Ambon (B’Mon, U’Ola, Ibu Linda, Nona, Degen, Edi,
Max ”Perwira 12 crew”,Thya dan B’Charles ”Agape Crew”) untuk segala
bantuan dan dukungan dalam proses perkuliahan sampai penulisan tesis ini.
9. Teman-teman penghuni Perwira No.12 yang penuh dengan suasana
kekeluargaan meskipun dari latar belakang yang berbeda namun tetap
kompak.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan tesis
ini. Oleh karena itu saran dan kritik untuk perbaikan dan penyempurnaan tesis ini
sangat diharapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Bogor, Januari 2008

Adrianus Orias Willem Kaya


DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ······················································································· xi


DAFTAR GAMBAR ·················································································· xii
DAFTAR LAMPIRAN ·············································································· xii
1. PENDAHULUAN···················································································· 1
1.1 Latar Belakang ·················································································· 1
1.2 Perumusan Masalah············································································ 3
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian··························································· 4
1.4 Hipotesis ···························································································· 5
1.5 Kerangka Pemikiran ··········································································· 5
2. TINJAUAN PUSTAKA··········································································· 8
2.1 Ikan Patin ··························································································· 8
2.2 Tulang Ikan ························································································ 9
2.3 Tepung Tulang Ikan ··········································································· 10
2.4 Kalsium ······························································································ 11
2.4.1 Peranan kalsium pada manusia ·················································· 12
2.4.2 Sumber kalsium········································································· 13
2.4.3 Kebutuhan kalsium···································································· 14
2.4.4 Asupan kalsium ········································································· 16
2.4.5 Penyerapan kalsium··································································· 17
2.5 Fosfor ····························································································· 21
2.6 Biskuit ····························································································· 22
2.6.1 Klasifikasi biskuit······································································ 23
2.6.2 Bahan-bahan pembuat biskuit···················································· 24
3. METODOLOGI ······················································································· 29
3.1 Waktu dan Tempat ············································································· 29
3.2 Bahan dan Alat··················································································· 29
3.3 Tahapan Penelitian ············································································· 30
3.3.1 Penelitian pendahuluan ···························································· 30
3.3.2 Penelitian lanjutan ··································································· 31
3.3.3 Prosedur analisis ······································································ 34
3.3.3.1 Uji organoleptik (Soekarto 1985)······························· 34
3.3.3.2 Derajat putih (Faridah et al. 2006) ····························· 34
3.3.3.3 Daya serap air (Fardiaz et al. 1992) ··························· 35
3.3.3.4 Densitas kamba (Wirakartakusumah et al. 1992) ······· 35
3.3.3.5 Uji kekerasan (Rangganan 1986) ······························· 35
3.3.3.6 Kadar air (SNI 1992)·················································· 36
3.3.3.7 Kadar abu (SNI 1992) ················································ 36
3.3.3.8 Kadar lemak (SNI 1992) ············································ 37
3.3.3.9 Kadar protein (SNI 1992)··········································· 37
3.3.3.10 Kadar kalsium ( Reitz et al. 1987)······························ 38
3.3.3.11 Kadar fosfor (Anggraeni 2003) ·································· 39
3.3.3.12 Nilai pH (Apriyantono et al. 1989) ···························· 39
3.3.3.13 Mineral terlarut (modifikasi Santoso 2003)················ 40
3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ········································ 41
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ······························································· 43
4.1 Penelitian Pendahuluan··································································· 43
4.1.1 Karakteristik fisik tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)····· 43
4.1.2 Karakteristik kimia tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) ··· 46
4.1.3 Solubilitas kalsium dan fosfor tepung tulang ikan patin
(Pangasius sp) ········································································· 49
4.2 Penelitian Lanjutan ············································································ 51
4.2.1 Organoleptik ············································································ 51
4.2.1.1 Penampakan···································································· 52
4.2.1.2 Warna ············································································· 53
4.2.1.3 Aroma ············································································ 55
4.2.1.4 Tekstur ············································································ 56
4.2.1.5 Rasa ················································································ 57
4.2.2 Uji perbandingan pasangan······················································ 58
4.2.3 Karakteristik fisik biskuit························································· 59
4.2.4 Karakteristik kimia biskuit······················································· 61
4.2.4.1 Kadar air ········································································· 61
4.2.4.2 Kadar abu········································································ 62
4.2.4.3 Kadar lemak···································································· 63
4.2.4.4 Kadar protein ·································································· 63
4.2.4.5 Kadar kalsium································································· 64
4.2.4.6 Kadar fosfor ···································································· 65
4.2.4.7 Nilai pH ·········································································· 65
4.2.4.8 Karbohidrat by difference················································ 66
4.2.5 Solubilitas kalsium dan fosfor biskuit······································ 66
4.2.6 Informasi nilai gizi biskuit ······················································· 69
5. SIMPULAN DAN SARAN····································································· 70
5.1 Simpulan···························································································· 70
5.2 Saran ····························································································· 70
DAFTAR PUSTAKA·················································································· 71
LAMPIRAN ····························································································· 78
DAFTAR TABEL

Halaman
1. Kebutuhan kalsium dan fosfor dalam tubuh manusia ···························· 15
2. Syarat mutu biskuit SNI 01-2973 tahun 1992········································ 23
3. Klasifikasi biskuit menurut Manley (1983) ··········································· 24
4. Karakteristik fisik tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)··················· 43
5. Karakteristik kimia tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)················· 46
6. Solubilitas kalsium dan fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)
pada berbagai nilai pH··········································································· 49
7. Rataan hasil uji organoleptik biskuit tepung tulang ikan patin··············· 52
8. Karakteristik fisik biskuit tepung tulang ikan patin dan biskuit
komersial ···························································································· 60
9. Karakteristik kimia biskuit tepung tulang ikan patin dan biskuit
komersial ····························································································· 61
10. Solubilitas kalsium dan fosfor biskuit···················································· 67
11. Informasi nilai gizi biskuit formulasi dan komersial······························ 69
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1. Kerangka pemikiran penelitian pemanfaatan tepung tulang
ikan patin (Pangasius sp) sebagai sumber kalsium dan fosfor
dalam pembuatan biskuit ······································································ 7
2. Prosedur pembuatan tepung tulang ikan patin (modifikasi metode
Tanuwidjaya 2002)·············································································· 32
3. Prosedur pembuatan biskuit (modifikasi metode Soedarno 1998) ······· 33
4a. Grafik solubilitas kalsium tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)····· 50
4b. Grafik solubilitas fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) ······· 50
5. Histogram nilai penampakan biskuit tepung tulang ikan patin
(Pangasius sp) ····················································································· 53
6. Histogram nilai warna biskuit tepung tulang ikan patin
(Pangasius sp) ····················································································· 54
7. Histogram nilai aroma biskuit tepung tulang ikan patin
(Pangasius sp ) ···················································································· 55
8. Histogram nilai tekstur biskuit tepung tulang ikan patin
(Pangasius sp) ····················································································· 56
9. Histogram nilai rasa biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)·· 58
10. Histogram nilai perbandingan pasangan biskuit A dan B ···················· 59
11a. Grafik solubilitas kalsium biskuit pada berbagai nilai pH···················· 67
11b. Grafik solubilitas fosfor biskuit pada berbagai nilai pH······················· 68
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Lembar penilaian organoleptik ······························································ 78
2. Lembar penilaian organoleptik biskuit tulang ikan patin
terbaik dengan biskuit komersial (biskuit yang ada di pasaran ············· 79
3. Analisis ragam derajat putih tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)··· 80
4. Uji T daya serap air tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) ················ 80
5. Analisis ragam densitas kamba tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) 80
6. Uji T kadar air tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)························ 81
7. Uji T kadar abu tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) ······················ 81
8. Analisis ragam kadar kalsium tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) 82
9. Analisis ragam kadar fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) ··· 82
10. Analisis ragam nilai pH tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)·········· 82
11. Analisis ragam kadar protein tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)·· 83
12. Analisis ragam kadar lemak tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) ··· 83
13. Data uji organoleptik penampakan biskuit············································· 84
14. Data uji organoleptik warna biskuit······················································· 85
15. Data uji organoleptik aroma biskuit······················································· 86
16. Data uji organoleptik tekstur biskuit······················································ 87
17. Data uji organoleptik rasa biskuit ·························································· 88
18. Data uji perbandingan pasangan biskuit A············································· 89
19. Data uji perbandingan pasangan biskuit B············································· 90
20. Hasil uji Kruskal Wallis terhadap penampakan biskuit·························· 91
21. Hasil uji Kruskal Wallis terhadap warna biskuit ···································· 91
22. Hasil uji Kruskal Wallis terhadap aroma biskuit dan uji lanjut Multiple
Comparison ···························································································· 92
23. Hasil uji Kruskal Wallis terhadap tekstur biskuit dan uji lanjut Multiple
Comparison ··························································································· 93
24. Hasil uji Kruskal Wallis terhadap rasa biskuit dan uji lanjut Multiple
Comparison ··························································································· 94
25. Analisis ragam kadar air biskuit dan uji lanjut Tukey···························· 95
26. Analisis ragam kadar abu biskuit dan uji lanjut Tukey ·························· 96
27. Analisis ragam kadar protein biskuit dan uji lanjut Tukey····················· 97
28. Analisis ragam kadar lemak biskuit dan uji lanjut Tukey ······················ 98
29. Analisis ragam nilai pH biskuit dan uji lanjut Tukey····························· 99
30. Analisis ragam kadar kalsium biskuit dan uji lanjut Tukey ··················· 100
31. Analisis ragam kadar fosfor biskuit dan uji lanjut Tukey ······················ 101
32. Analisis ragam karbohidrat by difference biskuit dan uji lanjut Tukey ·· 102
33. Analisis ragam nilai berat biskuit ·························································· 103
34. Analisis ragam nilai ketebalan biskuit ··················································· 103
35. Analisis ragam nilai diameter biskuit····················································· 103
36. Analisis ragam nilai kekerasan biskuit dan uji lanjut Tukey·················· 104
37. Perhitungan nilai kalori per 100 g biskuit ·············································· 105
38. Tepung tulang ikan patin ······································································· 106
39. Biskuit hasil formulasi dengan penambahan tepung tulang ikan patin··· 107
40. Tulang ikan patin utuh··········································································· 108
41. Tulang ikan patin yang sudah mengalami pengecilan ukuran················ 108
42. Tulang ikan patin siap olah menjadi tepung ·········································· 109
43. Perhitungan kadar kalsium dan fosfor pada biskuit A···························· 109
44. Perhitungan kadar protein dan lemak pada biskuit A····························· 110
1. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Pengolahan sumberdaya perikanan terutama ikan belum optimal dilakukan


sampai dengan pemanfaatan limbah hasil perikanan, seperti kepala, tulang, sisik,
dan kulit. Seiring dengan berkembangnya industri perikanan, limbah yang
dihasilkan dari produksi perusahaan juga meningkat. Dalam usaha pengolahan
ikan hampir selalu dihasilkan limbah berupa padatan (tulang, kepala) dan cairan
yang secara langsung maupun tidak akan memberikan dampak kurang baik
terhadap lingkungan karena menimbulkan pencemaran. Limbah padat yang
berasal dari usaha industri perikanan maupun pengolahan rumah tangga cukup
besar, salah satunya adalah tulang ikan. Limbah perikanan yang berasal dari
tulang ikan patin sebagai salah satu contoh masih belum diolah dan dimanfaatkan
secara maksimal.
Masalah limbah ini harus ditangani dan diatasi dengan baik dan terencana
sehingga dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan serta menghindari
terjadinya pencemaran lingkungan. Proses penanganan limbah industri perikanan
yang umum dilakukan adalah pengolahan menjadi pakan ternak, penimbunan dan
pembakaran.
Salah satu unit usaha perikanan yang menghasilkan limbah tulang ikan
adalah Unit Usaha Fillet Ikan Patin IPB. Unit usaha ini setiap minggunya
mengolah 3 ton ikan patin untuk dijadikan fillet ikan dan menghasilkan 300 kg
tulang ikan sebagai salah satu limbahnya (10% dari total berat ikan). Proses
penanganan limbah ikan yang dihasilkan oleh unit usaha ini adalah dengan cara
penguburan, pembakaran dan diambil oleh masyarakat sekitar untuk dikonsumsi
karena pada tulang ikan patin tersebut masih terdapat sisa daging yang dapat
dimasak atau digoreng 1.
Salah satu bentuk pengolahan tulang ikan patin yang dilakukan adalah
penepungan. Pengolahan tulang ikan patin menjadi tepung tulang telah dilakukan
oleh Tanuwidjaya (2002) dan Mulia (2004). Tepung tulang ikan adalah suatu

1
Komunikasi pribadi dengan Kepala Unit Usaha Fillet Ikan Patin IPB bulan Oktober 2006
produk padat kering yang dihasilkan dengan cara mengeluarkan sebagian besar
cairan atau seluruh lemak yang terkandung pada tulang ikan (Kaup et al. 1991).
Aplikasi pemanfaatan tepung tulang ikan patin dalam bentuk produk
pangan telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya : pemanfaatan tepung
tulang ikan patin untuk meningkatkan kandungan kalsium susu kacang hijau
(Nurdiani 2003); pemanfaatan tepung tulang ikan patin sebagai bahan tambahan
kerupuk (Tabakaka 2004); kajian potensi limbah tulang ikan patin sebagai
alternatif sumber kalsium dalam produk mi kering (Mulia 2004) dan studi
pembuatan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin (Asni 2004).
Tepung tulang ikan patin dengan kandungan kalsium dan fosfor yang
tinggi dapat merupakan sumber alternatif pemenuhan kebutuhan akan kalsium dan
fosfor bagi tubuh. Pemanfaatan tepung tulang ikan patin dalam bahan pangan
sangatlah dimungkinkan, namun yang harus diteliti lebih mendalam adalah
sampai sejauh mana tepung tulang ikan patin tersebut mampu dicerna dan diserap
oleh tubuh.
Solubilitas tepung tulang ikan patin sangat mutlak diketahui baik dalam
bentuk tepung maupun yang telah ditambahkan kedalam bahan pangan. Hal ini
dikarenakan seberapa besarpun kandungan mineral yaitu kalsium dan fosfor yang
dimiliki oleh bahan pangan tetapi apabila mineral tersebut tidak dapat diserap
dengan baik oleh tubuh sangatlah tidak memiliki fungsi apapun bagi tubuh
manusia. Mineral akan bersifat bioavailable (jumlah zat dari nutrisi bahan pangan
yang dapat digunakan sepenuhnya oleh tubuh) apabila mineral tersebut dalam
bentuk mineral terlarut, namun tidak semua mineral terlarut bersifat bioavailable.
Kondisi mineral terlarut diperlukan untuk memudahkan dalam penyerapan
mineral di dalam tubuh (O’Dell 1984; Watzke 1998; Clydesdale 1988; Newman
dan Jagoe 1994 ).
Kalsium pada ikan terutama pada tulang membentuk kompleks dengan
fosfor dalam bentuk apatit atau trifosfat (Lovell 1989). Bentuk kompleks ini
terdapat pada abu tulang yang dapat diserap dengan baik oleh tubuh yaitu sekitar
60-70% (Lutwak 1982).
Salah satu dampak dari defisiensi kalsium yang sekarang ini banyak terjadi
adalah osteoporosis. Osteoporosis atau yang lebih dikenal dengan nama tulang
keropos merupakan suatu penyakit rapuh tulang yang ditandai dengan hilangnya
kepadatan tulang setelah mencapai usia tua. Pada anak-anak defisiensi kalsium
dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tulang/rickets. Kekurangan
kalsium juga dapat menyebabkan osteomalasia, apalagi di Indonesia yang
konsumsi kalsiumnya masih sangat rendah, diperburuk dengan pencegahan
osteoporosis yang belum intensif. Untuk mencegah kekurangan kalsium perlu
konsumsi kalsium dalam jumlah yang cukup. Sumber kalsium yang populer saat
ini adalah susu dan produk turunannya seperti keju dan suplemen kalsium.
Sangat disayangkan produk-produk tersebut masih mahal dan diluar
jangkauan daya beli sebagian besar masyarakat Indonesia (Almatsier 2002).
Tulang ikan patin yang telah diolah menjadi tepung memiliki kandungan
mineral tinggi terutama kalsium dan fosfor. Hal tersebut dapat menjadi sumber
alternatif pemanfaatan limbah hasil perikanan kususnya tulang ikan sebagai
sumber kalsium dan fosfor. Pengolahan tulang ikan patin menjadi tepung dengan
kandungan kalsium dan fosfor yang tinggi dapat diterapkan kedalam salah satu
bentuk produk pangan yang mudah diterima oleh masyarakat Indonesia.
Pemilihan bentuk diversifikasi produk yang dipilih adalah biskuit dikarenakan
produk ini sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia untuk semua golongan
umur dan tingkat sosial masyarakat. Selain itu biskuit umumnya merupakan bahan
pangan yang relatif murah harganya sehingga banyak disukai dan dikonsumsi oleh
masyarakat dari berbagai kalangan

1.2. Perumusan Masalah

Pemanfaatan limbah tulang ikan patin belum dilakukan secara optimal dan
bertanggung jawab. Hal tersebut bertolak belakang dengan kenyataan bahwa
tulang ikan patin yang telah diolah menjadi tepung tulang memiliki kandungan
nilai gizi (mineral) yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu
sumber pangan bagi manusia. Kandungan mineral khususnya kalsium dan fosfor
yang tinggi yaitu 264,53 mg/g bk dan 88,38 mg/g bk dapat menjadi salah satu
sumber mineral yang murah jika dibandingkan dengan sumber kalsium lainnya
seperti susu dan produk turunannya yang memiliki harga yang sangat mahal serta
berada diluar jangkauan daya beli sebagian besar masyarakat. Potensi yang
bernilai tinggi tersebut dapat membantu masyarakat kecil dan golongan ekonomi
lemah dalam hal pemenuhan kebutuhan akan kalsium dan fosfor bagi tubuh
sehingga dapat menurunkan dan mengurangi jumlah penderita osteoporosis
maupun osteomalasia. Disisi lain penanganan limbah perikanan yang tepat dan
berhasil guna dapat meningkatkan pendapatan nelayan/pembudidaya serta
menyelamatkan lingkungan akibat tidak tertanganinya dengan baik limbah
perikanan yang dapat merusak lingkungan. Dengan demikian dirasa perlu untuk
dilakukan penelitian pemanfaatan limbah tulang ikan patin yang diolah menjadi
tepung tulang dan diaplikasikan kedalam bentuk produk pangan yaitu biskuit.
Informasi tentang solubilitas/kelarutan kalsium dan fosfor yang berasal dari
tepung tulang ikan patin belum ada sehingga perlu dilakukan penelitian untuk
mendapatkan solubilitas terbaik dari kalsium dan fosfor dengan perlakuan
beberapa nilai pH yang berbeda serta aplikasinya dalam produk pangan yaitu
biskuit.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian.

Penelitian ini bertujuan untuk :


1. Membuat tepung tulang ikan dengan metode basah dan kering serta
menganalisis karakteristik fisika dan kimia tepung tulang ikan patin.
2. Mempelajari solubilitas kalsium dan fosfor tepung tulang ikan patin pada
kondisi pH yang berbeda.
3. Membuat biskuit kaya kalsium melalui penambahan tepung tulang ikan
patin dan mengetahui karakteristik organoleptik, fisika dan kimia.
4. Mempelajari solubilitas kalsium dan fosfor pada biskuit yang ditambah
dengan tepung tulang ikan patin.
Manfaat penelitian ini adalah sebagai sumber informasi pemanfaatan
limbah hasil perikanan yang memiliki nilai gizi tinggi khususnya kalsium dan
fosfor yang dapat ditambahkan kedalam produk pangan yaitu biskuit dalam
kaitannya dengan nilai kelarutan kedua mineral tersebut sehingga dapat
dimanfaatkan dengan baik oleh tubuh.
1.4. Hipotesis

1. Tepung tulang ikan patin memiliki kandungan mineral tinggi terutama kalsium
dan fosfor.
2. Pembuatan tepung tulang ikan patin dengan dua metode yang berbeda yaitu
metode basah dan kering akan berpengaruh terhadap karakteristik fisiko
kimianya termasuk solubilitas kalsium dan fosfor.
3. Biskuit yang ditambah dengan tepung tulang ikan patin mempunyai kandungan
kalsium dan fosfor yang tinggi.
4. Solubilitas kalsium dan fosfor dalam biskuit yang ditambah dengan tepung
tulang ikan patin dipengaruhi oleh adanya interaksi dengan zat gizi lainnya.

1.5. Kerangka Pemikiran

Tulang ikan patin merupakan salah satu limbah hasil perikanan yang
belum mendapat perhatian dan penanganan yang optimal. Kenyataan tersebut
bertolak belakang dengan potensi yang dimiliki oleh tulang ikan patin yaitu
kandungan mineral khususnya kalsium dan fosfor yang tinggi. Tulang ikan
memiliki proporsi 10% dari total susunan tubuh ikan merupakan salah satu
limbah pengolahan ikan yang memiliki kadar kalsium dan fosfor dalam jumlah
tinggi. Tulang ikan banyak mengandung kalsium dalam bentuk kalsium fosfat
sebanyak 14% dari total susunan tulang (Subasinghe 1996). Unsur utama dari
tulang ikan adalah kalsium, fosfor dan karbonat, sedangkan yang terdapat dalam
jumlah kecil yaitu magnesium, sodium, stronsium, fitat, klorida, hidroksida dan
sulfat (Halver 1989). Persentase berat kalsium pada ikan secara umum adalah 0,1-
1% dengan rasio kalsium dan fosfor adalah 1,6 : 0,7 (Lovell 1989). Penyerapan
kalsium yang terdapat dalam makanan dipengaruhi oleh konsentrasi kalsium yang
ada dalam makanan dan adanya faktor pendorong dan/atau penghambat terhadap
penyerapan kalsium (Miller 1989 dalam Fennema 1996).
Pengolahan tulang ikan patin menjadi tepung dan kemudian ditambahkan
ke dalam produk pangan dapat mengurangi pencemaran lingkungan,
meminimalkan pembuangan limbah hasil perikanan yang tidak dapat
dimanfaatkan/diolah, dan meningkatkan nilai tambah. Selain itu tingginya
kandungan zat gizi khususnya kalsium dan fosfor dapat membantu dan mencegah
penyakit osteoporosis dan osteomalasia. Metode pengolahan tulang ikan patin
menjadi tepung tulang ikan patin melalui proses perebusan dengan menggunakan
autoclave (metode basah) menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan kadar
kalsium dan fosfor yang tinggi. Kenyataan tersebut memberikan suatu
kemungkinan apakah dengan menggunakan metode pengovenan (metode kering)
dan metode perebusan dengan menggunakan autoclave (metode basah) dapat
memberikan pengaruh terhadap karakteristik fisik, kimia termasuk solubilitas
kalsium dan fosfor tepung tulang ikan patin yang dihasilkan. Salah satu produk
pangan yang sangat digemari oleh sebagian besar masyarakat adalah biskuit.
Pembuatan biskuit yang ditambahkan dengan tepung tulang ikan patin akan
memiliki kandungan nilai gizi yang tinggi serta kandungan kalsium dan fosfor
yang tinggi pula, sehingga dapat dijadikan alternatif baru pemenuhan kebutuhan
akan kalsium dan fosfor. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 1.
Limbah tulang ikan patin

Tinggi kandungan
kalsium dan fosfor

Metode basah (perebusan Metode kering


dengan autoclave) (pengovenan)

Tepung tulang ikan patin

Biskuit kaya
kalsium dan fosfor

- Meningkatkan nilai tambah (added value) tulang ikan patin


- Sumber alternatif pemenuhan kebutuhan akan kalsium dan fosfor
- Sumber kalsium untuk mencegah osteoporosis dan osteomalasia
- Mencegah serta mengurangi pencemaran lingkungan
- Meminimalkan pembuangan limbah hasil perikanan

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian pemanfaatan tepung tulang


ikan patin (Pangasius sp) sebagai sumber kalsium
dan fosfor dalam pembuatan biskuit.
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Patin

Ikan patin merupakan salah satu jenis ikan yang bernilai ekonomis
tinggi, dengan rasa daging yang enak. Ikan patin memiliki banyak kelebihan
daripada ikan air tawar lainnya, diantaranya ikan patin termasuk salah satu
ikan yang rakus terhadap makanan, dalam enam bulan ikan patin sudah bisa
mencapai panjang 35-40 cm, tempat pemeliharan ikan patin tidak memerlukan
air yang mengalir, bahkan di perairan yang kandungan oksigennya rendah
ikan patin masih dapat hidup dan berkembang. Ikan patin banyak ditemukan
di sungai dan danau karena ikan ini merupakan ikan yang hidup di perairan
umum (Khairuman dan Suhendra 2002).
Klasifikasi ikan patin (Pangasius sp) menurut Saanin (1984) adalah
sebagai berikut :
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Subkelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Famili : Pangasidea
Genus : Pangasius
Spesies : Pangasius sp
Ikan patin memiliki badan yang memanjang berwarna putih seperti perak
dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Panjang tubuhnya dapat mencapai
120 cm. Ikan patin tidak memiliki sisik, kepala relatif kecil dengan mulut terletak
di ujung kepala agak sebelah bawah. Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang
kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba (Susanto dan Amri 1997).
Ikan patin cukup potensial dibubidayakan di berbagai media pemeliharaan
yang berbeda seperti kolam, keramba, dan jala apung. Budidaya ikan ini
meliputi dua kegiatan yakni pembenihan dan pembesaran. Kegiatan
pembenihan merupakan upaya untuk menghasilkan benih pada ukuran
tertentu. Pembesaran merupakan kegiatan untuk menghasilkan ikan yang siap
dikonsumsi, meskipun ukuran ikan yang dikonsumsi biasanya berbeda sesuai
dengan kebutuhan pasar (Susanto dan Amri 1997).
Pemanenan ikan patin dilakukan apabila ikan patin telah berumur minimal
6 bulan dengan berat berkisar 1-2,5 kg, dimana pada umur ini biasanya sudah
mencapai ukuran siap dikonsumsi. Selama pemanenan berlangsung diusahakan
agar ikan tidak rusak atau mengalami luka memar apalagi mati. Apabila panen
dilakukan dengan tidak hati-hati maka mutu ikan menjadi menurun dan harga jual
menjadi rendah. Oleh karena itu pada saat ikan diangkut ke pasar harus tetap
dalam keadaan hidup atau dalam kondisi segar (Susanto dan Amri 1997).

2.2. Tulang Ikan

Tulang ikan yang memiliki proporsi 10% dari total susunan tubuh
ikan merupakan salah satu limbah pengolahan ikan yang memiliki kadar
kalsium dalam jumlah tinggi. Tulang ikan banyak mengandung kalsium
dalam bentuk kalsium fosfat sebanyak 14% dari total susunan tulang
(Subasinghe 1996).
Beberapa mineral pada ikan merupakan unsur pokok dari jaringan keras
seperti tulang, sirip dan sisik (Lovell 1989). Kandungan mineral ikan bergantung
pada spesies, jenis kelamin, siklus biologis dan bagian tubuh yang dianalisis
(Navarro 1991 dalam Martinez et al. 1998). Kandungan mineral juga bergantung
pada faktor ekologis seperti musim, tempat pengembangan, ketersediaan jumlah
nutrisi, suhu dan salinitas air (Martinez et al. 1998). Unsur utama dari tulang ikan
adalah kalsium, fosfor dan karbonat, sedangkan yang terdapat dalam jumlah
kecil yaitu magnesium, sodium, stronsium, fitat, klorida, hidroksida dan sulfat
(Halver 1989). Persentase berat kalsium pada ikan secara umum adalah 0,1-1%
dengan rasio kalsium dan fosfor adalah 1,6 : 0,7 (Lovell 1989).
Tulang merupakan jaringan pengikat yang sangat khusus bentuknya.
Tulang dibentuk dalam dua proses yang terpisah, yaitu pembentukan matriks dan
penempatan mineral kedalam matriks tersebut. Tiga jenis komponen seluler
terlibat didalamnya dengan fungsi yang berbeda-beda yaitu osteoblast dalam
pembentukan tulang, osteocyte dalam pemeliharaan tulang, dan osteoclast dalam
penyerapan kembali tulang. Osteoblast membentuk kolagen tempat mineral-
mineral melekat. Mineral utama di dalam tulang adalah kalsium dan fosfor,
sedangkan mineral lain terdapat dalam jumlah kecil yaitu natrium, magnesium
dan flour (Winarno 2002). Tulang mengandung kurang lebih 36% kalsium, 17%
fosfor dan 0,9% magnesium (Maynard dan Loosli 1956).

2.3. Tepung Tulang Ikan

Tepung tulang merupakan sumber kalsium dan fosfor yang baik. Tepung
tulang dapat diperoleh melalui tiga proses (Anggorodi 1985) yaitu :
1. Pengukusan. Tulang dikukus kemudian dikeringkan dan digiling untuk
menghasilkan tepung tulang.
2. Pemasakan dengan uap di bawah tekanan. Tulang dimasak dengan tekanan
kemudian diarangkan dalam bejana tertutup sehingga didapat tulang dalam
bentuk remah dan dapat digiling menjadi tepung.
3. Abu tulang yang diperoleh dari pembakaran tulang.
Protein tepung tulang yang diperoleh dengan pengukusan mutunya lebih
rendah karena kandungan gelatinnya tinggi (Anggorodi 1985). Tepung tulang
yang diperoleh dengan cara pemasakan dengan tekanan dan pengeringan
(steam bone meal) rata-rata mengandung 30,14% kalsium dan 14,53% fosfor.
Tepung tulang yang diperoleh dengan cara pengukusan akan kehilangan
protein. Selain itu kandungan fosfor serta kalsiumnya rendah. Komposisi
tepung tulang ini terdiri dari 26% protein, 5% lemak, 22,96% kalsium dan
10,25% fosfor (Morisson 1958).
Protein pada tulang ikan sebagian besar terdiri dari kolagen. Kolagen
adalah protein yang banyak terdapat pada jaringan tubuh, dapat ditemukan pada
kulit, jaringan pengikat dan tulang serta merupakan protein struktural tubuh.
Kolagen merupakan protein dari golongan protein fibril/skleroprotein yang
struktur molekulnya berbentuk serabut. Protein ini tidak larut dalam pelarut-
pelarut encer, baik larutan garam, asam, basa ataupun alkohol (Winarno 1985).
Secara nutrisi kolagen bukanlah protein yang baik. Komposisi asam amino
kolagen tidak ideal (terlalu banyak Pro, Gly, Ala), selain itu kolagen pada kondisi
alami sulit dicerna oleh tripsin dan kemotripsin. Kolagen menjadi lebih mudah
dicerna dalam bentuk yang sudah terdenaturasi (Alais dan Linden 1991).
2.4. Kalsium

Mineral merupakan bagian dari unsur pembentukan tubuh yang memegang


peranan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan
organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan. Disamping itu mineral berperan
dalam berbagai tahap metabolisme, terutama sebagai kofaktor dalam aktivitas
enzim. Mineral digolongkan kedalam mineral makro dan mineral mikro. Mineral
makro adalah mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg
sehari, sedangkan mineral mikro dibutuhkan kurang dari 100 mg sehari
(Almatsier 2002).
Sumber kalsium baik pada manusia maupun hewan adalah makanan yang
telah mengalami pencernaan di dalam saluran makanan. Suatu keadaan yang
bersifat asam adalah sangat diperlukan agar kalsium dapat dengan baik diserap
oleh usus. Absorpsi kalsium terjadi di bagian atas dari usus halus, karena di
tempat inilah keadaannya lebih bersifat asam daripada bagian lainnya dari usus
(Piliang dan Djojosoebagio 2006).
Di dalam darah kalsium berada dalam tiga bentuk, yaitu : (1) kalsium yang
terikat dengan protein (protein bound calcium atau nondiffusible calcium). Dalam
keadaan ini kalsium sebagian besar berikatan dengan albumin dan sebagian kecil
lagi berikatan dengan globulin. (2) Dalam bentuk ion (Ca++), dan (3) Kalsium
kompleks yaitu yang berikatan dengan fosfat, bikarbonat atau sitrat (Piliang dan
Djojosoebagio 2006).
Tubuh manusia mengandung lebih banyak kalsium daripada mineral lain.
Diperkirakan 2% dari berat badan orang dewasa atau sekitar 1,0-1,4 kg terdiri dari
kalsium (Winarno 2002). Dari jumlah ini 99% berada dalam jaringan keras yaitu
tulang dan gigi terutama dalam bentuk hidroksiapatit {(3Ca3(PO4)2.Ca(OH)2}.
Kalsium tulang berada dalam keadaan seimbang dengan kalsium plasma pada
konsentrasi kurang lebih 2,25-2,60 mmol/l atau setara dengan 9-10,4 mg/100 ml
(Almatsier 2002).
2.4.1. Peranan kalsium pada manusia

(a) Pembentukan tulang dan gigi


Kalsium di dalam tulang memiliki dua fungsi yaitu : 1) sebagai bagian
integral dari struktur tulang ; 2) sebagai tempat menyimpan asupan kalsium darah.
Pada tahap pertumbuhan janin manusia dibentuk, matriks sebagai cikal bakal
tulang tumbuh. Matriks yang merupakan sepertiga bagian dari tulang terdiri atas
serabut yang terbuat dari protein kolagen yang diselubungi oleh bahan gelatin.
Segera setelah bayi manusia lahir, matriks mulai menguat melalui proses
kalsifikasi, yaitu terbentuknya kristal mineral. Kristal ini terdiri atas kalsium
fosfat atau kombinasi fosfat dan kalsium hidroksida yang dinamakan
hidroksiapatit {(3Ca3(PO4)2.Ca(OH)2}. Kalsium dan fosfor merupakan mineral
utama dalam ikatan ini, sehingga keduanya harus berada dalam jumlah yang
cukup di dalam cairan yang mengelilingi matriks tulang. Batang tulang yang
merupakan bagian matriks, mengandung kalsium fosfat, magnesium, seng,
natrium karbonat dan flour disamping hidroksiapatit (Almatsier 2002).
Selama pertumbuhan, proses kalsifikasi berlangsung terus dengan cepat.
Pada ujung tulang panjang ada bagian yang berpori yang dinamakan trabekula,
yang menyediakan kalsium siap pakai guna mempertahankan konsentrasi kalsium
normal dalam darah. Selama kehidupan, tulang senantiasa mengalami perubahan,
baik dalam bentuk maupun kepadatan, sesuai dengan usia dan perubahan berat
badan (Almatsier 2002).
Kalsifikasi gigi susu (gigi tidak tetap yang kemudian diganti) terjadi pada
minggu kedua puluh tahap janin dan selesai sebelum gigi keluar. Gigi permanen
mulai mengalami kalsifikasi saat anak berumur delapan tahun hingga sepuluh
tahun. Gigi lengkap pada usia dewasa hanya mengandung 1% jumlah kalsium
tubuh (Almatsier 2002).
(b) Mengatur pembekuan darah
Bila terjadi luka, ion kalsium di dalam darah merangsang pembekuan
fosfolipidatromboplastin dari platelet darah yang terluka. Tromboplastin ini
mengkatalisis perubahan protrombin, bagian darah normal, menjadi trombin.
Trombin kemudian membantu fibrinogen, bagian lain dari darah, menjadi fibrin
yang merupakan gumpalan darah (Almatsier 2002).
(c) Katalisator reaksi biologis
Kalsium berfungsi sebagai katalisator berbagai reaksi biologis, seperti
absorpsi vitamin B12, tindakan enzim pemecah lemak, lipase pankreas, ekskresi
insulin oleh pankreas, pembentukan dan pemecahan asetilkolin, yaitu bahan yang
diperlukan dalam pemindahan (transmisi) suatu rangsangan dari suatu serabut
saraf ke serabut saraf lain. Kalsium yang diperlukan untuk mengkatalisis reaksi-
reaksi ini diambil dari persediaan kalsium dalam tubuh (Almatsier 2002).
(d) Kontraksi otot
Pada waktu otot berkontraksi, kalsium berperan dalam interaksi protein di
dalam otot, yaitu aktin dan miosin. Bila kalsium darah kurang dari normal, otot
tidak bisa mengendur sesudah kontraksi. Tubuh akan kaku dan dapat
menimbulkan kejang (Almatsier 2002)
Beberapa fungsi kalsium lain adalah meningkatkan fungsi transpor
membran sel, kemungkinan dengan bertindak sebagai stabilisator membran, dan
transmisi ion melalui membran organel sel (Almatsier 2002).

2.4.2. Sumber kalsium

Sumber kalsium utama adalah susu dan hasil olahan susu seperti keju. Ikan
yang dimakan dengan tulang, termasuk ikan kering merupakan sumber kalsium
yang baik. Serealia seperti kacang-kacangan dan hasil olahan kacang-kacangan
seperti tahu, tempe dan sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik juga,
tetapi bahan makanan ini banyak mengandung zat yang dapat menghambat
penyerapan kalsium seperti serat, fitat dan oksalat (Almatsier 2002).
Tepung ikan yang dibuat dari keseluruhan tubuh ikan termasuk tulangnya,
memiliki kandungan kalsium yang sangat tinggi. Meskipun tepung ikan ini bisa
dijadikan sumber kalsium dan protein bagi negara yang tidak mampu
menyediakan susu, kemungkinan penyebarannya pada bahan pangan di Amerika
masih kecil dikarenakan masih terdapat masalah sehubungan dengan flavour dan
kualitas selama penyimpanan (Guthrie 1975).
Bahan pangan dengan kandungan air relatif rendah, kacang almond dan
biji-bijian memiliki kandungan kalsium yang baik dalam porsi 100 g. Kelemahan
dari produk ini adalah orang jarang mengkonsumsi bahan pangan ini dikarenakan
kontribusi kalori yang tinggi, yang terdapat dalam program diet (Guthrie 1975).
Sumber kalsium yang biasa digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga
kelompok (Kaup et al. 1991) yaitu :
1. Tepung tulang, mono-kalsium dan di-kalsium fosfat yang ketersediaannya
paling tinggi diantara sumber kalsium lainnya.
2. Ground limestone (batuan kapur yang biasanya mengandung magnesium
dan bersifat agak asam), deflourined fosfat (garam kalsium fosfat yang
masih mengandung flour yang bersifat racun bila kadarnya berlebihan)
dan kalsium karbonat. Kelompok ini merupakan sumber kalsium yang
ketersediaannya sedang.
3. Hay, yaitu kalsium yang berikatan dengan mineral lain yang sukar larut.
Sumber ini memiliki ketersediaan kalsium yang rendah.
Kebanyakan kalsium dalam bahan nabati tidak dapat digunakan dengan
baik karena berikatan dengan oksalat membentuk garam dan bersifat tidak larut
dengan air (Linder 1992).
Kalsium pada ikan terutama pada tulang membentuk kompleks dengan
fosfor dalam bentuk apatit atau trikalsiumfosfat (Lovell 1989). Bentuk ini terdapat
pada abu tulang yang dapat diserap dengan baik oleh tubuh yaitu berkisar
60-70% (Lutwak 1982).

2.4.3. Kebutuhan kalsium

Keperluan kalsium dalam tubuh manusia berbeda menurut usia dan jenis
kelamin. Kebutuhan kalsium dan fosfor dalam tubuh orang Indonesia per hari
yang ditetapkan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi (2004) disajikan pada Tabel 1.
Kalsium pada tubuh terdapat paling banyak di tulang dengan jumlah lebih
dari 99%. Kebutuhan tubuh akan kalsium dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi
makanan yang mengandung kalsium (Karyadi dan Muhilal 1996). Kebutuhan ini
akan berbeda bagi setiap orang. Di Amerika kebutuhan kalsium bagi orang
dewasa adalah 800 mg per kapita per hari (Hardinsyah dan Martianto 1992).
Untuk orang yang hidup di daerah tropis dapat mempertahankan status
kalsiumnya dengan hanya mengkonsumsi 200-400 mg per kapita per hari.
Hal ini disebabkan oleh adanya sinar matahari yang dapat membantu
pembentukan vitamin D yang selanjutnya membantu peningkatan metabolisme
kalsium (Muchtadi et al. 1993).
Tabel 1 Kebutuhan kalsium dan fosfor dalam tubuh manusia
Kelompok umur Kebutuhan Ca (mg)/hari Kebutuhan P (mg)/hari
Bayi (bulan)
0-6 200
7-11 400
Anak (tahun)
1-3 500 400
4-6 500 400
7-9 600 400
Pria (tahun)
10-12 1000 1000
13-15 1000 1000
16-18 1000 1000
19-29 800 600
30-49 800 600
50-64 800 600
65 + 800 600
Wanita (tahun)
10-12 1000 1000
13-15 1000 1000
16-18 1000 1000
19-29 800 1000
30-49 800 600
50-64 800 600
65+ 800 600
Hamil 1000 1000
Trimester 1 +150 +0
Trimester 2 +150 +0
Trimester 3 +150 1000
Menyusui 1000 +0
6 bulan pertama +150 +0
6 bulan kedua +150 +0
Sumber : Widyakarya Pangan dan Gizi (2004).

Status kalsium ditentukan oleh kombinasi faktor usia, jenis kelamin, dan
faktor hormonal. Interaksi kompleks dari faktor tersebut menentukan jumlah
kalsium tersedia yang dapat diserap, kapasitas intestin untuk menyerap, dan
jumlah kalsium yang hilang dalam urin, kelenjar keringat maupun feses. Faktor
utama yang menentukan status kalsium adalah faktor nutrisi seperti laktosa dan
oksalat. Faktor ini menentukan ketersediaan, fungsi tiroid dan paratiroid yang
bekerja melalui vitamin D, hormon lain dan metabolisme fosfor (Miller 1989
dalam Miller 1996 dalam Fennema 1996).
Kekurangan kalsium akan menyebabkan kadar kalsium darah menurun.
Kondisi dimana kadar kalsium berada dibawah kisaran normal (9-10 mg/100 ml)
disebut hipokalsemia. Hipokalsemia dapat menyebabkan tetani atau kejang.
Kepekaan serabut saraf dan pusat saraf terhadap rangsangan meningkat, sehingga
terjadi kejang otot misalnya pada kaki (Almatsier 2002).
Konsumsi kalsium sebaiknya tidak melebihi 2500 mg sehari. Kondisi
kebalikan dari hipokalsemia adalah hiperkalsemia. Hiperkalsemia ini dapat
menyebabkan hiperkalsiuria yaitu kondisi dimana kadar kalsium dalam urin
melebihi 300 mg/hari. Kelebihan kalsium dapat menimbulkan batu ginjal atau
gangguan ginjal, disamping itu dapat menyebabkan konstipasi (susah buang air
besar). Kelebihan kalsium jarang terjadi akibat konsumsi makanan alami dan
biasanya terjadi bila mengkonsumsi suplemen kalsium berupa tablet atau bentuk
lain (Almatsier 2002).

2.4.4. Asupan kalsium

Allen dan Wood (1994) menyatakan bahwa penyerapan kalsium


meningkat saat asupan kalsium diturunkan dari dosis tinggi atau cukup menjadi
rendah, sehingga terjadi kenaikan penyerapan kalsium. Almatsier (2002)
menambahkan bahwa penyerapan akan meningkat bila kalsium dikonsumsi
menurun. Semakin rendah persediaan kalsium dalam tubuh semakin efisien
absorpsi kalsium. Peningkatan kebutuhan terjadi pada masa pertumbuhan,
kehamilan, menyusui, defisiensi kalsium dan tingkat aktivitas fisik yang
meningkatkan densitas tulang.
Hal ini dapat terjadi karena jumlah kalsium terserap tergantung pada
interaksi dengan komponen bahan pangan lainnya, dan pada faktor psikologis
seperti hormon regulator kalsium dan tingkatan umur. Kemampuan absorpsi
lebih tinggi pada masa pertumbuhan, dan menurun pada proses penuaan.
Kemampuan absorpsi pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan pada semua
golongan usia (Allen dan Wood 1994).
Asupan kalsium tidak cukup dan penyerapan kalsium oleh tubuh yang
rendah hanyalah dua dari beberapa faktor resiko bagi osteoporosis dan penyakit
lainnya (Blaney et al. 1996). Aktivitas fisik berpengaruh terhadap asupan kalsium.
Laktosa meningkatkan absorpsi bila tersedia cukup enzim laktase. Sebaliknya bila
terdapat defisiensi laktase, laktosa mencegah absorpsi kalsium, akan tetapi di luar
kehamilan, diragukan apakah laktosa masih dapat meningkatkan waktu transit
makanan melalui saluran percernaan, dengan demikian memberi waktu lebih
banyak untuk absorpsi kalsium (Almatsier 2002).
Sumber kalsium menjadi berpengaruh terhadap bioavailabilitas karena
menentukan dengan apa kalsium harus berikatan. Seperti penelitian yang
dilakukan oleh Purac Biochem tahun 1995 mengenai bioavailabilitas 11 produk
makanan berbeda, membuktikan bahwa kalsium laktat adalah salah satu sumber
kalsium dengan bioavailabilitas terbaik diantara semua produk yang dicobakan
(Van Mosevelde 1997).

2.4.5. Penyerapan kalsium

Saat tubuh sangat membutuhkan kalsium dan berada pada kondisi


optimal, 30-50% kalsium yang dapat dikonsumsi dapat diabsorpsi tubuh,
sedangkan pada kondisi normal, penyerapan sebesar 20-30% dianggap baik,
dan kadang-kadang penyerapannya hanya mencapai 10%. Pada masa
pertumbuhan anak, penyerapan dapat mencapai 75% dari makanan kalsium.
Sebelum penyerapan natrium, vitamin D dan satu atau dua protein pengikat
kalsium harus tersedia (Guthrie 1975).
Penyerapan kalsium dapat terjadi dalam dua jalur transportasi di
sepanjang usus. Pertama cara aktif, mudah jenuh dan dengan proses transeluler
yang terjadi terutama pada duodenum dan proksimal yeyenum. Kedua cara
pasif, tidak mudah jenuh, jalur paraseluler yang terjadi di sepanjang usus
halus (Allen dan Wood 1994).
Cara pertama diatur oleh vitamin D dan melibatkan protein pengikat
kalsium (calbinding) yang tergantung pada vitamin D (CaBP). Kalsium dipompa
keluar enterosit menuju darah oleh adenosin trifosfat (ATP) (Allen dan Wood
1994). Untuk penyerapan kalsium dengan cara ini, diperlukan tiga tahap yang
berkesinambungan, dan kesemuanya diatur oleh vitamin D. Untuk itu harus ada :
1) asupan dari pinggir bulu-bulu halus; 2) gerakan intraseluler; 3) keluaran pada
membran basolateral. Calbindin berperan sebagai protein transpor untuk
membawa kalsium melewati sitoplasma enterosit ke basal membran. Kalsium
yang dipompakan dari enterosit ke cairan ekstraseluler membutuhkan ATP dan
vitamin D yang mengatur Ca2+, Mg2+, ATPase, enzim penghidrolisis ATP dan
melepaskan energi untuk memompa Ca2+ keluar sel, seiring dengan itu
magnesiumnya bergerak masuk (Groff dan Gropper 2001). Penyerapan kalsium
secara aktif dipengaruhi oleh kondisi psikologis individu, yaitu status kalsium dan
vitamin D, usia, kehamilan dan laktasi (Allen dan Wood 1994).
Cara kedua tidak bergantung pada pengaturan oleh vitamin D. Jumlah
kalsium yang terserap dengan cara ini tergantung sekali pada jumlah dan nilai
kalsium makanan, yaitu di atas 3 mmol atau setara dengan 120 mg/100 ml
kemungkinan akan terserap dengan cara ini (Allen dan Wood 1994).
Usus besar juga merupakan lokasi yang memungkinkan terjadinya
penyerapan kalsium dikarenakan bakteri kolon melepaskan ikatan kalsium dari
beberapa serat terfermentasi (fermentable fibers) seperti pektin. Jumlah kalsium
yang diserap lewat kolon sekitar 4% setiap hari (Groff dan Gropper 2001).
Dalam makanan yang mengandung sedikit kalsium, persentase penyerapan
kalsium akan meningkat menjadi 60 kali selama masa pertumbuhan, namun pada
orang dewasa yang mengkonsumsi kalsium dalam jumlah yang cukup,
penyerapannya akan menurun sebesar 10%. Secara normal penyerapan kalsium
berkisar 30% (Allen dan Wood 1994).

2.4.5.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan kalsium

Bioavailabilitas atau ketersediaan biologis adalah ukuran kuantitatif dari


penggunaan nutrisi pada kondisi tertentu untuk menunjang struktur normal
organisme serta proses-proses fisiknya (Fox et al. 1981 dalam Fox 1988). Agar
nutrisi bahan pangan dapat digunakan tubuh, maka nutrisi tersebut harus dapat
diserap oleh tubuh terlebih dahulu. Dalam keadaan normal sebanyak 30-50%
kalsium yang dikonsumsi diabsorpsi tubuh. Hal ini dikarenakan penyerapan
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah :
(1) Zat organik
Adanya zat organik yang dapat bergabung dengan kalsium dan
membentuk garam yang tidak larut. Contoh dari senyawa tersebut adalah asam
oksalat dan asam fitat. Asam oksalat dan kalsium membentuk garam yang tidak
dapat larut, yaitu kalsium oksalat (Winarno 2002), sehingga mengendap di dalam
rongga usus dan tidak dapat diserap ke dalam mukosa (Sediaoetama 2006). Asam
fitat terdapat dalam bekatul gandum, sedangkan asam oksalat banyak ditemukan
dalam bit yang masih hijau, bayam, rhubab dan coklat, akan tetapi berdasarkan
penelitian in vivo adanya asam oksalat pada bayam tidak jelas menurunkan
keseimbangan kalsium dalam tubuh (Winarno 2002).
(2) Vitamin D
Absorpsi kalsium di dalam usus maupun reabsorbsinya di dalam tubuli
ginjal dipengaruhi oleh vitamin D, sedangkan absorpsi kalsium mempengaruhi
pula absorpsi fosfor (Sediaoetama 2006). Vitamin D dalam bentuk aktif
1,25(OH)D3 meningkatkan absorpsi pada mukosa usus dengan cara merangsang
produksi protein pengikat kalsium. Absorpsi kalsium paling baik terjadi
dalam keadaan asam. Asam klorida yang dikeluarkan lambung membantu
absorpsi dengan cara menurunkan pH di bagian atas duodenum. Asam amino
tertentu meningkatkan keasaman saluran cerna dengan demikian membantu
proses absorpsi (Almatsier 2002).
(3) Serat makanan
Serat makanan merupakan komponen tanaman yang tidak dapat dicerna
oleh enzim pencernaan manusia, termasuk didalamnya komponen dinding sel
tumbuhan (selulosa, hemiselulosa, pektin, pentosan dan lignin) dan polisakarida
intraseluler seperti gum dan musilage (Trowell 1976 dalam Spiller 2001).
Selanjutnya menurut Harland dan Oberleas (2001) serat bersama-sama dengan
fitat dan oksalat mengurangi penyerapan kalsium.
Serat makanan membatasi bioavailabilitas mineral dengan cara mengikat,
mengencerkan dan menjerat mineral dalam serat makanan atau memperpendek
waktu transit nutrisi dalam usus (Iodarine at al. 1996). Selanjutnya hasil
penelitian yang dilakukan oleh Urbano dan Goni (2002) mendukung pernyataan
bahwa jumlah serat tidak berpengaruh terlalu besar pada penyerapan mineral jika
dibandingkan dengan jenisnya.
Berdasarkan jenis kelarutannya, serat dibagi menjadi 2 yaitu serat
larut air dan serat tidak larut air. Serat larut air dapat mengikat air dan
menciptakan larutan viskous dalam saluran pencernaan sehingga
menyebabkan perlambatan pengosongan perut dari makanan, menghalangi
percampuran makanan dengan enzim, mengurangi fungsi enzim, mengurangi
tingkat difusi nutrisi sehingga melalui mekanisme ini kalsium sulit terserap
mukosa usus (Groff dan Gropper 2001).
Serat tidak larut air menurut Slavin (1985) dalam Blaney et al. (1996)
menghalangi lebih banyak kalsium daripada serat larut, menurunkan waktu transit
bahan pangan selama di usus halus sehingga mengurangi waktu penyerapan
kalsium. Selanjutnya serat tidak larut air secara otomatis akan mengurangi
kesempatan kerja enzim (Groff dan Gropper 2001).
(4) Protein
Allen dan Wood (1994) menyatakan bahwa protein bersama-sama dengan
lemak, dikategorikan sebagai bahan pangan yang memiliki pengaruh pada
bioavailabilitas kalsium. Sumber protein juga mempengaruhi penyerapan kalsium.
Kasein dan produk susu meningkatkan kelarutan in vivo sehubungan dengan
adanya gugus fosfoserin dalam molekulnya (Berrocal et al. 1989 dalam Blaney et
al. 1996). Protein makanan juga dapat berpengaruh negatif terhadap
ketersediaan biologis mineral jika mineral terperangkap dalam protein atau
kompleks peptida yang resisten terhadap proteolisis. Situasinya serupa dengan
kompleks mineral protein-fitat yang tidak tercerna dengan baik, sehingga
penyerapan mineral menurun (Erdman et al. 1980 dalam Greger 1999).
Bagaimanapun juga, protein berperan penting dalam penyerapan kalsium
ke dalam mukosa usus karena transpor kalsium melalui sel usus dapat terjadi
melalui difusi atau dengan calbindin (protein pengikat kalsium). Calbindin
berperan sebagai protein transpor untuk mengantarkan kalsium sitoplasma
enterosit ke membran basal. Proses ini membutuhkan ATP (Groff dan Gropper
2001) dan kekurangan protein menyebabkan gangguan pada absorpsi dan
transportasi zat-zat gizi (Almatsier 2002).
(5) Nilai pH dan kelarutan
Kalsium membutuhkan pH asam agar dapat berada dalam keadaan larut.
Kalsium hanya bisa diabsorpsi bila terdapat dalam bentuk larut air dan tidak
mengendap karena unsur makanan lain seperti oksalat (Almatsier 2002).
Anggorodi (1985) mengatakan bahwa pH usus juga berpengaruh
terhadap proses absorpsi kalsium dalam tubuh. Fosfor sulit diserap pada pH di
atas 6,5 dan baik diserap pada pH di bawah 6,0 dimana nilai pH tersebut dapat
dikontrol dengan cara tidak terlalu banyak memberikan kalsium.
Kelarutan merupakan salah satu syarat dalam penyerapan kalsium.
Menurut Allen dan Wood (1994) kelarutan kalsium meningkat dalam lingkungan
asam pada perut, tetapi ion terlarut akan bergabung kembali kemudian
berpresipitasi dalam yeyenum dan ileum dimana pH-nya mendekati netral.
Peningkatan penyerapan mineral terjadi pada suasana asam dan akan menurun
sejalan dengan penurunan nilai pH dan sebaliknya (Yoshie et al. 1997; Torre et al.
1995).

2.5. Fosfor

Fosfor banyak sekali ditemukan baik di hewan maupun tanaman. Unsur


ini dijumpai di dalam semua sel tubuh, dalam cairan tubuh dan dalam hampir
semua makanan. Dari segi fisiologi, fosfor memegang peranan di dalam
proses kontraksi otot, pada pembentukan tulang (osifikasi) dan aktivitas
sekretosis. Disamping itu fosfor memegang peranan penting dalam
pembentukan fosfat yang sangat diperlukan dalam transformasi energi
(Piliang dan Djojosoebagio 2006).
Penyebaran fosfor di dalam tubuh dilakukan dengan bantuan peredaran
darah dan cairan antar sel (intercellular fluid). Bentuk fosfor yang diserap oleh
usus beragam bergantung kepada makanan yang digunakan. Bentuk fosfor yang
diserap melalui usus terdiri dari ikatan atau senyawa fosfat anorganik dan fosfat
organik. Senyawa-senyawa fosfat ini dibebaskan dari makanan setelah mengalami
hidrolisis selama proses pencernaan terjadi (Piliang dan Djojosoebagio 2006).
Dalam proses absorpsi fosfor dan kalsium saling berpengaruh erat sekali.
Menurut Sediaoetama (2006), untuk absorpsi kalsium yang baik diperlukan
perbandingan Ca:P dalam hidangan 1:1 sampai 1:3. Selanjutnya menurut Guthrie
(1975) batasan bagi rasio perbandingan Ca:P adalah dibawah 1:2. Perbandingan
Ca:P lebih besar dari 1:3 akan menghambat penyerapan kalsium, sehingga
hidangan yang demikian akan menimbulkan penyakit defisiensi kalsium yaitu
rakhitis (Sediaoetama 2006).
Allen dan Wood (1994) menyatakan bahwa baik jumlah fosfor bahan
pangan maupun rasio Ca:P tidak mempengaruhi penyerapan kalsium pada orang
dewasa atau bayi dengan berat di bawah normal. Hal tersebut serupa dengan
pernyataan dari Almatsier (2002), bahwa bukti nyata terhadap anggapan adanya
pengaruh rasio Ca:P ini belum ada sampai sekarang, dan pada umumnya rasio
kalsium : fosfor dalam makanan antara 1:1 dan 1:2.

2.6. Biskuit

Biskuit adalah kue manis berukuran kecil yang terbuat dari tepung terigu.
Menurut Standar Nasional Indonesia (1992), biskuit adalah produk pangan kering
yang dibuat dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar terigu,
lemak dan bahan pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan
lain yang diizinkan. Sedangkan menurut Charley (1982) biskuit yang bermutu
baik adalah biskuit yang memiliki kulit berwarna coklat keemasan dengan tanpa
adanya noda-noda coklat, bentuknya simetris serta bagian atasnya rata dan halus.
Persyaratan mutu biskuit menurut Standar Nasional Indonesia tahun 1992
(SNI 01-2973-1992) seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Syarat mutu biskuit (SNI 01-2973-1992) tahun 1992
Kriteria uji (Parameter) Syarat mutu
Kadar air (% b/b) Maksimum 5,0
Kadar protein (% b/b) Minimum 9,0
Kadar abu (% b/b) Maksimum 1,5
Bahan tambahan makanan
- Pewarna dan pemanis buatan Tidak boleh ada
Kadar cemaran logam
- tembaga (mg/kg) Maksimum 10,0
- timbal (mg/kg) Maksimum 1,0
- seng (mg/kg) Maksimum 40,0
- merkuri (mg/kg) Maksimum 0,05
Cemaran mikroba
- TPC (koloni/g) Maksimum 1,0x106
- Coliform (APM/g) Maksimum 20,0
- E coli (APM/g) <3
- Kapang (koloni/g) Maksimum 1,0x102

2.6.1. Klasifikasi biskuit

Belum ada klasifikasi yang jelas untuk biskuit, bahkan terkadang dijumpai
saling tumpang tindih antar bentuk yang satu dengan lainnya. Hingga saat ini
biskuit diklasifikasikan berdasarkan beberapa sifat yaitu : (1) tekstur dan
kekerasan, (2) perubahan bentuk akibat pemanggangan, (3) ekstensibilitas adonan
dan (4) pembentukan produk (Manley 1983).
Berdasarkan ekstensibilitas adonannya, biskuit dapat digolongkan menjadi
tiga yaitu adonan lunak, adonan keras dan adonan fermentasi. Pada adonan lunak,
gluten tidak mengembang karena adanya efek dari shortening dan efek pelunakan
dari gula. Contoh biskuit dari adonan lunak adalah biskuit buah, biskuit krim dan
biskuit jahe. Untuk adonan keras dijumpai pengembangan gluten sampai batas
tertentu untuk penambahan air. Pada adonan fermentasi, gluten akan mengembang
penuh karena air yang ditambahkan memungkinkan kondisi tersebut. Contoh
biskuit yang dibuat dari adonan fermentasi adalah biskuit cracker (Booth 1990).
Menurut Faridi dan Faubion (1990), crackers umumnya hanya mengandung
sedikit gula dan lemak. Pada biskuit fermentasi ini dapat digolongkan menjadi dua
yaitu asin (saltine) dan snack.
Klasifikasi lain adalah berdasarkan pembentukan biskuit. Menurut Faridi
dan Faubion (1990) ; Booth (1990), biskuit dapat dibuat dan dibentuk dengan tiga
cara yaitu rotary molded, wire-cut dan pembentukan lembaran (sheeting).
Perbedaan ketiga cara ini adalah kandungan gula dalam adonan sehingga akan
mempengaruhi karakteristik sewaktu proses pembentukan.
Menurut Standar Nasional Indonesia tahun 1992 (SNI 01-2973-1992),
biskuit dapat diklasifikasikan menjadi biskuit keras, cracker, cookies dan wafer.
Biskuit keras dibentuk dari adonan keras dan memiliki tekstur padat. Cracker
adalah biskuit yang dibuat dari adonan keras melalui fermentasi dan memiliki
tekstur yang berlapis-lapis. Jenis yang ketiga adalah cookies merupakan jenis
biskuit yang dibuat dari adonan lunak. Wafer adalah biskuit dari adonan dengan
sifat yang sangat renyah dan memiliki tekstur yang berongga.
Klasifikasi beberapa jenis biskuit menurut Manley (1983) dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3 Klasifikasi biskuit menurut Manley (1983)
Klasifikasi Cracker Adonan Adonan lunak
keras HF HS
Kadar air adonan (%) 30 22 9 15
Kadar air biskuit (%) 1-2 1-2 2-3 2-3
Suhu adonan (oC) 30-38 40-42 20 21
Komponen penting Tepung Tepung Lemak Lemak dan gula
Waktu pemanggangan
(menit) 3 5,5 15-25 7
Ket : HF = kandungan lemak tinggi; HS = kandungan gula tinggi

2.6.2. Bahan-bahan pembuat biskuit

Bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit dibedakan menjadi bahan


pengikat (binding materials) dan bahan pelembut (tederizing materials) (Matz dan
Matz 1978). Bahan pengikat terdiri dari tepung, air, susu, telur. Bahan pelembut
terdiri dari gula, shortening, baking powder, telur.
(a) Tepung terigu
Untuk mendapatkan biskuit yang baik, maka tepung terigu tipe lunak
yang mempunyai kadar protein sekitar 8% dan kadar gluten yang tidak
terlalu banyak adalah yang paling sesuai (Vail et al. 1978). Tepung terigu
dalam pembuatan biskuit berfungsi sebagai pembentuk tekstur, mengikat
bahan-bahan lain dan mendistribusikannya secara merata sebagai pembentuk
citarasa (Matz dan Matz 1978).
Komposisi gandum bervariasi tergantung jenisnya. Hal ini juga
berpengaruh pada kekuatan glutennya. Kekuatan tepung lebih tergantung
pada mutu daripada jumlah gluten. Tepung yang kuat adalah tepung yang
menghasilkan tepung yang sukar meregang dan mempunyai sifat dapat
menahan gas yang baik. Umumnya jenis tepung ini cocok untuk
pembuatan roti, sedangkan tepung yang lemah cocok untuk pembuatan kue dan
biskuit (Gaman dan Sherrington 1990).
Menurut Astawan (1999) berdasarkan kandungan gluten (protein) tepung
terigu yang beredar dipasaran dapat dibedakan menjadi 3 macam sebagai berikut :
1. Hard flour. Tepung ini berkualitas paling baik. Kandungan proteinnya 12-13%.
Tepung ini digunakan untuk pembuatan roti dan mi berkualitas tinggi.
Contohnya adalah terigu ”Cakra Kembar”.
2. Medium hard flour. Tepung jenis ini mengandung protein 9,5-11%. Tepung ini
banyak digunakan untuk pembuatan roti, mi dan macam-macam kue serta
biskuit. Contohnya, terigu ”Segitiga Biru”.
3. Soft flour. Terigu ini mengandung protein sebesar 7-8,5%. Penggunaannya
cocok sebagai pembuatan kue dan biskuit. Contohnya, terigu ”Kunci Biru”.
(b) Telur
Penggunaan telur dalam pembuatan biskuit terutama berfungsi sebagai
pengemulsi yang dapat membantu mempertahankan kestabilan adonan. Selain
itu telur juga berperan meningkatkan dan menguatkan flavour, warna dan
kelembutan (Matz dan Matz 1978).
Menurut Whiteley (1971), adanya albumin telur membantu pembentukan
struktur adonan selama pemanggangan biskuit, karena membantu memerangkap
udara saat adonan dikocok sehingga udara dapat menyebar merata diseluruh
adonan. Selain itu telur dapat meningkatkan kerenyahan (crispy) biskuit.
(c) Gula
Gula berfungsi sebagai pemberi rasa manis biskuit, pelunakan gluten,
berperan membentuk flavor dan warna coklat pada biskuit lewat reaksi
pencoklatan nonenzimatis selama proses pemanggangan, memperbaiki tekstur
dan mempengaruhi pengembangan biskuit (Matz dan Matz 1978).
(d) Lemak
Lemak biasa digunakan untuk memberikan efek shortening sehingga
memperbaiki struktur fisik seperti volume pengembangan, tekstur dan kelembutan
serta memberi flavor (Matz 1993). Lemak berfungsi untuk memperbaiki kualitas
penerimaan (melezatkan dan menambah nilai gizi), melembutkan, membantu
pengembangan, membantu penyebaran dan memberikan flavor. Lemak dapat
melembutkan, membuat renyah dengan cara melapisi molekul pati dan gluten
dalam tepung serta memutuskan ikatannya, lemak juga dapat membatasi daya
serap air (Kaplan 1971)
Margarin merupakan pengganti mentega dengan rupa, bau dan konsistensi,
rasa, dan nilai gizi yang hampir sama. Margarin juga mengandung emulsi air
dalam minyak, dengan persyaratan mengandung tidak kurang 80% lemak.
Margarin terbuat dari minyak atau lemak nabati, dan bahan tambahan seperti susu
bubuk skim atau lemak hewani, air, garam, esens, pewarna dan zat antitengik.
Umumnya margarin memiliki kandungan lemak yang sedikit tetapi kandungan
airnya sangat banyak (Anonim 2000).
Karena minyak nabati umumnya dalam bentuk cair, maka harus
dihidrogenasi lebih dulu menjadi lemak padat, yang berarti margarin harus
bersifat plastis, padat pada suhu ruang, agak keras pada suhu rendah dan segera
dapat mencair dalam mulut (Winarno 2002).
(e) Susu
Penggunaan susu dalam pembuatan produk biskuit berfungsi untuk
membentuk flavour, mengikat air, sebagai bahan pengisi, membentuk tekstur
yang baik dan porous, meningkatkan nilai gizi terutama kadar protein biskuit.
Selain itu susu juga dapat memberikan pengaruh terhadap pembentukan
warna coklat pada permukaan biskuit dan memperkuat gluten karena kandungan
kalsiumnya (Anonim 1981).
Muchtadi dan Sugiyono (1989) menyatakan bahwa susu adalah suatu
emulsi lemak dalam air yang mengandung garam-garam mineral, gula dan protein.
Salah satu keuntungan penambahan susu didalam mixed food berfungsi sebagai
penguat protein dan lemak, juga mengandung karbohidrat, vitamin (terutama
vitamin A dan niasin) serta mineral (kalsium dan fosfor). Penggunaan susu untuk
pembuatan biskuit berperan sebagai bahan pengisi untuk mengikat kandungan gizi
yang dihasilkan (Buckle et al. 1987).
(f) Bahan pengembang
Bahan pengembang yang umumnya digunakan dalam pembuatan
produk biskuit adalah baking powder dan amonium bikarbonat. Fungsi baking
powder dalam adonan adalah untuk melepaskan gas hingga jenuh dengan gas
CO2 lalu dengan teratur melepaskan gas selama pemanggangan agar adonan
mengembang sempurna, menjaga penyusutan dan untuk menyeragamkan remah.
Baking powder adalah bahan peragi hasil reaksi antara asam dan sodium
bikarbonat. Asam yang biasanya digunakan adalah tartarat, folat dan sulfat
(Anonim 1981). Winarno (2002) menyatakan bahwa bahan pengembang adalah
senyawa kimia yang apabila terurai akan menghasilkan gas dalam adonan.
(g) Air
Air digunakan sebagai media dan katalis reaksi yang terjadi dalam adonan,
selain itu air juga membentuk dan mempengaruhi tekstur produk (Sunaryo 1985).
Matz dan Matz (1978) menyatakan bahwa air dalam pembuatan produk biskuit
berfungsi sebagai bahan pembantu dalam pembuatan gluten, sehingga membentuk
sifat kenyal dari gluten disamping juga untuk melarutkan gluten, garam serta
bahan-bahan lain agar bisa bercampur. Apabila jumlah air yang ditambahkan
terlalu banyak maka adonan akan menjadi keras, sedangkan jika air yang
ditambahkan sedikit, warna produk akan menjadi kecoklatan, bau agak gosong
dan tekstur mudah hancur.
Air memungkinkan terbentuknya gluten gandum yang mengandung
protein dalam bentuk glutenin dan gliadin, jika ditambahkan air maka akan
membentuk gluten, air juga berperan mengontrol kepadatan adonan. Selain itu, air
juga mengontrol suhu adonan, pemanasan atau pendinginan adonan. Air dalam
adonan melarutkan garam, menahan dan menyebarkan bahan-bahan secara
seragam. Air membasahi serta mengembangkan pati sehingga dapat dicerna dan
memungkinkan terjadinya kegiatan enzim (Almond 1989).
(h) Flavor
Flavor didefinisikan sebagai komponen yang memiliki karakteristik yang
dapat menimbulkan efek sensoris. Flavor dirasakan terutama oleh indera perasa
dan indera penciuman dan secara umum oleh berbagai reseptor yang ada di dalam
mulut. Flavor sintetik dibuat dari bahan organik dan bahan kimia yang telah
diisolasi dari sumber-sumber alami. Keuntungan menggunakan flavor sintetik
adalah lebih ekonomis, konsentrasi rendah, penyimpanan yang mudah, lebih stabil
dan lebih tahan lama (Phillips 1981 diacu dalam Mahani 1999).
3. METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Nopember 2006 sampai dengan


Maret 2007. Pelaksanaan penelitian berlangsung di beberapa laboratorium yaitu
Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan dan Unit Poduksi Hasil Perikanan
untuk kegiatan preparasi, perebusan tulang, pembuatan biskuit. Laboratorium
Mikrobiologi dan Biokimia Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB untuk analisis kadar air dan kadar abu tepung tulang ikan patin.
Pilot Plan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB untuk proses penepungan.
Laboratorium Pengolahan Pangan Fakultas Teknologi Pertanian untuk analisis
derajat putih, daya serap air, densitas kamba tepung tulang ikan patin, kekerasan
biskuit. Laboratorium Nutrisi dan Pakan Ternak Fakultas Peternakan IPB untuk
analisis kadar Ca, P, pH, solubilitas Ca dan P. Laboratorium Kimia Terpadu Pusat
Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB untuk analisis proksimat biskuit.
Laboratorium Organoleptik Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB untuk
pengujian organoleptik biskuit

3.2. Bahan dan Alat

3.2.1. Bahan yang digunakan

Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan tepung adalah tulang ikan
patin yang diperoleh dari Unit Usaha Fillet Ikan Patin Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan IPB. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit
adalah tepung terigu ”Kunci Biru”, margarin ”Blue Band”, susu bubuk ”Frisian
Flag”, baking powder ”Pesawat Angkasa”, telur, air, vanili. Bahan-bahan kimia
yang diperlukan untuk analisis fisika dan kimia biskuit yang ditambah dengan
tepung tulang ikan patin dan tepung tulang ikan patin terdiri atas : H2SO4, alkohol,
NaOH, Na2S2O3, HCl, HNO3, HClO4, akuades, tablet kjeltab, buffer pH 7 dan pH
4, KH2PO4 (standar fosfor), larutan Ca 1000 ppm (standar Ca).
3.2.2. Alat yang digunakan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat pembuat tepung
tulang ikan patin, alat untuk pembuatan biskuit dan alat analisis fisik-kimia. Alat-
alat yang digunakan untuk membuat tepung tulang ikan patin adalah baskom,
timbangan, ember, pisau, panci, kompor, oven, autoclave, disc mill, ayakan,
pengering drum. Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah oven,
talenan, cetakan, timbangan, baskom, loyang, mixer. Alat-alat yang digunakan
untuk analisis fisika dan kimia adalah oven, neraca analitik, labu takar, labu
Kjeldhal, penangas air, homogenizer merk Nissei AM-3, Atomic Absorption
Spectrophotometer merk Shimadzu AA-680, Rheoner merk RE 3350 Yamaden,
cawan porselin, kertas saring, Whiteness meter merk Kett Electric C-100-3, gelas
ukur, gelas piala, pipet, erlenmeyer, pH meter, alat soxhlet, kapas bebas lemak,
tabung reaksi dan sentrifuse.

3.3. Tahapan Penelitian

Penelitian ini dibagi dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan
penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung tulang
ikan patin dan evaluasi sifat fisik-kimia tepung tulang ikan patin yang dihasilkan.
Penelitian lanjutan yaitu pembuatan biskuit yang ditambah dengan tepung tulang
ikan patin dengan lima formulasi yang berbeda. Terhadap kelima formulasi yang
dihasilkan, dilakukan analisis yang meliputi uji organoleptik (skoring dan
perbandingan pasangan dengan produk komersial), analisis fisik dan kimia.

3.3.1. Penelitian pendahuluan

Limbah tulang ikan patin yang diperoleh dari Unit Usaha Fillet Ikan Patin
FPIK IPB ditimbang berat awal (masih dalam bentuk tulang ikan patin) dan berat
akhir (setelah menjadi tepung tulang ikan patin) dengan maksud untuk
mendapatkan rendemen. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan tepung tulang
ikan patin yang mengacu pada metode Tanuwidjaya (2002) dengan modifikasi.
Terhadap tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dilakukan analisis fisik yang
terdiri dari derajat putih, densitas kamba, daya serap air dan karakteristik kimia
yang terdiri dari kadar air, abu, nilai pH, kalsium, fosfor, solubilitas kalsium dan
solubilitas fosfor. Tepung tulang ikan patin yang mempunyai solubilitas tertinggi
dipilih untuk digunakan pada pembuatan biskuit. Proses pembuatan tepung
tulang ikan patin dapat dilihat pada Gambar 2.

3.3.2. Penelitian lanjutan

Pembuatan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin dilakukan


setelah diperoleh tepung tulang ikan patin dengan nilai solubilitas Ca dan P yang
tertinggi. Terhadap biskuit hasil formulasi dilakukan uji organoleptik yaitu uji
skoring. Dua biskuit dengan nilai tertinggi hasil pengujian organoleptik
selanjutnya dilakukan uji perbandingan pasangan dengan biskuit komersial. Dua
biskuit dengan nilai tertinggi, biskuit kontrol dan biskuit komersial juga dilakukan
analisis karakteristik fisik yaitu pengukuran berat, tebal, diameter, kekerasan dan
karakteristik kimia yaitu kadar air, abu, protein, lemak, kadar kalsium, kadar
fosfor, solubilitas kalsium, solubilitas fosfor, nilai pH.
Pembuatan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin dilakukan
sesuai urutan sebagai berikut : margarin dan tepung gula dikocok selama 10 menit
kemudian ditambahkan kuning telur dan dikocok lagi selama 2 menit. Setelah itu
ditambahkan tepung terigu, susu, vanili, baking powder, air, tepung tulang ikan
patin dengan konsentrasi masing-masing : 0%, 2%, 4%, 6%, 8% dan diaduk
selama 2-3 menit sampai terbentuk adonan. Adonan yang terbentuk dicetak
dengan menggunakan cetakan kue dan dipanggang pada suhu 150 oC selama 12
menit. Setelah selesai biskuit diangkat dan didinginkan kemudian dikemas dalam
toples. Proses pembuatan biskuit yang ditambahkan dengan tepung tulang ikan
patin dapat dilihat pada Gambar 3.
Tulang ikan patin

Pencucian dengan air

Perebusan pada suhu 100 oC selama 2 jam secara berulang-ulang*

Pencucian dan pengecilan ukuran*

Metode basah (perebusan dengan Metode kering


autoclave/presto) pada suhu 121 oC (pengovenan) pada suhu
selama 1 jam 105 oC selama 1,5 jam*

Penggilingan kasar

Pengeringan dengan menggunakan drum drier

Penggilingan sampai halus

Pengayakan dengan ayakan ukuran 100 mesh

Tepung tulang ikan patin

Keterangan : * bagian yang dimodifikasi


Gambar 2 Prosedur pembuatan tepung tulang ikan patin
(modifikasi metode Tanuwidjaya 2002).
Margarin, tepung gula

Pengocokan I (10 menit) *

Penambahan kuning telur

Pengocokan II (2 menit)

Penambahan tepung terigu, tepung tulang ikan patin


(0%,2%,4%,6%,8%), susu, vanili, baking powder,
air *

Pengadukan (2-3 menit) hingga terbentuk adonan *

Pencetakan

Pemanggangan (suhu 150 oC, selama 12 menit) *

Biskuit

Keterangan : * bagian yang dimodifikasi


Gambar 3 Prosedur pembuatan biskuit (modifikasi metode Soedarno 1998).
3.3.3 Prosedur analisis

Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi karakteristik fisik


tepung tulang ikan patin yang terdiri atas derajat putih, densitas kamba, daya serap
air dan karakteristik kimia yang terdiri dari kadar air, abu, nilai pH, kalsium,
fosfor, solubilitas kalsium, solubilitas fosfor. Biskuit yang ditambah dengan
tepung tulang ikan patin dilakukan analisis organoleptik yaitu uji skoring dan uji
perbandingan pasangan, fisik yaitu pengukuran berat, tebal, diameter, kekerasan
dan kimia yang terdiri dari kadar air, abu, protein, lemak, nilai pH, kadar kalsium,
kadar fosfor, solubilitas kalsium, solubilitas fosfor.

3.3.3.1 Uji organoleptik (Soekarto 1985)


Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji mutu dengan menggunakan uji
skoring. Uji ini berfungsi untuk menilai suatu sifat organoleptik yang spesifik.
Pada uji skoring diberikan penilaian terhadap mutu sensorik dalam suatu jenjang
mutu. Tujuan uji skoring adalah pemberian suatu nilai atau skor tertentu terhadap
suatu karakteristik mutu. Pemberian skor dapat dikaitkan dengan skala yang
jumlah skalanya tergantung pada tingkat kelas yang dikehendaki. Pengujian
organoleptik meliputi : penampakan, warna, aroma, rasa dan tekstur dengan nilai
berkisar dari 1 sampai dengan 7. Lembar penilaian organoleptik dapat dilihat
pada Lampiran 1.
Biskuit yang terpilih sebagai biskuit yang mempunyai skor tertinggi
berdasarkan hasil uji skoring selanjutnya dilakukan uji perbandingan pasangan
untuk dibandingkan dengan produk sejenis yang sudah dikomersialkan. Pada uji
perbandingan pasangan panelis melakukan penilaian melalui formulir isian
dengan memberikan nilai berdasarkan skala kelebihan, yaitu lebih baik atau lebih
buruk. Penilaian uji perbandingan pasangan ini berupa angka skala yaitu -3, -2, -1,
0, 1, 2, 3. Lembar uji perbandingan pasangan dapat dilihat pada Lampiran 2.

3.3.3.2 Derajat putih (Faridah et al. 2006)


Alat yang digunakan adalah whiteness meter. Prinsip pengukuran alat ini
adalah melalui pengukuran indeks refleksi dari permukaan sampel dengan sensor
foto dioda. Semakin putih sampel, maka cahaya yang dipantulkan semakin banyak.
Contoh sebanyak 3 g ditempatkan dalam satu wadah tertentu. Suhu sampel
diseimbangkan dengan meletakkan wadah sampel diatas tester. Kemudian wadah
berisi sampel berserta cawan berisi standar (berupa serbuk BaSO4) dimasukkan ke
tempat pengukuran dan alat akan menampilkan nilai derajat putih dan nomor
urutan pengukuran.
Derajat putih sampel
Derajat putih (%) = x 100%
110

3.3.3.3 Daya serap air metode gravimetri (Fardiaz et al. 1992).


Sebanyak 1 g contoh ditimbang kemudian dimasukkan kedalam tabung
sentrifuse. Selanjutnya ditambahkan 10 ml air dan dikocok menggunakan fortex
mixer. Kemudian disentrifuse dengan kecepatan 3500 rpm selama 30 menit.
Selanjutnya volume supernatan diukur dengan menggunakan gelas ukur 10 ml.
Daya serap air dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
(volume air awal – volume supernatan)
Daya serap air (%) = x 100%
berat kering contoh (g)

3.3.3.4 Densitas kamba (Wirakartakusumah et al. 1992)


Pengukuran densitas kamba dilakukan dengan menggunakan gelas ukur.
Bahan-bahan yang akan diukur ditimbang sebanyak 10 g, kemudian dimasukkan
ke dalam gelas ukur 100 ml dan dibaca volumenya. Densitas kamba dapat
dihitung dengan menggunakan rumus :
berat bahan (g)
Densitas kamba (g/ml) =
volume bahan (ml)

3.3.3.5 Uji kekerasan (Rangganan 1986).


Kekerasan merupakan gaya yang dibutuhkan untuk menekan suatu bahan
atau produk sehingga terjadi perubahan bentuk yang diinginkan. Pengukuran
kekerasan dilakukan dengan menggunakan Rheoner RE 3305 dengan jarak 400X
0,01 mm, sensitifitas 0,2 V, kecepatan 1 mm/s.
Sampel ditimbang beratnya dan dimasukkan kedalam suatu wadah yang
berbentuk empat persegi panjang (plate yang berlubang dibagian bawahnya).
Kemudian sejumlah mata pisau dengan diberi beban 50 kg dimasukkan kedalam
sehingga terjadi penekanan, pemotongan terhadap sampel. Selanjutnya pisau naik
ke atas dan wadah yang berisi sampel dapat dibuka. Pembacaan nilai kekerasan
dapat dilakukan dengan melihat grafik yang terbentuk yaitu dengan membagi
peak yang terbentuk dalam kertas grafik dengan milimeter penurunan awal
pengujian dan berat sampel. Kekerasan berhubungan dengan kerenyahan biskuit,
yaitu mudah tidaknya biskuit menjadi remuk (pecah).

3.3.3.6 Kadar air (SNI 1992)


Cawan kosong dikeringkan pada suhu 100-102 oC selama 15 menit,
didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Contoh sejumlah 5 g
dimasukkan dalam cawan yang sudah dikeringkan dan diketahui beratnya.
Kemudian cawan dan sampel dikeringkan dalam oven bersuhu 100-102 oC selama
6 jam. Cawan didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang hingga
diperoleh bobot tetap. Kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
A− B
Kadar air (%) = x 100%
C
Dimana A = Berat cawan + sampel awal
B = Berat cawan + sampel setelah dikeringkan
C = Berat sampel

3.3.3.7 Kadar abu (SNI 1992)


Ditimbang dengan teliti 2-3 g contoh, kemudian dimasukkan ke dalam
cawan yang telah diketahui bobotnya. Sampel diarangkan hingga tak berasap dan
dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 550 oC selama 4 jam. Setelah
itu didinginkan dan ditimbang hingga bobot tetap. Kadar abu dapat dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
A− B
Kadar abu (%) = x 100%
C
Dimana A = Berat cawan + sampel setelah diabukan
B = Berat cawan
C = Berat sampel
3.3.3.8 Kadar lemak (SNI 1992)
Ditimbang dengan teliti + 5 g contoh, kemudian dibungkus dengan kertas
saring halus bebas lemak dan diikat dengan benang. Contoh dimasukkan ke dalam
labu soxhlet. Labu lemak yang telah dioven 103 oC selama 3 jam, ditimbang.
Kemudian dilakukan ekstraksi dengan soxhlet (dipasang alat kondensor di atasnya
dan labu lemak di bawahnya). Pelarut dietil eter dituangkan ke dalam labu soxhlet
secukupnya dan dilakukan refluks minimal selama 5 jam sampai pelarut yang
turun kembali ke labu soxhlet berwarna jernih, lalu dilakukan destilasi pelarut
yang ada didalam labu lemak, pelarutnya ditampung. Labu lemak yang berisi
lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC selama 5 jam,
kemudian dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator. Labu
beserta lemaknya ditimbang setelah dingin. Kadar lemak sampel dapat dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut :
B−A
Kadar lemak (%) = x 100%
C
Dimana A = Berat labu lemak
B = Berat labu lemak beserta lemak
C = Berat sampel

3.3.3.9 Kadar protein (SNI 1992)


Ditimbang dengan teliti 1-2 g contoh. Kemudian dimasukkan ke dalam
labu Kjeldhal dan ditambahkan 10 g campuran selen (Kjeltab) serta 30 ml H2SO4
pekat teknis. Setelah itu dipanaskan di ruang asam hingga warna cairan menjadi
hijau jernih dan didinginkan. Sampel diencerkan dengan 250-300 ml akuades dan
dipindahkan ke tabung destilasi yang telah diberi batu didih. Setelah itu
ditambahkan dengan 12 ml NaOH 30% dan segera disambung dengan alat
destilasi dan didestilasikan hingga 2/3 dari cairan tersebut menjadi destilat. Hasil
destilasi ditampung dengan gelas erlenmeyer 125 ml yang telah berisi 10 ml
larutan H3BO3 dan 2-3 tetes indikator campuran metil merah dan metil biru. Hasil
dari destilasi ini dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N. Blanko juga dikerjakan
seperti prosedur di atas.
Kadar protein dihitung dengan menggunakan rumus :
(ml HCl sampel-ml blanko) x N HCl x 14,007 x 6,25
Kadar protein (%) = x 100%
Berat sampel (mg)

3.3.3.10 Kadar kalsium metode AAS-wet digestion (Reitz et al. 1987)


Pembuatan larutan standar:
Terhadap larutan stok Ca 1000 ppm, dibuat deret standar 2, 4, 8 ppm
dengan memipet 0,2; 0,4; 0,8 larutan stok Ca 1000 ppm, masing-masing ke dalam
labu ukur 100 ml. Lalu ditambahkan larutan Cl3La.7H2O (lantan) sebanyak 1 ml
ke dalam masing-masing labu takar dan ditambahkan akuades sampai volume
tepat 100 ml.
Penetapan sampel:
Pengabuan basah (wet digestio) menggunakan HNO3 65%, H2SO4 96-98%,
HClO4 60% dan HCl 37%. Sebanyak 1 g sampel dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 150 ml dan diberi HNO3 5 ml, kemudian didiamkan selama 1 jam.
Sampel selanjutnya dipanskan selama 4 jam di atas hot plate, dan didinginkan.
Setelah itu ditambahkan H2SO4 (pa = pro analisis) sebanyak 0,4 ml dan
dipanaskan kembali selama 30 menit. Sampel diangkat dari hot plate dan diberi
larutan HClO4:HNO3 (2:1) sebanyak 3 ml, kemudian dipanaskan selama 15 menit
hingga sampel menjadi bening. Sampel ditambahkan dengan 2 ml akuades dan 0,6
ml HCl (pa), setelah bening dipanaskan hingga larut dan didinginkan. Sampel
diencerkan sampai volume tertentu (aliquot 100 ml), kemudian disaring dengan
menggunakan kertas saring Whatman No. 42. Aliqout diambil sebanyak 1 ml,
dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan akuades 4 ml serta lantan
0,05 ml selanjutnya divortex, disentrifuse dengan kecepatan 2000 rpm selama 10
menit dan filtrat dibaca dengan nyala atomisasi AAS pada panjang gelombang (λ)
422,7 nm. Hasil absorbansinya dibandingkan dengan standar Ca yang telah
diketahui. Perhitungannya :
( ml aliqout/1000) x FP x (ppm sampel – ppm blanko)
Ca = x 100%
mg sampel

FP = faktor pengenceran
Ca(mg/100) = % Ca x 1000
3.3.3.11 Kadar fosfor, metode Taussky (Anggraeni 2003)
Preparasi larutan:
Sebanyak 10 g amonium molibdat diencerkan dengan 60 ml akuades
dalam labu takar, kemudian ditambahkan 28 ml H2SO4 pekat secara bertahap dan
diencerkan dalam akuades hingga 100 ml untuk menghasilkan larutan amonium
molibdat ((NH4)6MnO24.4H2O) 10% (Larutan A). Sesaat sebelum dianalisis,
larutan A diambil sebanyak 10 ml dan ditambahkan dengan 60 ml akuades dan
5 gram FeSO4.7H2O dalam labu takar dan diencerkan hingga 100 ml untuk
menghasilkan larutan B.
Pembuatan larutan standar:
Sebanyak 4,394 g KH2PO4 dilarutkan dalam akuades sampai 1000 ml agar
didapatkan konsentrasi P sebesar 1000 ppm. Sebanyak 10 ml larutan tersebut
kemudian diencerkan dengan penambahan akuades 400 ml sehingga didapatkan
konsebtrasi sebesar 25 ppm. Kemudian dibuat konsentrasi larutan standar P = 2,
3, 4 dan 5 ppm masing-masing sebanyak 5 ml dengan mengambil larutan standar
25 ppm berturut-turut sebanyak 0,4; 0,6; 0,8 dan 1,0 ml. Masing-masing volume
tersebut ditambahkan 2 ml larutan B dan akuades hingga 5 ml, kemudian dibaca
dalam spektrofotometer dengan panjang gelombang 660 nm.
Penetapan sampel:
Larutan sampel ditambahkan 2 ml larutan B, lalu dipipet ke dalam kuvet
sebanyak 3 ml dan dibaca pada panjang gelombang 660 nm. Nilai absorbansi
larutan standar 2, 3, 4 dan 5 ppm diukur dan diregresikan sehingga didapat
persamaan y = a + bx. Kemudian nilai absorbansi sampel (y) dimasukkan untuk
mendapatkan nilai konsentrasi sampel (x)

3.3.3.12 Nilai pH (Apriyantono et al. 1989)


Sampel sebanyak 2 g dihancurkan dengan blender lalu didispersikan
kedalam 20 ml akuades dan diaduk selama 2 menit. Alat pH meter dikalibrasi
dengan menggunakan buffer pH standar (pH 4 dan pH 7). Setelah itu elektroda
yang telah dibersihkan dicelupkan kedalam sampel yang akan diperiksa. Nilai pH
merupakan hasil pembacaan jarum penunjuk pada pH meter selama 1 menit atau
sampai angka digital tidak berubah.
3.3.3.13 Mineral terlarut (modifikasi Santoso 2003)

Sebanyak 10 g sampel ditambahkan larutan dengan berbagai tingkatan


nilai pH (2, 4, 6) sebanyak 40 ml dan dihomogenkan dengan menggunakan mixer
pada kecepatan 5000-10000 rpm selama 2 menit. Kemudian sampel tersebut
diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 37 oC selama 2 jam.
Selanjutnya sampel disentrifuse pada kecepatan 10000 rpm, 2 oC selama 10 menit.
Hasil sentrifuse selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman
no. 42. Hasil saringan tersebut selanjutnya diukur dengan menggunakan Atomic
Absorption Spectrophotometer (AAS) pada panjang gelombang 422,7 nm untuk
mengetahui berapa banyak kalsium yang terlarut dan 660 nm untuk fosfor yang
terlarut menggunakan spektrofotometer, kemudian dihitung sebagai persentase
terhadap total kalsium dan fosfor.
3.4. Rancangan percobaan dan analisis data

Rancangan percobaan yang digunakan untuk menghitung data hasil


penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktor tunggal yaitu
penambahan tepung tulang ikan patin dengan tiga kali ulangan (Steel dan Torrie
1993). Model matematika rancangan tersebut adalah sebagai berikut :

Yij = μ + Ai + εij
Dimana : Yij = Respons percobaan karena pengaruh perlakuan penambahan
tepung tulang ikan patin taraf ke-i, ulangan ke-j
μ = Pengaruh rata-rata
Ai = Pengaruh perlakuan penambahan tepung tulang ikan patin taraf
ke-i

εij = Pengaruh kesalahan percobaan karena pengaruh perlakuan


penambahan tepung tulang ikan patin taraf ke-i dan ulangan
ke-j
i = 1,2,3
j = 1,2,3

Apabila hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh nyata maka


dilanjutkan dengan uji Tukey yang bertujuan untuk mengetahui perlakuan mana
saja yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter yang
diukur atau dianalisis dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
W = qα (P,Fe)Sŷ

Dimana : q = (Ŷmaks – Ŷmin)/ Sŷ

P = t adalah banyaknya perlakuan


Fe = derajat bebas galat

Sŷ = s
n

Hasil uji organoleptik diolah dengan uji statistik nonparametrik, yaitu


Kruskal Wallis yang bertujuan untuk mengetahui apakah antara perlakuan berbeda
nyata dalam ranking (Steel dan Torrie 1993). Model matematika uji tersebut
adalah sebagai berikut :

12 Rj
H=
n(n + 1)
∑ ni - 3(n+1)
T = (t-1) t (t+1)
T
Pembagi = 1-
(n − 1)n(n + 1)
H
H’ =
pembagi
Keterangan : n = total pengamatan
ni = banyaknya pengamatan pada perlakuan ke-i
Rj = jumlah ranking dalam perlakuan ke-j
T = banyaknya pengamatan seri dalam kelompok (perlakuan)
H’ = terkoreksi.

Apabila hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan adanya pengaruh nyata


maka dilanjutkan dengan uji Multiple Comparison yang bertujuan untuk
mengetahui perlakuan mana saja yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap parameter yang diukur atau dianalisis dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :

N ( N + 1) ⎛ 1 1 ⎞
Ri - Rj × Z ∝ / k (k − 1) ⎜ + ⎟⎟
12 ⎝ ni nj ⎠

Keterangan : Ri = rata-rata ranking dalam perlakuan ke-i


Rj = rata-rata ranking dalam perlakuan ke-j
N = banyaknya data
K = banyaknya perlakuan
ni = jumlah data perlakuan ke-i

n j = jumlah data perlakuan ke-j


4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mendapatkan tepung tulang ikan


patin yang bahan bakunya diperoleh dari Unit Usaha Fillet Ikan Patin IPB dengan
menggunakan dua metode pembuatan yaitu metode kering dan metode basah,
kemudian tepung yang dihasilkan dari kedua metode tersebut dianalisis
karakteristik fisik dan kimia serta solubilitas Ca dan P. Metode pembuatan tepung
yang menghasilkan nilai tertinggi terhadap solubilitas kalsium dan fosfor dipilih
untuk digunakan dalam proses pembuatan biskuit.

4.1.1. Karakteristik fisik tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)

Analisis fisik yang dilakukan terhadap tepung tulang ikan patin


(Pangasius sp) yang dihasilkan dalam penelitian ini meliputi rendemen, derajat
putih, daya serap air dan densitas kamba sebagaimana disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Karakteristik fisik tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)
Karakteristik Metode Pembuatan
Metode kering Metode basah
Rendeman (%) 81,73 91,83
a
Derajat putih (%) 62,82 + 0,27 62,31 + 0,50a
Daya serap air (%) 48,54 + 0,73a 62,77 + 1,42b
a
Densitas kamba (g/ml) 0,80 + 0,01 0,79 + 0,02a
Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda
nyata (p<0,05)

Rendemen merupakan hasil persentase antara produk akhir (tepung tulang


ikan patin) yang dihasilkan dengan produk awal (tulang ikan patin). Rendemen
sangat penting diketahui untuk mendapat gambaran suatu produk dapat
dimanfaatkan dengan baik atau untuk mengetahui nilai ekonomis dari produk
tersebut. Semakin tinggi rendemen suatu produk dapat dikatakan bahwa produk
tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi pula. Rendemen tepung tulang ikan
patin yang diperoleh dari hasil penelitian ini untuk metode kering sebesar 81,73%;
sedangkan untuk metode basah sebesar 91,83%. Dari hasil tersebut ternyata
metode basah mempunyai rendemen yang lebih besar. Hal tersebut dikarenakan
pada saat pembuatan tepung dengan metode basah sampel tulang sudah
mengalami proses pelunakan sehingga pada saat diolah menjadi tepung tidak
banyak bagian yang terbuang dan menghasilkan tepung yang lebih banyak,
sedangkan untuk metode kering tulang dalam keadaan keras sehingga pada saat
akan diolah menjadi tepung banyak bagian yang terbuang dan pada saat diayak
akan menghasilkan tepung dalam jumlah lebih kecil. Rendemen tepung tulang
ikan patin sangat dipengaruhi oleh kualitas filleting ikan patin tersebut. Kualitas
filleting ini menunjukkan sedikit banyaknya sisa daging yang menempel pada
tulang. Semakin baik kualitas filleting ikan, semakin sedikit daging yang
tertinggal dan semakin tinggi rendemen tepung tulang ikan tersebut begitu juga
sebaliknya.
Derajat putih suatu bahan merupakan daya memantulkan cahaya dari
bahan tersebut terhadap cahaya yang mengenai permukaan (BPPIS 1989).
Semakin tinggi derajat putih tepung berarti semakin banyak pula cahaya yang
dipantulkan di dalam Whiteness-meter (Faridah et al. 2006). Selanjutnya
dikatakan oleh Desrosier (1988), pengeringan bahan pangan akan mengubah sifat-
sifat fisik dan kimia bahan pangan tersebut dan diduga dapat mengubah
kemampuannya memantulkan, menyebarkan, menyerap dan meneruskan sinar,
sehingga mengubah warna bahan pangan.
Pengukuran nilai derajat putih tepung tulang ikan yang dihasilkan dari
metode kering dan basah berturut-turut adalah 62,82% dan 62,31% dibandingkan
dengan barium sulfat (BaSO4). Metode pembuatan tepung tulang ikan patin tidak
berpengaruh nyata terhadap nilai derajat putih (Lampiran 3). Derajat putih tepung
tulang ikan patin masih kecil, dikarenakan dalam pembuatan tepung tulang ikan
patin tidak menggunakan bahan-bahan tambahan (pemutih) untuk memutihkan
tepung tulang ikan patin. Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa tepung yang
dijual secara komersial biasanya menggunakan pemutih karena konsumen sangat
menyukai warna tepung yang putih. Desrosier (1988) mengatakan bahwa warna
bahan pangan bergantung pada kenampakan bahan pangan tersebut dan
kemampuan dari bahan pangan untuk memantulkan, menyebarkan, menyerap atau
meneruskan sinar tampak. Pengeringan bahan pangan akan mengubah sifat-sifat
fisik dan kimianya dan diduga mengubah kemampuannya memantulkan,
menyebar, menyerap dan meneruskan sinar sehingga mengubah warna bahan
pangan.
Tepung tulang ikan merupakan produk dengan kadar air yang rendah, oleh
sebab itu analisis daya serap air perlu diketahui terhadap tepung tulang ikan yang
dihasilkan. Daya serap air adalah nilai rata-rata penyerapan air. Penyerapan air
dapat berhubungan dengan tekstur tepung tulang yang dihasilkan. Daya serap air
tergantung pada jumlah dan keadaan alami komponen hidrofilik protein,
disamping itu tergantung juga pada pH dan denaturasi protein (Lin dan Zayes
1987). Beberapa denaturasi menyebabkan pembalikan sisi hidrofobik ke bagian
luar sehingga menurunkan daya serap air (Lehninger 1984). Hasil analisis daya
serap air tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan basah
berturut-turut adalah 48,54% dan 62,77%. Metode kering menghasilkan tepung
tulang ikan patin dengan nilai daya serap air lebih rendah dan berbeda nyata
dengan metode basah (Lampiran 4). Daya serap air yang berbeda menunjukkan
bahwa tingkat denaturasi protein yang terjadi pada kedua metode berbeda pula,
yaitu pembalikan sisi gugus hidrofilik ke bagian dalam dan hidrofobik ke bagian
luar dari metode kering lebih besar dari metode basah.
Densitas kamba (bulk density) merupakan sifat fisik bahan pangan yang
dipengaruhi oleh ukuran bahan dan kadar air. Densitas kamba dinyatakan dalam
satuan g/ml. Nilai densitas kamba yaitu jumlah rongga yang terdapat diantara
partikel-partikel bahan. Dalam volume yang sama, tepung yang memiliki densitas
kamba yang lebih tinggi memiliki berat yang lebih tinggi daripada tepung yang
memiliki densitas kamba yang rendah (Wirakartakusumah et al. 1992). Hasil
analisis densitas kamba tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari metode
kering dan basah adalah 0,80 g/ml dan 0,79 g/ml. Nilai tersebut menunjukkan
bahwa pada volume 1 ml, berat tepung berturut-turut adalah 0,80 g dan 0,79 g.
Metode pembuatan tepung tulang ikan patin tidak berpengaruh nyata terhadap
densitas kamba (Lampiran 5). Pengetahuan tentang densitas kamba berguna bagi
keperluan penyimpanan dan transportasi. Semakin besar nilai densitas kamba
suatu tepung maka semakin kecil ruangan penyimpanan atau pengemasan dan
biaya transportasi. Nilai densitas kamba dipengaruhi oleh ukuran partikel,
kekerasan permukaan dan metode pengukuran. Kecenderungan nilai densitas
kamba tepung berbanding terbalik dengan kadar air, yaitu semakin rendah kadar
air menyebabkan semakin tinggi kekambaan tepung atau semakin rendah densitas
kambanya. Wirakartakusumah et al. (1992) menyatakan bahwa suatu bahan
pangan bersifat kamba jika nilai densitas kambanya kecil, berarti untuk berat yang
ringan dibutuhkan ruang (volume) besar.

4.1.2. Karakteristik kimia tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)

Analisis kimia yang dilakukan terhadap tepung tulang ikan patin


(Pangasius sp) yang dihasilkan dalam penelitian ini meliputi kadar air, abu,
kalsium, fosfor, nilai pH sebagaimana disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Karakteristik kimia tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)
Tepung tulang ikan patin Tepung tulang ikan
Parameter produksi ISA, 2002
Metode Kering Metode Basah
Air (%) 6,53b 4,95a 3,6
Protein (%) 22,23a 20,53a 34,2
Lemak (%) 2,73a 2,09a 5,6
Karbohidrat - - 23,5
Abu (%) 56,38a 58,15b 33,1
Kalsium(mg/g bk) 264,53a 244,02a 11,9%
Fosfor (mg/g bk) 88,38a 71,96a 11,6%
pH 7,56a 7,88b -
Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda
nyata (p<0,05)

Air merupakan komponen penting yang dibutuhkan oleh mikroorganisme


untuk berkembang biak dalam produk pangan. Hal ini merupakan salah satu sebab
mengapa didalam pengolahan pangan, air sering dikeluarkan atau dikurangi
dengan cara penguapan atau pengeringan.
Nilai aktivitas air (aw) merupakan salah satu faktor yang ikut berperan
dalam pertumbuhan mikroorganisme. Masing-masing mikroorganisme
membutuhkan jumlah air yang berbeda untuk pertumbuhannya. Pada nilai aw
tinggi (0,91) bakteri umumnya tumbuh dan berkembang biak; khamir dapat
tumbuh dan berkembang biak pada nilai aw 0,87-0,91; sedangkan jamur lebih
rendah yaitu 0,80-0,87 (Purnomo 1995). Hasil analisis kadar air tepung tulang
ikan patin yang dihasilkan melalui metode kering dan basah berturut-turut adalah
6,53% dan 4,95%. Hasil yang diperoleh tersebut ternyata masih lebih tinggi dari
standar kadar air yang ditetapkan oleh International of Seafood Alaska [ISA] 2002
yaitu 3,4% serta hasil penelitian oleh Mulia (2004) yaitu sebesar 3,6%. Metode
basah menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan nilai kadar air yang lebih
rendah dan berbeda nyata dengan metode kering (Lampiran 6). Perbedaan kadar
air tersebut dipengaruhi oleh metode pembuatan tepung tulang ikan serta metode
pengeringan tepung (Winarno dan Fardiaz 1973).
Kandungan abu dari suatu bahan pangan menunjukkan residu bahan
anorganik yang tersisa setelah bahan organik dalam makanan didestruksi.
Kandungan mineral ditentukan dengan menetapkan kandungan abu dari bahan
tersebut. Abu sisa pembakaran itu dianggap sebagai mineral dari bahan pangan
(Sulaeman et al. 1995). Hasil analisis kadar abu tepung tulang ikan patin yang
dihasilkan melalui dari metode kering dan basah berturut-turut adalah 56,38% dan
58,15%. Nilai kadar abu yang diperoleh tersebut masih lebih tinggi dari standar
nilai kadar abu yang dikeluarkan oleh ISA yaitu 33,1%. Metode kering
menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan kadar abu yang lebih kecil dan
berbeda nyata dengan metode basah (Lampiran 7). Kadar abu merupakan
gambaran kasar dari kandungan mineral. Kadar abu tidak selalu ekuivalen dengan
kadar mineral meskipun kadar abu merupakan gambaran kasar dari kandungan
mineral (Apriyantono et al. 1989).
Tepung tulang ikan dapat digunakan sebagai sumber kalsium dan fosfor
karena mengandung kalsium 24-30% dan fosfor 12-15%, jumlah tersebut jauh
lebih besar daripada kandungan kalsium dan fosfor pada tepung ikan. Tepung
tulang yang kaya akan kalsium dan fosfor ini tentunya tepung tulang yang sudah
diolah, terutama harus bebas hama yang berarti sudah disterilisasikan (Rasyaf
1990). Hasil analisis kadar kalsium tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari
metode kering dan basah memiliki nilai berturut-turut sebesar 264,53 mg/g bk dan
244,02 mg/g bk. Metode pembuatan tepung tulang ikan patin tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap kandungan kalsium (Lampiran 8). Kandungan
mineral juga bergantung pada faktor ekologis seperti musim, tempat pembesaran,
jumlah nutrisi tersedia, suhu dan salinitas (Martinez et al. 1998). Dari hasil yang
diperoleh ternyata metode kering menghasilkan kadar kalsium yang relatif lebih
tinggi dari metode basah. Penggunaan suhu, waktu dan metode yang berbeda akan
menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan kadar kalsium yang berbeda pula.
Dari hasil tersebut maka dapat dikatakan bahwa tepung tulang ikan dari sumber
yang sama tetapi dengan cara pengolahan/pembuatan yang berbeda akan
menghasilkan kadar kalsium yang berbeda pula, walaupun dalam penelitian ini
metode pembuatan tidak berpengaruh nyata. Protein yang terdapat dalam tepung
tulang ikan patin adalah protein kolagen yang akan terdenaturasi akibat
pemanasan pada saat proses pembuatan tepung menjadi gelatin yang mudah larut.
Kelarutan dan keberadaan dari gelatin ini akan meningkatkan kelarutan dan
keberadaan kalsium dari tepung tulang ikan patin. Hal tersebut diperkuat oleh
pendapat dari Yoshie et al. (1997) yang mengatakan bahwa ketersediaan dan
kelarutan protein ternyata mempengaruhi ketersediaan dan kelarutan mineral.
Halver (1989) mengatakan bahwa fosfor merupakan salah satu unsur
utama pembentukan tulang ikan. Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak
setelah kalsium (sekitar 22% dari total mineral) dimana 85% diantaranya terdapat
pada tulang (Muchtadi et al.1993). Hasil analisis kadar fosfor tepung tulang
ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan basah adalah 88,38 mg/g bk
dan 71,96 mg/g bk. Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa metode kering
juga menghasilkan fosfor dengan kadar lebih tinggi daripada metode basah.
Dengan demikian penggunaan suhu, waktu dan metode yang berbeda akan
menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan kadar fosfor yang berbeda pula.
Rasio antara Ca:P untuk metode kering adalah 3:1, sedangkan untuk metode basah
adalah 3,4:1. Dalam proses absorpsi, Ca dan P saling berpengaruh erat sekali.
Untuk absorpsi Ca yang baik, diperlukan perbandingan Ca:P di dalam rongga usus
(di dalam hidangan) 1:1 sampai 1:3. Metode pembuatan tepung tulang ikan patin
tidak berpengaruh nyata terhadap kadar fosfor (Lampiran 9). Perbandingan Ca:P
lebih besar dari 1:3 akan menghambat penyerapan Ca, sehingga hidangan yang
demikian akan mengakibatkan penyakit defisiensi Ca, yaitu rakhitis. Hidangan
yang mudah menimbulkan penyakit rakhitis ini disebut hidangan rakhitogenik
(Sediaoetama 2006).
Nilai pH sangat memegang peranan penting dalam proses penyerapan zat
gizi dalam tubuh. Nilai pH suatu bahan pangan akan mempengaruhi proses
penanganan dan pengolahan bahan pangan tersebut. Almatsier (2002) menyatakan
bahwa, kalsium membutuhkan pH asam agar dapat berada dalam keadaan terlarut
karena kalsium hanya bisa diabsorpsi bila terdapat dalam bentuk larut air. Hasil
analisis nilai pH tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan
basah memiliki berturut-turut sebesar 7,56 dan 7,88. Metode kering menghasilkan
tepung tulang ikan patin dengan nilai pH yang lebih rendah dan berbeda nyata
dengan metode basah (Lampiran 10). Menurut Labuza (1977) dalam Hardman
(1989) ikatan protein terbesar adalah ikatan hidrogen antara grup C-O dan NH
atau ikatan peptida. Pada pH kurang dari pH isoelektrik (<5,2-5,4) kemungkinan
terlalu banyak muatan positif dan jika pH lebih besar dari pH isoelektrik terlalu
banyak muatan negatif. Perubahan nilai pH/kekuatan ion dapat mengubah
distribusi muatan diantara rantai sisi asam amino yang akan meningkatkan atau
mengurangi interaksi protein.

4.1.3. Solubilitas kalsium dan fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)

Persen solubilitas kalsium dan fosfor tepung tulang ikan patin yang
dihasilkan melalui dua metode pembuatan tepung tulang ikan patin yang berbeda
sebagaimana disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Solubilitas kalsium dan fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)
pada berbagai nilai pH

Nilai pH %Ca %P
Metode kering Metode basah Metode kering Metode basah
2 1,25 1,07 0,18 0,11
4 0,29 0,39 0,10 0,08
6 0,31 0,38 0,09 0,08

Secara umum persen solubilitas kalsium meningkat seiring dengan


menurunnya nilai pH. Pada pH 2, persen solubilitas kalsium memiliki nilai
tertinggi yaitu untuk metode kering sebesar 1,25% dan metode basah 1,07%.
Persen solubilitas kalsium akan menurun seiring dengan meningkatnya nilai pH
atau derajat keasaman menjadi rendah (Gambar 4a).
1.40
1.20

Solubilitas Ca (%)
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
2 4 6
Tingkatan nilai pH

Metode kering Metode basah

Gambar 4a Grafik solubilitas kalsium tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)

Persen solubilitas fosfor tepung tulang ikan patin memperlihatkan pola


yang sama dengan solubilitas kalsium yaitu persen solubilitas fosfor meningkat
seiring dengan menurunnya nilai pH. Pada pH 2, persen solubilitas fosfor
memiliki nilai tertinggi yaitu untuk metode kering sebesar 0,18% dan metode
basah 0,11%. Persen solubilitas fosfor akan menurun seiring dengan
meningkatnya nilai pH atau derajat keasaman menjadi rendah (Gambar 4b).

0.20
Solubilitas P (%)

0.15

0.10

0.05

0.00
2 4 6
Tingkatan nilai pH

Metode kering Metode basah

Gambar 4b Grafik solubilitas fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)
Solubilitas Ca dan P kedua tepung tulang ikan meningkat secara nyata
seiring dengan meningkatnya derajat keasaman (pH rendah), dimana persen
solubilitas tertinggi dihasilkan pada pH 2. Tepung tulang ikan patin yang dibuat
dengan menggunakan metode kering mempunyai persen solubilitas Ca dan P lebih
tinggi dibandingkan dengan metode basah pada tingkatan nilai pH 2.
Kondisi diatas sejalan dengan hasil penelitian Yoshie et al. (1997);
Santoso et al. (2006) yang masing-masing mempelajari solubilitas mineral
seafood dan seaweeds dalam berbagai kondisi keasaman. Hasilnya juga
menunjukkan bahwa solubilitas mineral (Ca, Mg, Fe, Zn) tertinggi terjadi pada
suasana asam dan akan menurun sejalan dengan penurunan derajad keasaman/
peningkatan nilai pH dan sebaliknya, demikian pula persen penyerapannya. Hal
tersebut diperkuat oleh pernyataan Muchtadi et al. (1989) tingkat keasaman (pH)
usus halus berpengaruh langsung terhadap penyerapan Ca dan P. Meningkatnya
keasaman lambung akan meningkatkan kelarutan garam kalsium di dalam usus
halus dan meningkatkan absorbsinya. Pada pH alkali, penyerapan akan menurun
karena terbentuknya kompleks kalsium fosfat

4.2. Penelitian Lanjutan

Pada penelitian lanjutan dilakuan pembuatan biskuit yang ditambahkan


dengan tepung tulang ikan patin yang dibuat dengan metode kering karena
memiliki nilai solubilitas kalsium dan fosfor yang tinggi. Formulasi biskuit yang
dibuat dalam penelitian ini terdiri dari 5 (lima) yaitu : 0%, 2%, 4%, 6% dan 8%.
Biskuit yang dihasilkan kemudian dilakukan pengujian organoleptik dengan
menggunakan uji skoring untuk mendapatkan 2 (dua) formulasi terbaik yang
selanjutnya dilakukan uji perbandingan pasangan dengan produk komersial
(Biskuat susu), analisis fisik dan kimia serta analisis solubilitas kalsium dan fosfor.

4.2.1 Organoleptik

Soekarto (1985) menyatakan bahwa uji organoleptik terhadap suatu


makanan adalah penilaian dengan menggunakan alat indera yaitu indera
penglihatan, pencicip, pembau dan pendengar. Dengan uji ini dapat diketahui
penerimaan terhadap suatu produk. Hasil uji organoleptik terhadap 5 (lima)
formulasi biskuit yang dihasilkan sebagaimana disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Rataan hasil uji organoleptik biskuit tepung tulang ikan patin
Biskuit
Parameter
K A B C D
Penampakan 5,77 5,93 5,56 5,23 5,50
Warna 5,83 5,93 5,56 5,33 5,45
Aroma 5,50 6,63 6,27 5,57 5,63
Tekstur 5,73 6,76 5,96 5,17 5,13
Rasa 5,57 6,63 5,60 5,63 5,57
Keterangan : K : kontrol (tanpa penambahan tepung tulang ikan patin)
A : Penambahan tepung tulang ikan patin 2%
B : Penambahan tepung tulang ikan patin 4%
C : Penambahan tepung tulang ikan patin 6%
D : Penambahan tepung tulang ikan patin 8%

4.2.1.1. Penampakan

Penampakan merupakan parameter organoleptik yang penting karena sifat


sensoris yang pertama kali dilihat oleh konsumen. Pada umumnya konsumen
memilih makanan yang memiliki penampakan menarik (Soekarto 1985).
Penampakan suatu produk pangan akan menjadi daya tarik yang kuat bagi
konsumen sebelum konsumen melihat parameter lainnya seperti rasa, aroma dan
tekstur. Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap penampakan biskuit
penambahan tepung tulang ikan patin yang dihasilkan berkisar antara 5,23 sampai
5,93 (agak rapih sampai mendekati rapih). Nilai penampakan tertinggi dari biskuit
yang diuji, dicapai oleh biskuit A dengan nilai rata-rata 5,93 sedangkan nilai
terendah dicapai oleh biskuit C dengan nilai rata-rata 5,23 (Gambar 5).
7.00
5.77(a) 5.93(a)
6.00 5.56(a) 5.50(a)
5.23(a)
Penampakan 5.00

4.00

3.00

2.00

1.00
K A B C D
Tingkat penambahan tepung

Keterangan :- Simbol-simbol pada sumbu x merunjuk keterangan pada Tabel 7


- Angka-angka pada histogram yang diikuti huruf sama (a) menunjukkan tidak
berbeda nyata (p>0,05)

Gambar 5 Histogram nilai penampakan biskuit tepung tulang ikan patin


(Pangasius sp).

Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan


tepung tulang ikan patin memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap
tingkat penilaian panelis terhadap penampakan biskuit yang dihasilkan (Lampiran
20). Hal tersebut disebabkan karena bentuk dari biskuit yang dihasilkan seragam
sehingga meskipun tingkat penambahan tepung tulang ikan patin semakin besar
tidak akan berpengaruh terhadap adonan sehingga pada saat pencetakan biskuit
tidak mengalami kesukaran.

4.2.1.2. Warna

Warna penting bagi banyak makanan, baik bagi makanan yang tidak
diproses maupun bagi yang dimanufaktur. Bersama-sama dengan bau, rasa dan
tekstur, warna memegang peranan penting dalam penerimaan makanan. Selain itu,
warna dapat memberikan petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan
seperti pencoklatan dan pengkaramelan (de Man 1997). Sukarni dan Kusno
(1980) menyatakan bahwa warna merupakan sifat sensoris pertama yang dapat
dilihat langsung oleh panelis. Warna bahan yang menyimpang dari normal atau
tidak sesuai dengan selera, maka bahan tersebut tidak dipilih untuk dikonsumsi,
walaupun nilai gizi dan faktor lainnya normal.
Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap warna biskuit penambahan
tepung tulang ikan yang dihasilkan berkisar antara 5,33 sampai 5,93 (kuning
sampai mendekati kuning kecoklatan). Nilai biskuit yang tertinggi untuk warna
dicapai oleh biskuit A dengan nilai rata-rata 5,93 sedangkan nilai terendah dicapai
oleh biskuit C dengan rata-rata nilai 5,33 (Gambar 6).

7.00
5.83(a) 5.93(a)
6.00 5.56(a) 5.43(a)
5.33(a)
5.00
Warna

4.00

3.00

2.00

1.00
K A B C D
Tingkat penambahan tepung

Keterangan : - Simbol-simbol pada sumbu x merunjuk keterangan pada Tabel 7


- Angka-angka pada histogram yang diikuti huruf sama (a) menunjukkan tidak
berbeda nyata (p>0,05)

Gambar 6 Histogram nilai warna biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp).

Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan


tepung tulang ikan patin tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat
penilaian panelis terhadap warna biskuit yang dihasilkan (Lampiran 21). Hal
tersebut disebabkan karena warna dari biskuit yang dihasilkan hampir seragam
yaitu berwarna kuning sampai kuning kecoklatan, meskipun tingkat penambahan
tepung tulang ikan patin semakin besar tidak akan berpengaruh terhadap adonan
sehingga biskuit yang dihasilkan setelah pemanggangan tidak mengalami
perbedaan yang terlalu besar terhadap warna. Warna coklat pada biskuit yang
dihasilkan setelah pemanggangan merupakan reaksi pencoklatan nonenzimatis
atau reaksi Maillard. Reaksi pencoklatan dapat didefinisikan sebagai urutan
peristiwa yang dimulai dengan reaksi gugus amino pada asam amino, peptida,
atau protein dengan gugus hidroksil glikosidik pada gula, yang diakhiri dengan
pembentukan polimer nitrogen berwarna coklat atau melanoidin (de Man 1997).
4.2.1.3. Aroma

Aroma makanan dapat menentukan kelezatan dari makanan itu sendiri.


Dalam banyak hal, aroma menjadi daya tarik tersendiri dalam menentukan rasa
enak dari produk makanan itu sendiri (Soekarto 1985). Winarno (2002)
menyatakan bahwa aroma lebih banyak dipengaruhi oleh panca indera penciuman.
Pada umumnya bau yang dapat diterima oleh hidung dan otak lebih banyak
merupakan campuran empat macam bau yaitu harum, asam, tengik dan hangus.
Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap aroma biskuit penambahan
tepung tulang ikan yang dihasilkan berkisar antara 5,50 sampai 6,63 (agak harum
sampai harum). Nilai tertinggi biskuit untuk aroma dicapai oleh biskuit A dengan
nilai rata-rata 6,63 sedangkan nilai terendah dicapai oleh biskuit K dengan nilai
rata-rata 5,50 (Gambar 7).

7.00 6.63(b)
6.27(b)
6.00 5.50(a) 5.57(a) 5.63(a)

5.00
Aroma

4.00

3.00

2.00
1.00

0.00
K A B C D
Tingkat penambahan tepung

Keterangan : - Simbol-simbol pada sumbu x merunjuk keterangan pada Tabel 7


- Angka-angka pada histogram yang diikuti huruf berbeda (a,b) menunjukkan
berbeda nyata (p<0,05)

Gambar 7 Histogram nilai aroma biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp).

Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan


tepung tulang ikan patin memberikan pengaruh yang berbeda nyata tingkat
penilaian panelis terhadap aroma biskuit yang dihasilkan. Biskuit formulasi A dan
B mempunyai nilai rata-rata aroma yang tinggi dan berbeda nyata dengan
formulasi lainnya (Lampiran 22). Aroma biskuit yang dihasilkan lebih banyak
dipengaruhi oleh adanya susu, margarin, telur serta vanili yang ditambahkan
dalam adonan namun dengan penambahan tepung tulang ikan patin ke dalam
formulasi biskuit mempengaruhi penilaian panelis terhadap aroma biskuit. Hal
tersebut disebabkan karena penambahan tepung tulang ikan patin tidak
memberikan bau amis yang berasal dari tulang kepada aroma dari biskuit yang
dihasilkan sehingga sangat disukai oleh panelis.

4.2.1.4. Tekstur

Tekstur merupakan segi penting dari mutu makanan, kadang-kadang lebih


penting daripada bau, rasa dan warna. Tekstur penting pada makanan lunak dan
makanan renyah. Ciri yang paling penting diacu ialah kekerasan, kekohesifan dan
kandungan air (de Man 1997).
Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap tekstur biskuit penambahan
tepung tulang ikan yang dihasilkan berkisar antara 5,17 sampai 6,76 (agak renyah
sampai renyah). Nilai tertinggi biskuit untuk aroma dicapai oleh biskuit A dengan
nilai rata-rata 6,76 sedangkan nilai terendah dicapai oleh biskuit D dengan nilai
rata-rata 5,13 (Gambar 8).

8.00
6.76(b)
7.00
5.73(a) 5.96(a)
6.00 5.17(a) 5.13(a)
5.00
Tekstur

4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
K A B C D
Tingkat penambahan tepung

Keterangan : - Simbol-simbol pada sumbu x merunjuk keterangan pada Tabel 7


- Angka-angka pada histogram yang diikuti huruf berbeda (a,b) menunjukkan
berbeda nyata (p<0,05)

Gambar 8 Histogram nilai tekstur biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp).
Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan
tepung tulang ikan patin memberikan pengaruh yang berbeda nyata untuk tingkat
penilaian panelis terhadap tekstur biskuit yang dihasilkan. Biskuit formulasi A
mempunyai rata-rata tekstur yang tinggi dan berbeda nyata dengan formulasi
lainnya (Lampiran 23). Hal tersebut disebabkan karena penambahan tepung tulang
ikan patinnya semakin banyak menghasilkan tekstur biskuit yang semakin keras,
hal ini juga berhubungan dengan kandungan kalsium dan fosfor yang besar dalam
tepung tulang ikan patin sehingga tekstur biskuit juga akan berubah sesuai dengan
banyaknya penambahan konsentrasi tepung. Meskipun demikian tekstur biskuit
yang ditambah dengan tepung tulang ikan masih dapat diterima oleh panelis dan
tidak berbeda nyata dengan kontrol.

4.2.1.5. Rasa

Rasa dinilai dengan adanya tanggapan rangsangan kimiawi oleh indera


pencicip (lidah), dimana akhirnya kesatuan interaksi antara sifat-sifat aroma, rasa
dan tekstur merupakan keseluruhan rasa atau flavour makanan yang dinilai
(Nasution 1980).
Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap rasa biskuit penambahan tepung
tulang ikan yang dihasilkan berkisar antara 5,57 sampai 6,63 (agak enak sampai
enak). Nilai tertinggi untuk aroma dicapai oleh biskuit A dengan nilai rata-rata
6,63 sedangkan nilai terendah dicapai oleh formulasi biskuit kontrol dan D dengan
nilai rata-rata 5,57 (Gambar 9).
7.00 6.63(b)

6.00 5.57(a) 5.60(a) 5.63(a) 5.57(a)

5.00

4.00
Rasa

3.00

2.00

1.00

0.00
K A B C D
Tingkat penambahan tepung

Keterangan :- Simbol-simbol pada sumbu x merunjuk keterangan pada Tabel 7


- Angka-angka pada histogram yang diikuti huruf berbeda (a,b) menunjukkan
berbeda nyata (p<0,05)

Gambar 9 Histogram nilai rasa biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp).

Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan


tepung tulang ikan patin memberikan pengaruh yang berbeda nyata untuk tingkat
penilaian panelis terhadap rasa biskuit yang dihasilkan. Biskuit formulasi A
mempunyai rata-rata rasa yang tinggi dan berbeda nyata dengan formulasi lainnya
(Lampiran 24). Penambahan tepung tulang ikan patin ternyata mempengaruhi rasa
dari biskuit yang dihasilkan. Hal tersebut disebabkan karena kandungan kalsium
dan fosfor yang tinggi dari tepung tulang ikan patin mengakibatkan after taste
yaitu sedikit terasa berkapur, namun secara keseluruhan rasa biskuit yang
dihasilkan masih dapat diterima oleh panelis.

4.2.2. Uji perbandingan pasangan

Uji perbandingan pasangan dilakukan untuk mengetahui keunggulan dan


kelemahan produk baru apabila dibandingkan dengan produk komersial (Rahayu
2001). Uji perbandingan pasangan dilakukan terhadap 2 (dua) formulasi terbaik
yang diperoleh dari uji organoleptik yaitu biskuit formulasi A dan B. Pengujian
ini dimaksudkan untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan dari biskuit yang
dibuat dengan biskuit komersial. Biskuit komersial yang dijadikan pembanding
adalah Biskuat Susu, yang diproduksi oleh PT. Danone Biscuits Indonesia.
Hasil uji perbandingan pasangan memperlihatkan bahwa dari segi
penampakan biskuit formulasi A dan B memiliki nilai 1,00 yang berarti biskuit
formulasi memiliki penampakan agak lebih rapih dibandingkan dengan biskuit
komersial. Demikian pula untuk warna biskuit formulasi A dan B memiliki nilai
2,00 yang menunjukkan bahwa biskuit formulasi memiliki warna lebih cerah dari
biskuit komersial. Kerenyahan biskuit formulasi A dan B memiliki nilai -0,87 dan
-0,70 yang menunjukkan bahwa biskuit formulasi agak kurang renyah
dibandingkan dengan biskuit komersial. Biskuit formulasi A dan B memiliki nilai
rasa yaitu 0,20 dan 0,40 menunjukkan bahwa biskuit formulasi memiliki rasa
yang relatif sama dengan biskuit komersial (Gambar 10)

3.00
2.00 2.00
Nilai rata-rata perbandingan

2.00
1.00 1.00
1.00 0.40
pasangan

0.20
0.00
Penampakan Warna Kerenyahan Rasa
-1.00
-0.87-0.70
-2.00

-3.00

Biskuit A Biskuit B

Gambar 10 Histogram nilai perbandingan pasangan biskuit A dan B

Berdasarkan hasil uji perbandingan pasangan yang dilakukan dapat


disimpulkan bahwa biskuit formulasi memiliki keunggulan dalam penampakan
dan warna, kelemahan dalam kerenyahan sedangkan untuk rasa memiliki
kesamaan dengan biskuit komersial.

4.2.3. Karakteristik fisik biskuit


Karakeristik fisik yang dianalisis pada penelitian ini meliputi berat,
ketebalan, diameter dan kekerasan biskuit. Pengujian tersebut dilakukan terhadap
biskuit K, dua formulasi biskuit terbaik A dan B serta biskuit komersial. Hasil
analisis karakteristik fisik sebagaimana disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Karakteristik fisik biskuit tepung tulang ikan patin dan biskuit komersial

Parameter Karakteristik Fisik Biskuit


Komersial K A B
Berat (g) 4,00 + 0,00a 5,00 + 0,00b
5,00 + 0,00b 5,00 + 0,00b
Tebal (mm) 2,00 + 0,00a 4,00 + 0,00 b 4,00 + 0,00 b 4,00 + 0,00 b
Diameter (cm) 4,00 + 0,00b 3,70 + 0,00 a
3,70 + 0,00a 3,70 + 0,00a
Kekerasan (gf) 1129,2 + 56,4a 1319 + 22,1b 1362 + 83,6b 1440 + 14,63b
Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda
nyata (p<0,05)

Pengukuran berat, ketebalan dan diameter biskuit formulasi dibandingkan


dengan biskuit komersial menunjukkan bahwa biskuit formulasi memiliki nilai
berat dan ketebalan yang lebih besar sedangkan untuk diameter memiliki nilai
lebih kecil dibandingkan dengan biskuit komersial (Lampiran 34, 35, 36).
Perbedaan berat, tebal dan diameter biskuit formulasi dengan biskuit
komersial disebabkan karena pembuatan biskuit formulasi dilakukan secara
manual khususnya pada waktu pencetakan dibandingkan dengan biskuit komersial
yang menggunakan mesin.
Pengukuran kekerasan biskuit dilakukan dengan menggunakan alat
Rheoner dengan satuan gram force (gf). Analisis kekerasan biskuit dengan
menggunakan Rheoner terhadap ketiga biskuit hasil penelitian serta biskuit
komersial berkisar antara 1129,16 sampai 1440,28 gf. Nilai rata-rata kekerasan
biskuit tertinggi dicapai oleh biskuit B dengan nilai 1440,28 gf, sedangkan nilai
terendah dicapai oleh biskuit komersial dengan nilai 1129.16 gf. Tingkat
kekerasan biskuit berhubungan erat dengan kadar protein tepung terigu dan
tepung tulang ikan patin serta kalsium dan fosfor. Tepung terigu yang digunakan
dalam pembuatan biskuit adalah tepung cap ”Kunci Biru” dengan kadar protein
8%, sedangkan kadar protein tulang ikan patin 22,23%. Matz (1968) menyatakan
bahwa tingkat kekerasan biskuit dipengaruhi oleh kadar protein tepung terigu
yang digunakan. Analisis ragam terhadap kekerasan biskuit menunjukan bahwa
biskuit komersial mepunyai nilai lebih kecil berbeda nyata dengan biskuit
formulasi (Lampiran 37).
Kandungan mineral terbanyak dalam tepung tulang ikan patin adalah
kalsium dan fosfor. Hal tersebut mengakibatkan formulasi biskuit yang
ditambahkan dengan tepung tulang ikan patin memiliki nilai kekerasan yang
tinggi. Semakin besar konsentrasi tepung tulang ikan yang ditambahkan maka
semakin besar nilai kekerasan yang diperoleh/ tekstur biskuit semakin keras.
Ketebalan juga turut berperan terhadap nilai kekerasan biskuit. Semakin tebal
biskuit, semakin besar gaya/daya yang diperlukan untuk mengakibatkan
hancur/pecah tekstur pada waktu pengujian.

4.2.4. Karakteristik kimia biskuit

Karakteristik kimia yang dianalisis pada penelitian ini meliputi kadar air,
abu, protein, lemak, nilai pH. Pengujian tersebut dilakukan terhadap biskuit
formulasi K, A, B serta biskuit komersial. Hasil analisis karakteristik kimia
sebagaimana disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Karakteristik kimia biskuit tepung tulang ikan patin dan biskuit komersial

Parameter Karakteristik Kimia Biskuit


Komersial K A B
Kadar air (%) 2,64 + 0,07a 4,53 + 0,07c 3,58 + 0,27b 3,92 + 0,05b
Abu (%) 1,77 + 0,08b 1,06 + 0,12a 1,54 + 0,13b 2,09 + 0,07c
Lemak (%) 15,96 + 0,44a 20,13 + 0,35b 20,22 + 0,97b 19,95 + 0,23b
Protein (%) 6,52 + 0,12a 7,70 + 0,07b
7,72 + 0,09b 8,06 + 0,19bc
Kalsium (mg/g bk) 3,50 + 0,10c 0,92 + 0,07a 2,13 + 0,09b 3,54 + 0,20c
Fosfor (mg/g bk) 0,65 + 0,05a 0,43 + 0,04 a
1,48 + 0,09b 3,29 + 0,07c
pH 7,70 + 0,09b 6,37 + 0,02a 6,45 + 0,02a 6,44 + 0,03a
Karbohidrat by 73,11 + 0,45b 66,57 + 0,51 a
66,92 + 1,30a 65,96 + 0,43a
difference (%)
Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda
nyata (p<0,05)

4.2.4.1. Kadar air

Air merupakan kandungan penting dalam makanan. Air dapat berupa


komponen intrasel dan/ ekstrasel, sebagai medium pendispersi atau pelarut dalam
berbagai produk, sebagai fase terdispersi dalam beberapa produk yang diemulsi
seperti mentega dan margarin (de Man 1997). Buckle et al. (1987) menyatakan
bahwa air merupakan komponen penting dalam bahan pangan karena dapat
mempengaruhi tekstur, penampakan dan citarasa makanan. Kandungan air dalam
bahan pangan juga ikut menentukan daya terima, kesegaran dan daya tahan
produk.
Hasil analisis kadar air biskuit komersial dan biskuit dengan penambahan
tepung tulang ikan patin berkisar antara 2,64% sampai 4,53%. Kadar air tertinggi
dicapai oleh biskuit K dengan nilai 4,53% sedangkan kadar air terendah dicapai
oleh biskuit komersial dengan nilai sebesar 2,64%. Kadar air maksimum biskuit
yang ditetapkan dalam SNI 01-2973-1992 adalah 5%. Dengan demikian kadar air
biskuit A dan B memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 01-2973-1992.
Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit komersial memiliki nilai
kadar air yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan ketiga biskuit hasil
penelitian (Lampiran 25). Penambahan tepung tulang ikan patin ternyata tidak
menyebabkan peningkatan kadar air tetapi menyebabkan terjadinya penurunan
kadar air. Hal tersebut mungkin disebabkan karena tepung tulang ikan patin
merupakan produk padat kering dengan kadar air yang rendah sehingga pada saat
ditambahkan ke dalam adonan tepung tulang ikan patin menyerap air yang ada
dalam adonan. Selain itu nilai kadar air juga dipengaruhi oleh suhu dan lama
waktu pemanggangan dalam oven, jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan
serta tingkat kadar air bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit.

4.2.4.2. Kadar abu

Abu merupakan ukuran dari komponen anorganik yang ada dalam suatu
bahan makanan. Kadar abu tidak selalu ekuivalen dengan bahan mineral karena
ada beberapa mineral yang hilang selama pembakaran dan penguapan (Sulaeman
et al. 1985).
Hasil analisis kadar abu biskuit komersial dan biskuit dengan penambahan
tepung tulang ikan patin berkisar antara 1,06% sampai 2,09%. Kadar abu tertinggi
dicapai oleh biskuit B dengan nilai 2,09% sedangkan kadar abu terendah dicapai
oleh biskuit K dengan nilai sebesar 1,06%. Kadar abu maksimum biskuit
yang ditetapkan dalam SNI 01-2973-1992 adalah 1,5%. Dengan demikian kadar
abu biskuit A memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 01-2973-1992.
Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit B menghasilkan nilai kadar
abu yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan biskuit A, K dan biskuit
komersial (Lampiran 26). Tepung tulang ikan patin mengandung mineral
khususnya kalsium dan fosfor yang tinggi sehingga memberikan sumbangan yang
besar bagi peningkatan nilai kadar abu biskuit.

4.2.4.3. Kadar lemak

Lemak adalah sekelompok ikatan organik yang terdiri atas unsur-unsur C,


H dan O yang mempunyai sifat dapat larut dalam zat-zat pelarut tertentu (zat
pelarut lemak), seperti petroleum benzene, ether. Lemak di dalam makanan yang
memegang peranan penting ialah lemak netral (glycerin) (Sediaoetama 2006).
Lemak memiliki efek shortening pada makanan yang dipanggang seperti biskuit,
kue kering dan roti sehingga menjadi lebih lezat dan renyah. Lemak akan
memecah struktur kemudian melapisi pati dan gluten, sehingga dihasilkan biskuit
yang renyah (Gaman dan Sherrington 1992). Matz (1978) menyatakan bahwa
lemak dapat memperbaiki struktur fisik seperti pengembangan, kelembutan
tekstur dan aroma.
Hasil analisis kadar lemak biskuit komersial dan biskuit dengan
penambahan tepung tulang ikan patin berkisar antara 15,96% sampai 20,22%.
Kadar lemak tertinggi dicapai oleh biskuit A dengan nilai 20,22% sedangkan
kadar lemak terendah dicapai oleh biskuit komersial dengan nilai sebesar 15,96%.
Kadar lemak minimum biskuit yang ditetapkan dalam SNI 01-2973-1992 adalah
9,5%. Dengan demikian kadar lemak biskuit hasil penelitian dan biskuit komersial
memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 01-2973-1992.
Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit A menghasilkan nilai lemak
yang lebih tinggi dan bersama dengan biskuit B dan K berbeda nyata dengan
biskuit komersial (Lampiran 27). Tingginya kadar lemak disebabkan karena bahan
yang digunakan dalam pembuatan biskuit mengandung kadar lemak yang cukup
tinggi seperti margarin.

4.2.4.4. Kadar Protein

Protein merupakan zat gizi yang sangat penting, karena yang paling erat
hubungannya dengan proses-proses kehidupan (Sediaoetama 2006). Pada
umumnya kadar protein dalam bahan pangan menentukan mutu bahan pangan
tersebut (Winarno 2002).
Hasil analisis kadar protein biskuit komersial dan biskuit dengan
penambahan tepung tulang ikan patin berkisar antara 6,52% sampai 8,06%. Kadar
protein tertinggi dicapai oleh biskuit B dengan nilai 8,06% sedangkan kadar
protein terendah dicapai oleh biskuit komersial dengan nilai sebesar 6,52%. Kadar
protein minimum biskuit yang ditetapkan dalam SNI 01-2973-1992 adalah 9%.
Dengan demikian kadar protein biskuit formulasi dan biskuit komersial belum
memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 01-2973-1992.
Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit B menghasilkan nilai kadar
protein yang lebih tinggi dan bersama dengan biskuit A, K berbeda nyata terhadap
biskuit komersial (Lampiran 28). Hasil analisis protein tepung tulang ikan patin
yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah sebesar 22,23%. Tepung terigu
yang digunakan dalam pembuatan biskuit formulasi tepung tulang ikan patin
adalah tepung terigu merk Kunci Biru dengan kadar protein 8%. Tepung terigu
merk kunci biru tergolong soft flour dengan kadar protein berkisar antara 7-8,5%
(Astawan 1999). Peningkatan kadar protein biskuit formulasi disebabkan adanya
sumbangan protein dari tepung tulang ikan patin dan susu.

4.2.4.5. Kadar Kalsium

Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh.


Lebih dari 99% kalsium ada di dalam tulang dan gigi, yaitu bersama-sama dengan
fosfor membentuk kristal larut yang disebut kalsium hidroksiapatit
(Ca3(PO4)2)3.Ca(OH)2 (Muchtadi et al. 1993).
Hasil analisis kadar kalsium biskuit komersial dan biskuit dengan
penambahan tepung tulang ikan patin berkisar antara 0,92 mg/g bk sampai 3,54
mg/g bk. Kadar kalsium tertinggi dicapai oleh biskuit B dengan nilai 3,54 mg/g bk
sedangkan kadar kalsium terendah dicapai oleh biskuit K dengan nilai sebesar
0,92 mg/g bk.
Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit B mengandung kalsium yang
lebih tinggi dan bersama dengan biskuit komersial berbeda nyata terhadap biskuit
A dan K (Lampiran 29). Tingginya kadar kalsium disebabkan karena adanya
bahan yang mengandung kalsium yang cukup tinggi yaitu susu, tepung terigu
(2%) serta tepung tulang ikan patin itu sendiri. Semakin tinggi penambahan
konsentrasi tepung tulang ikan patin maka semakin besar kadar kalsium yang
dimiliki oleh biskuit formulasi.

4.2.4.6. Kadar fosfor

Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak setelah kalsium (sekitar 22%


dari total mineral), dimana 85% diantaranya terdapat dalam tulang. Fosfor
terdapat pada hampir semua bahan pangan sehingga jarang menimbulkan masalah
(Muchtadi et al. 1993).
Hasil analisis kadar fosfor biskuit komersial dan biskuit dengan
penambahan tepung tulang ikan patin berkisar antara 0,43 mg/g bk sampai 3,29
mg/g bk. Kadar fosfor tertinggi dicapai oleh biskuit B dengan nilai 3,29 mg/g bk
sedangkan kadar fosfor terendah dicapai oleh biskuit K dengan nilai sebesar 0,43
mg/g bk.
Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit B mengandung forfor yang
lebih tinggi dan berbeda nyata dengan biskuit A, K dan biskuit komersial
(Lampiran 30). Penambahan tepung tulang ikan patin yang mengandung kadar
fosfor yang tinggi mengakibatkan kadar fosfor biskuit formulasi juga meningkat.

4.2.4.7. Nilai pH

Derajat keasaman (pH) merupakan salah faktor penting dalam penentuan


mutu bahan pangan. Purnawijayanti (2001) menyatakan bahwa, derajat keasaman
(pH) yang menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri perusak dan patogen adalah
lebih dari 4,6 sampai dengan pH netral (7). Hasil analisis nilai pH biskuit
komersial dan biskuit formulasi berkisar antara 6,37 sampai 7,70. Nilai pH
tertinggi dicapai oleh biskuit komersial dengan nilai 7,70 sedangkan nilai pH
terendah dicapai oleh biskuit K dengan nilai 6,37.
Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit komersial menghasilkan nilai
pH yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan ketiga biskuit hasil penelitian
(Lampiran 31). Penambahan tepung tulang ikan patin ternyata menyebabkan
peningkatan nilai pH biskuit yang dihasilkan, namun masih berada pada kisaran
nilai pH asam sehingga dengan kisaran nilai tersebut dapat membantu proses
kelarutan kalsium dan fosfor yang sangat membutuhkan suasana asam untuk
proses kelarutan dan penyerapannya.

4.2.4.8. Karbohidrat by difference

Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi manusia. Karbohidrat


juga mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan,
misalnya rasa, warna, tekstur; sedangkan dalam tubuh, karbohidrat berguna untuk
mencegah timbulnya ketosis, pemecahan protein tubuh yang berlebihan,
kehilangan mineral, dan berguna untuk membantu metabolisma lemak dan protein
(Winarno 2002).
Hasil perhitungan kadar karbohidrat biskuit komersial dan biskuit dengan
penambahan tepung tulang ikan patin berkisar antara 65,96% sampai 73,11%.
Kadar karbohidrat tertinggi dicapai oleh biskuit komersial dengan nilai 73,11%
sedangkan kadar karbohidrat terendah dicapai oleh biskuit B dengan nilai sebesar
65,96%. Kadar karbohidrat minimum biskuit yang ditetapkan dalam SNI 01-
2973-1992 adalah 70%. Dengan demikian kadar protein biskuit formulasi belum
memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 01-2973-1992.
Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit komersial memiliki nilai
kadar karbohidrat yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan ketiga biskuit hasil
penelitian (Lampiran 32). Peningkatan konsentrasi tepung tulang ikan patin
ternyata tidak sejalan dengan peningkatan nilai karbohidrat. Hal tersebut
dikarenakan tepung tulang ikan patin lebih banyak mengandung mineral
khususnya kalsium dan fosfor dan karbohidrat yang rendah.

4.2.5 Solubilitas kalsium dan fosfor biskuit

Hasil analisis solubilitas kalsium dan fosfor biskuit tulang ikan patin dan
biskuit komersial disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Hasil analisis solubilitas kalsium dan fosfor biskuit tulang ikan patin
dan biskuit komersial

Nilai %Ca %P
pH
K A B Komersial K A B Komersial
2 76,68 95,06 88,96 73,23 74,24 20,73 41,47 23,25
4 30,07 27,65 17,59 2,54 49,75 19,84 19,84 20,86
6 32,07 33,22 20,22 4,00 50,12 20,25 8,56 16,24

Persen solubilitas kalsium biskuit meningkat seiring dengan menurunnya


nilai pH. Pada pH 2, persen solubilitas kalsium memiliki nilai tertinggi yaitu
untuk biskuit K sebesar 76,68%, biskuit A 95,06%, biskuit B 88,96% dan biskuit
komersial 73,23%. Persen solubilitas kalsium akan menurun seiring dengan
peningkatan nilai pH atau derajat keasaman menurun (Gambar 11a).

100
Solubilitas Ca (%)

80

60

40

20

0
2 4 6
Tingkatan nilai pH

A B kontrol komersial

Gambar 11a Grafik solubilitas kalsium biskuit pada berbagai nilai pH

Kalsium membutuhkan pH asam agar dapat berada dalam keadaan terlarut.


Kalsium hanya bisa diabsorpsi bila terdapat dalam bentuk larut air dan tidak
mengendap karena unsur makanan lain seperti oksalat (Almatsier 2002).
Kelarutan merupakan salah satu syarat dalam penyerapan kalsium. Menurut Allen
dan Wood (1994) kelarutan kalsium meningkat dalam lingkungan asam pada
perut, tetapi ion terlarut akan bergabung kembali kemudian berpresipitasi dalam
yeyenum dan ileum dimana pH-nya mendekati netral. Hasil analisis nilai pH
tepung tulang ikan patin berkisar pada nilai 6 sehingga memudahkan proses
penyerapan kalsium. Kalsium pada ikan terutama pada tulang membentuk
kompleks dengan fosfor dalam bentuk apatit atau trikalsiumfosfat (Lovell 1989).
Bentuk ini terdapat pada abu tulang yang dapat diserap dengan baik oleh
tubuh yaitu berkisar 60-70% (Lutwak 1982).
Persen solubilitas fosfor biskuit memiliki pola yang sama dengan persen
kalsium biskuit yaitu meningkatnya persen solubilitas fosfor seiring dengan
penurunan nilai pH. Pada pH 2, persen solubilitas fosfor memiliki nilai tertinggi
yaitu untuk biskuit K sebesar 74,24%, biskuit A 20,73%, biskuit B 41,47% dan
biskuit komersial 23,25%. Pada umumnya persen solubilitas fosfor akan menurun
seiring dengan peningkatan nilai pH atau derajat keasaman rendah (Gambar 11 b).
Fosfor dapat diabsorpsi secara efisien sebagai fosfor bebas di dalam usus setelah
dihidrolisis dan dilepas dari makanan (Almatsier 2002).

80
70
Solubilitas P (%)

60
50
40
30
20
10
0
2 4 6
Tingkatan nilai pH

A B kontrol komersial

Gambar 11b Grafik solubilitas fosfor biskuit pada berbagai nilai pH

Tingginya solubilitas kalsium dan fosfor biskuit dibandingkan dengan


tepung disebabkan karena adanya interaksi zat gizi terutama dengan protein yang
berasal dari susu dan telur. Ketersediaan dan kelarutan protein ternyata
mempengaruhi ketersediaan dan kelarutan mineral (Yoshie et al. 1997). Sumber
protein juga mempengaruhi penyerapan Ca. Kasein dan produk susu
meningkatkan kelarutan in vivo sehubungan dengan adanya gugus fosfoserin
dalam molekulnya (Berrocal et al. 1989 dalam Blaney et al. 1996). Protein
berperan penting dalam penyerapan Ca ke dalam mukosa usus karena transpor
kalsium melalui sel usus dapat terjadi melalui difusi atau dengan calbinding
(protein pengikat kalsium). Calbinding berperan sebagai protein transport untuk
mengantarkan kalsium sitoplasma enterosit ke membran basal (Groff dan Gropper
2001)

4.2.6 Informasi nilai gizi biskuit


Nilai gizi biskuit formulasi berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) rata-
rata yang dianjurkan untuk per orang per hari untuk usia 19-29 tahun, berdasarkan
diet sebesar 2000 kkal. Informasi nilai gizi biskuit sebagaimana disajikan pada
Tabel 11.
Tabel 11 Informasi nilai gizi biskuit formulasi dan komersial

Biskuit Komersial Biskuit Kontrol


Takaran saji (7 keping) : 35 g Takaran saji (7 keping) : 35 g
Energi : 462,16 kkal Energi : 478,10 kkal
Gizi %AKG Gizi %AKG
Ca 87,92 mg/100 g bk 10,99% Ca 30,08 mg/100 g bk 3,89%
P 17,64 mg/100 g bk 2,94% P 14,35 mg/100 g bk 2,93%
Protein 1,68 g/100 g bk 2,80% Protein 2,45 g/100 g bk 4,08%
Lemak 4,20 g/100 g bk 4,94% Lemak 6,65 g/100 g bk 7,82%

Biskuit A Biskuit B
Takaran saji (7 keping) : 35 g Takaran saji (7 keping) : 35 g
Energi : 479,38 kkal Energi : 475,63 kkal
Gizi %AKG Gizi %AKG
Ca 72,10 mg/100 g bk 9,01% Ca 119,35 mg/100 g bk 14,92%
P 50,05 mg/100 g bk 8,43% P 110,95 mg/100 g bk 18,49%
Protein 2,45 g/100 g bk 4,08% Protein 2,80 g/100 g bk 4,76%
Lemak 7,00 g/100 g bk 8,23% Lemak 6,65 g/100 g bk 7,82%

Apabila seluruh zat gizi dapat diserap dengan baik oleh tubuh, konsumsi 7
keping (35 g) biskuit formulasi menyumbang kebutuhan kalsium sebesar 9,01%
dan fosfor sebesar 8,43% (biskuit A), kalsium sebesar 14,92% dan fosfor sebesar
18,49% (biskuit B). Persentase didasarkan pada AKG zat gizi dengan nilai energi
diet sebesar 2000 kkal.
5. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Tepung tulang ikan patin yang dibuat dengan metode kering menghasilkan
nilai sebagai berikut : daya serap air 48,54%, densitas kamba 0,80 g/ml, derajat
putih 62,82%, kadar air 6,53%, abu 56,38%, pH 7,56, kalsium 264,53 mg/g bk,
fosfor 88 mg/g bk, solubilitas kalsium dan fosfor pada pH 2 sebesar 1,25% dan
0,18%.
Hasil uji perbandingan pasangan biskuit formulasi terbaik dengan produk
biskuit komersial (biskuat), biskuit formulasi memiliki nilai mutu yang lebih baik
dari segi penampakan dan warna, rasa tidak berbeda dengan biskuit komersial
sedangkan kelemahan yang dimiliki oleh biskuit formulasi adalah kerenyahan.
Hasil analisis fisik dan kimia serta solubilitas kalsium dan fosfor biskuit
formulasi terbaik ( A dan B) berdasarkan hasil pengujian organoleptik adalah
sebagai berikut : berat 5 g, tebal 4 mm, diameter 3,7 cm, kekerasan 1391,67 gf
dan 1440,28 gf; kadar air 3,58% dan 3,92%; abu 1,54% dan 2,09%; lemak
20,22% dan 19,95%; protein 7,72% dan 8,07%; karbohidrat 66,92% dan 65,96%;
Ca 2,13 mg/g bk dan 3,54 mg/g bk; P 1,48 mg/g bk dan 3,29 mg/g bk; pH 6,45
dan pH 6,44; solubilitas kalsium dan fosfor terbaik pada nilai pH 2 dengan nilai
berturut-turut 95,06% dan 88,96% untuk kalsium dan 20,73% dan 41,47% untuk
fosfor.

5.2 Saran

a. Perlu dilakukan penelitian untuk mempelajari bioavailibilitas mineral


kalsium dan fosfor secara in-vitro dengan menggunakan teknik multienzim
atau in-vivo dengan hewan percobaan.
b. Perlu dilakukan penelitian untuk mempelajari pengaruh metode
penepungan dan pengolahan ke dalam bentuk produk pangan terhadap
kandungan Ca dan P dalam bentuk ion.
c. Perlu dilakukan aplikasi penambahan tepung tulang ikan patin ke dalam
bentuk produk lain seperti kerupuk dan keripik.
DAFTAR PUSTAKA

Alais C, Linden G. 1991. Food Biochemistry. London: Ellis Harwood.

Allen LH, Wood JR. 1994. Calsium and Phosporus. Dalam Modern Nutrition in
Health and Disease ed. 8 vol 1. Shils EM, Olsen JA, Shilke M (eds). Lea &
Febringer. USA.

Almatsier S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.

Almond N. 1989. Biscuits, Cookies and Crackers. London: Apllied Science


Publishers.

Anggorodi R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta: PT Gramedia.

Anggraeni D. 2003. Analisa Mineral Plasma Darah. Bogor: Fakultas Peternakan,


Institut Pertanian Bogor.

Anonim 1981. Pedoman Pembuatan Roti dan Kue. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Anonim 1992. Pengolahan Limbah. Pertemuan Teknis Pembinaan Mutu Hasil


Perikanan dan Latihan Penerapan HACCP. Jakarata: Ditjen Perikanan.

Anonim 2000. Perbedaan antara Margarine dan Mentega. www.clickwok.com


[5 April 2007].

Anwar F. 1990. Mempelajari sifat fisik, organoleptik dan nilai gizi protein
makanan bayi dari campuran tepung beras konsentrat protein jagung dan
tepung tempe [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarwati, Budiyanto S. 1989.


Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut
Pertanian Bogor.

Asni Y. 2004. Studi pembuatan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan
patin (Pangasius hipothalmus) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Astawan M. 1999. Membuat Mi dan Bihun. Jakarta: Penebar Swadaya.

Blaney S, Zee JA, Mongeau R, Marin J. 1996. Combined effect of various tiped
of dietary fiber and protein on in vitro calsium availability. J. Agric. Food
Chem. 44 : 3587-3590.

Booth RG. 1990. Snack Food. New York: Van Nostrand Reinhold.
[BPPIS] Badan Penelitian Pengembangan Industri Surabaya 1989. Pembuatan
Prototipe Alat Uji Derajat Putih tepung Tapioka. Surabaya.

Buckle KA, Edward RA, Fleet GH, Wootton N. 1987. Food Science. Edisi Kedua.
Penerjemah: Purnomo H, Adiono. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
(UI Press).

Charley H. 1982. Food Science. 2nd ed. New York: Jhon Wiley and Sons.

Clydesdale FM. 1988. Minerals : Their chemistry and fate in food. Dalam Smith
KT. (ed). Trace Mineral in Foods. New York: Marcel Dekker Inc.

de Man JM. 1997. Principles of Food Chemistry. Edisi kedua. Penerjemah:


Padmawinata K. Bandung : Penerbit Institut Teknologi Bandung.

Desrosier NW. 1988. The Technology of Food Preservation. Penerjemah:


Muljohardjo M. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press)

Faridah DN, Kusumaningrum HD, Wulandari N, Indrasti D. 2006. Modul


Praktikum Analisis Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Intitut Pertanian Bogor.

Faridi H, Faubion JM. 1990. Dough Rheology and Baked Product Texture. New
York: Nostrand Reinhold.

Fardiaz D, Andarwulan N, Wijaya H, Puspitasri LN. 1992. Petunjuk


Laboratorium: Teknik Analisis Sifat Kimia dan Fungsional Komponen
Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian
Bogor.

Fox MRS. 1988. Nutrient Interaction. New York: Marcel Dekker Inc.

Gaman PM, Sherrington KB. 1990. The Science of Food: An Introduction of Food
Science, Nutrition and Microbiology. 3rd ed. Oxford: Pergamon Press.

Greger JL. 1999. Nondigestable carbohydrates and mineral bioavailability. Am. J.


Clin. Nutr : 0022-3166:1434S-1456S.

Groff JL, Gropper SS. 2001. Advanced Nutrition and Human Metabolism.
Belmont:Wadsworth/Thomson Learning.

Guthrie HA. 1975. Introductory Nutrition. Saint Louis: Mosby Company.

Halver JE. 1989. Fish Nutrition. New York: Academic Press, Inc.

Hardinsyah, Martianto D. 1992. Gizi Terapan. Bogor: Pusat Antar Universitas


Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Hardman TM. 1989. Water and Food Quality. London: Elsevier Apllied Science.
Harland FB, Oberleas D. 2001. Effect of dietary fiber and phytat in the
homeostatis and bioavailability of mineral. Di dalam: Spiller AG, editors.
Handbooks of Dietary Fiber in Human Nutrition 3rd Edition. USA: Library
of Congress.

Iodarine A, Khan MJ, Weber CW. 1996. In vitro binding capasity of wheat bran,
rice bran and oat fiber for Ca, Mg, Cu and Zn alone and in different
combination. J Agric. Food Chem. 44: 2067-2072.

[ISA] International Seafood of Alaska. 2002. Analysis of Fish Meal.


www.kodiak.com [5 April 2007].

Kaup SM, Greger JL, Lee K. 1991. Nutritional evaluation with animal model of
cottage cheese fortified with calcium and guar gum. J. Food Sci. 56(3) :
692-695.

Kaplan A. 1971. Element of Food Production and Baking. New York: ITT
Educational Service Inc.

Karyadi D, Muhilal. 1996. Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Jakarta: PT.


Gramedia Pustaka Utama.

Khairuman, Suhendra. 2002. Budidaya Patin Secara Intensif. Jakarta: Agro Media
Pustaka.

Lehninger AL. 1984. Principles of Biochemistry. Penerjemah: Thenawidjaja M.


Jakarta: Penerbit Erlangga.

Lin CS, Zayas JF. 1987. Functionality of defatted corn germ proteins in a model
system: Fat binding capacity and water retention. J. Food Sci. 52:1308-
1311.

Linder MC. 1982. Nutritional Biochemistry and Metabolism. Penerjemah :


Parakkasi A. Jakarta: UI Press.

Lovell T. 1989. Nutrition and Feeding on Fish. New York: AVI Book Publishing
by Van Nostrand Reinhold.

Lutwak L. 1982. Dietary calcium: Source, interaction with other nutrients and
relationship to dental, bone and kidney disease. Dalam Beittz DC, Nansen
RC (eds). Animal Products in Human Nutrition. New York:Academic Press.

Mahani. 1999. Pembuatan cookies yang diperkaya dengan kalsium [skripsi].


Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Manley DJR. 1983. Technology of Biscuits, Crackers and Cookies. Chichester:


Ellis Horwood Limited.
Martinez I, Santaella M, Ros G, Periago MJ. 1998. Content and in Vitro
availibility of Fe, Zn and P in homogenized fish-base weaning food after
bone addition. Food Chem. 63: 299-305.

Matz SA, Matz TD. 1978. Cookies and Crackers Technology. Westport
Connecticut: The AVI Publishing Company Inc.

Matz SA. 1993. Snack Food Technology. 3rd (edition). Mc Allen, Texas: Pan-
Tech International, Inc.

Maynard LA, Loosli JK. 1956. Animal Nutrition. 4th (edition). New York: Mc
Graw Hill Book Company.

Miller DD. 1989. Calsium in the diet: Food source, recommended intake, and
nutritional bioavailability. Di dalam : Fennema OR (eds). Food Chemistry.
3th Edition. New York: Cornell University.

Morrison, FB. 1958. Feed and Feeding. Nineth Edition. Washington DC: The
Morrison Research Council, National Academy of Science.

Muchtadi TR, Sugiyono. 1989. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bogor:


Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1993. Metabolisma Zat Gizi. Jakarta.


Pustaka Sinar Harapan.

Mulia. 2004. Kajian potensi limbah tulang ikan patin (Pangasius sp) sebagai
altnernatif sumber kalsium dalam pembuatan mi kering [skripsi]. Bogor:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Nasution A. 1980. Metode Penilaian Cita Rasa I. Bogor: Departemen Ilmu


Kesejahteraan Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Newman MC, Jagoe CH. 1994. Ligands and the Bioavailibility of Metals in
Aquatic Environments. Boca Raton : CRC Press, Lewis Publishers.

Nurdiani R. 2003. Pemanfaatan tepung tulang ikan patin (Pangasius sutchi) untuk
meningkatkan kandungan kalsium susu kacang hijau [skripsi]. Bogor:
Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian.
Institut Pertanian Bogor.

O’Dell BL. 1984. Bioavailability of trace elements. Nutr Rev.42:301-308.

Piliang WG, Djojosoebagio S. 2006. Fisiologi Nutrisi,Volume II. Bogor: IPB


Press.

Purnawijayanti HA. 2001. Sanitasi, Higiene dan Keselamatan Kerja dalam


Pengolahan Makanan. Yogyakarta: Kanisius.
Purnomo H 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan.
Jakarata: Penerbit Universitas indonesia (UI Press).

Rahayu WP. 2001. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Bogor:


Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.

Rangganan S. 1986. Hand Book of Analysis and Quality Control for Fruit and
Vegetable Product. New Delhi: Tata Mc Graw Hill Publ. Co. Ltd.

Rasyaf M. 1990. Bahan Makanan Unggas di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Reitz LL, Smith WH, Plumlee MP. 1987. A Simple Wet Oxidation Procedure for
Biological Materials. West Lafayette: Animal Science Department. Purdue
University.

Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta: Bina Cipta.

Santoso J. 2003. Studies on nutritional components and antioksidants activity in


several Indonesian seaweeds [disertasi]. Tokyo: Laboratory Chemistry of
Food and Nutrition, Department of Food Science and Technology, Tokyo
University of Fisheries.

Santoso J, Gunji S, Yoshie-Stark Y, Suzuki T. 2006. Mineral content of


Indonesian seaweeds and mineral solubility affected by basic cooking. Food
Sci. Tech. Res. 12: 59-66.

Sediaoetama AD. 2006. Ilmu Gizi: untuk Mahasiswa dan Profesi, Jilid I. Jakarta:
Dian Rakyat.

[SNI] Standar Nasional Indonesia 1992. Mutu dan Cara Uji Biskuit. SNI 01-2973-
1992. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional.

Soedarno YE. 1998. Substitusi parsial tepung terigu dengan tepung asia dan
tepung kecamba kacang hijau dalam pembuatan cookies [skripsi]. Bogor:
Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil
Pertanian. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Spiller AG. 2001. Definition of Dietary Fiber. Di Dalam: Spiller AG, (ed).
Handbooks of Dietary Fiber in Human Nutrition 3rd Edition. USA: Library
of Congress.

Steel RD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu Pendekatan
Biometrik. Penerjemah : Sumantri B. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Subasinghe S. 1996. Inovative and value-added tuna product and markets. Infofish
International. Number 1/96. January/February.
Sukarni M, Kusno SR. 1980. Metode Penilaian Citarasa II. Bogor: Departemen
Ilmu Kesejahteraan Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Sulaeman A, Anwar F, Rimbawan dan Marliyati SA. 1995. Metode Penetapan


Zat Gizi. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga.
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Sunaryo E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Bogor: Jurusan


Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.

Susanto H, Amri K. 1997. Budidaya Ikan Patin. Jakarta: Penebar Swadaya.

Tabakaka R. 2004. Pemanfaatan tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) sebagai
bahan tambahan kerupuk [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Tanuwidjaya N. 2002. Pemanfaatan tepung tulang ikan patin (Pangasius


pangasius Ham Buch) dalam pembuatan mi kering [skripsi]. Karawaci:
Universitas Pelita Harapan.

Torre M, Rodriquez RA, Calixto-Saura F. 1995. Interaction of Fe (II) and Fe (III)


with high dietary fibre materials: A phsycochemical approach. Food Chem.
5: 23-31.

Urbano MG, Goni I. 2002. Bioavailability of nutrition in rats fed on edible


seaweeds, nori (Porphyra tenera) and wakame (Undaria pinnatifida) as a
source of dietary fiber. Food Chem.76: 281-286.

Van Mosevelde B. 1997. Culinary Curies: Calsium Fortification.


www.foodproductiondesign.com [ 15 Desember 2006].

Vail GE, Philips JA, Rust LO, Griswold RM, Justin M. 1978. Foods. 7th (eds).
Boston: Houngthon Mifflin Company.

Watzke HJ. 1988. Impact of processing on bioavailability examples of minerals in


foods. Trends Food Sci. Tech. 8:320-327.

Whiteley PR. 1971. Biscuit Manufactory. London: Applied Science Publishing.

Widya Karya Pangan dan Gizi. 2004. Risalah Widya Karya Pangan dan Gizi IV.
Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Winarno FG, Fardiaz S. 1973. Dasar Teknologi Pangan. Bogor: Fakultas


Teknologi dan Mekanisasi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Winarno FG. 1985. Limbah Pertanian. Jakarta: Kantor Menteri Muda Urusan
Peningkatan Produksi Pangan.
Winarno FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.

Wirakartakusumah MA, Abdullah K, Syarif AM. 1992. Sifat Fisik Bahan Pangan.
Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Yoshie Y, Suzuki T, Clydesdale FM. 1997. Iron solubility from seafoods with
added iron and organic acid under stimulated gastrointestinal conditional.
J. Food Quality. 20: 235-246.
Lampiran 1 Lembar penilaian organoleptik

Nama panelis :
Jenis produk : Biskuit
Tgl penilaian :
Instruksi : Saudara dimohonkan untuk memberikan penilaian terhadap
kelima macam sampel biskuit yang ada sesuai dengan tingkat
kesukaan saudara. Isilah nilai tingkat kesukaan pada kolom yang
disediakan.
Penilaian : Dengan skala 1-7

A. Penampakan B. Warna
7 : Sangat rapih 7 : Coklat
6 : Rapih 6 : Kuning kecoklatan
5 : Agak rapih 5 : Kuning
4 : Biasa 4 : Agak kekuningan
3 : Agak kurang rapih 3 : Agak hangus
2 : Tidak rapih 2 : Hangus
1 : Sangat tidak rapih 1 : Sangat hangus

C. Rasa D. Aroma E. Tekstur


7 : Sangat enak 7 : Sangat harum 7 : Sangat Renyah
6 : Enak 6 : Harum 6 : Renyah
5 : Agak Enak 5 : Agak harum 5 : Agak Renyah
4 : Biasa 4 : Biasa 4 : Biasa
3 : Agak kurang Enak 3 : Agak kurang harum 3 : Agak keras
2 : Tidak enak 2 : Tidak harum 2 : Keras
1 : Sangat tidak enak 1 : Sangat tidak harum 1 : Sangat keras

Parameter Kode sampel


351 287 425 571 735
Penampakan
Warna
Rasa
Aroma
Tekstur
Komentar panelis :
Lampiran 2 Lembar isian uji organoleptik biskuit tulang ikan patin terbaik dengan
biskuit komersial (biskuit yang ada di pasaran).

Nama Panelis :
Hari/tanggal :
Produk : Biskuit
Instruksi : Bandingkan Warna, Kerenyahan, Aroma dan Penampakan
produk yang disajikan terhadap produk pembanding, berilah
tanda X (silang) pada pernyataan yang sesuai dengan
penilaian saudara.
Kode produk :
Kode pembanding :
Warna Kerenyahan
Sangat lebih cerah Sangat lebih renyah
Lebih cerah Lebih renyah
Agak lebih cerah Agak lebih renyah
Tidak berbeda Tidak berbeda
Agak kurang cerah Agak kurang renyah
Kurang cerah Kurang renyah
Sangat kurang cerah Sangat kurang renyah
Rasa Penampakan
Sangat lebih enak Sangat lebih rapih
Lebih enak Lebih rapih
Agak lebih enak Agak lebih rapih
Tidak berbeda Tidak berbeda
Agak kurang enak Agak kurang rapih
Kurang enak Kurang rapih
Sangat kurang enak Sangat kurang rapih
Komentar panelis :
Lampiran 3 Analisis ragam derajat putih tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)

Source of SS df MS F Sig
Variation
Between 0,395 1 0,395 2,44 0,193
Group
Within 0,649 4 0,162
Group
Total 1,044 5

Lampiran 4 Uji T daya serap air tepung tulang ikan patin (Pangsius sp)

Group Statistics

Std. Error
kriteria N Mean Std. Deviation Mean
daya_serap_air kering 3 .485367 .0073460 .0042412
basah 3 .627667 .0142339 .0082179

Independent Samples Test

Levene's Test for


Equality of Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence
Interval of the
Mean Std. Error Difference
F Sig. t df Sig. (2-tailed)Difference Difference Lower Upper
daya_serap_ Equal varianc
2.075 .223 -15.387 4 .000 .1423000 .0092478 1679761 1166239
assumed
Equal varianc
-15.387 2.995 .001 .1423000 .0092478 1717595 1128405
not assumed

Karena pada Levene’s Test for Equality of Variances nilai Sig. > 0.05. artinya
asumsi kehomogenan ragam terpenuhi, sehingga kita pakai Equal variances
assumed. Pada t-test for Equality of Means nilai Sig. < 0.05 kesimpulannya tolak
H0 artinya Metode kering dan basah berbeda nyata pada taraf Alpha 5%.

Lampiran 5 Analisis ragam densitas kamba tepung tulang ikan patin


(Pangasius sp)

Source of SS df MS F Sig
Variation
Between 0,000000 1 0,000000 0,00 1,000
Group
Within 0,000733 4 0,000183
Group
Total 0,000733 5
Lampiran 6 Uji T kadar air tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)

Group Statistics

Std. Error
kriteria N Mean Std. Deviation Mean
kadar_air kering 3 .065333 .0004619 .0002667
basah 3 .049467 .0023438 .0013532

Independent Samples Test

Levene's Test for


Equality of Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence
Interval of the
Mean Std. Error Difference
F Sig. t df Sig. (2-tailed)Difference Difference Lower Upper
kadar_ai Equal varianc
7.817 .049 11.504 4 .000 .0158667 .0013792 0120374 0196960
assumed
Equal varianc
11.504 2.155 .006 .0158667 .0013792 0103235 0214099
not assumed

Karena pada Levene’s Test for Equality of Variances nilai Sig. < 0.05. artinya
asumsi kehomogenan ragam tidak terpenuhi, sehingga kita pakai Equal variances
not assumed. Pada t-test for Equality of Means nilai Sig. < 0.05 kesimpulannya
tolak H0 artinya Metode kering dan basah berbeda nyata pada taraf Alpha 5%.

Lampiran 7 Analisis ragam kadar abu tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)

Group Statistics

Std. Error
kriteria N Mean Std. Deviation Mean
kadar_abu kering 3 .563833 .0024007 .0013860
basah 3 .581467 .0053725 .0031018

Independent Samples Test

Levene's Test for


Equality of Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence
Interval of the
Mean Std. Error Difference
F Sig. t df Sig. (2-tailed) Difference Difference Lower Upper
kadar_abu Equal variance
2.700 .176 -5.190 4 .007 -.0176333 .0033974 0270660 0082007
assumed
Equal variance
-5.190 2.768 .017 -.0176333 .0033974 0289763 0062904
not assumed

Karena pada Levene’s Test for Equality of Variances nilai Sig. > 0.05. artinya
asumsi kehomogenan ragam terpenuhi, sehingga kita pakai Equal variances
assumed. Pada t-test for Equality of Means nilai Sig. < 0.05 kesimpulannya tolak
H0 artinya Metode kering dan basah berbeda nyata pada taraf Alpha 5%.
Lampiran 8 Analisis ragam kadar kalsium tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)

Source of SS df MS F Sig
Variation
Between 631 1 631 0,70 0,451
Group
Within 3617 4 904
Group
Total 4248 5

Lampiran 9 Analisis ragam kadar fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)

Source of SS df MS F Sig
Variation
Between 162,9 1 162,9 2,01 0,229
Group
Within 324,1 4 81,0
Group
Total 486,9 5

Lampiran 10 Analisis ragam nilai pH tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)

Group Statistics

Std. Error
kriteria N Mean Std. Deviation Mean
pH kering 3 .075633 .0010970 .0006333
basah 3 .078767 .0005132 .0002963

Independent Samples Test

Levene's Test for


Equality of Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence
Interval of the
Mean Std. Error Difference
F Sig. t df Sig. (2-tailed)Difference Difference Lower Upper
pH Equal variance
3.571 .132 -4.481 4 .011 .0031333 .0006992 0050746 0011920
assumed
Equal variance
-4.481 2.835 .023 .0031333 .0006992 0054334 0008332
not assumed

Karena pada Levene’s Test for Equality of Variances nilai Sig. > 0.05. artinya
asumsi kehomogenan ragam terpenuhi, sehingga kita pakai Equal variances
assumed. Pada t-test for Equality of Means nilai Sig. < 0.05 kesimpulannya tolak
H0 artinya Metode kering dan basah berbeda nyata pada taraf Alpha 5%.
Lampiran 11 Analisis ragam kadar protein tepung tulang ikan patin
(Pangasius sp)

Source of SS df MS F Sig
Variation
Between 2,907 1 2,907 6,75 0,122
Group
Within 0,861 2 0,431
Group
Total 3,768 3

Lampiran 12 Analisis ragam kadar lemak tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)

Source of SS df MS F Sig
Variation
Between 0,4032 1 0,4032 7,31 0,114
Group
Within 0,1103 2 0,0551
Group
Total 0,5135 3
Lampiran 13 Data uji organoleptik penampakan biskuit

Panelis Biskuit
K A B C D
1 6 6 6 3 4
2 5 5 5 5 5
3 6 7 7 6 6
4 6 6 6 5 6
5 7 7 6 5 6
6 7 7 7 7 7
7 6 7 7 6 6
8 6 6 5 5 4
9 6 7 5 4 5
10 6 7 6 6 6
11 6 6 6 7 7
12 6 5 6 5 5
13 7 6 6 7 6
14 5 7 5 6 7
15 7 5 5 6 5
16 5 6 6 6 6
17 7 6 4 4 4
18 4 7 6 6 7
19 4 6 6 4 4
20 5 5 5 5 6
21 5 6 4 4 3
22 6 4 6 3 4
23 6 4 6 4 6
24 6 7 7 7 7
25 6 7 5 5 4
26 4 5 7 4 6
27 6 5 5 7 6
28 6 5 4 3 5
29 4 5 5 6 6
30 7 6 6 6 6
K = Kontrol / tidak ada penambahan tepung tulang ikan patin (0%)
A = Penambahan tepung tulang ikan patin 2%
B = Penambahan tepung tulang ikan patin 4%
C = Penambahan tepung tulang ikan patin 6%
D = Penambahan tepung tulang ikan patin 8%
Lampiran 14 Data uji organoleptik warna biskuit

Panelis Biskuit
K A B C D
1 6 6 6 4 4
2 5 6 6 7 6
3 6 6 6 7 5
4 6 6 7 3 6
5 7 7 6 6 6
6 7 7 6 7 7
7 6 7 7 6 6
8 6 6 6 6 4
9 7 6 5 4 5
10 6 7 7 6 6
11 7 7 6 7 7
12 5 4 6 5 4
13 4 7 6 5 6
14 7 7 5 6 7
15 5 6 6 5 5
16 7 6 6 6 6
17 5 6 5 4 4
18 7 7 5 6 7
19 4 6 6 4 4
20 4 4 5 5 6
21 5 6 3 4 4
22 6 5 5 5 5
23 5 5 6 5 5
24 6 7 7 7 6
25 6 7 5 5 4
26 6 4 7 3 5
27 6 5 5 7 6
28 6 5 4 3 5
29 5 4 4 6 6
30 7 6 6 6 6
K = Kontrol / tidak ada penambahan tepung tulang ikan patin (0%)
A = Penambahan tepung tulang ikan patin 2%
B = Penambahan tepung tulang ikan patin 4%
C = Penambahan tepung tulang ikan patin 6%
D = Penambahan tepung tulang ikan patin 8%
Lampiran 15 Data uji organoleptik aroma biskuit

Panelis Biskuit
K A B C D
1 7 7 7 4 4
2 5 6 7 7 5
3 6 7 6 5 5
4 4 7 6 4 6
5 6 6 6 6 7
6 7 5 6 6 7
7 7 7 7 7 7
8 6 6 6 6 5
9 4 6 6 5 4
10 6 6 6 6 6
11 6 6 7 6 6
12 4 7 5 4 6
13 4 6 7 6 7
14 5 6 7 7 7
15 4 7 6 6 6
16 6 7 7 6 7
17 6 6 6 5 5
18 7 7 7 6 6
19 5 7 6 4 3
20 5 6 6 4 4
21 3 7 6 6 4
22 5 7 6 5 5
23 6 6 6 6 6
24 6 5 6 7 7
25 6 7 6 6 6
26 6 6 6 4 4
27 7 6 6 6 6
28 5 6 6 6 6
29 4 6 6 5 5
30 7 7 7 6 7
K = Kontrol / tidak ada penambahan tepung tulang ikan patin (0%)
A = Penambahan tepung tulang ikan patin 2%
B = Penambahan tepung tulang ikan patin 4%
C = Penambahan tepung tulang ikan patin 6%
D = Penambahan tepung tulang ikan patin 8%
Lampiran 16 Data uji organoleptik tekstur biskuit

Panelis Biskuit
K A B C D
1 7 7 6 2 3
2 7 7 6 7 6
3 7 7 7 6 6
4 6 7 6 2 3
5 6 7 6 4 3
6 6 7 6 6 7
7 6 6 7 7 7
8 6 7 6 5 4
9 6 6 6 5 5
10 6 7 6 6 6
11 7 7 6 7 7
12 5 7 6 2 3
13 7 6 6 5 6
14 7 7 7 7 7
15 4 7 6 6 6
16 6 7 6 7 6
17 6 6 5 5 5
18 7 7 5 6 6
19 4 7 6 5 4
20 6 7 6 4 4
21 4 7 6 6 4
22 6 7 6 5 6
23 5 7 6 6 5
24 5 7 6 7 6
25 5 6 6 3 4
26 3 7 7 6 6
27 6 6 5 4 5
28 6 7 6 5 3
29 5 7 6 4 5
30 5 7 6 5 6
K = Kontrol / tidak ada penambahan tepung tulang ikan patin (0%)
A = Penambahan tepung tulang ikan patin 2%
B = Penambahan tepung tulang ikan patin 4%
C = Penambahan tepung tulang ikan patin 6%
D = Penambahan tepung tulang ikan patin 8%
Lampiran 17 Data uji organoleptik rasa biskuit

Panelis Biskuit
K A B C D
1 6 7 7 4 4
2 7 7 7 7 7
3 7 7 6 6 5
4 3 7 5 5 6
5 7 7 6 6 6
6 7 6 6 6 6
7 6 7 6 7 7
8 7 6 5 6 4
9 4 7 5 5 6
10 7 6 6 6 5
11 7 7 6 7 6
12 5 4 6 3 3
13 7 7 6 6 7
14 7 7 7 6 7
15 4 7 6 4 4
16 6 7 7 6 6
17 6 7 6 6 7
18 7 7 6 5 5
19 3 7 7 5 4
20 5 7 6 7 7
21 7 7 6 6 4
22 6 7 6 5 6
23 4 7 5 6 5
24 4 6 6 7 5
25 6 7 6 6 6
26 3 6 7 5 6
27 6 7 6 6 6
28 5 6 6 4 5
29 4 7 6 5 6
30 4 4 6 6 6
K = Kontrol / tidak ada penambahan tepung tulang ikan patin (0%)
A = Penambahan tepung tulang ikan patin 2%
B = Penambahan tepung tulang ikan patin 4%
C = Penambahan tepung tulang ikan patin 6%
D = Penambahan tepung tulang ikan patin 8%
Lampiran 18 Data uji perbandingan pasangan biskuit A

Panelis Parameter
Penampakan Warna Kerenyahan Rasa
1 1 3 -1 1
2 2 2 -1 1
3 -1 -1 0 -1
4 2 3 -1 -1
5 -1 2 -1 -1
6 2 2 -1 1
7 -1 2 -1 1
8 2 3 -1 1
9 0 2 -2 -1
10 1 2 -2 -1
11 3 2 -1 1
12 2 1 -1 1
13 1 3 -1 2
14 1 2 -2 0
15 -1 2 0 0
16 0 1 0 0
17 2 1 -1 1
18 2 2 1 1
19 1 2 -1 1
20 1 3 -1 1
21 -1 -1 -1 -1
22 1 2 1 0
23 2 1 -1 1
24 2 2 -2 -1
25 0 0 -1 0
26 -1 0 -2 0
27 2 2 1 0
28 1 2 -2 -1
29 1 0 -1 -1
30 0 2 0 0
Lampiran 19 Data uji perbandingan pasangan biskuit B

Panelis Parameter
Penampakan Warna Kerenyahan Rasa
1 0 1 -2 1
2 2 2 -2 0
3 -1 1 0 1
4 2 3 -2 -1
5 -1 1 -1 -1
6 2 3 -1 2
7 1 2 -1 0
8 2 2 1 2
9 -1 1 -1 -1
10 1 1 -1 1
11 3 2 -1 2
12 1 1 -1 1
13 1 2 1 1
14 2 3 -1 1
15 1 1 1 1
16 0 2 -1 0
17 2 2 -1 2
18 1 1 2 2
19 1 2 -1 0
20 2 3 -2 1
21 0 0 0 -1
22 2 3 -1 -1
23 2 1 -1 2
24 1 1 -1 -1
25 1 1 -1 0
26 -1 0 -2 0
27 1 2 1 0
28 1 1 -1 -1
29 1 1 -1 -1
30 0 1 -1 -1
Lampiran 20 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap penampakan biskuit

Rank
Perlakuan N Mean Rank
Penampakan 0% 30 80.83
2% 30 87.17
4% 30 75.53
6% 30 62.52
8% 30 71.45
Total 150

Test statistics ab
Penampakan
Chi-square 6.068
df 4
Asymp.Sig .193
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable : Perlakuan

Lampiran 21 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap warna biskuit

Rank
Perlakuan N Mean Rank
Warna 0% 30 82.23
2% 30 87.47
4% 30 75.68
6% 30 65.75
8% 30 66.37
Total 150

Test statistics ab
Warna
Chi-square 6.375
df 4
Asymp.Sig .173
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable : Perlakuan
Lampiran 22 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap aroma biskuit dan uji lanjut
multiple comparison

Rank
Perlakuan N Mean Rank
Aroma 0% 30 59,48
2% 30 106,93
4% 30 68,40
6% 30 59,47
8% 30 65,22
Total 150

Test statistics ab
Aroma
Chi-square 31,022
df 4
Asymp.Sig .000
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable : Perlakuan

Multiple Comparisons

Dependent Variable: aroma


Tukey HSD

Mean
(I) Konsentrasi tepung (J) Konsentrasi tepung Difference 95% Confidence Interval
tulang ikan patin tulang ikan patin (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
0% 2% -1,133* ,236 ,000 -1,78 -,48
4% -,767* ,236 ,012 -1,42 -,12
6% -,067 ,236 ,999 -,72 ,58
8% -,133 ,236 ,980 -,78 ,52
2% 0% 1,133* ,236 ,000 ,48 1,78
4% ,367 ,236 ,528 -,28 1,02
6% 1,067* ,236 ,000 ,42 1,72
8% 1,000* ,236 ,000 ,35 1,65
4% 0% ,767* ,236 ,012 ,12 1,42
2% -,367 ,236 ,528 -1,02 ,28
6% ,700* ,236 ,028 ,05 1,35
8% ,633 ,236 ,061 -,02 1,28
6% 0% ,067 ,236 ,999 -,58 ,72
2% -1,067* ,236 ,000 -1,72 -,42
4% -,700* ,236 ,028 -1,35 -,05
8% -,067 ,236 ,999 -,72 ,58
8% 0% ,133 ,236 ,980 -,52 ,78
2% -1,000* ,236 ,000 -1,65 -,35
4% -,633 ,236 ,061 -1,28 ,02
6% ,067 ,236 ,999 -,58 ,72
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Lampiran 23 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap tekstur biskuit dan uji lanjut
multiple comparison

Rank
Perlakuan N Mean Rank
Aroma 0% 30 71.28
2% 30 116.13
4% 30 78.37
6% 30 57.40
8% 30 54.32
Total 150

Test statistics ab
Aroma
Chi-square 43.308
df 4
Asymp.Sig .000
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable : Perlakuan

Multiple Comparisons

Dependent Variable: tekstur


Tukey HSD

Mean
(I) Konsentrasi tepung (J) Konsentrasi tepung Difference 95% Confidence Interval
tulang ikan patin tulang ikan patin (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
0% 2% -1,033* ,273 ,002 -1,79 -,28
4% -,300 ,273 ,806 -1,05 ,45
6% ,567 ,273 ,236 -,19 1,32
8% ,600 ,273 ,186 -,15 1,35
2% 0% 1,033* ,273 ,002 ,28 1,79
4% ,733 ,273 ,061 -,02 1,49
6% 1,600* ,273 ,000 ,85 2,35
8% 1,633* ,273 ,000 ,88 2,39
4% 0% ,300 ,273 ,806 -,45 1,05
2% -,733 ,273 ,061 -1,49 ,02
6% ,867* ,273 ,015 ,11 1,62
8% ,900* ,273 ,011 ,15 1,65
6% 0% -,567 ,273 ,236 -1,32 ,19
2% -1,600* ,273 ,000 -2,35 -,85
4% -,867* ,273 ,015 -1,62 -,11
8% ,033 ,273 1,000 -,72 ,79
8% 0% -,600 ,273 ,186 -1,35 ,15
2% -1,633* ,273 ,000 -2,39 -,88
4% -,900* ,273 ,011 -1,65 -,15
6% -,033 ,273 1,000 -,79 ,72
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Lampiran 24 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap rasa biskuit dan uji lanjut multiple
comparison

Rank
Perlakuan N Mean Rank
Aroma 0% 30 68.72
2% 30 107.57
4% 30 76.60
6% 30 62.65
8% 30 61.97
Total 150

Test statistics ab
Aroma
Chi-square 25.298
df 4
Asymp.Sig .000
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable : Perlakuan

Multiple Comparisons

Dependent Variable: rasa


Tukey HSD

Mean
(I) Konsentrasi tepung (J) Konsentrasi tepung Difference 95% Confidence Interval
tulang ikan patin tulang ikan patin (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
0% 2% -1,067* ,260 ,001 -1,78 -,35
4% -,500 ,260 ,308 -1,22 ,22
6% -,067 ,260 ,999 -,78 ,65
8% ,000 ,260 1,000 -,72 ,72
2% 0% 1,067* ,260 ,001 ,35 1,78
4% ,567 ,260 ,192 -,15 1,28
6% 1,000* ,260 ,002 ,28 1,72
8% 1,067* ,260 ,001 ,35 1,78
4% 0% ,500 ,260 ,308 -,22 1,22
2% -,567 ,260 ,192 -1,28 ,15
6% ,433 ,260 ,456 -,28 1,15
8% ,500 ,260 ,308 -,22 1,22
6% 0% ,067 ,260 ,999 -,65 ,78
2% -1,000* ,260 ,002 -1,72 -,28
4% -,433 ,260 ,456 -1,15 ,28
8% ,067 ,260 ,999 -,65 ,78
8% 0% ,000 ,260 1,000 -,72 ,72
2% -1,067* ,260 ,001 -1,78 -,35
4% -,500 ,260 ,308 -1,22 ,22
6% -,067 ,260 ,999 -,78 ,65
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Lampiran 25 Analisis ragam kadar air biskuit dan uji lanjut Tukey

Source of SS df MS F Sig
Variation
Between 5,6355 3 1,8785 88,71 0,000
Group
Within 0,1694 8 0,0212
Group
Total 5,8049 11

Multiple Comparisons

Dependent Variable: air


Tukey HSD

Mean
(I) konsentrasi tepung (J) konsentrasi tepung Difference 95% Confidence Interval
tulang ikan patin tulang ikan patin (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
biskuat 2% -.95000* .11881 .000 -1.3305 -.5695
0% -1.89333* .11881 .000 -2.2738 -1.5129
4% -1.28667* .11881 .000 -1.6671 -.9062
2% biskuat .95000* .11881 .000 .5695 1.3305
0% -.94333* .11881 .000 -1.3238 -.5629
4% -.33667 .11881 .084 -.7171 .0438
0% biskuat 1.89333* .11881 .000 1.5129 2.2738
2% .94333* .11881 .000 .5629 1.3238
4% .60667* .11881 .004 .2262 .9871
4% biskuat 1.28667* .11881 .000 .9062 1.6671
2% .33667 .11881 .084 -.0438 .7171
0% -.60667* .11881 .004 -.9871 -.2262
*. The mean difference is significant at the .05 level.

Keterangan : 0% = Biskuit kontrol (K)


2% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 2% (A)
4% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 4% (B)
Lampiran 26 Analisis ragam kadar abu biskuit dan uji lanjut Tukey

Source of SS df MS F Sig
Variation
Between 5,6355 3 1,8785 88,71 0,000
Group
Within 0,1694 8 0,0212
Group
Total 5,8049 11

Multiple Comparisons

Dependent Variable: abu


Tukey HSD

Mean
(I) konsentrasi tepung (J) konsentrasi tepung Difference 95% Confidence Interval
tulang ikan patin tulang ikan patin (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
biskuat 2% .22667 .08907 .126 -.0586 .5119
0% .70667* .08907 .000 .4214 .9919
4% -.32333* .08907 .028 -.6086 -.0381
2% biskuat -.22667 .08907 .126 -.5119 .0586
0% .48000* .08907 .003 .1948 .7652
4% -.55000* .08907 .001 -.8352 -.2648
0% biskuat -.70667* .08907 .000 -.9919 -.4214
2% -.48000* .08907 .003 -.7652 -.1948
4% -1.03000* .08907 .000 -1.3152 -.7448
4% biskuat .32333* .08907 .028 .0381 .6086
2% .55000* .08907 .001 .2648 .8352
0% 1.03000* .08907 .000 .7448 1.3152
*. The mean difference is significant at the .05 level.

Keterangan : 0% = Biskuit kontrol (K)


2% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 2% (A)
4% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 4% (B)
Lampiran 27 Analisis ragam kadar protein biskuit dan uji lanjut Tukey

Source of SS df MS F Sig
Variation
Between 3,9960 3 1,3320 46,68 0,000
Group
Within 0,2283 8 0,0285
Group
Total 4,2234 11

Multiple Comparisons

Dependent Variable: protein


Tukey HSD

Mean
(I) konsentrasi tepung (J) konsentrasi tepung Difference 95% Confidence Interval
tulang ikan patin tulang ikan patin (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
biskuat 2% -1.18000* .13792 .000 -1.6217 -.7383
0% -1.12000* .13792 .000 -1.5617 -.6783
4% -1.54000* .13792 .000 -1.9817 -1.0983
2% biskuat 1.18000* .13792 .000 .7383 1.6217
0% .06000 .13792 .971 -.3817 .5017
4% -.36000 .13792 .115 -.8017 .0817
0% biskuat 1.12000* .13792 .000 .6783 1.5617
2% -.06000 .13792 .971 -.5017 .3817
4% -.42000 .13792 .062 -.8617 .0217
4% biskuat 1.54000* .13792 .000 1.0983 1.9817
2% .36000 .13792 .115 -.0817 .8017
0% .42000 .13792 .062 -.0217 .8617
*. The mean difference is significant at the .05 level.

Keterangan : 0% = Biskuit kontrol (K)


2% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 2% (A)
4% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 4% (B)
Lampiran 28 Analisis ragam kadar lemak biskuit dan uji lanjut Tukey

Source of SS df MS F Sig
Variation
Between 38,046 3 12,682 49,54 0,000
Group
Within 2,048 8 0,256
Group
Total 40,094 11

Multiple Comparisons

Dependent Variable: lemak


Tukey HSD

Mean
(I) konsentrasi tepung (J) konsentrasi tepung Difference 95% Confidence Interval
tulang ikan patin tulang ikan patin (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
biskuat 2% -4.14333* .41310 .000 -5.4662 -2.8204
0% -4.18667* .41310 .000 -5.5096 -2.8638
4% -3.99667* .41310 .000 -5.3196 -2.6738
2% biskuat 4.14333* .41310 .000 2.8204 5.4662
0% -.04333 .41310 1.000 -1.3662 1.2796
4% .14667 .41310 .984 -1.1762 1.4696
0% biskuat 4.18667* .41310 .000 2.8638 5.5096
2% .04333 .41310 1.000 -1.2796 1.3662
4% .19000 .41310 .966 -1.1329 1.5129
4% biskuat 3.99667* .41310 .000 2.6738 5.3196
2% -.14667 .41310 .984 -1.4696 1.1762
0% -.19000 .41310 .966 -1.5129 1.1329
*. The mean difference is significant at the .05 level.

Keterangan : 0% = Biskuit kontrol (K)


2% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 2% (A)
4% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 4% (B)
Lampiran 29 Analisis ragam nilai pH biskuit dan uji lanjut Tukey

Source of SS df MS F Sig
Variation
Between 3,72447 3 1,24149 435,61 0,000
Group
Within 0,02880 8 0,00285
Group
Total 3,74727 11

Multiple Comparisons

Dependent Variable: pH
Tukey HSD

Mean
(I) konsentrasi tepung (J) konsentrasi tepung Difference 95% Confidence Interval
tulang ikan patin tulang ikan patin (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
biskuat 2% 1.34000* .07223 .000 1.1087 1.5713
0% 1.42667* .07223 .000 1.1954 1.6580
4% 1.35333* .07223 .000 1.1220 1.5846
2% biskuat -1.34000* .07223 .000 -1.5713 -1.1087
0% .08667 .07223 .644 -.1446 .3180
4% .01333 .07223 .998 -.2180 .2446
0% biskuat -1.42667* .07223 .000 -1.6580 -1.1954
2% -.08667 .07223 .644 -.3180 .1446
4% -.07333 .07223 .746 -.3046 .1580
4% biskuat -1.35333* .07223 .000 -1.5846 -1.1220
2% -.01333 .07223 .998 -.2446 .2180
0% .07333 .07223 .746 -.1580 .3046
*. The mean difference is significant at the .05 level.

Keterangan : 0% = Biskuit kontrol (K)


2% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 2% (A)
4% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 4% (B)
Lampiran 30 Analisis ragam kadar kalsium biskuit dan uji lanjut Tukey

Source of SS df MS F Sig
Variation
Between 14,1638 3 4,7213 277,45 0,000
Group
Within 0,1361 8 0,0170
Group
Total 14,2999 11

Multiple Comparisons

Dependent Variable: kalsium


Tukey HSD

Mean
(I) konsentrasi tepung (J) konsentrasi tepung Difference 95% Confidence Interval
tulang ikan patin tulang ikan patin (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
biskuat 2% 1.36333* .10651 .000 1.0222 1.7044
0% 2.58000* .10651 .000 2.2389 2.9211
4% -.04667 .10651 .970 -.3878 .2944
2% biskuat -1.36333* .10651 .000 -1.7044 -1.0222
0% 1.21667* .10651 .000 .8756 1.5578
4% -1.41000* .10651 .000 -1.7511 -1.0689
0% biskuat -2.58000* .10651 .000 -2.9211 -2.2389
2% -1.21667* .10651 .000 -1.5578 -.8756
4% -2.62667* .10651 .000 -2.9678 -2.2856
4% biskuat .04667 .10651 .970 -.2944 .3878
2% 1.41000* .10651 .000 1.0689 1.7511
0% 2.62667* .10651 .000 2.2856 2.9678
*. The mean difference is significant at the .05 level.

Keterangan : 0% = Biskuit kontrol (K)


2% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 2% (A)
4% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 4% (B)
Lampiran 31 Analisis ragam kadar fosfor biskuit dan uji lanjut Tukey

Source of SS df MS F Sig
Variation
Between 15,1414 3 5,0471 197,41 0,000
Group
Within 0,2045 8 0,0256
Group
Total 15,3459 11

Multiple Comparisons

Dependent Variable: fosfor


Tukey HSD

Mean
(I) konsentrasi tepung (J) konsentrasi tepung Difference 95% Confidence Interval
tulang ikan patin tulang ikan patin (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
biskuat 2% -.82667* .13055 .001 -1.2447 -.4086
0% .21667 .13055 .402 -.2014 .6347
4% -2.63667* .13055 .000 -3.0547 -2.2186
2% biskuat .82667* .13055 .001 .4086 1.2447
0% 1.04333* .13055 .000 .6253 1.4614
4% -1.81000* .13055 .000 -2.2281 -1.3919
0% biskuat -.21667 .13055 .402 -.6347 .2014
2% -1.04333* .13055 .000 -1.4614 -.6253
4% -2.85333* .13055 .000 -3.2714 -2.4353
4% biskuat 2.63667* .13055 .000 2.2186 3.0547
2% 1.81000* .13055 .000 1.3919 2.2281
0% 2.85333* .13055 .000 2.4353 3.2714
*. The mean difference is significant at the .05 level.

Keterangan : 0% = Biskuit kontrol (K)


2% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 2% (A)
4% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 4% (B)
Lampiran 32 Analisis ragam kadar karbohidrat by difference biskuit dan uji lanjut
Tukey

Source of SS df MS F Sig
Variation
Between 100,176 3 33,392 56,32 0,000
Group
Within 4,743 8 0,593
Group
Total 104,920 11

Multiple Comparisons

Dependent Variable: karbohidrat


Tukey HSD

Mean
Difference 95% Confidence Interval
(I) biskuit (J) biskuit (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
kontrol A -.35000 .62872 .942 -2.3634 1.6634
B .60667 .62872 .772 -1.4067 2.6200
komersil -6.54000* .62872 .000 -8.5534 -4.5266
A kontrol .35000 .62872 .942 -1.6634 2.3634
B .95667 .62872 .469 -1.0567 2.9700
komersil -6.19000* .62872 .000 -8.2034 -4.1766
B kontrol -.60667 .62872 .772 -2.6200 1.4067
A -.95667 .62872 .469 -2.9700 1.0567
komersil -7.14667* .62872 .000 -9.1600 -5.1333
komersil kontrol 6.54000* .62872 .000 4.5266 8.5534
A 6.19000* .62872 .000 4.1766 8.2034
B 7.14667* .62872 .000 5.1333 9.1600
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Lampiran 33 Analisis ragam berat biskuit

Source of SS df MS F Sig
Variation
Between 2,250000 3 0,750000 0,00 0,00
Group
Within 0,000000 8 0,000000
Group
Total 2,250000 11

Lampiran 34 Analisis ragam ketebalan biskuit

Source of SS df MS F Sig
Variation
Between 9,000000 3 3,000000 0,00 0,00
Group
Within 0,000000 8 0,000000
Group
Total 9,000000 11

Lampiran 35 Analisis ragam diameter biskuit

Source of SS df MS F Sig
Variation
Between 0,2025000 3 0,0675000 0,00 0,00
Group
Within 0,0000000 8 0,0000000
Group
Total 0,2025000 11
Lampiran 36 Analisis ragam kekerasan biskuit dan uji lanjut Tukey

Source of SS df MS F Sig
Variation
Between 172058 3 57353 21,10 0,000
Group
Within 21747 8 2718
Group
Total 193805 11

Multiple Comparisons

Dependent Variable: kekerasan


Tukey HSD

Mean
(I) konsentrasi tepung (J) konsentrasi tepung Difference 95% Confidence Interval
tulang ikan patin tulang ikan patin (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
biskuat 2% -262.50333* 42.57051 .001 -398.8291 -126.1776
0% -233.33667* 42.57051 .003 -369.6624 -97.0109
4% -311.11667* 42.57051 .000 -447.4424 -174.7909
2% biskuat 262.50333* 42.57051 .001 126.1776 398.8291
0% 29.16667 42.57051 .900 -107.1591 165.4924
4% -48.61333 42.57051 .676 -184.9391 87.7124
0% biskuat 233.33667* 42.57051 .003 97.0109 369.6624
2% -29.16667 42.57051 .900 -165.4924 107.1591
4% -77.78000 42.57051 .329 -214.1058 58.5458
4% biskuat 311.11667* 42.57051 .000 174.7909 447.4424
2% 48.61333 42.57051 .676 -87.7124 184.9391
0% 77.78000 42.57051 .329 -58.5458 214.1058
*. The mean difference is significant at the .05 level.

Keterangan : 0% = Biskuit kontrol (K)


2% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 2% (A)
4% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 4% (B)
Lampiran 37 Perhitungan nilai kalori per 100 g biskuit

1. Biskuit komersial

Nilai kalori = 9 × 15,96 ÷ 4 × 6.52 ÷ 4 × 73.11


= 462,16 kal

2. Biskuit K

Nilai kalori = 9 × 20,14 ÷ 4 × 7,64 ÷ 4 × 66,57


= 478,10 kal

3. Biskuit A

Nilai kalori = 9 × 20,10 ÷ 4 × 7,70 ÷ 4 × 66,92


= 479,38 kal

4. Biskuit B

Nilai kalori = 9 × 19,95 ÷ 4 × 8,06 ÷ 4 × 65,96


= 475,63 kal

Dengan demikian nilai kalori kedua formulasi biskuit sesuai dengan


standar nilai kalori biskuit yang ditetapkan dalam SNI 01-2973-1992 yaitu sebesar
minimum 400 kal/100 g.
Lampiran 38 Tepung tulang ikan patin

METODE BASAH

METODE KERING
Lampiran 39 Biskuit hasil formulasi dengan penambahan tepung tulang ikan

Biskuit K Biskuit A

Biskuit B

Biskuit C Biskuit D
Lampiran 40 Tulang ikan patin utuh

Lampiran 41 Tulang ikan patin yang sudah mengalami pengecilan ukuran


Lampiran 42 Tulang ikan patin siap diolah menjadi tepung

Lampiran 43 Perhitungan kadar kalsium dan fosfor pada biskuit A

Kadar kalsium dalam biskuit A = 2,13 mg / 213 mg/100 g bk


Kadar air = 3,58%
100 g berat kering = g berat basah – (3,58%bb)
Berat basah = 103,58 g
Kalsium dalam biskuit A = 213 mg/100 g bk
= 213 mg/ 103,58 g biskuit
= 2,06 mg/ g biskuit
Kadar kalsium biskuit per takaran saji (35 g)
= 2,06 mg/ g biskuit x 35 g
= 72,10 mg
% AKG = (72,10 / 800 mg) x 100%
= 9,01%
Kadar fosfor dalam biskuit A = 1,48 mg / 148 mg/100 g bk
Kadar air = 3,58%
100 g berat kering = g berat basah – (3,58%bb)
Berat basah = 103,58 g
Fosfor dalam biskuit A = 148 mg/100 g bk
= 148 mg/ 103,58 g biskuit
= 1,43 mg/ g biskuit
Kadar fosfor biskuit per takaran saji (35 g)
= 1,43 mg/ g biskuit x 35 g
= 50,05 mg
% AKG = (50,05 / 600 mg) x 100%
= 8,34%

Lampiran 44 Perhitungan kadar protein dan lemak pada biskuit A

Kadar protein dalam biskuit A = 7,72% = 7,72 g/100 g biskuit


Kadar air = 3,58%
100 g berat kering = g berat basah – (3,58%bb)
Berat basah = 103,58 g
Protein dalam biskuit A = 7,72 g/100 g bk
= 7,72 g/ 103,58 g biskuit
= 0,07 g/ g biskuit
Kadar protein biskuit per takaran saji (35 g)
= 0,07 g/ g biskuit x 35 g
= 2,45 g
% AKG = (2,45 g/60 g) x 100%
= 4,08%

Kadar lemak dalam biskuit A = 20,22% = 20,22 g/ 100 g biskuit


Kadar air = 3,58%
100 g berat kering = g berat basah – (3,58%bb)
Berat basah = 103,58 g
Lemak dalam biskuit A = 20,22 g/100 g bk
= 20,22 g/ 103,58 g biskuit
= 0,20 g/ g biskuit
Kadar kalsium biskuit per takaran saji (35 g)
= 0,20 g/ g biskuit x 35 g
= 7,00 g
% AKG = (7,77 g/85 g) x 100%
= 8,23%

Вам также может понравиться