Вы находитесь на странице: 1из 12

A.

KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Pengertian
Apendisitis adalah infeksi terjadi pada umbai cacing (usus buntu),
yang dapat mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan tindakan
bedah (Nurarif & Kusuma, 2015). Sandy dan Williams (2010), apendisitis
adalah suatu radang yang timbul secara mendadak pada apendiks dan
merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui.
Apendisitis pada kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak
kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang
terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh
peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur (Rahza,
Putri. 2010).
Perforasi apendiks merupakan komplikasi apendisitis yang paling
sering terjadi yaitu pecahnya apendiks yang sudah gangrene yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga dapat menyebabkan
terjadinya perintonitis umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi
dikelilingi oleh jaringan nekrotik (Rukmono, 2011).

2. Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi atas 3 (Nurarif & Kusuma, 2015), yakni:
a. Apendisitis akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat,
disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala
apendisitis akut ialah nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri
viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering
disertai mual, muntah dan umumnya nafsu makan menurun. Dalam
beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik Mc.Burney. Nyeri dirasakan
lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik
setempat.
b. Apendisitis rekruens
Kondisi apendiks yang pernah meradang, tidak dapat sembuh dengan
sempurna, tetapi membentuk jaringan parut dan fibrosis sehingga dapat
menimbulkan keluhan berulang (Sjamsuhidajat, 2005).
c. Apendisitis kronis
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik
apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik
apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan
parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di
mukosa dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara
1-5%. Apendisitis kronik kadang-kadang dapat menjadi akut lagi dan
disebut apendisitis kronik dengan eksaserbasi akut yang tampak jelas
sudah adanya pembentukan jaringan ikat (Rukmono, 2011).

3. Epidemiologi
Agustinnur (2010), apendisitis akut merupakan kasus infeksi
intraabdominal yang sering dijumpai di negara-negara maju, sedangkan pada
negara berkembang jumlahnya lebih sedikit, namun dalam tiga dasawarsa
terakhir menurun secara bermakna. Kejadian ini di duga disebabkan oleh
meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Insiden
pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada usia 20-30
tahun, insiden pada laki-laki lebih tinggi. Appendicitis dapat menyerang orang
dalam berbagai umur, umumnya menyerang orang dengan usia dibawah 40
tahun,khususnya antara 8 sampai 14 tahun, dan sangat jarang terjadi pada usia
dibawah 2 tahun (Rahza, Putri. 2010).
4. Etiologi
Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri (Smeltzer & Bare,
2002). Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Diantaranya adalah
obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi ini biasanya
disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia
jaringan limfoid, tumor apendiks, striktur, benda asing dalam tubuh, dan
cacing askaris dapat pula menyebabkan terjadinya sumbatan. Fekalit dan
hiperplasia jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi yang paling sering
terjadi (Smeltzer & Bare, 2002). Penyebab lain yang diduga menimbulkan
apendisitis adalah ulserasi mukosa apendiks oleh parasit E. histolytica.
Trauma tumpul atau trauma karena colonoscopy dapat mencetuskan inflamasi
pada apendiks. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora
kolon biasa.

5. Manifestasi Klinis
Gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul) pada daerah
epigastrium disekitar umbilicus atau periumbilikus (Nurarif & Kusuma,
2015). Keluhan biasanya disertai dengan rasa mual-mntah dan terkadang
mengalami penurunan nafsu makan. Setelah beberapa jam, nyeri akan beralih
ke kuadran kanan bawah ke titik Mc Burney. Smeltzer & Bare (2002), pada
anamnesis penderita akan mengeluhkan
 Nyeri atau sakit perut
Nyeri terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi
pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh
perut.
 Muntah atau rangsangan viseral akibat aktivasi nervus vagus. Obstipasi
karena penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika
timbul komplikasi
 Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5-38,5 C
tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi perforasi
6. Patofisiologi
Patogenesis utamanya diduga adanya obstruksi lumen, yang biasanya
disebut fekalit (feses keras yang terutama disebabkan oleh serat). Penumbatan
pengeluaran secret mucus mengakibatkan terjadinya pembengkakan, infeksi,
dan ulserasi. Peningkatan tekanan intrakrtanium dapat menyebabkan
terjadinya oklusi arteri terminalis (end-artery) apendikularis. Bila keadaan ini
dibiarkan berlangsung terus, biasanya mengakibatkan nekrosis, gangrene, dan
perforasi. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa ulserasi mukosa sekitar 60
hingga 70% kasus, lebih sering daripada sumbatan lumen. Penyebab ulserasi
tidak diketahui, walaupun sampai sekarang diperkirakan disebabkan oleh
virus. Akhir-akhir ini penyebab infeksi yang paling diperkirakan adalah
Yersinia enterocolotica. (Price & Wilson, 2006)
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa appendiks
mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak,
namun elasitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intra lumen. Tekanan tersebut akan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema dan ulaserasi mukosa.
Pada saat itu terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai dengan nyeri
epigastrium.
Bila sekresi mukus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri
akan menembus dinding sehingga peradangan yang timbul meluas dan
mengenai peritoneum yang dapat menimbulkan nyeri pada abdomen kanan
bawah yang disebut apendisitis supuratif akut (Smeltzer & Bare, 2002)
Price dan Wilson (2006), aliran arteri terganggu maka akan terjadi
infark dinding appendiks yang diikuti ganggren. Stadium ini disebut
apendisitis ganggrenosa. Bila dinding appendiks rapuh maka akan terjadi
prefesional disebut appendiksitis perforasi. Bila proses berjalan lambat,
omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah appendiks hingga
muncul infiltrat appendikkularis. Pada anak-anak karena omentum lebih
pendek dan appendiks lebih panjang, dinding lebih tipis. Keadaan tersebut
ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan untuk
terjadi perforasi, sedangkan pada orang tua mudah terjadi karena ada
gangguan pembuluh darah.

7. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik dan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengakat
diagnosis (Departemen Bedah UGM, 2010).
a. Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan darah : akan didapatkan leukositosis ringan (10.000-
20.000/ ml) dengan peningkatan jumlah netrofil. Ini ditemukan pada
kebanyakan kasus appendicitis akut terutama pada kasus dengan
komplikasi, Pada appendicular infiltrat, didapatkan LED akan
meningkat. Lekositosis yaitu lekosit > 10.000 /dl biasanya pada
perforasi terdapat pergeseran ke kiri (netrofil segmen meningkat).
 Pemeriksaan urin dengan hasil sedimen dapat normal atau terdapat
leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang
menempel pada ureter atau vesika. Pemeriksaan leukosit meningkat
sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap
mikroorganisme yang menyerang. Pada apendisitis akut dan perforasi
akan terjadi leukositosis yang lebih tinggi lagi. Hb (hemoglobin)
nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan
apendisitis infiltrat. Urin rutin penting untuk melihat apakah terdapat
infeksi pada ginjal.
8. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis.
Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.
a. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan
USG terutama pada wanita dan juga bila dicurigai adanya abses.
Pemeriksaan USG dilakukan bila sudah terjadi infiltrat apendikularis.
Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding
seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya. USG yang mungkin
di temukan pada pemeriksaan ini pada umumnya menunjukan lampiran
buncit berisi cairan dengan diameter lebih dari 5 mm, Ketebalan dinding 3
mm atau lebih besar, tidak adanya gerak peristaltik dan
noncompressibility usus buntu, perubahan pericaecal, massa pada
appendix
b. Barium enema
Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon melalui
anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari
appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan
diagnosis banding. Appendicogram memiliki sensitivitas dan tingkat
akurasi yang tinggi sebagai metode diagnostik untuk menegakkan
diagnosis appendisitis kronis. Dimana akan tampak pelebaran/penebalan
dinding mukosa appendiks, disertai penyempitan lumen hingga sumbatan
usus oleh fekalit.
c. CT-scan
CT scan dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain itu juga
dapat menunjukkan komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi abses.
Pemeriksaan CT-Scan dilakukan jika diduga terdapat perforasi atau
pembentukan abses karena akan memberikan karakteristik yang yang tepat
terhadap massa inflamasi, luas dan lokasinya.
d. Laparoscopi
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukan
dalam abdomen, appendiks dapat divisualisasikan secara langsung. Tehnik
ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat
melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendiks maka pada
saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendiks.
e. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk
diagnosis appendisitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai
gambaran histopatologi appendisitis akut. Perbedaan ini didasarkan pada
kenyataan bahwa belum adanya kriteria gambaran histopatologi
appendicitis akut secara universal dan tidak ada gambaran histopatologi
apendisitis akut pada orang yang tidak dilakukan operasi.

9. Penatalaksanaan Medis
1) Sebelum operasi
a. Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan
gejalaapendisitis seringkali masih belum jelas. Dalam keadaan ini
observasi ketat perlu dilakukan. Pasien diminta melakukan tirah baring
dan dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya
apendisitis ataupun peritonitis lainnya. Pemeriksaan abdomen dan
rectal serta pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis) diulang
secara periodic. Foto abdomen dan toraks tegak dilakukan untuk
mencari kemungkinan adanya penyulit lain. Pada kebanyakan kasus,
diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah
dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan. Pada penderita apendisitis
perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit,
serta pemberian antibiotik sistemik (Oswari, 2000).
b. Intubasi bila perlu
c. Antibiotik
2) Operasi apendiktomi
3) Pascaoperasi
Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuki mengetahui terjadinya
pendarahan di dalam, syok, hipertermia, atau gannguan pernafasan.
Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan
lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien
dikatakan baik dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien di
puasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya dalam perforasi atau
peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal.

Kemudian berikan minum mulai 15ml/jam selama 4-5jam lalu naikkan


30ml/ja. Keesokan harinya diberikan makanan saring, dan hari berikutnya
diberikan makanan lunak.

Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat
tidur selama 2x30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk
diluar kamar. Hari ketujuh jaritan dapat diangkat dan pasien
diperbolehkan pulang.

4) Penatalaksanaan gawat darurat non-operasi


Bila tidak ada fasilitas bedah berikan penatalaksanaan bedah dalam
peritonitis akut. Dengan demikian gejala apendisitis akut akan mereda,
dan kemungkinan terjadinya komplikasi dapat berkurang.

10. Komplikasi
a. Perforasi merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan baik
berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah
mengalami pendindingan berupa massa yang terdiri atas kumpulan
apendiks, sekum, dan lekuk usus halus. Perforasi dapat menyebabkan
timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis generalisata. Insiden
perforasi adalah 10 % sampai 32%. Insiden lebih tinggi pada anak kecil
dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri.
b. Teromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi tetapi
merupakan komplikasi yang letal. Hal ini harus dicurigai bila ditemukan
demam sepsis, menggigil, hepatomegali, dan ikterus setelah terjadi
perforasi apendiks. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses
subfrenikus dan fokal sepsis intraabdomen lain. Obstruksi intestinal juga
dapat terjadi akibat perlengketan.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
1) Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi : pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal
swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi
perut.
 Palpasi : pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri.
Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan
bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut
kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda
Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan
juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg
(Blumberg Sign).
 Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis,
untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat
dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks
yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci
diagnosis pada apendisitis pelvika.
 Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini juga dilakukan
untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan
dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau
fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila
appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan
tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan
gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila
apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang
merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan
nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika.
2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
a. PRE OP
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik ditandai dengan
pasien mengatakan nyeri pada daerah perut bagian kanan bawah,
pasien tampak gelisah.
2. Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolic ditandai
dengan suhu tubuh meningkat diatas rentang normal (36,50C –
37,50C), akral teraba hangat / panas.
3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
aktif : mual,muntah ditandai dengan penurunan turgor kulit, membran
mucus/ kulit kering
4. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan tidak mampu dalam memasukkan, mencerna,
mengabsorbsi makanan karena faktor biologi ditandai dengan pasien
mengatakan makan kurang dari kebutuhan yang dianjurkan karena
merasa mual dan muntah.
5. Kurang pengentahuan mengenai penyakit berhubungan dengan
misinterpretasi informasi ditandai dengan pasien berperilaku atau
persepsi tidak sesuai.
6. PK : Infeksi
b. POST OP
1. Nyeri Akut berhubungan dengan tindakan pembedahan
(appendictomy) ditandai dengan pasien mengeluh nyeri pada derah
pembedahan, pasin tampak meringis.
2. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (pembedahan:
appendictomy).
3. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan faktor mekanik
(pembedahan ) ditandai dengan kerusakan jaringan
DAFTAR PUSTAKA

Corwin,Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi.Jakarta:EGC

Craig Sandy, Lober Williams. (2010). Appendiciti, Acute. Retrieved from


www.emedicine.com

Sjamsuhidajat, R. (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC

Departemen Bedah UGM. (2010). Apendik. Retrieved from


http://bedahugm.net/tag/appendix

Dochterman, Joanne McCloskey et al. (2004). Nursing Interventions Classification


(NIC).Missouri : Mosby

Herdman, T. Heather. (2012). NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan


Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC

Mansjoer, A., Suprohaita, W.I. Wardani, W. Setiowulan. (2000). Kapita Selekta


Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Mansjoer, Arif. (1999). Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media


Aesculapius

Moorhead, Sue et al. (2008). Nursing Outcome Classification (NOC).Missouri :


Mosby

Nurarif, A.H., & Kusuma, H. (2015) Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis dan Nanda NIC-NOC. Jogjakarta: Mediaction Publishing
Jogjakarta
Prince, A Sylvia & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Volume 1 Edisi 6. Jakarta : EGC

Sjamsuhidajat, R., W. D. Jong. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.

Smeltzer, S. C, & Bare, B. G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah


Brunner dan Suddart Volume 2 edisi 8. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Вам также может понравиться