Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Elang Jawa , 16 jenis Kelelawar dan juga berbagai macam jenis Kupu-Kupu. Disamping itu, Taman
Nasional ini juga banyak terdapat habitat-habitat yang langka yang sudah banyak punah, hanya
sebagian saja yang memang memelihara dan melindungi hewan langka tersebut. Adapun beberapa
macam habitat satwa yang langka diantaranya : Gajah Sumatra (Elephas maximus), Harimau Loreng
Sumatra (Panthera tigris sumatraensis), Rusa (Cervus unicolor), Siamang (Hylobates syndactylus), Lutung
(Presbytis cristata) dan masih banyaklagi nama-nama hewant langka yang hidup di Taman ini, juga
sebagai perlindungan Hidro-orologis Daerah Aliran Sungai (DAS) Kuantan Indragiri.
Di dalamnya terdapat sekitar 660 spesies tumbuh-tumbuhan, 246 di
antaranya adalah tumbuhan obat-obatan yang sering dimanfaatkan oleh
penduduk setempat. Sebanyak 550 spesies merupakan spesies langka yang
sudah didata, dikumpulkan, dan dipelihara. Adapun jenis spesies langka
tersebut di antaranya adalah cendawan muka rimau (rafflessia hasselti),
jernang (daemonorops draco), pulai (alstonia scholaris), getah merah
(palaguyum sopi), jelutung (dyeracosculata), dan lain-lain.
Selain itu, di kawasan taman nasional ini juga terdapat pohon nibung
(oncosperma tigilarium), sejenis palem liar, mirip pohon pinang, yang
secara spesifik tergolong dari suku palmae. Pohon ini tumbuh secara
berumpun, berbatang lurus, yang memiliki ketinggian mencapai 20—30
meter. Habitat tumbuhan jenis ini adalah di hutan-hutan pantai, air payau,
dan berkembang secara alami. Bagi masyarakat Riau, pohon nibung
memiliki makna tersendiri, yaitu sebagai simbol semangat persatuan dan
persaudaraan masyarakat Riau. Oleh Pemerintah Propinsi Riau, pohon ini
kemudian dijadikan sebagai maskot Propinsi Riau.
Bukit Tiga Puluh
Kawasan hutan Bukit Tigapuluh, dengan luas sekitar 508.000 hektar dataran rendah
dan hutan perbukitan yang terbentang antara Provinsi Riau dan Jambi memiliki tingkat
keragaman hayati yang tergolong paling tinggi di dunia. Bukit Tigapuluh mencakup satu
dari sedikit dataran rendah kering tak terfragmentasi yang tersisa di Sumatera. Hutan ini
juga menjadi tempat perlindungan terakhir bagi tiga dari empat satwa kunci
Sumatera: orangutan, gajah, dan harimau, beserta sekitar 250 spesies burung dan
mamalia.
Daerah pedalaman dan daerah tercuram dari hutan tersebut seluas 144.000 hektar
dilindungi sebagai Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Daerah landai sekitarnya, yang
sangat ideal untuk habitat gajah dan orangutan, masih tetap tidak dijadikan kawasan
lindung.
Hingga 2006, kawasan hutan ini secara relatif masih bebas dari konversi hutan
komersial berskala besar karena strukturnya yang berbukit. Sayangnya, setelah
kepolisian melumpuhkan upaya pembalakan liar di Provinsi Riau, aktivitas tersebut
berpindah ke Provinsi Jambi dan mengancam kawasan Bukit Tigapuluh. Kawasan
tersebut akan segera terbagi dua oleh jalur besar penebangan kayu yang legalitasnya
dipertanyakan yang menghubungkan konsesi hutan yang diasosiasikan
dengan APP dengan pabrik pengolahan bubur kayu milik perusahaan tersebut di
Provinsi Riau dan Jambi.
Suku Asli Talang Mamak dan Orang Rimba (juga disebut suku Kubu) tinggal di kawasan
Bukit Tigapuluh. Talang mamak merupakan suku yang berdiam di kawasan Bukit
Tigapuluh, sementara Suku Orang Rimba hidup nomaden dan sekitar 3000 anggotanya
hidup di wilayah Jambi. Mereka berpindah melalui hutan alami dan bergantung pada
sumberdaya alam yang dihasilkan oleh hutan dan sungai untuk bertahan hidup.
Kawasan Bukit Tigapuluh dinyatakan sebagai satu dari 20 kawasan prioritas global
untuk konservasi harimau oleh pakar spesialis harimau global pada tahun 2006.
Kawasan ini juga dijadikan daerah konservasi bagi proyek pelepasliaran orangutan
Sumatera yang telah berjalan dengan baik. Sebanyak 90 ekor kini hidup di kawasan
yang statusnya diajukan sebagai kawasan lindung tetapi telah dirambah oleh
perusahaan yang terafiliasi dengan APP. Saat ini Bukit Tigapuluh merupakan satu-
satunya habitat liar yang tersisa bagi kera besar ini selain Aceh dan Sumatera Utara.
© WWF-Indonesia/Sunarto
LINK TERKAIT
Siaran Pers bersama lima LSM terkait Bukit Tigapuluh
© WWF-Indonesia/Bambang Bider
Taman Nasional Bukit Tigapuluh yang berada di Provinsi Riau dan Provinsi Jambi,
memiliki ekosistem yang unik, berdasarkan topografinya kawasan ini dikategorikan
sebagai hutan hujan tropis dataran rendah. Sebelum ditetapkan sebagai taman Nasional
pada tahun 1995, Bukit Tigapuluh adalah dua Hutan Lindung, yaitu Hutan Lindung
Haposipin dan Hutan Lindung Sengkati, keduanya dikelilingi oleh area Hutan Produksi
Terbatas (HPH) aktif.
Taman Nasional Bukit Tigapuluh memiliki kondisi hutan dan ekosistem yang masih baik.
Satu-satunya kawasan hutan dataran rendah yang masih tersisa di Sumatera bagian
tengah. Kawasan ini juga menjadi salah satu kawasan vital bagi pelestarian flora dan
fauna penting Pulau Sumatera, seperti Harimau, Gajah, dan Orangutan.
Namun area penyangga Taman Nasional kini semakin tipis, artinya semakin banyak
akses untuk menjanggkau ke dalam kawasan konservasi. Ada tiga ancaman utama
yang selalu mengintai kelestarian Taman Nasional Bukit Tigapuluh, yaitu penebangan
liar, alih fungsi lahan dan juga perburuan satwa.
Penebangan Liar
Walau jumlahnya sangat kecil, ada beberapa lokasi yang rentan terjadinya penebangan
liar, di antaranya kawasan Telluk Keritang-Simpang Datai, Rantau Langsat Sungai Akar,
Usul, Alim, Puntianai, Pemayungan, Suo-Suo dan Semambu. Umumnya para pencuri
kayu akan memotong-motong hasil tebangan langsung di dalam kawasan, karena tidak
banyak cara untuk bisa mengangkut kayu secara gelondongan. Jalan bekas HPH
menjadi jalur untuk mengangkut kayu keluar dari kawasan taman nasional. Dari
berbagai hasil penangkapan yang dilakukan Polisi Hutan dari Balai Taman Nasional
Bukit Tigapuluh, umumnya pelaku penebangan adalah masyarakat dari luar kawasan.
Perburuan Satwa
Salah satu target utama perburuan satwa di Taman Nasional Bukit Tigapuluh, adalah
Harimau Sumatera. Para Pemburu umumnya menggunakan jerat berbahan tali baja,
yang dipasang di area-area lintasan Harimau. Selain harimau, satwa lain yang sering
menjadi incaran adalah berbagai jenis burung, seperti MUrai Batu, dan burung Beo.
Perambahan Hutan
Perambahan atau alih fungsi lahan yang terjadi di dalam kawasan Taman Nasional Bukit
Tigapuluh, diperkirakan kini mencapai 5-10% dari total luas kawasan. Umumnya
digunakan sebagai area kebun, dan tanaman sawit.
© Des Syafrizal/WWF-IndonesiaEnlarge
RELATED LINKS
Bukit Tigapuluh: Ekosistem Hutan Dataran Rendah Terakhir di Sumatera Bagian Tengah
© Des Syafrizal/WWF-IndonesiaEnlarge
©
Bukit Tiga Puluh terkenal dengan kekayaan flora dan faunanya. Beberapa jenis
fauna masih bisa kita jumpai di kawasan ini. Mulai dari Harimau Sumatera, Beruang
Madu, Tapir, Siamang, Rusa, Babi Hutan, Burung Rangkong, Kuaw, dan aneka
satwa lainnya.
Sedangkan jenis flora langka yang diduga endemik di kawasan ini adalah Cendawan
Muka Rimau (Raflesia haseltii) dan Salo (Johannes tesmania altrifons). Tidak kurang
dari 1500 jenis tumbuhan terdapat di kawasan ini. Didominasi oleh tumbuhan seperti
Terap, Kepinis dan Meranti.
Di kawasan ini juga tumbuh Bunga Bangkai (Amorphophallus) yang banyak
ditemukan di daerah penyangga TNBT. Bila beruntung, kita bisa menyaksikan bunga
ini mekar dengan ketinggian mencapai 3 meter dengan ciri berwarna loreng hitam
kecoklatan dan hijau tua.
Selain merupakan habitat flora dan fauna langka dan dilindungi, kawasan
TNBT juga merupakan tempat hidup dan bermukim beberapa komunitas suku
pedalaman seperti, Suku Talang Mamak, Suku Kubu (Anak Rimba) dan Suku
Melayu Tua. Menjadikan kawasan ini sangat menarik untuk dijelajahi.
Serunya petualangan sudah bisa dirasakan saat mulai memasuki kawasan ini. Tak
mudah untuk mencapai Camp Granit, tempat pengunjung biasanya menginap.
Kondisi jalannya cukup ekstrem menuju, hanya mobil dengan spesifikasi tertentu yang bisa
melewatinya. Bila tak hati-hati, parit-parit besar yang ada di kiri dan kanan jalan akan membuat mobil
terperosok. Foto: Rio Sunera / tripriau.com
Kondisi jalannya cukup ekstrem. Cuma mobil berstandar off road yang mampu
melewati jalan ini. Bila tak hati-hati, parit-parit besar yang ada di kiri dan kanan jalan
akan membuat mobil terperosok. Adrenalin makin terpacu saat melewati medan
berat ini.
Dari Jalan Lintas Riau-Jambi, Camp Granit biasanya bisa ditempuh selama lebih
kurang 30 menit. Namun, saat musim hujan, rutenya jadi licin. Mobil pun kerap
terjebak di medan yang terjal ini. Perjalanan pun menjadi lebih lama.
Pengalaman langka di kawasan taman nasional ini dimulai dengan menyaksikan
cuplikan video Harimau Sumatera. Petugas Balai TNBT, mempertontonkan rekaman
video Harimau Sumatera yang tertangkap kamera trap.
Camp Granit tempat biasa wisatawan menginap di TNBT. Foto: Rio Sunera / tripriau.com
Menurut Andi Munandar, Staf di Balai TNBT, sudah ada sekitar 26 ekor Harimau
Sumatera yang terpantau oleh kamera. Kamera-kamera ini awalnya dipasang tak
jauh dari Camp Granit.
‘’Awal-awal kita memasang kamera di sekitar Camp Granit, baru kemudian
menyebar ke wilayah-wilayah pinggiran kawasan. Untuk sementara (dipasang)
masih di Riau. (Wilayah) Jambi belum tercover karena jumlah orang dan kamera
yang masih sedikit,’’ kata Andi.
Dalam video yang ditampilkan di layar besar, terlihat jelas beberapa ekor harimau
melintas di kawasan taman nasional ini. Ada yang terlihat berjalan sendirian, ada
juga yang berkelompok. Paling banyak berjumlah 4 ekor yang berjalan beriringan.
Menurut Andi, yang berkelompok ini kemungkinan induk dan anaknya.
Menyusuri Sungai Gangsal yang masih asri. Arusnya deras, sementara airnya jernih. Foto: Rio Sunera
/ tripriau.com
Sungai Gangsal ini cukup unik. Arusnya deras. Sementara airnya jernih. Bebatuan hitam bisa
kita lihat di sungai ini. Sepanjang perjalanan menuju Dusun Pengayauan, berbagai pepohonan
dan burung-burung menjadi pemandangan menarik.
Pesona wisata di taman nasional ini terus berlanjut. Sampai di Dusun Pengayauan,
kami disambut oleh atraksi gambus tradisional yang dimainkan orang-orang Talang
Mamak.
Masyarakat Talang Mamak, yakni Pak Tatung, Pak Ibun, dan Pak Subuh, bergantian
menghibur kami. Petikan-petikan dawai yang mereka mainkan menghadirkan aura
tersendiri. Mempertegas identitas Taman Nasional Bukit Tiga Puluh sebagai salah
satu destinasi wisata minat khusus terbaik di Provinsi Riau.
Pak Ibun (60), merupakan salah satu pemain gambus tradisional yg ada di Dusun Pengayauan, salah
satu kawasan penyangga Bukit Tiga Puluh. Foto: Rio Sunera / tripriau.com
Fauna
(https://dtechnoindo.blogspot.co.id)
Bagi masyarakat Riau, burung yang sangat lincah dan berani ini adalah
lambang dari sifat positif, seperti kebijaksanaan, keberanian, kesetiaan,
kerendahan hati, dan kearifan. Untuk itu, burung ini juga ditetapkan
sebagai maskot Propinsi Riau, selain pohon nibung.
Suku Asli
Suku
Talang Mamak (https://mytrip.co.id)
Tempat tinggal Suku Talang Mamak dan Suku Kubu, dua suku yang
dianggap sebagai keturunan ras Proto-Melayu. Menurut data yang
dikeluarkan Pemerintah Propinsi Riau pada tahun 2001, jumlah orang
Talang Mamak terbilang sangat sedikit, yaitu hanya 164 jiwa, yang tersebar
di dusun-dusun seperti Rantaulangsat, Airbaubau, Nanusan, dan Siamang.
Sedangkan jumlah Suku Kubu sampai saat ini belum diketahui secara pasti,
karena hidupnya yang berpindah-pindah dan berpencar-pencar.
Wisata
Taman Nasional Bukit Tiga Puluh
(https://dtechnoindo.blogspot.co.id)
Taman Nasional Bukit Tigapuluh
Sejarah Taman Nasional Bukit Tigapuluh (127,698 hektar) ditetapkan pada Tanggal 5
Oktober 1995 oleh Menteri Kehutanan melalui KepMenHut No. 539/Kpts-II/1995
Peta
Ancaman Illegal loggingDi sekitar kawasan TNBT ditemukan beberapa lokasi areal
Utama penebangan hutan secara liar, diantaranya di kawasan Teluk Keritang-Simpang
Datai, Sungai Akar, Rantau Langsat, Usul, Alim, Puntianai, Pemayungan, Suo-Suo
dan Semambu. Penebangan liar ini dilakukan baik oleh perseorangan maupun
kelompok. Sebagai jalur mengangkut kayu keluar digunakan bekas jalan HPH.
Kegiatan penebangan liar ini meningkat pada musim kemarau.Perburuan liar
Berdasarkan laporan WWF Tiger Project, harimau sering diburu oleh
masyarakat lokal bekerjasama dengan jaringan pengedar satwa illegal.
Selain harimau, perburuan burung juga kerap terjadi. Perburuan lebih
banyak dilakukan oleh masyarakat luar taman nasional. Burung yang
paling banyak diburu adalah murai batu dan beo (tiung). Perburuan
juga terjadi pada jenis labi -labi yang umumnya dilakukan oleh Orang
Kubu dan Talang Mamak.
Perladangan berpindah
Penduduk lokal tradisional di TNBT khususnya Talang Mamak dan
Melayu setiap tahunnya melakukan perladangan berpindah. Pembukaan
ladang berpindah yang dilakukan masyarakat per tahunnya rata -rata 1
– 2 ha/tahun/KK. Ladang yang telah dibuka ditanami maksimal 2 kali
atau 2 tahun. Akhir-akhir ini mereka mengintegrasikan penanaman
karet dan perladangan berpindah, sehingga setiap tahunnya
membutuhkan lahan untuk penanaman padi dengan kemampuan 1 – 2
ha/tahun.
Transmigrasi
Sejak kawasan TNBT ditunjuk pada tahun 1995, ada pemukiman
transmigrasi yang ditempatkan berdekatan dengan kawasan TNBT
yaitu UPT Puntianai yang dibangun tahun 1996. Awalnya penduduk
yang ditempatkan di sini sebanyak 350 KK yang terdiri dari
masyarakat Melayu, Jawa dan Batak. Adanya hak istimewa yang
diberikan bagi masyarakat Melayu setempat yang berasal dari Desa
Sipang dan Alim untuk membuka hutan di sekitar areal transmigrasi
untuk perladangan dan perkebunan menjadi ancaman untuk keutuhan
kawasan.
Luas
Sejarah
Letak Geografis
Temperatur
28° – 37° C
Peta
Kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh memiliki keanekaragaman jenis
tumbuhan yang tergolong tinggi. Sesuai dengan letak geografisnya, tumbuhan yang
dominan relatif sama dengan tumbuh-tumbuhan hujan tropika dataran rendah yang
ada di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan dan Semenanjung Melayu. Namun
demikian berdasarkan penelitian dan eksplorasi botani yang telah dilakukan telah
terindentifikasi 176 jenis tumbuhan dan ditemukan beberapa spesies yang unik dan
diduga langka diantaranya: cendawan muka rimau (Rafflesia hasseltii), salo
(Johannesteijsmannia altifrons), mapau (Pinanga multiflora), mapau kalui (Iguanura
wallichiana), jelutung (Dyera costulata), jernang (Daemonorops draco),
meranti (Shorea peltata), kayu gaharu ( Aquilaria malacensis), rotan (Calamus
ciliaris dan Calamus exilis), ramin (Gonistylus bancanus), kemenyan (Styrax
benzoin), pasak bumi (Eurycoma longifolia), pinang bacung (Nenga sp.), kabau tupai
(Archidendron bubalinum), akar mendera (Phanera kochiana), keduduk rimba
(Baccaurea racemosa), dan silima tahun (Baccaurea stipulata).Cendawan muka
rimau merupakan tumbuhan khas dan endemik
Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Jenis flora lainya antara lain getah merah
(Palaquium spp), pulai (Alstonia scolaris ), kempas (Koompassia excelsa), rumbai
( Shorea spp ), medang (Litsea sp, Dehaasia sp), kulit sapat (Parashorea sp), bayur
(Pterospermum javanicum), kayu kelat ( Eugenia sp), dan kasai (Pometia pinnata).
Beberapa sumberdaya tumbuhan yang ada di dalam dan sekitar Taman Nasional
Bukit Tigapuluh telah dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk kebutuhan
pengobatan.
Fauna Taman
Nasional Bukit
Tigapuluh
Tercatat minimal 134 jenis serangga di dalam dan sekitar kawasan Taman Nasional
Bukit Tigapuluh. Melihat potensinya, kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh
merupakan salah satu kawasan riset serangga yang menarik di Pulau
Sumatera.Keanekaragaman jenis ikannya menurut Siregar et al. (1994) mencakup
25 famili, 52 genus, dan 97 spesies. Selain itu 18 jenis kelelawar hidup di kawasan
Taman Nasional Bukit Tigapuluh.