Вы находитесь на странице: 1из 26

REFERAT

Penatalaksanaan Anestesi Pada Pasien


dengan Penyakit Jantung

0
DAFTAR ISI

Cover

DAFTAR ISI.............................................................................................................................1

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
1. Anestesi Pada Penyakit Jantung
1. Penyakit Jantung Koroner.......................................................................................3
a. Manajemen Preoperatif......................................................................................4
b. Manajemen Intraoperasi....................................................................................6
c. Manajemen Post-Operatif.................................................................................10
2. Penyakit Jantung Katup..........................................................................................11
1. Stenosis Mitral..................................................................................................13
2. Regurgitasi Mitral............................................................................................14
3. Prolaps Katup Mitral........................................................................................15
4. Stenosis Mitral.................................................................................................16
5. Regurgitasi Aorta.............................................................................................17
6. Regurgitasi Trikuspid......................................................................................18
3. Hipertensi...............................................................................................................18
a. Manajemen Preoperatif....................................................................................18
b. Manajemen Intraoperatif..................................................................................20
c. Manajemen Post-Operatif.................................................................................23
4. Decompensasio Cordis...........................................................................................23
a. Manajemen Preoperatif....................................................................................23
b. Manajemen Intraoperatif..................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................25

1
BAB I
PENDAHULUAN

Sejarah Anestesi berkembang pesat menjelang tahun 1940, dimana para dokter mulai
aktif mempelajari dasar-dasar ilmu anestesi yang menjadi cabang ilmu kedokteran yang
disebut Anesthesiologi. Dalam bahasa Yunani, “Anestesia” berarti tanpa rasa sensasi.
Pemilihan cara anestesia dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain umur, status fisik,
posisi pembedahan, ketrampilan dan kebutuhan dokter pembedah, keterampilan dan
pengalaman dokter anestesiologi, keinginan pasien, bahaya kebakaran dan ledakan,
pendidikan. Sebagian besar operasi (70-75%) dilakukan dengan anestesia umum, lainnya
dengan anestesia regional atau lokal. Operasi sekitar kepala, leher, intra-torakal, intra
abdominal paling baik dilakukan dengan anestesia umum endotrakea. Anestesia umum dilihat
dari cara pemberian obat yaitu secara parenteral, perektal, perinhalasi. Anestesia regional
berdasarkan tekhnik pemberian yaitu infiltrasi lokal, blok lapangan (field block), blok saraf
(nerve block), analgesia permukaan (topikal), dan analgesia regional intra vena.
Penyakit kardiovaskuler—terutama hipertensi, iskemik, dan penyakit katup jantung
adalah penyakit medis yang paling sering ditemukan dalam praktek anestesi dan penyebab
utama kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) perioperatif. Penatalaksanaan pasien-
pasien dengan penyakit-penyakit ini merupakan hal yang menantang kecerdasan dan sumber
daya dari anestesiologi. Respon adrenergik terhadap stimulasi pembedahan dan efek sirkulasi
dari obat-obat anestesi, endotrakheal intubasi, ventilasi tekanan positif, kehilangan darah,
perpindahan cairan, dan perubahan-perubahan di dalam suhu tubuh menjadi beban tambahan
pada sistim kardiovaskuler yang bermasalah. Obat-obat anestesi kebanyakan menyebabkan
depresi jantung, vasodilatasi, atau kedua-duanya. Bahkan obat-obat anestesi yang tidak
langsung berefek pada sirkulasi dapat menyebabkan depresi pada sirkulasi pada pasien-pasien
yang tergantung secara kronis pada obat-obat yang meningkatkan aktivitas simpatik.
Interupsi terhadap aktivitas ini sebagai suatu konsekuensi dari kondisi teranestesi dapat
menuju kepada dekompensasi sirkulasi akut

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Anestesi Pada Penyakit Jantung


1. Penyakit Jantung Koroner
Iskemia miokardium ditandai oleh kebutuhan oksigen untuk metabolisme
melebihi penyediaan oksigen . Oleh karena itu iskemia dapat diakibatkan oleh
peningkatan kebutuhan metabolisme jantung, pengurangan pasokan oksigen
jantung, atau kombinasi keduanya. Sampai saat ini penyebab iskemia miokardium
yang paling sering adalah aterosklerosis arteri koroner. Penyakit jantung koroner
(PJK) bertanggung jawab atas lebih dari sepertiga kematian pada masyarakat
Barat dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas perioperatif. Insidensi
keseluruhan kasus PJK pada pasien bedah diperkirakan antara 5% sampai 10%.
Faktor risiko mayor untuk PJK termasuk hiperlipidemia, hipertensi, kencing
manis, perokok, usia lanjut, laki-laki, dan ada riwayat keluarga. Yang termasuk
faktor risiko lainnya adalah obesitas, terdapat riwayat penyakit pembuluh darah
cerebrovaskuler atau perifer, menopause, penggunaan kontrasepsi estrogen oral
yang tinggi (pada wanita perokok), dan pola hidup yang tidak sehat (jarang
berolahraga). Pada usia 65 tahun, insidensi PJK kurang lebih 37% pada pria
dibandingkan dengan 18% untuk wanita.
Manifestasi klinik PJK dapat berupa gejala-gejala dari nekrosis miokard
(infark),
Unstable Angina
Unstable angina didefinisikan sebagai (1) satu peningkatan dalam beratnya
penyakit, frekuensi (lebih dari tiga kali per hari), atau lamanya serangan (angina
crescendo), (2) angina saat istirahat, atau (3) serangan baru angina (dalam 2 bulan
terakhir) dengan episode yang berat atau sering (lebih dari tiga kali per hari).
Episode angina sering tidak berhubungan dengan faktor pencetus yang ada.
Unstable angina dapat juga terjadi setelah infark miokard atau dipercepat oleh
kondisi-kondisi medis yang tidak berhubungan dengan jantung (termasuk anemia
yang berat, demam, infeksi, thyrotoxicosis, hypoxemia, dan distress emosional)
pada pasien-pasien yang sebelumnya stabil.

3
Unstable angina, terutama yang berkaitan dengan perubahan signifikan dari
segmen ST saat istirahat, biasanya mencerminkan penyakit koroner yang berat
dan sering mendahului infark miokard. Rusaknya pembuluh darah akibat plak
dengan agregasi trombosit atau thrombus dan vasospasm adalah proses patologis
yang sering berkaitan. Stenosis pada satu atau lebih arteri koroner utama
didapatkan pada lebih dari 80% pasien.

Stable Angina
Nyeri dada paling sering dirasakan substernal, exersional, menyebar ke leher
atau tangan, dan berkurang dengan istirahat atau nitrogliserin. Variasi yang biasa
ditemukan, nyeri di ulu hati (epigastrium, di punggung, atau leher atau nafas
pendek yang temporer dari disfungsi ventrikel (anginal equivalen). Iskemia non
exersional dan silent iskemia (asimptomatik) sering dijumpai pada kebanyakan
pasien. Insidensi silent iskemia relatif tinggi pada diabetes.
Gejala-gejala biasanya tidak muncul sampai lesi aterosklerotik menyebabkan
oklusi sebesar 50–75% pada sirkulasi koroner. Ketika prmbuluh darah yang
mengalami stenosis mencapai 70% oklusi, dilatasi kompensasi yang maksimum
biasanya terjadi di bagian distal: aliran darah biasanya cukup adekuat saat istirahat
tetapi menjadi tidak adekuat saat kebutuhan metabolik meningkat. Suplai darah
kolateral yang luas membuat beberapa pasien relatif asimptomatik kendati
penyakit yang berat. Prognosis pasien dengan PJK berkaitan dengan jumlah dan
beratnya obstruksi koroner seperti juga fungsi ventrikel.

a. Manajemen Preoperasi
1. Anamnesa
Anamnesa adalah hal yang penting pada pasien dengan penyakit
jantung iskemik. Pertanyaan harus mencakup gejala-gejala, pengobatan yang
sedang berlangsung dan yang sudah, komplikasi dan hasil pemeriksaan
sebelumnya. Informasi ini biasanya cukup untuk memperkirakan beratnya
penyakit dan fungsi ventrikel.
Gejala paling penting yang harus diketahui meliputi nyeri dada, sesak
nafas, toleransi aktifitas yang kurang, sinkope, atau hampir sinkope.
Hubungan antara gejala dan tingkat aktivitas harus ditegakkan. Aktivitas harus
diuraikan dalam kegiatan sehari-hari seperti berjalan atau menaiki tangga.
4
Kemampuan untuk melakukan pekerjaan ringan di rumah atau menaiki satu
anak tangga dengan lambat merupakan salah satu kriteria penting untuk
menentukan perlu tidaknya pemeriksaan jantung noninvasif. Pasien diabetes
cenderung untuk silent iskemia.
2. Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium Rutin
Pemeriksaan pasien penyakit jantung koroner serupa dengan pasien
hipertensi. Memang, keduanya sering ditemukan bersamaan pada pasien yang
sama. Pemeriksaan laboratorium untuk pasien yang mempunyai riwayat
angina unstable yang baru dan akan dilakukan operasi emergensi harus
meliputi kadar serum enzim jantung. Kadar serum dari troponin spesifik
jantung (T atau I), kreatine kinase (isoenzim MB), dan laktat dehidrogenase
(isoenzim tipe 1) berguna untuk menyingkirkan infark miokard. Digoksin
serum dan kadar antiaritmia lainnya juga berguna untuk menyingkirkan
toksisitas obat.
EKG awal normal pada 25-50% pasien dengan PJK. Segmen ST yang
datar dikaitkan dengan penyakit jantung koroner. Kelainan yang sering timbul
pada kondisi awal adalah segmen ST non spesifik dan perubahan gelombang
T. Infark yang terjadi sebelumnya sering ditandai dengan gelombang Q atau
tidak adanya gelombang R pada lead yang terdekat dengan infark. Elevasi
segmen ST yang persisten setelah iskemi miokard seringkali menunjukan
adanya aneurisma ventrikel kiri. Koreksi QT interval yang memanjang (QTc
> 0,44) mencerminkan adanya iskemia, keracunan obat (biasanya obat
antiaritmia kelas 1a, antidepresan, atau penotiazine), kelainan elektrolit
(hipokalemia atau hipomagnesemia), disfungsi otonom, prolap katup mitral,
atau yang lebih jarang, kelainan kongenital. Pasien-pasien dengan interval QT
memanjang mempunyai risiko terjadinya aritmia ventrikel –terutama takikardi
ventrikel polimorfik (torsade de pointes), yang dapat mengawali timbulnya
fibrilasi ventrikel. Operasi harus ditunda sampai keracunan obat dan
ketidakseimbangan elektrolit dapat diatasi.
3. Premedikasi
Berikut adalah terapi yang harus didapatkan pasien dengan PJK sebelum
menjalani operasi :
a. Semua pasien yang memiliki penyakit jantung koroner, peripheral
vascular disease, atau minimal dua faktor risiko untuk penyakit jantung
5
koroner (usia ≥ 60 tahun, merokok, diabetes melitus, hipertensi,
kolesterol total ≥ 240 mg/dL) harus mendapatkan terapi β-bloker peri-
operatif, kecuali pasien tersebut memiliki intoleransi terhadap obat -
obatan β-bloker.
b. Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut terhadap obat – obatan β-
bloker, maka pasien dapat diberikan klonidin. Cara pemberiannya,
yaitu :
- Klonidin 0,2 mg PO pada malam sebelum operasi. Jangan berikan
klonidin jika tekanan darah sistolik < 120 mmHg.
- Klonidin 0,2 mg PO pada pagi hari sebelum operasi.
c. Terapi β-bloker harus segera diberikan ketika pasien yang akan
dioperasi terdeteksi memiliki penyakit jantung koroner, peripheral
vascular disease, atau faktor risiko untuk penyakit jantung koroner.
Jika terapi β-bloker baru akan diberikan sebagai perencanaan
premedikasi operasi, maka atenolol 25 mg PO merupakan dosis awal
yang tepat
d. Terapi β-bloker harus dilanjutkan minimal 30 hari setelah operasi.
Pada pasien dengan hanya satu faktor risiko penyakit jantung koroner,
terapi dapat diberikan selama 7 hari setelah operasi.
e. Terapi harus dimulai saat pasien teridentifikasi memiliki faktor risiko
penyakit jantung koroner.
b. Manajemen Intraoperasi
Prioritas utama dalam mengelola pasien dengan penyakit jantung
iskemik adalah memelihara hubungan suplai dan kebutuhan jantung yang baik.
Peningkatan denyut jantung dan tekanan darah akibat pengaruh otonom harus
dikontrol dengan anestesia yang dalam atau dengan penghambat adrenergik.
Meskipun batasan yang jelas sulit diprediksi, tekanan diastol arteri seharusnya
dijaga pada 50 mmHg atau di atasnya. Tekanan diastol yang lebih tinggi
lebih disukai pada pasien dengan oklusi koroner derajat tinggi. Peningkatan
left ventricular end diastolic pressure harus dihindari sebab meningkatkan
tekanan dinding ventrikel (afterload) dan dapat mengurangi perfusi
subendokard. Konsentrasi hemoglobin darah yang adekuat (> 9-10 mg/dl) dan
tekanan oksigen arteri (> 60 mmHg) seharusnya dijaga.

6
Monitoring tekanan darah intra arteri disarankan untuk semua pasien
dengan PJK yang berat dan disertai faktor risiko. Central venous pressure atau
pulmonary artery pressure harus dimonitor selama operasi yang lama atau
sulit, yang berisiko kehilangan darah dalam jumlah yang besar. Monitoring
tekanan arteri pulmonal cocok untuk pasien dengan disfungsi ventrikel yang
signifikan (fraksi ejeksi < 40 – 50%). Transesofageal ekokardiografi (TEE)
dapat memberikan informasi yang berguna, baik kualitatif maupun kuantitatif,
mengenai kontraktilitas dan ukuran rongga ventrikel (preload).
Monitoring juga dapat dilakukan dengan pemasangan EKG. Iskemia
yang lebih jelas dapat dilihat pada bentuk depresi segmen ST. Perlu
diperhatikan bahwa ST elevasi minor yang hanya terdapat di mid-precordeal
lead (V3 dan V4) dapat merupakan variasi normal pada pasien muda. Idealnya
paling sedikit 2 lead harus terus meneru dimonitor. Biasanya, lead II untuk
memonitor iskemia pada dinding inferior dan aritmia dan V5 untuk iskemia
dinding anterior. Ketika hanya satu chanel yang dapat dimonitor, lead V5 yang
dimodifikasi mempunyai sensitivitas paling tinggi
Kelainan hemodinamik yang paling sering ditemukan selama episode
iskemik adalah hipertensi dan takikardia. Hipotensi adalah manifestasi akhir
dan tidak menyenangkan dari disfungsi ventrikel. Hemodinamika paling
sensitif yang berkaitan dengan hal ini berasal dari monitoring tekanan arteri
pulmonal. Kemunculan yang tiba-tiba dari gelombang v yang jelas pada
wedge waveform biasanya menunjukan regurgitasi mitral akut disfungsi otot
papillary yang iskemik atau pelebaran ventrkel kiri akut.
Anestesi regional sering menjadi pilihan yang baik prosedur operasi di
ekstremitas, perineum, dan abdomen bawah. Penurunan tekanan darah
setelah anestesi spinal atau epidural harus cepat diatasi dengan dosis kecil
fenilefrin (25 – 50 μg) atau obat sejenis untuk mengembalikan tekanan perfusi
koroner sampai cairan intravena yang cukup diberikan. Dosis kecil efedrin (5
– 10 μg) dapat diberikan saat timbul bradikardi. Hipotensi biasanya dapat
dihindari engan memberikan loading cairan sebelumnya. Hipotensi yang
tidak berespon terhadap fenilefrin atau efedrin dapt diatasi dengan epinefrin
(2 – 10 μg).

7
Merubah anestesi regional menjadi anestesi umum adalah langkah
yang sesuai untuk beberapa contoh kasus dan mengoreksi beberapa kondisi
yang sering terjadi seperti hipertensi, takikardi, hipoksia dan hiperkapnia.
Prinsip umum yang sama seperti yang diterapkan pada pasien dengan
hipertensi juga digunakan pada sebagian pasien dengan penyakit jantung
koroner.. Tindakan induksi harus memiliki efek hemodinamik yang minimal,
menghasilkan penurunan kesadaran yang diinginkan, dan kedalaman anestesi
yang sesuai untuk mencegah respon vasopresor terhadap tindakan intubasi
(jika intubasi diperlukan). Terlepas dari obat anestesi yang digunakan, tujuan-
tujuan ini dapat dicapai dengan lebih konsisten dengan teknik lambat yang
terkontrol. Induksi dengan obat terpilih dalam dosis kecil yang ditambah
perlahan biasanya menghindarkan penurunan tekanan darah yang dapat terjadi
pada pemberian dengan bolus besar. Tekanan darah, denyut jantung, dan
EKG harus selalu dinilai di setiap langkah selama tindakan induksi.
Pemilihan obat yang spesifik tidak diperlukan bagi sebagian besar
pasien. Propofol, barbiturat, etomidat, benzodiazepine, opioid, dan kombinasi
dari obat-obat ini biasanya sering digunakan. Ketamin adalah kontraindikasi
relatif jika digunakan secara tunggal karena memiliki efek simpatomimetik
indirek yang dapat mempengaruhi keseimbangan kebutuhan dan suplai
oksigen miokardium. Namun jika dikombinasikan dengan benzodiazepin atau
propofol, ketamin tidak terlalu meningkatkan aktivitas simpatis dan kemudian
akan menghasilkan hemodinamik yang relatif stabil dengan depresi
miokardium yang minimal.
Anestesi dengan opioid dosis tinggi telah digunakan lebih dulu secara
luas pada pasien dengan disfungsi ventrikular yang bermakna. Kecuali
meperidin (dalam dosis besar), penggunaan opioid tunggal umumnya
dikaitkan dengan depresi jantung yang minimal atau bahkan tidak ada.
Kombinasi dengan obat intravena lainnya (terutama benzodiazepin),
bagaimanapun, menghasilkan depresi jantung yang tergantung dosis secara
bermakna. Depresi jantung yang nyata juga dapat timbul pada induksi dengan
opioid murni dosis tinggi. Pasien dengan fungsi ventrikel yang buruk
seringkali tergantung pada peningkatan tonus simpatis untuk
mempertahankan curah jantung dan tidak dapat mengkompensasi bahkan
dengan penggunaan anestesi opioid murni dosis tinggi. Selain itu, opioid yang
8
digunakan sebagai obat tunggal dapat tidak berperan sebagai anestesi secara
utuh karena tingginya kejadian pasien yang sadar (recall) intraoperatif dan
hipertensi.
Pada umumnya teknik anestesi yang digunakan pada sebagian besar
pasien adalah teknik opioid-volatil. Pasien dengan fraksi ejeksi kurang dari
40% dapat sangat sensitif pada efek depresan dari obat volatil yang poten atau
opioid dosis besar (bolus). Nitrit oksida, terutama dalam penggunaan opioid,
juga dapat menghasilkan depresi jantung yang bermakna. Seluruh obat volatil
umumnya memiliki efek menguntungkan pada keseimbangan oksigen
miokardium, lebih menurunkan kebutuhan daripada suplai oksigen.
Deteksi iskemia intraoperatif harus langsung diikuti dengan pencarian
faktor presipitasi dan inisiasi intervensi untuk mengatasinya. Oksigenasi dan
kadar hematokrit (atau hemoglobin) harus diperhatikan dan abnormalitas
hemodinamik (hipotensi, hipertensi, atau takikardi) harus diatasi. Hematokrit
kurang dari 28% sering dikaitkan dengan iskemia perioperatif dan komplikasi
postoperatif, terutama pada pasien yang menjalani operasi vaskuler.
Kegagalan untuk mengidentifikasi penyebab atau mengatasi manifestasi
iskemik merupakan indikasi untuk memulai pemberian nitrogliserin intravena.
Agar optimal, nitrogleserin biasanya membutuhkan insersi jalur arteri, dan
pada beberapa pasien (yang memiliki gangguan ventrikular sedang hingga
berat), membutuhkan insersi kateter pulmonal. Pasta nitrogliserin dapat
digunakan jika nitrogliserin intravena tidak dapat digunakan, tetapi hal ini
biasanya menunjukkan adanya onset yang lebih lambat dan absorpsi yang
bervariasi.
Efek samping pada sirkulasi yang minimal umumnya menyebabkan
rokuronium, vekuronium, pipekuronium, dan doksakurium menjadi pelemas
otot yang baik pada pasien dengan penyakit jantung iskemik. Bradikardia
berat pernah dilaporkan pada pemakaian vekuronium (dan atrakurium),
namun pada hampir seluruh kasus hal ini dikaitkan dengan penggunaan opioid
sintetik. Jika digunakan dengan tepat, pelemas otot lainnya juga dapat
digunakan dengan aman pada pasien dengan PJK. Efek sirkulasi dari suksinil
kolin disebabkan oleh stimulasi ganglia otonom dan reseptor muskarinik
jantung dan dapat menghasilkan efek yang bervariasi pada denyut jantung dan
tekanan darah. Efek utamanya dipengaruhi oleh tonus simpatis dan para
9
simpatis, premedikasi dengan antikolinergik, dan blokade β-adrenergik.
Bradikardi dapat terjadi setelah penggunaan suksinil kolin pada pasien yang
mengkonsumsi obat penghambat β-adrenergik.
c. Manajemen Post-Operatif
Pemulihan dari anestesi dan periode sesaat postoperative masih dapat
menyebabkan stres pada miokardium. Pasien harus mendapatkan tambahan
oksigen hingga oksigenasi adekuat telah tercapai. Pasien biasanya dapat
mengigil pada penggunaan meperidin, 20-30 mg intravena; obat lain yang
pernah dilaporkan diantaranya clonidin 75 mg, atau butorfanol, 1-2 mg
intravena. Hipotermi harus diatasi dengan penggunaan penghangat. Jika
terdapat kecurigaan adanya overload cairan, atau jika pasien memiliki riwayat
fungsi ventrikular yang buruk, foto thoraks postoperatif dapat membantu.
Bendungan paru dapat dengan segera diterapi dengan furosemid, 20-40 mg
intravena, atau dengan terapi vasodilator intravena (biasanya nitrogliserin).
Risiko postoperatif terbesar pada pasien-pasien seperti ini adalah
iskemia yang tidak terdeteksi. Walaupun sebagian besar gelombang Q pada
infark miokardium perioperatif timbul dalam 3 hari pertama setelah operasi
(biasanya setelah 24-48 jam), sejumlah bermakna dari infark non- gelombang
Q timbul dalam 24 jam pertama. Karena kurang dari 50% pasien mengeluhkan
nyeri dada, pemeriksaan EKG penting untuk mendeteksi kejadian ini.
Manifestasi yang sering ditemukan adalah hipotesi yang tidak dapat
dijelaskan. Manifestasi lain, diantaranya gagal jantung kongestif dan
perubahan status mental. Hampir seluruh pasien yang mengalami komplikasi
ini berusia lebih dari 50 tahun. Diagnosis biasanya berdasarkan pada
penemuan EKG dan pemeriksaan enzim jantung, atau ,jarang, dengan
pemeriksaan radionuklida. Ekokardiografi transthorakal atau transesofageal
(TEE) juga dapat dipergunakan.

2. Penyakit Katup Jantung


a. Manajemen Preoperasi
10
1. Anamnesa
Anamnesa preanestesi lebih difokuskan pada gejala yang berkaitan dengan
fungsi ventrikel dan dihubungkan dengan data laboratorium. Perlu ditanyakan
juga mengenai toleransi saat latihan, kelelahan (fatigue), dan edema kaki dan
nafas yang pendek-pendek (dyspneu) saat berbaring (ortopneu), atau pada
malam hari (paroxysmal nocturnal dyspneu). Klasifikasi fungsional penyakit
jantung dari The New York Heart Association Functional Classification dapat
digunakan untuk menentukan derajat keparahan gagal jantung secara klinis,
membandingkan pasien, dan menilai prognosis. Pasien juga harus ditanya
mengenai nyeri dada dan gejala neurologis. Beberapa kelainan katup dikaitkan
dengan fenomena tromboemboli. Prosedur yang pernah dialami sebelumnya
seperti valvotomi atau penggantian katup dan efeknya juga harus ditanyakan
dengan teliti.

The New York Heart Association Functional Classification

Kelas Deskripsi

I Tidak ada gejala kecuali saat aktivitas berat

II Gejala timbul saat aktivitas sedang

III Gejala timbul saat aktivitas ringan

IV Gejala timul saat istirahat

Riwayat pengobatan juga perlu ditanyakan, bagaimana efek dan efek


samping yang ditimbulkannya, obat yang banyak digunakan diantaranya
digoksin, diuretik, vasodilator, penghambat ACE, antiaritmia, dan antikoagulan.
Digoksin umumnya paling efektif untuk mengontrol denyut ventrikel pada
pasien dengan fiblrilasi atrial. Denyut ventrikel harus kurang dari 80-90
kali/menit saat istirahat dan tidak boleh lebih dari 120 kali/menit saat stres atau
latihan.

2. Pemeriksaan Fisik

11
Tanda yang paling penting yang harus dicari pada pemeriksaan fisik adalah
tanda-tanda gagal jantung kongestif. Tanda gagal jantung kiri (S3 gallop atau
ronkhi paru) dan juga tanda gagal jantung kanan (distensi vena jugular, refluks
hepatojugular, hepatosplenomegali, atau edema pedis) dapat ditemukan.
Auskultasi dapat mengkonfirmasi disfungsi katup namun pemeriksaan EKG
dapat lebih dipercaya. Defisit neurologis, yang biasanya terjadi sebagai akibat
sekunder dari fenomena emboli juga harus dicatat.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Sebagai tambahan dari pemeriksaan laboratorium pada pasien dengan
hipertensi dan PJK, pemeriksaan fungsi hati dapat digunakan untuk menilai
disfungsi hati yang disebabkan oleh bendungan hati pasif pada pasien dengan
gagal jantung kanan yang berat atau kronis. Analisa gas darah arteri juga perlu
diperiksa pada pasien dengan gejala paru yang bermakna. Revers pada pasien
yang menggunakan antikoagulan harus dinilai dengan protrombin time dan
partial tromboplastin time sebelum operasi.
Pemeriksaan EKG umumnya kurang spesifik. Hasil pemeriksaan diantaranya
menunjukkan perubahan gelombang T atau segmen ST, aritmia, abnormalitas
konduksi, atau deviasi aksis QRS yang menunjukkan hipertrofi ventrikel.
Interval P-R yang memanjang dapat menunjukkan adanya toksisitas digoksin.
Aritmia yang dikaitkan dengan toksisitas digoksin termasuk (dalam urutan
frekuensi yang semakin jarang) ektopi ventrikel, takikardi atrial paroksismal,
takikardi dengan 2:1 blok AV, blok AV, sinus bradikardi menetap, ritme atrial
atau junctional AV yang rendah, dan disosiasi AV.
Foto thoraks dapat membantu untuk menilai ukuran jantung dan bendungan
pembuluh darah paru. Pembesaran ruang jantung secara spesifik juga dapat
dinilai.
4. Premedikasi
Pasien dengan fungsi ventrikel yang buruk, di sisi lain, cenderung untuk lebih
sensitif terhadap sebagian besar obat, dan dosis premedikasi harus dikurangi
tergantung pada gangguan ventrikel yang dideritanya. Pasien harus tetap
mendapat obat-obat yang biasanya dikonsumsi pada pagi hari sebelum operasi.
Tambahan oksigen dapat berguna bagi pasien dengan hipertensi pulmonal atau
pasien yang memiliki penyakit paru.

12
Pasien yang mendapat terapi antikoagulan umumnya dapat menghentikan
pengobatannya selama 1-3 hari perioperatif. Insidensi komplikasi
tromboembolik meningkat dengan riwayat emboli dan adanya trombus, fibrilasi
atriel, atau katup mekanis prostetik. Risiko tromboemboli tertinggi pada
penggunaan prostetis mekanis caged-ball (Starr-Edward), terutama pada posisi
mitral atau trikuspid, risiko menengah pada katup tiltingdisc (St. Jude), dan
risiko yang terendah pada penggunaan bioprostesis (katup dari jaringan babi
atau sapi). Sebagian besar pasien dapat dengan aman menghentikan pemakaian
warfarin 3 hari sebelum operasi dan memulai kembali pemakaiannya 2-3 hari
post operasi. Jika risiko tromboemboli sangat tinggi, maka antikoagulasi dapat
dihentikan sehari sebelum operasi dan diganti dengan vitamin K atau fresh
frozen plasma; terapi heparin intravena dapat dimulai 12-24 jam postoperasi
saat hemostasis telah adekuat.

2.1.Kelainan Katup Khusus


1. Stenosis Mitral
a. Manajemen Preoperatif
Stenosis mitral hampir selalu muncul sebagai komplikasi lambat dari
demam rematik akut. Dua pertiga pasien dengan stenosis mitral adalah
perempuan. Gejala biasanya timbul setelah 20-30 tahun kemudian, saat
orifisium katup mitral berkurang dari normalnya 4-6 cm2 menjadi kurang
dari 2 cm2. Kurang dari 50% pasien memiliki stenosis mitral yang terisolasi;
sisanya juga memiliki mitral regurgitasi, dan sampai 25% pasien juga
memiliki keterlibatan rematik pada katup aorta (stenosis atau regurgitasi).
b. Manajemen Intraoperasi
Pasien dapat sangat sensitif terhadap efek vasodilatasi dari anestesi
spinal dan epidural. Epidural lebih dipilih daripada anestesi spinal karena
onset blokade simpatisnya yang lebih gradual. Ketamin sebagai obat tunggal
umumnya merupakan induksi yang kurang memuaskan karena stimulasi
simpatisnya. Begitu juga dengan takikardi yang disebabkan oleh
pankuronium juga harus dihindari. Dalam pertimbangan pemilihan obat
anestesi, opioid mungkin merukapan pilihan yang lebih baik dibanding obat
volatil. Volatil dapat menyebabkan vasodilatasi yang tidak diinginkan atau
mempresipitasi ritmik. Di antara seluruh obat volatil, mungkin halotan
13
adalah obat yang paling dipilih karena memiliki efek menurunkan tekanan
darah dan memiliki efek vasodilatasi yang paling minimal, akan tetapi obat
volatil lainnya pun telah digunakan dengan aman. Pengunaan nitrit oksida
harus lebih hati-hati karena nitrit oksida dapat meningkatkan tahanan
vaskuler pulmonal pada beberapa pasien.
Takikardia intraoperatif dapat dikontrol dengan menambah kedalaman
anestesi dengan opioid (kecuali meperidin) atau penghambat-â (esmolol atau
propanolol). Pada pasien dengan fibrilasi atrial, denyut ventrikel dapat
dikontrol dengan diltiazem atau digoksin. Verapamil tidak menjadi pilihan
karena efek vasodilatasi yang dihasilkan. Deteorasi hemodinamik yang nyata
dari takikardi supraventrikular akut menunjukan cardioversi. Fenilefrin lebih
dipilih sebagai vasopresor dibanding efedrin karena fenilefrin memiliki
aktivitas agonis âadrenergik yang lebih sedikit. Terapi untuk hipertensi akut
atau reduksi afterload dengan vasodilator poten hanya boleh dilakukan
dengan monitoring hemodinamik secara menyeluruh.

2. Regurgitasi Mitral
a. Manajemen Preoperatif
Regurgitasi mitral dapat timbul dengan akut maupun perlahan sebagai
hasil dari banyaknya kelainan yang diderita. Reguritasi mitral yang kronik
biasanya merupakan akibat dari demam rematik (seringkali disertai dengan
stenosis mitral), kelainan kongenital atau gangguan pertumbuhan aparatus
katup, atau dilatasi, destruksi, atau kalsifikasi anulus mitral. Regurgitasi
mitral akut biasanya disebabkan oleh iskemia atau infark miokardium
(disfungsi otot papiler atau ruptur chorda tendinea), infeksi endokarditis, atau
trauma thoraks.
b. Manajemen Intraoperatif
Pasien dengan fungsi ventrikel yang relative baik cenderung
memberikan hasil yang baik pada penggunaan sebagian besar teknik anestesi.
Anestesi epidural dan spinal dapat ditoleransi dengan baik, selam abradikardi
dapat dihindarai. Pasien dengan gangguan ventrikel sedang hingga berat
seringkali sangat sensitif pada efek depresan dari obat volatile. Anestesi
berbasis opioid tampaknya lebih sesuai untuk pasien-pasien ini, juga apabila

14
bradikardi dapat dihindari. Pemilihan pankuronium sebagai pelemas otot
pada tindakan anestesi dengan opioid dapat berguna untuk kepentingan ini.

3. Prolaps Katup Mitral


a. Manajemen Preoperatif
Prolaps katup mitral dikarakterisasi secara klasik dengan klik mid-
diastolik dengan atau tanpa murmur sistolik lambat di apeks jantung pada
auskultasi. Hal ini adalah abnormalitas yang biasa ditemukan pada 5%
populasi. Diagnosis didasarkan pada hasil pemeriksaan auskultasi dan
dikonfirmasi dengan ekokardiografi, yang menunjukkan prolaps sistolik dari
daun katup mitral ke atrium kiri. Pasien dengan murmur seringkali
menunjukkan adanya regurgitasi mitral. Daun katup mitral posterior lebih
sering terkena dibandingkan daun anterior. Anulus mitral juga dapat
mengalami dilatasi. Secara patologis, sebagian besar pasien mengalami
redundansi atau degenerasi miksomatus dari daun-daun katup
Sebagian besar pasien dengan prolaps katup mitral tidak menunjukkan
gejala, namun pada persenatsi yang kecil, degenerasi miksomatus dapat
terjadi secara progresif. Manifestasi yang ada, kalau terjadi, dapat berupa
nyeri dada, aritmia, emboli, regurgitasi mitral, endokarditis infetif, dan
sangat jarang, kematian mendadak. Diagnosis dapat ditegakkan preoperatif
melalui penemuan click yang karakteristik pada auskultasi namun perlu
dikonfirmasi dengan pemeriksaan ekokardiografi. Prolaps dapat diperkuat
dengan manuver yangmenurunkan volume ventrikel (preload). Pemeriksaan
EKG biasanya normal, namun pada beberapa pasien dapat menunjukkan
gelombang T terbalik atau bifasik atau perubahan segmen ST inferior.
Aritmia atrial maupun ventrikular juga sering terjadi. Walaupun bradi aritmia
juga pernah dilaporkan, takikardi supraventrikular paroksismal paling sering
ditemukan. Peningkatan insidensi jalur bypass AV yang abnormal pada
pasien dnegan prolaps katup mitral.
b. Manajemen Intraoperatif
Manajemen pada pasien dengan kelainan ini didasarkan pada
penampilan klinisnya. Sebagian besar pasien tidak menunjukkan gejala dan,
selain antibiotik profilaksis, tidak memerlukan pengobatan khusus. Pasien
dengan murmur sistolik memiliki risiko terbesar untuk mengalami
15
endokarditis infektif. Aritmia ventrikular dapat terjadi intraoperatif, terutama
setelah stimulasi simpatis, dan umumnya akan memberikan respon terhadap
lidokain atau obat penghambat -adrenergic. Anestesi yang relatif dalam
dengan menggunakan obat volatil biasanya menurunkan kecenderungan
aritmia intraoperatif. Regurgitasi mitral yang disebabkan oleh prolaps
umumnya dieksaserbasi oleh penurunan ukuran ventrikel. Oleh karena itu,
hipovolemi dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengosongan ventrikel,
seperti peningkatan tonus simpatis atau penurunan afterload, harus dihindari.
Vasopresor yang memiliki aktivitas agonis -adrenergic (misalnya fenilefrin)
lebih dipilih dibandingkan vasopresor yang memiliki efek agonis -
adrenergic (misalnya efedrin).

4. Stenosis Aorta
a. Manajemen Preoperatif
Stenosis katup aorta adalah penyebab obstruksi outflow ventrikel kiri
yang paling sering. Obstruksi outflow ventrikel kiri lebih jarang disebabkan
oleh kardiomiopati hipertrofi, stenosis subvalvular kongenital, rematik, atau
degeneratif. Abnormalitas jumlah katup (paling seringpada katup tricuspid)
atau kelainan bentuk katup menghasilkan turbulensi yang akan menimbulkan
trauma pada katup dan pada akhirnya akan menimbulkan stenosis. Stenosis
rematik aorta jarang terisolasi, kelainan ini lebih sering terjadi bersamaan
dengan regurgitasi aorta atau kelainan katup mitral.
b. Manajemen Intraoperatif
Pemeliharaan sinus ritmik, denyut jantung, dan volume intravaskuler
yang normal sangat penting pada pasien dengan stenosis aorta. Hilangnya
waktu sistol atrium seringkali menyebabkan deteorasi yang cepat, terutama
jika berhubungan dengan takikadi. Kombinasi dengan fiblrilasi atrial
mengganggu pengisian ventrikel dengan serius dan mengharuskan
cardioversi segera. Penurunan komplians ventrikel juga menyebabkan pasien
menjadi sangat sensitif pada perubahan mendadak pada volume
intravaskuler. Lebih banyak pasien yang menunjukkan isi sekuncup menetap
dibandingkan dengan hidrasi yang adekuat; pada keadaan ini curah jantung
menjadi sangat tergantung pada denyut jantung. Oleh karena itu, bradikardia

16
(<50 kali/menit) menghasilkan toleransi yang sangat buruk. Denyut jantung
yang optimal bagi sebagian besar pasien adalah sekitar 60 dan 90 kali/menit.

5. Regurgitasi Aorta
a. Manajemen Preoperatif
Regurgitasi aorta biasanya terbentuk perlahan dan terus menerus
(kronis), tetapi dapat juga terbentuk cepat (akut). Regurgitasi aorta kronik
disebabkan oleh kelainan katup aorta, pembuluh aorta, atau keduanya.
Kelainan katup biasnya kongenital (katup bikuspid) atau akibat demam
rematik. Penyakit pada aorta ascenden menyebabkan regurgitasi dengan
mendilatasi anulus aorta; diantaranya sifilis, ektasia annuloaorta, nekrosis
medial cystic (dengan atau tanpa Marfan syndrome), spondilitis ankilosing,
rematoid arthritis dan psoriatik artritis, dan bermacam-macam gangguan
jaringan penyambung. Insufisiensi aorta akut biasanya paling sering terjadi
setelah endokarditis infeksi,trauma, atau diseksi aorta.
b. Manajemen Intraoperatif
Denyut jantung harus dijaga dalam batas -batas yang normal (80-100
x/m). Bradikardi dan peningkatan SVR meningkatkan volume
regurgitanpada pasien dengan regurgitasi aorta, sementara takikardi berperan
untuk menyebabkan iskemia miokardium. Depresi jantung yang besar
sebaiknya dihindari. Kompensasi peningkatan preload jantung harus dijaga,
tetapi pengantian cairan yang terlalu bersemangat dapat menimbulkan edema
paru yang segera.
Kebanyakan pasien menerima anestesia spinal dan epidural, volume
intravaskulernya terpelihara. Ketika anestesi umum diperlukan, isofluran
dan desfluran mungkin merupakan obat ideal sehubungan dengan
vasodilatasinya. Teknik anestesi umum berbasis opioid lebih cocok pada
pasien dengan depresi fungsi ventrikel. Pancuronium meupakan pilihan yang
baik untuk teknik General anestesia sebab sering mencegah takikardia.
Pengurangan afterload intraoperasi dengan nitroprusid memerlukan
monitoring ketat yang optimal. Efedrin biasanya digunakan sebagai
vasopresor untuk mengatsi hipotensi. Dosis kecil fenilefrin (25-50 μg) dapat
digunakan ketika hipotensi disebabkan vasodilatais yang hebat. Dosis besar

17
fenilefrin dapat meningkatkan SVR (dan tekanan diastol arteri) dan dapat
memperburuk regurgitasi.

6. Regurgitasi Trikuspid
a. Manajemen Preoperatif
Secara klinis regurgitasi trikuspid, kebanyakan disebabkan oleh
dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmoner yang berkaitan dengan
kegagalan ventrikel kiri. Regurgitasi trikuspid juga dapat terjadi setelah
endokarditis infeksi (biasanya pada pengguna narkotik dengan menggunakan
injeksi), demam rematik, sindroma karsinoid, atau truma dada atau akibat
anomali Ebstein (Letak katup kebawah karena kelainan letak daun katup).
b. Manajemen Intraoperatif Sasaran hemodinamik seharusnya
ditujukan terhadap penyakit yang mendasarinya. Hipovolemia dan faktor-
faktor yang meningkatkan afterload ventrikel kanan, seperti hipoxia dan
asidosis, seharusnya dihindari untuk menjaga stroke volume ventrikel kanan
yang efektif dan preload ventrikel kiri. PEEP dan tekanan jalan nafas yang
tinggi diharapkan selama ventilasi mekanik sebab mengurangi venous return
dan menambah afterload ventrikel kanan.
Pemilihan obat anestesi seharusnya berdasarkan kepada kelainan yang
mendaarinya. Kebanyakan pasien mentoleransi dengan baik anestesia spinal
dan epidural. Koagulopati yang timbul karena disfungsi hepar harus dapat
disingkirkan sebelum melakkan beberapa teknik regional. Selama anestesia
N2O dapat memperburuk hipertensi pulmonal dan harus diberikan dengan
hati-hati,

3. Hipertensi
a. Manajemen Preoperatif
1. Anamnesis
Kebanyakan pasien-pasien dengan hipertensi datang ke ruang operasi dengan
berbagai tingkat hipertensi. Pasien dengan hipertensi yang tidak diobati atau
jarang dikontrol lebih cenderung untuk mengalami epiode iskemia
miokardium intraoperatif, aritmia, atau hipertensi maupun hipotensi.
Penyesuaian intraoperatif pada kedalaman anestesia dan penggunaan obat

18
vasoaktif mengurangi timbulnya komplikasi sesudah operasi karena kurang
baiknya kontrol tekanan darah sebelum operasi
Kebanyakan, hipertensi preoperatif disebabkan pasien tidak mematuhi
regimen pengobatan. Dengan sedikit pengecualian, pengobatan antihipertensi
harus dilanjutkan sampai saat operasi. Beberapa klinikus menghentikan ACE
inhibitor di pagi hari operasi sehubungan dengan meningkatnya insidensi
hipotensi intraoperasi; bagaimanapun, menghentikan sementara obat ini
meningkatkan risiko timbulnya tekanan darah tinggi perioperatif dan
kebutuhan akan obat antihipertensi parenteral. Prosedur-operasi pada pasien-
pasien dengan tekanan darah diastolik preoperasi yang lebih tinggi dari 110
mmHg –terutama jika terdapat tanda-tanda kerusakan target organ- harus
ditunda sampai tekanan darah terkontrol dengan baik dalam beberapa hari
Pada riwayat preoperatif perlu ditanyakan berat ringannya dan lamanya
hipertensi, pengobatan yang sedang berlangsung, dan ada tidaknya komplikasi
hipertensi. Gejala-gejala dari iskemia miokardium, kegagalan ventrikel,
perfusi serebral lemah, atau penyakit vaskuler perifer harus diperoleh
informasinya, juga catatan pasien mengenai keluhan dengan pengobatannya.
Pertanyaan-pertanyaan mengenai nyeri dada, toleransi olahraga, nafas
pendek/sesak (terutama sekali pada malam hari), edema, postural
lightheadedness, sinkop, amaurosis, dan claudicasia.
2. Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium
Ophthalmoscopy mungkin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat pada
pasien-pasien hypertensi (selain dari sphygmomanometer), tetapi sayangnya
itu biasanya tidak dilakukan. Perubahan-perubahan yang terlihat pada
pembuluh darah retinal biasanya paralel dengan berat ringannya dan
progresifitas aterosklerosis dan kerusakan pada organ lain akibat hipertensi. S4
gallop biasanya ditemukan pada pasien dengan LVH. Temuan lain pada
pemeriksaan fisik seperti ronki pada paru-paru dan S3 gallop adalah tanda-
tanda lanjut dan menunjukan adanya gagal jantung kongestif. Tekanan darah
harus diukur pada posisi terlentang dan berdiri. Perubahan orthostatik dapat
disebabkan kekurangan volume, vasodilasi berlebihan, atau terapi obat
simpatolitik; pemberian cairan preoperatif dapat mencegah hipotensi yang
berat setelah induksi anestesia pada pasien-pasien ini.

19
Elektrokardiogram (EKG) sering normal, tetapi pada pasien-pasien dengan
riwayat hipertensi yang lama sering menunjukkan tanda-tanda dari iskemia,
kelainan konduksi, infark yang lama, atau Hipertropi atau pelebaran ventrikel
kiri. Suatu EKG yang normal tidak lantas meniadakan penyakit arteri koroner
atau LVH. Begitu pula, ukuran jantung yang normal pada hasil foto thoraks
tidak meniadakan kemungkinan hipertropi ventrikel. Ekhokardiografi adalah
suatu pemeriksaan yang lebih sensitif untuk LVH dan dapat digunakan untuk
mengevaluasi fungsi-fungsi diastolik dan sistolik ventrikel pada pasien-pasien
dengan gejala gagal jantung. Foto toraks biasanya tidak bisa berkomentar
tetapi dapat menunjukkan suatu bentuk jantung seperti sepatu boot
(kemungkinan LVH), kardiomegali, atau kongesti pembuluh darah paru.
Mengevaluasi fungsi ginjal yang terbaik dengan mengukur kadar kreatinin
serum dan nitrogen urea darah/ BUN. Kadar elektrolit serum diperiksa pada
pasien yang mendapat diuretika atau digoksin atau mereka yang mempunyai
gagal ginjal. Hipokalemia ringan sampai moderat sering ditemukan pada
pasien yang mendapat diuretik (3–35 mEq/L) tetapi biasanya tidak
menunjukan akibat yang kurang baik . Koreksi kalium mungkin perlu
dilakukan hanya pada pasien-pasien yang menunjukan gejala atau yang
mendapat digoksin.
3. Premedikasi
Premedikasi mengurangi kecemasan preoperasi dan sangat dibutuhkan pada
pasien-pasien hipertensi. Hipertensi preoperasi yang ringan sampai moderat
sering membaik setelah pemberian obat anxiolitik, seperti midazolam. Obat
antihipertensi preoperatif harus dilanjutkan sampai dengan jadwal operasi dan
dapat diberikan dengan seteguk air. Agonis α2-adrenergik pusat dapat
bermanfaat sebagai ajuvan untuk premedikasi pasien-pasien hipertensi;
clonidine (0,2 mg) meningkatkan sedasi, mengurangi pemberian obat anestesi
intraoperatif, dan mengurangi hipertensi perioperatif. Sayangnya, pemberian
clonidin preoperatif berkaitan dengan hipotensi intraoperatif yang berat dan
bradikardia.
b. Manajemen Intraoperatif
Rencana anestesi menyeluruh untuk pasien hipertensi adalah memelihara satu
batas tekanan darah yang stabil. Pasien-pasien dengan hipertensi borderline bisa
diperlakukan sebagai pasien normotensif. Karena kebanyakan pasien-pasien
20
dengan hipertensi lama diasumsikan memiliki CAD dan hipertropi jantung,
peningkatan tekanan darah berlebihan tidak diharapkan. Hipertensi, terutama yang
disertai takikardia, dapat memicu atau memperburuk iskemia miokardium,
disfungsi ventrikel, atau kedua-duanya. Tekanan darah arteri biasanya dijaga
supaya berada di kisaran 10–20% dari ukuran preoperatif. Jika hipertensi
(>180/120 mmHg) didapatkan preoperasi, tekanan darah arteri harus
dipertahankan pada normal tinggi (150–140/90–80 mm Hg).
Induksi anestesi dan intubasi endotrakheal sering merupakan periode dengan
hemodinamik tidak stabil bagi pasien-pasien hipertensi. Dengan mengabaikan
tingkat kendali tekanan darah preoperatif, banyak pasien hipertensi menampilkan
respon hypotensif yang kuat terhadap induksi anestesia, diikuti oleh respon
hypertensif yang berlebihan terhadap intubasi. Respon hipotensif saat induksi
menunjukan penambahan efek depresi sirkulasi dari obat-obat anestesi dengan
obat antihipertensi. Banyak, jika bukan hampir semua, obat antihipertensi dan
anestesi umum adalah vasolidator, mendepresi jantung, atau kedua-duanya. Obat
simpatolitik juga menurunkan refleks sirkulasi yang secara normal bersifat
melindungi, mengurangi tonus simpatis dan meningkatkan aktivitas vagal. Salah
satu dari beberapa teknik yang bisa digunakan sebelum intubasi untuk menipiskan
respon hypertensi:
- Memperdalam anestesia dengan volatil yang kuat selama 5–10 min.
- memberikan opioid secara bolus (fentanyl, 2,5–5 μg/kg; alfentanil, 15–25
μg/kg; sufentanil, 0,25–0,5 μg/kg; atau remifentanil, 0,5–1 μg/kg).
- Memberikan lidokain, 1,5 mg/kg intravena atau intratrachea.
- Memblokade β-adrenergik dengan esmolol, 0.3–1.5 mg/kg; propranolol, 1–3
mg; atau labetalol, 5–20 mg.
- Menggunakan anestesi topikal pada jalan nafas.
Keunggulan suatu obat hipertensi atau teknik dibanding yang lain belum jelas.
Bahkan setelah anestesia regional, pasien-pasien hipertensi sering mengalami
penurunan tensi yang besar dibanding pasien-pasien normotensi. Propofol,
barbiturat, benzodiazepin, dan etomidate mempunyai keamanan yang sama untuk
induksi anestesi umum pada kebanyakan pasien hipertensi. Pemberian ketamine
(tanpa disertai obat lain) merupakan kontraindikasi pada operasi elektif, karena
stimulasi simpatisnya dapat memicu hipertensi. Stimulasi simpatisnya ini dapat
dihambat atau dihilangkankan dengan pemberian dosis kecil obat lain secara
21
bersamaan, khususnya suatu benzodiazepin atau propofol. Untuk pemberian agen
pelemas otot, kecuali pancuronium yang diberikan secara bolus dalam jumlah
besar, setiap pelemas otot (disebut juga neuromuscular blocking agent) dapat
digunakan secara rutin. Pancuronium menyebabkan blokade vagal dan pelepasan
katekolamin oleh syaraf sehingga dapat menimbulkan hipertensi pada pasien-
pasien yang kurang terkontrol tekanan darahnya. Ketika pancuronium diberi
pelan-pelan dengan peningkatan dosis kecil, peningkatan bermakna pada denyut
jantung dan tekanan darah mungkin lebih sedikit.
Anestesia bisa dilanjutkan dengan aman dengan volatil (dengan atau tanpa
nitro oxida), teknik balance (opioid + nitro oxida + pelemas otot), atau teknik
intravena secara total. Tanpa memperlihatkan teknik pemeliharaan yang
digunakan, penambahan volatil atau vasodilator intravena umumnya membuat
kendali tekanan darah intraoperasi lebih memuaskan. Vasodilasi dan depresi
miokardium yang relatif cepat dan reversibel oleh volatil menyebabkan
pemberian obat dilakukan secara titrasi sehingga efeknya dapat menghambat
tekanan darah arteri. Beberapa klinisi percaya bahwa opioid, sufentanil paling
kuat dalam mensupresi sistem otonom dan mengendalikan tekanan darah.
Hipertensi intraoperasi yang tidak berespon dengan memperdalam anestesi
(terutama dengan volatil) dapat diatasi dengan beberapa obat parenteral. Pastikan
bahwa penyebab yang reversibel –seperti kedalaman anestesi yang tidak adekuat,
hipoxemia, atau hipecapnia sudah disingkirkan sebelum mulai mengobati
hipertensi. Penghambat β-adrenergik, sendirian atau sebagai tambahan/suplemen
adalah suatu pilihan yang baik untuk pasien dengan fungsi ventrikel baik dan
peningkatan denyut jantung tetapi kontraindikasi untuk mereka dengan penyakit
bronchospastik. Nicardipine bisa lebih baik untuk pasien-pasien dengan penyakit
bronchospastik. Refleks takikardi setelah pemberian nifedipine bawah lidah
dihubungkan dengan iskemia miokardium dan efek antihipertensinya memiliki
onset yang lambat. Nitroprusside masih merupakan obat paling efektif dan cepat
untuk pengobatan intraoperasi terhadap hipertensi yang moderat sampai berat.
Nitrogliserin mungkin kurang efektif tetapi juga bermanfaat dalam mengobati
atau mencegah iskemia miokardium. Fenoldopam juga suatu obat yang
bermanfaat dan dapat memperbaiki atau memelihara fungsi ginjal. Hydralazine
membantu pengendalian tekanan darah tetapi juga mempunyai onset yang lambat

22
dan dapat menyebabkan refleks takikardia. Terakhir yang jarang terlihat labetalol
oleh karena memiliki kombinasi penghambat α dan β-adrenergik.
c. Manajemen Post-Operatif
Hipertensi sesudah operasi biasa terjadi dan harus diantisipasi pada pasien-
pasien yang tensinya kurang terkontrol. Monitoring ketat tekanan darah harus
dilanjutkan di ruang pemulihan dan periode awal sesudah operasi. Hipertensi pada
periode penyembuhan sering disebabkan banyak faktor dan diperkuat oleh
kelainan pernapasan, nyeri, kelebihan volume cairan, atau distensi kandung
kencing. Penyebab yang menyokong harus dikoreksi dan obat antihipertensi
parenteral diberikan jika perlu. Labetalol intravena terutama bermanfaat dalam
mengendalikan tekanan darah tinggi dan takikardia, sedangkan nicardipine
bermanfaat dalam mengendalikan tekanan darah pada kondisi denyut jantung yang
lambat, terutama jika dicurigai iskemia myokard atau terdapat bronkospasme.
Ketika pasien mulai boleh makan per oral, pengobatan yang diberikan sebelum
operasi harus dimulai kembali.

4. Decompensasio Cordis
a. Manajemen Preoperatif
Operasi elektif sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan decompensasio
cordis sampai decompensasio cordis pada pasien tersebut di terapi dengan baik.
Konsul dari kardiologis sangat dibutuhkan pada pasien decompensasio cordis yang
akan menjalani operasi karena jika tidak diterapi dengan baik, operasi pada pasien –
pasien seperti ini akan meningkatkan prevalensi morbiditas kasus yang berkaitan.
Manajemen pre operatif pada pasien ini adalah pemberian β-bloker dan ACEi dapat
meningkatkan fungsi ventrikel dan mengurangi komplikasi intraoperasi. Obat –
obatan tersebut harus mulai ditingkatkan perlahan dosisnya dalam tiga hingga enam
bulan seiring dengan meningkatnya fungsi jantung.
b. Manajemen Intraoperatif
Etomidate dapat digunakan sebagai obat induksi untuk pasien dengan
decompensasio cordis karena efeknya yang minimal terhadap saraf simpatis.
Konsentrasi anestesi volatil yang minimal dapat menjaga anestesi selama operasi,
namun efek depresi jantung harus dihindari. Pada pasien dengan decompensasio
cordis yang parah, kombinasi benzodiazepine (midazolam) dan opioid dosis besar
dapat digunakan sebagai agen induksi. Pasien dengan decompensasio cordis
23
sebaiknya dimonitor secara berkala dengan memantau tekanan arteri pulmonal dan
EKG. Tekanan darah pasien dapat dijaga supaya stabil dengan agen vasokontriktor
(phenylephrine) yang juga dapat meningkatkan kontraktilitas miokard.
Teknik anestesi epidural merupakan teknik yang paling ideal untuk pasien
dengan decompensasio cordis yang menjalani bedah minor, karena teknik epidural
memblok saraf simpatis secara bertahap.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan, GE. Clinical anesthesiology, 4th Edition. USA : McGraw-Hill. 2006.

2. Miller, RD. Miller’s anesthesia, 7th edition. USA : Elsevier. 2009.

3. Poldermans D. Guidelines for pre-operative cardiac risk asessment and perioperative


cardiac management in non-cardiac surgery. Netherland : European Heart Journal.
2009.

4. Dickstain A, et al.Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure 2008.European Society Cardiology. European Heart Journal; 2008.

25

Вам также может понравиться