Вы находитесь на странице: 1из 15

MEKANISME KERJA

Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon


memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif. Hanya di jaringan target hormon
ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan membentuk
kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak
menuju nucleus dan berikatan dengan kromatin.Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan
sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik
steroid.

Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi dan sintesis
protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblast hormon steroid
merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid,
hal ini menimbulkan efek katabolik

FARMAKOKINETIK

Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami. Kortisol (juga


disebut hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk regulasi metabolisme
perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan dan imunitas. Sintesis dan sekresinya
diregulasi secara ketat oleh sistem saraf pusat yang sangat sensitif terhadap umpan balik
negatif yang ditimbulkan oleh kortisol dalam sirkulasi dan glukokortikoid eksogen (sintetis).
Pada orang dewasa normal, disekresi 10-20 mg kortisol setiap hari tanpa adanya stres. Pada
plasma, kortisol terikat pada protein dalam sirkulasi. Dalam kondisi normal sekitar 90%
berikatan dengan globulin-2 (CBG/ corticosteroid-binding globulin), sedangkan sisanya
sekitar 5-10% terikat lemah atau bebas dan tersedia untuk digunakan efeknya pada sel target.
Jika kadar plasma kortisol melebihi 20-30%, CBG menjadi jenuh dan konsentrasi kortisol
bebas bertambah dengan cepat. Kortikosteroid sintetis seperti dexamethason terikat dengan
albumin dalam jumlah besar dibandingkan CBG.

Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit, waktu paruh
dapat meningkat apabila hydrocortisone (prefarat farmasi kortisol) diberikan dalam jumlah
besar, atau pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau penyakit hati. Hanya 1% kortisol
diekskresi tanpa perubahan di urine sebagai kortisol bebas, sekitar 20% kortisol diubah
menjadi kortison di ginjal dan jaringan lain dengan reseptor mineralokortikoid sebelum
mencapai hati.
Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan
lama kerja juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Prednisone
adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh.

Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva, dan ruang sinovial.
Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek
sistemik, antara lain supresi korteks adrenal.

FARMAKODINAMIK

Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak; dan


mempengaruhi juga fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf, dan organ
lain. Korteks adrenal berfungsi homeostatik, artinya penting bagi organisme untuk dapat
mempertahankan diri dalam menghadapi perubahan lingkungan.

Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya dosis, makin besar


dosis terapi makin besar efek yang didapat. Tetapi disamping itu juga ada keterkaitan kerja
kortikosteroid dengan hormon-hormon lain. Peran kortikosteroid dalam kerjasama ini disebut
permissive effects, yaitu kortikosteroid diperlukan supaya terjadi suatu efek hormon lain,
diduga mekanismenya melalui pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang
mengubah respon jaringan terhadap hormon lain. Misalnya otot polos bronkus tidak akan
berespon terhadap katekolamin bila tidak ada kortikosteroid, dan pemberian kortikosteroid
dosis fisiologis akan mengembalikan respon tersebut.

Suatu dosis kortikosteroid dapat memberikan efek fisiologik atau farmakologik,


tergantung keadaan sekitar dan aktivitas individu. Misalnya, hewan tanpa kelenjar adrenal
yang berada dalam keadaan optimal hanya membutuhkan kortikosteroid dosis kecil untuk
dapat mempertahankan hidupnya. Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam
aktivitas biologik, umumnya potensi sediaan alamiah maupun yang sintetik, ditentukan oleh
besarnya efek retensi natrium dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat
antiinflamasinya.

Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan atas dua golongan besar, yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid. Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan
glikogen hepar dan efek anti-inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan
elektrolit kecil. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol. Sebaliknya golongan
mineralokortikoid efek utamanya adalah terhadap keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan
pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat kecil. Prototip golongan ini adalah
desoksikortikosteron. Umumnya golongan

mineralokortikoid tidak mempunyai khasiat anti-inflamasi yang berarti, kecuali 9 α-


fluorokortisol.

Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan masa


kerjanya, antara lain kerja singkat (<12 jam), kerja sedang (12-36 jam), dan kerja lama (>36
jam).

Tabel perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa sediaan kortikosteroid.

Potensi Dosis
Lama
Kortikosteroid Retensi Anti- ekuivalen
kerja
natrium inflamasi (mg)*
Kortisol 1 1 8-12 jam 20
(hidrokortison)
Kortison 0,8 0,8 8-12 jam 25
Kortikosteron 15 0,35 8-12 jam -
6-α-metilprednisolon 0,5 5 12-36 jam 4
Fludrokortison 125 10 12-36 jam -
(mineralokortikoid)
Prednisone 0,8 4 12-36 jam 5
Prednisolon 0,8 4 12-36 jam 5
Triamsinolon 0 5 12-36 jam 4
Parametason 0 10 36-72 jam 2
Betametason 0 25 36-72 jam 0,75
Deksametason 0 25 36-72 jam 0,75
Keterangan:

* hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV.

Pengaruh kortikosteroid terhadap fungsi dan organ tubuh ialah sebagai berikut:

Metabolisme.

Metabolisme karbohidrat dan protein. Glukokortikoid meningkatkan kadar glukosa darah


sehingga merangsang pelepasan insulin dan menghambat masuknya glukosa ke dalam sel
otot. Glukokortikoid juga merangsang lipase yang sensitive dan menyebabkan lipolisis.
Peningkatan kadar insulin merangsang lipogenesis dan sedikit menghambat lipolisis sehingga
hasil akhirnya adalah peningkatan deposit lemak, peningkatan pelepasan asam lemak, dan
gliserol ke dalam darah. Efek ini paling nyata pada kondisi puasa, dimana kadar glukosa otak
dipertahankan dengan cara glukoneogenesis, katabolisme protein otot melepas asam amino,
perangsangan lipolisis, dan hambatan ambilan glukosa di jaringan perifer.

Hormone ini menyebabkan glukoneogenesis di perifer dan di hepar. Di perifer steroid


mempunyai efek katabolic. Efek katabolik inilah yang menyebabkan terjadinya atrofi
jaringan limfoid, pengurangan massa jaringan otot, terjadi osteoporosis tulang, penipisan
kulit, dan keseimbangan nitrogen menjadi negative. Asam amino tersebut dibawa ke hepar
dan digunakan sebagai substrat enzim yang berperan dalam produksi glukosa dan glikogen.

Metabolisme lemak. Pada penggunaan glukokortikoid dosis besar jangka panjang atau pada
sindrom cushing, terjadi gangguan distribusi lemak tubuh yang khas. Lemak akan terkumpul
secara berlebihan pada depot lemak; leher bagian belakang (buffalo hump), daerah
supraklavikula dan juga di muka (moon face), sebaliknya lemak di daerah ekstremitas akan
menghilang.

Keseimbangan air dan elektrolit. Mineralokortikoid dapat meningkatkan reabsorpsi Na+


serta ekskresi K+ dan H+ di tubuli distal. Dengan dasar mekanisme inilah, pada
hiperkortisisme terjadi: retensi Na yang disertai ekspansi volume cairan ekstrasel,
hipokalemia, dan alkalosis. Pada hipokortisisme terjadi keadaan sebaliknya: hiponatremia,
hiperkalemia, volume cairan ekstrasel berkurang dan hidrasi sel.

System kardiovaskular. Kortikosteroid dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular secara


langsung dan tidak langsung. Pengaruh tidak langsung ialah terhadap keseimbangan air and
elektrolit; misalnya pada hipokortisisme, terjadi pengurangan volume yang diikuti
peningkatan viskositas darah. Bila keadaan ini didiamkan akan timbul hipotensi dan akhirnya
kolaps kardiovaskular. Pengaruh langsung steroid terhadap sistem kardiovaskular antara lain
pada kapiler, arteriol, dan miokard.

Defisiensi kortikosteroid dapat menyebabkan hal-hal sebagai berikut: permeabilitas


dinding kapiler meningkat, respons vasomotor pembuluh darah kecil menurun, fungsi jantung
dan curah jantung menurun, sehingga pasien harus dimonitor untuk gejala dan tanda-tanda
edema paru.

Pada aldosteronisme primer gejala yang mencolok ialah hipertensi dan hipokalemia.
Hipokalemia diduga disebabkan oleh efek langsung aldosteron pada ginjal, sedangkan
hipertensi diduga akibat retensi Na yang berlebihan dan berlangsung lama yang dapat
menimbulkan edema antara dinding arteriol, akibatnya diameter lumen berkurang dan
resistensi pembuluh perifer akan bertambah.

Otot rangka. Untuk mempertahankan otot rangka agar dapat berfungsi dengan baik,
dibutuhkan kortiosteroid dalam jumlah cukup. Tetapi apabila hormon ini berlebihan, timbul
gangguan fungsi otot rangka tersebut. Disfungsi otot pada insufisiensi adrenal

diakibatkan oleh gangguan sirkulasi. Pada keadaan ini tidak terjadi kerusakan otot maupun
sambungan saraf otot. Pemberian transfuse atau kortisol dapat mengembalikan kapasitas
kerja otot. Kelemahan otot pada pasien aldosterisme primer, terutama karena adanya
hipokalemia. Pada pemberian glukokortikoid dosis besar untuk waktu lama dapat timbul
wasting otot rangka yaitu pengurangan massa otot, diduga akibat efek katabolik dan
antianaboliknya pada protein otot yang disertai hilangnya massa otot, penghambatan aktivitas
fosforilase, dan adanya akumulasi kalsium otot yang menyebabkan penekanan fungsi
mitokondria.

Susunan saraf pusat. Pengaruh kortikosteroid terhadap SSP dapat secara langsung dan tidak
langsung. Pengaruhnya secara tidak langsung disebabkan efeknya pada metabolisme
karbohidrat, sistem sirkulasi, dan keseimbangan elektrolit. Adanya efek steroid pada SSP ini
dapat dilihat dari timbulnya perubahan mood, tingkah laku, EEG, dan kepekaan otak,
terutama untuk penggunaan waktu lama atau pasien penyakit Addison.

Pengunaan glukokortikoid dalam waktu lama dapat menimbulkan serangkaian reaksi


yang berbeda-beda. Sebagian besar mengalami perbaikan mood yang mungkin disebabkan
hilangnya gejala penyakit yang sedang diobati; yang lain memperlihatkan keadaan euphoria,
insomnia, kegelisahan, dan peningkatan aktivitas motorik. Kortisol juga dapat menimbulkan
depresi. Pasien yang pernah mengalami gangguan jiwa sering memperlihatkan reaksi
psikotik.

Elemen pembentuk darah. Glukokortikoid dapat meningkatkan kadar hemoglobin dan


jumlah sel darah merah, hal ini terbukti dari seringnya timbul polisitemia pada sindrom
cushing. Sebaliknya pasien Addison dapat mengalami anemia normokromik, normositik yang
ringan.

Glukokortikoid juga dapat meningkatkan jumlah leukosit PMN, karena mempercepat


masuknya sel-sel tersebut ke dalam darah dari sumsum tulang dan mengurangi kecepatan
berpindahnya sel dari sirkulasi. Sedangkan jumlah sel limfosit, eosinofil, monosit, dan basofil
dapat menurun dalam darah setelah pemberian glukokortikoid.

Efek anti-inflamasi dan imunosupresif. Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah
atau menekan timbulnya gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau
alergen. Secara mikroskopik obat ini menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema,
deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis.
Selain itu juga dapat menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi
kapiler dan fibroblast, pengumpulan kolagen dan pembentukan sikatriks. Hal ini karena
efeknya yang besar terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit perifer dan juga
disebabkan oleh efek supresinya terhadap cytokyne dan chemokyne imflamasi serta mediator
inflamasi lipid dan glukolipid lainnya. Inflamasi, tanpa memperhatikan penyebabnya,
ditandai dengan ekstravasasi dan infiltrasi leukosit kedalam jaringan yang mengalami
inflamasi. Peristiwa tersebut diperantarai oleh serangkaian interaksi yang komplek dengan
molekul adhesi sel, khusunya yang berada pada sel endotel dan dihambat oleh
glukokortikoid. Sesudah pemberian dosis tunggal glukokortikoid dengan masa kerja pendek,
konsentrasi neutrofil meningkat , sedangkan limfosit, monosit dan eosinofil dan basofil dalam
sirkulasi tersebut berkurang jumlahnya. Perubahan tersebut menjadi maksimal dalam 6 jam
dan menghilang setelah 24 jam. Peningkatan neutrofil tersebut disebabkan oleh peningkatan
aliran masuk ke dalam darah dari sum-sum tulang dan penurunan migrasi dari pembuluh
darah, sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel pada tempat inflamasi.

Glukokortikoid juga menhambat fungsi makrofag jaringan dan sel penyebab antigen
lainnya. Kemampuan sel tersebut untuk bereaksi terhadap antigen dan mitogen diturunkan.
Efek terhadap makrofag tersebut terutama menandai dan membatasi kemampuannya untuk
memfagosit dan membunuh mikroorganisme serta menghasilkan tumor nekrosis factor-a,
interleukin-1, metalloproteinase dan activator plasminogen.Selain efeknya terhadap fungsi
leukosit, glukokortikoid mempengaruhi reaksi inflamasi dengan cara menurunkan sintesis
prostaglandin, leukotrien dan platelet-aktivating factor.

Glukokortikoid dapat menyebabkan vasokonstriksi apabila digunakan langsung pada


kulit, yang diduga terjadi dengan menekan degranulasi sel mast. Glukokortikoid juga
menurunkan permeabilitas kapiler dengan menurunkan jumlah histamine yang dirilis oleh
basofil dan sel mast.
Penggunaan kortokosteroid dalam klinik sebagai antiinflamasi merupakan terapi
paliatif, yaitu hanya gejalanya yang dihambat sedangkan penyebabnya tetap ada. Konsep
terbaru memperkirakan bahwa efek imunosupresan dan antiinflamasi yang selama ini
dianggap sebagai efek farmakologi kortikosteroid sesungguhnya secara fisiologis pun
merupakan mekanisme protektif.

Jaringan limfoid dan sistem imunologi. Glukokortikoid tidak menyebabkan lisis jaringan
limfoid yang masif, golongan obat ini dapat mengurangi jumlah sel pada leukemia
limfoblastik akut dan beberapa keganasan sel limfosit. Kortikosteroid bukan hanya
mengurangi jumlah limfosit tetapi juga respons imunnya. Kortikosteroid juga menghambat
inflamasi dengan menghambat migrasi leukosit ke daerah inflamasi.

Pertumbuhan. Penggunaan glukokortikoid dalam waktu lama dapat menghambat


pertumbuhan anak, karena efek antagonisnya terhadap kerja hormon pertumbuhan di perifer.
Terhadap tulang, glukokortikoid dapat menghambat maturasi dan proses pertumbuhan
memanjang.

Penghambatan pertumbuhan pada pemakaian kortikosteroid disebabkan oleh


kombinasi berbagai faktor: hambatan somatomedin oleh hormon pertumbuhan, hambatan
sekresi hormon pertumbuhan, berkurangnya proliferasi sel di kartilago epifisis dan hambatan
aktivitas osteoblas di tulang.

INDIKASI

Dari pengalaman klinis dapat diajukan minimal 6 prinsip terapi yang perlu
diperhatikan sebelum obat ini digunakan:

Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial and
error, dan harus dievaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit. Suatu
dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya. Penggunaan kortikosteroid
untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi spesifik, tidak membahayakan kecuali
dengan dosis sangat besar.

Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih hingga dosis melebihi
dosis substitusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan bertambah. Kecuali
untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan merupakan terapi kausal ataupun
kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek anti-inflamasinya.
Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar, mempunyai
resiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien. Secara ringkas
dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid akan digunakan untuk jangka panjang, harus
diberikan dalam dosis minimal yang masih efektif. Kemudian dalam periode singkat dosis
harus diturunkan bertahap sampai tercapai dosis minimal dimana gejala semula timbul lagi.
Bila terapi bertujuan mengatasi keadaan yang mengancam pasien, maka dosis awal haruslah
cukup besar. Bila dalam beberapa hari belum terlihat efeknya, dosis dapat dilipat gandakan.

Untuk keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, kortikosteroid dosis besar dapat
diberikan untuk waktu singkat selama tidak ada kontraindikasi spesifik. Untuk mengurangi
efek supresi hipofisis-adrenal ini, dapat dilakukan modifikasi cara pemberian obat, misalnya
dosis tunggal selang 1 atau 2 hari, tetapi cara ini tidak dapat diterapkan untuk semua
penyakit.

Terapi substitusi. Terapi ini bertujuan memperbaiki kekurangan akibat insufisiensi sekresi
korteks adrenal akibat gangguan fungsi atau struktur adrenal sendiri (insufisiensi primer) atau
hipofisis (insufisiensi sekunder).

Terapi kortikosteroid digunakan antara lain untuk:

 Insufisiensi adrenal akut. Bila insufisiensi primer, dosisnya 20-30 mg hidrokortison


harus diberikan setiap hari. Perlu juga diberi preparat mineralokortikoid yang dapat
menahan Na dan air.
 Insufisiensi adrenal kronik. Dosisnya 20-30 mg per hari dalam dosis terbagi (20 mg
pada pagi hari dan 10 mg pada sore hari). Banyak pasien memerlukan juga
mineralokortikoid fluorokortison asetat dengan dosis 0,1-0,2 mg per hari; atau cukup
dengan kortison dan diet tinggi garam.
 Hyperplasia adrenal congenital.
 Insufisiensi adrenal sekunder akibat insufisiensi adenohipofisis.
Terapi non-endokrin.

Dibawah ini dibahas beberapa penyakit yang bukan merupakan kelainan adrenal atau
hipofisis, tetapi diobati dengan glukokortikoid. Dasar pemakaian disini adalah efek anti-
inflamasinya dan kemampuannya menekan reaksi imun. Berikut adalah kasus yang
menggunakan preparat kortikosteroid:
 Fungsi paru pada fetus. Penyempurnaan fungsi paru fetus dipengaruhi sekresi kortisol
pada fetus. Betametason atau deksametason selama 2 hari diberikan pada minggu ke
27-34 kehamilan. Dosis terlalu banyak akan mengganggu berat badan dan
perkembangan kelenjar adrenal fetus.
 Artriris. Kortikosteroid hanya diberikan pada pasien arthritis rheumatoid yang
sifatnya progresif, dengan pembengkakan dan nyeri sendi yang hebat sehingga pasien
tidak dapat bekerja, meskipun telah diberikan istirahat, terapi fisik dan obat golongan
anti-inflamasi nonsteroid.
 Karditis reumatik.
 Penyakit ginjal. Kortikosteroid dapat bermanfaat pada sindrom nefrotik yang
disebabkan lupus eritematus sistemik atau penyakit ginjal primer, kecuali amiloidosis.
 Penyakit kolagen. Pemberian dosis besar bermanfaat untuk eksaserbasi akut,
sedangkan terapi jangka panjang hasilnya bervariasi. Untuk scleroderma umumnya
obat ini kurang bermanfaat.
 Asma bronchial dan penyakit saluran napas.
 Penyakit alergi.
 Penyakit mata (konjungtivitis alergika, uveitis akut, neuritis optika, koroiditis).
 Penyakit hepar.
 Keganasan.
 Gangguan hematologik lain (anemia hemolitik acquaired dan autoimun, leukemia,
purpura alergika akut dll).
 Syok.
 Edema serebral.
 Trauma sumsum tulang belakang.

EFEK SAMPING

Berikut efek samping kortikosteroid sistemik secara umum.

Tempat Macam efek samping


1. Saluran cerna Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster, ulkus
peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional, kolitis
ulseratif.
2. Otot
Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu.
3. Susunan saraf
pusat Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah, mudah
tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis, kecendrungan
bunuh diri), nafsu makan bertambah.
4. Tulang
Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis, fraktur
5. Kulit tulang panjang.

6. Mata Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis akneiformis,


7. Darah purpura, telangiektasis.
8. Pembuluh darah Glaukoma dan katarak subkapsular posterior
9. Kelenjar adrenal Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit
bagian kortek Kenaikan tekanan darah
10. Metabolisme Atrofi, tidak bisa melawan stres
protein, KH dan
lemak Kehilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia,gula
11. Elektrolit meninggi, obesitas, buffao hump, perlemakan hati.

12. Sistem Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis, tetani,


immunitas aritmia kor)
Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan herpes
simplek, keganasan dapat timbul.

Efek Samping Penggunaan Steroid dalam Jangka Waktu yang Lama

 Pengurangan produksi cortisol sendiri. Selama dan setelah pengobatan steroid, maka
kelenjar adrenal memproduksi sendiri sedikit cortisol, yang dihasilkan dari kelenjar di
bawah otak-hypopituitary-adrenal (HPA) penindasan axis. Untuk sampai dua belas
bulan setelah steroids dihentikan, kurangnya respon terhadap steroid terhadap stres
seperti infeksi atau trauma dapat mengakibatkan sakit parah.
 Osteoporosis terutama perokok, perempuan postmenopausal, orang tua, orang-orang
yang kurang berat atau yg tak bergerak, dan pasien dengan diabetes atau masalah
paru-paru. Osteoporosis dapat menyebabkan patah tulang belakang, ribs atau pinggul
bersama dengan sedikit trauma. Ini terjadi setelah tahun pertama dalam 10-20% dari
pasien dirawat dengan lebih dari 7.5mg Prednisone per hari. Hal ini diperkirakan
hingga 50% dari pasien dengan kortikosteroid oral akan mengalami patah tulang.
 Penurunan pertumbuhan pada anak-anak, yang tidak dapat mengejar ketinggalan jika
steroids akan dihentikan (tetapi biasanya tidak).
 Otot lemah, terutama di bahu dan otot paha.
 Jarang, nekrosis avascular pada caput tulang paha (pemusnahan sendi pinggul).
 Meningkatkan diabetes mellitus (gula darah tinggi).
 Kenaikan lemak darah (trigliserida).
 Redistribusi lemak tubuh: wajah bulan, punuk kerbau dan truncal obesity.
 Retensi garam: kaki bengkak, menaikkan tekanan darah, meningkatkan berat badan
dan gagal jantung.
 Kegoyahan dan tremor.
 Penyakit mata, khususnya glaukoma (peningkatan tekanan intraocular) dan katarak
subcapsular posterior.
 Efek psikologis termasuk insomnia, perubahan mood, peningkatan energi,
kegembiraan, delirium atau depresi.
 Sakit kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.
 Peningkatan resiko infeksi internal, terutama ketika dosis tinggi diresepkan (misalnya
tuberkulosis).
 Ulkus peptikum, terutama pada pengobatan yang menggunakan anti-inflamasi.
 Ada juga efek samping dari mengurangi dosis; termasuk kelelahan, sakit kepala, nyeri
otot dan sendi dan depresi.

Kortikosteroid oral

Betametason
Indikasi : RA, poliarthritis nodosa, lupus eritematosus,
dermatomikosis, keadaan-keadaan alergi.
Dosis : 0,5-9 mg/hari
Kontra Indikasi : Tukak peptik, osteoporosis, psikosis, psikoneurosis berat,
tbc aktif/tenang, infeksi akut, vaksin hidup.
Perhatian : Hipertensi, payah jantung kongestif, DM, penyakit
infeksi, gagal ginjal kronik, uremia, lansia, kehamilan.
Efek Samping : Retensi cairan dan garam, edema, hipertensi, amenorea,
hiperhidrosis, gangguan mental, pankreatitis akut,
osteonekrosis aseptik, kelemahan otot, keadaan intraokular, gangguan
penglihatan, atrofi lokal, nafsu makan bertambah, retardasi
pertumbuhan.
Mekanisme Kerja : Obat dapat mengurangi aktivitas dan volume limfatik
menghasilkan limpositopenia, menurunkan konsentrasi
imunologi reaktivitas jaringan interaksi antigen-antibodi sehingga
menekan respon imun. Betametason juga menstimulasi sel-sel eritroid
dari sumsum tulang; memperpanjang masa hidup eritrosit dan
platelet darah; menghasilkan neutrofilia dan eosinopenia;
meningkatkan katabolisme protein, glukoneogenesis dan penyebaran kembali
lemak dari perifer ke daerah pusat tubuh. Juga mengurangi
absorbsi intestinal dan menambah ekskresi kalsium melalui
ginjal.
Kemasan : Tablet 500 mcg (0,5 mg) 100 tablet

Dexametason
Indikasi : Insufiensi adrenal, termasuk sekunder terhadap
hipopituitarisme. Kelainan darah, radang, alergi.
Dosis : 1-3 tablet/hari
Kontra Indikasi : Tukak peptik, osteoporosis, psikosis atau psikoneurosis
berat, tbc aktif/tenang, infeksi akut, vaksin hidup.
Perhatian : Hipertensi, payah jantung kongestif, DM, penyakit
infeksi, gagal ginjal kronik, uremia, lansia, kehamilan.
Efek Samping : Retensi garam dan cairan, edema, hipertensi, amenorea,
hiperhidrosis, gangguan mental, pankreatitis akut,
osteonekrosis aseptik, kelemahan otot, keadaan
Cushiongoid, peninggian tekanan intraokular, gangguan
penglihatan, atrofi lokal, nafsu makan bertambah,
kelambatan pertumbuhan.
Mekanisme Kerja : Deksametason adalah glukokortikoid sintetik dengan
aktivitas imunosupresan dan anti-inflamasi. Sebagai
imunosupresan Deksametason bekerja dengan
menurunkan respon imun tubuh terhadap stimulasi
rangsang. Aktivitas anti-inflamasi Deksametason dengan
jalan menekan atau mencegah respon jaringan terhadap
proses inflamasi dan menghambat akumulasi sel yang
mengalami inflamasi, termasuk makrofag dan leukosit.
Kemasan : Tablet
0,5 mg 100tab 1.000tab
0,75 mg 100tab 1.000tab
Triamnicolon
Indikasi : RA dan demam reumatoid, asma bronkiale, rhinitis
vasomotor, leukemia, limfosarcoma, penyakit Hodgin,
fibrosis paru, bursitis akut.
Dosis : Dewasa : 4-48mg/hari
Kontra Indikasi : Tbc aktif, laten atau sembuh; psikosis akut.
Perhatian : Hipertensi, DM, penyakit ginjal. Konsumsi protein harus
cukup selama pengobatan.
Divertikulitis, anastomosis intestinal baru,
trombophlebitis, miastenia gravis, penyakit infeksi,
kecendrungan psikotik, nefritis kronik, karsinoma
metastatik, osteoporosis, infeksi bakteri tidak terkontrol,
herpes simpleks okular, gromerulo nefritis akut.
Efek Samping : Faktor spontan, tukak peptik, perubahan-perubahan
cushingoid, purpura, kemerahan, berkeringat, jerawat,
striae, hirsutisme, vertigo, sakit kepala,
tromboembolisme, nekrosis aseptik, angiitis nekrotik,
pankreatitis akut, esophagitis ulseratif,kelemahan otot,
peninggian tekanan intrakranial, papiledema,
kemungkinan katarak subkapsular.
Mekanisme Kerja : Kenacort mengandung triamcinolone, suatu kortikosteroid
yang poten. Berbeda dengan beberapa kortikosteroid
alami, triamcinolone mempunyai efek antiinflamasi dan
pembentukan glikogen yang lebih besar, dan
berkurangnya efek samping retensi garam dalam cairan
tubuh.
Kemasan : Tablet 4 mg 100tablet

Prednisone (mirconized)
Indikasi : AR, demam reumatik akut, asma bronkial, alergi dan
inflamasi pada kulit.
Dosis : Dosis supresif 4-6tab/hari.
Dosis pemeliharaan ½-4 tab/hari.
Kontra Indikasi : TB aktif, ulkus peptikum, herpes simplex mata, infeksi
akut, osteoporosis, infeksi jamur sistemik, psikosis atau
psikoneurosis berat, vaksin hidup.
Perhatian : Hipertensi, gagal jantung, DM, penyakit infeksi, gagal
ginjal kronik, uremia, usia lanjut, hamil.
Efek Samping : Edema, retensi natrium dan cairan, hipertensi, amenore,
hiperhidrosis, gangguan mental, pankreatitis akut,
osteonekrosis aseptik, lemah otot, sindroma Cushing,
peningkatan TIO, gangguan penglihatan, atrofi lokal,
peningkatan nafsu makan, pertumbuhan terhambat.
Mekanisme Kerja : Prednisone merupakan kortikosteroid sistemik dengan
efek glukokortikoid dan antiinflamasi. Mekanisme kerja
dengan mempengaruhi sintesa protein, kortikosteroid
bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam
sitoplasma sel jaringan dan membentuk kompleks
reseptor steroid.
Kemasan : Tab 5 mg
DAFTAR PUSTAKA

1) Djuanda, A. 2007. “Pengobatan dengan Kortikosteroid Sistemik dalam Bidang


Dermatovenereologi”. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Balai penerbit
FK UI. Jakarta.
2) Katzung, B.G. 2002. “Farmakologi Dasar dan Klinik”. Salemba Medika. Jakarta.
3) Guyton, arthur C. 1987. Guyton fisiologi manusia dan mekanisme penyakit.penerbit
buku kedokteran ECG
4) MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Edisi 10 2010/2011.BIP KELOMPOK
GRAMEDIA.

Вам также может понравиться