Вы находитесь на странице: 1из 3

Sistem pengajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang ada kebanyakan

hanya berfokus pada cara penggunaan teknologi yang akhirnya mendorong


masifnya pengguna internet. Persoalan etika penggunaan teknologi menjadi
terabaikan. Padahal, seperti yang sudah terlanjur terjadi saat ini, penggunan TIK
tanpa ada pengawasan hanya akan menimbulkan permasalahan baru.
Permasalahan pornografi merupakan bahaya utama yang selalu mengintai
masyarakat Indonesia, terutama kelompok anak-anak. Tahun 2014, Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatatat bahwa sebanyak 90% anak,
terpapar pornografi sejak usia 11 tahun.[4] Selain persoalan pornografi, anak-anak
yang masih sulit meregulasi dirinya, menjadi lebih abai dengan lingkungan fisik dan
sosial−karena terlalu fokus dengan gawai dan internetnya. Atas hal tersebut, kita
perlu bahu-membahu dalam menanggulanginya. Disini, agen sosialisasi yang paling
berperan adalah guru dan keluarga. Namun, Penulis disini menekankan pada peran
guru−disamping keluarga.

Jalan yang mungkin dapat ditempuh guru dalam konteks ini adalah perbaikan literasi
media di Indonesia, khususnya media sosial atau konten yang ada di internet.
Brandtweiner mengatakan literasi media sosial sebagai sebuah dasar keterampilan
yang digunakan dalam upaya lebih lanjut dalam penggunaan internet, terutama
dalam upaya seleksi konten.[5] Seleksi tersebut meliputi empat dimensi, yaitu 1)
pengetahuan mengenai penggunaa media; 2) analisa dan evaluasi media; 3) refleksi
diri terhadap konten media; 4) tingkat keseriusan dan kredibilitas media.
Sedangakan, Hadewijch membagi menjadi tiga dimensi dari sebuah literasi media
sosial, yaitu 1) akses terhadap media sosial; 2) kompetensi dalam menggunakan
media sosial; 3) penggunaan media sosial.[6]

Baik Brandtweiner maupun Hadewijch percaya perlu ada sebuah kemampuan


khusus (literasi media sosial) dalam menggunakan media sosial maupun internet.
Untuk memenuhi kondisi ini, guru sebagai pendidik wajib memiliki kemampuan
literasi media sosial agar mampu memberikan pengajaran kepada muridnya. Namun
usaha ini, menurut Penulis, masih terkendala dengan kurikulum dari sekolah yang
begitu padat. Tepatnya, kurikulum dari sekolah formal. Padahal, sekolah formal
dapat menjadi sarana pendidikan literasi yang cukup efektif–mengingat jadwalnya
yang intens dan terdapat banyak sumber daya manusia.

Kita tidak bisa hanya menunggu untuk pengubahan kurikulum, sebab, waktu akan
habis terbuang–padahal era digital sangat cepat dalam setiap momentumnya. Untuk
mengakomodasi permasalahan ini jalur yang mungkin dapat ditempuh diluar
kurikulum sekolah formal adalah menggunakan paradigma pendidikan
kritis.[7] Menurut Agus Triyono, dalam paradigma tersebut, kita dituntut untuk sadar
dalam memahami realitas diri dan realitas sosial, sehingga, mudah mengembangkan
pendidikan literasi media.[8]

Dalam paradigma pendidikan kritis, tugas pendidikan adalah menciptakan ruang


untuk menumbuhkan sikap kritis terhadap sistem dan sktruktur, serta, melakukan
dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. [9] Melalui paradigma
ini, murid dilatih untuk “mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’ dalam sistem dan
struktur yang ada, melakukan analisis tentang proses kerja sistem dan struktur, serta
bagaimana mengtransformasikannya”.[10] Menurut Penulis, paradigma ini menjadi
aplikatif untuk memetakan masalah dalam pendidikan literasi media. Sebab, seperti
yang Agus Triyono katakan, murid menjadi lebih memiliki kesadaran bahwa sistem
pendidikan yang ada−dalam hal ini terkhusus pada instrumen kurikulum−belum bisa
mengatasi persoalan literasi media untuk dirinya dan teman-temannya. Penulis
memiliki keyakinan bahwa penjabaran masalah yang jelas pada anak-anak akan
membawa inovasi dan kegigihan untuk berkolaborasi. Namun, dengan catatan,
bahwa pendekatan yang digunakan adalah parsitipatif.

Dalam pendidikan literasi media, subjek yang dituju adalah pengguna. Faktanya,
pengguna di dunia ini adalah semua orang, tidak terbatas pada murid saja. Untuk
itu, dibutuhkan partisipasi aktif, agar praksisnya dapat dijalankan dengan maksimal.
Menurut Knowles, pendekatan partisipatif membuat anak sebagai subjek yang
diasumsikan memiliki kemampuan aktif merencanakan dan memilih tata belajar
antara dirinya dan gurunya.[11] Kombinasi antara paradigma kritis dan pendekatan
parsitipatif, menurut Penulis, akan membawa pendidikan literasi media yang lebih
maksimal dan lebih inklusif. Maksud dari inklusif tersebut adalah dorongan untuk
memberikan akses bagi semua golongan untuk merasakan TIK yang penuh
tanggung jawab. Sebab, setiap orang adalah subjek berhak mendapatkan akses
terhadap TIK.

Paragima kritis dengan pendekatan partisipatif ini akan membawa penguatan peran
guru. Murid menjadi lebih nyaman untuk terbuka dengan guru, karena balutan
atmosfer kebebasan membuat seolah-olah sedang berdiskusi dengan teman
sebaya. Cara nyata yang dapat ditempuh adalah memberikan arena belajar etika
penggunaaan TIK. Dalam sekolah formal, guru bisa berimprovisasi dengan
menyelipkan materi dalam setiap mata pelajaran untuk berdiskusi bersama dengan
atau tanpa alat peraga. Bahkan, pada saat pidato upacara bendera sekalipun.
Kemudian, di luar sekolah formal, guru-guru bisa menyediakan sesi khusus untuk
berdiskusi tentang sisi baik dan buruk dari TIK, dengan selalu meminta umpan-balik
dari murid-murid. Tentunya, bahasa yang digunakan disesuaikan dengan tingkatan
umur dari murid tersebut.

Cara yang menjunjung delibrasi tersebut dapat mendukung apa yang disebut
Brandtweiner sebagai “analisis dan evaluasi media”. Melalui proses yang bebas
tersebut, murid tidak hanya menerima bahwa ada sisi buruk dan baik dari TIK,
namun, mereka bisa mempertanyakannya, bahkan sampai pada pemberian solusi
atas permasalahan yang terjadi. Poin penting lainnya dari Brandtweiner, murid
menjadi dapat lebih sadar diri bahwa ada tingkatan kredibilitas dari media. Untuk itu,
murid akan mendapat dorongan untuk memilah mana media yang terbaik untuk
dirinya dan informasi mana yang tepat. Oleh sebab itu, poin pemilahan ini juga
berkesinambungan dengan poin “pengetahuan mengenai penggunaan media” dan
“refleksi diri terhadap konten media”.

Pada akhirnya, semua ini dapat sejalan dengan perayaan Hari Guru Internasional
dengan tema “Mengajar dalam Kebebasan, Memperkuat Guru”. Peran guru di era
digital ini dapat dikuatkan dengan menggunakan paradigma kritis dan pendekatan
partisipatif. Penggunaan ini untuk mengurai masalah literasi media, khususnya
penggunaan media sosial di dunia internet. Selain itu, kita juga harus mendorong
perkembangan pendidikan literasi media agar tidak menjadi stagnan hanya karena
kurikulum yang tidak memadai. Guru bersama masyarakat harus berperan aktif
untuk berkreasi untuk salin mengedukasi, teutama untuk anak-anak sebagai
generasi masa depan. Anak-anak sebagai kelompok manusia yang masih dalam
masa perkembangan, perlu diberikan informasi dengan paradigm kritis, agar terus
bisa berinovasi. Penulis percaya bahwa guru-guru yang berperan aktif dalam
mendorong anak-anak muridnya berinovasi dapat meningkatkan keoptimisan dunia
untuk masa depan yang diperkirakan semakin digital.

Вам также может понравиться