Вы находитесь на странице: 1из 44

LAPORAN KASUS

KASUS NEUROLOGI
ABSES SEREBRI PADA PASIEN HIV/AIDS

DIAJUKAN DALAM RANGKA PRAKTEK DOKTER INTERNSIP SERTA


SEBAGAI BAGIAN PERSYARATAN MENYELESAIKAN PROGRAM INTERNSIP DI
RS MARSUDI WALUYO, SINGOSARI, KAB. MALANG

Diajukan kepada:
Dr. Gerry Gunawan, Sp. S
dr. Anita Mardiana K.
dr. Vika Cahyani Yoningsih

Disusun oleh:
dr. Athaya Febriantyo Purnomo

RS MARSUDI WALUYO SINGOSARI


KABUPATEN MALANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
KASUS NEUROLOGI
ABSES SEREBRI PADA PASIEN HIV/AIDS

DIAJUKAN DALAM RANGKA PRAKTEK DOKTER INTERNSIP SERTA


SEBAGAI BAGIAN PERSYARATAN MENYELESAIKAN PROGRAM INTERNSIP DI
RS MARSUDI WALUYO, SINGOSARI, KAB. MALANG

Telah diperiksa dan disetujui


pada tanggal : 4 April 2018

Oleh :
Dokter Penanggung Jawab Pasien

dr. Gerry Gunawan, Sp. S

i
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
KASUS NEUROLOGI
ABSES SEREBRI PADA PASIEN HIV/AIDS

DIAJUKAN DALAM RANGKA PRAKTEK DOKTER INTERNSIP SERTA


SEBAGAI BAGIAN PERSYARATAN MENYELESAIKAN PROGRAM INTERNSIP DI
RS MARSUDI WALUYO, SINGOSARI, KAB. MALANG

Telah diperiksa dan disetujui


pada tanggal : 4 April 2018

Oleh :
Dokter Pendamping Unit Rawat Jalan dan Unit Rawat Inap

dr. Anita Mardiana K.

ii
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
KASUS NEUROLOGI
ABSES SEREBRI PADA PASIEN HIV/AIDS

DIAJUKAN DALAM RANGKA PRAKTEK DOKTER INTERNSIP SERTA


SEBAGAI BAGIAN PERSYARATAN MENYELESAIKAN PROGRAM INTERNSIP DI
RS MARSUDI WALUYO, SINGOSARI, KAB. MALANG

Telah diperiksa dan disetujui


pada tanggal : 4 April 2018

Oleh :
Dokter Pendamping Unit Gawat Darurat

dr. Vika Cahyani Yoningsih

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kepada Tuhan Semesta Alam atas bimbingan-
Nya sehingga penulis telah berhasil menyelesaikan portofolio laporan kasus yang
berjudul “ABSES SEREBRI PADA PASIEN HIV/AIDS”. Dalam penyelesaian
portofolio laporan kasus ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-
besarnya kepada:
1. dr. Gerry Gunawan, Sp. S selaku dokter penanggung jawab pasien
2. dr. Anita Mardiana K. selaku dokter pendamping unit rawat jalan dan unit
rawat inap
3. dr. Vika Cahyani Yoningsih selaku dokter pendamping unit gawat darurat
4. Serta paramedis yang selalu membimbing dan membantu penulis
Portofolio laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan
kerendahan hati penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharapkan
saran dan kritik yang membangun. Semoga laporan kasus ini dapat menambah
wawasan dan bermanfaat bagi semua pihak.

Malang, 4 April 2018

Penulis

iv
Daftar Isi

HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................ii
KATA PENGANTAR......................................................................................................ivv
Daftar Isi............................................................................................................................v
Daftar Gambar.....................................................................................................................vi
Bab 1 Pendahuluan.............................................................................................................7
Bab 2 Laporan Kasus.........................................................................................................9
2.1 Identitas..............................................................................................................9
2.2 Anamnesis..........................................................................................................9
2.3 Pemeriksaan Fisik.............................................................................................10
2.4 Resume.............................................................................................................12
2.5 Diagnosis..........................................................................................................13
2.6 Rencana Terapi.................................................................................................17
2.7 Rencana Edukasi..............................................................................................17
Bab 3 Tinjauan Pustaka....................................................................................................18
3.1 Definisi.............................................................................................................18
3.2 Epidemiologi....................................................................................................18
3.3 Anatomi Otak...................................................................................................19
3.4 Etiologi Dan Faktor Predisposisi......................................................................21
3.5 Histopatologi.............………………………………………………………….23
3.6 Patofisiologi.....................................................................................................25
3.7 Manifestasi Klinis............................................................................................28
3.8 Diagnosis..........................................................................................................28
3.9 Penatalaksanaan...............................................................................................32
3.10 Diagnosis Banding...........................................................................................35
3.11 Komplikasi.......................................................................................................36
3.12 Prognosis..........................................................................................................36
Bab 4 Pembahasan……………………………………………………………………….38
Bab 5 Kesimpulan............................................................................................................41
Daftar Pustaka..................................................................................................................42

v
Daftar Gambar

2.5.1 EKG Saat Tiba Di IGD……………………………………………………….…14


2.5.2 Foto Thorax……………………………………………………………………..15
2.5.3 CT Scan Pasien.......................…………………………………………………..16
3.1 Anatomi Otak..................………………………………………………………..20
3.2 Mekanisme Imunologi Sawar...............................................................................21
3.3 Gambar CT-Scan Abses Serebri...........................................................................30

vi
BAB 1
Pendahuluan

Abses serebri merupakan infeksi intraserebral fokal yang dimulai


sebagai serebritis yang lokalisatorik dan berkembang menjadi kumpulan
pus yang dikelilingi oleh kapsul Morgagni (1682-1771) pertama kali
melaporkan abses serebri yang disebabkan oleh peradangan telinga. Pada
beberapa penderita dihubungkan dengan kelainan jantung bawaan
sianotik. Mikroorganisme penyebab abses otak meliputi bakteri, jamur dan
parasit tertentu. Mikroorganisme tersebut mencapai substansia otak
melalui aliran darah, perluasan infeksi sekitar otak, luka tembus trauma
kepala dan kelainan kardiopulmoner. Pada beberapa kasus tidak diketahui
sumber infeksinya.1,2
Walaupun teknologi kedokteran diagnostik dan perkembangan
antibiotika saat ini telah mengalami kemajuan, namun angka kematian
penyakit abses serebri tetap masih tinggi yaitu sekitar 10-60% atau rata-
rata 40% dari total seluruh penderita. Penyakit ini sudah jarang dijumpai
terutama di negara-negara maju, namun karena resiko kematiannya tinggi,
abses serebri termasuk golongan penyakit infeksi yang mengancam
kehidupan (life threatening infection).
Abses serebri dapat terjadi di dua hemisfer, dan kira-kira 80%
kasus dapat terjadi di lobus frontal, parietal, dan temporal. Abses serebri di
lobus occipital, serebelum dan batang otak terjadi pada sekitar 20% kasus.
1,2

Abses serebri dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum


dari fokus infeksi di sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat
yang jauh, atau secara langsung seperti trauma kepala dan operasi
kraniotomi. Abses yang terjadi oleh penyebaran hematogen dapat pada
setiap bagian otak, tetapi paling sering pada pertemuan substansia alba dan
grisea; sedangkan yang perkontinuitatum biasanya berlokasi pada daerah

7
dekat permukaan otak pada lobus tertentu. Abses serebri bersifat soliter
atau multipel. Multipel biasanya ditemukan pada penyakit jantung bawaan
sianotik; adanya shunt kanan ke kiri akan menyebabkan darah sistemik
selalu tidak jenuh sehingga sekunder terjadi polisitemia. Polisitemia ini
memudahkan terjadinya trombo-emboli.3
Gejala klinik abses serebri berupa tanda-tanda infeksi yaitu
demam, anoreksi dan malaise, peninggian tekanan intrakranial serta gejala
nerologik fokal sesuai lokalisasi abses. Terapi abses serebri terdiri dari
pemberian antibiotik dan pembedahan. Tanpa pengobatan yang tepat,
prognosis abses serebri dapat menjadi jelek.3

8
BAB 2
Laporan Kasus

2.1 Identitas
Nama : Tn. BS
Usia : 69 tahun
Jenis Kelamin : Pria
Agama/Suku : Islam/Jawa
Alamat : Jl. Mondoroko, Selatan RT 4 RW 12 Banjararum
Tanggal pemeriksaan : 29 Januari 2018
No. RM : 013795

2.2 Anamnesis
Heteroanamnesis (29 Januari 2018) pkl 14.40 di IGD dan 20.30 di ICU.
1. Keluhan Utama
Tidak sadar.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Di IGD:
Pasien tidak sadar sejak 2 jam sebelum MRS, didahului kejang sekitar 30 menit
sebanyak 3x, kejang seluruh tubuh kelojotan, mulut berbusa, di antara kejang
pasien tidak sadar. Pasien dikeluhkan juga mengalami kelemahan setengah
badan kanan. Tangan dan kaki kiri aktif namun bagian tubuh kanan tidak aktif.
Riwayat jatuh 2x, 1 hari yang lalu karena penurunan kesadarannya. Nyeri
kepala terjadi sekitar 2-3 bulan, demam seminggu terakhir, muntah +. Pasien
semakin kurus dalam 6 bulan terakhir.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat penyakit Diabetes Mellitus. Riwayat penyakit darah
tinggi dan penyakit jantung disangkal. Riwayat stroke sebelumnya disangkal.
4. Riwayat Keluarga
Riwayat penyakit darah tinggi, kencing manis, dan penyakit jantung pada
keluarga disangkal.

9
5. Riwayat Pengobatan
Pasien belum berobat sebelumnya.

2.3 Pemeriksaan Fisik


29 Januari 2018 di IGD.
a. Keadaan Umum
Pasien tampak sakit berat, stupor, ngorok, GCS 423
b. Tanda Vital
a. Tekanan darah : 109/65 mmHg
b. Laju denyut jantung : 105 x/menit reguler
c. Laju pernapasan : 22 x/menit
d. Suhu aksiler : 35,4OC
c. Kepala
a. Bentuk : normosefal, benjolan massa (-)
b. Ukuran : mesosefal
c. Rambut : tipis, putih.
d. Wajah : simetris, bundar, rash (-), sianosis (-), edema (-).
e. Mata
konjungtiva : anemis -/-
sklera : ikterik -/-
palpebra : edema -/-
reflek cahaya : (+/+).
pupil : isokor, (+/+), 3mm/3mm..
telinga : bentuk normal, posisi normal, sekret (-).

f. Hidung : sekret (-) jernih, pernafasan cuping hidung(-),


perdarahan (-), hiperemi (-).
g. Mulut : mukosa bibir basah, mucosa sianosis (-), lidah
kotor (-).
Leher
a. Inspeksi : dalam batas normal

10
b. Palpasi : Tidak teraba massa yang membesar. Pembesaran
kelenjar limfa regional (-/-).
d. Thoraks
a. Inspeksi. : bentuk dada kesan normal dan simetris; retraksi
dinding dada (-), tidak didapatkan deformitas.
b. Jantung:
 Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat.
 Palpasi : ictus cordis teraba di ICS VI AAL (S).
 Perkusi : batas jantung (D) di ICS IV PSL (D) dan batas
jantung (S) di ICS VI AAL (S).
 Auskultasi : S1S2 tunggal, regular cepat, gallop (-), murmur (-).
c. Paru :
 Inspeksi : gerak nafas simetris pada kedua sisi dinding
dada, retraksi (-), RR 22 kali/menit, teratur, simetris.
 Palpasi : pergerakan dinding dada saat bernafas simetris.
 Perkusi : sonor sonor
sonor sonor
sonor sonor
 Auskultasi : vesikuler di seluruh lapang paru.
- - - -
Rh - - Wh - -
- - - -

e. Abdomen
a. Inspeksi : datar, kulit abdomen : jaringan parut (-).
b. Auskultasi : bising usus (+), normal.
c. Perkusi : timpani, shifting dullnes (-).
d. Palpasi : H/L tidak teraba, tidak terdapat nyeri tekan.

11
f. Genitalia
Tidak dievaluasi.

g. Neurologis
Meningeal Sign = kaku kuduk (-) Kernig (-)
Nervus Cranialis = parese n. VII Sinistra tipe UMN
Refleks Fisiologis = B +3 / +3
T +3 / +3
K +3 / +3
A +3 / +3
Refleks Patologis = -+/ + (Babinsky)

Ekstremitas

Pemeriksaan Atas Bawah


Ekstremitas Kanan Kiri Kanan Kiri
Akral hangat hangat hangat Hangat
Anemis – – – -
Ikterik – – – -
Edema – - - -
Sianosis - - - -
Ptechiae – – – –
Capillary Refill < 2 detik < 2 detik < 2 detik < 2 detik
Time

2.1. Resume
Tn BS / Pria / 69 tahun
Anamnesis
Keluhan Utama = Tidak sadar.
Pasien tidak sadar sejak 2 jam sebelum MRS, didahului kejang sekitar 30 menit
sebanyak 3x, kejang seluruh tubuh kelojotan, mulut berbusa, di antara kejang
pasien tidak sadar. Pasien dikeluhkan juga mengalami kelemahan setengah
badan kanan. Tangan dan kaki kiri aktif namun bagian tubuh kanan tidak aktif.
Riwayat jatuh 2x, 1 hari yang lalu karena penurunan kesadarannya. Nyeri
kepala terjadi sekitar 2-3 bulan, demam seminggu terakhir, muntah +. Pasien
semakin kurus dalam 6 bulan terakhir.

12
Pasien memiliki riwayat penyakit Diabetes Mellitus. Riwayat penyakit darah
tinggi dan penyakit jantung disangkal. Riwayat stroke sebelumnya disangkal.
Pemeriksaan fisik
Pasien tampak sakit berat, stupor, ngorok, GCS 423
Tanda Vital
o Tekanan darah : 109/65 mmHg
o Laju denyut jantung : 105 x/menit reguler
o Laju pernapasan : 22 x/menit
o Suhu aksiler : 35,4OC
 Kepala : tidak ditemukan kelainan.
 Leher : tidak ditemukan kelainan.
 Thoraks : terdapat pembesaran jantung.
 Abdomen : tidak ditemukan kelainan.
 Genital : tidak dievaluasi.
 Ekstrimitas : tidak ditemukan kelainan.
 Neurologis : terdapat penurunan kesadaran dengan suspek lesi UMN

2.5 Diagnosis
a. Diagnosis Kerja:
Decrease of consciousness e.c. susp Space Occupying Proccess serebri
b. Rencana diagnosis:
EKG
 Lab: DL, elektrolit, faal ginjal, skrining HIV
 Radiologis : Foto thorax dan CT Scan Kepala + kontras

c. Hasil Pemeriksaan Penunjang:


 EKG

13
Gambar 2.5.1. EKG saat tiba di IGD
Kesimpulan: Sinus takikardi

 Lab:
Hb: 11,1 g/dL Eritrosit 3,78 Jt/mm3
Leukosit: 8700/mm3 Trombosit 160.000/mm3
LED: 80mm/jam

Natrium: 129 mmol/L Kalium: 3,42 mmol/L


Clorida: 104 mmol/L

Ureum: 31 mg/dL Serum Kreatinin: 1,30 mg/dL

Skrining HIV = Reactive 155,4 COI

14
 Foto Thorax

Gambar 2.5.2. Foto thorax

Cor : Bentuk dan ukuran membesar kekiri.


Pulmo : Infiltrat (+) perihilar kanan dan kiri.
Corakan bronchovascular relatif normal.
Sinus dan hemidiaphragma normal.
Kesimpulan: Cardiomegaly (LVH)

- CT Scan Kepala + kontras

15
16
Gambar 2.5.3. CT Scan menunjukkan gambaran ring lesion
Tampak lesi hipodens batas relatif belum tegas pada korteks dan subkorteks
lobus frontotemporalis sinistra dan pengaburan diferensiasi grey dan white
matter
Sulci melebar dan gyri prominent
Sistem ventrikel lateralis D/S dan III melebar, ventrikel IV normal
Sistem Sisterna normal
Tidak tampak deviasi mid line
Infratentorial : mesencephalon, pons, kedua CPA, dan cerebellum normal
Sinus paranasalis, orbita, dan mastoid D/S baik
Calvaria intak.
Kesimpulan:
Infark Sub Akut pada korteks dan subkorteks lobus frontotemporalis
sinistra
Abses serebri
Senile Brain Atrofi & Fahr disease
d. Diagnosis Klinis:
Decrease of consciousness e.c. Toksoplasmosis cerebri dd Abses cerebri
HIV/AIDS
Seizure
2.6 Rencana Terapi
a. O2 2-4 lpm dengan nasal canule.
b. IVFD RL 1000cc dalam 24 jam.

17
c. Injeksi Ceftriaxon 2x2 gram intravena => skin test
d. Injeksi Metronidazole 3x500 mg intravena
e. Injeksi Lapibal (Metilcobalamin) 2x1 intravena
f. Injeksi Dexametason 3x1 intravena
g. Injeksi Ranitidin 2x50 mg intravena
h. Injeksi Fenitoin 3x100 mg intravena
2.7 Rencana Edukasi.
a. Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit yang diderita, rencana
diagnosis, dan rencana terapi yang akan dilakukan.
b. Menjelaskan bahwa prognosis penyakit buruk.
c. Menjelaskan kepada pasien komplikasi yang mungkin terjadi hingga
kematian.

BAB 3
Tinjauan Pustaka
2.1 Definisi
Abses serebri merupakan infeksi intraserebral fokal yang dimulai
sebagai serebritis yang lokalisatorik dan berkembang menjadi kumpulan
pus yang dikelilingi oleh kapsul otak disebabkan oleh berbagai macam
variasi bakteri, fungus dan protozoa. 1,2

2.2 Epidemiologi
Abses serebri dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, namun
paling sering terjadi pada anak berusia 4 sampai 8 tahun. Penyebab abses
serebri yaitu, embolisasi oleh penyakit jantung kongenital dengan pintas
atrioventrikuler (terutama tetralogi fallot), meningitis, otitis media kronis
dan mastoiditis, sinusitis, infeksi jaringan lunak pada wajah ataupun scalp,
status imunodefisiensi dan infeksi pada pintas ventrikuloperitonial.
Patogenesis abses otak tidak begitu dimengerti pada 10-15% kasus. 2,3
Walaupun teknologi kedokteran diagnostik dan perkembangan
antibiotika saat ini telah mengalami kemajuan, namun angka kematian

18
penyakit abses serebri masih tetap tinggi, yaitu sekitar 10-60% atau rata-
rata 40% dari total seluruh penderita Penyakit ini sudah jarang dijumpai
terutama di negara-negara maju, namun karena resiko kematiannya sangat
tinggi, abses serebri termasuk golongan penyakit infeksi yang mengancam
kehidupan masyarakat (life threatening infection). 1,2
Di Indonesia belum ada data pasti, namun di Amerika Serikat
dilaporkan sekitar 1500-2500 kasus abses serebri per tahun. Prevalensi
diperkirakan 0,3-1,3 per 100.000 orang/tahun. Jumlah penderita pria lebih
banyak daripada wanita, yaitu dengan perbandinagan 2-3:1.
Menurut Britt, Richard et al., penderita abses serebri lebih banyak
dijumpai pada laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 3:1
yang umumnya masih usia produktif yaitu sekitar 20-50 tahun. Yang SY
menyatakan bahwa kondisi pasien sewaktu masuk rumah sakit merupakan
faktor yang sangat mempengaruhi angka kematian. Jika kondisi pasien
buruk, angka kematian akan tinggi. Hasil penelitian Xiang Y Han (The
University of Texas MD. Anderson Cancer Center Houston Texas)
terhadap 9 penderita abses serebri yang diperolehnya selama 14 tahun
(1989-2002), menunjukkan bahwa jumlah penderita laki-laki > perempuan
dengan perbandingan 7:2, berusia sekitar 38-78 tahun dengan angka
kematian 55%.3
Demikian juga dengan hasil penelitian Hakim AA. Terhadap 20
pasien abses serebri yang terkumpul selama 2 tahun (1984-1986)
dari RSUD Dr Soetomo Surabaya, menunjukkan hasil yang tidak jauh
berbeda, dimana jumlah penderita abses serebri pada laki-laki >
perempuan dengan perbandingan 11:9, berusia sekitar 5 bulan-50 tahun
dengan angka kematian 35% (dari 20 penderita, 7 meninggal). Dengan
perkembangan pelayanan vaksinasi, pengobatan pada infeksi pediatri,
serta pandemik AIDS, terjadi pergeseran prevalensi ke usia dekade 3-5
kehidupan. 2,3

2.3 Anatomi Otak

19
Anatomi otak adalah struktur yang kompleks dan rumit karena
fungsi organ yang menakjubkan ini berfungsi sebagai pusat kendali
dengan menerima, menafsirkan, serta untuk mengarahkan informasi
sensorik di seluruh tubuh. Ada tiga divisi utama otak, yaitu otak depan,
otak tengah, dan otak belakang.5

Gambar 2.1. Anatomi otak (Sumber: www. biology.about.com)


Pembagian otak:
1. Prosencephalon - Otak depan
2. Mesencephalon - Otak tengah
o Diencephalon = thalamus, hypothalamus
o Telencephalon= korteks serebri, ganglia basalis, corpus striatum
3. Rhombencephalon - Otak belakang
o Metencephalon= pons, cerebellum
o Myelencephalon= medulla oblongata

Sawar Darah Otak (Blood Brain Barrier)


Sawar darah otak memisahkan dua kompartemen utama dari
susunan saraf, yaitu otak dan likuor serebrospinalis, dari kompartemen
ketiga yaitu darah. Tempat -tempat rintangan itu adalah tapal batas antara
darah dan kedua kompartemen susunan saraf tersebut diatas yaitu pleksus
koroideus, pembuluh darah serebral dan ruang subarachnoid serta
membrane araknoid yang menutupi ruang subaraknoid. Semua tempat
sawar dibentuk oleh sel-sel yang bersambung satu dengan yang lain
dengan tight junction, yang membatasi difus intraseluler. Sel- sel tersebut

20
adalah endothelium pembuluh darah, epithelium pleksus korioideus dan
sel-sel membran araknoid serta perineurium.5
Sawar darah otak mengalami perubahan jika terjadi beberapa
proses patologis, seperti anoksia, iskemia, lesi destruktif dan proliferative,
reaksi peradangan dan imunologik, dan juga jika terdapat autoregulasi
akibat sirkulasi serebral yang terganggu. 5

Gambar 2.2 Mekanisme Imunologi Sawar


Darah Otak Sumber: www.stanford.edu/group/parasites/ParaSites

Tight junction dari endothelium pembuluh darah serebral


biasanya mampu menghalangi masuknya leukosit ataupun
mikroorganisme pathogen ke susunan saraf pusat. Tetapi pada proses
radang dan imunologik, tight junction dapat menjadi bocor. Leukosit
polinuklearis terangsang oleh substansi – substansi yang dihasilkan dari
sel- sel yang sudah musnah sehingga ia dapat melintasi pembuluh darah,
tanpa menimbulkan kerusakan structural. Limfosit yang tergolong dalam
T- sel ternyata dapat juga menyebrangi endotelium tanpa menimbulkan
kerusakan struktural pada pembuluh darah.5

21
2.4 Etiologi dan Faktor Predisposisi
Sebagian besar abses serebri berasal langsung dari penyebaran
infeksi telinga tengah, sinusitis (paranasal, ethmoidalis, sphenoidalis dan
maxillaries). Abses serebri dapat timbul akibat penyebaran secara
hematogen dari infeksi paru sistemik (empyema, abses paru, bronkiektas,
pneumonia), endokarditis bakterial akut dan subakut dan pada penyakit
jantung bawaan Tetralogi Fallot (abses multiple, lokasi pada substansi
putih dan abu dari jaringan otak). Abses serebri yang penyebarannya
secara hematogen, letak absesnya sesuai dengan peredaran darah yang
didistribusi oleh arteri cerebri media terutama lobus parietalis, atau
cerebellum dan batang otak.6
Abses dapat juga dijumpai pada penderita penyakit immunologik
seperti AIDS, penderita penyakit kronis yang mendapat kemoterapi/steroid
yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh. 20-37% penyebab abses
serebri tidak diketahui. Penyebab abses yang jarang dijumpai,
osteomyelitis tengkorak, sellulitis, erysipelas wajah, abses tonsil, pustule
kulit, luka tembus pada tengkorak kepala, infeksi gigi luka tembak di
kepala, septikemia. Berdasarkan sumber infeksi dapat ditentukan lokasi
timbulnya abses di lobus otak.6
Infeksi sinus paranasal dapat menyebar secara retrograde
thrombophlebitis melalui klep vena diploika menuju lobus frontalis atau
temporal. Bentuk absesnya biasanya tunggal, terletak superficial di otak,
dekat dengan sumber infeksinya. Sinusitis frontal dapat juga menyebabkan
abses di bagian anterior atau inferior lobus frontalis. Sinusitis sphenoidalis
dapat menyebakan abses pada lobus frontalis atau temporalis. Sinusitis
maxillaris dapat menyebabkan abses pada lobus temporalis. Sinusitis
ethmoidalis dapat menyebabkan abses pada lobus frontalis. Infeksi pada
telinga tengah dapat pula menyebar ke lobus temporalis. Infeksi pada
mastoid dan kerusakan tengkorak kepala karena kelainan bawaan seperti

22
kerusakan tegmentum timpani atau kerusakan tulang temporal oleh
kolesteatoma dapat menyebar ke dalam serebelum. 5,6
Bakteri penyebabnya antara lain, Streptococcus aureus,
streptococci (viridians, pneumococci, microaerophilic), bakteri anaerob
(bakteri kokus gram positif, Bacteroides spp, Fusobacterium spp,
Prevotella spp, Actinomyces spp, dan Clostridium spp), basil aerob gram-
negatif (enteric rods, Proteus spp, Pseudomonas aeruginosa, Citrobacter
diversus, dan Haemophilus spp). Infeksi parasit (Schistosomiasis,
Amoeba) dan fungus (Actinomycosis, Candida albicans) dapat pula
menimbulkan abses, tetapi hal ini jarang terjadi. 5,6

Faktor predisposisi dapat menyangkut host, kuman infeksi atau factor


lingkungan.
1. Faktor tuan rumah (host)
Daya pertahanan susunan saraf pusat untuk menangkis infeksi mencakup
kesehatan umum yang sempurna, struktur sawar darah otak yang utuh dan
efektif, aliran darah ke otak yang adekuat, sistem imunologik humoral dan
selular yang berfungsi sempurna.
2. Faktor kuman
Kuman tertentu cenderung neurotropik seperti yang membangkitkan
meningitis bacterial akut, memiliki beberapa faktor virulensi yang tidak
bersangkut paut dengan faktor pertahanan host. Kuman yang memiliki
virulensi yang rendah dapat menyebabkan infeksi di susunan saraf pusat
jika terdapat ganggguan pada system limfoid atau retikuloendotelial.
3. Faktor lingkungan
Faktor tersebut bersangkutan dengan transisi kuman. Yang dapat masuk ke
dalam tubuh melalui kontak antar individu, vektor, melaui air, atau udara.

2.5 Histopatologi
2.5.1 Abses Piogenis disebabkan bakteri

23
Jaringanotak rentan terhadap infeksi dan tidak mempunyai
mekanisme pertahanan yang baik, pembentukan kapsul kolagen
merupakan rspon yang terpenting dalam membatasi penyebaran abses.
Untuk terjadinya abses otak harus ada daerah yang nekrosis terlebih
dahulu dalam jaringan otak.
Pada penderita meningitis bakterial tidak selalu terjadi abses otak,
hal ini dipengaruhioleh faktor-faktor:
1.Virulensi bakteri
Komponen permukaan subkapsular bakteri (dinding sel dan
lipopolisakarida) memegang peranan yang penting untuk timbulnya
radang di selaput otak dan memperluas daerah yang nekrosis ke dalam
jaringan otak. Bakteri pneumokokus mempunyai dua polimer dinding sel
(peptidoglikan dan asam trikoik fosfat ribitol) menyebabkan timbulnya
peradangan. H. influenza mempunyai kapsul lipopolisakarida bila terjadi
inokulasi ke dalam intrasisternal menyebabkan radang dan merusak sawar
darah otak.
2. Rusaknya sawar darah otak
Hanya bakteri tertentu yang bisa merusak sawar darah otak.
Kerusakan sawar darah otak menimbulkan eksudasi albumin yang
mempercepat timbulnya edema otak dengan kerusakan sel endotel dan
mikrovaskuler otak.
3. Imunopatologis
Satu sampai 3 jam setelah inokulasi lipopolisakarida terjadi
pelepasan secara cepat dari TNF (Tumor Necrotic Factor). Interleukin-2 ke
dalam CSS menyebabkan neutrofil melekat pada epitel serta merangsang
sel-sel di susunan saraf pusat (astroglia endotel, dan makrofag selaput
otak) untuk melepaskan sitokin. Sitokin dieksresikan dan merusak sawar
darah otak. Kondisi imunologis penderita yang kurang baik akan
mempercepat terjadinya proses peradangan dijaringan otak.
2.5.2 Abses disebabkan jamur

24
Abses yang disebabkan jamur umumnya merupakan abses
metastatik. Awalnya akan tampak invasi vaskuler oleh jamur, disusul
thrombosis sekunder dan infark otak. Hal ini menyerupai abses piogenik,
dimana di dalam bagian nekrotik terdapat sel radang, makrofag, fibroblast,
dan sel besar berinti banyak terisi jamur yang telah difagosit.
2.5.3 Abses disebabkan parasit
Amoeba menyebabkan terjadinya pusat nekrotik yang berisi debris
dan terutama sel mononuclear dikelilingi kongesti vaskuler nekrosis
jaringan saraf dan sel limfotik, sel plasma dan mononuklear lain, disini
pembentukan kapsul tidak ada atau hanya sedikit serta dapat
ditemukannya kistadan trofozoit. Toksoplasma dapat menyebabkan
ensefalitis abses dan granuloma dengan atau tanpa pusat nekrotik.
2.6 Patofisiologi
Abses serebri dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum
dari fokus infeksi di sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat
yang jauh, atau secara langsung seperti trauma kepala dan operasi
kraniotomi. Abses yang terjadi oleh penyebaran hematogen dapat pada
setiap bagian otak, tetapi paling sering pada pertemuan substansia alba dan
grisea; sedangkan yang perkontinuitatum biasanya berlokasi pada daerah
dekat permukaan otak pada lobus tertentu.4,7
Pada tahap awal abses serebri terjadi reaksi radang yang difus pada
jaringan otak dengan infiltrasi lekosit disertai edema, perlunakan dan
kongesti jaringan otak, kadang-kadang disertai bintik perdarahan. Setelah
beberapa hari sampai beberapa minggu terjadi nekrosis dan pencairan pada
pusat lesi sehingga membentuk suatu rongga abses. Astroglia, fibroblas
dan makrofag mengelilingi jaringan yang nekrosis. Mula-mula abses tidak
berbatas tegas tetapi lama kelamaan dengan fibrosis yang progresif
terbentuk kapsul dengan dinding yang konsentris. Tebal kapsul antara
beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Beberapa ahli membagi
perubahan patologi abses serebri dalam 4 stadium yaitu :
1) Stadium serebritis dini (Early Cerebritis)

25
Terjadi reaksi radang local dengan infiltrasi polymofonuklear
leukosit, limfosit dan plasma sel dengan pergeseran aliran darah
tepi, yang dimulai pada hari pertama dan meningkat pada hari ke 3.
Sel-sel radang terdapat pada tunika adventisia dari pembuluh darah
dan mengelilingi daerah nekrosis infeksi. Peradangan perivaskular
ini disebut cerebritis. Saat ini terjadi edema di sekita otak dan
peningkatan efek massa karena pembesaran abses.
2) Stadium serebritis lanjut (Late Cerebritis)
Saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti. Daerah
pusat nekrosis membesar oleh karena peningkatan acellular
debris dan pembentukan nanah karena pelepasan enzim-enzim dari
sel radang. Di tepi pusat nekrosis didapati daerah sel radang,
makrofag-makrofag besar dan gambaran fibroblast yang terpencar.
Fibroblast mulai menjadi reticulum yang akan membentuk kapsul
kolagen. Pada fase ini edema otak menyebar maksimal sehingga
lesi menjadi sangat besar
3) Stadium pembentukan kapsul dini (Early Capsule Formation)
Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag menelan acellular debris
dan fibroblast meningkat dalam pembentukan kapsul. Lapisan
fibroblast membentuk anyaman reticulum mengelilingi pusat
nekrosis. Di daerah ventrikel, pembentukan dinding sangat lambat
oleh karena kurangnya vaskularisasi di daerah substansi putih
dibandingkan substansi abu. Pembentukan kapsul yang terlambat
di permukaan tengah memungkinkan abses membesar ke dalam
substansi putih. Bila abses cukup besar, dapat robek ke dalam
ventrikel lateralis. Pada pembentukan kapsul, terlihat daerah
anyaman reticulum yang tersebar membentuk kapsul kolagen,
reaksi astrosit di sekitar otak mulai meningkat.
4) Stadium pembentukan kapsul lanjut (Late Capsule Formation)
Pada stadium ini, terjadi perkembangan lengkap abses dengan
gambaran histologis sebagai berikut:

26
· Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel
radang.
· Daerah tepi dari sel radang, makrofag, dan fibroblast.
· Kapsul kolagen yang tebal.
· Lapisan neurovaskular sehubungan dengan serebritis yang
berlanjut.
· Reaksi astrosit, gliosis, dan edema otak di luar kapsul.4,7
Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan
meluas ke arah ventrikel sehingga bila terjadi ruptur, dapat menimbulkan
meningitis. Infeksi jaringan fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis,
amputasi meningoensefalokel nasal dan abses apikal dental dapat
menyebabkan abses serebri yang berlokasi pada lobus frontalis. Otitis
media, mastoiditis terutama menyebabkan abses serebri lobus temporalis
dan serebelum, sedang abses lobus parietalis biasanya terjadi secara
hematogen.4
Respon Imunologik pada Abses Otak.
Setelah kuman telah menerobos permukaan tubuh, kemudian
sampai ke susunan saraf pusat melalui lintasan-lintasan berikut. Kuman
yang bersarang di mastoid dapat menjalar ke otak perkuntinuitatum. Invasi
hematogen melalui arteri intraserebral merupakan penyebaran ke otak
secara langsung.4
Ada penjagaan otak khusus terhadap bahaya yang datang melalui
lintasan hematogen, yang dikenal sebagai sawar darah otak atau blood
brain barrier. Pada toksemia dan septicemia, sawar darah otak terusak dan
tidak lagi bertindak sebagai sawar khusus. Infeksi jaringan otak jarang
dikarenakan hanya bakterimia saja, oleh karena jaringan otak yang sehat
cukup resisten terhadap infeksi. Kuman yang dimasukkan ke dalam otak
secara langsung pada binatang percobaan ternyata tidak membangkitkan
abses sereebri/ abses otak, kecuali apabila jumlah kumannya sangat besar
atau sebelum inokulasi intraserebral telah diadakan nekrosis terlebih
dahulu. Walaupun dalam banyak hal sawar darah otak sangat protektif,

27
namun ia menghambat penetrasi fagosit, antibodi dan antibiotik. Jaringan
otak tidak memiliki fagosit yang efektif dan juga tidak memiliki lintasan
pembuangan limfatik untuk pemberantasan infeksi bila hal itu terjadi.
Maka berbeda dengan proses infeksi di luar otak, infeksi di otak cenderung
menjadi sangat virulen dan destruktif.4

2.7 Manifestasi Klinis


Pada stadium awal gambaran klinik abses serebri tidak khas,
terdapat gejala-gejala infeksi seperti demam, malaise, anoreksi dan gejala-
gejala peninggian tekanan intrakranial berupa muntah, sakit kepala dan
kejang. Dengan semakin besarnya abses serebri gejala menjadi khas
berupa trias abses serebri yang terdiri dari gejala infeksi (demam,
leukositosis), peninggian tekanan intrakranial (sakit kepala, muntah
proyektil, papil edema) dan gejala neurologik fokal (kejang, paresis,
ataksia, afaksia)
Abses pada lobus frontalis biasanya tenang dan bila ada gejala-
gejala neurologik seperti hemikonvulsi, hemiparesis, hemianopsia
homonim disertai kesadaran yang menurun menunjukkan prognosis yang
kurang baik karena biasanya terjadi herniasi dan perforasi ke dalam kavum
ventrikel.4
Abses lobus temporalis selain menyebabkan gangguan
pendengaran dan mengecap didapatkan disfasi, defek penglihatan kwadran
alas kontralateral dan hemianopsi komplit. Gangguan motorik terutama
wajah dan anggota gerak atas dapat terjadi bila perluasan abses ke dalam
lobus frontalis relatif asimptomatik, berlokasi terutama di daerah anterior
sehingga gejala fokal adalah gejala sensorimotorik. Abses serebelum
biasanya berlokasi pada satu hemisfer dan menyebabkan gangguan
koordinasi seperti ataksia, tremor, dismetri dan nistagmus. Abses batang
otak jarang sekali terjadi, biasanya berasal hematogen dan berakibat fatal.4

2.8 Diagnosis

28
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinik,
pemeriksaan laboratorium disertai pemeriksaan penunjang lainnya. Selain
itu penting juga untuk melibatkan evaluasi neurologis secara menyeluruh,
mengingat keterlibatan infeksinya. Perlu ditanyakan mengenai riwayat
perjalanan penyakit, onset, faktor resiko yang mungkin ada, riwayat
kelahiran, imunisasi, penyakit yang pernah diderita, sehingga dapat
dipastikan diagnosisnya.4
Pada pemeriksaan neurologis dapat dimulai dengan mengevaluasi
status mental, derajat kesadaran, fungsi saraf kranialis, refleks fisiologis,
refleks patologis, dan juga tanda rangsang meningeal untuk memastikan
keterlibatan meningen.4
Pemeriksaan motorik sendiri melibatkan penilaian dari integritas
sistem musculoskeletal dan kemungkinan terdapatnya gerakan abnormal
dari anggota gerak, ataupun kelumpuhan yang sifatnya bilateral atau
tunggal. Pada pemeriksaan laboratorium, terutama pemeriksaan darah
perifer yaitu pemeriksaan lekosit dan laju endap darah; didapatkan
peninggian lekosit dan laju endap darah. Pemeriksaan cairan serebrospinal
pada umumnya memperlihatkan gambaran yang normal. Bisa didapatkan
kadar protein yang sedikit meninggi dan sedikit pleositosis, glukosa dalam
batas normal atau sedikit berkurang, kecuali bila terjadi perforasi dalam
ruangan ventrikel.3
Foto polos kepala memperlihatkan tanda peninggian tekanan
intrakranial, dapat pula menunjukkan adanya fokus infeksi ekstraserebral;
tetapi dengan pemeriksaan ini tidak dapat diidentifikasi adanya abses.
Pemeriksaan EEG terutama penting untuk mengetahui lokalisasi abses
dalam hemisfer. EEG memperlihatkan perlambatan fokal yaitu gelombang
lambat delta dengan frekuensi 13 siklus/detik pada lokasi
abses. Pnemoensefalografi penting terutama untuk diagnostik abses
serebelum. Dengan arteriografi dapat diketahui lokasi abses di hemisfer.
Saat ini, pemeriksaan angiografi mulai ditinggalkan setelah digunakan
pemeriksaan yang relatif noninvasif seperti CT scan. Dan scanning otak

29
menggunakan radioisotop tehnetium dapat diketahui lokasi abses; daerah
abses memperlihatkan bayangan yang hipodens daripada daerah otak yang
normal dan biasanya dikelilingi oleh lapisan hiperderns. CT scan selain
mengetahui lokasi abses juga dapat membedakan suatu serebritis dengan
abses. Magnetic Resonance Imaging saat ini banyak digunakan, selain
memberikan diagnosis yang lebih cepat juga lebih akurat.3

Gambar CT- Scan Abses serebri

Gambaran CT-scan pada abses :


 Early cerebritis (hari 1-3): fokal, daerah inflamasi dan edema.
Gambaran CT-Scan :
Pada hari pertama terlihat daerah yang hipodens dengan
sebagian gambaran seperti cincin. Pada hari ketiga gambaran
cincin lebih jelas sesuai dengan diameter serebritisnya. Didapati
mengelilingi pusat nekrosis.
 Late cerebritis (hari 4-9): daerah inflamasi meluas dan terdapat
nekrosis dari zona central inflamasi.
Gambaran CT-Scan :
Gambaran cincin sempurna, 10 menit setelah
pemberian kontras perinfus. Kontras masuk ke daerah sentral

30
dengan gambaran lesi homogen  menunjukkan adanya
cerebritis.
 Early capsule stage (hari 10-14): gliosis post infeksi, fibrosis,
hipervaskularisasi pada batas pinggir daerah yang terinfeksi. Pada
stadium ini dapat terlihat gambaran ring enhancement.
Gambaran CT-Scan :

Hampir sama dengan fase cerebritis, tetapi pusat nekrosis


lebih kecil dan kapsul terlihat lebih tebal.
 Late capsule stage (hari >14): terdapat daerah sentral yang
hipodens (sentral abses) yang dikelilingi dengan kontras - ring
enhancement (kapsul abses)
Gambaran CT-Scan :

Gambaran kapsul dari abses jelas terlihat, sedangkan daerah


nekrosis tidak diisi oleh kontras. Pemeriksaan CT scan dapat
dipertimbangkan sebagai pilihan prosedur diagnostik, dikarenakan
sensitifitasnya dapat mencapai 90% untuk mendiagnosis abses
serebri. Yang perlu dipertimbangkan adalah walaupun gambaran CT
tipikal untuk suatu abses, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk
didiagnosis banding dengan tumor (glioblastoma), infark, metastasis,
hematom yang diserap dan granuloma.3
Walaupun sulit membedakan antara abses dan tumor (glioblastoma,
metastasis) dari CT scan, ada beberapa parameter yang dapat digunakan
untuk membedakan keduanya antara lain : umur penderita, ketebalan ring
(cicin tipis hanya 3-6 mm) dan biasanya uniform, diameter ring, rasio lesi
dan ring. Pada ½ kasus, kapsul bagian medial lebih tipis dari kapsul
subkortikal. Hal ini menunjukkan sedikitnya vaskularisasi dari massa putih
dan menjelaskan mengapa daughter abscess biasanya berkembang di
medial.3,4
Abses serebri yang hematogen ditandai dengan adanya fokus
infeksi (yang tersering dari paru), lokasi pada daerah yang diperdarahi

31
oleh arteri serebri media di daerah perbatasan massa putih dan abu-abu
dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Sedangkan gambaran glioblastoma
pada CT scan adalah adanya mixed density tumor, ring enhancement yang
berlekuk-lekuk disertai perifokal edema yang luas.

2.9 Penatalaksanaan
Terapi definitif untuk abses melibatkan3,4 :
1. Penatalaksanaan terhadap efek massa (abses dan edema) yang dapat
mengancam jiwa
2. Terapi antibiotik dan test sensitifitas dari kultur material abses
3. Terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi)
4. Pengobatan terhadap infeksi primer
5. Pencegahan kejang
6. Neurorehabilitasi
Penatalaksanaan awal dari abses serebri meliputi diagnosis yang
tepat dan pemilihan antibiotik didasarkan pada pathogenesis dan
organisme yang memungkinkan terjadinya abses. Ketika etiologinya tidak
diketahui, dapat digunakan kombinasi dari sefalosporin generasi ketiga
dan metronidazole. Jika terdapat riwayat cedera kepala dan pembedahan
kepala, maka dapat digunakan kombinasi dari napciline atau vancomycine
dengan sephalosforin generasi ketiga dan juga metronidazole. Antibiotik
terpilih dapat digunakan ketika hasil kultur dan tes sentivitas telah
tersedia.3,4
Tabel 2.1 Prinsip Pemilihan Antibiotik pada Abses Otak
Etiologi Antibiotik
Infeksi bakteri gram negatif, bakteri Meropenem
anaerob, stafilokokkus dan stretokokkus
Penyakit jantung sianotik Penissilin dan metronidazole
Post VP-Shunt Vancomycin dan ceptazidine
Otitis media, sinusitis, atau mastoiditis Vancomycin
Infeksi meningitis citrobacter Sefalosporin generasi ketiga, yang

32
secara umum dikombinasi dengan
terapi aminoglikosida
Pada abses terjadi akibat trauma penetrasi,cedera kepala, atau
sinusitis dapat diterapi dengan kombinasi dengan napsiline atau
vancomycin, cefotaxime atau cetriaxone dan juga metronidazole.
Monoterapi dengna meropenem yang terbukti baik melawan bakteri gram
negatif, bakteri anaerob, stafilokokkus dan streptokokkus dan menjadi
pilihan alternatif. Sementara itu pada abses yang terjadi akibat penyakit
jantung sianotik dapat diterapi dengan penissilin dan metronidazole. Abses
yang terjadi akibat ventrikuloperitoneal shunt dapat diterapi dengan
vancomycin dan ceptazidine.Ketika otitis media, sinusitis, atau mastoidits
yang menjadi penyebab dapat digunakan vancomycin karena strepkokkus
pneumonia telah resisten terhadap penissilin. Ketika meningitis
citrobacter, yang merupakan bakteri utama pada abses local, dapat
digunakan sefalosporin generasi ketiga, yang secara umum
dikombinasikan dengan terapi aminoglikosida. Pada pasien
denganimmunocompromised digunakan antibiotik yang berspektrum luas
dan dipertimbangkan pula terapi amphoterids.3,4
Tabel 2.2 Dosis dan Cara Pemberian Antibiotik pada Abses Otak
Drug Dose Frekwensi dan rute
Cefotaxime 2-3 kali per hari,
(Claforan) 50-100 IV
mg/KgBBt/Hari
Ceftriaxone (Rocephin) 2-3 kali per hari,
50-100 mg/KgBBt/Hari IV
Metronidazole (Flagyl) 3 kali per hari,
35-50 mg/KgBB/Hari IV
Nafcillin (Unipen, Nafcil) setiap 4 jam,
2 grams IV
Vancomycin setiap 12 jam,
15 mg/KgBB/Hari IV
Kebanyakan studi klinis menunjukkan bahwa penggunaan steroid
dapat mempengaruhi penetrasi antibiotik tertentu dan dapat menghalangi

33
pembentukan kapsul abses. Tetapi penggunaannya dapat dipertimbangkan
pada kasus-kasus dimana terdapat risiko potensial dalam peningkatan
tekanan intrakranial. Dosis yang dipakai 10 mg dexamethasone setiap 6
jam intravenous, dan ditapering dalam 3-7 hari.3,4
Pada penderita ini, kortikosteroid diberikan dengan pertimbangan
adanya tekanan intrakranial yang meningkat, papil edema dan gambaran
edema yang luas serta midline shift pada CT scan. Kortikosteroid
diberikan dalam 2 minggu setelah itu di-tapering-off, dan terlihat bahwa
berangsur-angsur sakit kepala berkurang dan pada pemeriksaan nervus
optikus hari XV tidak didapatkan papil edema. Penatalaksanaan secara
bedah pada abses otak dipertimbangkan dengan menggunakan CT-Scan,
yang diperiksa secara dini, untuk mengetahui tingkatan peradangan,
seperti cerebritis atau dengan abses yang multiple.4
Terapi optimal dalam mengatasi abses serebri adalah kombinasi
antara antimikrobial dan tindakan bedah. Pada studi terakhir, terapi eksisi
dan drainase abses melalui kraniotomi merupakan prosedur pilihan. Tetapi
pada center-center tertentu lebih dipilih penggunaan stereotaktik aspirasi
atau MR-guided aspiration and biopsy. Tindakan aspirasi biasa dilakukan
pada abses multipel, abses batang otak dan pada lesi yang lebih luas
digunakan eksisi.3,4
Pada beberapa keadaan terapi operatif tidak banyak
menguntungkan, seperti: small deep abscess, multiple abscess dan early
cerebritic stage.4
Kebanyakan studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
bermakna diantara penderita yang mendapatkan terapi konservatif ataupun
dengan terapi eksisi dalam mengurangi risiko kejang.
Pada penderita ini direncanakan untuk dilakukan operasi
kraniotomi mengingat proses desak ruang yang cukup besar guna
mengurangi efek massa baik oleh edema maupun abses itu sendiri,
disamping itu pertimbangan ukuran abses yang cukup besar, tebalnya
kapsul dan lokasinya di temporal.

34
Antibiotik mungkin digunakan tersendiri, seperti pada keadaan
abses berkapsul dan secara umum jika luas lesi yang menyebabkan
sebuah massa yang berefek terjadinya peningkatan tekanan intrakranial.
Dan harus ditatalaksanakan dengan kombinasi antibiotik dan aspirasi
abses.
Pembedahan secara eksisi pada abses otak jarang digunakan,
karena prosedur ini dihubungkan dengan tingginya angka morbiditas jika
dibandingkan dengan teknik aspirasi. Indikasi pembedahan adalah ketika
abses berdiameter lebih dari 2,5 cm, lesi yang multiokuler, dan lesi yng
terletak di fosa posterior, atau jamur yang berhubungan dengan proses
infeksi, seperti mastoiditis, sinusitis, dan abses periorbita, dapat pula
dilakukan pembedahan drainase. Terapi kombinasi antibiotik bergantung
pada organisme dan respon terhadap penatalaksanaan awal. Tetapi, efek
yang nyata terlihat 4-6 minggu.3
Penggunaan antikonvulsan dipengaruhi juga oleh lokasi abses dan
posisinya terhadap korteks. Oleh karena itu kapan antikonvulsan
dihentikan tergantung dari kasus per kasus (ditetapkan berdasarkan durasi
bebas kejang, ada tidaknya abnormalitas pemeriksaan neurologis, EEG
dan neuroimaging). 3
Pada penderita ini diberikan fenitoin oral, mengingat penderita sudah
mengalami kejang dengan frekuensi yang cukup sering. Penghentian
antikonvulsan ini ditetapkan berdasarkan perkembangan klinis penderita
selanjutnya.

2.10 Diagnosis Banding


Sebagai suatu lesi desak ruang (space-occupying lesion), abses
otak dapat bermanifestasi klinis hamper sama dengan suatu neoplasma
maupun hematosubdural. Oleh karena itu, diperlukan teknik diagnose yang
menyeluruh agar terapi yang diberikan menjadi tepat.
Tabel 2.3 Perbedaan Abses dan Tumor berdasarkan Neuroimaging2,4
Abscess Tumor

35
Wall Smooth, thin, regular Thick, irregular
Thinner on inner aspect Thinner on outer
aspect
Nodularity If present, in inner border Outer border
T1 Hyperintense rim
T2 Hypointense rim
Meningeal enhancement Favours Not seen
Diffusion Imaging High signal Low signal
Perfusion imaging dynamic Normal signal due to collagen Low signal due high
and fibrosis in wall capillary density in
tumour

2.11 Komplikasi
Abses otak menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Adapun
komplikasinya adalah2,3:
1. Robeknya kapsul abses ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid
2. Penyumbatan cairan serebrospinal yang menyebabkan hidrosefalus
3. Edema otak
4. Herniasi oleh massa Abses otak

2.12 Prognosis
Prognosis dari abses otak ini tergantung dari:
1) Cepatnya diagnosis ditegakkan
2) Derajat perubahan patologis
3) Jumlah lesi
4) Penanganan yang adekuat.
Dengan alat-alat canggih dewasa ini abses serebri pada stadium
dini dapat lebih cepat didiagnosis, sehingga prognosis lebih baik. 2,3

36
37
BAB 4
Pembahasan

Pada pasien ini ditegakkan diagnosis Decrease of consiousness e.c. Abses


serebri dd Toksoplasmosis serebri. Penegakan diagnosa ini didasarkan pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan laboratorium dan radiologis dapat
dilakukan untuk menunjang pada kondisi-kondisi yang kurang jelas dan untuk
kemajuan terapi.
Dari hasil anamnesis, Pasien tidak sadar sejak 2 jam sebelum MRS,
didahului kejang sekitar 30 menit sebanyak 3x, kejang seluruh tubuh kelojotan,
mulut berbusa, di antara kejang pasien tidak sadar. Pasien dikeluhkan juga
mengalami kelemahan setengah badan kanan. Tangan dan kaki kiri aktif namun
bagian tubuh kanan tidak aktif. Riwayat jatuh 2x, 1 hari yang lalu karena
penurunan kesadarannya. Nyeri kepala terjadi sekitar 2-3 bulan, demam seminggu
terakhir, muntah +. Pasien semakin kurus dalam 6 bulan terakhir. Pasien memiliki
riwayat penyakit Diabetes Mellitus. Riwayat penyakit darah tinggi dan penyakit
jantung disangkal. Riwayat stroke sebelumnya disangkal.
Berdasarkan seluruh anamnesis mengarah pada kecurigaan kondisi
imunokompromais berdasarkan kondisi gizi pasien yang diikuti sebuah proses di
otak yang membuat tidak sadar. Namun mengingat terjadi penurunan suhu tubuh
yang tidak lazim, maka kami mendiagnosis banding pula dengan kecurigaan
infeksi otak berupa abses serebri atau toksoplasmosis serebri.
Selain dari keluhan pasien, data identitas pasien yang berjenis kelamin
laki-laki, sesuai dengan data epidemiologi abses otak menurut Britt Richard et al
yaitu prevalensi tertinggi pada pria dengan perbandingan 3:1.
Dari hasil pemeriksaan fisik, didapatkan tanda vital tekanan darah sebesar
109/65 mmHg, laju denyut jantung 105 x/menit, laju pernafasan 22 x/menit, dan
suhu axilar 35,4o C. Berdasarkan pemeriksaan neurologis terdapat penurunan
kesadaran dengan suspek lesi UMN diperkuat dengan refleks fisiologis yang
meningkat pada kedua ekstrimitas dan refleks patologis Babinsky yang positif
pada tungkai kiri.

38
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menkonfirmasi diagnosa pasti dari
darah lengkap didapatkan tidak ada kelainan hemoglobin, leukosit, dan trombosit.
Walaupun pasien merupakan pasien infeksi, namun tidak dapat melihat apakah
kemungkinan infeksinya dari leukosit, karena pasien dengan imunokompromais
memiliki variasi yang sangat luas dari hasil darah lengkap yang didapatkan. Dari
hasil radiologis CT Scan kepala menunjukkan adanya infark lama pada
frontotemporal sinistra dan terdapat penyengatana berwarna putih dengan batas
yang jelas yang mengindikasikan terdapat abses atau toksoplasmosis serebri, dan
terdapat kalsifikasi pada falx cerebri yang merupakan indikator pada fahr disease
yang biasa terjadi pada pasien geriatri atau lansia.
Berdasarkan seluruh pemeriksaan diatas dapat diambil diagnosis sebagai
penurunan kesadaran atau decrease of consiousness e.c. abses serebri dd
toksoplasmosis serebri dan HIV/AIDS. Kemudian terapi yang diberikan adalah :
a) O2 2-4 lpm dengan nasal canule.
b) IVFD RL 1000cc dalam 24 jam.
c) Injeksi Ceftriaxon 2x2 gram intravena => skin test
d) Injeksi Metronidazol 3 x 500 mg
e) Injeksi Lapibal (Cobalamin) 2x1 intravena
f) Injeksi Dexametason 3x1 intravena
g) Injeksi Ranitidin 2x50 mg intravena
h) Injeksi Fenitoin 3x100 mg intravena
Sesuai dengan teori tatalaksana abses serebri, pasien diberikan terapi obat
intravena antibiotik sefalosporin generasi 3 dan terapi suportif lainnya berupa
terapi suplementasi oksigen, anti kejang dan vitamin pendukung saraf. Terapi
dianjurkan sampai kondisi klinis pasien membaik dengan tetap melihat kondisi
imunokompromais. Karena pasien merupakan pasien yang kompleks, dan
memerlukan tindaklanjut lebih jauh, setelah diketahui HIV positif, maka pasien
dirujuk ke RS Tipe A.

39
40
BAB 5
Kesimpulan

Abses serebri merupakan infeksi intraserebral fokal yang dimulai sebagai


serebritis yang lokalisatorik dan berkembang menjadi kumpulan pus yang
dikelilingi oleh kapsul otak disebabkan oleh berbagai macam variasi bakteri,
fungus dan protozoa..
Di Indonesia belum ada data pasti terkait hal ini, namun Amerika Serikat
dilaporkan sekitar 1500-2500 kasus abses serebri per tahun. Prevalensi
diperkirakan 0,3-1,3 per 100.000 orang/tahun. Jumlah penderita pria lebih banyak
daripada wanita, yaitu dengan perbandinagan 2-3:1.
Penegakan diagnosis pada abses otak dapat dilakukan dengan cara
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dilakukan untuk
menegakkan diagnosis secara pasti dan evaluasi terapi yang diberikan.
Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium darah lengkap, CT
Scan kepala, dan apabila diperlukan kemungkinan status imun pasien.
Penatalaksanaan abses otak dengan obat antibiotik intravena yang biasa
digunakan sefalosporin generasi 3, dan terapi suportif lain seperti suplementasi
oksigen, terapi anti kejang, dan vitamin. Prognosis dari abses otak kemungkinan
buruk, apabila pasien terlambat atau tidak mendapatkan penanganan yang tepat
untuk dievaluasi.

41
Daftar Pustaka

1. Sudewi, AA Raka, dkk. Abses Serebri. Infeksi pada sistem saraf


“PERDOSSI”. Hal 21-27. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair.
2011.
2. Misbach, H Jusuf, dkk. Serebritis dan Abses Otak. Buku Pedoman SPM dan
SPO Neurologi “ PERDOSSI’’. hal 27-29. Jakarta: 2006.
3. Mardjono, Mahar, dkk. Abses Serebri. Neurologi Klinis Dasar.hal 320-321.
Jakarta: Dian Rakyat. 2008.
4. Hakim, Adril Arsyad. Abses Otak. Dep Bedah FK USU/ SMF Bedah Saraf
RSUP H Adam Malik Medan.Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No.
4. Sumatera Utara: Desember 2005.
5. Brouwer, MC; Coutinho, JM; van de Beek, D (Mar 4, 2014). "Clinical
characteristics and outcome of brain abscess: systematic review and meta-
analysis". Neurology. 82 (9): 806–13.
6. Brook I (September 2009). "Microbiology and antimicrobial treatment of
orbital and intracranial complications of sinusitis in children and their
management". Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 73 (9): 1183–
6. doi:10.1016/j.ijporl.2009.01.020. PMID 19249108.
7. Jamjoom AA, Waliuddin AR, Jamjoom AB (2009). "Brain abscess formation
as a CSF shunt complication: a case report". Cases J. 2 (1):
110. doi:10.1186/1757-1626-2-110. PMC 2639569  . PMID 19183497.
8. Thom, Stephen R.; Bhopale, Veena M.; Velazquez, Omaida C.; Goldstein,
Lee J.; Thom, Lynne H.; Buerk, Donald G. (1 April 2006). "Stem cell
mobilization by hyperbaric oxygen" (PDF). Am. J. Physiol. Heart Circ.
Physiol. 290 (4): H1378–
1386. doi:10.1152/ajpheart.00888.2005. PMID 16299259 – via PubMed.

42

Вам также может понравиться