Вы находитесь на странице: 1из 2

Dilema pukat pantai; membersihkan atau memusnahkan?

Perikanan merupakan salah satu sektor yang menunjang perekonomian masyarakat Indonesia.
Keberadaan laut yang luas di wilayah nusantara menjadi habitat berbagai biota laut yang
bermanfaat. Kelimpahan sumber daya alam dari laut memberi dampak baik pada masyarakat
pesisir pantai, yang mana sebagian besar berprofesi sebagai nelayan.
Semakin banyak masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan, maka semakin ketat pula
persaingannya. Dengan kata lain, banyak nelayan yang berebut fishing ground, tenaga kerja
bahkan alat penangkap. Dalam upaya meningkatkan hasil tangkapan, tercipta berbagai inovasi
alat tangkap berskala kecil sampai besar. Salah satu alat tangkap yang umum digunakan oleh
nelayan Pangandaran adalah alat tangkap pukat pantai.
Alat tangkap pukat pantai sudah tidak asing lagi di kalangan nelayan Pangandaran. Biasanya,
pukat pantai yang digunakan memiliki panjang 300-400 meter. Pukat pantai ini beroperasi
sepanjang musim, kecuali pada keadaan yang tidak memungkinkan pengoperasian seperti
kerusakan jaring dan ketiadaan ABK. Pada pengoperasiannya, dibutukan banyak tenaga untuk
menarik jaring dari laut sehingga dibantu sekitar 7-8 orang. Jaring yang terbuat dari bahan nilon
memungkinkan keawetan dan keefektifan penggunaan pukat pantai. Tak heran, hasil
tangkapannya pun memuaskan.
Banyaknya hasil tangkapan dari alat tangkap pukat pantai menyebabkan semua nelayan beralih
menggunakan alat tangkap ini. Tentu saja hal ini menimbulkan dampak negatif terdapat
ketersediaan sumberdaya laut, berkurangnya ikan layak tangkap, bahkan kerusakan habitat.
Menilik dari hal ini, pemerintah mengeluarkan Permen KP Tahun 2015 Pasal 2 yang berbunyi
setiap orang dilarang menggunakan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan alat
penangkapan ikan pukat tarik (seine nets) di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Negara
Republik Indonesia.
Adanya pelarangan resmi ini tak membuat nelayan Pangandaran berhenti menggunakan pukat
pantai. Setelah ditelusuri lebih lanjut, 9 dari 10 nelayan pengguna pukat pantai belum
mengetahui adanya pelarangan tersebut. Mereka hanya mengetahui tentang batas ukuran ikan
yang boleh ditangkap beserta mesh size jaring yang boleh digunakan. Ketidaktahuan nelayan
berimbas pada penangkapan terus menerus menggunakan pukat pantai. Hal ini disebabkan
tidak adanya sosialisasi oleh dinas yang bersangkutan, kurangnya koordinasi antar nelayan,
dan kurangnya sarana informasi dalam kelompok nelayan.
Pelarangan penggunaan pukat pantai sendiri menuai banyak kontra dari pihak nelayan.
Menurut bapak A, pukat pantai tidak seharusnya dilarang karena bisa membawa sampah laut
dan sebagai sarana bebersih laut. Sampah yang tersangkut pukat pantai ini juga dibakar oleh
nelayan sehingga tidak hanyut kembali ke laut. Selain itu, penarikan pukat pantai yang
membutuhkan banyak tenaga merupakan kesempatan kerja bagi banyak pengangguran di
Pangandaran. “kalau pukat pantai dilarang, kami yang pengangguran mau makan darimana?”
tuturnya lebih lanjut.
Sebaik-baiknya sesuatu pasti terdapat satu kelemahan. Begitu pula penggunaan pukat pantai di
Pangandaran ini. Nelayan lebih memilih berlaku tidak tahu tentang pelarangan ini agar tetap
bisa melaut. Mereka belum siap dengan kemungkinan pelarangan tersebut, yang mana akan
berimbas pada banyak pihak. Ada baiknya jika dinas memberikan sosialisasi tentang kasus ini
dan memberi solusi yang menguntungkan semua pihak apabila pukat pantai benar-benar
dilarang.

Вам также может понравиться