Вы находитесь на странице: 1из 27

A.

Pengertian Hipertensi
Hipertensi berasal dari dua kata, hiper = tinggi dan tensi = tekanan
darah, merupakan penyakit yang sudah lama dikenal.
Menurut American Society of Hypertension (ASH), pengertian
hipertensi adalah suatu sindrom atau kumpulan gejala kardiovaskuler
yang progresif, sebagai akibat dari kondisi lain yang kompleks dan saling
berhubungan.
The Joint National Community (JNC) dan WHO dengan International
Society of Hipertention definisi hipertensi yaitu apabila tekanan darah
seseorang tekanan sistoliknya 140 mmHg atau lebih atau tekanan
diastoliknya 90 mmHg atau lebih atau sedang memakai obat anti
hipertensi.
Pada anak-anak, definisi hipertensi yaitu apabila tekanan darah lebih
dari 95 persentil dilihat dari umur, jenis kelamin, dan tinggi badan yang
diukur sekurang-kurangnya tiga kali pada pengukuran yang terpisah.

B. Epidemiologi
Penyakit hipertensi atau tekanan darah tinggi telah membunuh
9,4 juta warga dunia. WHO memperkirakan penderita hipertensi akan
terus meningkat pada 2025 mendatang.
Presentase penderita hipertensi saat ini paling banyak di negara
berkembang. Menurut WHO 40% terjadi di negara ekonomi berkembang
dan 35% di negara maju. Sementara kawasan Afrika terdapat penderita
hipertensi paling banyak dengan 46% dibandingkan dengan Amerika
sebanyak 35% dan kawasan Aisa Tenggara yang memiliki presentase 36%
penderita hipertensi.
Di Indonesia sendiri berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar
2007 adalah sebesar 31,7%. Prevalensi hipertensi tertinggi terdapat di
Kalimantan Selatan (39,6%) dan terendah di Papua Barat (20,1%). Provinsi
Jawa Timur, Bangka Belitung, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah, DI
Yogyakarta, Riau, Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, dan Nusa Tengah
Tenggara Barat, merupakan provinsi yang mempunyai prevalensi
hipertensi lebih tinggi dari angka nasional.

C. Klasifikasi Hipertensi
Berbagai macam klasifikasi hipertensi yang digunakan di masing-
masing negara seperti klasifikasi menurut Joint National Committee 7
(JNC 7) yang digunakan di negara Amerika Serikat, Badan kesehatan dunia
(WHO) dan Indonesia sendiri berdasarkan konsensus yang dihasilkan
pada Pertemuan Ilmiah Nasional Pertama Perhimpunan Hipertensi
Indonesia pada tanggal 13-14 Januari 2007 juga membuat klasifikasi
hipertensi.
1. Klasifikasi Hipertensi menurut WHO
Kategori Sistol (mmHg) Diastol (mmHg)
Optimal < 120 < 80
Normal < 130 < 85
Tingkat 1 (hipertensi ringan) 140-159 90-99
Sub grup : perbatasan 140-149 90-94
Tingkat 2 (hipertensi sedang) 160-179 100-109
Tingkat 3 (hipertensi berat) ≥ 180 ≥ 110
Hipertensi sistol terisolasi ≥ 140 < 90
Sub grup : perbatasan 140-149 < 90

2. Klasifikasi Hipertensi menurut Joint National Committee 7


Kategori Sistol (mmHg) Dan/atau Diastole (mmHg)
Normal <120 Dan <80
Pre hipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi tahap 1 140-159 Atau 90-99
Hipertensi tahap 2 ≥ 160 Atau ≥ 100
3. Klasifikasi Hipertensi Hasil Konsensus Perhimpunan Hipertensi Indonesia
Kategori Sistol (mmHg) Dan/atau Diastole (mmHg)
Normal <120 Dan <80
Pre hipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi tahap 1 140-159 Atau 90-99
Hipertensi tahap 2 ≥ 160 Atau ≥ 100
Hipertensi sistol terisolasi ≥ 140 Dan < 90

D. Etiologi
Berdasarkan penyebab hipertensi dibagi menjadi 2 golonagan yaitu :
1. Hipertensi essensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui
penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik, terdapat sekitar 95%
kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan,
hiperaktivitas susunan saraf simpatis, system renin angiotensin, efek
dalam ekskersi Na, peningkatan Na dan Ca ekstrseluler dan faktor-faktor
yang meningkatkan resiko seperti obesitas, alkohol, merokok serta
polisitemia.
2. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Penyebab seperti gangguan
estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vascular renal, hiperaldosteronisme
promer dan sindrom cushing, feokromositoma, koarksasio aorta,
hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, kelainan neurologi,
obat-obat dan zat-zat lain.

E. Patofisiologi
Beberapa mekanisme fisiologis terlibat dalam mempertahankan
tekanan darah yang normal, dan gangguan pada mekanisme ini dapat
menyebabkan terjadinya hipertensi esensial. Faktor yang telah banyak
diteliti ialah : asupan garam, obesitas, resistensi terhadap insulin, sistem
renin-angiotensin dan sistem saraf simpatis.
Terjadinya hipertensi dapat disebabkan oleh beberapa faktor
sebagai berikut :
1. Curah jantung dan tahanan perifer
Tekanan darah yang bergantung curah jantung dan tahanan vaskular
perifer. Hipertensi esensial mempunyai curah jantung yang normal,
namun tahanan perifernya meningkat yang ditentukan oleh
arteriola kecil, yang dindingnya mengandung sel otot polos.
Kontraksi sel otot polos diduga berkaitan dengan peningkatan
konsentrasi kalsium intraseluler.
2. Sistem renin-angiotensin
Renin disekresi dari aparat juxtaglomerular ginjal sebagai jawaban
terhadap kurang perfusi glomerular atau kurang asupan garam.
Renin bertanggung jawab mengkonversi substrat renin
(angiotensinogen) menjadi angotensin II di paru-paru oleh
angiotensin converting enzyme (ACE). Angiotensin II merupakan
vasokontriktor yang kuat dan mengakibatkan peningkatan tekanan
darah.
3. Sistem saraf otonom
System saraf otonom mempunyai peranan yang penting dalam
mempertahankan tekanan darah yang normal dan memediasi
perubahan yang berlangsung singkat pada tekanan darah penyebab
stres.
4. Peptida atrium natriuretik (atrial natriuretic peptide/ANP).
ANP adalah hormon yang diproduksi oleh atrium untuk peningkatan
volum darah. Efeknya ialah meningkatkan ekskresi garam dan air
dari ginjal. Gangguan pada sistem ini mengakibatkan retensi cairan
dan hipertensi.
F. Faktor Resiko
Faktor-faktor risiko hipertensi antara lain :
1. Faktor genetik (tidak dapat dimodifikasi) :
a) Usia dan jenis kelamin
Hipertensi umumnya berkembang antara 35-55 tahun. Hal ini disebabkan
elastisitas dinding pembuluh darah semakin menurun dengan
bertambahnya usia. Dan terjadi pada usia lebih dari 65 tahun terjadi pada
wanita dan 55 tahun pada laki – laki.
b) Keturunan
Sebanyak 30-60% kasus hipertensi adalah diturunkan secara genetis. Jika
seseorang mempunyai orang tua menderita hipertensi maka orang
tersebut mempunyai risiko lebih besar untuk terkena hipertensi daripada
orang yang kedua orang tuanya normal (tidak menderita hipertensi).
2. Faktor lingkungan (dapat dimodifikasi)
a) Makanan dengan kadar garam tinggi dapat meningkatkan tekanan darah
seiring dengan bertambahnya usia.
b) Obesitas/kegemukan
Untuk obesitas tergantung pada masing – masing individu. Peningkatan
tekanan darah di atas nilai optimal yaitu > 120 / 80 mmHg akan
meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler. Penurunan berat
badan sekitar 5 kg dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan.
c) Merokok
Merokok dapat meningkatkan beban kerja jantung dan menaikkan
tekanan darah. Nikotin dapat meningkatkan penggumpalan darah dalam
pembuluh darah dan dapat menyebabkan pengapuran pada dinding
pembuluh darah.
d) Asupan
1) Asupan Natrium (garam)
Garam dapat memperburuk hipertensi pada orang secara genetik
sensitif terhadap natrium, asupan natrium lebih dari 6 gram per hari,
maka tekanan darahnya meningkat lebih cepat dengan meningkatnya
usia.
2) Asupan Kalium
Asupan rendah kalium akan mengakibatkan peningkatan tekanan
darah dan renal vascular remodeling yang mengindikasikan terjadinya
resistansi pembuluh darah pada ginjal. Orang dengan asupan tinggi
kalium tekanan darah dan prevalensi hipertensi lebih rendah dibanding
dengan orang yang mengkonsumsi rendah kalium.
3) Asupan Magnesium
The joint national Committee JNC) melaporkan bahwa terdapat
hubungan timbal balik antara magnesium dan tekanan darah.
Suplementasi magnesium direkomendasikan untuk mencegah kejadian
hipertensi.
4) Kalsium
JNC VI merekomendasikan peningkatan asupan kalium, magnesium
dan kalsium untuk pencegahan dan pengelolaan hipertensi. Asupan
kalsium yang direkomendasikan sebesar 1000 sampai 2000mg par hari.

G. Gejala Penyakit
Pada hipertensi terdapat gejala-gejala yang sering timbul diantaranya :
1. Sakit kepala
2. Mimisan tiba-tiba
3. Tekanan darah meningkat,tachikardi
4. Palpitasi, berkeringat dingin, pusing, nyeri kepala bagian suboccipital,
mati rasa (kelemahan salah satu anggota tubuh).
5. Kecemasan, depresi, dan cepat marah.
6. Diplodia (penglihatan ganda).
7. Mual dan muntah
8. Sesak nafas, tachipne.
Beberapa gejala diatas dapat disebabkan oleh kerusakan organ seperti
otak, jantung, mata dan ginjal sebagai akibat tidak terkontrolnya tekanan
darah.

H. Manifestasi Klinik
HIpertensi tidak menimbulkan gejala, namun secara tidak
sengaja ada beberapa gejala terjadi bersamaan. Gejala yang dimaksudkan
adalah sakit kepala, pendarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan
dan kelelahan, padahal hal ini juga bisa terjadi pada orang dengan
tekanan darah normal. Jika hipertensinya berat dan tidak diobati bisa
timbul gejala berikut :
1. Sakit kepala
2. Kelelahan
3. Mual
4. Muntah
5. Sesak napas
6. Gelisah
7. Pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada
otak, mata jantung dan ginjal.
8. Ensefalopati hipertensif, yaitu penurunan kesadaran bahkan koma
karena pembengkakan otak. Dan ini butuh penanganan segera.

I. Diagnosa
Diagnosa Krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena
hasil terapi tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat.
1. Anamnesa :
Dilakukan anamnesa singkat. Krisis hipertensi umumnya adalah nyeri
dada dan sesak napas pada gangguan jantung dan diseksi aorta, mata
kabur pada edema papila mata, sakit kepala hebat, gangguan kesadaran
dan lateralisasi pada gangguan otak, gagal ginjal akut pada gangguan
ginjal, di samping sakit kepala dan nyeri tengkuk pada kenaikkan tekanan
darah pada umumnya. Diagnosis ditegakkan berdasarkan tingginya
tekanan darah, gejala dan tanda keterlibatan organ target.
Hal yang penting ditanyakan :
a. Riwayat hipertensi : lama dan beratnya.
b. Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.
c. Usia : sering pada usia 40 – 60 tahun.
d. Gejala sistem syaraf (sakit kepala, hoyong, perubahan mental,
ansietas).
e. Gejala sistem ginjal (gross hematuri, jumlah urine berkurang).
f. Gejala sistem kardiovascular (adanya payah jantung, kongestif dan
oedemparu, nyeri dada).
g. Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis.
h. Riwayat kehamilan : tanda eklampsi.
2. Pemeriksaan fisik :
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran TD (baring dan berdiri)
mencari kerusakan organ sasaran (retinopati, gangguan neurologi, payah
jantung kongestif, altadiseksi). Perlu dicari penyakit lainnya seperti
penyakit jantung koroner.
3. Pemeriksaan penunjang :
Selain pemeriksaan fisik, data laboratorium ikut membantu
diagnosis dan perencanaan. Urin dapat menunjukkan proteinuria,
hematuri dan silinder. Tingginya tekanan darah melibatan ginjal apalagi
bila ureum dan kreatinin meningkat.
Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu :
a) Pemeriksaan yang segera seperti :
- Darah : darah rutin, BUN, creatinine, elektrolit, KGD
- Urine : Urinalisa dan kultur urine
- EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi, untuk melihat adanya hipertrofi
ventrikel kiri ataupun gangguan coroner
- Foto dada : apakah ada oedema paru (dapat ditunggu setelah
pengobatan terlaksana).
b) Pemeriksaan lanjutan (tergantung dari keadaan klinis dan hasil
pemeriksaan yang pertama) :
- Sangkaan kelainan renal : IVP, Renal angiography (kasus tertentu),
biopsi renald (kasus tertentu).
- Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : Spinal tab,
CAT Scan.
- Bila disangsikan Feokhromositoma : urine 24 jam untuk
Katekholamine, metamefrin, venumandelic Acid (VMA).
- (USG) untuk melihat struktur ginjal dilaksanakan sesuai kondisi klinis
pasien.

J. Terapi Pengobatan
i. Terapi Non Farmakologi
Semua pasien hipertensi harus melakukan perubahan gaya hidup
untuk menurunkan tekanan darah, modifikasi gaya hidup juga dapat
mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi.
Program diet yang mudah diterima adalah yang didisain untuk
menurunkan berat badan secara perlahan-lahan pada pasien yang gemuk
dan obesitas disertai pembatasan pemasukan natrium dan alkohol.
Modifikasi Gaya Hidup untuk Mengontrol Hipertensi
Kira-kira
Modifikasi Rekomendasi penurunan
tekanan darah,
range
Penurunan berat Pelihara berat badan normal (BMI 18.5 – 24.9) 5-20 mmHg/10-kg
badan (BB) penurunan BB
Adopsi pola Diet kaya dengan buah, sayur, dan produk 8-14 mm Hg
makan DASH susu rendah lemak
Diet rendah Mengurangi diet sodium, tidak lebih dari 2-8 mm Hg
sodium 100meq/L (2,4 g sodium atau 6 g sodium
klorida)
Aktifitas fisik Regular aktifitas fisik aerobik seperti jalan kaki 4-9 mm Hg
30 menit/hari, beberapa hari/minggu
Minum alkohol Limit minum alkohol tidak lebih dari 2/hari (30 2-4 mm Hg
sedikit saja ml etanol [mis.720 ml beer, 300ml wine)
untuk laki-laki dan 1/hari untuk perempuan

ii. Terapi Farmakologi


a) Pemilihan obat tergantung pada derajat meningkatnya tekanan darah
dan keberadaan compelling indications
b) Kebanyakan penderita hipertensi tahap 1 sebaiknya terapi diawali dengan
diuretic thiazide. Penderita hipertensi tahap 2 pada umumnya diberikan
terapi kombinasi, salah satu obatnya diuretic thiazide kecuali terdapat
kontraindikasi.
c) diuretic, β blocker, inhibitor angiotensin-converting enzyme (ACE),
angiotensin II reseptor blockers (ARB) dan kalsium chanel blocker (CCB),
merupakan agen primer berdasarkan pada data kerusakan organ target
atau morbilitas dan kematian kardiovaskular.
d) α blocker, α2-agonis sentral, inhibitor adrenergik, dan vasodilator
merupakan alternative yang dapat digunakan penderita setelah
mendapatkan obat pilihan pertama.
Algoritma penanganan Hipertensi secara farmakologi
Obat pilihan Pertama

Obat pilihan Pertama Obat pilihan Pertama

Obat yang spesifik untuk


Hipertensi Hipertensi
compeling indication. Obat
tahap I (TDS tahap II (TDS >
hipertensi (diuretic, inhibitor
140-159 atau 160 mmHg)
ACE, ARB, β-blocker)

Diuretik Tiazida Kombinasi 2


umumnya dapat obat pada
dipertimbangkan umumnya.
inhibitor ACE, ARB, Biasanya
β-blocker, diuretic
CCB/kombinasi

1. Diuretik
a. Tiazid adalah golongan yang dipilih untuk menangani hipertensi, golongan
lainnya efektif juga untuk menurunkan tekanan darah. Penderita dengan
fungsi ginjal yang kurang baik laju filtrasi glomerolus (LFG) diatas 30
mL/menit), tiazid merupakan agen deuretik yang paling efektif untuk
menurunkan tekanan darah dengan menurunnya fungsi ginjal, natrium
dan caiyran akan terakumulasi maka deuretik jerat Henle perlu digunakan
untuk mengatasi efek dari peningkatan volume dan natrium tersebut. Hal
ini akan mempengaruhi tekanan darah arteri.
b. Diuretik hemat kalium merupakan antihipertensi yang lemah jika
digunakan tunggal. Efek hipotensi akan terjadi apabila deuretik
dikombinasikan dengan deuretik hemat kalium tiazide atau jerat Henle.
Deuretik hemat kalium dapat mengatasi kekurangan kalium dan natrium
yang disebabkan oleh deuretik lainnya.
c. Efek samping tiazid adalah hipokalemia, hipomagnesemia, hiperkalsemia,
hiperurerisemia, hiperlipidemia. Diuretik jerat Henle memiliki efek
samping yang lebih kecil pada lipid serum dan glukosa tetapi hipokalemia
dapat terjadi.
d. Diuretik hemat kalium dapat menyebabkan hiperkalemia terutama pada
penderita penyakit ginjal kronik atau diabetes dan penderita yang
diberikan inhibitor ACE, ARB, AINS, atau suplemen kalium secara
bersamaan.
Contoh obat : Bendrofluazid, Klortalidon, Hidrochlortiazid, Indapamid,
Metolazon, Xipamid, Furosemid, Bumetanid, Torasemid, Amilorid HCl,
Spironolakton, Manitol.
2. Inhibitor Angiotensin-Converting Enzyme (ACE)
a. ACE membantu prosuksi angiotensin II (berperan penting dalam regulasi
tekanan darah arteri). ACE didistribusikan pada beberapa jaringan dan
ada pada beberapa tipe sel yang berbeda tetapi pada prinsipnya
merupkan sel endothelial.
b. Dosis awal inhibitor ACE sebaiknya dosis rendah kemudian ditambahkan
perlahan. Hipotensi akut dapat terjadi pada onset terapi inhibitor ACE
terutama pada penderita yang kekurangan natrium atau volum, gagal
jantung orang lanjut usia, penggunaan bersama vasodilator/deuretik.
c. Inhibitor ACE menurunkan aldosteron dan dapat meningkatkan
konsentarasi kalium. Hiperkalimnya terjadi terutama pada penderita
penyakit ginjal kronik atau diabetes, maka penanganannya menggunakan
ARB, AINS, suplemen kalium, atau deuretik hemat kalium.
d. Efek samping neutropenia, algranulosit, proteinurea dan gagal ginjal akut.
e. Inhibitor ACE absolute kontraindikasi untuk ibu hamil karena
menimbulkan neonatal, termasuk gagal ginjal dan kematian janin. Untk
ibu hamil trismester 2 dan ke 3.
Contoh obat : Kaptopril, Benazepril, Delapril, Enalapril maleat, Fosinopril,
Lisinopril, Perindopril, Kuinapril, Ramipril, Silazapril.
3. Penghambat Reseptor Angiotensin II (ARB)
a. Angiotensin II digenerasikan oleh jalur renin-angiotensin (termasuk ACE)
dan jalur alternative yang digunakan untuk enzim lain seperti chymases.
Inhibitor ACE hanya menutup jalur renin angiotensin, ARB menahan
langsung reseptor angiotensin tipe 1 (AT1), reseptor yang memperantai
efek angiotensin 2 (vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi
simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik, dan konstriksi arterior eferen
glomerulus).
b. ARB memiliki efek samping yang lebih rendah dari anti hipertensi
lainnnya. Batuk sangat jarang terjadi. Seperti inhibitor ACE, mereka dapat
mengakibatkan insufisiensi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi artostatik.
Angioedema jarang terjadi daripada inhibitor ACE terapi reaktivitas silang
telah dilaporkan. ARB tidak boleh digunakan oleh ibu hamil.
Contoh obat : Losartan, Valsartan
4. β-Bloker
a. Mekanisme hipotensi β bloker tidak diketahui tetapi dapat melibatkan
menurunkan curah jantung melalui kronotropik negative dan efek
inotropik jantung dan inhibisi pelepasan renin dari ginjal.
b. Efek samping dari blokade β pada miokardium adalah bradikardi,
ketidaknormalan konduksi atrioventrikular (AV), dan gagal jantung aktif.
Penghambat β2 pulmonar dapat menyebabkan eksaserbasi dari
bronkhospasmus pada penderita asma atau COPD. Penghambat reseptor
β2 otot polos arterior dapat menyebabkan kedinginan ekstrim dan
memperparah nyeri intermiten atau fenomena Raynauld’s karena
penurunan aliran darah perifer.
c. Penghentian terapi dengan β bloker yang cepat dapat mengakibatkan
angina tidak stabil, infark miokardinal, atau kemungkinan kematian pada
penderita predisposisi miokardinal. Pada penderita tanpa penyakit arteri
koroner, penghentian secara tiba-tiba terapi β bloker berhubungan
dengan sinus takikardiak, meningkatnya sekresi keringat, dan depresi.
Untuk alasan ini, dosis ditingkatkan secara bertahap 1 hingga 2 minggu
sebelum penghentian.
5. Penghambat Saluran Kalsium (CCB)
a. CCB menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan menhambat
saluran kalsium yang sensitive terhadap tegangan (voltage sensitive),
sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel.
Relaksasi otot polos vascular menyebabkan vasodilatasi dan
berhubungan dengan reduksi tekanan darah. Antagonis kanal kalsium
dihidropiridini dapat menyebabkan aktivasi refleks simpatetik dan semua
golongan ini (kecuali amlodipin) memberi efek inotropik negatif.
b. Verapamil menurunkan denyut jantung, memperlambat konduksi nodus
AV dan menghasilkan efek inotropik negative yang dapat memicu gagal
jantung pada penderita lemah jantung yang parah. Diltiazem menurunkan
konduksi AV dan denyut jantung dalam level yang lebih rendah daripada
verapamil.
c. Diltiazem dan verapamil dapat menyebabkan ketidaknormalan konduksi
jantung seperti bradikardi, blok AV, dan gagal jantung. Kedua melibatkan
anoreksia, mual, edema perifer, dan hipotensi. CCB menyebabkan
relaksasi jantung dan otot polos dengan menghambat saluran kalsium
yang sensitive terhadap tegangan (voltage sensitive), sehingga
mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel. Relaksasi otot
polos vascular menyebabkan vasodilatasi dan berhubungan dengan
reduksi tekanan darah. Antagonis kanal kalsium dihidropiridini dapat
menyebabkan aktivasi refleks simpatetik dan semua golongan ini (kecuali
amlodipin) memberi efek inotropik negatif.
d. Verapamil menurunkan denyut jantung, memperlambat konduksi nodus
AV dan menghasilkan efek inotropik negative yang dapat memicu gagal
jantung pada penderita lemah jantung yang parah. Diltiazem menurunkan
konduksi AV dan denyut jantung dalam level yang lebih rendah daripada
verapamil.
e. Diltiazem dan verapamil dapat menyebabkan ketidaknormalan konduksi
jantung seperti bradikardi, blok AV, dan gagal jantung. Kedua melibatkan
anoreksia, mual, edema perifer, dan hipotensi. Verapamil menyebabkan
konstipasi pada 7 % penderita.
f. Dihidropiridin dapat meningkatan refleks mediasi baroreseptor pada
denyut jantung. Hal ini disebabkan oleh potensi efek vasodilatasi perifer.
Dihidropiridin pada umumnya tidak menurunkan konduksi nodus AV.
Nifedipin jarang sekali meningkatkan frekuensi intensitas dan durasi pada
angina yang berhubungan dengan hipotensi. Efek ini dapat diatasi melalui
formulasi lepas lambat nipedipin atau dihidropiridin lainnya. Efek
samping lain nipedipin adalah sakit kepala, kemerahan, pusing, gingival,
hyperplasia, edema perifer, perubahan mood, dan saluran pada
pencernaan. Efek samping yang disebabkan oleh vasodilatasi seperti sakit
kepala, kemerahan, pusing, dan edema perifer terjadi cukup sering pada
penggunaan bersama dihidropiridin daripada verapamil atau diltiazem
g. Verapamil menyebabkan konstipasi pada 7 % penderita. dihidropiridin
dapat meningkatan refleks mediasi baroreseptor pada denyut jantung.
Hal ini disebabkan oleh potensi efek vasodilatasi perifer. Dihidropiridin
pada umumnya tidak menurunkan konduksi nodus AV. Nipedipin jarang
sekali meningkatkan frekuensi intensitas dan durasi pada angina yang
berhubungan dengan hipotensi. Efek ini dapat diatasi melalui formulasi
lepas lambat nipedipin atau dihidropiridin lainnya. Efek samping lain
nipedipin adalah sakit kepala, kemerahan, pusing, gingival, hyperplasia,
edema perifer, perubahan mood, dan saluran pada pencernaan. Efek
samping yang disebabkan oleh vasodilatasi seperti sakit kepala,
kemerahan, pusing, dan edema perifer terjadi cukup sering pada
penggunaan bersama dihidropiridin daripada verapamil atau diltiazem.
6. Penghambat Reseptor α1
a. Prasozin, terasozin, dan doksazosin merupakan penghambat reseptor α1
menginhibisi ketokolamin pada sel otot polos vascular perifer yang
memberikan efek vasodilatasi. Kelompok ini tidak mengubah aktivitas
reseptor α2 sehingga tidak menimbulkan efek takikardia.
b. Efek samping berat yang mungkin terjadi merupakan gejala dosis awal
yang ditandai dengan hipotensi ortostatik yang disertai dengan pusing
atau pingsan sesaat, palpitasi, dan juga sinkope dalam satu hingga tiga
jam setelah dosis pertama atau terjadi lebih lambat setelah dosis yang
lebih tinggi. Hal ini dapat dihindari dengan cara pemberian dosis awal dan
diikuti dengan peningkatan dosis awal pada sesaat mau tidur. Terkadang
pusing ostostatik berlanjut dengan pemberian kronik.
c. Retensi air dan natrium dapat terjadi pada dosis yang lebih tinggi dan
terkadang dapat dengan pemberian kronik dosis rendah. Kelompok ini
lebih efektif jika diberikan bersamaan dengan antidiuretik untuk
mempertahankan efikasi hipotensif serta meminimalkan potensi edema.
Contoh obat : Prazosin, Doksazosin
7. Antagonis α2-pusat
a. Clonidine, guanabeenz, guanfacine, dan metildopa menurunkan tekanan
darah pada umumnya dengan cara menstimulasi reseptor α2 adrenergik
di otak, yang mengurangi aliran simpatetik dari pusat vasomotor dan
meningkatkan tonus vagal. Stimulasi reseptor α2 presinaftik secara
perifer menyebabkan penurunan tonus simpatetik. Oleh karena itu, dapat
terjadi penurunan denyut jantung, curah jantung, resistensi perifer total,
aktivitas renin plasma, dan refleks baroreseptor.
b. Penggunaan kronik menyebabkan retensi air dan natrium, hal ini dapat
terlihat pada penggunaan metildopa. Dosis rendah clonidine,
guanafacine, atau guanabeenz dapat digunakan untuk menangani
c. hipertensi ringan tanpa penambahan diuretik. Penghentiaan mendadak
dapat menimbulkan hipertensi balik (peningkatan tekanan darah secara
tiba-tiba ke nilai sebelum penganangan) atau overshoot hypertension
(peningkatan tekanan darah ke nilai yang lebih tinggi dari sebelum
penganangan). Hal ini diperkirakan akibat sekunder dari peningkatan
pelepasan norepinefrin yang mengikuti penghentian stimulasi reseptor α
presinaptik.
Contoh obat : Clonidin, Metildopa
8. Reserpin
a. Reserpin mengosongkan neroponefrin dari saraf akhir simpatik dan
memblok transfer neropinefrin ke dalam granul penyimpanan. Pada saat
saraf terstimulasi, sejumlah norepinefrin (kurang dari jumlah biasanya)
dilepaskan ke dalam sinap. Pengurangan tonus simpatik menurunkan
resistensi perifer dan tekanan darah.
b. Reserprin memiliki waktu paruh yang panjang serta dosis satu kali sehari
dapat diberikan tetapi hal ini dapat dilakukan 2 sampai 6 minggu sebelum
efek antihipertensi maksimal terlihat.
c. Reserpin dapat menyebabkan retensi natrium dan cairan dengan
signifikan sehingga perlu diberikan bersama dengan diuretic thiazide.
d. Efek samping yang paling serius adalah hubungan dengan dosis yaitu
depresi. Depresi disebabkan oleh kosongnya katekolamin dan serotonin
di sistem saraf pusat. Hal ini dapat diminimalkan dengan cara tidak lebih
dari 0,25 mg tiap harinya.
9. Vasodilator Arteri Langsung
a. Hidralazine dan minoxidil menyebabkan relaksasi langsung otot polos
arterior. Aktivitas refleks baroreseptor dapat meningkatkan aliran
simpatetik dari pusat vasomotor, meningkatnya denyut jantung, curah
jantung, dan pelepasan renin. Oleh karena itu, efek hipotensif dari
vasodilator langsung berkurang pada penderita yang juga mendapatkan
pengobatan inhibitor simpatetik dan diuretic.
b. Penderita yang mendapatkan terapi obat ini sebaiknya mendapatkan
terapi utama dengan diuretic dan blocker β-adrenergik.
c. Hidralazine dapat menyebabkan sindrom yang tergantung dosis seperti
lupus yang bersifat reversible, yang umum pada pasien asetilator lambat.
Reaksi lupus umumnya dapat dihindari dengan menggunakan dosis total
perharinya kurang dari 200 mg. efek samping lainnya adalah dermatitis,
demam, neuropatiperiferal, hepatitis, dan sakit kepala vascular. Oleh
karena itu hidralazine memiliki kegunaan yang terbatas terhadap
penggunaan hipertensi.
d. Minoxidil merupakan vasodilator yang lebih poten dari pada hidralazine.
Minoxidil dapat meningkatkan denyut jantung, curah jantung, pelepasan
renin, dan retensi natrium. Retensi air dan natrium dapat menyebabkan
gagal jantung kongestif, minoxidil juga dapat menyebabkan
hypertrichosis reversible pada wajah, tangan, punggung, dan dada. Efek
samping lainnya adalah efusi pericardial dan perubahan nonspesifik
gelombang-T pada ECG. Minoxidil umumnya digunakan sebagai cadangan
untuk mengontrol hipertensi yang sulit.
10. Inhibitor Simpatetik Postganglion
a. Guanethidin dan guanadrel mengosongkan norepinefrin dari terminal
saraf simpatetik postganglionic dan inhibisi pelepasan norepinefrin
terhadap respon stimulasi saraf simpatetik. Hal ini mengurangi curah
jantung dan resistensi vascular perifer.
b. Hipotensi ortostatik umumnya terjadi karena blokade refleksmediasi
vasokonstriksi. Efek samping lainnya adalah disfungsi ereksi, diare, dan
kegemukan. Karena efek sampngnya tersebut, inhibitor simpatetik
postganglionic memiliki peranan yang kecil terhadap pengobatan
hipertensi.
iii. Terapi Kombinasi
Ada 6 alasan mengapa pengobatan kombinasi pada hipertensi
dianjurkan:
a. Mempunyai efek aditif
b. Mempunyai efek sinergisme
c. Mempunyai sifat saling mengisi
d. Penurunan efek samping masing-masing obat
e. Mempunyai cara kerja yang saling mengisi pada organ target tertentu.
Adanya “fixed dose combination” akan meningkatkan kepatuhan
pasien (adherence) Fixed-dose combination yang paling efektif adalah
sebagai berikut :
 Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan diuretic
 Penyekat reseptor angiotensin II (ARB) dengan diuretic
 Penyekat beta dengan diuretic
 Diuretik dengan agen penahan kalium
 Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan antagonis
kalsium
 Agonis α-2 dengan diuretic
 Penyekat α-1 dengan diuretic
iv. Tatalaksana Hipertensi
1. Pedoman WHO dan International Society of Hypertension Writing Group
(ISWG) tahun 2003, berisikan :
a) Pasien hipertensi dengan tekanan darah sistole ≥140 mmhg dan diastole
≥90 mmhg diawali dengan terapi non farmakologi seperti penurunan
berat badan bagi penderita yang obese/kegemukan, olahraga yang
teratur, mengurangi konsumsi alkohol dan garam, tidak merokok dan
mengkonsumsi lebih banyak sayur dan buah.
b) Terapi farmakologi : untuk penderita tanpa komplikasi pengobatan
dimulai dengan diuretik tiazid dosis rendah dan untuk penderita dengan
komplikasi menggunakan lebih dari satu macam obat hipertensi.
2. Joint National Committee (JNC) berisikan :
a) Perubahan gaya hidup dan terapi obat memberikan manfaat yang berarti
bagi pasien hipertensi
b) Target tekanan darah < 140/90 bagi hipertensi tanpa komplikasi dan
target tekanan darah < 130/80 bagi hipertensi dengan komplikasi
c) Diuretik tiazid merupakan obat pilihan pertama untuk mencegah
komplikasi kardiovaskular.
d) Hipertensi dengan komplikasi pilihan pertama diuretik tiazid tapi juga bisa
digunakan penghambat ACE (captopril,lisinopril,ramipril dll), ARB
(valsartan, candesartan dll), beta bloker (bisoprolol) dan antagonis
kalsium (nifedipin, amlodipin dll) bisa juga dipertimbangkan.
e) Pasien hipertensi dengan kondisi lain yang menyertai seperti gagal ginjal
dan lain-lain, obat anti hipertensi disesuaikan dengan kondisinya.
f) Monitoring tekanan darah dilakukan 1 bulan sekali sampai target tercapai
dilanjutkan setiap 2 bulan, 3 bulan atau 6 bulan. Semakin jauh dari
percapaian target tekanan darah, semakin sering monitoring dilakukan.
3. British Hypertensive Society (BHS)
a) Terapi non farmakologi dilakukan pada pasien hipertensi dan mereka
yang keluarganya ada riwayat hipertensi
b) Pengobatan dimulai pada tekanan darah sistole >=140 dan diastole >= 90
c) Target yang dicapai setelah pengobatan, sistol ≤140 dan diastole ≤85.
d) obat piliha pertama tiazid atau beta bloker bila tidak ada kontraindikasi.
4. Pedoman Hipertensi (KONSENSUS PERHIMPUNAN HIPERTENSI
INDONESIA) Hasil konsensus Pedoman Penanganan Hipertensi di
Indonesia tahun 2007 berisikan :
a) Penanganan hipertensi ditujukan untuk menurunkan morbiditas dan
mortalitas kardiovaskular (termasuk serebrovaskular) serta
perkembangan penyakit ginjal dimulai dengan upaya peningkatan
kesadaran masyarakat dan perubahan gaya hidup ke arah yang lebih
sehat.
b) Penegakan diagnosis hipertensi perlu dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan tekanan darah minimal 2 kali dengan jarak 1 minggu bila
tekanan darah <160/100 mmhg
c) Sebelum bertindak dalam penanganan hipertensi, perlu dipertimbangkan
adanya risiko kardiovaskular, kerusakan organ target dan penyakit
penyerta. Penanganan dengan obat dilakukan pada penderita dengan
banyaknya faktor risiko 3 atau lebih atau dengan adanya kerusakan organ
target,diabetes, penyakit penyerta, di samping perubahan gaya hidup.
d) Penanganan dengan obat dilakukan bila upaya perubahan gaya hidup
belum mencapai target tekanan darah (masih >= 140/90 atau >= 130/80
bagi penderita diabetes/ penyakit ginjal kronis).
e) Pemilihan obat didasarkan ada tidaknya indikasi khusus. Bila tidak ada
indikasi khusus, obat tergantung pada derajat hipertensi (derajat 1 atau
derajat 2 JNC7)
v. Populasi Khusus
1. Hipertensi pada orang tua
Penderita orang tua umumnya lebih sensitive terhadap pengosongan
volume dan inhibisi simpatetik serta pengobatan yang diberikan secara
umum sebainya diawali dengan dosis kecil diuretic (misalnya
hydrochlorothiazide 12,5 mg) dan meningkat secara bertahap. Jika
diuretic digunakan tunggal tidak dapat menurunkan tekanan darah, obat
inhibitior ACE dapat ditambahkan dalam dosis rendah kemudian
ditingkatkan secara bertahap. Β-blocker merupakan pilihan pertama obat
antihipertensi pada orang tua dengan hipertensi dan angina, serta
inhibitor ACE sangat baik untuk penderita dengan diabetes dan gagal
jantung.
2. Hipertensi pada anak-anak dan remaja
Pada beberapa kasus, factor-faktor hipertensi pada anak-anak sama
dengan yang terjadi pada orang dewasa. Walaupun hipertensi sekunder
lebih umum terjadi di anak-anak dari pada orang dewasa.
3. Hipertensi pada ibu hamil
Hipertensi kronik terjadi sebelum 20 minggu kehamilan. Methyldopa
dapat dipertimbangkan sebagai pilihan terapi obat. β-blocker, labetalol
dan CCBs dapat juga digunakan sebagai altenatif. Inhibitor ACE dan ARBs
sangat kontraindikasi untuk ibu hamil.
4. Hipertensi dengan penyakit pulmonary dan arterial perifer
β-blocker non selektif sebaiknya dihindari pada penderita hipertensi
dengan asma, COPD dan penyakit vascular perifer. α atau β-blocker,
carvedilol dan labetalol dapat digunakan pada penyakit arterial peripheral
karena tidak menyebabkan konstriksi seperti halnya β-blocker. Meskipun
demikian α atau β-blocker sebaiknya dihindari pada penderita asma atau
COPD.
5. Hipertensi dengan dislipidemia
Dislipidemia merupakan faktor resiko utama kardiovaskular dan
sebaiknya dikontrol pada penderita hipertensi. Diuretik thiazide dan β-
blocker tanpa ISA dapat menyerang lipid serum, tetapi efek ini pada
umumnya transient dan tidak ada konsekuensi klinik. α-blocker telah
menunjukkan beberapa efek (menurunkan kolesterol LDL dan
meningkatkan kadar kolessterol HDL). Karena obat ini menurunkan resiko
kardiovaskular seefektif diuretic thiazide.
6. Hipertensi krisis
Pemberian akut dari aktivitas pendek obat oral (captopril, clonidine, atau
labetalol) diikuti dengan observasi hati-hati untuk beberapa jam untuk
memastikan penurunan tekanan darah secara bertahap. Dosis captopril
oral 25-50 mg dapat diberikan pada interval waktu 1-2 jam, onset aksinya
15-30 menit. Untuk pengobatan hipertensi yang terjadi lagi setelah
pengurangan clonidine, pada mulanya 0,2 mg diikuti 0,2 mg setiap
jamnya; pemberian dosis tunggal sangat cukup. Labetalol dapat diberikan
dengan dosis 200-400 mg, diikuti dengan penambahan dosis 2-3 jam.

K. Komplikasi Hipertensi
Pada hipertensi berat yaitu apabila tekanan darah diastolik sama
atau lebih besar dari 130 mmHg, atau kenaikan tekanan darah yang
terjadi secara mendadak, alat-alat tubuh yang sering terserang hipertensi
antara lain:
1. Mata
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan retinopati hipertensi
(pendarahan), pecahnya pembuluh darah pada retina sehingga terjadi
gangguan pengelihatan misalnya berupa perdarahan retina, gangguan
penglihatan sampai dengan kebutaan.
2. Ginjal
Hipertensi dapat menyebabkan gangguan struktur penyaring ginjal yang
pada tahap akhir dimana penderita dapat mengalami cuci darah.
Contohnya berupa gagal ginjal
3. Jantung
Hipertensi dapat mengakibatkan pembesaran dinding vertikal jatung yang
akan mengganggu pompa jantung sehingga jantung tidak dapat bekerja
secara optimal akan mengakibatkan gagal jantung seumur hidup.
Contohnya seperti lemah jantung, jantung koroner.
4. Otak
Pada otak penderita hipertensi akan mengalami gangguan berupa
sumbatan atau pendarahan otak yang dapat mengakibatkan penderita
meninggal, misalnya stroke.
5. Pembuluh darah tepi
Pembuluh darah tepi dapat mengalami penyumbatan maupun diseksi
aorta.
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan untuk mencegah komplikasi
hipertensi adalah :
a) Mengendalikan tekanan darah dan memeriksa tekanan darah secara
rutin disertai pemeriksaan untuk pemantauan risiko komplikasi.
b) Apabila anda juga penderita diabetes, maka kendalikan kadar gula
dalam diri anda.
c) Mengkonsumsi obat secara rutin.
d) Berolah raga

L. PIO obat yang biasa digunakan di puskesmas Pasundan


1. Kaptopril
a). Aturan pakai :
 diberikan 3 kali sehari dan pada saat perut kosong yaitu setengah jam
sebelum makan 1 atau 2 jam setelah makan. Hal ini dikarenakan
absorbsi captopril akan berkurang 30%-40% apabila diberikan
bersamaan dengan makanan.
 Mulai dengan dosis rendah dan tingkatkan dosis secara bertahap jika
dosis yang lebih rendah tersebut sudah dapat diterima.
b). Peringatan dan Perhatian:
 Keamanan penggunaan pada wanita hamil belum terbukti, bila terjadi
kehamilan selama pemakaian obat ini, maka pemberian obat harus
dihentikan dengan segera.
 Harus diberikan dengan hati-hati pada wanita menyusui, pemberian
ASI perlu dihentikan karena ditemukan kadar dalam ASI lebih tinggi
daripada kadar dalam darah ibu.
 Pengobatan agar dihentikan bila terjadi gejala-gejala angiodema
seperti bengkak mulut, mata, bibir, lidah, laring juga sukar menelan,
sukar bernafas dan serak.
 Pada kehamilan trimester ll dan lll dapat menimbulkan gangguan
antara lain: hipotensi, hipoplasiatengkorak neonatus, anuria, gagal
ginjal reversible atau irreversible dan kematian.
 Bayi dengan riwayat di mana selama di dalam kandungan ibunya
mendapat pengobatan penghambat ACE, harus diobservasi intensif
tentang kemungkinan terjadinya hipotensi, oligouria dan
hiperkalemia.
c). Efek Samping: Efek hipotensi, angioedema, kelelahan, sakit kepala,
gangguan perasa, batuk kering, ruam kulit, hipersensitif; efek ginjal
(kerusakan ginjal), gangguan electrolyte (hyperkalemia,
hyponatremia); gangguan darah.
2. Gol. Diuretik (Furosemid dan HCT)
a) Aturan pakai : Pemakaian dosis pertama akan meningkatkan jumlah
urin atau pasien akan sering BAK, supaya tidak mengganggu
kenyamanan tidur, maka dianjurkan untuk mengkonsumsi obat
sebelum jam 6 sore.
b) Peringatan dan perhatian
 Semua pasien yang menerima terapi furosemide harus diobservasi
untuk tanda/gejala/ketidakseimbangan elektrolit: mulut kering, haus,
lemah, lethargi, cepat lelah, nyeri otot, fatigue, hipotensi,dll.
 Kenaikan gula dalam darah juga harus diobservasi, oleh karena itu
pasien dengan riwayat DM harus mengatakan pada dokter.
c). efek samping sebagai berikut : anemia, kejang kandung kemih,
penglihatan kabur, sembelit, kram, pusing, demam, iritasi mulut dan
lambung, kemerahan, sedikit ikterik, kejang otot, telinga berdengung,
fotosensitivitas, inflamasi vena, mual.
3. Gol Channel Calsium Bloker (amlodipin, Nifedipin, Reserfin dan
Metildopa)
a) Aturan pakai :
 sesudah makan, dianjurkan untuk banyak minum air putih. Karena air
putih ‘membersihkan’ tubuh dengan menyingkirkan setiap kelebihan
natrium yang menyebabkan retensi cairan.
 Retensi cairan adalah penahanan air dalam tubuh akibat kesulitan
mengeliminasi natrium atau garam. Retensi cairan mengakibatkan
penyumbatan dan pembengkakan.
 Minumlah minimal 8 gelas air putih sehari agar terhindar dari selulit.
b) Peringatan Dan Perhatian
 Pemberian pada pasien dengan stenosis aorta atau pasien yang sedang
diberikan betha-bloker atau obat depresan miokardium lainnya dapat
menyebabkan resiko gagal jantung.
 Obat ini harus dihentikan bila ada tanda-tanda depresi seperti
despondensi, insomnia dini hari, kurang nafsu makan, impotensi.
 disarankan untuk melaksanakan hitung darah dan uji fungsi hati,
riwayat depresi.
 Pemberian obat pada pasien hipertensi dengan insufisiensi ginjal harus
dilakukan dengan hati-hati, karena sulit terjadi penurunan tekanan
darah.
c) Efek samping : muntah, diare, mual, anoreksia, mulut kering, sindroma
parkinson dan gejala ekstrapiramidal bersifat jarang, pusing, sakit
kepala, ansietas, depresi, gelisah, mengantuk, nyeri otot, peningkatan
berat badan.
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO Regional Office for the Eastern Mediterranean Cairo. “Clinical


guidelines for the management of hypertension”. 2005
www.emro.who.int/dsaf/dsa234.pdf
2. Dipiro. J.T. Pharmacotherapy Phatofisoligic Approach. 8th edtion.
3. The Journal of Clinical Hypertension, ASH/ISH Hypertension Guidelines.
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI. 2007. Riset
Kesehatan Dasar. http://www.depkes.go.id. [Depkes RI, Jakarta].
5. Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik. 2006. Pharmaceutical Care
Untuk Penyakit Hipertensi
6. Ganiswarna,Sulistia G. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi 4 Fakultas
Kedokteran UI: Jakarta
7. Katjung, Bertram. 2001. Famakologi Dasar dan Klinik. Salemba Medika.
Jakarta
8. Tjay, Tan Hoa, dkk. 2002. Obat-obat Penting. Alex Media Komputindo:
Jakarta
9. Yulinah Elin, Dkk. 2009. ISO Farmakoterapi. ISFI : Jakarta

Вам также может понравиться